Translate

Sabtu, 31 Maret 2018

Perjuangan Tumenggung Surapati

Perang Banjar berlangsung dalam tiga wilayah yaitu Martapura dan sekitarnya, wilayah Banua Lima (Hulu Sungai) dan wilayah sepanjang sungai Barito (Tanah Dusun). Tumenggung Surapati setia kepada kepemimpinan Pangeran Antasari selaku pemimpin tertinggi di Kesultanan Banjarpasca ditangkapnya Pangeran Hidayatullah yang kemudian diasingkan ke Cianjur.

Tumenggung Surapati anak dari Ngabe Lada bin Ngabe Tuha. Ngabe Tuha merupakan wakil Sultan Banjar di kalangan suku Bakumpai. Ngabe (ngabehi) adalah salah satu gelar pejabat kepala wilayah di kesultanan Banjar. Ngabe Tuha mungkin salah seorang anak dari Patih Darta Suta. Menurut suatu riwayat Patih Darta Suta memiliki lima orang anak yaitu Ngabe Tuha, Ngabe Tumpang, Ngabe Basirun, Ngabe Basunga, dan seorang anak perempuan bernama Jimah. Setelah wafatnya Tumenggung Surapati karena sakit, perjuangannya diteruskan oleh anaknya yaitu Tumeng igung Ajidan (Jidan). Seorang cucu perempuan dari Pangeran Antasari menikah dengan Tumenggung Ajidan, karena pernikahan tersebut Tumenggung Ajidan dianugerahkan gelar bangsawan Raden Dipati Mangku Negara.

Siasat yang dijalankan oleh Tumenggung Surapati dengan cara menyanggupi permintaan Belanda untuk membantu menangkap Pangeran Antasari. Setelah mengadakan perundingan diatas kapal Onsurt pada bulan Desember 1859, Tumenggung Surapati dengan anak buahnya berbalik menyerang tentara Belanda yang berada di atas kapal tersebut, kemudian merebuat senjata dan menenggelamkannya. Benteng pertahanan Tumenggung Surapati di Lambang mendapat serangan dari Belanda dalam bulan Februari 1860. Serbuan yang kuat dari pasukan Belanda menyebabkan Tumenggung Surapati meninggalkan bentang tersebut.

Pada tanggal 25 September 1864 Tumenggung Surapati beserta pengikutnya menyerang benteng Belanda di Muara Teweh dan membunuh dua orang penjaga benteng. Karena kejadian ini, pada bulan Maret 1865 di Muara Teweh didirikan pertahanan yang berkekuatan 4 orang opsir, 75 serdadu yang dilengkapi dengan meriam 2 pon dan 2 mortir. Tumenggung Surapati mencoba menyerang benteng di Muara Teweh itu pada akhir tahun 1865, tetapi karena kekuatan pertahanan Belanda di situ cukup besar, usahanya tidak berhasil. Ia kemudian bergerak bersama pasukannya menuju Sungai Kawatan. Pada tanggal 1 November 1865 satu pasuakn Belanda bergerak sampai di Kuala Baru untuk memutuskan jalan-jalan yang menuju ke tempat-tempat pihak pejuang di kawatan. Sementara itu, pasukan Belanda yang lain pada hari berikutnya berhasil mendaki Kawatan.

Pasukan Surapati yang berada di benteng Kawatan menembaki dengan meriam perahu-perahu Belanda yang mencoba mendekati benteng tersebut. Dalam pertempuran yang terjadi pasukan Surapati menderita kekalahan sehingga mengundurkan diri.

Peranan Temunggung Surapati

Tumenggung Surapati adalah seorang putera suku Dayak Siang dilahirkan dilembah Sungai Kahayan, sekarang termasuk wilayah Kalimantan Tengah. Sebagai seorang kepala suku, dia terkenal dengan gelar Kiai Tumenggung Pati Jaya Raja. Tumenggung Surapati berjuang bersama-sama Pangeran Antasari dan dibantu oleh tokoh-tokoh pejuang lainnya seperti Tumenggung Singapati, Tumenggung Kartapati,Tumenggung Mangkusari dalam perang Barito untuk menghancurkan kekuasaan kolonialisme Belanda di daerah itu. Merekalah tokoh-tokoh pejuang yang menggerakkan rakyat Barito melawan Belanda dalam Perang Barito (1865-1905).

Tumenggung Surapati dengan anak buahnya suku Dayak Siang telah memeluk agama Islam. Kedua tokoh pimpinan perjuangan ini diikat dalam hubungan kekeluargaan dengan mengawinkan putera Tumenggung Surapati yang bernama Tumenggung Jidan dengan cucu Pangeran Antasari. Tumenggung Surapati dengan anak buahnya bersama Pangeran Antasari telah mengangkat sumpah bersama-sama berjuang menghalau penjajah Belanda. Mereka akan berjuang tanpa pamrih dan tanpa kompromi dengan tekad : Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing. Belanda berusaha dengan segala taktik liciknya untuk memikat hati Tumenggung Surapati agar Tumenggung ini tidak melakukan perlawanan terhadap Belanda dan bersedia membantu Belanda untuk menangkap Pangeran Antasari. Tumenggung Surapati sebagaimana suku Dayak lainnya sangat setia pada sumpah yang telah diucapkannya dan apapun yang akan terjadi mereka tidak akan menghianati sumpah tersebut. Siasat licik Belanda akan dibalas dengan siasat licik pula, dimikian tekad Tumenggung Surapati dengan anak buahnya. Belanda mempunyai keyakinan bahwa siasatnya berhasil apalagi Tumenggung Surapati telah bersahabat dengan Belanda sebelumnya. Tumenggung Surapati pernah menjamu dengan segala kebesaran dan penuh keramahan terhadap rombongan Civiel Gezaghebber dan Komandan Serdadu Marabahan Letnan I. Bangert dan stuurman kapal Cipanas JJ. Meyer pada tahun 1857 dua tahun sebelum terjadinya Perang Banjar. Persahabatan dengan Belanda ini menimbulkan kebencian yang mendalam di hati Tumenggung Surapati setelah serdadu Belanda membakar rumah dan kebun rakyat yang tidak berdosa setelah terjadi Perang Banjar. Kebaikan hati Belanda hanya tipu muslihat untuk memikat rakyat agar berpihak pada penjajah. Perang Barito terjadi di sepanjang Sungai Barito dan sekitarnya. Perang ini merupakan bukti kebencian seluruh rakyat dalam wilayah Kerajaan Banjar terhadap penjajah Belanda.

Setelah Pangeran Antasari meninggal, perjuangan dilanjutkan dengan pimpinan Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari dibantu Anak-anak Tumenggung Surapati dan pimpinan lainnya. Mereka membangun sebuah Pagustian atau pemerintahan terdiri dari gusti-gusti (bangsawan Banjar) yang terletak di Gunung Bondang, sebelah udik sungai Lawung, Puruk Cahu. Pagustian ini dibantu oleh Gusti Mat Said, Raden Mas Natawijaya, Muhammad Nasir dan lainnya. Dua tahun berturut-turut yaitu tahun 1864 dan 1865 Tumenggung Surapati menyerang benteng Belanda di Muara Teweh sehingga seluruh isi benteng itu musnah. Begitu pula Benteng Belanda di Muara Montalat dihancurkan oleh suatu serangan Tumenggung Surapati. Untuk menghadapi serangan Tumenggung Surapati ini Belanda bersama orang Dayak Sihong(suku Maanyan) yang selama ini membantu Belanda di bawah pimpinan kepala sukunya Suta Ono dan di sisi ([suku dayak ngaju]) kepala sukunya adalah Temanggung Nikodemus Ambo Jaya Negara (kepala distrik Kwala Kapoeas) membantu Belanda memadamkan perlawanan temanggung surapati. Karena jasa-jasanya terhadap Belanda Suta Ono diberi pangkat Overste (Letnan Kolonel) dan diberi penghormatan bintang Singa Belanda adalah pengahargaan tertinggi atas keberanian. Dayak Sihong ini terkenal pemberani, dan tetap memiliki ketetapan hati kepada agama leluhur yang dianutnya yaitu Kaharingan. Tumenggung Surapati dalam perlawanannya selalu berpindah-pindah dan selama bertahun-tahun dia bertempur melawan Belanda di sepanjang Sungai Barito. Kadang-kadang dia muncul di hilir Barito di sekitar Distrik Bakumpai, tetapi sebentar lagi ada di hulu Barito di sekitar Manawing, sehingga sangat membingungkan pihak Belanda. Berbagai muslihat dilakukan pihak Belanda untuk menangkap Tumenggung Surapati hidup atau mati, tetapi selalu gagal. Pertempuran dan perjuangan yang bertahun-tahun melawan Belanda melemahkan fisiknya yang memang sudah tua dan akhirnya jatuh sakit, meskipun semangat juangnya tidak pernah mundur. Setelah menderita sakit yang agak lama pada tahun 1875 Tumenggung Surapati meninggal dunia sebagai pahlawan, meninggal karena sakit. Tumenggung Ajidan putera Tumenggung Surapati meneruskan perjuangan ayahnya bersama-sama Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari. Kalau keluarga Sultan Muhammad Seman yang tertangkap dibuang ke Bogor (Jawa Barat) maka keluarga Tumenggung Surapati yang tertangkap dibuang ke Bengkulu,Sumatera

Orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda:

Antasari dengan anak-anaknya
Demang Lehman
Amin Oellah
Soero Patty dengan anak-anaknya
Kiai Djaya Lalana
Goseti Kassan dengan anak-anaknya

Senin, 26 Maret 2018

Legenda Pangeran Situbondo

Berdasarkan Legenda Pangeran Situbondo, nama Kabupaten Situbondo berasal dan narna Pangeran Situbondo atau Pangeran Aryo Gajah Situbondo, dimana sepengetahuan masyarakat Situbondo bahwa Pangeran Situbondo tidak pernah menampakkan diri, hal tersebut dikarenakan keberadaannya di Kabupaten Situbondo kemungkinan sudah dalam keadaan meninggal dunia akibat kekalahan pertarungannya dengan Joko Jumput, sehingga hanya ditandai dengan ditemukannya sebuah ‘odheng’ (ikat kepala) Pangeran Situbondo yang ditemukan di wilayah Kelurahan Patokan dan sekarang dijadikan Ibukota Kabupaten Situbondo.Sedangkan menurut pemeo yang berkembang di masyarakat, arti kata SITUBONDO berasal dan kata : SITI = tanah dan BONDO ikat, hal tersebut dikaitkan dengan suatu keyakinan bahwa orang pendatang akan diikat untuk menetap di tanah Situbondo, Kenyataan mendekati kebenaran karna banyak orang pendatang yang akhirnya menetap di Kabupaten Situbondo.

Legenda Pangeran Situbondo

Pangeran Situbondo Hendak Mempersunting Purbawati

Alkisah Purbawati, putri Adipati Jayengrana Surabaya tengah gelisah karena hendak dilamar oleh Pangeran Situbondo atau Pangeran Aryo Gajah Situbondo berasal dari Madura, seorang pangeran Madura, putra Adipati Cakraningrat. Putri Purbawati ingin menolak lamaran Pangeran Situbondo karena telah mencintai Jaka Taruna dari Kadipaten Kediri. Tapi untuk menolak lamaran Pangeran Sirubondo ia merasa tidak enak mengingat hubungan persahabatan ayahnya dengan ayah Pangeran Situbondo terjalin sangat baik. Ia khawatir akan terjadi permusuhan antara Surabaya dan Madura.

Pangeran Situbondo berlayar dari Madura menuju Surabaya untuk melamar Purbawati. Tidak lama kemudian, Pangeran Situbondo tiba di Surabaya. Ia segera menemui Purbawati. Adipati Jayengrana menyerahkan sepenuhnya keputusan pernikahan pada Purbawati. Karena merasa kebingungan, Purbawati akhirnya memberikan syarat sangat berat pada Pangeran Situbondo jika ingin mempersuntingnya. Ia memberikan syarat agar pangeran Situbondo membuka hutan di wilayah Surabaya yang terkenal sangat angker. Ia beralasan, hutan tersebut dibuka agar bisa menjadi tempat tinggal mereka dan keturunan mereka.

Meskipun syaratnya sangat berat, tapi Pangeran Situbondo menyanggupinya. Ia segera masuk ke dalam hutan Surabaya angker tersebut dan mulai bekerja membuka hutan. Dengan kesaktiannya, Pangeran Situbondo merasa yakin dapat membuka hutan tersebut dengan mudah.

Saat Pangeran Situbondo tengah membuka hutan, datanglah Pangeran Jaka Taruna ke Surabaya. Ia merasa kaget ketika mengetahui bahwa Pangeran dari Madura tengah membuka hutan sebagai syarat mempersunting Purbawati. Demi cintanya, Jaka Taruna segera menemui Adipati Jayengrana. Ia mengatakan bahwa ia telah lama menjalin kasih dengan Purbawati. Jaka Taruna menyatakan ingin mempersunting Purbawati.

Adipati Jayengrana menjadi bingung. Ia menyesalkan mengapa Jaka Taruna terlambat melamar Purbawati. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Adipati Jayengrana selain menyerahkan masalah tersebut sepenuhnya kepada putrinya, Purbawati.

Purbawati lantas meminta Pangeran Jaka Taruna yang ia cintai untuk ikut membuka hutan sebagai syarat mempersuntingnya.

Pangeran Jaka Taruna Berduel Dengan Pangeran Situbondo

Jaka Taruna segera pergi ke hutan Surabaya untuk ikut membukanya. Ia membuka hutan di lokasi berdekatan dengan hutan tempat Pangeran Situbondo. Ketika keduanya bertemu, Pangeran Situbondo bertanya sedang apa ia di hutan tersebut. Pangeran Jaka Taruna mengatakan bahwa ia tengah membuka hutan sebagai syarat menikahi Purbawati.

Mendengar jawaban Jaka Taruna, Pangeran Situbondo sangat marah. Ia langsung menyerang Jaka Taruna. Keduanya lantas bertarung sengit mengerahkan segala kesaktian masing-masing. Ternyata kesaktian Situbondo jauh di atas kesaktian Jaka Taruna. Tidak lama kemudian Situbondo mampu memukul Jaka Taruna hingga tubuh Jaka Taruna terpental jauh. Tubuh Jaka Taruna tersangkut di atas pohon. Situbondo kemudian pergi dari tempat itu meninggalkan Jata Taruna begitu saja.

Jaka Taruna berteriak-teriak minta tolong karena ia tidak mampu melepaskan diri dari pohon. Namun hutan angker tersebut sangat jarang dilewati manusia sehingga tidak ada seorang pun mendengarnya. Beberapa lama kemudian ada seorang pemuda bernama Jaka Jumput mendengar teriakan Jaka Taruna. Ia kemudian mendekati Jaka Taruna dan menanyakan apa yang telah terjadi. Jaka Taruna kemudian menceritakan hal yang menimpanya. Setelah Jaka Jumput menolongnya melepaskan dari pohon, Jaka Taruna meminta bantuannya untuk mengalahkan Pangeran Situbondo. Ia berjanji jika Jaka Jumput mampu mengalahkan Situbondo, ia akan mengabulkan apapun permintaan Jaka Jumput.

Situbondo Dikalahkan Jaka Jumput

Jaka Jumput menyatakan kesediannya untuk mengalahkan Situbondo. Ia segera mencari Situbondo untuk menantang duel. Setelah ia bertemu Situbondo, ia langsung menantang duel. Situbondo merasa marah karena ditantang duel oleh orang yang baru ia kenal. Mereka berdua langsung bertempur, mengerahkan segala kesaktiannya, sementara Jaka Taruna hanya menonton dari kejauhan.

Setelah sekian lama adu kesaktian, Situbondo mulai terlihat kelelahan. Ternyata Jaka Jumput merupakan pemuda tangguh dan sakti mandraguna. Situbondo akhirnya merasa tidak sanggup melawan Jaka Jumput. Ia kemudian melarikan diri ke wilayah timur Kadipaten Surabaya. Wilayah tersebut di kemudian hari diberi nama Situbondo, sesuai dengan nama Pangeran Situbondo.

Jaka Taruna Berbohong

Melihat Pangeran Situbondo kalah, Pangeran Jaka Taruna segera pergi menemui Adipati Jayengrana dan Purbawati. Ia mengatakan bahwa Situbondo telah kalah bertarung dan lari ke timur. “Paman Adipati, Hamba telah berhasil mengalahkan Pangeran Situbondo. Ia telah lari ke wilayah timur dan tidak akan kembali. Oleh karenanya izinkanlah hamba mempersunting Purbawati.” kata Pangeran Jaka Taruna.

Tapi tidak lama kemudian datanglah Jaka Jumput di Kadipaten Surabaya menemui Pangeran Jaka Taruna. Saat mengetahui bahwa Pangeran Jaka Taruna mengaku-ngaku telah mengalahkan Pangeran Situbondo, Jaka Jumput merasa geram. Ia segera menemui Adipati Jayengrana dan mengatakan bahwa Pangeran Jaka Taruna telah berbohong. “Mohon maaf atas kelancangan hamba, Adipati Jayengrana. Pangeran Jaka Taruna telah membohongi Kanjeng Adipati. Hamba telah mengalahkan Pangeran Situbondo, bukan Jaka Taruna.” kata Jaka Jumput.

Pangeran Jaka Taruna berang dengan pengakuan Jaka Jumput. Ia membantah telah berbohong pada Adipati Jayengrana. “Jangan percaya dia Kanjeng Adipati. Akulah yang telah mengalahkan Pangeran Situbondo. Jangan percaya orang yang baru dikenal.” kata Pangeran Jaka Taruna.

Adipati Jayengrana terperanjat dengan pengakuan Jaka Jumput. Ia merasa bingung dengan keadaan ini. Ia lantas meminta bukti pada Jaka Taruna dan Jaka Jumput bahwa mereka telah mengalahkan Pangeran Situbondo. “Jika memang salah satu diantara kalian benar-benar telah mengalahkan Pangeran Situbondo, apa buktinya?” tanya Adipati Jayengrana.

Jaka Jumput kemudian mengeluarkan sebilah keris milik Pangeran Situbondo, kemudian menyerahkannya pada Adipati Jayengrana. “Ini adalah keris milik Pangeran Situbondo, Kanjeng Adipati. Ini adalah bukti bahwa hamba telah mengalahkan Situbondo, bukan Jaka Taruna.” kata Jaka Jumput. Sedangkan Jaka Taruna tidak memiliki bukti apapun. Ia hanya terdiam.

“Memang benar ini adalah keris milik Pangeran Situbondo.” kata Adipati Jayengrana. “Lantas mana bukti yang kau miliki hai Jaka Taruna?” tanya Adipati pada Jaka Taruna.

Jaka Taruna Berubah Menjadi Patung Joko Dolog

Pangeran Jaka Taruna hanya terdiam. Ia merasa malu karena kebohongannya terbongkar dengan kedatangan Jaka Jumput. Karena merasa tidak terima, ia lalu menantang Jaka Jumput untuk berduel. “Kenapa Kanjeng percaya pada orang yang baru dikenal? Saya menantang Jaka Jumput berduel. Kita buktikan siapa lebih kuat diantara kita berdua.”

“Baiklah, Siapa diantara kalian memenangkan pertarungan maka ia boleh mempersunting putriku, Purbawati.” kata Adipati Jayengrana.

Pangeran Jaka Taruna kemudian berduel dengan Jaka Jumput. Keduanya mengerahkan kesaktian milik mereka. Jaka Taruna menggunakan keris pusakanya sementara Jaka Jumput menggunakan senjata cambuk yang ia beri nama Kyai Gembolo Geni. Awalnya pertarungan berjalan seimbang namun lambat laun Jaka Taruna terlihat tidak mampu mengimbangi kesaktian Jaka Jumput. Sampai akhirnya cambuk Jaka Jumput mengenai tubuhnya, sehingga membuat Pangeran Jaka Taruna terjatuh dan tergeletak di tanah tidak berdaya.

“Jaka Taruna, mengapa engkau berani membohongiku. Aku kecewa denganmu.” kata Adipati Jayerngrana.

Pangeran Jaka Taruna hanya diam tergeletak di tanah. Tubuhnya lemah seusai bertarung. Ia juga sangat malu.

“Mengapa engkau tidak menjawab pertanyaanku hai Jaka Taruna? Mengapa sekarang engkau hanya diam seperti patung?” Adipati Jayengrana merasa jengkel.

Tidak lama kemudian terjadi sebuah keanehan, tubuh Pangeran Jaka Taruna berubah menjadi sebuah patung. Ucapan Adipati Jayengrana menjadi sebuah kutukan. Di kemudian hari, patung Pangeran Jaka Taruna dinamakan Joko Dolog.

Sabtu, 24 Maret 2018

SEJARAH KANJENG JIMAT PACITAN

Makam Kanjeng Jimat (Kyai Djoyoniman)  berada di Desa Tanjungsari, Kecamatan Pacitan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Tepatnya berada di sebuah pemakaman bernama Giri Sampoerno. Kanjeng Jimat dikenal sebagai tumenggung, penjuang, dan penyebar agama Islam di Pacitan.

Pemakaman Giri Sampoerno sangat mudah dijangkau dan sangat dekat dengan pusat kota, hanya sekira 2 - 3 kilometer dari pusat kota. Puluhan anak tangga yang semakin menanjak mengantar hingga sampai ke pemakaman. Rimbunnya pepohonan di sekitar pemakaman tak lantas membuat pemakaman itu terlihat kotor. Bahkan sebaliknya, pemakaman tersebut sangat terawat rapi dan bersih.

Di pintu masuk makam Kanjeng Jimat, terdapat pintu ukir sangat menarik dan indah. Di dalam rumah makamnya terdapat makam Kanjeng Jiman beserta istri yang berdampingan. Lalu di sebelah kanan dan kirinya terdapat makam putra dan putri dari Kanjeng Jimat, lalu ada makam para kerabat Kanjeng Jimat yang tidak disebutkan namanya.

Asal usul Nama Pacitan

Terdapat minimal dua versi mengenai asal usul nama Pacitan. Versi pertama, Pacitan berasal dari kata “Pace Sak Pengetan” yang diberikan oleh Pangeran Mangkubumi saat menyingkir ke daerah Wengker Kidul karena terdesak musuh. Saat itu sedang terjadi perang gerilya 1747-1749 (Perang Palihan Nagari (1746-1755) )melawan VOC Belanda, Pangeran Mangkubumi mengalami kekalahan, beliau disertai 12 orang pengikutnya mundur keselatan sambil mencari dukungan untuk membantu perjuangan. Tanggal 25 Desember 1749 rombongan tersebut lemah lunglai, dan atas bantuan setroketipo beliau diberi sebuah minuman yaitu buah pace yang telah direndam dengan legen buah kelapa, dan seketika itu juga kekuatan Pangeran Mangkubumi pulih kembali. Daerah itu diingat dengan pace sapengetan dan dalam pembicaraan keseharian sering disingkat dengan pace-tan lalu menjadilah sebuah nama kabupaten Pacitan.

Setelah Pangeran Mangkubumi menjadi Hamenku Buwono I beliau memenuhi janjinya kepada para pengikutnya yang ketika itu ikut bergerilya. Setroketipo diangkat menjadi Bupati Pacitan ke-2 setelah sebelumnya dijabat oleh Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo. Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo sebelumnya diangkat juga oleh  Pangeran Mangkubumi pada tanggal 17 Januari 1750 setelah beliau banyak membantu Pangeran Mangkubumi ketika bergerilya didaerah pacitan. Ketika itu Ngabehi Suromarto menjabat demang Nanggungan dan ketika diangkat bupati bergelar Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo.

Versi yang lain mengatakan bahwa Pacitan berasal dari kata pacitan yg berarti makanan kecil, camilan, snack yang tidak mengenyangkan. Ada yang mengkaitkan ini dengan kondisi Pacitan saat itu sebagai daerah minus sehingga sumber daya alam yang ada tidak mencukupi atau tidak mengenyangkan warga yang tinggal di tempat tersebut.

Ada fakta yang menarik bahwa nama Pacitan ternyata telah muncul jauh sebelum terjadi perang gerilya Pangeran Mangkubumi. Nama Pacitan telah disebut-sebut dalam Babad Momana yang dibuat pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645).

Nama-nama Pejabat Bupati Pacitan

1745-1750 : R.T.Notopoero (Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo).
1750-1757 : R.T.Notopoero (Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo).
1757- : R.T.Soerjonegoro I
1757-1812 : R.T.Setrowidjojo I (Setroketipo)
1812- : R.T.Setrowidjojo II ((3 bulan) R.M Lantjoer)
1812-1826 : M.T.Djogokarjo I (Jayaniman)
1826- : M.T.Djogonegoro (Mas Sumadiwiryo)
1826-1850 : M.T.Djogokarjo II (Mas Karyodipuro)
1850-1864 : R.T. Djogokarjo III (Mas Purbohadikaryo)
1866-1879 : R.Adipati Martohadinegoro (Raden Mas Cokrodipuro)
1879-1906 : R.T Martohadiwinoto (Mas Ngabehi Martohadiwinata)
1906-1933 : R.Adipati Harjo Tjokronegoro I (R.T. Cokrohadijoyo)
1933-1937 : kosong (pemerintahan sehari-hari oleh Patih Raden Prawirohadiwiryo)
1937-1942 : R.T.Soerjo Hadijokro (bupati terakhir masa pemerintahan Belanda)
1943- : Soekardiman
1944-1945 : MR.Soesanto Tirtoprodjo
1945-1946 : R.Soewondo
1946-1948 : Hoetomo
1948-1950 : Soebekti Poesponoto
1950-1956 : R.Anggris Joedoediprodjo
1956-1960 : R. Soekijoen Sastro Hadisewojo(bupati)
1957-1958 : R.Broto Miseno (Kepala Daerah Swantara II)
1958-1960 : Ali Moertadlo (Kepala Daerah)
1960-1964 : R.Katamsi Pringgodigdo
1964-1969 : Tedjosumarta
1969-1980 : R.Moch Koesnan
1980-1985 : Imam Hanafi
1985-1990 : H.Mochtar Abdul Kadir
1990-1995 : H. Soedjito
1995-2000 : Sutjipto. Hs
2000-2005 : H. Soetrisno
2005-2010: H. Sujono (meninggal sebelum selesai masa jabatan digantikan wakilnya: H.G. Soedibjo yang memerintah 34 hari)
2011- sekarang: Drs. H. Indartato, MM

Pacitan Zaman Ki Buwono Keling

Sejarah Pacitan umumnya ditulis berawal dari kedatangan Ki Buwana Keling, salah satu utusan Raja Brawijaya ke daerah di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah ini, pada abad ke XII M. Menurut silsilah, asal usul KI Ageng Buwana Keling adalah putra Pejajaran yang di kawinkan dengan salah satu putri Brawijaya V yang bernama putri Togati. setelah menjadi menantu Majapahit maka KI Ageng Buwana Keling mendapat hadiah tanah di pesisir selatan dan di haruskan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. Pusat pemerintahan Negeri Buwana Keling terletak di ± 7 km dari ibukota Pacitan sekarang (Jati Kec. Kebonagung) yang disebut daerah wengker kidul atau daerah pesisir selatan. KI Ageng Buwana Keling berputra tunggal bernama Raden Purbengkoro yang setelah tua bernama KI Ageng Bana Keling.

Keberadaan Ki Ageng Buwana Keling ini dikuatkan dengan prasasti jawa kuno yang diduga dibuat pada abad XV yang menyebutkan bahwa Ki Ageng Buwono Keling merupakan penguasa di daerah wengker kidul.

 PRASASTI JAWA KUNO

 JA PURA PURAKSARA ERESTHA

 BHUWANA KELING ABHIYANA

 JUWANA SIDDHIM SAMAGANAYA

 BHIJNA TABHA MINIGVAZAH

 RATNA KARA PRAMANANTU

Artinya : dahulu ada seorang pendekar ternama bernama buwono keling yang telah mencapai kesempurnaan, dalam ilmu kebathinan dan kekebalan. Seorang guru diantara orang bijaksana dan beliau inilah yang menjadi perintis dan pemakrarsa daerah sekitarnya.

Versi lain menyatakan bahwa Ki Ageng Buwono Keling ini adalah saudara seperguruan Ki Tunggul Wulung, salah seorang kepercayaan Prabu Brawijaya V. Ceritanya dimulai pada saat menjelang kemunduran Kerajaan Majapahit di masa pemerintahan Prabu Brawijaya V yang menikah dengan puteri dari China. Dalam kepercayaan kala itu siapa saja wangsa Jawa yang menikahi puteri China dia akan mengalami kekalahan dalam segala hal. Prabu Brawijaya V menyadari hal tersebut, beliau kemudian menyiapkan seseorang untuk berjaga-jaga bila huru-hara benar-benar terjadi. Seseorang yang dipersiapkan tersebut ialah Ki Tunggul Wulung. Brawijaya V menyuruh Ki Tunggul Wulung untuk bersemedi di Gunung Lawu.

Di saat itulah Agama Islam masuk ke tanah Jawa lewat daerah pesisir utara Pulau Jawa, karena tidak ingin masuk Islam ketiga saudara Ki Tunggul Wulung yaitu Ki Brayut, Ki Buwono Keling dan Ki Tiyoso (mereka berempat bukan saudara kandung melainkan saudara satu perguruan) melarikan diri ke daerah selatan sesuai dengan petunjuk gurunya, “Berjalanlah selama 40 hari dan setelah mencapai tempat yang tinggi lihatlah kearah bawah bila kalian melihat tempat yang datar, tempat itulah yang dinamakan “Alas Wengker Kidul”.  Seampainya di Wengker Kidul perjalanan mereka dibagi menjadi  tiga yaitu, Ki Buwono Keling lewat sebelah utara, Ki Tiyoso lewat pesisir selatan dan Ki Brayut lewat tengah hutan.

Saat kemudain Majapahit benar-benar mengalami huru-hara besar dan Ki Tunggul Wulung  turun gunung, ternyata beliau tidak bisa memadamkan huru-hara tersebut. Kemudian Ki tunggul Wulung memutuskan untuk mencari ketiga saudara seperguruannya dengan meminta petunjuk dari Sang Guru namun Sang Guru dalam keadaan kritis dan dalam hembusan  nafas terakhirnya ia berpesan untuk menggali makam dengan tongkatnya.

Setelah peristiwa tersebut Ki Tunggul Wulung mencari ketiga saudaranya dan sampailah di tempat yang dinamakan Astono Genthong, dari situ ia melihat gunung yang berjajar empat (kelak terkenal dengan sebutan Gunung Limo, tetapi tidak terlihat sebagai lima gunung bila dilihat dari Astono Genthong ). Kemudian ia mempunyai firasat bila saudaranya berada di gugusan gunung tersebut, namun sesampainya di gunung tersebut ia tidak bertemu saudaranya.

Dikisahkan bahwa akhirnya Kyai Tunggul Wulung membuka lahan atau babad alas disekitar lereng gunung Limo. Salah satu dari gugusan gunung yang berjumlah lima merupakan tempat untuk bertapa atau bersemedi. Untuk mencapai lokasi pertapaan harus melewati banyak rintangan seperti tangga (ondo rante) selain itu kita harus menembus hutan lebat, tebing yang terjal serta Selo Matangkep.

Selo Matangkep adalah sebuah celah sempit diantara batu besar yang hanya cukup dilewati sebadan orang saja, dipintu masuk Selo Matangkep tersebut dipercaya apabila ada pengunjung yang berniat jahat maka ia tidak akan bisa melewatinya, sementara itu bagi yang berniat baik untuk berkunjung ke pertapaan kendati ia berbadan besar maupun kecil akan bisa melewatinya.

Berakhirnya Masa Ki Ageng Buwana Keling dan Masuknya Islam di Pacitan

Kegoncangan masyarakat Wengker Kidul dibawah pemerintahan Ki Ageng Buwana Keling di Pesisir selatan terjadi setelah datangnya Muballigh Islam dari kerajaan Demak Bintara, yang di pimpin oleh Ki Ageng Petung (R. Jaka Deleg /Kyai Geseng), KI Ageng Posong (R. Jaka Puring Mas/KI Ampok Boyo ) dan sahabat mereka Syekh Maulana Maghribi. Yang meminta KI Ageng Buwana Keling beserta semua rakyat di wengker selatan untuk mengikuti atau memeluk ajaran Islam.

Namun setelah KI Ageng Buwana Keling menolak dengan keras dan tetap tidak menganut agama baru yaitu agama Islam, maka tanpa dapat dikendalikan lagi terjadilah peperangan antara kedua belah pihak. Peperangan antara penganut agama Hindu yang dipimpin oleh Ki Ageng Buwana Keling dengan penganut agama Islam yang dipimpin oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi memakan waktu yang cukup lama , karena kedua belah pihak, memang terdiri dari orang-orang sakti. Namun akhirnya dengan keuletan dan kepandaian serta kesaktian para muballigh tersebut peperangan itu dapat dimenangkan Ki Ageng Petung dan pengikut-pengikutnya setelah dibantu oleh prajurit dari Adipati Ponorogo yang pada waktu itu bernama Raden Betoro Katong (Putra Brawijaya V). Dalam legenda sering disebutkan bahwa Ki Ageng Buwana Keling ini adalah seorang yang sakti mandraguna. Beliau tidak bisa mati meesski dibunuh berkali-kali berkat ajian yang beliau miliki yakni “Pancasona”. Akhirnya ditemukan juga kelemahan beliau. Ki Ageng Buwono Keling dibunuh kemudian dipotong menjadi tiga bagain kemudian jenazahnya dimakamkan di tiga lokasi yang berbeda dimana masing-masing dipisahkan oleh sungai.

Kanjeng Jimat

Kyai Jayaniman adalah seorang kyai yang saat sebelum beliau menjadi pemimpin tertinggi di Pacitan hanyalah seorang modin di Kampung Tanjungsari. Itupun karena beliau diambil anak angkat oleh Tumenggung Setrowijoyo I, sembari memperdalam ilmu keislamannya di Tanjungsari. Setelah beliau jadi modin di Tanjung, beliau diangkat menjadi Ngabehi di Arjowinangun, dan pada puncaknya, setelah Tumenggung Setrowijoyo I meninggal dunia, dan digantikan oleh Tumenggung Setrowijiyo II.

Dan pada akhirnya diketahui bahwa Tumenggung Setrwoijoyo II yang sakit – sakitan dan juga kurang piawai menjalankan roda pemerintahan, akhirnya digantikan oleh Kyai Jayaniman, atau kemudian disebut dengan Kyai Kanjeng Jimat. Saat Kyai Djayaniman menjadi Tumenggung, beliau berganti nama menjadi Tumenggung Jokokaryo I.

Sementara kata jimat yang tersemat di nama beliau yang artinya barang keramat yang diberikan kepada Djayaniman berawal dari tugas yang diberikan Pangeran Diponegoro kepada Djayaniman untuk bisa menjaga gedung yang berisi barang keramat .

Kyai Djayaniman secara fisik adalah seorang pemimpin sejati, berperawakan tinggi besar, kuning, dan berwatak keras, dan saat itu usianya baru sekitar 40 tahun. Dalam perjalanan Kyai Kanjeng Jimat atau Tumenggung Jogokaryo I memimpin Pacitan, beliau ini adalah sosok yang sederhana dan penganut Islam yang taat. Salah satu terobosan beliau saat emnjadi Bupati adalah pembangunan Pacitan beraroma keislaman adalah salah satu cita-citanya.

Karena itu pun ketika Kyai Kanjeng Jimat meninggal dunia, dia mewasiatkan untuk dikubur di atas bukit yang berhadapan dengan kota Pacitan. Seperti di Giri Sampoerna sekarang. Dari lokasi makam Kanjeng Jimat, kota Pacitan, berikut hamparan Pantai laut Selatan Teleng Ria terlihat jelas. Meski di sana bersemayam tokoh besar Pacitan, namun makam seluas 8×10 meter itu tergolong sederhana. Tidak ada ornamen khas Pacitan yang terukir di sana. Hanya bangunan rumah yang berdampingan dengan mushola Kanjeng Jimat.

Kyai Djayaniman memiliki beberapa cerita yang menguatkan strategi kepemimpinan beliau, seperti tentang kekuatan lobinya saat pada waktu itu Belanda menguasai tanah Pacitan untuk menjadikan kebun, juga beberapa anaknya yang mewariskan jiwa kepemimpinan beliau, seperti Tumenggung Djogonagoro dan Tumenggung Djogokaryo II yang meruapakan anak – anak kandung Kyai Djayaniman.

Kamis, 22 Maret 2018

Perjuangan Wong Agung Wilis Melawan VOC

Masyarakat Banyuwangi yang dalam konteks kesejarahan dikenal dengan masyarakat Blambangan, memiliki banyak tokoh local yang tercatat berjuang dan berkorban melawan penjajah VOC dan Hindia Belanda. Salah satu tokoh local yang eksist berjuang melawan VOC dan Belanda adalah Pangeran Wilis atau dikenal Wong Agung Wilis.

Mempelajari tokoh local sejarah seringkali menjadi pelajaran yang tidak menarik bagi sebagian generasi muda sekarang. Mengetahui perjuangan tokoh local daerah  dianggap tidak memiliki peranan penting bagi masa depan generasi muda sekarang. Sering kali tokoh local hanya menjadi obrolan dikalangan orang tua saja, generasi muda lebih senang membicarakan tokoh-tokoh superhero yang berasal dari luar negeri dibandingkan membicarakan tokoh local daerah yang telah berkorban dan berjasa di daerahnya.

Untuk membangun daerah diperlukan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Sumber daya alam diperoleh dari kekayaan alam sedangkan sumber daya manusia diperoleh dari kekayaan nilai-nilai dan karakter unggul yang dapat dijadikan sebagai modal untuk membangun daerahnya. Salah satu nilai dan karakter yang dibutuhkan sebagai modal pembangunan adalah nilai dan karakter kepahlawanan.

Kurangnya pengetahuan terhadap nilai-nilai kepahlawanan tokoh local ini, menyebabkan hilangnya nilai-nilai keteladanan yang dapat dicontoh dari para pahlawan kita sendiri. Tidak adanya nilai-nilai keteladanan ini menyebabkan lunturnya nilai cinta tanah air (patriotisme) dan hilangnya nilai kebangsaan (nasionalisme) dikalangan generasi muda.

Namanya adalah Mas Sirna, saat menjadi Patih Amangkubhumi (Perdana Menteri) Blambangan dia bergelar Wong Agung Wilis, dan setelah turun dari jabatannya dia dikenal sebagai Mas Sirna Wibhawa. Dia menjabat sebagai Perdana Menteri Blambangan antara 1736-1760 dan selanjutnya menjadi raja Blambangan antara tahun 1764-1778.Ayahnya bernama Pangeran Mas Sepuh/Prabu Danurejo (1736-1763) dan ibunya adalah Mas Ayu Kabakaba.

Mas Sirna adalah putra dari Pangeran Danureja, penguasa Blambangan saat itu. Ibunya adalah seorang putri dari Kerajaan Mengwi, Bali. Ibu Mas Sirna bukanlah permaisuri dari Pangeran Danureja. Pernikahan keduanya terjadi karena motif politik agar kerjasama antara Blambangan dan Bali dapat terjalin kuat untuk mengatasi ancaman dari luar daerah.

Permaisuri Pangeran Danureja sendiri adalah putri dari Untung Surapati. Pernikahan Pangeran Danureja dengan permaisuri dianugerahi 3 putri dan seorang putra bernama Mas Noyang (Pangeran Danuningrat) yang nantinya akan mewarisi takhta Blambangan. Oleh karena memiliki ibu yang bukan permaisuri, Mas Sirna banyak hidup di luar istana.

Ada sumber yang menyebutkan bahwa ia tinggal di lereng Gunung Raung. Hal ini memberikan pengaruh besar kepada Mas Sirna, menyebabkannya peka terhadap masalah rakyat kecil. Pada saat dewasa ia hijrah ke Bali, ikut pamannya yang bernama Ki Gusti Ngurah Ketut Kaba-Kaba. Tidak ada riwayat mengenai dengan siapa ia menikah, namun ia memiliki enam orang putra yakni Serutadi, Kencling, Tunjung, Berud, Suratman (Surawijaya) dan Mas Ayu Prabu.

Kembali Ke Blambangan

Kerajaan Blambangan adalah sebuah kerajaan di ujung timur Pulau Jawa yang dalam pelaksanaan pemerintahannya banyak dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan di Bali. Hal ini terjadi saat pihak dari Kerajaan Mengwi melantik Mas Noyang atau Mas Nuweng menjadi penguasa Blambangan bergelar Pangeran Danuningrat menggantikan ayahnya Pangeran Danureja. Kerajaan Mengwi juga melantik Mas Sirna menjadi patih bergelar Pangeran Wong Agung Wilis atau lebih dikenal dengan Pangeran Wilis. Sejak saat inilah nama Wong Agung Wilis dipakai.

Jabatan patih ini tidak terlalu lama karena terjadi konflik internal dalam kerajaan. Seorang punggawa istana yang juga sepupu dari Pangeran Danuningrat bernama Mas Tepasana menyebar isu bahwa Pangeran Wong Agung Wilis akan mengkudeta Pangeran Danuningrat sebagai penguasa Blambangan. Keluarga kerajaan mempercayai ini sehingga Wong Agung Wilis dipecat dari jabatannya dari patih Blambangan dan kedudukannya digantikan oleh Sutajiwa yang merupakan putra Pangeran Danuningrat. Wong Agung Wilis lalu pergi mengembara hingga mencapai Pantai Lampon, Desa Sanggar, Gunung Dogong dan Gunung Tumpangpitu yang mana daerah-daerah ini pada masa kini berada dalam wilayah Kecamatan Pesanggaran.

Meskipun telah dipecat Wong Agung Wilis tetap menghargai Pangeran Danuningrat sebagai penguasa Blambangan. Pangeran Danuningrat lalu meminta Wong Agung Wilis kembali untuk menumpas perompak Bugis di daerah bernama Bang Pakem.

Perlawanan Terhadap VOC

Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur ( termasuk Blambangan ) diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC, VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya. Namun untuk sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan, yang baru akan dikelola sewaktu-waktu, kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat memina bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke Blambangan.

Namun barulah setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi ( yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang terjadi pada tahun 1767-1772 ( 5 tahun ) itu, VOC memang berusaha untuk merebut seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.

Perjuangan Wong Agung Wilis tercatat dalam dua  peperangan besar yaitu  Perang Ulungpangpang (13 Mei 1768) dan perang Kutha-Latheng (18 Mei 1768). Perlawanan Wong Agung Wilis ini adalah perlawanan terhadap VOC ( 1767-1768) yang ingin menangkap Wong Agung Wilis sebagai pemimpin perlawanan terhadap VOC.

Karena kesuburan dan kekayaan Blambangan telah diketahui oleh VOC sebelum mereka menguasainya, maka sebenarnya VOC telah memiliki rencana untuk menguasai Blambangan namun rencana ini terkendala oleh beberapa faktor seperti Blambangan jauh dari pusat pemerintahan dan ikatan pernikahan politik yang terjadi di antara Blambangan dan Bali membuat hubungan mereka menjadi kuat. Namun akhirnya sikap ascribed status VOC yang meyakini secara sepihak bahwa Blambangan telah dikuasai oleh mereka melatarbelakangi perlawanan terhadap VOC di Blambangan.

Pada tahun 1767, sekembalinya dari Bali. Wong Agung Wilis diangkat menjadi penguasa Blambangan oleh VOC. Ia membiarkan dirinya diangkat oleh VOC karena telah merencanakan siasat untuk menarik simpati VOC dan jika pasukan telah terhimpun maka akan dilakukan perlawanan. Ia memanfaatkan jabatannya ini untuk menjalin hubungan dengan para bekel (kepala desa) agar perannya dalam hal ini dirahasiakan dan memerintahkan agar pasukan segera dihimpun, serta memerintahkan agar penyerangan ke loji-loji Belanda dilakukan secara bertahap.  Ia juga kerap melakukan penyamaran sebagai pemburu untuk mendistribusikan sejumlah uang dan senjata-senjata buatan Inggris kepada para pasukannya.

Pada 30 September 1767 ia mulai menghimpun kekuatan untuk melawan VOC yang mulai menduduki Blambangan. Silsilah keturunan yang dimilikinya mempermudah dalam penghimpunan kekuatan ini. Ia mendapat bantuan kekuatan dari orang-orang Inggris (yang memang bersaing dengan VOC dalam hal perdagangan di Jawa), orang Tiongkok, orang Madura dan orang Bugis yang tinggal di Blambangan.  Ia juga mendapat dukungan dari Bupati Malayakusuma (cucu Untung Surapati) dari Malang dan dari Kerajaan Mengwi, dimana kerajaan tersebut mengutus perwakilannya yaitu Purbakara dan Mas Ularan.

Perang Wilis

Pada Oktober 1767, Wong Agung Wilis mengumpulkan pasukannya di Ulupampang. Disana ia membagi wilayah pertempuran menjadi dua bagian. Sebagian dipimpin oleh Mas Rempeg (Pangeran Jagapati) dan sebagian lagi dipimpin oleh Wong Agung Wilis sendiri.

Pihak VOC mendengar penghimpunan pasukan ini. Maka dari itu VOC melakukan beberapa langkah untuk meredam perlawanan. Gubernur Pantai Timur Jawa, Johannes Vos mengirim surat pada 20 Oktober 1767 kepada Cakradiningrat V (penguasa Madura) yang berisi permintaan bala bantuan pasukan ke Blambangan. Lalu datanglah 1000 orang dari laskar Madura-Bangkalan, 200 orang Madura, 500 orang Probolinggo dan sejumlah tentara Eropa ke Blambangan dengan menempuh jalur darat. Sebelumnya, pada Maret 1767 dilakukan ekspedisi pertama pasukan gabungan VOC ke Blambangan. Selain menambah pasukan, VOC juga melakukan politik pecah belah (devide et impera) di Blambangan dengan membagi Blambangan menjadi dua bagian yakni Blambangan Timur yang dipimpin Bupati Mas Bagus Anom dan Patih Sutanegara dan Blambangan Barat yang dipimpin Bupati Mas Uno bersama Patih Wasengsari. Tujuan dari pemecahan ini adalah untuk mempermudah VOC untuk menangkap Wong Agung Wilis beserta pengikutnya dengan bantuan orang-orang pribumi. Persiapan lain yang dilakukan VOC adalah mengamankan Selat Bali dari pengaruh Inggris dan Bali yang mendukung perlawanan Wong Agung Wilis.

Perlawanan ini dimulai saat Wong Agung Wilis sebagai penguasa Blambangan mengabaikan perintah untuk menghadap Gubernur Johannes Vos untuk meberikan laporan tentang pendirian benteng di Banyualit dan menentang kehadiran VOC di Blambangan. Maka seketika itu keluarlah perintah penangkapan Wong Agung Wilis yang dikomandoi oleh seorang komandan VOC bernama Adrianus van Rijke. Pada 2 Maret 1768, saat akan memulai operasi penangkapan Wong Agung Wilis, van Rijke bersama pasukannya malah dikepung oleh pasukan Wong Agung Wilis di Benteng Banyualit. VOC dibuat pusing kembali dengan membelotnya penguasa boneka kembar Blambangan, Mas Anom dan Mas Weka dari VOC dan bergabung pada pihak Wong Agung Wilis.

Pengepungan di Benteng Banyualit ini tidak bertahan lama karena kalahnya persenjataan pasukan Wong Agung Wilis yang hanya senjata-senjata lama buatan Inggris sedangkan pasukan VOC menggunakan meriam. Sebab lain Gagalnya perebutan Benteng Banyualit disebabkan oleh datangnya bala bantuan pasukan untuk VOC yang dipimpin oleh komandan J.E. Corp Everard A. Groen. Pasukan Wong Agung Wilis dapat dipukul mundur ke Ulupampang oleh pasukan VOC pimpinan Groen. Pada 13 Mei 1768 VOC berhasil merebut Ulupampang dan menahan para pedagang Tiongkok dan Bugis yang membantu perlawanan Wong Agung Wilis. Pasukan Wong Agung Wilis yang kehilangan sumber logistik mundur lagi hingga ke Kutha Lateng.

Pertempuran kemudian terjadi di sana pada 18 Mei 1768 dan perlawanan ini secara total dapat dipatahkan oleh VOC. Kutha Lateng dibakar rata dan Wong Agung Wilis berhasil melarikan diri ke Blimbingsari.

Akhir Perlawanan Dan Wafatnya

Setelah perlawanan ini bisa dipatahkan oleh VOC, Mas Weka lalu memberitahukan tempat persembunyian Wong Agung Wilis di Blimbingsari. Mas Weka memberitahukan hal ini dengan tujuan agar memperoleh pengampunan dari VOC dan bisa kembali menjadi penguasa Blambangan.

Akibat pengkhianatan Mas Weka ini Wong Agung Wilis berhasil ditangkap dan diasingkan. Semula VOC merencanakan untuk mengasingkan Wong Agung Wilis ke Tanjung Harapan Baik, Afrika Selatan. Namun dikarenakan pertimbangan biaya yang mahal akhirnya Wong Agung Wilis beserta sekitar 22 pengikutnya termasuk Mas Weka, Mas Anom, Prabu Djaka dan Bupati Ngantang (daerah di dekat Gunung Kelud) dikirim ke Pulau Banda, Maluku.

Namun berkat bantuan para pengikutnya dan masyarakat Pulau Banda yang bersimpati kepada Wong Agung Wilis, ia akhirnya bisa lolos dari Penjara Rosingain (tempatnya diasingkan) dan lari ke Pulau Seram dan kemudian berlayar ke Bali. Sesampainya di Bali, ia tidak melanjutkan perjuangan. Meskipun keturunan-keturunan dan pengikut-pengikutnya (Seperti Pangeran Jagapati yang terkenal pada Perang Puputan Bayu pada tahun 1773) tetap berjuang melawan VOC walau tidak berhasil. Ia meninggal di Mengwi pada 1780 karena usia yang sangat lanjut.

Perjuangan Pangeran Jagapati Di Blambangan

Bayu merupakan bagian dari wilayah Blambangan yang sekarang masuk dalam daerah administratif Kecamatan Songgon Kabupaten Banyuwangi. Sebuah kawasan hutan sekitar 20 km arah barat daya kota Banyuwangi. Peperangan tersebut dikobarkan dan dipimpin oleh seorang tokoh yang bernama Mas Rempeg yang gugur di medan tempur.

Pangeran Jagapati (lahir dengan nama Mas Rempeg, ada juga yang menyebut Rempeg Jagapati; lahir di Pakis, Blambangan, 1740-an hingga 1750-an - Meninggal di Bayu, Blambangan, 19 Desember 1771) adalah pemimpin Perang Bayu atau yang juga dikenal dengan Pemberontakan Jagapati saat VOC mulai menduduki Blambangan.

Mas Rempeg adalah putra dari Mas Bagus Dalem Wiraguna atau Mas Bagus Puri dan istri selirnya yang berasal dari Pakis. Silsilahnya merujuk langsung ke Raja Blambangan yang termasyhur yakni Prabu Susuhunan Tawangalun yang merupakan kakek dari Mas Bagus Puri. Mas Bagus Puri sendiri adalah putra dari Mas Dalem Wiraguna yang merupakan putra Prabu Tawangalun dari jalur selir. Mas Bagus Puri juga memiliki beberapa keturunan bersama permaisurinya yakni Mas Suratman, Mas Alit (Temenggung Wiraguna I, Bupati Banyuwangi pertama), Mas Talib (Temenggung Wiraguna II, Bupati Banyuwangi kedua), Mas Ayu Nawangsari, Mas Ayu Rahinten dan Mas Ayu Patih.

Karena berasal dari putri selir, membuatnya tidak tinggal di dalam kadipaten melainkan bersama ibunya di Pakis. Selama itu pula ia menjalani hidup seperti orang biasa, bebas menempa diri tanpa proteksi dan pemanjaan kebangsawanan. Maka saat Mas Bagus Puri bersama putra-putri, istri dan juga Pangeran Danuningrat (Raja Blambangan saat itu) dibawa ke Mengwi, Mas Rempeg tidak diikutsertaan, karena anak dari jalur selir kala itu dianggap tidak penting.

Mas Rempeg pernah bekerja untuk Bapa Samila sebagai abdi dalem. Bapa Samila seseorang yang memiliki hubungan dekat Temenggung Jaksanegara yang merupakan Regen/Bupati Blambangan Timur yang ditunjuk Belanda. Selain itu dalam rangka mempelajari agama, ia berguru kepada seseorang bernama Bapa Rapa.

Karena menjadi orang biasa inilah, Mas Rempeg akrab dengan tindakan Belanda yang melakukan patroli ke seluruh pelosok Blambangan untuk menyita bahan makanan, pembakaran bahan makanan yang tidak mampu diangkut Belanda, pemaksaan kepada petani untuk menanam padi lalu kemudian setelah panen disita pula dan perintah kerja paksa kepada rakyat tanpa diberi makanan sedikitpun, sehingga banyak yang melarikan diri ke hutan. Sehingga ia tergerak untuk melakukan suatu pemberontakan.

Peran Dalam Peperangan

Perang Wilis

Saat Pemberontakan yang dilakukan oleh Wong Agung Wilis melawan VOC pecah pada tahun 1768, Mas Rempeg berperan sebagai mantri muka (bawahan langsung) Wong Agung Wilis. Ia terlibat di beberapa pertempuran baik di Banyualit, Ulupangpang dan Kutha Lateng. Saat Pasukan Wong Agung Wilis kalah di tiga pertempuran tersebut dan Wong Agung Wilis akhirnya ditangkap dan diasingkan, Mas Rempeg terus melanjutkan perjuangannya hingga pecahnya Perang Bayu.

Perang Bayu
Latar Belakang Terjadinya Perang Bayu

Pada tahun 1743 secara sepihak terjadi perjanjian antara Paku Buwana dengan Gubernur Jendral Van Imhoff di Surakarta yang isinya Paku Buwana melepaskan “haknya” di Jawa sebelah timur dari Pasuruan, yang sebenarnya Belanda sendiri menyadari bahwa yang merasa melepaskan haknya itu sebenarnya tak pernah berkuasa secara sungguh-sungguh atas daerah tersebut dan penguasa daerah itu menolak untuk tunduk patuh. Berdasarkan perjanjian ini berarti Blambangan telah menjadi wilayah kekuasaan Belanda. Sementara di Blambangan, Mengwi telah mengambil alih kekuasaan dengan menempatkan Gusti Kuta Beda dan Gusti Ketut Kabakaba sebagai penguasa.

Orang Inggris yang sejak lama melakukan perdagangan di Ulupampang mengadakan kerja sama dengan Mengwi dengan konsesi memberikan ijin kepada pihak Inggris untuk mendirikan kantor dagang. Ulupampang menjadi daerah perdagangan yang sibuk. Agresifitas perdagangan Inggris di Blambangan akhirnya mencemaskan VOC, ditambah keamanan yang kacau di jalur tepi laut Jawa yang menjadi jalan utama perdagangan VOC, mendorong Johanes Vos, gubernur VOC di Semarang mengeluarkan perintah tanggal 12 Agustus 1766 agar mengadakan patroli di Selat Bali dan sekitarnya. Pemerintah Belanda di Batavia memutuskan untuk menangkapi kapal-kapal Inggris dan elemen-elemen lain yang tidak disukai serta mengambil tindakan-tindakan pengamanan terhadap batas-batas wilayah yang dianggap miliknya.

Keadaan di Blambangan yang genting tak terkendalikan menjadikan VOC mengirimkan ekspedisi militer besar-besaran di bawah pimpinan Erdwijn Blanke terdiri atas 335 serdadu Eropa, 3000 laskar Madura dan Pasuruhan, 25 kapal besar dan sejumlah yang kecil lainnya. Tanggal 20 Pebruari 1767, ekspedisi Belanda berkumpul di pelabuhan Kuanyar Madura. Pada tanggal 27 Pebruari 1767 Panarukan diduduki dan didirikan benteng. Pada tanggal 11 Maret pasukan inti di bawah komandan dari Semarang Erdwijn Blanke bergerak melalui darat sepanjang pantai. Tanggal 23 Maret 1767 ekspedisi Belanda tiba di Banyualit. Pertempuran meletus. Ratusan laskar Blambangan pimpinan Gusti Kuta Beda terbunuh. VOC menguasai benteng di Banyualit. Selat Bali mulai dari Meneng sampai Grajagan diblokir.

Mas Anom dan Mas Weka memperoleh kesempatan memberontak terhadap penguasa Bali Gusti Ketut Kabakaba dan Gusti Kuta Beda. Mas Anom memberontak karena pemimpin Bali tersebut menjalankan kekuasaan di Blambangan secara tidak simpatik dan menimbulkan rasa benci rakyat. Orang-orang Bali dibantu orang-orang Bugis dan Mandar melakukan penyerangan terhadap orang-orang Blambangan di bawah pimpinan Mas Anom dan Mas Weka di Logenta yang berakhir dengan kemenangan Mas Anom. Kuta Beda ditawan dan dibunuh. Ketut Kabakaba melarikan diri ke Ulupampang. Ia beserta keluarga dan pengikutnya yang terdesak, melakukan puputan dan akhirnya Kutha Bedhah beserta semua pengikutnya terbunuh. Mas Anom dan Mas Weka diangkat menjadi regen (bupati) pertama di Blambangan. Namun tidak berapa lama ia membelot dan mendukung perjuangan Wong Agung Wilis. Wong Agung Wilis terlibat peperangan di Ulupampang, benteng VOC di Banyualit, namun akhirnya ia kalah di Kuta Lateng pada tanggal 18 Mei 1768.

Setelah Blambangan dikuasai, VOC mengangkat Suta Nagara dengan patih Sura Teruna dan Wangsengsari dengan patih Jaksanegara sebagai regen. Untuk memutuskan hubungan dengan Bali, bupati “dwitunggal” itu diajak memeluk agama Islam. Taktik VOC soal agama ini tidak berpengaruh apa-apa terhadap orang Blambangan. Mereka tidak menaruh perhatian agama apa yang dipeluk pemimpin. Yang mereka inginkan hanya hidup merdeka tanpa dirampas oleh orang-orang asing. Mereka memang anti Jawa, ingatan tentang pengrusakan atas negeri mereka, atas kekejaman yang diperlakukan atas mereka dan atas pengiriman-pengiriman orang-orang Blamba-ngan oleh raja-raja Jawa, masih dalam ingatan mereka yang membeku menjadi rasa benci. Sikap ini di kemudian hari terbukti saat orang-orang Blambangan menolak keras pengangkatan Kertawijaya, patih Surabaya menjadi bupati Blambangan.

Mayor Colmond menggantikan Coop a Groen, sebagai komandan tertinggi pasukan VOC Belanda di Blambangan. Ia adalah sosok penjajah yang berwatak keras. Tindakan-tindakannya yang keras terhadap penduduk menyebabkan kesengsaraan di mana-mana. Rakyat hidup tertekan baik secara sosial maupun ekonomi. Untuk keperluan Belanda ia berpatroli ke pelosok-pelosok kampung untuk menyita semua beras simpanan dan hasil panen, serta bahan makanan lainnya dan mengangkutnya. Dan apabila tidak dapat diangkut, dia menyuruh membakarnya. Kemudian dia menyuruh rakyat menanam padi kembali dengan perintah yang sangat memaksa. Setelah panen, jerih payah penduduk itupun disita lagi. Selain itu Colmond menekan penduduk untuk kerja paksa membangun dan memperkuat benteng VOC di Ulupampang dan Kota Lateng. Memerintahkan mereka membuat jalan-jalan, membersihkan pepohonan yang ada di antara laut dan benteng di Ulupampang. Membuat penangkis air dalam membangun pos pengintaian di Gunung Ikan (yaitu jazirah yang menutupi Teluk Pangpang). Tetapi ia tidak menyediakan makanan bagi rakyat yang bekerja dengan kelaparan dan kekurangan dan kesengsaraan penyakit. Kelaparan, serba kekurangan, penyakit, jumlah kematian yang tinggi, pelarian ke hutan adalah akibat dari tindakan-tindakan tersebut. Keadaan inilah yang menyebabkan bupati Suta Nagara dan Wangsengsari serta Patih Sura Teruna mengajak Gusti Agung Menguwi untuk menyerang Kompeni. Sebelum penyerangan terjadi, ketiga orang tersebut dibuang ke Ceylon (Srilangka).

Keadaan tambah parah ketika penetrasi VOC semakin berat, misalnya setiap bekel (lurah) harus menyerahkan dua ekor kerbau. Selain itu VOC menuntut 3,5 gulden kepada setiap kepala keluarga, dan harus diserahkan setiap tahun. Sesuatu yang sangat berat di tengah sedikitnya waktu untuk pergi ke sawah dan ladang karena kewajiban kerja paksa tanpa upah dan makan.

Tindakan Belanda tersebut menyebabkan munculnya kebencian di mana-mana. Rakyat dalam keadaan sengsara dan kekurangan. Belanda melakukan segala hal untuk tindakan penjajahannya baik secara ekonomi, sosial maupun politik. Termasuk tindakan yang diambil kepada Suta Negara dan Wangsengsari dan Sura Teruna.

Kedudukan Belanda yang kuat, kemudian membentuk pemerintahan baru di Blambangan dengan bupati Jaksanegara bekas patihnya Wangsengsari, satu-satunya orang yang masih setia kepada Kompeni. Tetapi pengangkatan Jaksanegara ini tidak disukai oleh Gubernur Vos yang menginginkan bupati di Blambangan harus orang yang cakap dan berpengalaman. Blambangan yang merupakan daerah konflik, memerlukan bupati yang mampu mengendalikan rakyat. Maka ditunjuklah Kertawijaya dari Surabaya sebagai bupati di Blambangan.. Namun tidak lama kemudian pergolakan muncul, karena rakyat Blambangan bersikap keras untuk tidak menerima seorang Jawa sebagai bupatinya. Setelah kejadian itu Jaksanegara tetap menjadi bupati tunggal di Blambangan. Ternyata pengangkatan Jaksanegara inipun tidak memuaskan rakyat. Rakyat tidak menyukai pemimpin yang takluk kepada Kompeni. Rakyat menuntut agar Suta Nagara yang dibuang dipulangkan kembali.

Penetrasi VOC yang sedemikian keras mengakibatkan rakyat memilih untuk menyingkir ke hutan. Tempat yang paling banyak menampung pengungsian itu adalah dusun Bayu. Sebuah tempat yang subur di lereng Gunung Raung sebelah barat Songgon dan Derwana. Di Bayu berkumpul para penentang Belanda di bawah pimpinan Mas Rempek yang didukung oleh para guru atau ajar yaitu Bapa Rapa, Bapa Endha dan Bapa Larat. Rakyat yang miskin yang tak punya harapan-harapan lagi, bersatu dalam tekad yang besar melawan Belanda.

Ketika kebijakan VOC sudah sangat menyengsarakan warga, gelombang warga yang melarikan diri semakin besar. Mereka lalu memilih Bayu sebagai tempat berlindung. Begitu juga dengan Mas Rempeg, ia lalu datang ke Bayu bersama seorang bekel (lurah) dari Kutha Lateng.

Ia lalu mengatur strategi untuk menggempur VOC dengan kekuatan pusat di Bayu. Bayu lalu dijadikannya negara dengan membangun benteng yang dipagari batang pohon yang diletakkan rapat-rapat (palisada). Jalur logistik juga disiapkan, seperti lumbung beras di Tomogoro dan Gambiran, dan pedagang-pedagang yang menjual bahan makanan yang bersiaga di wilayah Pantai Selatan, tepatnya di Nusa Barung. Selain itu, langkahnya itu didukung oleh para bekel dari 62 desa yang terdiri dari 25 desa di bagian barat, 14 desa di wilayah selatan, 9 desa di wilayah timur dan 2 desa di sebelah utara. Kemudian menyusul dukungan dari 12 bekel lainnya.

Nama desa dan lurahnya sebagaimana disebutkan dalam Babad Bayu pupuh vi 11-20 sebagai berikut:
Desa Dhadhap (Kidang Wulung), Rewah-Sanji (Kidang Wulung), Suba/Kuwu (Kidang Wulung), Songgon (Ki Sapi Gemarang), Tulah (Ki Lempu Putih), Kadhu (Ki Sidamarga), Derwana (Ki Kendit Mimang), Mumbul (Ki Rujak Sentul), Tembelang (Ki Lembupasangan), Bareng (Ki Kuda Kedhapan), Balungbang (Ki Sumur Gumuling), Lemahbang (Ki Suranata), Gitik (Ki Rujak Watu), Banglor (Ki Suragati), Labancina (Ki Rujak Sinte), Kabat (Ki Pandholan), Kapongpongan (Ki Kamengan), Welaran ( Ki Jeladri), Tambong (Ki Reksa), Bayalangun (Ki Sukanandi), Desa Penataban (Ki Singadulan), Majarata (Ki Maesandanu), Cungking (Ki Jangkrik Suthil), Jelun (Ki Lembu Singa), Banjar (Ki Bakul). Itulah nama-nama desa di Banglor. Sedang desa bagian selatan adalah: Desa Pegambuiran (Ki Serandil), Ngandong (Ki Seja), Cendana (Ki Kebo Waleri), Kebakan (Ki Kebo Waluratu), Cekar (Ki Gundol), Desa Gagenteng (Ki Kudha Serati), Kadhal (Ki Jaran Sukah), Sembulung (Ki Gagak Sitra), Jajar (Ki Gajah Anguli), Benculuk (Ki Macan Jingga), Pelancahan (Ki Butangerik), Keradenan (Ki Jala Sutra), Gelintang (Ki Maesagethuk), Grajagan (Ki Caranggesing). Sedang desa diwilayah timur: Desa Dhulangan, Pruwa/Purwa (Ki Tulup Watangan), Lalerangan (Ki Menjangan Kanin), Mamelik (Ki Surya), Papencan (Ki Bantheng Kanin), Kelonthang (Ki Lembu-Ketawan), Repuwan (Ki Butānguri), Rerampan (Ki Kidang Bunto), Singalatrin (Ki Banyak Ngeremi).

Wilayah utara 2 desa yaitu Desa Jongnila (Ki Gagakngalup) dan desa Konsul (Ki Maesasura). Kemudian kepala desa ayang menyusul: Desa Bubuk (Ki Marga-Supana), Gebang (Ki Jangkrik-Gondhul), Gebang (Ki Jangkrik-Gondhul), Gambor (Ki Bajuldahadhi), Gembelang (Ki Butakorean), Muncar (Ki Genok), Bama (Ki Baluran), Geladhag (Ki Margorupit), Susuhan ( Ki Tambakboyo), Ngalian (Ki Kidang-Garingsing), Tamansari (Ki Gajah Metha), Danasuke (Ki Kebowadhuk), Kalisuca (Ki Jaransari). Babad Bayu (ditulis pada tahun 1826) pupuh vi 11-20 dalam Winarsih PA, op.cit., hal.153-154.

Dengan dukungan tersebut Bayu berkembang menjadi suatu kekuatan yang berbahaya. Bayu dibuatnya semacam satu negara, tidak kurang 2000 orang berada di belakang Mas Rempek. Dibangun benteng yang sangat kuat, di depan terdapat pagar yang terbuat dari batang-batang pohon besar yang bagian atasnya dibuat runcing dan batang-batang pohonnya berjajar sangat rapat satu sama lain yang disebut palisada. Di belakang pagar terdapat lubang-lubang perlindungan di dalam tanah. Di dalam benteng, cadangan pangan sangat melimpah serta dilengkapi dengan gamelan beserta pemainnya sebagai lambang kekuasaan dan kekuatan. Perlengkapan perang sudah lengkap untuk memulai peperangan. Atas pengaruhnya yang kuat ia oleh pengikutnya dianugrahi gelar Pangeran  Jagapati kepada Mas Rempeg.

Bayu terletak di barat-laut dari kota Ulupampang di lereng timur Gunung Raung, dekat desa Songgon, kira-kira masih 2 jam (jalan kaki) di atas dusun Derwana. Bekas bangunan tembok yang diketemukan dekat Songgon itu rupanya masih merupakan sisa dari Bayunya Mas Rempek tersebut.

Pengikut Pangeran Jagapati dengan demikian berasal dari seluruh wilayah Blambangan baik di ibukota (nagari) Lateng maupun di luar ibukota (jawikuta). Dukungan yang sangat besar dari luar terutama dari Blambangan sendiri membuat kedudukan Pangeran Jagapati sangat kuat, sehingga mampu menguasai sember daya yang lain. Pangeran Jagapati dapat menguasai daerah penghasil beras di seluruh Blambangan. Lurah Manowadi berhasil menimbun beras yang dihasilkan dari seluruh Blambangan di Tomogoro di sebelah selatan Bayu. Para pedagang yang telah memindahkan pusat kegiatannya ke pantai selatan di Nusa Barung mengirimkan telur, garam dan ikan kering yang diangkut memakai kuda ke Bayu. Dengan demikian penguasaan atas daerah penghasil padi di seluruh Blambangan membuat kedudukan ekonomis Pangeran Jagapati sangat kuat. Dengan dukungan ekonomi yang kuat maka dengan mudah akan membangun kekuatan militer dan cadangan logistik perang. Maka berkobarnya peperangan tinggal menunggu waktu saja.

Jalannya Peperangan

Pada tanggal 2 Agustus 1771, Temenggung Jaksanegara dan Kertawijaya (Patih Surabaya) dengan sejumlah pasukan datang ke Bayu dengan maksud memecah kekuatan yang dipimpin Pangeran Jagapati. Yang terjadi lalu malah sebaliknya, pasukan Jaksanegara dan Kertajaya malah membelot ke pasukan Pangeran Jagapati dan menyerang kubu Jaksanegara dan Kertawijaya yang menyisakan beberapa orang, akibatnya Mantri Semedirono yang merupakan pengawal Kertawijaya meninggal tertembak di kepala.

Peristiwa di atas diceritakan dalam Babad Bayu pupuh ii 5-20 sebagai berikut:

Ketika pasukan Kertawijaya dan Jaksanagara tiba di Bayu, Pangeran Jagapati bersama 30 orang pengikutnya menempatkan diri di sebelah menyebelah bagian jalan yang sempit. Jayaleksana memberikan aba-aba menembak, tapi ia dan pasukannya segera terkurung. Meskipun begitu, ia masih juga menuntut supaya Pangeran Jagapati takluk. Kalau mau takluk, orang Bayu akan diampuni dan selamat, mereka tak usah bekerja untuk Kompeni dan akan menerima hadiah sarung pedang dari baja dua warna, dan akan disambut dengan segala penghormatan apabila datang berseba. Tiba-tiba pasukan Jayalaksana kabur masuk hutan, maka para punggawa sendirilah yang harus mengangkut pulang jenazah patih. Gegerlah seluruh kota.

Tanggal 5 Agustus 1771, VOC mengirim pasukan bersenjata menuju ke benteng Bayu. Di luar dugaan VOC pada waktu terjadi pertempuran awal, terdapat sebagian prajurit VOC dari pribumi membelot memihak kepada Pangeran Jagapati. Biesheuvel Residen Blambangan beserta pasukan VOC bergerak menyerang Benteng Bayu. Namun, mereka dikalahkan Pangeran Jagapati karena pertahanan benteng Bayu yang ternyata sangat kuat. Pada waktu yang bersamaan, Schophoff, Wakil Residen Biuscheuvel masuk ke berbagai desa di Blambangan, bermaksud mempengaruhi penduduk untuk tidak memihak Pangeran Jagapati. Pada hari yang sama pasukan VOC menyerang Gambiran, sebuah dusun penghasil beras yang sangat subur yang menjadi salah satu penyangga logistik beras benteng Bayu. Tujuannya agar Pangeran Jagapati yang berkedudukan di Bayu kekurangan bahan makanan. Namun, ketika ia beserta pasukannya berada di Desa Gambiran, mereka diserang oleh sekitar 200 pasukan Blambangan sambil meneriakkan kata-kata: “Amok! Amok!”. Pasukan VOC kemudian menuju Tomogoro yang terletak sekitar 6 km di sebelah tenggara Bayu merupakan penghasil beras yang paling dekat dengan Bayu dan Tomogoro merupakan tempat yang sangat penting bagi Pangeran Jagapati. Selain itu Tomogoro juga menjadi tempat menimbun semua persediaan yang diperlukan sebelum diangkut ke Bayu.

Melihat posisi Tomogoro yang strategis, VOC mendirikan kubu pertahanan dengan maksud untuk memudahkan penyerangan ke Bayu. Rakyat Blambangan yang mengetahui aktivitas VOC berusaha menghindarinya serta membawa semua perbekalan ke Bayu bergabung dengan Pangeran Jagapati. Sementara di sepanjang jalan menuju Bayu yang menanjak dan licin, Pangeran Jagapati memerintahkan pejuang Bayu untuk menebangi pohon agar menutup jalan sehingga tidak bisa dilewati. Pasukan VOC yang sudah kelelahan dalam menempuh perjalanan yang sulit dan kehabisan perbekalan terpaksa mengehentikan penyerangan dan mundur ke Ulupampang.

Keadaan yang mengkhawatirkan memaksa Biesheuvel minta dikirim 300 pasukan pribumi dari Jawa Timur dan satu pasukan tentara Eropa berkekuatan 40 prajurit.

Di Bayu Pangeran Jagapati membicarakan tentang pasukan-pasukan Kompeni yang terpaksa berhenti di tengah jalan, mundur ke Ulupampang. Kemudian Pangeran Jagapati menyusun strategi perang dengan membagi pasukan menjadi dua sayap. Sayap kiri yang terdiri dari 3.000 orang diserahkan kepada Keboundha, sayap kanan dipercayakan kepada Kidangsalendhit. Kedua pemimpin pasukan ini ingin membalas kekalahan yang telah dialami di Gegenting (Gambiran dan Tomogoro).

Pada tanggal 22 September 1771 malam pukul 20.00 WIB, Biesheuvel Residen Blambangan menerima laporan dari Sersan Rood yang membawa berita dari Letnan Imhoff komandan VOC di Kuta Lateng yang menyatakan bahwa pagi hari, 22 September 1771, kereta VOC telah mulai bergerak maju dalam medan perang yang memuat berbagai keperluan untuk menyerang Bayu. Misi pasukan VOC itu adalah mengusir pejuang Blambangan dan memusnahkan semua yang ada. Pasukan VOC telah masuk dalam kubu pertahanan bagian luar pejuang Bayu dengan pasukan pribumi di depan, sehingga keselamatan pasukan orang Eropa VOC terjamin. Namun ternyata dukungan orang-orang prajurit pribumi tidak dapat diharapkan. VOC menambah pasukan Eropa untuk melindungi penyerangan. Yang terjadi malah pasukan pribumi VOC mengelompokkan dirinya menjadi 2 kelompok. Satu pihak berdiri di sebelah kiri pasukan VOC, sedang kelompok satunya lagi di sebelah kanan. Tiba-tiba mereka berlari-lari bersamaan masuk ke dalam hutan dan menghilang. Pimpinan pasukan VOC memanggil-manggil dan mengancam pasukannya yang masuk ke hutan itu namun tak dihiraukannya. Dengan begitu pasukan VOC ditinggal begitu saja oleh pasukan pribumi. Akibat larinya pasukan pribumi, maka serdadu VOC asal Eropa saja yang terlibat perang dalam 3 jam terus menerus. Sampai-sampai semua peluru, termasuk persediaan yang terakhir dikeluarkan dari peti penyimpanannya untuk dibagikan. Juga amunisi untuk senjata berat, semuanya telah terpakai habis untuk menembak. Banyak serdadu Eropa yang tewas dan terluka. Diantaranya yang terluka adalah Letnan Imhoff setelah 2 jam dihujani tembakan terus menerus oleh pejuang Blambangan dari tempat persembunyiannya. VOC terpaksa meninggalkan semua perlengkapannya termasuk sebuah kanon berukuran satu pon dan dua buah mortir. Tukang pikul perbekalan semua mati.

Hari itu juga, 22 September 1771 dilakukan penghitungan berapa sisa pasukan VOC asal pribumi. Oleh para pemimpinnya dilaporkan bahwa 13 orang tewas yang terdiri dari 5 komandan dan 8 tamtama, 94 orang terluka tembakan kena duri karena tatkala mundur mereka tergesa-gesa. Sisanya 87 orang luka kena sungga (ranjau/sunggrak). Datang kapal dari Pasuruan dengan mengangkut beras.

Biesheuvel mengirim surat pada atasannya di Surabaya tertanggal Ulupangpang, 22 September 1771 guna memohon bantuan militer sebanyak 1000 laskar Sumenep dengan 150 serdadu Belanda. Juga diminta sepuluh peti peluru karena empat peti sebelumnya telah habis dalam penyerangan yang gagal. Pasukan ekspedisi bantuan itu direncanakan untuk merusak segala jenis makanan di daerah Bayu. Karena tidak ada cara lain bagi VOC selain mengadakan aksi yang membuat orang Bayu kelaparan dan kekurangan.

Babad Bayu menceritakan peristiwa di atas sebagai berikut:

Berkecamuklah perang. Tanda pertempuran dibunyikan dengan tambur, beri, kendang dan gong. Jayasengara, adipati Bangil maju berkuda, diikuti yang lain. Pasukan Kompeni membentuk segi empat. Bunyi bedil, meriam dan tiktak (meriam kecil) mereka memekakkan telinga. Udara gelap karena asapnya. Jayasengara berpendapat, mustahil orang Bayu menang. Jayasengara kena peluru meskipun kebal dan berlindung di belakang sebuah pohon. Ia melihat Kompeni kehilangan banyak prajurit, ada yang luka banyak yang mati. Dan hilanglah harapannya untuk menang. Di pihak Belanda hanya kumendanlah yang masih hidup. Orang Surabaya, apalabi orang Bangil, mendapat kekalahan dan lari tunggang-langgang, disoraki orang Bayu. Komandan Kompeni terluka perutnya oleh peluru Keboundha. Kudanya dicambuknya sehingga lari terus sampai Ulupampang. Patih Jatasengara yang paling akhir pulang meninggalkan medan perang, menyusuri kali. Orang Bayu yang mabuk kejayaan mengejar musuh di jalan-jalan sampai Gegenting, bahkan sampai Cendhana. Maka orang Bayu pulang sambil menembang atau meniru suara gamelan dan menandak.

Ketika bala bantuan datang untuk VOC, bersamaan dengan itu Pangeran Jagapati mendapatkan bantuan 300 orang dari Bali lengkap dengan senjata dan bahan makanan, dan berhasil mengepung benteng VOC di Kuta Lateng. Jalan-jalan ke Panarukan oleh para pejuang Bayu dijaga dengan ketat dan diberi penghalang-penghalang dari kayu gelondongan, jembatan-jembatan dirusak untuk mempersulit tranportasi pasukan dan perbekalan VOC. Penyerbuan Pangeran Jagapati ke Lateng ini mampu menangkap dan menawan banyak serdadu VOC dan merebut sepeti misiu dan 1200 peluru serta senjata.

VOC mengerahkan seluruh kekuatannya dengan mendatangkan bantuan tentara dari garnisum-garnisum Batavia, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya dan Pasuruhan dengan pasukan “Dragonders” dari Semarang sebagai pasukan inti.

Karena kekalahan yang ditimbulkan oleh Pangeran Jagapati dan para pejuang Bayu itu maka memaksa Gubernur vander Burgh mengirim surat ke Pieter Luzac, agar penduduk Senthong (dekat Bondowoso) dicegah berhubungan dengan penduduk Blambangan dan Lumajang. Juga agar dilakukan penelitian sebab-sebab kekalahan serdadu VOC.

Biesheuvel pada bulan November 1771 meninggal ia digantikan oleh wakilnya, Hendrik Schophoff. Pada bulan itu, bantuan tentara VOC tiba di Ulupampang di bawah komando Kapten Reygers dan Heinrich. Pasukan VOC berhasil mengalahkan para pejuang Blambangan di Kuta Lateng. Sedangkan kapten Reygers berhasil menghancurkan gudang persediaan makan di Banjar (Kecamatan Glagah), menguasai Grajagan di Pantai Selatan dan membakar sekitar 300 koyan beras (1 koyan sekitar 185 kg = 55,5 ton). Pada waktu yang bersamaan VOC mengeluarkan surat-surat pengampunan bagi penduduk yang mau meninggalkan Bayu.

Kapten Reygers setelah berhasil mendesak para pejuang Blambangan di Kuta Lateng, pada tanggal 13 Desember 1771 beserta pasukannya berangkat menyerang benteng Bayu. Pengalaman pahit VOC menyerang Bayu dari arah selatan, memaksa VOC menyerang Bayu dari arah utara, yaitu Songgon. Keesokan harinya 14 Desember 1771 Reygers memerintahkan penyerangan dengan kekuatan 2000 laskar Madura di bawah pimpinan Alapalap, sebagai laskar terdepan. Di belakangnya dilapisi oleh serdadu Eropa yang dilengkapi dengan meriam yang dipimpin oleh Sersan Mayor van Schaar. Barisan belakang menggempur Bayu sebelum Alapalap bergerak maju. Mendengar penyerbuan VOC dari arah utara, dengan gerak cepat Pangeran Jagapati memimpin sendiri penyerangan ke Songgon pada tanggal 15 Desember 1771, bersama 1000 orang jagabela yang bersenjatakan keris, pedang dan tombak. Kekuatan jagabela yang di Bayu dikerahkan menyerang Songgon.

Taktik perang pejuang Bayu yang terencana matang dan menguasai medan, menyebabkan pasukan VOC yang menyerang dari dua arah, yakni Susukan dan Songgon, telah terjebak dan disergap oleh pasukan Bayu dan dihancurkan sama sekali. Kapten Reygers terluka parah di kepalanya dan kemudian ia meninggal di Ulupampang. Puncak penyerangan para pejuang Blambangan terjadi pada tanggal 18 Desember 1771. Dalam peristiwa itu para pejuang Blambangan melakukan serangan umum dan mendadak terhadap serdadu VOC. Belanda sendiri menyatakannya sebagai “de dramatische vernietiging van Compagniesleger”. Prajurit Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Jagapati maju ke medan tempur dengan membawa senjata golok, keris, pedang, tombak, dan senjata api yang diperoleh sebagai rampasan dari tentara VOC. Serangan pejuang Bayu yang mendadak, membuat pasukan VOC terdesak. Demikian juga pasukan Eropa VOC yang berada di belakang. Ketika posisinya terus terdesak, mereka mundur dan lari meninggalkan semua perlengkapan perang. Pejuang Bayu mengejar pasukan VOC. Saat itulah pasukan VOC banyak yang terjebak dalam jebakan yang dinamakan sungga (parit yang di dalamnya dipenuhi sunggrak) yang telah dibuat oleh pejuang Bayu. Pasukan VOC yang terjebak dan dihujam dari atas. Sersan Mayor van Schaar, komandan pasukan VOC, Letnan Kornet Tinne dan ratusan serdadu Eropa lainnya yang tewas dalam perang itu. Dari serdadu yang tersisa yang sempat melarikan diri, jumlahnya tidak seberapa, umumnya dalam keadaan terluka dan sakit. Namun demikian, di pihak Blambangan harus membayar mahal dengan kehilangan pemimpinnya. Pangeran Jagapati gugur karena luka-lukanya sehari berikutnya yakni tanggal 19 Desember 1771. Sebagai ungkapan balas dendam atas gugurnya Pangeran Jagapati, beberapa jagabela mencincang mayat van Schaar.

Peristiwa ini dikisahkan dalam Babad Tawang Alun xi.5-21, sebagai berikut:

Pangeran Jagapati bertempur melawan Alap-alap dari Madura. Keduanya tak terkalahkan. Lalu ketahuan oleh Pangeran Jagapati bahwa Alap-alap memakai baju zirah. Maka dengan lembing pusakanya, Si Kelabang, dari jenis biring lanangan, ditusuknya Alapalap dari bawah. Dan Alap-alap roboh tetapi masih sempat melukai Pangeran Jagapati. Alap-alap diusung ke perkemahan, lalu meninggal. Jagapati yang luka parah dibawa ke benteng. Dengan luka parah Pangeran Jagapati masih mampu mengatur strategi peperangan dengan menunjuk Jagalara dan Sayu Wiwit sebagai wakilnya untuk melanjutkan peperangan. Keesokan harinya pertempuran dilanjutkan diiringi suara kendang, gong, beri dan tambur dan berlangsung sampai malam tiba. Setelah kembali ke benteng para prajurit Bayu mengetahui bahwa Pangeran Jagapati telah meninggal. Babad Tawang Alun xii.1-2 melanjutkan: Pangeran Sumenep dan Panembahan Bangkalan sangat marah karena kematian Alap-alap. Pasukan Madura dan Kompeni bertempur lagi dan kehilangan 2.000 orang sebagai akibat amukan orang Bayu.

Pada tanggal 20 Desember 1771 pasukan VOC turun kembali ke Kuta Lateng. Orang Eropa yang masih tersisa juga ikut turun, diantaranya Sersan Mayor Ostrousky yang terluka berat. Sebagian terbesar dari mereka sudah tidak bersenjata lagi. Mereka dalam keadaan sangat lelah, letih. Mereka berjalan berkelompok-kelompok kembali ke Kuta Lateng. Mereka menumpahkan kesalahan atas kekalahannya pada diri Sersan Mayor van Schaar yang bersikap pengecut. Ia dipersalahkan karena setalah menembak pejuang Bayu sekali saja, terus melemparkan senjatanya dan melarikan diri pertama kali. Kerugian di pihak VOC prajurit yang gugur dan hilang adalah : Sersan Mayor van Schaar, Peltu kornet Tinne, 41 prajurit Infanteri, 15 prajurit korps khusus Dragonders, para bintara dan tamtama, 1 prajurit arteleri dan sejumlah besar laskar pribumi.

JR Vander Burgh, gubernur VOC urusan pantai timur Jawa pada 13 Januari 1772 di Semarang mengirim laporan pada atasannya, bahwa setelah penyerangan ke Bayu mengalami kekalahan pada 20 Desember 1771, maka banyak anggota pasukan pribumi yang melarikan diri. Bahkan pada 31 Desember 1771 terdapat 300 laskar Madura secara bersama melewati Panarukan kembali ke daerah mereka di Sumenep Madura.

Babad Bayu xvi 1-13 menceritakan:

Bambang Sutama dan Jayareca membawa pasukannya ke Panarukan lewat Watu Dodol, Bajulmati dan Banyuputih. Mereka terpaksa mengaku kepada komandan VOC di Panarukan bahwa Bayu belum jatuh, karena orang Bayu terlalu kuat. Dan bahwa Guntur Geni mati, begitu juga semua orang Belanda. Komandan itu hampir tidak percaya. Rupanya, siapapun yang menaklukkan Bayu tidak akan kembali hidup. Bambang Sutama dan Jayareca minta diri pada komandan VOC, pertama pulang ke Sumenep. Di sini penduduknya keheranan melihat mereka kembali dalam keadaan selamat. Bupati Semenep ingin tahu mengapa dia dan Sutadipa masih hidup. Kedua orang itu menundukkan kepala rendah-rendah, malu takut dapat murka tuan mereka. Adapun Bambang Sutama pergi ke Surabaya untuk menyerahkan surat CVD Biesheuvel, penguasa di Ulu Pampang pada penguasa di Surabaya, Pieter van Luzac. Selanjutnya pulang ke Madura atas izin penguasa VOC itu.

Kekuatan pasukan VOC telah berkurang, membuat VOC menghentikan peperangan. Kemudian para penguasa VOC mengambil sikap berhati-hati dan mendorong pasukannya untuk menggunakan cara-cara lain untuk menangkis serangan yang mendadak demi menyelamatkan bengsanya. Karena itu selama musim hujan, sebagian terbesar pasukan VOC bersikap defensif saja. Pasukan Eropa ditempatkan pada pertahanan di Ulupampang dan Kuta Lateng saja, yang dipandang tempatnya paling sehat.

Sementara itu laskar Madura, Sumenep dan Pamekasan bersama 2 kompi orang pribumi lainnya, pembentukan dan persiapannya sedang diproses. Tatkala itu 118 orang sedang dalam perjalanan ke Blambangan. Mereka ditempatkan di Ulupampang, Kuta Lateng, dan ditempatkan diberbagai benteng yang ada, dan dijalur-jalur jalan ke arah Bayu. Tujuannya adalah untuk menghalangi dan menghentikan penyaluran bahan makanan ke pusat pertahanan Bayu. Segala jenis bahan makanan yang sekiranya dapat digunakan oleh para pejuang Bayu, agar segera dimusnahkan. VOC memerintahkan untuk membunuh siapapun yang mencoba menghalangi-halangi rencananya.

Dengan kemenangan yang dicapai oleh para pejuang Bayu, penguasa VOC mengatur kembali strateginya. Karena itu, maka penguasa VOC telah memperbaharui rekomendasi kedudukannya di darat. Diadakannya patroli di laut dan di sepanjang pantai Blambangan, khususnya disekitar Meneng dan Grajagan untuk menghalangi hubungan Pejuang Bayu dengan oarang Bali. Kemudian VOC mengadakan patroli dengan ketat terhadap segala jenis kapal dan perahu melewati Selat Bali.

Akibat perang selama bulan Desember VOC banyak kehilangan sejumlah pejabat dan perwira militer yang tewas. Karena banyak kehilangan perwira dan prajurit, VOC menjadi depensif dan menarik semua pasukannya ke Kuta Lateng dan Ulupampang. VOC yang mengalami kekalahan besar membutuhkan waktu setahun untuk memulihkan kekuatannya. Dengan kenyataan benteng Bayu yang sangat kuat, VOC harus mempersiapkan pasukan yang lebih besar untuk mengalahkan laskar Blambangan. Untuk keperluan itu VOC mengadakan panggilan umum kepada semua bupati dan penguasa taklukan Belanda untuk mendatangkan bala bantuan. Semua tentara Eropa dari semua garnisum dikonsinyasikan di Blambangan. Kemudian 2000 pasukan Madura segera dikirim ke Jawa. Pada bulan Agustus 1772 Heinrich tiba di Blambangan dengan 5.000 prajurit. Heinrich menjadi komandan dan dibantu residen Schophoff dari Ulupampang. Sedangkan Van der Burgh, Gubernur Jawa Bagian Timur, secara pribadi datang sendiri ke Blambangan.

Pada 1 Oktober 1772, setelah hampir satu tahun gagal menyerang Bayu, VOC mengadakan penyerangan lagi ke Bayu. Songgon yang tidak diduduki sisa pengikut Pangeran Jagapati kembali dijadikan benteng pertahanan untuk menyerang Bayu. Kapten Heinrich beserta pasukan Expedisi V bergerak dari kota Ulupampang. Pada 5 Oktober 1772, pagi hari pasukan VOC itu telah berkemah di Sontong. Untuk menghindari sungga Kapten Heinrich memerintahkan bawahannya membuat jalan dengan cara menumbangkan pepohanan hutan. Kemudian pada Peltu Mirop dan Peltu Dijkman ditempatkan satu pasukan sebanyak 900 orang untuk menguasai daerah ketinggian sebelah kanan dari benteng Bayu, dengan dipersenjatai meriam. Sedang Vaandrig Guttenburger dan Koegel, ditempatkan di Sontong. Kemudian Kapten Heinrich dengan 1.500 orang berikut Vaandrig Ienigen di Sentum berjaga-jaga di posisi antara ketinggian yang saling dapat berhubungan melalui satu jurang yang menganga di antaranya. Benteng Bayu terkepung secara ketat.

Dari tanggal 5 sampai 11 Oktober 1772 itu Kapten Heinrich mengadakan konsolidasi dengan elemen-elemen militer lainnya. Pada tanggal 10 Oktober 1772, Letnan Imdeken meyakinkan Kapten Heinrich bahwa Kapten Heinrich dapat menerobos, sehingga Kapten itu mengadakan perundingan. Kapten Heinrich memutuskan untuk mulai melakukan penerobosan.

Pada 11 Oktober 1772 pagi hari, VOC mengerahkan semua kekuatannya menggempur Bayu dengan tembakan-tembakan meriam. Tetapi selama dua bulan Bapa Endha dapat bertahan bersama 1000 orang pengikutnya yang setia. Pengiriman perbekalan di pihak VOC cukup lancar karena jalan dari Ulupampang menuju Songgon bebas dari halangan pejuang Bayu. Sekitar bulan Desember 1772 Bapa Endha dan pejuang Bayu mengalami kekurangan perbekalan karena bahan makanan yang ada ternyata tak mampu mencukupi kebutuhan semua laskar yang ditarik dan dipusatkan ke Bayu. Bayu sudah sulit dipertahankan lagi. Namun mereka masih mengadakan perlawanan sekuatnya. Vaandrig Mierop sesuai dengan perintah komandannya, membuat alarm tipuan pada sayap kanan dengan membuat api untuk memancing membagi kekuatan musuh supaya tepat didepan dan di sayap kiri Kapten Heinrich. Kemudian Kapten Heinrich dengan kekuatan intinya 1.500 pasukannya menerobos dan menyerang benteng Bayu dari sayap kiri tepat pukul 08.00. Benteng Bayu yang amat kuat akhirnya dapat direbut pasukan VOC. Setelah benteng Bayu dapat direbut VOC merusak dan membakarnya.

Pasukan Kapten Heinrich mendapat rampasan beberapa jenis senjata berupa 1 meriam dan 3 mortir ukuran 4 dim milik pejuang Bayu. Para prajurit pribumi VOC mendapat rampasan 100 pucuk senjata berlaras panjang dan 200 kuda serta masih banyak lainnya dari dalam benteng Bayu.

Para pejuang Bayu telah meloloskan diri ke daerah pegunungan. Kapten Heinrich telah memerintahkan mengejar mereka sampai malam hari. Semua milik para pejuang Bayu agar diambil. Pada pagi hari keesokannya juga dilakukan pengejaran dengan patroli yang kuat. Ternyata memerlukan perjalanan sehari penuh ke pegunungan.

Kapten Heinrich menyuruh bawahannya untuk membunuh para tawanan pria dan memotong kepalanya. kemudian kepala mereka yang terpotong digantung di pepohanan yang tinggi untuk membuat pejuang Bayu lainnya takut. Pengejaran terhadap musuh masih terus dilakukan bagi pejuang Bayu lainnya. Atas perintah dari Residen Schophoff, VOC di Bayu turun tanggal 24 Oktober 1772.

Babad Bayu menceritakan penyerbuan ini sebagai berikut:

Panembahan Madura sanggup memenuhi permintaan VOC Surabaya sebanyak 10.000 orang Madura. Laskar ini dipimpin oleh Suradiwira. Pasukan Madura barat ini berlayar dan berlabuh di Panarukan disambut oleh pasukan VOC. Madura timur di Sumenep telah menyiapkan 3.000 orang laskarnya yang dipimpin langsung oleh Pulangjiwa. Mereka ini berangkat dari pantai Pamaringan menuju Purwasari di Pantai Jawa. Semuanya bertemu di Panarukan. Esok harinya barisan maju seperti badai. Bermalam di Bajulmati, malam berikutnya sampailah mereka di kota Ulupampang.

Di Ulupampang Raden Pulangjiwa disambut VOC. VOC menghormatinya dan menyanjung dengan tembakan meriam. Esok harinya pasukan VOC Madura bergerak maju, gong dan gendhang dipukul. Di Songgon mereka berkemah dan beristirahat.

Para pejuang Blambangan di Bayu telah mengetahui kedatangan pasukan VOC dan Madura dari mata-matanya. Raja mereka Pangeran Jagapati sudah meninggal. Pasukan dibagi menjadi dua, sayap kiri dan sayap kanan. Pimpinan di pegang Keboundha yang perkasa..

Tembakan dimulai diiringi sorak sorai dari kedua belah pihak. Orang Madura banyak yang mati, banyak yang ditawan. Pertahanan Bayu memang tangguh, tatkala R. Pulangjiwa maju sebutir peluru Bayu menyambar topinya, peluru lainnya menembus Langlangpasir. R. Pulangjiwa mundur dan memerintahkan pasukannya untuk membuat benteng bergerak dan setiap mantri diberi tunggul bambu sebagai pertahanan. Orang Madura mulai menembak lagi, namun pelurunya jauh dari sasaran. Laskar Bayu membalasnya, setiap pelurunya menewaskan orang Madura yang disasar. Suradiwira marahnya tak alang-kepalang. Laskarnya diperintahkan supaya menyerang namun terhalang sungga dan suda. Pulangjiwa dipukul mundur.

Pulangjiwa dan VOC telah menyelesaikan pertahanan mereka. Satu untuk setiap mantri, dan satu benteng bergerak untuk pasukan. Suara gong, gendhang, tambur, dan biring bergema di langit ditambah sorak sorai laskar Madura. Pasukan VOC maju dibelakang pertahanan mereka yang anti tembus peluru. Medan perang dekat benteng Bayu sudah bersih dari sungga dan suda, sehingga VOC dapat membawa meriam-meriam mendekati benteng Bayu. Dengan dilindungi tembakan meriam, laskar Sumenep dan VOC berhasil memasuki beteng Bayu. Atas perintah VOC, rumah-rumah Bayu dibakar habis. Benteng Bayu diratakan dengan tanah..

Sedangkan Babad Tawang Alun memberikan gambaran peristiwa ini sebagai berikut:

Pangeran Sumenep sangat marah mendengar kematian Tumenggung (Alap-alap)nya dalam perang Bayu pertama. Demikian pula Panembahan Bangkalan juga sangat marah. Karena itu, beliau segera mengerahkan balatentaranya. Baik VOC maupun Madura maju perang ke Bayu. Kedua pihak saling menombak dan saling menembak. Mengamuklah para pejuang Bayu, sehingga balatentara VOC banyak yang mati. Kemudian datang lagi 2.000 bala bantuan musuh. Pejuang Bayu kalah dalam perang. Banyak pejuangnya yang gugur. Lamanya perang Bayu itu selama 2 tahun. Maka takluklah Bayu. Banyak rakyat kecil yang mati, yang tersisa menyelamatkan diri, mengungsi kehutan belantara atau ke dalam jurang di hutan pegunungan, sedang yang tertangkap, segera diangkut. Banyak yang diangkut ke daerah Ulupampang. Selanjutnya dibawa ke barat, terutama para tokohnya dibuang ke Selong.

Pemimpin Blambangan banyak yang menyingkir ke Nusa Barung. Schophoff menyuruh mengirimkan 264 orang Blambangan ke Surabaya baik pria, wanita dan anak-anak. Sampai tanggal 7 Nopember 1772 sudah 2.505 orang pria dan wanita yang tertangkap. Schophoff memerintahkan untuk menenggelamkan tahanan laki-laki yang dituduh telah memakan daging mayat van Schaar. Orang Madura telah merebut para wanita dan anak-anak Blambangan sebagai hasil rampasan perang. Sebagian dari mereka telah melarikan diri ke dalam hutan, telah meninggal karena kelaparan dan kesengsaraan yang mereka alami. Sehingga bau mayat-mayat yang membusuk, menggangu sampai jarak yang jauh. Mereka yang masih hidup menetap di hutan-hutan, membuka perladangan baru di Pucangkerep, Kaliagung, Petang dan lain-lain. Mereka tetap bersikeras untuk melepaskan diri dari penjajahan VOC.

Itulah akhir dari Perang Bayu yang mengerikan, yang telah merenggut ribuan kurban, baik di pihak musuh, terutama dipihak rakyat Blambangan.

Gugurnya Sang Pangeran

Pada saat pertempuran puncak pada 18 Desember 1771. Pangeran Jagapati berduel dengan pemimpin Laskar Sumenep, Tumenggung Alap-alap. Pangeran Jagapati lalu menusukkan lebingnya ke Temenggung Alap-alap, namun Tumenggung Alap-alap yang sekarat masih sempat menyabetkan parangnya kepada Pangeran Jagapati. Pangeran Jagapati yang terluka lalu dibawa kembali ke benteng.

Dengan luka yang parah, ia masih sempat mengatur strategi perang dan menunjuk Jagalara dan Sayu Wiwit untuk memimpin pasukan. Esoknya, 19 Desember 1771, perang dimulai lagi dari pagi hingga malam. Dan saat pasukan kembali ke Benteng, Pangeran Jagapati sudah meninggal dunia di pembaringannya.

Makam Pangeran Jagapati di Dusun Tosari, Macanputih, Banyuwangi

Perlawanan-perlawanan setelah Perang Bayu

Perang Bayu memang berakhir pada tanggal 11 Oktober 1772, namun perlawanan rakyat dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan lokal masih terjadi di berbagai daerah di Blambangan sampai sepuluh tahun kemudian. Pemberontakan-pemberontakan itu antara lain: Pemberontakan yang terjadi di Gendoh yang dipimpin oleh Hanggapati. Pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Mus Aceh. Pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Singo pada tahun 1781 dan sisa-sisa laskar Bayu yang hidupnya masih berpindah-pindah. Pemberontakan yang dipimpin oleh Mas Sekar pada tahun 1797 yang bermaskud membunuh semua orang Belanda yang ada di Blambangan. Untuk menghadapi pemberontakan ini Belanda harus mendatangkan lagi bantuan beberapa kompi tentaranya dari Surabaya dan Semarang. Pemberontakan ini gagal, Mas Sekar tertangkap dan para pengikutnya banyak yang disiksa dan dibuang ke Semarang. Pemberontakan yang dipimpin oleh Berengos Perada pada tahun 1800, yang berpusat di Rajekwesi.

Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh Perang Bayu sangat kuat terhadap patriotisme rakyat Blambangan dalam jangka waktu yang lama. Pangeran Jagapati sudah meninggal, namun rakyat Blambangan terus melanjutkan perjuangan.

Sejarah Magetan Bagian 2

Kabupaten Magetan dibawah pimpinan Bupati Yoso Negoro mengalami kehidupan yang tenang, semakin lama semakin ramai dan berkembang. Beliau sangat bijaksana dan berpandangan jauh. Mataram sebagai tanah kelahirannya tidak rela dijajah oleh kompeni Belanda. Beliau banyak mencurahkan perhatiannya pada kesejahteraan rakyat dan keamanan daerah Magetan. Beberapa tahun kemudian Magetan dilanda bencana alam kekurangan bahan makanan. Sehingga banyak timbul perampokan-perampokan. Kerena meluasnya berandal yang sulit diatasi, maka beliau memberanikan diri mohon bantuan ke pusat pemerintahan Mataram. Dari bantuan Mataram ini akhirnya situasi bisa diatasi dan keamanan daerah pulih kembali. Tidak lama kemudian beliau wafat, beliau beserta istrinya dimakamkan di makam Setono Gedong di desa Tambran Kecamatan Magetan.

Membicarakan sejarah Kabupaten Magetan, tak lengkap bila tidak mengenal siapa yang pernah memimpinya atau menjadi bupati Kabupaten Magetan

Dibawah ini adalah nama-nama Bupati yang pernah menjabat menjadi bupati di Kabupaten Magetan, yaitu:

1. Raden Tumenggung Yosonegoro(1675 – 1703)
Raden Tumenggung Yosonegoro (R.T. Yosonegoro) adalah Bupati Magetan pertama, yang menjabat dari tahun 1675-1703. Beliau lahir dengan nama kecil Basah Bibit atau Basah Gondokusumo dan merupakan cucu dari Raden Basah Suryaningrat.
R.T. Yosonegoro diwisuda sebagai penguasa wilayah Magetan pada tanggal 12 Oktober 1675, sekaligus tanggal tersebut menjadi tanggal lahir resmi Kabupaten Magetan.
Bupati Yosonegoro wafat pada tahun 1703 dan bersama mendiang istrinya dimakamkan di makam Setono Gedong di Desa Tambran Kecamatan Magetan.

2. Raden Ronggo Galih Tirtokusumo (1703 – 1709)
3. Raden Mangunrono(1709 – 1730)
4. Raden Tumenggung Citrodiwirjo (1730 – 1743)
5. Raden Arja Sumaningrat(1743 – 1755)

6. Kanjeng Kyai Adipati Poerwadiningrat (1755 – 1790)
Kanjeng Kyai Adipati Poerwadiningrat (K.K.A. Poerwadiningrat) adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1755 hingga tahun 1790. K.K.A. Poerwadiningrat adalah putra dari Raden Tumenggung Sasrawinata yaitu Bupati Pasuruan dan keturunan dari Panembahan Cakraningrat I. yang wafat pada tahun 1630 di Kamal yang kemudian dimakamkan di Astana Hermata Madura. Tugas beliau yang pertama adalah mengamankan daerah perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, lebih tepatnya daerah Magetan jangan sampai terkena kekacauan akibat perang saudara di pusat pemerintahan Mataram. Sebelum menjabat Bupati Magetan beliau adalah seorang Tumenggung yang menjabat Bupati di Kertosono.  Setelah beliau wafat dimakamkan di makam Desa Pacalan, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan.

Pemerintahan Kabupaten Magetan dibawah Kanjeng Kyai Adipati Purwodiningrat menjadi tentram dan wilayah pemerintahan menjadi daerah mancanegara dari Mataram. Beliau berkesimpulan bahwa para raja Mataram didalam batinnya tidak senang kepada Belanda, tetapi tidak bisa berbuat banyak. Kebencian terhadap kompeni dikaitkan dengan pemberontakan terus menerus terhadap pusat pemerintahan yang berada dibawah pengaruh Belanda. Beliau anti kepada Belanda, namun mengingat kemempuan yang ada dan melihat kejadian-kejadian yang dialami pemerintahan Mataram, maka beliau lebih memusatkan perhatian kepada kesejahteraan rakyat Magetan. Sampai beliau wafat, Magetan dalam keadaan aman. Kehidupan rakyat tentram walaupun Mataram mengalami kekisruhan akibat perang saudara yang disebut sebagai suksesi oorlog oleh para ahli sejarah. Jenazah Kanjeng Kyai Adipati Purwodiningrat dimakamkan di tanah bekas perdikan desa Pacalan Kecamatan Plaosan. Sedangkan makam Nyai Mas Purwodiningrat terletak di bekas perdikan desa Pakuncen wilayah Kertosono. Kanjeng Kyai Adipati Purwodiningrat menurunkan dua orang putri yaitu :

·         Pertama, Putri Sepuh Gusti Kanjeng Ratu Kedaton garwo dalem Kanjeng Sultan Hamengku Buwono II.

·         Kedua, Putri Anom Gusti Kanjeng Ratu Anom, garwo dalem Pangeran Paku Alam yang kemudian disebut Gusti Kanjeng Paku Alam I.

7. Raden Tumenggung Sosrodipuro(1790 – 1825)

8. Raden Tumenggung Sosrowinoto (1825 – 1837)
Raden Tumenggung Sosrowinoto adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1825 hingga tahun 1837. Pada masa bupati ini, tanggal 4 Juli 1830 atau 13 Sura 1758 tahun Je, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengadakan pertemuan bupati se-wilayah Mancanegara Wetan di desa Sepreh, Kabupaten Ngawi. Pertemuan itu mengharuskan semua bupati Mancanegara Wetan harus menolak kekuasaan Sultan Yogyakarta dan Susuhunan Surakarta dan harus tunduk kepada pemerintah Belanda di Batavia. Sejak tahun 1830 tersebut, kabupaten Magetan menjadi daerah jajahan Belanda dan dipecah menjadi 7 daerah kabupaten (tahun pemecahan tidak jelas), yaitu
– Kabupaten Magetan I (kota) bupati R.T. Sosrowinata
– Kabupaten Magetan II (Plaosan) bupati R.T. Purwawinata
– Kabupaten Magetan III (Panekan) bupati R.T. Sastradipura
– Kabupaten Magetan IV (Goranggareng Genengan) bupati R.T. Sosroprawira yang berasal dari Madura
– Kabupaten Magetan V (Goranggareng Ngadirejo) bupati R.T. Sastradirja
– Kabupaten Maospati bupati R.T. Yudaprawira
– Kabupaten Purwodadi bupati R. Ngabehi Mangunprawira

Pada tahun 1837 Kabupaten Magetan II dan Magetan III dihapuskan dan dijadikan satu dengan Kabupaten Magetan I. Pada tahun 1866 Kabupaten Goranggareng dihapuskan. Pada tahun 1870 kabupaten Purwodadi dihapuskan. Berturut-turut yang menjabat Bupati di Purwodadi adalah :

·         R. Ng. Mangunprawiro alias R. Ng. Mangunnagara

·         R. T. Ranadirja

·         R. T. Sumodilaga

·         R. T. Surakusumo

·         R. M. T. Sasranegara (1856-1870)


Pada tahun 1880 Kabupaten Maospati dihapuskan.

Sesudah Kanjeng Kyai Adipati Purwodiningrat, yang menjabat Bupati Magetan di antaranya adalah Raden Tumenggung Sasradipura, masih kerabat Sultan Hamengkubuwono II dan ketentraman Magetan semakin terganggu akibat perang saudara di pusat pemerintahan Mataram. Dan pada tahun 1742 Raden Mas Garendi (cucu Sunan Mas) menyerbu keraton Kartosuro sehingga Paku Buwono II meloloskan diri ke Magetan lewat Tawangmangu dan menuju Ponorogo (Jawa Timur).

Pada masa pangeran Mangku Bumi (saudara dari Paku Buwono II) memberontak pemerintahan Mataram di bawah Paku Buwono II, maka dengan campur tangan kompeni Belanda, perselisihan ini diakhiri dengan diadakannya perjanjian Gianti pada tanggal 13 Desember 1755. Adapun hasil dari perjanjian Gianti adalah Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua bagian yaitu :

·         Mataram dengan ibu kota Ngayogyakarta Hadiningrat di bawah Pangeran Mangkubumi, menyatakan diri sebagai Susuhunan Ing Mataram, bergelar Sultan Hamengku Buwono I pada tanggal 11 Desember 1749. Dan selanjutnya daerah ini disebut Kasultanan.

·         Mataram dengan ibu kota Surakarta di bawah Paku Buwono III (putra Paku Buwono II). Dan selanjutnya daerah ini disebut Kasunanan.

9. Raden Mas Arja Kartonagoro(1837 – 1852)
Raden Mas Arja Kartonagoro adalah bupati Kabupaten Magetan yang menjabat dari tahun 1837 hingga tahun 1852. Sebelumnya beliau adalah bupati Mojokerto. Putri tunggal beliau menikah dengan Raden Mas Arja Surohadiningrat (putra bupati Ponorogo, Raden Mas Arja Surohadiningrat II.

10. Raden Mas Arja Hadipati Surohadiningrat III (1852 – 1887)
11. Raden M.T. Adiwinoto(1887 – 1912), R.M.T. Kertonegoro (1889)
12. Raden M.T. Surohadinegoro (1912 – 1938), R.A. Arjohadiwinoto (1919)
13. Raden Mas Tumenggung Soerjo(1938 – 1943)
Ario Soerjo Lahir 9 Juli1895
Magetan
Meninggal 10 September 1948 (umur 53)
Bago, Kedunggalar, Ngawi

Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo (biasa dikenal dengan nama Gubernur Soerjo); Magetan, 9 Juli 1895 – Bago, Kedunggalar, Ngawi, 10 September 1948) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia adalah gubernur pertama Jawa Timur dari tahun 1945 hingga tahun 1948. Sebelumnya, ia menjabat Bupati di Kabupaten Magetan dari tahun 1938 hingga tahun 1943. Ia adalah menantu Raden Mas Arja Hadiwinoto. Setelah menjabat bupati Magetan, ia menjabat Su Cho Kan Bojonegoro pada tahun 1943.

RM Suryo membuat perjanjian gencatan senjata dengan komandan pasukan Inggris Brigadir Jendral Mallaby di Surabaya pada tanggal 26 Oktober 1945. Namun tetap saja meletus pertempuran tiga hari di Surabaya 28-30 Oktober yang membuat Inggris terdesak. Presiden Sukarno memutuskan datang ke Surabaya untuk mendamaikan kedua pihak.
Gencatan senjata yang disepakati tidak diketahui sepebuhnya oleh para pejuang pribumi. Tetap saja terjadi kontak senjata yang menewaskan Mallaby. Hal ini menyulut kemarahan pasukan Inggris. Komandan pasukan yang bernama Jenderal Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya supaya menyerahkan semua senjata paling tanggal 9 November 1945, atau keesokan harinya Surabaya akan dihancurkan.

Menanggapi ultimatum tersebut, Presiden Sukarno menyerahkan sepenuhnya keputusan di tangan pemerintah Jawa Timur, yaitu menolak atau menyerah. Gubernur Suryo dengan tegas berpidato di RRI bahwa Arek-Arek Suroboyo akan melawan ultimatum Inggris sampai darah penghabisan.
Maka meletuslah pertempuran besar antara rakyat Jawa Timur melawan Inggris di Surabaya yang dimulai tanggal 10 November 1945. Selama tiga minggu pertempuran terjadi di mana Surabaya akhirnya menjadi kota mati. Gubernur Suryo termasuk golongan yang terakhir meninggalkan Surabaya untuk kemudian membangun pemerintahan darurat di Mojokerto.
Tanggal 10 September 1948, mobil RM Suryo dicegat pemberontak anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di di tengah hutan Peleng, Kedunggalar, Ngawi. Dua perwira polisi yang lewat dengan mobil ikut ditangkap. Ke 3 orang lalu ditelanjangi, diseret ke dalam hutan dan dibunuh. Mayat ke 3 orang ditemukan keesokan harinya oleh seorang pencari kayu bakar.

R. M. T. Soerjo dimakamkan di makam Sasono Mulyo, Sawahan, Kabupaten Magetan. Sebuah monumen yang dibangun untuk mengenang jasa-jasanya terletak di Kecamatan Kedunggalar kabupaten Ngawi.

14. Raden Mas Arja Tjokrodiprojo (1943 – 1945)
15. Dokter Sajidiman(1945 – 1946)

16. Sudibjo (1946 – 1949)
Sudibjo adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1945 hingga tahun 1949, pada masa perjuangan kemerdekaan. Pada masa pemerintahan beliau, terjadi Madiun Affair dimana bupati dan banyak tokoh masyarakat Magetan ditangkap dan dipenjara oleh pemberontak PKI.Selama seminggu PKI berkuasa di Magetan.Kemudian pada akhir bulan September 1948, Pasukan Siliwangi dipimpin Letkol Sadikin dan Mayor Acmad Wiranatakusumah memasuki wilayah Magetan dan memulai operasi pembersihan dan penangkapan pemberontak di wilayah Magetan – Madiun.

17. Raden Kodrat Samadikoen(1949 – 1950)
Raden Kodrat Samadikoen adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1949 hingga tahun 1950, pada masa perjuangan kemerdekaan dan berkecamuknya agresi militer Belanda tahun 1949. Pada pertengahan Februari 1949, bupati Raden Kodrat Samadikoen beserta beberapa pejabat pemerintah kabupaten lainnya ditangkap oleh Belanda di Desa Sambirobyong, Kecamatan Magetan. Karena penangkapan ini, pemerintahan resmi kabupaten vakum.Dan akhirnya terbentuk pemerintahan darurat sipil oleh Sub Teritorium Militer di Madiun.

18. Mas Soehardjo (1950)
Mas Soehardjo adalah Bupati Magetan yang menjabat tahun 1950,dan sebelumnya menjabat sebagai patih Kabupaten Magetan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah, Pemerintah RI Pusat membentuk secara resmi daerah-daerah kabupaten yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.Dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tanggal 8 Agustus 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Timur, di propinsi ini ditetapkan 29 kabupaten termasuk Kabupaten Magetan. Setelah jabatan bupati di Magetan berakhir, Mas Soehardjo kemudian diangkat sebagai Bupati Sampang, Madura.

19. Mas Siraturahmi(1950 – 1952)
Mas Siraturahmi adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1950 hingga tahun 1952.Pada masa jabatan beliau, pembangunan fisik di wilayah Magetan di antaranya adalah perbaikan jembatan dan gedung penting yang dibumihanguskan pada saat Agresi Militer Belanda.Pada tahun 1951, pasar kota Magetan selesai dibangun. Juga beberapa gedung kantor pemerintahan daerah.

20. M. Machmud Notonindito (1952 – 1960)
M. Machmud Notonindito adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1952 hingga tahun 1960, menggantikan bupati sebelumnya Mas Siraturahmi yang diangkat sebagai residen di Bondowoso. M. Machmud Notonindito sebelumnya adalah Sekretaris Karesidenan Madiun dan dilantik sebagai Bupati Magetan pada tanggal 1 Agustus 1952.
Berdasarkan hasil Pemilu 1955, jumlah anggota DPRD Magetan (berdasarkan UU No. 19 tahun 1956) adalah 35 orang, terdiri dari wakil Partai Komunis Indonesia (PKI) 18 orang,wakil PNI 9 orang, wakil NU 4 orang, wakil Masyumi 3 orang dan 1 orang dari wakil perseorangan yaitu Dachlan. Anggota DPRD ini dilantik pada 21 Desember 1957 oleh Residen Madiun bertempat di Balai Pemerintah Daerah.

21. Soebandi Sastrosoetomo (1960 – 1965)
Soebandi Sastrosoetomo adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1960 hingga tahun 1965. Soebandi Sastrosoetomo merupakan Bupati yang berasal dari PKI, dan sebelumnya adalah Kepala Dinas Pembangunan Usaha Tani (DPUT) Madiun. Dilantik sebagai bupati pada 5 Februari 1960. Dengan adanya peristiwa Gerakan 30 September di Jakarta, masa jabatan bupati ini ikut berakhir.

22. Raden Mochamad Dirjowinoto(1965 – 1968)
Raden Mochamad Dirjowinoto adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1965 hingga tahun 1968, menandai dimulainya masuknya militer Indonesia di pemerintahan sipil daerah setelah Gerakan 30 September.

23. Boediman (1968 – 1973)

24. Djajadi(1973 – 1978)
Djajadi adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1973 hingga tahun 1978. Dilantik pada 1 Mei 1973 dan sebelumnya menjabat sebagai Komandan Wing III KOPASGAT KODAU IV Surabaya dengan pangkat Letkol PAS. Pada 13 Mei 1978 Djajadi mengakhiri masa jabatannya dan kemudian ditunjuk menjadi Bupati Madiun.

25. Drs. Bambang Koesbandono (1978 – 1983)
Drs. Bambang Koesbandono adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1978 hingga tahun 1983. Bambang Koesbandono sebelumnya adalah seorang Pegawai Negeri Sipil yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Wilayah Daerah Kabupaten Tuban.

26. Drg. H.M. Sihabudin (1983 – 1988)
Drg. H.M. Sihabudin adalah Bupati Magetan yang menjabat dari tahun 1983 hingga tahun 1988. Mohammad Sihabudin dilantik sebagai bupati pada 13 Mei 1983, sebelumnya berkarier sebagai dokter militer di Rumah Sakit Angkatan Udara di Bandara Iswahyudi.

27. Drs. Soedharmono (1988 – 1998)
28. Soenarto
29. Saleh Mulyono
30. Sumantri

Daerah Magetan merupakan suatu daerah yang perbatasannya sebelah barat dengan gunung lawu menuju ke barat daya merupakan deretan Sidaramping, Gunung Jabolarang dan Gunung Kukusan berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, di sebelah utara merupakan daratan yang bergelombang naik mengarah ke timur sampai dengan barat ke kaki Gunung Lawu berbatasan dengan Kabupaten Ngawi, sebelah selatan merupakan dataran rendah berbatasan dengan Kabupaten Madiun. Sungai yang memotong daerah Magetan menjadi dua bagian mulai dari pangkal sumber di bawah Cemorosewu, Gunung Kendil dan Gunung Sidoramping adalah Sungai Gandong yang merupakan jalur bersejarah penuh dengan misteri dan ditaburi dengan makam-makam jaman kuno, di Kabupaten Magetan banyak ditemukan peninggalan-peninggalan sejarah yang berupa petilasan bangunan-bangunann purbakala maupun petilsan bekas pusat pemerintahan.

Misalnya: Petilasan makam Empu Supo di Dukuh Mandang Desa Plumpung Kecamatan Plaosan. peninggalan purbakala terbuat dari batu andesit di Dukuh Sadon Desa Cepoko Kecamatan Panekan berupa candi yang diberi nama Candi Sadon. Petilasan Pengger di Dukuh Pengger Desa Bedagung Kecamatan Panekan. di puncak Gunung Lawu terdapat petilasan Pawon Sewu (Punden Berundak), Argo Dalem, Sendang Drajat dsb. Yang diperkirakan dari akhir Majapahit.petilasan berupa sumur dan masjid kuno bersejarah yang dikelilingi tembok bekas pusat pemerintahan Kabupaten Purwodadi berada di atas tanah lebih kurang seluas 4 hektar dengan bekas gapuro Magetan.

Makam leluhur Magetan (Patih Nrang Kusumo dan Patih Ngariboyo II) di Dukuh Njelok Desa Bulukerto Kota Magetan dan makam Kanjeng Adipati Purwodiningrat, mertua Hamengku Buwono di Desa Pacalan Kecamatan Plaosan juga merupakan bukti sejarah.

Makam Astana Gedhong di Kelurahan Tambran Kecamatan Kota Magetan terdapat makam Adipati Yosonegoro yang erat hubungannya dengan sejarah babad Magetan. di makam Sasonomulyo Dukuh Sawahan Desa Kapolorejo Kota Magetan terdapat makan-makan bupati Magetan dan masih banyak lagi makam-makam yang tersebar di daerah -daerah yang sampai sekarang masih keramat.

Ditinjau dari letaknya Magetan merupakan daerah perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur maka bahasa sehari-hari, adat istiadat maupun kebudayaannya banyak mendapat pengaruh dari daerah Jawa Tengah yakni daerah Solo/Surakarta dan sekitarnya daripada daerah-daerah di Jawa Timur lainnya. lebih-lebih jalur tembus antara Kabupaten Magetan dengan Kabupaten Karanganyar di Jawa Tengah melewati Cemorosewu lereng sebelah barat daya Gunung Lawu dan melalui hutan-hutan, erat hubungannya dengan jalan bersejarah dari abad ke abad.