Jika kata at-taqiyyah itu diambil dari kata al-wiqayah (perlindungan) dari kejahatan, pengertiannya dalam AI-Qur’an dan sunah adalah menampakkan (sikap) kekafiran dan menyembunyikan keimanan, atau memperlihatkan yang batil dan menyembunyikan yang benar. Apabila seperti itu pengertiannya, taqiyah berlawanan dengan kemunafikan seperti halnya keimanan berlawanan dengan kekafiran. Sebab, kemunafikan adalah lawannya. Kemunafikan adalah menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekafiran, serta memperlihatkan yang benar dan menyembunyikan yang batil. Karena ada kontradiksi di antara arti kedua kata tersebut, maka taqiyah tidak dapat dipandang sebagai cabang dari kemunafikan.
Benar, barangsiapa yang menafsirkan kemunafikan itu sebagai mutlak pertentangan yang tampak terhadap yang tersembunyi, dan memandang taqiyah – yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunah-sebagai salah satu cabanghya, ia telah menafsirkannya dengan pengertian yang lehih luas dari pengertian yang sebenarnya dalam Al-Qur’an. la te1ah mendefinisikan orang-orang munafik sebagai orang-orang yang menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekafiran.
Al-Imaam Ibnu Sa’d rahimahullah berkata :
أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو إِسْرَائِيلَ، عَنِ الْحَكَمِ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ، قَالَ: " إِنَّا لَنُصَلِّي خَلْفَهُمْ فِي غَيْرِ تَقِيَّةٍ، وَأَشْهَدُ عَلَى عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي خَلْفَهُمْ فِي غَيْرِ تَقِيَّةٍ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Fadhl bin Dukain, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Israaiil, dari Al-Hakam, dari Abu Ja’far, ia berkata : “Sesungguhnya kami benar-benar shalat di belakang mereka (penguasa) tanpa taqiyyah. Dan aku bersaksi atas diri ‘Aliy bin Al-Husain bahwasannya ia juga shalat di belakang mereka tanpa taqiyyah” [Ath-Thabaqaat, 5/110].
Al-Fadhl bin Dukain, tsiqah lagi tsabat. Abu Israaiil (Ismaa’iil bin Khaliifah Al-‘Absiy); shaduuq, namun jelek hapalannya. Al-Hakam bin ‘Utaibah Al-Kindiy; tsiqah lagi tsabat, namun kadang melakukan tadlis.
Riwayat ini dikuatkan oleh :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، ثَنَا بَسَّامٌ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ عَنِ الصَّلَاةِ مَعَ الْأُمَرَاءِ؟ فَقَالَ: صَلِّ مَعَهُمْ، فَإِنَّا نُصَلِّي مَعَهُمْ. قَدْ كَانَ الْحَسَنُ، وَالْحُسَيْنُ يَبْتَدِرَانِ الصَّلَاةَ خَلْفَ مَرْوَانَ " قَالَ: فَقُلْتُ: النَّاسُ يَزْعُمُونَ أَنَّ ذَلِكَ تُقْيَةٌ ؟ قَالَ: وَكَيْفَ ؛ إِنْ كَانَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ، يَسُبُّ مَرْوَانَ فِي وَجْهِهِ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ حَتَّى يُوَلَّى "
Telah menceritakan kami Wakii’ : Telah menceritakan kepada kami Bassaam, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu Ja’far tentang shalat bersama para penguasa (umaraa’), lalu ia menjawab : “Shalatlah bersama mereka, karena sesungguhnya kami pun shalat bersama mereka. Al-Hasan dan Al-Husain saling mendahului shalat di belakang Marwaan”. Aku berkata : “Orang-orang mengatakan bahwa hal itu dilakukan karena taqiyyah”. Ia menjawab : “Bagaimana bisa, padahal Al-Hasan bin ‘Aliy mencela/menghardik Marwaan di depannya langsung saat berada di atas mimbar, hingga ia berpaling” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/378-379 no. 7650; shahih].
Tentang shalatnya Al-Hasan dan Al-Husain di belakang Marwaan, maka mereka berdua tidak mengulangnya ketika sampai di rumah, sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ " أَنَّ الْحَسَنَ، وَالْحُسَيْنَ كَانَا يُصَلِّيَانِ خَلْفَ مَرْوَانَ، قَالَ: فَقَالَ: مَا كَانَا يُصَلِّيَانِ إِذَا رَجَعَا إِلَى مَنَازِلِهِمَا؟ فَقَالَ: لا وَاللَّهِ، مَا كَانَا يَزِيدَانِ عَلَى صَلاةِ الأَئِمَّةِ "
Telah menceritakan kepada kami Haatim bin Ismaa’iil, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya : Bahwasannya Al-Hasan dan Al-Husain shalat di belakang Marwaan. Ada yang berkata : “Tidakkah keduanya mengulangi shalatnya saat kembali ke tempat kediamannya ?”. Muhammad bin ‘Aliy berkata : “Tidak demi Allah, keduanya tidak menambah shalat yang telah mereka lakukan bersama para pemimpin/penguasa” [Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Musnad no. 298; shahih].
Atsar ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah 2/378 no. 7642, Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm 1/175, ‘Abdurrazzaaq no. 3801, Al-Bukhaariy dalam Al-Ausath no. 417, Ad-Duulabiy dalam Al-Kunaa 1/417, serta Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/122 dan dalam Al-Ma’rifah 2/399-400 no. 1541.
Inilah madzhab Ahlul-Bait. Tetap shalat di belakang penguasa tanpa taqiyyah, tanpa mengulang. Artinya, shalat mereka adalah sah karena imam mereka adalah imam muslim.
Tentu saja kenyataan ini berbeda dengan kelakukan mengada-ada dari Syi’ah Raafidlah. Mereka (Syi’ah Raafidlah) mengkafirkan Bani Umayyah dan kaum muslimin pada umumnya yang tidak sehaluan dengan agama rusak mereka. [Jika memang Bani Umayyah itu kafir, bukankah menjadi kelaziman shalat yang dilakukan Al-Hasan dan Al-Husain itu tidak sah ?]. Keyakinan rusak itu terwariskan hingga detik ini dimana mereka (Syi’ah Raafidlah) mengharamkan shalat di belakang Ahlus-Sunnah, kecuali karena alasan taqiyyah. Ada riwayat menarik yang perlu kita cermati :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، ثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي حَفْصَةَ، قَالَ: " قُلْتُ لِعَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ: إِنَّ أَبَا حَمْزَةَ الثُّمَالِيَّ، وَكَانَ فِيهِ غُلُوٌّ، يَقُولُ: لَا نُصَلِّي خَلْفَ الْأَئِمَّةِ، وَلَا نُنَاكِحُ إِلَّا مَنْ يَرَى مثل مَا رَأَيْنَا؟ فَقَالَ عَلِيُّ بْنُ حُسَيْنٍ بَلْ نُصَلِّي خَلْفَهُمْ، وَنُنَاكِحُهُمْ بِالسُّنَّةِ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’ : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Ibraahiim bin Abi Hafshah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Aliy bin Al-Husain : “Sesungguhnya Abu Hamzah Ats-Tsamaliy – ia adalah orang yang berlebih-lebihan terhadapnya (‘Aliy bin Al-Husain) – berkata : ‘Kami tidak shalat bersama para penguasa, dan kami tidak mengadakan pernikahan kecuali dengan orang yang sependapat dengan kami”. Maka ‘Aliy bin Al-Husain berkata : “Bahkan kami shalat di belakang mereka, dan kami mengadakan pernikahan dengan mereka dengan sunnah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/379 no. 7651; shahih].
Ibraahiim bin Abi Hafshah adalah seorang yang tsiqah [Mishbaahul-Ariib, 1/27 no. 276].
Al-Hasan dan Al-Husain adalah dua orang pemimpin pemuda ahli surga yang tidak takut celaan orang yang mencela. Berkata dan berbuat sesuai dengan apa yang ada di dalam hati mereka berupa kebenaran. Tidak berperilaku seperti orang-orang munafik yang bertopeng kedustaan dimana perkataan dan perbuatan mereka tidak sesuai dengan apa yang ada dalam hati mereka. Mereka (Ahlul-Bait) tetap berani menampakkan kebenaran, bersikap tegas, dan siap mengkritik/mengkoreksi jika melihat kekeliruan, siapapun orangnya. Apakah ia penguasa ataupun sekedar rakyat jelata.
Sifat Al-Hasan dan Al-Husain itulah yang diwarisi oleh anak cucu mereka dari kalangan Ahlul-Bait yang shaalih; namun tidak diwarisi oleh kaum yang mengaku-aku mencintai mereka, Syi’ah Raafidlah.
Para Pembaca dapat membandingkannya berbagai intrik taqiyyah ala Syi’ah. Bahkan, banyak kasus yang tidak dapat kita mengerti mengapa taqiyyah mesti dilakukan. Misalnya :
وعن سماعة قال: قلت لأبي عبدالله عليه السلام في المغرب: انا ربما صلينا ونحن نخاف ان تكون الشمس خلف الجبل أو قد سترها الجبل فقال: ليس عليك صعود الجبل
Dari Samaa’ah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam tentang Maghrib : “Sesungguhnya kami seringkali khawatir apabila matahari masih di belakang gunung atau tertutup gunung (yaitu belum masuk waktu Maghrib)”. Maka ia menjawab : “Tidak wajib bagimu untuk memanjat/menaiki gunung (untuk melihat matahari apakah telah tenggelam)”.
Al-Majlisiy dan Al-‘Aamiliy berkata : “Lebih patut membawa khabar tersebut pada taqiyyah” [Bihaarul-Anwaar oleh Al-Majlisiy 83/85 dan Wasaailusy-Syii’ah oleh Al-Hurr Al-‘Aamiliy 4/198].
Apa perlunya taqiyyah dalam keadaan itu ?
وعن أبي العرندس انه رأي الكاظم في رمضان حين قال المؤذن: الله أكبر صب له غلامه فناوله وشرب.
Dari Abul-‘Arandas : Bahwasannya ia pernah melihat Al-Kaadhim dalam bulan Ramadlaan saat muadzdzin mengumandangkan : ‘Allaahu Akbar’, budaknya menuangkan air minum dan memberikan kepadanya, dan ia pun meminumnya”.
Al-Majlisiy berkata : “Dimungkinkan membawa khabar tersebut pada taqiyyah” [Bihaarul-Anwaar, 83/62].
Apa kepentingan taqiyyah dalam keadaan tersebut ? Apa yang ditakuti ? Apakah hal itu dilakukan hanya untuk ‘menutupi kekeliruan’ imam yang minum setelah adzan berkumandang ?.
عن الرضا أنه نهى عن قراءة المعوذتين في صلاة الفريضة، ولا بأس في النوافل، لأنها من الرقية ليستا من القرآن ادخلوها في القرآن، قال المجلسي: النهي عن قراءة المعوذتين في الفريضة محمول على التقية
Dari Ar-Ridlaa : “Bahwasannya ia melarang membaca surat Al-Mu’awwidzatain dalam shalat fardlu, namun tidak mengapa dalam shalat sunnah. Karena surat tersebut termasuk ruqyah yang bukan termasuk bagian dari Al-Qur’an, namun dimasukkan ke dalam Al-Qur’an”.
Al-Majlisiy berkata : “Larangan untuk membaca Al-Mu’awwidzatain dalam shalat fardlu dibawa pada taqiyyah” [Bihaarul-Anwaar, 85/42].
Apa urusannya taqiyyah dalam melarang membaca surat Al-Mu’awwidzatain dalam shalat fardlu ?. Apa yang ia takutkan dari ‘musuh mereka’ (yaitu Ahlus-Sunnah), padahal mereka (Ahlus-Sunnah) membolehkan membacanya dalam shalat apapun ?. Ketakutan dan kekhawatiran macam apa yang mengharuskan taqiyyah ?.
عن الصادق قال: قال الله عزوجل لموسى عليه السلام: فأخلع نعليك، لأنها كانت من جلد حمار ميت،
Dari Ash-Shaadiq, ia berkata : Allah ‘azza wa jalla berfirman kepada Musa ‘alaihis-salaam : “Lepaskan kedua sandalmu, karena ia terbuat dari (kulit) bangkai keledai”.
Al-Majlisiy berkata : “Nampak bahwa khabar dibawa padataqiyyah”. Hal yang sama dikatakan oleh Al-‘Aamiliy [Bihaarul-Anwaar oleh Al-Majlisiy 83/237 dan Wasaailusy-Syii’ah oleh Al-Hurr Al-‘Aamiliy 4/344].
Jika Pembaca merasa bingung dalam memikirkan alasan taqiyyah dalam riwayat sebelumnya, niscaya akan lebih bingung memikirkan riwayat ini. Siapakah yang menjadi subjek yang melakukan taqiyyah ?. Allah ? Musa ? atau Ash-Shaadiq ?. Seandainya itu dinisbatkan kepada Ash-Shaadiq, ancaman apa kira-kira yang membuatnya bertaqiyyah sehingga berani berdusta atas nama Allah dan Musa ?.
عن علي عليهم السلام قال : ((حرم رسول الله صلى الله عليه وآله يوم خيبر لحوم الحمر الأهلية ونكاح المتعة)).
Dari ‘Aliy ‘alaihis-salaam, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi telah mengharamkan pada hari Khaibar daging keledai kampung/jinak dan nikah mut’ah” [Tahdziibul-Ahkaam oleh Ath-Thuusiy, 7/251].
Ath-Thuusiy berkata : “Pemahaman terhadap atas riwayat ini adalah kami membawanya sebagai satu taqiyyah karena riwayat tersebut berkesesuaian dengan madzhabnya orang-orang awam (baca : Ahlus-Sunnah)” [Al-Ibtishaar 3/142 dan Tahdziibul-Ahkaam 7/251].
Jadi, dalam kasus ini, klaim taqiyyah ini semata-mata hanya karena perkataan ‘Aliy itu kebetulan cocok dengan perkataan Ahlus-Sunnah.
Taqiyah, Rukun Penting dalam Agama Syiah
Taqiyah menjadi ajaran penting dalam agama Syi’ah. Para tokoh syiah membuat berbagai riwayat dusta atas nama ahlul bait, untuk memotivasi umat Syiah agar melakukan taqiyah. Taqiyah mereka jadikan prinsip hidup yang tidak terpisahkan dalam ajaran syiah. Berikut beberapa riwayat dusta atas nama ahlul bait, tentang pentingnya Taqiyah,
Pertama, taqiyah bagian dari agama
Keterangan Al-Kulaini, tokoh syiah ini meriwayatkan dari Ja’far As-Shadiq,
التقية من ديني ودين آبائي ولا إيمان لمن لا تقية له
“Taqiyah bagian dari agamaku dan agama bapak-bapakku. Tidak ada iman bagi orang yang tidak melakukan taqiyah.”
Dia juga meriwayatkan dari Abdullah bin Ja’far,
إن تسعة أعشار الدين في التقية , ولا دين لمن لا تقية له
“Sesungguhnya sembilan persepuluh (90%) bagian agama adalah taqiyah. Tidak ada agama bagi orang yang tidak melakukan taqiyah.”
[Ushul Al-Kafi 2/217, Biharul Anwar 75/423, dan Wasail Syiah 11/460].
Kedua, taqiyah merupakan akhlak paling mulia
Keterangan At-Thusi. Dalam bukunya Al-Amali, dia meriwayatkan dari Ja’far,
ليس منا من لم يلزم التقية , ويصوننا عن سفلة الرعية
“Bukan bagian dariku, orang yang tidak menekuni taqiyah, dan tidak melindungi kami dari rakyat jelata.”
Kemudian dalam Al-Ushul Al-Ashliyah, At-Thusi juga meriwayatkan dari Imam Al-Baqir, bahwa beliau ditanya, ‘Siapakah manusia yang paling sempurna?’ Jawab Imam Al-Baqir,
أعلمهم بالتقية … وأقضاهم لحقوق إخوانه
“Orang yang paling tahu tentang taqiyah.. dan yang paling sempurna dalam menunaikan hak saudaranya.”
Juga diriwayatkan dari Al-Baqir,
أشرف أخلاق الأئمة والفاضلين من شيعتنا استعمال التقية
“Akhlak paling mulia dari para imam dan orang-orang penting dari kelompok kami adalah melakukan taqiyah.”
Kemudian, dalam kitab Al-Mahasin, dari Habib bin Basyir, dari Abu Abdillah,
لا والله ما على الأرض شيء أحب إلي من التقية، يا حبيب إنه من له تقية رفعه الله يا حبيب من لم يكن له تقية وضعه الله
“Demi Allah, tidak ada di muka bumi ini, sesuatu yang lebih aku cintai melebihi taqiyah. Wahai Habib, orang yang melakukan taqiyah, Allah akan angkat derajatnya. Wahai Habib, siapa yang tidak melakukan taqiyah, akan Allah rendahkan.”
Ketiga, taqiyah hukumnya wajib, meninggalkan taqiyah = meninggalkan shalat
Tokoh Syiah Ibnu Babawaih mengatakan,
اعتقادنا في التقية أنها واجبة من تركها بمنزلة من ترك الصلاة
“Keyakinan kami tentang taqiyah, bahwa taqiyah itu wajib. Siapa yang meninggalkan taqiyah, seperti orang yang meninggalkan shalat.” (Al-I’tiqadat, hlm. 114).
Untuk mendukung keterangannya, dia tidak malu untuk berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan menyantumkan hadis palsu,
تارك التقية كتارك الصلاة
“Orang yang meninggalkan taqiyah, sama dengan orang yang meninggalkan shalat.”
[Simak Jami’ Al-Akhbar, hlm. 110 dan Bihar Al-Anwar, 75/412]
Dalam bukunya Al-Makasib Al-Muharramah, Khomaini mengatakan,
فلا شبهة في عدم احترامهم، بل هو من ضروري المذهب كما قال المحققون، بل الناظر في الأخبار الكثيرة في الأبواب المتفرقة لا يرتاب في جواز هتكهم والوقيعة فيهم، بل الأئمة المعصومون أكثروا في الطعن واللعن عليهم، وذكر مساويهم… والظاهر منها جواز الافتراء والقذف عليهم.
“Tidak ada lagi keraguan, bahwa mereka (ahlus sunah), tidak memiliki kehormatan. Bahkan itu bagian prinsip penting dalam madzhab syiah, sebagaimana yang disampaikan ulama. Orang yang mempelajari berbagai riwayat yang banyak dalam berbagai kajian yang berbeda, tidak akan ragu tentang bolehnya merusak mereka dan menyakiti mereka. Bahkan para imam maksum, sangat sering mencela, melaknat, serta menghina mereka (ahlus sunah)….dan yang zahir, boleh membuat kedustaan dan melemparkan kedustaan kepada mereka”
[Al-Makasib Al-Muharramah, Al-Khumaini, Muassasah Ismailiyan, cet. Ketiga, 1410 H. Jilid 1, hlm. 251 – 252].
Hal yang sama juga disampaikan Al-Khou’i – salah satu tokoh syiah yang sangat membenci ahlus sunah,
… وأما هجو المخالفين أو المبدعين في الدين فلا شبهة في جوازه؛ لأنه قد تقدم في مبحث الغيبة، أن المراد بالمؤمن هو القائل بإمرة الإثني عشر (عليهم السلام)، … ومن الواضح أن ما دل على حرمة الهجو مختص بالمؤمن من الشيعة، فيخرج غيرهم عن حدود حرمة الهجو موضوعاً…. أنه قد تقتضي المصلحة الملزمة جواز بهتهم والإزراء عليهم، وذكرهم بما ليس فيهم افتضاحاً لهم، والمصلحة في ذلك استبانة شؤونهم لضعفاء المؤمنين، حتى لا يغتروا بآرائهم الخبيثة
“Menghina kaum yang menyimpang atau para pelaku bid’ah dalam agama (ahlus sunah), tidak samarnya, hukumnya boleh. Sebagaimana pembahasan ghibah yang telah lewat, bahwa yang dimaksud orang mukmin adalah mereka yang mengikuti prinsip kepemimpinan imam dua belas ‘alaihimus salam,… dan sangat jelas, dalil yang menunjukkan larangan menghina, hanya tertuju kepada orang syiah yang beriman. Sehingga tidak termasuk selain syiah, mereka di luar batas larangan penghinaan.… Berdasarkan tuntutan kemaslahatan yang kuat, boleh memfitnah mereka, melemparkan kedustaan kepada mereka, menyebutkan kesalahan yang tidak mereka lakukan, untuk mempermalukan mereka. Bentuk maslahat dalam hal ini adalah membeberkan keadaan buruk mereka, mengingat kaum muskminin (baca: Syiah) masih lemah. Sehingga syiah yang lemah iman ini tidak tertipu dengan pemikiran buruk mereka…”
[Misbah Al-Faqahah, Al-Khou’i, penerbit Al-Ilmiah, Qom, cet. Pertama, jilid 1, hlm. 700 – 701].
Allahul musta’an, seperti itulah kebencian mereka terhadap kaum muslimin. Berlindunglah kepada Allah, agar anda tidak menjadi salah satu korban kekejaman mereka.
Para Pembaca dapat lihat bagaimana praktek taqiyyah orang-orang Syi’ah. Masih banyak lagi riwayat yang dapat disebutkan, namun saya rasa sedikit contoh di atas cukup memberikan keterangan bagi mereka yang masih sehat akalnya.
NB : Kita tidak pernah menafikkan keberadaan taqiyyah, karena ia disyari’atkan dalam kondisi-kondisi tertentu. Taqiyyah menurut legalitas syari’at bermakna menyembunyikan keimanan karena tidak mampu menampakkannya ditengah-tengah orang kafir dalam rangka menjaga jiwa, kehormatan dan hartanya dari kejahatan mereka.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar