Translate

Minggu, 20 Januari 2019

Wajib Bai'at Dan Patuh Pada Pemerintah Yang Sah

Ibnu Khaldun dalam kitabnya, al-Muqadimah menyatakan,

البيعة هي العهد على الطاعة، كأن المبايع يعاهد أميره على أنه يسلم له النظر في أمر نفسه وأمور المسلمين، لا ينازغه في شيء من ذلك، ويطيعه فيما يكلفه به من الأمر على المنشط والمكره

”Bai’at adalah janji untuk taat. Seolah orang yang berbai’at itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan kepadanya segala kebijakan terkait urusan dirinya dan urusan kaum muslimin. Tanpa sedikitpun berkeinginan menentangnya. Serta taat kepada perintah pimpinan yang dibebankan kepadanya, suka maupun tidak.” (Mukadimah Ibnu Khaldun, 1/108).

Istilah baiat telah dikenal sejaka masa silam, bahkan sebelum Islam. Masyarakat memberikan baiatnya kepada masing-masing kepala kabilah mereka. Mentaati setiap perintah dan larangan pimpinan kabilah.

Baiat ialah perjanjian untuk mendengar dan taat kepada pihak yang berkuasa atas urusan kaum muslimin (ulil amri). Baiat berlaku bagi setiap orang yang berada di dalam kekuasaannya. Menjaga janji dalam baiat hukumnya wajib, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

“Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka, maka barang siapa melanggar janji, sesungguhnya dia melanggar janjinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya pahala yang besar” (QS. Al Fath: 10).

Wajib Baiat Kepada Pemerintah yang Sah

Islam sangat antuasias untuk mewujudkan persatuan umatnya. Sementara persatuan tidak mungkin terwujud, kecuali jika di sana ada satu imam yang memimpin semuanya. Karena itulah, ketika di tengah kaum muslimin ada pemimpin dan pemerintah yang sah, maka kaum muslimin diwajibkan membaiatnya.

Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allâh dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berselisih pendapat tentang suatu perkara, kembalikanlah ia kepada Allâh (Al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [An-Nisa’/4:59]

Dalam ayat ini Allâh menyebutkan kata perintah “taatilah” dalam konteks ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan ketaatan kepada Rasul-Nya, dan Allâh Azza wa Jalla tidak menyebutkan lagi kata perintah tersebut  dalam konteks ketaatan kepada ulil amri (penguasa/pemimpin).

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ، وَمَنْ يُطِعِ الأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ يَعْصِ الأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي

Barangsiapa menaatiku maka sungguh ia telah menaati Allâh. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allâh. Dan barangsiapa yang menaati pemimpin maka sungguh ia telah menaatiku. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada pemimpin, maka sungguh ia telah bermaksiat kepadaku. [HR. al-Bukhâri 2957 dan Muslim 1835]

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya (no. 1851), dari Abdullah ibn Umar radhiyallahu anhuma, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa melepas tangannya (baiatnya) dalam mentaati pemimpin, ia akan bertemu dengan Allah di hari kiamat dengan tanpa memiliki hujjah, dan barangsiapa meninggal dalam keadaan tiada baiat di pundaknya maka matinya seperti mati jahiliyah.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya mati dalam kondisi jahiliyah karena manusia yang hidup di zaman jahiliyah, mereka tidak punya pemimin satu negara. Adanya pemimpin kabilah-kabilah kecil. Sehingga peluang terjadinya peperangan antar-suku sangat besar.

An-Nawawi mengatakan,

(ميتة جاهلية) أي على صفة موتهم من حيث هم فوضى لا إمام لهم

Mati dalam keadaan jahiliyah artinya mati seperti orang jahiliyah, dimana mereka suka perang, kacau, tidak punya pemimpin tunggal. (Syarh Shahih Muslim, 12/238).

Sehingga makna hadis, orang yang tidak membaiat pemerintah yang sah, seperti orang jahiliyah. Ini sejalan dengan keteragan di hadis lain, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ، وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Siapa yang tidak mau taat, memisahkan diri dari jamaah (di bawah imam), hingga dia mati maka dia mati jahiliyah.” (HR. Muslim 1848).

Tidak disyaratkan bagi pemimpin yang dibaiat untuk menjadi pemimpin secara global bagi seluruh kaum muslimin di dunia. Bahkan tiap pemimpin yang merdeka dan menguasai suatu wilayah wajib atasnya baiat dari seluruh kaum muslimin yang menjadi tanggungannya.

Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) rahimahullah, sebagaimana dalam Ushul As Sunnah hal. 64, berkata,

والسمع والطاعة للأئمة وأمير المؤمنين البر والفاجر، ومن ولي الخلافة واجتمع الناس عليه ورضوا به ومن غلبهم بالسيف حتى صار خليفة وسمي أمير المؤمنين

“Wajib mendengar dan menaati para pemimpin dan amirul mukminin yang baik maupun yang fajir (berbuat kerusakan). Wajib pula menaati pemegang kuasa suatu kekhilafahan, dan setiap pemimpin yang disepakati oleh masyarakat, ataupun penguasa yang mengalahkan suatu wilayah dengan pedang (peperangan) hingga ia menjadi khalifah yang disebut amirul mukminin di wilayah tersebut.”

Asy-Syaukani rahimahullah berkata :

من أعظم الأدلة على وجوب نصب الأئمة، وبذل البيعة لهم: ما أخرجه أحمد، والترمذي، وابن خزيمة، وابن حبّان في صحيحه، من حديث الحارث الأشعري، بلفظ: " من مات وليس عليه إمام جماعة فإن موتته موتة جاهلية". ثم إن الصحابة لمّا مات رسول الله صلى الله عليه وسلم قدّموا أمر الإمامة ومبايعة الإمام على كل شيء؛ حتى أنهم اشتغـلوا بذلك عن تجهيزه صلى الله عليه وسلم

”Dalil yang teragung tentang wajibnya mengangkat imam dan memberikan baiat kepadanya adalah : Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dari hadits Al-Haarits Al-Asy’ary dengan lafadh : ”Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak mempunyai imam jama’ah, maka matinya seperti mati jahiliyyah”. Maka para shahabat, ketika Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat, meraka mendahulukan perkara imamah dan baiat kepada seorang imam di atas segalanya; sampai-sampai mereka sibuk dalam urusan ini daripada mengurus jenazah beliaushallallaahu ’alaihi wasallam” [As-Sailul-Jarar 4/504].

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata :

طريقها- أي: البيعة- : أن يجتمع جماعة من أهل الحل والعقد، فيعقدون له البيعة .. وأن المعتبر هو وقوع البيعة له – الإمام – من أهل الحل والعقد، فإنها هي الأمر الذي يجب بعده الطاعة ويثبت به الولاية، وتَحرُم معه المخالفة. وقد قامت على ذلك الأدلة وثبتت به الحجة.

......وليس من شرط ثبوت الإمامة: أن يبايعه كل من يصلح للمبايعة، ولا من شرط الطاعة على الرجل أن يكون من جملة المبايعين؛ فإن الاشتراط في الأمرين مردود بإجماع المسلمين أوّلهم وآخرهم، سابقهم ولا حقهم

”Caranya – yaitu bai’at – adalah sekelompok Ahlul-Halli wa-’Aqdi berkumpul, lalu mereka mengikat bai’at kepada seseorang (yang dipilih menjadi imam)..... Dan sesungguhnya yang diakui adalah dibai’atnya seseorang – yaitu imam – oleh Ahlul-Halli wal-’Aqdi, karena setelah adanya pembaiatan tersebut akan terikat kewajiban untuk taat, ber-wala’ (loyalitas), dan haram untuk menyelisihinya/menentangnya. Telah tegak perkara ini berdasarkan dalil dan hujjah yang kuat..... Bukanlah menjadi syarat sahnya imamah agar setiap orang yang pantas berbaiat untuk berbaiat. Bukan pula syarat ketaatan terhadap seseorang (yaitu imam) dengan melihat jumlah orang yang membaiat. Karena menurut ijma’ ulama terdahulu dan sekarang, dua persyaratan tersebut adalah tertolak” [As-Sailul-Jarar 4/511,513].

Terkadang ada orang yang berkata : ”Sesungguhnya baiat itu tidak boleh dilakukan kecuali kepada seorang imam yang memimpin seluruh umat Islam seperti yang terjadi di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan Khalifah Rasyidah”.

Maka kita jawab – wabillahit-taufiq – untuk membantah syubhat tersebut dengan penjelasan yang kuat dari Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah :

إذا كانت الإمامة الإسلامية مختصة بواحد، والأمور راجعة إليه، مربوطة به ، كما كان في أيام الصحابة والتابعين وتابعيهم؛ فحكم الشرع في الثاني الذي جاء بعد ثبوت ولاية الأول : أن يقتل إذا لم يتب عن المنازعة.

وأما بعد انتشار الإسلام، واتساع رقعته، وتباعد أطرافه؛ فمعلوم أنه قد صار في كل قطر أو أقطار الولاية إلى إمام أو سلطان، وفي القطر الآخر أو الأقطار كذلك، ولا ينفذ لبعضهم أمر ولا نهي في قطر الآخر وأقطاره التي رجعت إلى ولايته؛ فلا بأس بتعدد الأئمة والسلاطين، ويجب الطاعة لكل واحد منهم بعد البيعة له على أهل القطر الذي ينفذ فيه أوامره و نواهيه؛ وكذلك صاحب القطر الآخر، فإذا قام من ينازعه في القطر الذي قد ثبتت فيه ولا يته ، وبايعه أهله، كان الحكم فيه: أن يقتل إذا لم يتب؛ ولا تجب على أهل القطر الآخر طاعته، ولا الدخول تحت ولايته لتباعد الأقطار.

فاعرف هذا؛ فإنه المناسب للقواعد الشرعية، والمطابق لما تدل عليه الأدلة، ودع عنك ما يقال في مخالفته، فإن الفرق بين ما كانت عليه الولاية الإسلامية في أول الإسلام، وما هي عليه الآن أوضح من شمس النهار، ومن أنكر هـذا فهو مباهت، لا يستحق أن يخاطب بالحجة لأنه لا يعلقها

”Apabila keimamahan Islam dikhususkan untuk satu orang, semua perkara dikembalikan kepadanya, dan terikat melaluinya sebagaimana terjadi di jaman shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in; maka menurut syari’at Islam, imam yang kedua – setelah adanya imam yang pertama – harus dibunuh, bila ia tidak mau bertaubat atas penentangannya.

Adapun setelah tersebarnya Islam dan luasnya dunia Islam serta tempat-tempat saling berjauhan; maka telah dimaklumi bahwa setiap daerah/negara membutuhkan seorang imam atau sulthan dan mereka (penduduknya) tidak perlu melaksanakan perintah dan larangan (peraturan-peraturan) yang berlaku di daerah/negara lain. Maka berbilangnya imam dan penguasa (yang berlainan daerah kekuasaannya) adalah tidak apa-apa. Setelah dibaiatnya seorang imam, maka wajib bagi setiap orang yang berada di bawah daerah kekuasaannya untuk mentaatinya, yaitu dengan melaksanakan perintah dan larangan-larangannya. Seperti itu pula negara-negara yang lainnya. Apabila ada orang yang menentang/menyelisihi (imam/sulthan) di dalam suatu negara yang kekuasaan telah dipegangnya dan penduduk telah membaiatnya, maka hukuman bagi orang tersebut adalah dibunuh bila tidak mau bertaubat. Akan tetapi tidak wajib bagi penduduk negara lainnya untuk mentaatinya dan masuk di bawah kekuasannya; karena saling berjauhan kekuasannya.

Maka pahamilah perkara ini, karena sesungguhnya hal ini sesuai dengan kaidah-kaidah syari’at dan bersesuaian dengan dalil. Dan tinggalkanlah pendapat yang menyelisihinya. Sesungguhnya perbedaan antara daerah kekuasaan pada awal permulaan Islam dengan yang ada sekarang ini adalah lebih jelas/terang daripada matahari di siang hari. Maka orang yang mengingkari masalah ini berarti seorang pendusta, ia tidak perlu diajak bicara dengan hujjah karena ia tidak memahaminya” [selesai dengan peringkasan, As-Sailul-Jaraar 4/512].

Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 1844) meriwayatkan dari Abdullah ibn Amr ibn Al Ash dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,

وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ

“Barangsiapa telah membai’at seorang imam lalu dia telah memberikan jabatan tangan dan kerelaan hatinya, maka hendaknya dia taat kepadanya dalam batas kemampuannya. Jika datang seorang yang mengaku pemimpin lainnya, maka penggallah leher yang lain itu.”

Karena itulah umat diperintah untuk mendengar dan taat kepada pemimpin, baik ketika suka atau tidak suka, mendahulukan perkataannya ketika terjadi perselisihan dalam perkara ijtihad- sebagaimana akan datang penjelasannya-, bersabar atas kezalimannya, diharamkan keluar dari ketaatan kepadanya meski dia seorang yang fasik (pendosa). Semua ini tidak dilakukan kecuali karena ada manfaat umum yang akan kembali kepada umat itu sendiri. Dan manfaat umum harus lebih didahulukan daripada manfaat khusus, baik manfaat khusus untuk pemimpin itu sendiri, maupun manfaat khusus untuk sebagian anggota masyarakat.

Inilah yang nampak jelas dari pokok ajaran syariat Islam, yaitu tidak mungkin maslahat satu orang atau beberapa orang lebih didahulukan daripada maslahat umat secara keseluruhan. Bahkan di antara kaidah yang telah baku dalam agama Islam bahwa maslahat umum lebih didahulukan daripada maslahat khusus.

Imam asy-Syâthibi rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya maslahat umum lebih didahulukan daripada maslahat khusus, dengan dalil terlarangnya mencegat barang dagangan dan terlarangnya orang kota menjualkan barang orang pedalaman… yang mana hal itu mengharuskan kita lebih didahulukannya maslahat umum daripada maslahat khusus, dengan tidak memudaratkan (merugikan) yang khusus.”

Oleh karena itu, tampak jelas bahwa manfaat mendengar dan taat kepada pemimpin akan kembali kepada umat itu sendiri. Dengannya urusan agama menjadi tegak dan keadaan dunia menjadi baik. Sementara, keluar dari ketaatan (membangkang) kepada pemimpin pada hakikatnya bukanlah kerugian untuk pemimpin -sebagaimana sangkaan sebagian orang – akan tetapi, sejatinya itu adalah kejahatan kepada umat dan menelantarkan maslahat agama dan dunia mereka.

Umar bin Khatthâb Radhiyallahu anhu berkata, “Islam tidak akan tegak kecuali dengan jamaah, dan jamaah tidak akan tegak kecuali dengan pemimpin, sedangkan pemimpin tidak akan tegak kecuali dengan ketaatan kepadanya.”

Dan al-Afwah al-Audi berkata:

لَا يَصلُحُ النَّاسُ فَوْضَى لَا سَرَاةَ لَهُمْ   وَلَا سَرَاةَ إِذَا جُهَّالَهُمْ سَادُوا

Manusia tidak akan menjadi baik bahkan akan kacau tanpa pemimpin
Dan dianggap tidak ada pemimpin jika orang-orang bodoh mereka yang memimpin.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar