Translate

Kamis, 28 Juni 2018

Jika Seorang Adik Mendahului Kakaknya Menikah

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ. ثَلاَثًا وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ

“Beranggapan sial adalah kesyirikan, beranggapan sial adalah kesyirikan.” Beliau menyebutnya sampai tiga kali. Kemudian Ibnu Mas’ud berkata, “Tidak ada yang bisa menghilangkan sangkaan jelek dalam hatinya. Namun Allah-lah yang menghilangkan anggapan sial tersebut dengan tawakkal.” (HR. Abu Dawud no. 3910 dan Ibnu Majah no. 3538)

Jika membahas Pernikahan Adik Melangkahi Kakak, seperti yang kita tahu ada sedikit masalah di Masyarakat atau adat kita. Banyak yang berpendapat (harus) mendahulukan kakak yang lebih tua untuk menikah, atau kasarnya  adik menunda (tidak boleh) melangkahi kakaknya untuk menikah.

Seperti yang kita tahu, kebiasaan di Masyarakat kita tentang Pernikahan Adik sebelum Kakaknya, ada sedikit berhubungan dengan adat/tradisi, mitos atau kebiasaan yang sudah lama diikuti yang sering menjadi penghalang sebuah Pernikahan.

Beberapa pandangan orang tua terkait menunda adiknya untuk menikah lebih dulu sebelum kakaknya (laki-laki/perempuan), dengan dalih menjaga perasaan kakaknya, menghindari mitos tidak baik, menjaga pandangan orang terhadap kakaknya (laki-laki/perempuan) yang dilangkahi nikah, dll..

Dengan adanya larangan atau adat kebiasaan ini, secara sosial membuat si kakak (laki-laki/perempuan) yang terlambat (dilangkahi) menikah mendapat problema atau ungkapan-ungkapan yang tidak benar (perawan tua / bujang tua). Padahal ini bukan kehendaknya, tapi Masyarakatlah yang menghukumnya.

Karna dalam Syariat atau Hukum Islam, baik dari Al-Quran maupun Hadits tidak ada yang melarang seorang adik (laki-laki/perempuan) untuk menikah duluan /melangkahi kakaknya (laki-laki/perempuan). Bahkan menganjurkan agar Pernikahan TIDAK ditunda-tunda..

Kalo misalnya si adik harus nunggu kakak-nya menikah dulu, baru si adik ini menikah. Tapi kalo misalnya harus nunggu kakak-nya menikah, kan belum tau pasti kapan si kakak (laki-laki/perempuan) dapet jodoh atau menikahnya..?? Sedangkan kalo pernikahan (si adik) ditunda-tunda, takut-takut pasangan ini melakukan zina atau dosa yang lebih besar lagi.. ~Tapi inilah kenyataan yang sering terjadi di maysarakat kita.~

Jatuh cinta adalah suatu fitrah manusia yang tidak bisa dihindari. Ketika seseorang memasuki usia remaja, memasuki usia baligh, maka munculah rasa ketertarikan kepada lawan jenis yang menandakan telah beralihnya seseorang dari dunia anak-anaknya menuju ke dunia dewasa. Ketika dua orang insan telah jatuh ke dalam rasa saling mencintai, maka tak ada solusi lain yang paling baik untuk mereka selain pernikahan. Terlebih lagi mereka sudah siap baik secara materi, lahir maupun batin. Allah subahanhu wa ta’ala berfirman:

وَأَنكِحُوا ٱلْأَيَٰمَىٰ مِنكُمْ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِوَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendiri ( bujangan ) di antara kalian dan orang-orang shalih diantara para hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka dalam keadaan miskin, Allah-lah yang akan menjadikan kaya dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur [24] : 32)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لم نر للمتحابين مثل النكاح

“Tidaklah kami pernah melihat solusi untuk dua orang yang saling jatuh cinta selain menikah.” (HR. Ibnu Majah no. 1847 dan Ibnu Abi Syaibah no. 15915).

Cinta adalah fitrah manusia, ketika dua orang saling jatuh cinta maka mereka akan mengalami perubahan psikologi yang luar biasa, kadang mereka tiba-tiba merasa bahagia, tertawa, kadang senyum-senyum sendiri tidak jelas, namun kadangkala berubah menjadi galau, galau tingkat tinggi, bahkan tak jarang harus menguras air mata dalam masalah cinta ini. Terlebih lagi jika rasa cinta mereka sudah sangat mendalam, karena cinta bisa hilang akal seseorang sebagaimana kisah Laila Majnun, mereka bisa melakukan sesuatu yang sangat buruk dan melenceng dari syari’at, walaupun orang tersebut pada hakikatnya adalah seorang yang berada dalam lingkungan dakwah, mereka bisa berkhalwat melalui SMS atau semacamnya, saling merayu, mengungkapkan perasaan masing-masing. Ini seringkali dilakukan oleh mereka yang lingkungannya Islami, apalagi mereka yang lingkungannya tidak Islami bisa lebih parah dari itu, bisa sampai terjerumus dalam perzinahan. Na’udzubillahi min dzalik.
Maka solusi yang paling baik jika dua orang telah tenggelam dalam cinta adalah menikah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.

Islam menganjurkan dan memotivasi kaum muslimin agar segera menikah.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa yang tidak mampu, hendaknya dia berpuasa. Karena itu bisa menjadi tameng syahwat baginya.”(HR. Bukhari 5065 dan Muslim 1400).

Islam juga menganjurkan agar kaum muslimin saling bekerja sama untuk mewujudkan pernikahan. Ketika ada diantara mereka yang belum menikah, yang lain dianjurkan untuk membantunya agar bisa segera menikah. Allah berfirman,

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Nikahkahlah orang yang bujangan diantara kalian serta orang baik dari budak kalian yang laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui. (QS. An-Nur: 32).

Islam hanya menetapkan syarat, seorang muslim disyariatkan agar segera menikah ketika dia sudah mampu. Mampu secara finansial, sehingga bisa menanggung nafkah keluarganya, mampu dalam menyediakan kehidupan yang layak bagi keluarganya.

Tidak ada persyaratan bahwa kakak harus sudah menikah. Juga tidak pernah ada larangan untuk melangkahi sang kakak.

Sehingga, ketika sebagian masyarakat mensyaratkan, pernikahan adik harus dilakukan setelah kakak menikah, berarti mereka menetapkan syarat yang bukan syarat dan itu menghalangi terwujudnya pernikahan.

Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menetapkan syarat yang bertentangan dengan aturan Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلَوْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ فَهُوَ بَاطِلٌ

Semua syarat yang tidak ada dalam kitabullah maka itu bathil, meskipun jumlahnya seratus syarat. (HR. Ahmad 26248, Ibn Majah 2617 dan yang lainnya)

Menunda-nunda pernikahan dengan alasan apapun padahal mereka telah mampu dalam berumah tangga merupakan bentuk penyelisihan kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena menikah adalah sesuatu yang harus disegerakan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاثَةٌ يَا عَلِيُّ لاَ تُؤَخِّرْهُنَّ : الصَّلاةُ إِذَا أَتَتْ ، وَالْجَنَازَةُ إِذَا حَضَرَتْ ، وَالأَيِّمُ إِذَا وَجَدَتْ كُفُؤًا

“Wahai Ali, ada tiga perkara yang tidak boleh engkau tunda, yakni shalat jika telah tiba waktunya, jenazah apabila telah hadir, dan wanita apabila telah ada calon suami yang sekufu.” (HR. At-Tirmidzi)

Yang dimaksud sekufu adalah sepadan dalam ketakwaannya, atau baik akhlak dan agamanya. Hal ini selaras dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ

“Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084)

Pada dasarnya ketergesa-gesaan bukanlah hal yang baik dan merupakan perilaku dari Setan, akan tetapi dalam beberapa hal justru merupakan kebaikan, dan salah satunya adalah menyegerakan menikah. Hal ini sebagaimana perkataan Imam Hatim Al-Asham rahimahullah:

يقال: العجلة من الشيطان إلا في خمس إطعام الطعام إذا حضر الضيف وتجهيز الميت إذا مات وتزويج البكر إذا أدركت وقضاء الدين إذا وجب والتوبة من الذنب إذا أذنب

“Dikatakan, “Ketergesa-gesaan itu dari setan, kecuali dalam lima perkara: menghidangkan makanan jika tamu telah hadir, mengurusi jenazah jika telah wafat, menikahkan anak gadis jika telah baligh, menunaikan utang jika telah jatuh tempo, dan bertaubat dari dosa jika telah melakukan dosa.” (Hilyatul Auliya, Jilid 8 hal. 78)

Tidak ada salahnya seorang Adik Yang Ingin mendahului Kakaknya menikah untuk meminta ijin

Tata cara upacara langkahan atau meminta ijin menikah lebih dulu umumnya dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut :

Kakak calon pengantin duduk di kursi yang telah disediakan di tempat khusus.Calon pengantin menghadap kakaknya dengan cara duduk di depanya, calon pengantin menyampaikan sungkem ( sembah ), kemudian berkata :

“ Kangmas / Mbakyu, keparengo kulo nyuwun idi pangestu tuwin palilah badhe ngrumiyini lampah, kulo inggih nyuwun pangestu mugi anggen kulo bebrayan saged manggih kabagyan miwah kamulyan kalis sedoyo sambikolo … Amin.

( “ Kakak, saya mohon ijin untuk mendahului ( menikah ) saya minta keikhlasan juga kerida’an kakak, dan juga saya mohon do’a restu semoga keluarga saya nanti bisa bahagia dan sejahtera jauh dari segala aral rintangan..Amin.. )

Setelah itu calon mempelai sungkem lagi, mencium lutut kanan sang kakak, sang kakak menyambut sungkem adiknya dengan menumpakan kedua tanganya di pundak kanan kiri dan dengan ketulusan hati menjawab pernyataan adiknya :

“ Dakparingi lilah.ora watara suwe maneh aku bakal sumusul marang sliramu, mugo slamet lakumu tumeko papan kang tinuju, yoiku papan kamulyaning urip bebrayan ing kulawarga…Amin.

( “ Saya mengijinkan, tidak lama lagi saya juga akan menyusul dirimu, semoga jalanmu sampai di tempat yang kau tuju, yaitu tempat kemulyaan hidup tentram di dalam keluarga…Amin.)

Calon mempelai sungkem lagi.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Sabtu, 09 Juni 2018

Benarkah Nabi Luth As Menawarkan Putri nya

Allah ta’ala berfirman:

وَجَاءَهُ قَوْمُهُ يُهْرَعُونَ إِلَيْهِ وَمِنْ قَبْلُ كَانُوا يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ قَالَ يَا قَوْمِ هَؤُلاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلا تُخْزُونِي فِي ضَيْفِي أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ * قَالُوا لَقَدْ عَلِمْتَ مَا لَنَا فِي بَنَاتِكَ مِنْ حَقٍّ وَإِنَّكَ لَتَعْلَمُ مَا نُرِيدُ

“Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: "Hai kaumku, inilah putri-putriku mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama) ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap putri-putrimu, dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki" [QS. Huud : 78-79].

Firman Allah Swt.:

{يُهْرَعُونَ إِلَيْهِ}

dengan bergegas-gegas kepadanya. (Hud: 78)

Artinya, mereka datang dengan berlari-lari kecil karena gembira mendengar berita tersebut.

Firman Allah Swt.:

{وَمِنْ قَبْلُ كَانُوا يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ}

Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. (Hud: 78)

Yakni hal tersebut telah menjadi tradisi dan kebiasaan mereka, sehingga pada akhirnya mereka diazab dalam keadaan seperti itu.

Firman Allah Swt.:

{قَالَ يَا قَوْمِ هَؤُلاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ}

Lut berkata, "Hai kaumku, inilah putri-putriku, mereka lebih suci bagi kalian.' (Hud: 78)

Nabi Lut memberikan petunjuk mereka kepada kaum wanitanya, karena sesungguhnya kedudukan seorang nabi kepada umatnya sama dengan orang tua kepada anaknya. Nabi Lut memberikan petunjuk mereka kepada hal yang lebih bermanfaat bagi mereka dalam kehidupan di dunia dan akhirat, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ}

Mengapa kalian mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kalian tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhan kalian untuk kalian, bahkan kalian adalah orang-orang yang melampaui batas.(Asy-Syu'ara: 165-166)

قَالَ هَؤُلاءِ بَنَاتِي إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ

“Luth berkata: "Inilah putri-putriku (kawinlah dengan mereka), jika kamu hendak berbuat (secara yang halal)" [QS. Al-Hijr : 71].

Sebagian orang telah salah paham terhadap ayat ini dimana mereka menganggap Nabi Luuth ‘alaihis-salaam memberikan saran kepada kaumnya yang homoseksual itu untuk menikahi anak perempuannya. Ini keliru, karena yang dimaksud dalam ‘putri-putriku’ dalam dua ayat di atas adalah para wanita di negerinya.

Dengan kata lain, kaum Lut berkata kepada Lut, "Bukankah kami telah melarangmu menerima laki-laki sebagai tamumu?"

{قَالَ هَؤُلاءِ بَنَاتِي إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ. لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِي سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُونَ}

Lut berkata, "Inilah putri-putriku (kawinlah dengan mereka) jika kalian hendak berbuat (secara yang halal)." (Allah berfirman), "Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)." (Al-Hijr: 71-72)

Dalam ayat berikut ini disebutkan oleh firman-Nya:

{هَؤُلاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ}

Inilah putri-putriku, mereka lebih suci bagi kalian.(Hud: 78)

Mujahid mengatakan bahwa mereka bukan putri-putrinya, melainkan kaum wanita dari kalangan umatnya, karena sesungguhnya setiap nabi adalah bapak umatnya. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Qatadah dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.

Ibnu Juraij mengatakan bahwa Lut menganjurkan mereka agar mengawini kaum wanitanya bukan sebagai tawaran secara sifah(yakni untuk berbuat zina dengan mereka).

Said ibnu Jubair mengatakan, yang dimaksud dengan anak-anak perempuan dalam ayat ini ialah kaum wanita dari kalangan umatnya, dan Nabi Lut selaku nabi mereka adalah sebagai ayahnya. Dalam suatu qiraat disebutkan dengan bacaan berikut mengenai firman-Nya:

النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ )وَهُوَ أَبٌ لَهُمْ(

Nabi haruslah lebih diutamakan oleh orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka, (sedangkan Nabi sendiri adalah bapak mereka). (Al-Ahzab: 6)

Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, As-Saddi, Muhammad ibnu Ishaq, dan lain-lainnya.

حَدَّثَنَا بِشْرٌ، قَالَ: ثنا يَزِيدُ، قَالَ: ثنا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، " قَالَ هَؤُلاءِ بَنَاتِي إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ ". أَمَرَهُمْ نَبِيُّ اللَّهِ لُوطٌ أَنْ يَتَزَوَّجُوا النِّسَاءَ، وَأَرَادَ أَنْ يَقِيَ أَضْيَافَهُ بِبَنَاتِهِ "

Telah menceritakan kepada kami Bisyr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yaziid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah tentang firman-Nya : ‘Luth berkata: ‘Inilah putri-putriku (kawinlah dengan mereka), jika kamu hendak berbuat (secara yang halal)’ (QS. Al-Hijr : 71), ia berkata : “Nabiyullah Luth memerintahkan mereka agar menikahi para wanita. Dan ia berkehendak untuk melindungi tamu-tamunya (yang laki-laki) dengan putri-putrinya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy 17/118; shahih].

حَدَّثَنَا ابْنُ وَكِيعٍ، قَالَ: ثَنَا أَبِي. وَحَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ، قَالَ: ثَنَا وكيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ: "هَؤُلاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ، قَالَ: لَمْ يَكُنَّ بَنَاتُهُ، وَلَكِنْ كُنَّ مِنْ أُمَّتِهِ، وَكُلُّ نَبِيٍّ أَبُو أُمَّتِهِ "

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wakii’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ayahku. Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Laits, dari Mujaahid tentang firman-Nya : ‘Hai kaumku, inilah putri-putriku mereka lebih suci bagimu’ (QS. Huud : 78), ia berkata : “Yang dimaksudkan bukanlah putri-putri kandungnya, akan tetapi mereka adalah wanita-wanita dari umatnya, karena setiap nabi adalah ayah bagi umatnya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan15/413-414; sanadnya lemah karena faktor Laits, namun dikuatkan dari jalan riwayat Ibnu Abi Najiih sehingga hasan].

حَدَّثَنَا أَبِي، ثنا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، ثنا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ شَبِيبٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ أُبَيٍّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، فِي قَوْلِ اللَّهِ: يَا قَوْمِ هَؤُلاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ قَالَ: إِنَّمَا دَعَاهُمْ إِلَى نِسَائِهِمْ، قَالَ: وَكُلُّ نَبِيٍّ هُوَ أَبُو أُمَّتِهِ، وَكَانَ فِي بَعْضِ الْقِرَاءَةِ النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ وَهُوَ أَبٌ لَهُمْ

Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, dari Muhammad bin Syabiib, dari Ja’far bin Ubaiy, dari Sa’iid bin Jubair tentang firman Allah : ‘Hai kaumku, inilah putri-putriku mereka lebih suci bagimu’ (QS. Huud : 78), ia berkata : “Sesungguhnya Luuth hanyalah menyeru mereka untuk (menikahi) wanita-wanita mereka. Setiap nabi adalah bapak bagi umatnya. Dalam sebagian qira’atdisebutkan : ‘Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka, dan ia adalah bapak bagi mereka’ (QS. Al-Ahzaab : 6)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya hal. 2062 no. 11067].

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:

وقوله: { قَالَ يَا قَوْمِ هَؤُلاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ } يرشدهم إلى نسائهم، فإن النبي للأمة بمنزلة الوالد [للرجال والنساء]، فأرشدهم إلى ما هو أنفع لهم في الدنيا والآخرة، كما قال لهم في الآية الأخرى: { أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ } [الشعراء: 165، 166]، وقوله في الآية الأخرى: { قَالُوا أَوَلَمْ نَنْهَكَ عَنِ الْعَالَمِينَ } [الحجر:70] أي: ألم ننهك عن ضيافة الرجال { قَالَ هَؤُلاءِ بَنَاتِي إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ . لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِي سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُونَ } [الحجر:71، 72]، وقال في هذه الآية الكريمة: { هَؤُلاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ }

قال مجاهد: لم يكن بناته، ولكن كن من أمَّتِهِ، وكل نبي أبو أمَّتِه.
وكذا روي عن قتادة، وغير واحد

“Dan firman-Nya : ‘Hai kaumku, inilah putri-putriku mereka lebih suci bagimu’ (QS. Huud : 78), ia (Luuth) mengarahkan mereka pada wanita-wanita mereka, karena (kedudukan) Nabi bagi umatnya, karena Nabi bagi umatnya seperti kedudukan orang tua dari laki-laki dan wanita. Maka Luuth mengarahkan mereka kepada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi mereka di dunia dan akhirat. Sebagaimana Luuth berkata kepada kaumnya dalam ayat yang lain : ‘Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas" (QS. Asy-Syu’araa’ : 165-166). Dan juga firman-Nya dalam ayat yang lain : ‘Mereka berkata: "Dan bukankah kami telah melarangmu dari (melindungi) manusia?" (QS. Al-Hijr : 70), yaitu : Bukankah kami telah melarangmu dari menjamu laki-laki?. Firman Allah : ‘Luth berkata: "Inilah putri-putriku (kawinlah dengan mereka), jika kamu hendak berbuat (secara yang halal)". (Allah berfirman): "Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)"(QS. Huud : 71-72). Dan Allah juga telah berfirman dalam ayat-Nya yang mulia : ‘Hai kaumku, inilah putri-putriku mereka lebih suci bagimu’ (QS. Huud : 78).

Mujaahid berkata : ‘Yang dimaksudkan bukanlah anak-anak perempuan Nabi Luuth, akan tetapi wanita-wanita dari umatnya, karena setiap nabi adalah ayah bagi umatnya’.

Demikian pula yang diriwayatkan dari Qataadah dan yang lainnya” [Tafsiir Ibnu Katsiir, 4/337].

Firman Allah Swt.:

{فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلا تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي}

maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kalian mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. (Hud: 78)

Maksudnya, terimalah apa yang aku perintahkan kepada kalian, yaitu hanya mengawini kaum wanita saja.

{أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ}

Tidak adakah di antara kalian seorang yang berakal? (Hud: 78)

Yakni seorang lelaki yang baik, yang mau menerima apa yang aku perintahkan dan meninggalkan apa yang aku larang.

{قَالُوا لَقَدْ عَلِمْتَ مَا لَنَا فِي بَنَاتِكَ مِنْ حَقٍّ}

Mereka menjawab, "Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap putri-putrimu.” (Hud: 79)

Artinya, sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa kami tidak mempunyai selera dan keinginan terhadap kaum wanita kami.

{وَإِنَّكَ لَتَعْلَمُ مَا نُرِيدُ}

dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki. (Hud: 79)

Dengan kata lain, kami tidak mempunyai keinginan kecuali terhadap kaum lelaki, dan kamu mengetahui hal tersebut, maka tiada gunanya engkau mengulangi ucapan itu kepada kami.

As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki (Hud: 79) Sesungguhnya yang kami kehendaki hanyalah kaum laki-laki (bukan wanita).

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Contoh Tafsir Rosululloh SAW

Sebelum saya menguraikan tentang bagaimana bentuk penafsiran Rasulullah Shallallhu ‘alaih wa Sallam terhadap Alqur’an terlebih dahulu penulis menguraikan tentang tujuh huruf yang dengannya al-Qur’an di turunkan. dengan alasan : 1). Bahwa al-Qur’an tentunya ditafsirkan dan dipahami oleh para sahabat tentang makna, maksud dan tujuan diturunkan tidak terlepas dari susunan huruf yang terdapat di dalam al-Qur’an apalagi al-Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka Arab. 2). Bahwa terjadinya silang pemahaman antar para sahabat dan para ulama rabbani setelahnya disebabkan karena terjadinya silang pemahaman terhadap susunan huruf yang terdapat dalam satu atau dua kalimat dalam satu ayat atau bahkan silang pemahaman terhadap huruf-huruf yang menjadi perantara antara satu kalimat dengan kalmat berikutnya.

Defenisi Huruf

Kata “Huruf” berasal dari dasar kata harafa-yahrufu-harfan yang berarti pengalihan dan kata al-Harfu yang dalam bentuk jamaknya al-Hirafu berarti ujung atau batasan segala sesuatu. Adapun al-Harfu menurut para ahli nahwu adalah sesuatu yang menunjukkan suatu makna yang berbeda dari makna yang sesungguhnya, dan kata huruf juga dapat diartikan sebagai bahasa atau kalimat.

Dari definisi tentang kata huruf di atas kami dapat menarik sebuah benag merah bahwa huruf adalah satuan bentuk dari satu susunan kata yang terbentuk dari paduan huruf sehingga menghasilkan suatu struktur kalimat dan dapat dihadikan sebagai bahan dalam berkomunikasi, berinteraksi dan menulis yang kemudian menjadi sebuah bahasa yang dapat dipahami baik oleh orang yang mengelurkan kalimat tersebut atau pun bagi orang yang mendengarkannya, jadi ketika kita bertanya tentang apa itu huruf, maka kita akan menemukan jawabn bahwa huruf terbagi kedalam dua bagian yaitu huruf hijaiyyah yang berwalan dali alif dan berujung pada yaa’yang kedua adalah huruf latin yang berawal dari A dan berakhir pada Z.

Demikianlah kata huruf bila disandarkan kepada hal yang bersifat umum, adapun ketika kata huruf disandarkan kepada al-Qur’an maka, kita akan menuai berbagai makna dan interpretasi (Ikhtilaafun fii at-Tafisiir)dari kalangan para ulama. Karena huruf yang dengannya al-Qur’an diturunkan ditafsirkan secara berbeda sebab disekitar huruf tersebut terdapat banyak persilangan pendapat yang melibatkan para sahabat dan puluhan ulama mulai dari ulama tafsir sampai kepada ulama Fiqhi, bahkan para cendikiawan barat (orientalis) pun turut mengambil posisi dalam wacana tentang huruf yang dengannya al-Qur’an diturunkan.

Ikhtilaf Ulama Tentang Makna Huruf Tujuh al-Qur’an

Terdapat banyak riwayat yang menunjukkan tentang turunnya al-Qur’an dengan tujuh huruf, diantara riwayat-riwayat tersebut adalah Riwayat al-Bukhari dar hadis Umar bin al-Khaththab, R.A

عن عبد الرحمن بن عبد القارىء أنه قال سمعت عمر بن الخطاب يقول :سمعت هشام بن حكيم بن حزام يقرأ سورة الفرقان على غير ما أقرؤها وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم أقرأنيها فكدت أن أعجل عليه ثم أمهلته حتى انصرف ثم لببته بردائه فجئت به رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلت يا رسول الله إني سمعت هذا يقرأ سورة الفرقان على غير ما أقرأتنيها فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أرسله ثم قال اقرأ يا هشام فقرأ القراءة التي سمعته يقرأ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم هكذا أنزلت ثم قال لي اقرأ فقرأتها فقال هكذا أنزلت إن هذا القرآن أنزل على سبعة أحرف فاقرؤوا ما تيسر منه

Dari Abdurrahman bin abdu al-Qariy ia berkata : ” aku mendengarkan Umar bin al-Khaththab berkata : “Suatu ketika aku mendengarkan Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca surat al-Furqan berbeda dengan bacaan yang biasa aku baca sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mebacakannya kepada kami (surat al-Furqan tersebut) aku hampir saja mengkritik bacaannya kemudian aku mendiamkannya dan pergi, kemudian aku memperhatikan pakaian yang dipakainya (Hisyam) saat itu, kemudian akau mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata : ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya aku telah mendengarkan seseorang membaca surat al-Furqan berbeda dengan bacaan yang pernah engkau ajarkan kepada kami’, maka, Rasulullah berkata : “Bawakan kepadaku orang tersebut?” kemudian berkata : Bacalah wahai Hisyam!” lalu kemudian –Hisyam- membacanya sebagaiman yang aku dengarkan, kemudian Rasulullah bersabda : “Dengan bacaan inilah al-Qur’an diturunkan”. Kemudian belaiu berkata kepadaku : “Bacalah wahai Umar!” lalu akau membacanya kemudian beliau bersabda : “Demikinlah al-Qur’an diturunkan, sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah sesuia dengan bacaan yang mudah bagimu” (H.R Bukhari)

Itulah salah satu riwayat yang menyebutkan bahwasanya al-Qur’an ini di turunkan dalam tujuh huruf.

Berdasarkan riwayat-riwayat yang salah satunya telah kami sebutkan dan masih banyak lagi riwayat-riwayat yang semakna dengannya, maka, para ulama berbeda pendapat tentang makna dari tujuh huruf yang dengannya al-Qur’an diturunkan. Menurut Imam Abu Hatim ibnu Hibban sebagaimana yang dikutip oleh az-Zarkasyi dalam al-Burhan bahwa : “Para ulama berbeda pendapat tentang tujuh huruf di dalam al-Qur’an sebanyak 53 pendapat”. Sementara itu Imam As-Suyuthi menyebutkan bahwa terdapat kurang lebih 40 pendapat tentang maksud tujuh huruf di dalam al-Qur’an. dari sekian banyak silang pendapat tentang tujuh huruf kami akan menyebutkan beberapa diantaranya :

a. Kebanyakan Ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh jenis bahasa Arab yang memiliki kesatuan makna. Kemudian mereka berbeda pendapat dalam membatasi ke tujuh jenis bahasa arab diantara mereka ada yang mengatakan bahwa ke tujuh jenis bahasa yang dimaksud adalah : Quraisy, Hudzil, Tsaqif, Hawadzin, Kinanah, Tamim, dan Yaman. diantara mereka yang membatasinya pada tjuh bahasa berikut : Quraisy, Hudzail, Tamim, Al-Azdy, Rabi’ah, Hawazin, dan bahasa bani Sa’ad.

b. Pendapat kedua menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa yang kepadanya al-Qur’an diturunkan, dengan artian bahwa secara umum kalimat-kalimat yang terdapat di dalam al-Qur’an tidak terlepas dari ketujuh jenis bahasa Arab yang merupakan bahsa terfasih yang ada di tanah Arab. maka lebih banyak bahasa yang digunakan di dalam al-Qur’an dalam bahasa Quraisy, diantaranya pula terdapat bahasa Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamimim dan Yaman yang kesemuanya itu tergolong dalam tujuh bahasa bahasa. Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya dimana mereka memaksudkan bahwa ketujuh huruf atau jenis bahasa tersebut keberadaannya terpisah antara satu surat dengan surat lainnya dan bukan berada pada jenis bahasa dalam satu kalimat.

c. Diantara mereka ada yang berbendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bentuk seperti bentuk perinta (al-Amru), larangan, janji, ancaman, perdebatan, kisah-kisah, permisalan. atau dalam bentuk perinta (al-Amru), larangan, halal, haram, mutasyabih dan permisalan.

d. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bentuk perubahan kata dari segi nahwu dan sharaf.

Dari sekian macam pendapat tentang maksud dari tujuh huruf yang dengan al-Qur’an diturunkan, maka kami dapat mengambil pendapat pertama yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh jenis bahasa yang digunakan dalam beberapa kalimat di dalam al-Qur’an, hal ini disebabkan karena keserasian antara pendapat in dengan riwayat-riwayat yang shahih tentang tujuh huruf tersebut.

Setelah kita menjelaskan tentang tujuh huruf yang dengannya al-Qur’an diturunkan, maka berdasarkan pada hal ini kita dapat mengetahui berebagai macam bentuk penafsiran Rasulullah shallah ‘alaihi wasallam.

Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab yang jelas dan mereka –para sahabat Rasul- memahami teks-teks ayat-ayat Alqur’an beserta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, adapun pemahaman mereka –para sahabat Nabi- tentang kedalaman kandungan makna al-Qur’an, maka hal tersebut nanti akan tampak bagi mereka setelah mereka melakukan penelitian, pencarian dan menanyakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam dalam beberapa kesempatan.

Dari pertanyaan-pertanyan para sahabat beliau Shallallhu ‘alaihi wa Sallam kita dapat menemukan bebagai bentuk penafsiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap al-Qur’an dan tentunya hal ini hanya dapat kita temukan melalui penelitan terhadap riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang bagaimana Rasulullah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang turun kepada beliau. berikut ini akan kami rinci bentuk-bentuk penafsiran Beliau Shallalhu ‘alaihi wa sallam terhadap al-Qur’an.

Di antara ciri khas tafsir Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah menjelaskan hal yang masih musykil (taudliihul-musykil). Misalnya, penjelasan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang makna benang putih dan benang hitam dalam firman Allah ta’ala :

حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” [QS. Al-Baqarah : 187].

Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan benang putih di sini adalah waktu siang, dan benang hitam adalah waktu malam.

Telah diriwayatkan dalam kitab Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, serta kitab-kitab hadits yang lainnya, dari ‘Adiy bn Haatim radliyallaahu ‘anhu bahwasannya ia dulu telah meletakkan dua benang yang berwarna putih dan berwarna hitam di bawah bantalnya. Dia akan memeriksa kedua benang itu apakah ia telah bisa membedakan dengan jelas antara satu dengan yang lainnya. Maka pada pagi harinya ia pergi menuju Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan perbuatannya semalam. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إنما ذلك سواد الليل وبياض النهار

“Yang dimaksud dengan (benang) hitam adalah malam, dan (benang) putih adalah siang”.

Contoh lain : Diriwayatkan oleh Muslim dari Tsauban, maula Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam – ia berkata :
{كنت قائما عند رسول الله صلى الله عليه وسلم. فجاء حبر من أحبار اليهود فقال: السلام عليك يا محمد! }
 “Aku pernah berdiri di samping Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian datanglah seorang Rahib Yahudi dan berkata :‘Assalaamu’alaika  ya Muhammad !…”. Redaksi hadits ini panjang, namun dalam redaksi yang panjang itu sang Rahib Yahudi berkata :

أين يكون الناس يوم تبدل الأرض غير الأرض والسماوات؟

“Dimanakah manusia di hari ketika bumi digantikan oleh selain bumi dan langit ?”.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

هم في الظلمة دون الجسر

“Mereka dalam kegelapan di hadapan jembatan”.

Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini untuk menjelaskan firman Allah ta’ala :

يَوْمَ تُبَدَّلُ الأرْضُ غَيْرَ الأرْضِ وَالسَّمَاوَاتُ

“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit” [QS. Ibraahiim : 48].

Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata :

سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن قوله عز وجل: {يوم تبدل الأرض غير الأرض والسماوات} [14 /إبراهيم /48] فأين يكون الناس يومئذ؟ يا رسول الله! فقال "على الصراط".

“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang firman Allah ‘azza wa jalla : “(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit” :  ‘Dimanakah manusia pada waktu itu berada wahai Rasulullah ?’. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Di atas jembatan”.

Contoh lain lagi adalah sebuah riwayat yang dibawakan oleh Abu Dawud dari Umayyah Asy-Syaibani, ia berkata :

سألت أبا ثعلبة الخشني فقلت يا أبا ثعلبة كيف تقول في هذه الآية عليكم أنفسكم قال أما والله لقد سألت عنها خبيرا سألت عنها رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال بل ائتمروا بالمعروف وتناهوا عن المنكر حتى إذا رأيت شحا مطاعا وهوى متبعا ودنيا مؤثرة وإعجاب كل ذي رأي برأيه فعليك يعني بنفسك ودع عنك العوام فإن من ورائكم أيام الصبر الصبر فيه مثل قبض على الجمر للعامل فيهم مثل أجر خمسين رجلا يعملون مثل عمله وزادني غيره قال يا رسول الله أجر خمسين منهم قال أجر خمسين منكم

“Aku pernah bertanya kepada Abu Tsa’labah Al-Khasysyaniy : “Bagaimana pendapatmu tentang ayat ‘Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu’ (QS. Al-Maaidah : 105) ?”. Abu Tsa’labah berkata : “Demi Allah, aku pernah menanyakan hal itu pada orang yang memang mengetahuinya, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menjawab : ‘Bahkan hendaklah kalian saling beramar ma’ruf nahi munkar. Hingga kamu melihat sifat kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dunia yang diutamakan, dan setiap orang yang bangga/takjub dengan pendapatnya sendiri; maka jagalah dirimu sendiri dan tinggalkanlah masyarakat awam. Sesungguhnya di belakangmu nanti akan ada hari-hari penuh kesabaran. Sabar pada hari itu seperti halnya memegang bara api. Orang yang beramal pada waktu itu akan diberi pahala seperti pahala lima puluh orang lain yang beramal seperti amalnya”. Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, pahala lima puluh orang dari kalangan mereka ?”. Beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Bahkan limapuluh orang di antara kalian”.

Tafsir Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lain terhadap lafadh yang musykil dapat juga ditemui pada riwayat Muslim dari Al-Mughirah bin Syu’bah, ia berkata :

عن المغيرة بن شعبة. قال: لما قدمت نجران سألوني. فقالوا: إنكم تقرؤن: يا أخت هارون. وموسى قبل عيسى بكذا وكذا. فلما قدمت على رسول الله صلى الله عليه وسلم سألته عن ذلك. فقال (إنهم كانوا يسمون بأنبيائهم والصالحين قبلهم).

Dari Mughirah bin Syu’bah ia berkata : Ketika aku tiba di Najraan, orang-orang bertanya kepadaku : ”Apakah engkau memahami ayat ”Hai Saudara perempuan Harun” (QS. Maryam : 28) sedangkan Musa itu hidup jauh sebelum jaman ’Isa. Apakah maksudnya begini dan begini ?”. Setelah aku bertemu dengan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam dan menanyakan tentang hal tersebut, maka beliau menjawab : “Kebiasaan mereka pada waktu itu menyebut nama seseorang dengan menisbatkan kepada para nabi atau orang-orang shalih sebelum mereka”.

Di antara ayat yang lafadhnya masih sulit pengertiannya menurut para shahabat adalah firman Allah ta’ala :

لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلا نَصِيرًا

“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah” [QS. An-Nisaa’ : 123].

Ibnu Katsir berkata :

وقد روي أن هذه الآية لما نزلت شق ذلك على كثير من الصحابة. قال الإمام أحمد: حدثنا عبد الله بن نُمَيْر، حدثنا إسماعيل، عن أبي بكر بن أبي زهير قال: أخْبرْتُ أن أبا بكر قال: يا رسول الله، كيف الصلاح بعد هذه الآية: { لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ } فَكُل سوء عملناه جزينا به؟ فقال النبي صلى الله عليه وسلم: "غَفَر اللَّهُ لكَ يا أبا بكر، ألستَ تَمْرضُ؟ ألستَ تَنْصَب؟ ألست تَحْزَن؟ ألست تُصيبك اللأواء ؟" قال: بلى. قال: "فهو ما تُجْزَوْنَ به".

“Telah diriwayatkan bahwasannya ketika ayat ini diturunkan, banyak di antara shahabat merasa berat (dalam memahaminya). Telah berkata Al-Imam Ahmad : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Numair : Telah menceritakan kepada kami Isma’il, dari Abu Bakr bin Abu Zuhair, ia berkata : Aku diberi khabar bahwa Abu Bakr pernah berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin ada kebahagiaan (di antara kami) setelah diturunkannya ayat ini : “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu” (QS. An-Nisaa’ : 123) ?. Bukankah setiap kejahatan yang kami lakukan akan dibalas ?”. Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Semoga Allah mengampunimu wahai Abu Bakr, bukankah kamu akan menderita sakit ?. Bukankah kamu akan ditimpa musibah ? Bukankah kamu jugaakan merasa sedih ? Bukankah kamu juga akan ditimpa hal-hal yang tidak menyenangkan ?”. Abu Bakr menjawab : “Benar”. Beliau bersabda : “Itulah balasan yang akan diberikan kepada kalian”.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Kisah Mubahalah Mirza Ghulam Ahmad Al-Kadzab

Kata mubahalah [arab: المباهلة] turunan dari kata al-Bahl [arab: البَهْل] yang artinya laknat. Dalam Lisan al-Arab dinyatakan,

البَهْل: اللعن، وبَهَله الله بَهْلاً أي: لعنه، وباهل القوم بعضهم بعضاً وتباهلوا وابتهلوا: تلاعنوا، والمباهلة: الملاعنة

Al-Bahl artinya laknat. Kalimat ‘bahalahullah bahlan’ artinya Allah melaknatnya. Kalimat ‘baahala al-qoumu ba’dhuhum ba’dha’ artinya saling melaknat satu sama lain. Al-Mubahalah berarti Mula’anah (saling melaknat). (Lisan al-Arab, 11/71)

Ar-Raghib al-Asfahani mengatakan,

والبهل والابتهال في الدعاء الاسترسال فيه، والتضرع؛ نحو قوله ـ عز وجل ـ: {ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَل لَّعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ} [آل عمران: 61]، ومن فسر الابتهال باللعن فلأجل أن الاسترسال في هذا المكان لأجل اللعن

Al-Bahl dan Ibtihal dalam doa, artinya bersungguh-sungguh tanpa batas dalam berdoa. Seperti disebutkan dalam firman Allah, (yang artinya), “Kemudian kita melakukan ibtihal, dan kita tetapkan laknat Allah untuk orang yang berdusta.” (QS. Ali Imran: 61). Ulama yang menafsirkan ibtihal dengan laknat karena umumnya orang lepas kontrol ketika itu, disebabkan melakukan laknat. (al-Mufradat fi Gharib al-Quran, hlm. 63).

Kesimpulannya, Mubahalah artinya doa dalam bentuk melaknat dengan sungguh-sungguh.

Bagaimana hasilnya? Laknat akan ditimpakan kepada orang yang berdusta diantara mereka. Ibnu Hajar mengatakan,

ومما عُرف بالتجربة أن من باهل وكان مبطلاً لا تمضي عليه سنة من يوم المباهلة، وقد وقع لي ذلك مع شخص كان يتعصب لبعض الملاحدة فلم يقم بعدها غير شهرين

Berdasarkan pengalaman, orang yang melakukan mubahalah di kalangan pembela kebatilan, tidak bertahan lebh dari setahun sejak hari mubahalah. Itu pernah saya alami sendiri bersama seorang yang memiliki pemikiran menyimpang, dan dia tidak bertahan hidup lebih dari 2 bulan. (Fathul Bari, 8/95)

Ibnu Abbas mengomentari orang nasrani Najran,

وَلَوْ خَرَجَ الَّذِينَ يُبَاهِلُونَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَرَجَعُوا لاَ يَجِدُونَ مَالاً وَلاَ أَهْلاً

Andai ada orang yang berani bermubahalah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu mereka semua akan pulang, dan semua harta dan keluarganya akan hilang habis. (HR. Ahmad 2264).

Shiddiq Hasan Khan pernah mengatakan,

أردت المباهلة في ذلك الباب ـ يعني باب صفات الله تعالى ـ مع بعضهم فلم يقم المخالف غير شهرين حتى مات

Saya ingin mubahalah dengan sebagian mereka dalam masalah aqidh tentang sifat Allah. Dan orang yang menyimpang tidak bertahan lebih dari dua bulan, hingga dia mati. (Aun al-Bari, 5/334)

Kisah Mubahalah dengan Mirza Ghulam Ahmad

Tahukah anda, ternyata Mirza Ghulam Ahmad mati di WC dalam kondisi yang mengenaskan. Mayatnya berbau busuk, hingga semua orang menjauh darinya. Mirza Ghulam Ahmad mati setelah Mubahalah.

Syaikh Tsanaullah al-Amaritsari berdebat dengan Ghulam Ahmad. Setelah Ghulam berada di posisi kalah, akhirnya depat dipungkasi dengan Mubahalah. Syaikh mengatakan,

غلام أحمد من كان على الباطل أماته الله قبل الصادق منهما

Wahai Ghulam Ahmad, siapa diantara kita berada di atas kebatilan, maka Allah akan segera mematikan sebelum orang yang jujur (lawan debatnya) mati.

Berikut ini adalah surat tantangan mubaahalah Ghulam Ahmad Al-Kadzdzab terhadap seorang ‘aalim rabbaniy Asy-Syaikh Tsanaullah Al-Amritsariy rahimahullah atas klaim kenabian dirinya. Akhirnya, Allah pun menimpakan laknat dengan mematikan dirinya di atas kesesatan dan termakan doanya sendiri.

Ghulam Ahmad Al-Kadzdzab menulis :

بسم الله الرحمن الرحيم
نحمده ونصلى على رسوله الكريم , يسألونك أحق هو قل إى وربى إنه لحق.
إلى خدمة الأستاذ ثناء الله.
السلام على من اتبع الهدى , من زمان وأنا أُكذّب وأُفسّق فى مجلتكم : أهل حديث . ودائماً تسموننى فى مجلتكم هذه ملعوناً كذاباً ودجالاً مفسداً , وتشهرنى فى العالم بانى مفترى كذاب دجال , وأفترى فى دعواى المسيحية , فانا تأذيت منك كثيراً وصبرت , ولكنى لما رأيت نفسى بأنى مأمور لنشر الحق وأنت تمنع العالم من التوجه إلى بسبب افتراءاتك علىّ إن أنا كذاب ومفترى , فأدعو إن أنا كذاب ومفتري كما تذكرني في مجلتك فأهلك في حياتك؛ لانى أعلم أن عمر الكذاب والمفسد لا يكون طويلاً بل هو يموت خائباً فى حياة أشد أعدائه بالذلة والهوان وتكون فى موته منفعة لعباد الله , حيث لا يضلهم فإن لم أكن كذاباً ومفترياً , بل أكون متشرفاً بمخاطبة الله والمكالمة معه , وأكون مسيحياً موعوداً فأدعو أن لا تنجو من عاقبة المكذبين , حسب سنة الله فأعلن :
إن لم تمت أنت فى حياتى بعقاب الله , الذى لا يكون من عند الله محضاً مثل أن يموت بمرض الطاعون أو الكوليرا , فلن أكون مرسلاً من الله تعالى , وهذا لا أقول نبوءة , بل طلبت القضاء من الله تبارك وتعالى , وأدعو الله , يا مولاى البصير القدير , العليم الخبير , يا عالم أسرار القلوب , إن أنا كاذب ومفسد فى نظرك , وأفترى عليك ليلاً ونهاراً يا الله , فأهلكنى فى حياة الأستاذ ثناء الله , وسره وجماعته بموتى , آمين.
ويا الله إنا صادق , ثناء الله علىّ باطل , وكذّاب فى التهم التى يلصقها بى , فأهلكه - يا رب العالمين - فى حياتى بالأمراض المهلكة , مثل الطاعون أو الكوليرا أو غيره من الأمراض , آمين . يارب أنا أوذيت وصبرت , ولكنى أرى الآن أنه قد تجاوز الحد , وانه يظننى أفسق من السارقين , والغاصبين الذى يضرون العالم , ويحسبنى أرذل خلق الله وقد شهرنى فى البلدان النائية بأنى فى الحقيقة مفسد ونهاب وطماع وكذاب ومفترى وخبيث وإن لم يكن لهذه الكلمات صدى , كنت صبرت عليه ولكنى أرى أن ثناء الله يريد بهذه التهم أن يفنى دعوتى , ويهدم عمارتى التى بنيتها أنت يا رب ويا من أرسلتنى ولذا ألتجأ إليك يا الله آخذاً بذيل رحمتك وتقدسك فاقض بينى وبين ثناء الله بالحق وأهلك الكذاب والمفسد فى حياة الصالح , أو ابتليه فى آفة , تكون مثل الموت , فافعل هكذا يا ربى الحبيب , آمين ثم آمين : ( رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنتَ خَيْرُ الْفَاتِحِينَ) [الأعراف : 89 ]
وأخيراً أرجو من الأستاذ ثناء الله أن ينشر هذه النشرة فى مجلته , ثم يعلق عليها ما يشاء فالقضاء الآن بيد الله.
الراقم :

عبد الله الصمد غلام أحمد المسيح الموعود , عافاه الله وأيده

“Bismillahir-rahmaanir-rahiim.

Kami memuji dan mengucapkan shalawat kepada Rasul yang mulia. Mereka bertanya kepadamu : ‘Apakah hal itu benar ?’. Katakanlah : ‘Ya, demi Rabbku bahwasannya ia memang benar’.

Kepada yang terhormat : Al-Ustaadz Tsanaaullah (Al-Amritsariy).

Assalaamu ‘alaa manit-taba’al-hudaa (semoga keselamatan tercurah kepada siapa saja yang mengikuti petunjuk).Sudah beberapa waktu lamanya aku didustakan dan difasikkan dalam majalah kalian : Ahlul-Hadiits. Dan senantiasa kalian menyebutku dalam majalah itu terlaknat, pendusta, dajjal, dan perusak. Kalian juga menjelek-jelekkanku dengan mencemooh aku pendusta lagi pembohong, menganggap aku berbohong dalam klaim Al-Masiihiyyah. Sungguh aku merasa sangat tersakiti atas omonganmu ini, namun aku mencoba bersabar. Akan tetapi ketika aku melihat diriku diperintah untuk menyebarkan kebenaran sedangkan engkau mencoba menghalang-halangi dunia menuju kepadaku dengan sebab kebohongan-kebohongan yang engkau alamatkan kepadaku,….. maka aku berdoa seandainya aku pendusta lagi pembohong sebagaimana yang engkau sebutkan dalam majalahmu, aku akan mati di masa kehidupanmu. Karena aku tahu umur seorang pendusta lagi pembohong tidaklah akan lama. Ia akan mati sebagai pecundang dalam kehidupan musuh bebuyutannya secara hina-dina. Kematiannya akan menjadi manfaat bagi hamba-hamba Allah (yang masih hidup), ketika ia tidak bisa menyesatkan mereka. Namun seandainya aku bukan seorang pendusta lagi pembohong, aku akan menjadi orang yang mulia/terhormat dengan firman Allah dan perbincangan bersama-Nya. Dan aku akan menjadi Al-Masiih Al-Mau’uud (yang dijanjikan). Oleh karena itu, aku akan berdoa agar engkau tidak selamat dari akhir kehidupan para pendusta berdasarkan sunnah Allah. Maka aku umumkan :

Seandainya engkau tidak mati di masa kehidupanku dengan hukuman Allah yang murni datang dari sisi-Nya semisal mati terserang penyakit thaa’uun atau kolera, maka aku bersaksi bahwa aku bukan seorang utusan Allahta’ala. Ini tidaklah aku ucapkan sebagai ramalan, akan tetapi aku memohon putusan dari Allah tabaaraka wa ta’ala. Dan aku berdoa kepada Allah, wahai maulaku, Al-Bashiir, Al-Qadiir, Al-‘Aliim, Al-Khabiir,… Wahai, Dzat yang mengetahui rahasia-rahasia hati, seandainya aku pendusta dan perusak di sisi-Mu dimana aku berbohong kepadamu sepanjang malam dan siang ya Allah,… matikanlah aku di masa kehidupan Al-Ustadz Tsanaaullah. Gembirakanlah ia beserta kelompoknya dengan kematianku, amiin.

Ya Allah, namun seandainya aku benar dan tuduhan Tsanaaullah kepadaku itu baathil, dan ia dusta dalam tuduhan-tuduhannya yang dialamatkan kepadaku, matikanlah ia – ya Rabbal-‘aalamiin – di masa kehidupanku dengan penyakit yang membinasakan, seperti thaa’uun, kolera, atau yang lainnya dari macam-macam penyakit (yang membinasakan). Aamiin. Wahai Rabb, aku telah tersakiti dan aku pun bersabar. Akan tetapi, aku melihat sekarang bahwasannya ia telah melewati batas. Ia telah menyangkaku lebih fasik daripada para pencuri dan perampas yang merusak alam/dunia. Dan ia telah menganggapku makhluk yang paling hina, dan ia pun menjelek-jelekkanku di berbagai negeri bahwasanya aku ini sebenarnya perusak, perampok, rakus, pendusta, pembohong, lagi busuk. Seandainya kalimat-kalimat ini tidak bergema (di khalayak), niscaya aku akan tetap sabar kepadanya. Akan tetapi aku melihat Tsanaaullah menginginkan dengan tuduhan ini memadamkan dakwahku, menghancurkan bangunanku yang telah Engkau bangun, wahai Rabb, wahai Dzat yang telah mengutusku. Oleh karena itu, aku berlindung kepadamu ya Allah, dengan berpegang dengan ujung rahmat-Mu dan kesucian-Mu, putuskanlah antara aku dengan Tsanaaullah dengan kebenaran. Dan binasakanlah pendusta dan perusak di masa kehidupan orang yang benar, atau timpakanlah cobaan berupa penyakit hingga seperti kematian. Lakukanlah seperti ini wahai Rabb-ku tercinta, amiin, tsumma amiin. ‘Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya’ (QS. Al-A’raaf : 89).

Dan sebagai penutup, aku mohon kepada Al-Ustaadz Tsanaaullah untuk menyebarkan selebaran ini di majalahnya, kemudian silakan mengomentarinya semaunya, karena keputusan sekarang sudah berada di tangan Allah.

Ttd :

‘Abdullah Ash-Shamad Ghulaam Ahmad Al-Masiih Al-Mau’uud

[selesai – selebaran Al-Ghulaam Al-Qaadiyaaniy yang dipublikasikan tanggal 15 April 1907 M, yang dimuat dalam Tabliigh Risaalaat, 1/120]

Sepuluh hari setelah pengumuman ini disebarkan oleh Ghulam Ahmad, ia berkata dengan pongahnya :

إن كل ما قيل عن ثناء الله ليس من عبد أنفسنا، بل من قبل الله، كما ألهمت الليلة عن الدعاء الذي دعوته ((أجيب دعقة الداع)) ومعنى هذا الالهام أن دعوتي قد قبلت

“Sesungguhnya setiap hal yang dikatakan tentang Tsanaaullah, bukanlah berasal dari diriku sendiri, akan tetapi berasal dari Allah, sebagaimana ilham yang aku terima semalam tentang doa yang aku panjatkan : ‘Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa’ ; yang makna dari ilham ini : doaku telah dikabulkan (oleh Allah)” [Koran Al-Qaadiyaaniyyah, Al-Badr, edisi 25 April 1907 M].

Jadi, ia dengan tantangannya itu telah memastikan bahwasannya doanya diterima. Siapakah yang hendak diyakinkan oleh pendusta ini pihak yang akan binasa ? Tentu saja Asy-Syaikh Tsanaaullah rahimahullah; dan sebaliknya, pendusta inilah yang akan hidup.

Tapi apa yang terjadi ?

Anak Ghulam Ahmad yang bernama Basyiir Ahmad menulis :

أخبتني أمي أن حضرته (أي الغلام) احتاج إلى بيت الخلاء بعد الطعام مباشرة، ثم نام قليلا وبعد ذلك احتج مرة أخرى إلى بيت الخلاء فذهب مرة أو مرتين إليها بدون أن يشعرني، ثم أيقظني، فرأيت أنه ضعف جدا وما استطاع الذهاب إلى سريره فلذا جلس على سريري أنا، فبدأت أمسحه وأمسجه، وبعد قليل أحس الحاجة مرة أخرى ولكن الآن ما استطاع الذهاب إلى بيت الخلاء فلذا قضاها عند السرير واضطجع قليلا بعد القضاء ولكن ضعف بلغ إلى منتهاه فجائته الحاجة مرة أخرى فقضاها ثم جاءه القيء وبعد ما فرغ من القيء خر على ظهره واصطدم رأسه بخشب السرير وتغير حالته

“Ibuku mengkhabarkanku bahwasannya yang mulia (yaitu Ghulaam Ahmad) ingin pergi ke toilet setelah selesai makan. Kemudian setelah itu ia tidur sebentar, namun kemudian ia ingin kembali ke toilet. Ia melakukannya sekali atau dua kali tanpa aku ketahui. Kemudian ia membangunkanku, dan aku melihatnya dalam keadaan sangat lemah. Ia tidak mampu pergi ke tempat tidurnya. Oleh karena itu ia duduk di tempat tidurku. Lalu aku pun mengusap dan memijitnya. Tidak lama kemudian, ia kembali terasa ingin buang air besar, namun sekarang ia tidak mampu lagi pergi ke toilet. Maka, ia pun melakukannya di samping tempat tidur. Ia pun berbaring sebentar setelah selesai, namun kelemahan pada dirinya sampai pada puncaknya. Lalu ia kembali terasa ingin buang air besar, lalu ia pun melakukannya, lalu ia muntah. Setelah selesai muntah, ia jatuh ke belakang dan kepalanya terbentur kayu tempat tidur. Keadaannya pun berubah (= mati)” [Siirah Al-Mahdiy, hal. 109 oleh Basyiir Ahmad bin Ghulaam].

Para Pembaca dapat simak akhir kehidupan mengenaskan si pendusta, bahwa ia sendiri yang dibinasakan oleh Allah ta’ala melalui penyakit mencret/kolera pada tanggal 26 Mei 1908 pukul 10.30 pagi.

Allah ta’ala berfirman :

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ قَالَ أُوحِيَ إِلَيَّ وَلَمْ يُوحَ إِلَيْهِ شَيْءٌ وَمَنْ قَالَ سَأُنْزِلُ مِثْلَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ آيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ

“Dan siapakah yang lebih lalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya", padahal tidak ada diwahyukan sesuatu pun kepadanya, dan orang yang berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah". Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratulmaut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu". Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya” [QS. Al-An’aam : 93].

Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kisah pendusta ini.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Jumat, 08 Juni 2018

Kunci Kalimah Lailaha Illalloh

Semua muslim pasti telah memahami bahwa segala macam bentuk ibadah tidaklah diterima begitu saja kecuali dengan terpenuhi syarat-syaratnya. Misalnya saja shalat. Ibadah ini tidak akan diterima kecuali jika terpenuhi syaratnya seperti wudhu. Begitu juga dengan puasa, haji dan ibadah lainnya, semua ibadah tersebut tidak akan diterima kecuali dengan memenuhi syarat-syaratnya. Maka begitu juga dengan kalimat yang mulia ini. Kalimat laa ilaha illallah tidak akan diterima kecuali dengan terpenuhi syarat-syaratnya.

Oleh karena itu, para ulama terdahulu (baca : ulama salaf) telah mengisyaratkan kepada kita mengenai pentingnya memperhatikan syarat laa ilaha illallah. Lihatlah di antara perkataan mereka berikut ini.

Al Hasan Al Bashri rahimahullah pernah diberitahukan bahwa orang-orang mengatakan,”Barangsiapa mengucapkan laa ilaha illallah maka dia akan masuk surga.” Lalu beliau rahimahullah mengatakan, ”Barangsiapa menunaikan hak kalimat tersebut dan juga kewajibannya, maka dia akan masuk surga.”

Pernah ditanyakan kepada Wahb bin Munabbih : “Bukankah (ucapan syahadat) Tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah kecuali Allah sebagai kunci surga?“. Dia (Wahb) menjawab :

بَلَى وَلَكِنْ لَيْسَ مِفْتَاحٌ إِلَّا لَهُ أَسْنَانٌ فَإِنْ جِئْتَ بِمِفْتَاحٍ لَهُ أَسْنَانٌ فُتِحَ لَكَ وَإِلَّا لَمْ يُفْتَحْ لَكَ

“Betul, akan tetapi tidaklah ada kunci melainkan padanya ada gigi-gigi. Maka jika engkaumendatangkan kunci yang mempunyai gigi-gigi,kamu dapat membuka. Dan jika tidak, maka engkau tidak dapat membuka“ [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy secara mu‘allaq, di atas hadits no. 1237].

Adapun gigi-gigi kunci yang dimaksud adalah syarat-syarat yang wajib dipenuhi dalam syahadat Laa ilaha illallaah". Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :

1.     Al-Ilmu, yang meniadakan kebodohan, yaitu mengetahui maknanya baik secara peniadaan maupun penetapannya.

Allah ta’ala berfirman:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ

“Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada sembahan/ilah yang berhak diibadahi selain Allah” [QS. Muhammad ayat 19].

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [QS. Aali ‘Imraan : 18].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda:

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa yang meninggal sedangkan ia dalam keadaan mengetahui bahwasannya tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah, melainkan ia akan masuk surga’ [Diriwayatkan oleh Muslim no. 26].

Maksudnya, pengetahuan untuk meniadakan peribadahan selain Allah, dan menetapkannya hanya kepada Allah Yang Maha Esa. Oleh karena, pengertian kalimatLaa ilaha illallaah adalah pengesaan Allah dalam peribadahan kepada-Nya.

Kalimat yang agung ini mempunyai dua rukun:

a.      An-nafyu (peniadaan), yaitu pada kalimat ‘laa ilaha (لَا إِلَهَ) : meniadakan semua tuhan/sesembahan yang diibadahi selain Allah.

b.      Al-itsbat (penetapan), yaitu pada kalimat ‘illallaah’ (إِلَّا اللهُ) : menetapkan semua jenis peribadahan hanya kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Peniadaan saja bukanlah tauhid. Begitu pula dengan penetapan saja bukanlah tauhid. Akan tetapi tauhid adalah penggabungan antara peniadaan dan penetapan sekaligus.

2.     Al-Yaqiin, adalah kesempurnaan ilmu tentangnya (kalimat Laa ilaha illallaah) yangmeniadakan keraguan.

Keimanan seseorang membutuhkan ilmu yakin, bukan sekedar ilmu dhann(persangkaan). Maka, orang yang mengucapkan kalimat laa ilaha illallaah harus benar-benar yakin terhadap makna yang terkandung di dalamnya dengan keyakinan yang pasti. Keyakinan menjadikan hati istiqamah bertauhid dengan tanpa keraguan. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar” [QS. Al-Hujuraat : 15].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، لَا يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا، إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya aku adalah utusan (Rasul) Allah. Tidaklah seorang hamba yang berjumpa Allah dengan keduanya tanpa keraguan (syak), melainkan ia akan masuk surga” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 27].

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu:

فَمَنْ لَقِيتَ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ، يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ، فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ

“Orang yang engkau temui di balik tembok ini, ia bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah dengan keyakinan di hatinya, maka berikanlah kabar gembira kepadanya akan surga” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 31].

Orang yang ragu, maka ia termasuk orang munafik, sebagaimana firman Allah ta’ala:

إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ

“Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya” [QS. At-Taubah : 45].

3.     Al-Ikhlash, yang meniadakan kesyirikan, yaitu kecintaan kepada Allah, menginginkan keridlaan-Nya, memurnikan peribadahan hanya kepada-Nya semata dari semua kesyirikan. Hal itu dikarenakan hanya Allah lah yang berhak mendapatkannya (peribadahan dari makhluk-Nya), bukan selain-Nya.

Kalimat tauhid tidak akan bermanfaat tanpa keikhlashan yang meniadakan kesyirikan. Makna kesyirikan adalah menyamakan sesuatu selain Allah dengan Allah dalam semua hal yang menjadi kekhususan-Nya.

Allah ta’ala berfirman:

أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)” [QS. Az-Zumar : 3].

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” [QS. Al-Bayyinah : 5].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ، مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ

“Manusia yang paling bahagia dengan syafaatku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa ilaha illallaah (tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah) secara ikhlash dari hatinya atau jiwanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 99].

4.     Ash-Shidq (jujur), yang meniadakan kedustaan yang menjadi penghalang kemunafikan. Seseorang yang mengucapkan laa ilaha illallaah harus jujur dari hatinya, hatinya sejalan dengan lisannya. Barangsiapa yang mengucapkannya dengan lisannya secara dhahir namun ternyata dusta secara batin (dalam hatinya), maka ia seorang munafik. Kemunafikan adalah menampakkan kebaikan secara dhahir dan menyembunyikan kejelekan secara batin.

Allah ta’ala berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ * يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ * فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

“Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta” [QS. Al-Baqarah : 8-10].

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ * وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?. Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” [QS.Al-Ankabuut : 2-3].

Allah ta’ala banyak berfirman tentang orang-orang munafik dalam Al-Qur’an. Bahkan, Ia berfirman secara khusus dalam satu surat, yaitu surat Al-Munaafiquun (orang-orang munafik), karena besarnya bahaya yang ditimbulkan oleh mereka. Begitu juga dengan surat At-Taubah dimana banyak sekali ayat-ayat dalam surat ini berbicara tentang mereka. Surat At-Taubah disebut juga ‘Al-Faadlihah’ karena Allah menyingkap tirai-tirai keburukan dan kejahatan mereka yang tersembunyi, serta memperingatkan kaum muslimin agar berhati-hati dari sifat-sifat mereka. Mereka adalah musuh Islam dan kaum muslimin yang tidak tampak, sedangkan orang-orang kafir adalah musuh yang tampak.

5.     Al-Mahabbah, cinta yang merupakan lawan dari kebencian. Yaitu mencintai kalimat laa ilaha illallaah, segala sesuatu yang dikandungnya, dan bergembira karenanya.Seseorang harus mencintai dan melazimi kalimat tauhid, dan membenci apa-apa yang bertentangan/menbatalkan tauhid.

Allah ta’ala berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah” [QS. Al-Baqarah : 165].

وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا أَهَؤُلاءِ الَّذِينَ أَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُوا خَاسِرِينَ

“Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: "Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?" Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi” [QS. Al-Baqarah : 165].

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ، أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

“Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) ia mencintai seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah semata, dan (3) ia membenci untuk kembali kepada kekafiran (setelah Allah menyelamatkannya darinya) sebagaimana ia benci apabila dilempar ke dalam api neraka“ [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 16].

Kecintaan adalah perkara yang sangat agung, bahkan ibadah diantaranya terbangun hal ini, yaitu rasa takut/khawatir, harap, dan cinta.

Kecintaan ada dua macam, yaitu kecintaan wajib dan kecintaan sunnah. Kecintaan wajib adalah kecintaan yang seseorang tidak dihukumi muslim kecuali jika ia dapat mewujudkannya; yaitu : kecintaan kepada Allah. Kecintaan yang mengkonsekuensikan melakukan apa yang diperintahkan kepadanya, meninggalkan apa yang diharamkan kepadanya. Apabila seseorang meninggalkan semua hal tersebut atau tidak mewujudkan sesuatu yang seseorang tidak akan masuk Islam kecuali dengannya; maka ia bukan seorang muslim. Apabila ia meremehkan sebagian kewajiban, maka imannya berkurang sesuai kadar kemaksiatan yang ia lakukan tersebut. Adapun kecintaan sunnah adalah kecintaan yang mendorong seseorang mewujudkan sesuatu yang dianjurkan/disunnahkan untuk melakukannya. Maka, kecintaan ini ada jika seseorang mencintai kalimat tauhid dan segala hal yang dikandungnya berupa perintah-perintah dan yang semisalnya; bergembira serta bahagia dengannya.

Poros kecintaan terletak pada ittiba’terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah ta’ala:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Aali ‘Imraan : 65].

Ayat ini dinamakan ayat mihnah (ujian), karena Allah ta’ala menguji seseorang yang mengaku mencintai Allah dengan ayat tersebut. Sebagian ulama terdahulu berkata:

تعصي الإله وأنت تزعم حبه --- هذا لعمري في القياس شنيع

لو كان حبك صادقا لأطعته --- إن المُحِبّ لمن يحب مطيع

“Engkau bermaksiat kepada Allah dan engkau mengklaim mencintai-Nya

demi hidupku, qiyas ini sangatlah buruk

Seandainya cintamu benar, niscaya engkau akan mentaati-Nya

sesungguhnya orang mencintai itu orang yang mencintai Dzat yang dicintainya”

6.     Al-Inqiyaad, yaitu tunduk dan patuh terhadap hak-hak kalimat laa ilaha illallaah berupa amal-amal kewajiban, secara ikhlash hanya untuk Allah  dan memohon keridlaan-Nya.

Tunduk terhadap hak-haknya (kalimat tauhid) adalah satu kriteria, karena banyak orang yang mengaku mengetahui makna kalimat ini, ikhlash, jujur, dan yakin; apabila mereka diperintahkan dengan satu perintah atau dilarang dengan satu larangan terhadap sesuatu, ia tidak mau tunduk dan patuh, sehingga batallah semua pengakuannya itu. Seandainya ia jujur, yakin, dan cinta secara hakiki; niscaya ia akan tunduk dan patuh terhadap kalimat ini baik secara dhahir maupun batin, ikhlash hanya kepada Allah, mengharap keridlaan-Nya, dan takut terhadap kemurkaan dan hukuman-Nya.

Allah ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الأمُورِ

“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan” [QS. Luqmaan : 22].

7.     Al-Qabul, penerimaan yang menafikkan penolakan. Yaitu menerima dan menunaikan Tauhid dengan hati dan lisan. Allah telah mengisahkan kepada kita tentang kabar yang telah lampau berkenaan akibat/kesudahan orang-orang terdahulu dan menimpakan siksa sebab menolak dan enggan men-Tauhid-kan Allah.

Seseorang harus menerima kalimat laa ilaha illallaah dengan hati dan lisannya. Barangsiapa yang tidak menerimanya dan menolaknya, serta bersikap sombong; maka ia kafir sebagaimana orang-orang kafir Quraisy menolaknya dengan penentangan, kesombongan, tanpa mau menerimanya.

Allah ta’ala telah berfirman dalam Al-Qur’an tentang berita-berita di masa lampau, yaitu keselamatan orang-orang yang mau menerimanya serta celakanya orang-orang yang menolak dan enggan terhadapnya. Begitu juga dengan adanya pahala yang Allah janjikan bagi orang-orang yang mau menerimanya dan adzab yang Allah ancamkan bagi orang-orang yang menolaknya.

Allah ta’ala telah berfirman:

وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ * قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ * فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi Peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka." (Rasul itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?" Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya." Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu” [QS. Az-Zukhruf : 23-25].

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ

“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" [QS. Ash-Shaaffaat : 35-36].

Namun demikian, perlu digarisbawahi di sini bahwa tetapnya keislaman seseorang di dunia cukup dengan pengucapan dua kalimat syahadat. Banyak ulama yang menetapkan hal ini, yang kemudian setelah itu dituntut untuk mendirikan shalat, membayar zakat, dan semua perkara-perkara syari’at. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ، حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَإِذَا قَالُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، عَصَمُوا مِنِّي، دِمَاءَهُمْ، وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

“Aku diperintah untuk memerang manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah. Apabila mereka mengucapkan ‘tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah’, terpeliharalah dariku darah serta harta mereka, kecuali dengan haknya (Islam); sedangkan perhitungan mereka diserahkan kepada Allah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 21].

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ ، قَالَ: بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَّةٍ، فَصَبَّحْنَا الْحُرَقَاتِ مِنْ جُهَيْنَةَ، فَأَدْرَكْتُ رَجُلًا، فَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَطَعَنْتُهُ فَوَقَعَ فِي نَفْسِي مِنْ ذَلِكَ، فَذَكَرْتُهُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَقَتَلْتَهُ؟ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنَ السِّلَاحِ، قَالَ: " أَفَلَا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ، حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لَا؟ " فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي أَسْلَمْتُ يَوْمَئِذٍ، قَالَ: فَقَالَ سَعْدٌ: وَأَنَا وَاللَّهِ لَا أَقْتُلُ مُسْلِمًا حَتَّى يَقْتُلَهُ ذُو الْبُطَيْنِ يَعْنِي أُسَامَةَ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ، وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ، فَقَالَ سَعْدٌ: قَدْ قَاتَلْنَا حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ، وَأَنْتَ، وَأَصْحَابُكَ تُرِيدُونَ أَنْ تُقَاتِلُوا حَتَّى تَكُونُ فِتْنَةٌ

Dari Usaamah bin Zaid, ia berkata : Kami pernah dikirim Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamdalam satu pasukan perang. Lalu kami sampai di Al-Huraqaat, daerah Juhainah pada waktu shubuh. Maka aku temukan seorang laki-laki. Ia mengucapkan Laa ilaha illallaah, lalu aku pun menikamnya. Kemudian dalam diriku aku ada ganjalan karenanya, sehingga aku sampaikan hal itu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Apakah ia telah mengucapkan Laa ilaha illallaah lantas engkau tetap membunuhnya ?”. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia hanya mengucapkannya karena takut terhadap hunusan pedang”. Beliau bersabda : “Tidakkah engkau belah hati orang tersebut sehingga engkau tahu apakah hatinya mengucapkan Laa ilaha illallaah atau tidak ?”. Beliau terus-menerus mengucapkannya kepadaku hingga berangan-angan aku baru masuk Islam pada hari itu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4269 dan Muslim no. 96].

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وَقَدْ عُلِمَ بِاْلاِضْطِرَارِ مِنْ دِيْنِ الرَّسُولِ صلى الله عليه وسلم وَاِتَّفَقَتْ عَلَيْهِ اْلأُمّةُ أَنَّ أَصْلَ اْلإِسْلاَمِ وَأَوَّلَ مَا يُؤْمَرُ بِهِ الْخَلْقَ : شَهَادَةُ أَنَ لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله فَبِذَلِكَ يَصِيْرُ الْكَافِرُ مُسْلِمًا وَالْعَدُوُّ وَلِيًا وَالْمُبَاحُ دَمَهُ وَمَالَهُ : مَعْصُومُ الدَّمَ وَالْمَالَ

“Telah diketahui dengan pasti dari agama Rasulshallallaahu ‘alaihi wa sallam dan umat telah bersepakat terhadapnya bahwa pokok Islam dan hal yang diperintahkan pertama kali kepada makhluk adalah persaksian tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasannya Muhammad adalah utusan (Rasul) Allah. Karenanya seorang kafir menjadi muslim, musuh mejadi wali, darah dan hartanya dihalalkan, menjadi darah dan hartanya dilindungi….” [Fathul-Majiid, hal. 89].

Ibnush-Shalaah rahimahullah berkata:

وَحُكْم الْإِسْلَام فِي الظَّاهِر ثَبَتَ بِالشَّهَادَتَيْنِ....

“Hukum Islam secara dhahir ditetapkan dengan ucapan dua kalimat syahadat….” [Syarh Shahiih Muslim lin-Nawawiy, 1/12].

Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

وَمِنْ حُجَج مَنْ أَجَازَ ذَلِكَ قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " أُمِرْت أَنْ أُقَاتِل النَّاس حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَه إِلَّا اللَّه ، فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ " فَيُحْكَم بِإِسْلَامِ مَنْ تَلَفَّظَ بِالشَّهَادَتَيْنِ - وَلَوْ كَانَ فِي نَفْسِ الْأَمْر يَعْتَقِد خِلَاف ذَلِكَ -

“Di antara hujjah-hujjah ulama yang membolehkan hal tersebut adalah sabda Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Aku diperintah untuk memerang manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah. Apabila mereka mengucapkannya, terpeliharalah dariku darah mereka’. Maka orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat dihukumi Islam (secara dhahir), meskipun sebenarnya ia berkeyakinan lain dari itu” [Fathul-Baariy, 13/174].

Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata:

ومن المعلوم بالضرورة أنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يقبل مِنْ كل منْ جاءه يريدُ الدخولَ في الإسلامِ الشهادتين فقط ، ويَعْصِمُ دَمَه بذلك ، ويجعله مسلماً ، فقد أنكر على أسامة بن زيد قتلَه لمن قال : لا إله إلا الله ، لما رفع عليه السيفَ ، واشتدَّ نكيرُه عليه

“Dan termasuk hal yang telah diketahui dengan pasti bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menerima siapa saja yang datang kepada beliau yang ingin masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja, dan beliau melindungi darahnya dan menjadikannya seorang muslim. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingkari dengan sangat keras terhadap Usaamah bin Zaid yang membunuh orang yang mengucapkan Laa ilaha illallaah ketika ia (Usaamah) mengangkat pedang kepadanya” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 207].

وبهذا الذي قرَّرناه يظهر الجمع بين ألفاظ أحاديث هذا الباب ، ويتبين أنَّ كُلَّها حقٌّ ، فإنَّ كلمتي الشهادتين بمجردهما تَعْصِمُ من أتى بهما ، ويصير بذلك مسلماً

“Dengan penjelasan kami ini maka nampak jelas penggabungan/penjamakan lafdh-lafadh hadits  dalam bab ini, dan menjadi jelas bahwa semuanya benar. Sesungguhnya dua kalimat syahadat saja sudah dapat melindungi orang yang mengucapkannya, dan menjadikannya seorang muslim…” [idem, hal. 209].

Begitu juga keislaman ditetapkan bagi orang yang dilahirkan dari kedua orang tua muslim atau perwaliannya milik kaum muslimin sejak kecil sebelum ia mencapai baligh. Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nashrani, atau Majusi” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1385].

Fithrah yang dimaksudkan di sini adalah Islam sebagaimana firman Allah ta’ala:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” [QS. Ar-Ruum : 30].

Apa yang dipaparkan di sini perlu disampaikan karena sebagian orang mencampurkan hukum Islam secara duniawi dan ukhrawiy. Mereka menyangka penghukuman keislaman seseorang (di dunia) mengkonsekuensikan hukum selamatnya ia di akhirat; atau mereka menyangka bahwa keislaman seseorang tidak ditetapkan kecuali setelah memahami syarat-syarat kalimat Laa ilaha illallaah yang disebutkan di atas. Ini keliru. Sebagaimana diketahui bahwa kebanyakan dari syarat-syarat tersebut merupakan amal-amal hati, bukan amal-amal anggota badan, sehingga sangat sulit untuk menelitinya/memastikannya. Terkait dengan itu, sekedar pengucapan dua kalimat syahadat memang tidak cukup menyelamatkan seorang hamba di sisi Allah (kelak di akhirat) kecuali jika ia mewujudkan/merealisasikan syarat-syaratnya. Adapun penghukuman keislaman seseorang di dunia cukup dengan pengucapan dua kalimat syahadat, hingga datang keterangan yang jelas yang membatalkan keislamannya.

Dengan kalimat Tauhid inilah, bumi dan langit dapat tegak. Allâh Azza wa Jalla menjadikan fitrah seluruh makhluk di atas kalimat ini. Di atasnya agama dan kiblat itu dibangun, serta pedang-pedang jihad dihunuskan. Ia murni hak Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas seluruh hamba-Nya, sekaligus merupakan kalimat yang melindungi darah, harta, dan keturunan di kehidupan dunia, kemudian menyelamatkan manusia dari siksa kubur dan Neraka. Ia adalah lembaran terbuka yang seseorang itu tidak akan masuk Surga, melainkan dengannya.
Ia adalah tali yang jika seseorang tidak berpegang dengannya, niscaya dia tidak akan sampai kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Ia adalah kalimat Islam dan kunci pembuka Surga yang penuh keselamatan. Dengannya, manusia terbagi menjadi orang sengsara, bahagia, diterima, ataupun ditolak. Dengannya juga, negeri kekufuran terpisah dengan negeri keimanan, serta terbedakan antara negeri kenikmatan dengan negeri kesengsaraan dan kehinaan. Ia adalah tiang yang mengandung perkara yang wajib sekaligus yang sunnah.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْـجَنَّـةَ.

Barangsiapa akhir ucapannya adalah LÂ ILÂHA ILLALLÂH pasti masuk Surga.

Ruh dan rahasia kalimat ini adalah pengesaan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam kecintaan, pemuliaan, pengagungan, takut dan berharap (hanya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ), dan perkara-perkara lain yang mengiringinya; berupa tawakkal, taubat, keinginan, dan ketakutan. Seorang hamba tidak mencintai selain-Nya. Kalaupun mencintai selain Allâh Azza wa Jalla itu karena kecintaan itu merupakan bagian dari cinta kepada Allâh Azza wa Jalla dan merupakan sarana untuk menambah rasa cinta kepada Allâh Azza wa Jalla . Seorang hamba juga tidak takut kepada selain Allâh Azza wa Jalla , tidak berharap kepada selain-Nya, tidak bertawakkal selain kepada-Nya, ia hanya mengharap kepada Allâh, tidak takut selain kepada-Nya, hanya ber-sumpah dengan nama-Nya, tidak bernadzar selain kepada-Nya, hanya bertaubat kepada-Nya, tidak mentaati selain perintah-Nya, hanya mengharapkan ganjaran dari-Nya, tidak memohon pertolongan ketika terjadinya kesulitan selain kepada-Nya, hanya bersandar kepada-Nya, tidak sujud selain kepada-Nya, serta hanya menyembelih untuk-Nya dan dengan nama-Nya. Seluruh perkara ini terkumpul pada satu kalimat, yaitu, “Tidaklah disembah dengan semua macam ibadah, melainkan hanya Allâh semata.” Inilah realisasi dari kalimat syahadat لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ.

Oleh karena itulah, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan api neraka bagi orang yang mengucapkan dan merealisasikan kalimat syahadat لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ dengan benar. Mustahil orang yang merealisasikan dan menerapkan syahadat ini masuk Neraka. Pernyataan ini sesuai dengan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَالَّذِينَ هُمْ بِشَهَادَاتِهِمْ قَائِمُونَ

“Dan orang-orang yang berpegang teguh pada kesaksiannya.” [Al-Ma’ârij/70:33]

Hamba tersebut telah melaksanakan syahadat tersebut secara lahir dan batin, baik melalui hati maupun anggota badannya.

Sebagian manusia ada yang syahadatnya mati, sebagian lagi syahadatnya tertidur sehingga harus dibangunkan supaya terjaga, sebagian lagi ada yang syahadatnya berbaring, dan sebagian lagi ada yang syahadatnya miring hampir berdiri. Kedudukan syahadat dalam hati seperti kedudukan roh terhadap badan. Ada roh yang mati, roh yang sakit dan lebih dekat kepada kematian, roh yang lebih dekat dengan kehidupan, serta ada roh yang sehat dan melaksanakan kemaslahatan badan.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنِّـيْ لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَا يَقُوْلُـهَا عَبْدٌ عِنْدَ الْـمَوْتِ إِلَّا وَجَدَتْ رُوْحُهُ لَـهَا رُوْحًا.

Sesungguhnya aku mengetahui suatu kalimat yang tidaklah seorang hamba mengucapkannya ketika dia meninggal dunia, melainkan rohnya akan mendapatkan roh baginya.

Dengan demikian, kehidupan roh bergantung pada kalimat tersebut, seperti halnya kehidupan badan tergantung dari keberadaan roh; Juga sebagaimana orang yang meninggal di atas kalimat ini sehingga berhak berada di Surga dan bergerak bebas di dalamnya. Oleh karena itu, barangsiapa merealisasikan dan melaksanakan inti kalimat ini niscaya rohnya akan bergerak bebas dalam Surga, bahkan tempat tinggal dan hidupnya menjadi kehidupan yang terbaik. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ ﴿٤٠﴾ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” [An-Nâzi’ât/79:40-41]

Surga adalah tempat tinggal bagi mereka pada hari Pertemuan dengan-Nya kelak.

Surga pengetahuan, kecintaan, kedekatan dengan Allâh , kerinduan terhadap pertemuan dengan-Nya, senang dengan Allâh, dan ridha terhadap-Nya merupakan tempat tinggal rohnya di dunia. Barangsiapa surga tersebut adalah tempat tinggalnya di dunia maka Surga yang abadi akan menjadi tempat tinggalnya di akhirat. Sebaliknya, orang yang terhalang dari Surga dunia maka dia akan lebih terhalang dari Surga yang abadi. Orang-orang yang melakukan kebajikan berada di dalam Surga kenikmatan meskipun mereka mengalami kesulitan dan kesempitan hidup di dunia; sedangkan orang-orang yang durhaka berada dalam Neraka kepedihan meskipun kehidupan dunia mereka serba cukup. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [An-Nahl/16: 97]

Kehidupan yang baik adalah Surga dunia. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ

Barangsiapa yang Allâh menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allâh kesesatannya, niscaya Allâh menjadikan dadanya sesak lagi sempit…” [Al-An’âm/6:125]

Kenikmatan manakah yang lebih baik dibandingkan kelapangan dada ? Dan, adzab manakah yang lebih pedih daripada sempitnya dada? Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ ﴿٦٣﴾ لَهُمُ الْبُشْرَىٰ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۚ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allâh itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allâh . Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” [Yûnus/10:62-64]

Mukmin yang ikhlas kepada Allâh merupakan manusia yang paling baik hidupnya, paling tenteram pikirannya, paling lapang dadanya, dan paling bahagia hatinya. Inilah Surga yang disegerakan sebelum Surga yang abadi.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak Ada Yang Sama Dalam Kehidupan

Dunia adalah tempat ujian. Semua sisi kehidupan ini adalah ujian. Ada yang diuji dengan kekayaannya, ada yang diuji dengan jabatannya, ada pula yang diuji dengan wajah tampannya. Dan salah satu ujian bagi manusia adalah harus hidup dalam perbedaan. Memang bukan hal mudah untuk bisa menerima perbedaan di sekitar kita. Namun itulah ujian dari Allah untuk meningkatkan kualitas diri setiap manusia. Dalam ayat itu, Allah swt sama sekali tidak membahas perbedaan yang ada, namun pada akhir ayat itu Allah memfokuskan agar manusia berlomba dalam kebaikan. Tak usah sibuk dengan perbedaan yang dipilih orang, berlombalah untuk menjadi lebih baik dihadapan-Nya.

Allah ta’ala berfirman :

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar” [QS. Faathir : 32].

Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :

ثم قسمهم إلى ثلاثة أنواع ، فقال: { فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ } وهو: المفرط في فعل بعض الواجبات، المرتكب لبعض المحرمات. { وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ } وهو: المؤدي للواجبات، التارك للمحرمات، وقد يترك بعض المستحبات، ويفعل بعض المكروهات. { وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ } وهو: الفاعل للواجبات والمستحبات، التارك للمحرمات والمكروهات وبعض المباحات.

“Kemudian Allah (dalam ayat di atas) membagi mereka (manusia) dalam tiga golongan. Allah ta’ala berfirman : ‘lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri’, yaitu orang yang lalai dalam menjalankan sebagian kewajiban dan mengerjakan sebagian yang diharamkan. (Firman Allah ta’ala : ) ‘dan di antara mereka ada yang pertengahan’, yaitu orang-orang yang menunaikan apa-apa yang diwajibkan dan meninggalkan apa-apa yang diharamkan, dengan meninggalkan sebagian amal yang disunnahkan dan mengerjakan sebagian amal yang dimakruhkan. (Firman Allah ta’ala : ) ‘dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah’, yaitu orang yang mengerjakan apa-apa yang diwajibkan dan disunnahkan, serta meninggalkan apa-apa yang diharamkan dan dimakruhkan, serta sebagian yang dimubahkan” [Tafsiir Al-Qur’aanil-‘Adhiim, 11/322]•

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ اللَّيْثِيُّ أَبُو ضَمْرة، عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ، عَنْ [عَلِيِّ] بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَزْدِيِّ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "قَالَ اللَّهُ: {ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ} ، فَأَمَّا الَّذِينَ سَبَقُوا فَأُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ، وَأَمَّا الَّذِينَ اقْتَصَدُوا فَأُولَئِكَ يُحَاسِبُونَ حِسَابًا يسيرا، وأماالَّذِينَ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ يُحْبَسُونَ فِي طُولِ الْمَحْشَرِ، ثُمَّ هُمُ الَّذِينَ تَلَافَاهُمْ بِرَحْمَتِهِ، فَهُمُ الَّذِينَ يَقُولُونَ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ شَكُورٌ الَّذِي أَحَلَّنَا دَارَ الْمُقَامَةِ مِنْ فَضْلِهِ لَا يَمَسُّنَا فِيهَا نَصَبٌ وَلا يَمَسُّنَا فِيهَا لُغُوبٌ}

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Anas ibnu Iyad Al-Laisi Abu Hamzah, dari Musa ibnu Uqbah, dari Ali ibnu Abdullah Al-Azdi, dari Abu Darda r.a. yang mengatakan, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda sehubungan dengan makna ayat berikut: Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih cepat berbuat kebaikan dengan izin Allah. (Fathir: 32) Bahwa adapun orang-orang yang lebih cepat berbuat kebaikan, mereka adalah orang-orang yang dimasukkan ke dalam surga tanpa hisab; dan orang-orang yang pertengahan ialah mereka yang mengalami hisab, tetapi hisab yang ringan. Adapun orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri adalah orang-orang yang ditahan di sepanjang Padang Mahsyar menunggu syafaat dariku, kemudian Allah memaafkan mereka dengan rahmat-Nya; mereka adalah orang-orang yang mengatakan seperti yang disitir oleh firman Allah Swt.: "Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia-Nya; di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu.” (Fathir: 34-35)

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أُسَيْدُ بْنُ عَاصِمٍ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ حَفْصٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ رَجُلٍ، عَنْ أَبِي ثَابِتٍ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: {ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ} قَالَ: "فَأَمَّا الظَّالِمُ لِنَفْسِهِ فَيُحْبَسُ حَتَّى يُصِيبَهُ الْهَمُّ وَالْحُزْنُ، ثُمَّ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ".

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Usaid ibnu Asim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Hafs, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari seorang lelaki, dari Abu Sabit, dari Abu Darda r.a. yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. membaca firman-Nya: Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri. (Fathir: 32) Lalu Beliau Saw. bersabda: Adapun orang yang menganiaya dirinya sendiri, maka ia ditahan sehingga mengalami kesusahan dan kesedihan, kemudian dimasukkan ke dalam surga.

وَرَوَاهُ ابْنُ جَرِيرٍ مِنْ حَدِيثِ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ، عَنِ الْأَعْمَشِ قَالَ: ذَكَرَ أَبُو ثَابِتٍ أَنَّهُ دَخَلَ الْمَسْجِدَ، فَجَلَسَ إِلَى جَنْبِ أَبِي الدَّرْدَاءِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ، آنِسْ وَحْشَتِي، وَارْحَمْ غُرْبَتِي، وَيَسِّرْ لِي جَلِيسًا صَالِحًا. قَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ: لَئِنْ كُنْتَ صَادِقًا لَأَنَا أَسْعَدُ بِكَ مِنْكَ، سَأُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ أُحَدِّثْ بِهِ مُنْذُ سَمِعْتُهُ مِنْهُ، ذَكَرَ هَذِهِ الْآيَةَ: {ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ} ، فَأَمَّا السَّابِقُ بِالْخَيْرَاتِ فَيَدْخُلُهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ وَأَمَّا الْمُقْتَصِدُ فَيُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا، وَأَمَّا الظَّالِمُ لِنَفْسِهِ فَيُصِيبُهُ فِي ذَلِكَ الْمَكَانِ مِنَ الْغَمِّ وَالْحُزْنِ، وَذَلِكَ قَوْلُهُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ}

Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Sufyan As-Sauri, dari Al-A'masy yang telah mengatakan bahwa Abu Sabit masuk ke dalam masjid, lalu duduk di sebelah Abu Darda r.a. Maka Abu Sabit berdoa, "Ya Allah, hiburlah diriku dalam kesendirianku dan belas kasihanilah aku dalam keterasinganku, dan mudahkanlah bagiku mendapat teman duduk yang saleh." Maka Abu Darda berkata, "Jika engkau benar, berarti aku lebih berbahagia daripada kamu. Aku akan menceritakan kepadamu sebuah hadis yang kudengar dari Rasulullah Saw. dan aku belum pernah menceritakannya sejak aku mendengarnya. Aku mendengar beliau Saw. membaca ayat berikut: 'Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih cepat berbuat kebaikan ' (Fathir: 32) Bahwa adapun orang yang lebih cepat berbuat kebaikan-kebaikan, maka ia memasuki surga tanpa hisab. Orang yang pertengahan, maka ia hanya mendapat hisab yang ringan. Dan orang yang aniaya kepada dirinya sendiri, maka ia mengalami kesedihan dan kesusahan di tempat pemberhentiannya. Yang demikian itu disebutkan oleh firman-Nya: Dan mereka berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami.” (Fathir: 34)

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَزيز، حَدَّثَنَا سَلَامَةُ، عَنْ عَقِيل، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَوْف بْنُ مَالِكٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "أُمَّتِي ثَلَاثَةُ أَثْلَاتٍ: فَثُلُثٌ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ، وَثُلُثٌ يُحَاسَبُونَ حِسَابًا يَسِيرًا ثُمَّ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ، وَثُلُثٌ يُمَحَّصون وَيُكْشَفُونَ، ثُمَّ تَأْتِي الْمَلَائِكَةُ فَيَقُولُونَ: وَجَدْنَاهُمْ يَقُولُونَ: "لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ". يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: صَدَقُوا، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا، أَدْخِلُوهُمُ الْجَنَّةَ بِقَوْلِهِمْ: "لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ" وَاحْمِلُوا خَطَايَاهُمْ عَلَى أَهْلِ النَّارِ، وَهِيَ الَّتِي قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلَيَحْمِلُنَّ أَثْقَالَهُمْ وَأَثْقَالا مَعَ أَثْقَالِهِمْ} [الْعَنْكَبُوتِ: 13] ،وَتَصْدِيقُهَا فِي الَّتِي فِيهَا ذِكْرُ الْمَلَائِكَةِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا} فَجَعَلَهُمْ ثَلَاثَةَ أَنْوَاعٍ ، وَهُمْ أَصْنَافٌ كُلُّهُمْ، فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ، فَهَذَا الَّذِي يُكْشَفُ وَيُمَحَّصُ".

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Aziz, telah menceritakan kepada kami Salamah, dari Aqil, dari Ibnu Syihab, dari Auf ibnu Malik r.a., dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Umatku terbagi menjadi tiga golongan (kelak di hari kiamat), sebagian dari mereka masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab; sebagian yang lainnya lagi mendapat hisab yang ringan, kemudian masuk ke dalam surga, dan sebagian yang terakhir dicuci dan dibersihkan (dari dosa-dosanya di dalam neraka). Kemudian para malaikat datang, lalu berkata, "Kami menjumpai mereka mengatakan, "Tidak ada Tuhan selain Allah semata.” Lalu Allah Swt. berfirman, "Mereka benar, bahwa tidak ada Tuhan selain Aku. Akulah yang akan memasukkan mereka ke dalam surga berkat ucapan mereka, 'Tidak ada Tuhan selain Allah semata, ' dan bebankanlah dosa-dosa mereka kepada ahli neraka.” Hal inilah yang dimaksudkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya: Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa) mereka,dan beban-beban mereka sendiri. (Al-Ankabut: 13) Dibenarkan pula hadis ini oleh ayat yang di dalamnya disebutkan para malaikat. Firman Allah Swt. Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. (Fathir: 32) Maka Allah menjadikan mereka tiga gelombang, yang semuanya terdiri dari beberapa golongan; di antara mereka ada yang berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri, maka golongan inilah yang dicuci dan dibersihkan terlebih dahulu.

Predikat riwayat ini garib.

Dan apabila hal ini telah ditetapkan, maka sesungguhnya ayat ini mengandung makna yang umum mencakup ketiga golongan dari umat ini. Para ulama dari kalangan umat ini merupakan orang-orang yang paling diprioritaskan mendapat nikmat ini, dan mereka adalah orang-orang yang lebih utama untuk mendapat rahmat ini.

Sehubungan dengan hal ini Imam Ahmad mengatakan:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ، حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَة ، عَنْ قَيْسِ بْنِ كَثِيرٍ قَالَ: قَدِمَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ إِلَى أَبِي الدَّرْدَاءِ -وَهُوَ بِدِمَشْقَ-فَقَالَ: مَا أَقْدَمَكَ أيْ أَخِي؟ قَالَ: حَدِيثٌ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُ بِهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ أَمَا قَدِمْتَ لِتِجَارَةٍ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: أَمَا قَدِمْتَ لِحَاجَةٍ؟ قَالَ: لَا؟ قَالَ: أَمَا قَدِمْتَ إِلَّا فِي طَلَبِ هَذَا الْحَدِيثِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا، سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّهُ لَيَسْتَغْفِرُ لِلْعَالَمِ مَنْ فِي السموات وَالْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ، وَفَضْلُ الْعَالَمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ. إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمِنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ".

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Asim, ibnu Raja' ibnu Haiwah, dari Qais ibnu Kasir, yang mengatakan bahwa seorang lelaki dari kalangan penduduk Madinah datang kepada Abu Darda r.a. yang saat itu berada di Dimasyq, maka Abu Darda bertanya, "Apakah yang mendorongmu datang ke mari, hai saudaraku?" Lelaki itu menjawab, "Suatu hadis yang ada berita sampai kepadaku bahwa engkau telah menceritakannya dari Rasulullah Saw." Abu Darda r.a. bertanya, "Bukankah engkau datang untuk ber­dagang?" Lelaki itu menjawab, "Bukan." Abu Darda bertanya, "Benarkah engkau datang hanya untuk mencari hadis tersebut?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Abu Darda berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:Barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, Allah akan membawanya menempuh suatu jalan menuju ke surga. Dan sesungguhnya para malaikat benar-benar menaungkan sayap-sayapnya karena rela kepada penuntut ilmu, dan sesungguh­nya semua makhluk —baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi— benar-benar memohonkan ampunan bagi orang yang alim, sehingga ikan-ikan yang ada di air(memohonkan ampun pula buatnya). Dan keutamaan orang alim atas seorang ahli ibadah(yang tidak alim), seperti keutamaan rembulan di atas semua bintang lainnya. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi, dan sesungguhnya para nabi itu tidak meninggalkan dinar dan tidak pula dirham, melainkan yang ditinggalkan mereka hanyalah ilmu; maka barang siapa yang mengambilnya, berarti ia telah mengambil bagian yang berlimpah.

Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah telah mengetengahkannya melalui hadis Kasir ibnu Qais; dan di antara mereka ada yang menyebutkannya Qais ibnu Kasir, dari Abu Darda r.a. Dan kami telah menyebutkan jalur-jalur hadis ini berikut perawinya di dalam Syarah Kitabul Ilmu, bagian dari kitab Sahih Bukhari, alhamdulillah.

Allah ta’ala membagi beberapa keadaan manusia berdasarkan tingkat amal perbuatan ketaatannya kepada-Nya. Ada di antara yang beramal sedikit, ada yang beramal banyak. Ada yang banyak bermaksiat, ada pula yang sedikit bermaksiat.

Jika kita tengok keadaan salaf kita dari kalangan shahabat, tabii’in, dan atbaa’ut-taabi’iin, dapat kita lihat bahwa mereka pun bertingkat-tingkat dalam masalah amal.

Saya contohkan dari kalangan shahabat. Ada di antara mereka yang bersegera beramal apa saja yang dia dengar dan ketahui dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dia lah Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu yang mendahului shahabat-shahabat yang lain.

حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ، حَدَّثَنَا مَرْوَانُ يَعْنِي الْفَزَارِيَّ، عَنْ يَزِيدَ وَهُوَ ابْنُ كَيْسَانَ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ الْأَشْجَعِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ صَائِمًا؟، قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَا، قَالَ: فَمَنْ تَبِعَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ جَنَازَةً؟، قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَا، قَالَ: فَمَنْ أَطْعَمَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ مِسْكِينًا؟، قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَا، قَالَ: فَمَنْ عَادَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ مَرِيضًا؟، قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا اجْتَمَعْنَ فِي امْرِئٍ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ "

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Umar : Telah menceritakan kepada kami Marwaan, yaitu Al-Fazzaariy, dari Yaziid – ia adalah Ibnu Kaisaan - , dari Abu Haazim Al-Asyjaa’iy, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Siapakah di antara kalian yang memasuki waktu pagi dalam keadaan berpuasa di hari ini?”. Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu menjawab : “Aku”. Beliau kembali bertanya : “Siapakah di antara kalian yang telah mengiringi jenazah pada hari ini?”. Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu menjawab : “Aku”. Beliau kembali bertanya : “Siapakah di antara kalian yang telah memberi makan kepada orang miskin pada hari ini?”. Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu menjawab : “Aku”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya : “Siapakah di antara kalian yang telah membesuk orang sakit pada hari ini?”. Abu Bakr menjawab : “Aku”. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam  bersabda : “Tidaklah seluruh perkara tersebut terkumpul pada diri seseorang melainkan dia akan masuk surga”[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1028].

Ada di antara shahabat yang sangat rajin dan bersemangat menjalankan satu ibadah, lebih dari yang lainnya.

حدثني أبو الطاهر. قال: سمعت عبدالله بن وهب يحدث عن يونس، عن ابن شهاب. ح وحدثني حرملة بن يحيى أخبرنا ابن وهب. أخبرني يونس عن ابن شهاب. أخبرني سعيد بن المسيب وأبو سلمة بن عبدالرحمن ؛ أن عبدالله بن عمرو بن العاص قال: أخبر رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه يقول: لأقومن الليل ولأصومن النهار، ما عشت. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم "آنت الذي تقول ذلك ؟ " فقلت له: قد قلته، يا رسول الله ! فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "فإنك لا تستطيع ذلك. فصم وأفطر. ونم وقم. وصم من الشهر ثلاثة أيام. فإن الحسنة بعشر أمثالها. وذلك مثل صيام الدهر" قال قلت: فإني أطيق أفضل من ذلك. قال: "صم يوما وأفطر يومين" قال قلت: فإني أطيق أفضل من ذلك، يا رسول الله ! قال: "صم يوما وأفطر يوما. وذلك صيام داود (عليه السلام) وهو أعدل الصيام" قال قلت: فإني أطيق أفضل من ذلك. قال رسول الله عليه وسلم: "لا أفضل من ذلك".

Telah menceritakan kepadaku Abu Thaahir, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdullah bin Wahb menceritakan dari Yuunus, dari Ibnu Syihaab  Dan telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahyaa : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku Yahyaa, dari Ibnu Syihaab : Telah mengkhabarkan kepadaku Sa’iid bin Al-Musayyib dan Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam diberitahukan bahwasannya ia (‘Abdullah) berkata : ‘Sungguh aku akan shalat di seluruh malam dan puasa di seluruh siang di sepanjang hayatku’. Maka beliau bersabda : “Apakah engkau yang mengatakan hal itu ?”. Aku menjawab : “Ya, aku telah mengatakannya wahai Rasulullah”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup mengerjakannya. Berpuasalah dan berbukalah. Tidurlah dan shalat malam-lah. Berpuasalah tiga hari dalam sebulan, karena satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Hal itu sebanding dengan puasa sepanjang masa”. Aku berkata : “Sesungguhnya aku mampu melakukan lebih dari itu”. Beliau bersabda : “Kalau begitu, berpuasalah sehari, lalu berbuka dua hari”. Aku berkata : “Sesungguhnya aku mampu melakukan lebih dari itu wahai Rasulullah”. Beliau bersabda : “Kalau begitu, berpuasalah satu hari dan berbukalah satu hari. Itu adalah puasa Nabi Daawud ‘alaihis-salaam. Itu adalah puasa yang paling adil”. Aku berkata : “Sesungguhnya aku mampu melakukan lebih dari itu”. Beliau bersabda : “Tidak ada puasa yang lebih baik dari itu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1159].

Namun, ada shahabat memilih amalan yang lebih ringan daripada yang dirutinkan ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhum.

وحدثني هارون بن عبدالله ومحمد بن رافع. قالا: حدثنا ابن أبي فديك عن الضحاك بن عثمان، عن إبراهيم بن عبدالله بن حنين، عن أبي مرة مولى أم هانئ، عن أبي الدرداء؛ قال: أوصاني حبيبي صلى الله عليه وسلم بثلاث. لن أدعهن ما عشت: بصيام ثلاثة أيام من كل شهر. وصلاة الضحى. وبأن لا أنام حتى أوتر.

Dan telah menceritakan kepada kami Haaruun bin ‘Abdillah dan Muhammad bin Raafi’, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Fudaik, dari Adl-Dlahhaak bin ‘Utsmaan, dari Ibraahiim bin ‘Abdillah bin Hunain, dari Abu Murrah maula Ummi Haani’, dari Abud-Dardaa’, ia berkata : “Kekasihku shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewasiatkan kepadaku tiga hal yang tidak aku tinggalkan selama hayatku : Berpuasa tiga hari pada setiap bulan, shalat Dluhaa, dan agar aku tidak tidur sebelum melakukan witir” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 722].

Bahkan ada di antara shahabat malah tidak mengerjakan shalat malam.

أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ إِذْ قَالَ يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ قَالَ فَاطَّلَعَ رَجُلٌ مِنَ الأنْصَارِ تَنْطِفُ لِحْيَتُهُ مِنْ مَاءِ وُضُوئِهِ مُعَلِّقٌ نَعْلَيْهِ بِيَدِهِ الشِّمَالِ فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْغَدِ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَاطَّلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ عَلَى مِثْلِ مَرْتَبَتِهِ الأُولَى فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْغَدِ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَاطَّلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ عَلَى مِثْلِ مَرْتَبَتِهِ الأُولَى فَلَمَّا قَامَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اتَّبَعَهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ فَقَالَ لَهُ إِنِّي لاحَيْتُ أَبِي فَأَقْسَمْتُ إِنِّي لاَ أَدْخُلُ عَلَيْهِ ثَلاثَ لَيَالٍ فَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ تُؤْوِيَنِي إِلَيْكَ حَتَّى تَحِلَّ يَمِينِي فَعَلْتَ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَنَسٌ فَكَانَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ يُحَدِّثُ أَنَّهُ بَاتَ مَعَهُ ثَلاثَ لَيَالٍ فَلَمْ يَرَهُ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ بِشَيْءٍ غَيْرَ أَنَّهُ إِذَا تَقَلَّبَ عَلَى فِرَاشِهِ ذَكَرَ اللَّهَ وَكَبَّرَهُ حَتَّى يَقُومَ لِصَلاةِ الْفَجْرِ فَيُسْبِغَ الْوُضُوءَ قَالَ عَبْدُ اللهِ غَيْرَ أَنَّى لاَ أَسْمَعُهُ يَقُولُ إِلا خَيْرًا فَلَمَّا مَضَتِ الثَّلاثُ اللَّيَالِي وَكِدْتُ أَنْ أَحْتَقِرَ عَمَلَهُ قُلْتُ يَا عَبْدَ اللهِ إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بَيْنِي وَبَيْنَ وَالِدِي غَضَبٌ وَلا هَجْرٌ وَلَكِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ لَكَ ثَلاثَ مَرَّاتٍ فِي ثَلاثَةِ مَجَالِسَ يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَاطَّلَعْتَ أَنْتَ فِي تِلْكَ الثَّلاثِ مَرَّاتٍ فَأَرَدْتُ أَنْ آوِيَ إِلَيْكَ فَأَنْظُرَ مَا عَمَلُكَ فَأَقْتَدِيَ بِكَ فَلَمْ أَرَكَ تَعْمَلُ كَبِيرَ عَمَلٍ فَمَا الَّذِي بَلَغَ بِكَ مَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَا هُوَ إِلا مَا رَأَيْتَ فَانْصَرَفْتُ عَنْهُ فَلَمَّا وَلَّيْتُ دَعَانِي وَقَالَ مَا هُوَ إِلا مَا رَأَيْتَ غَيْرَ أَنِّي لاَ أَجِدُ فِي نَفْسِي غِلاً لأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَلا أَحْسِدُهُ عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ فَقَالَ لَهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرٍو هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ وَهِيَ الَّتِي لاَ نُطِيقُ

Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari Anas bin Maalik, ia berkata : Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba beliau bersabda : “Sebentar lagi akan datang seorang laki-laki penghuni surga”. Kemudian seorang laki-laki dari Anshar lewat di hadapan mereka sementara bekas air wudlu masih membasahi jenggotnya, sedangkan tangan kirinya menenteng sandal. Esok harinya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi : “Akan lewat di hadapan kalian seorang laki-laki penghuni surga”. Kemudian muncul lelaki kemarin dengan kondisi persis seperti hari sebelumnya. Besok harinya lagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Akan lewat di hadapan kalian seorang lelaki penghuni surga”. Tidak berapa lama kemudian orang itu masuk sebagaimana kondisi sebelumnya; bekas air wudhu masih memenuhi jenggotnya, sedangkan tangan kirinya menenteng sandal. Setelah itu Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bangkit dari tempat duduknya. Sementara Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash mengikuti lelaki tersebut, lalu ia berkata kepada lelaki tersebut : “Aku sedang punya masalah dengan orang tuaku, aku berjanji tidak akan pulang ke rumah selama tiga hari. Jika engkau mengijinkan, maka aku akan menginap di rumahmu untuk memenuhi sumpahku itu”. Dia menjawab : “Silakan”. Anas berkata bahwa ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash setelah menginap tiga hari tiga malam di rumah lelaki tersebut tidak pernah mendapatinya sedang shalat malam. Hanya saja tiap kali terjaga dari tidurnya ia membaca dzikir dan takbir hingga menjelang subuh. Kemudian mengambil air wudhu. Abdullah juga mengatakan : “Aku tidak mendengar ia berbicara, kecuali yang baik”. Setelah menginap tiga malam, saat hampir saja ‘Abdullah menganggap remeh amalnya, ia berkata : “Wahai hamba Allah, sesungguhnya aku tidak sedang bermasalah dengan orang tuaku, hanya saja aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama tiga hari berturut-turut di dalam satu majelis beliau bersabda : ‘Akan lewat di hadapan kalian seorang lelaki penghuni surga’.’ Selesai beliau bersabda, ternyata yang muncul tiga kali berturut-turut adalah engkau. Maka, aku ingin menginap di rumahmu ini untuk mengetahui amalan apa yang engkau lakukan, sehingga aku dapat mengikuti amalanmu. Sejujurnya aku tidak melihatmu mengerjakan amalan yang berpahala besar. Sebenarnya amalan apakah yang engkau kerjakan sehingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata demikian ?”. Kemudian laki-laki Anshar itu menjawab : “Aku tidak mengerjakan amalan apa-apa, kecuali apa yang telah engkau lihat”. Mendengar jawaban itu, akupun pulang. Namun ketika aku sudah berpaling, ia memanggilku, lalu berkata : “Aku tidak mengerjakan amalan apa-apa, kecuali apa yang telah engkau lihat. Hanya saja aku tidak pernah mempunyai rasa iri kepada sesama muslim atau hasad terhadap kenikmatan yang diberikan Allah kepadanya”. ‘Abdullah bin ‘Amru berkata kepadanya : “Inilah amalan yang menyebabkan kamu mencapai derajat itu, sebuah amalan yang kami tidak mampu melakukannya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Al-Mubaarak dalam Az-Zuhd, hal. 220-221 no. 694].

Dan bahkan...., ada shahabat yang tidak menambah amalan sunnah kecuali apa yang diwajibkan saja.

حدثنا إسماعيل قال: حدثني مالك بن أنس، عن عمه أبي سهيل بن مالك، عن أبيه، أنه سمع طلحة بن عبيد الله يقول: جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم من أهل نجد، ثائر الرأس، يسمع دوي صوته ولا يفقه ما يقول، حتى دنا، فإذا هو يسأل عن الإسلام، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (خمس صلوات في اليوم والليلة) فقال: هل علي غيرها؟ قال: (لا إلا أن تطوع). قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (وصيام رمضان). قال هل علي غيره؟ قال: (لا إلا أن تطوع). قال: وذكر له رسول الله صلى الله عليه وسلم الزكاة، قال: هل علي غيرها؟ قال: (لا إلا أن تطوع). قال: فأدبر الرجل وهو يقول: والله لا أزيد على هذا ولا أنقص، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (أفلح إن صدق).

Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Maalik bin Anas, dari pamannya yang bernama Abu Suhail bin Maalik, dari ayahnya, bahwasannya ia mendengar Thalhah bin ‘Ubaidillah berkata : Datang seorang laki-laki penduduk Najd kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, kepalanya telah beruban, gaung suaranya terdengar tetapi tidak bisa dipahami apa yang dikatakannya kecuali setelah dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Shalat lima waktu dalam sehari semalam”. Ia bertanya lagi : “Adakah aku punya kewajiban shalat lainnya ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian menyebutkan puasa di bulan Ramadlan. Ia bertanya lagi : “Adakah aku mempunyai kewajiban puasa selainnya ?”. Beliau menjawab : “Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja”. Perawi (Thalhah) mengatakan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian menyebutkan tentang zakat kepadanya. Maka ia pun kembali bertanya : “Adakah aku punya kewajiban lainnya ?”. Beliau menjawab : “Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja”. Perawi mengatakan : Selanjutnya orang ini pergi seraya berkata : “Demi Allah, saya tidak akan menambahkan dan tidak akan mengurangi ini”. Mendengar hal itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pun berkata : “Niscaya ia akan beruntung jika ia benar-benar melakukannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 46]•

Dan bahkan,...... ada sebagian shahabat yang melakukan kekeliruan yang kemudian ditegakkan hadd kepadanya.

وحدثنا محمد بن العلاء الهمذاني. حدثنا يحيى بن يعلى (وهو ابن الحارث المحاربي) عن غيلان (وهو ابن جامع المحاربي)، عن علقمة بن مرثد، عن سليمان بن بريدة، عن أبيه. قال: ........قال: ثم جاءته امرأة من غامد من الأزد. فقالت: يا رسول الله! طهرني. فقال (ويحك! ارجعي فاستغفري الله وتوبي إليه). فقالت: أراك تريد أن ترددني كما رددت ماعز بن مالك. قال: (وما ذاك؟) قالت: إنها حبلى من الزنى. فقال (آنت؟) قالت: نعم. فقال لها (حتى تضعي ما في بطنك). قال: فكفلها رجل من الأنصار حتى وضعت. قال: فأتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: قد وضعت الغامدية. فقال (إذا لا نرجمها وندع لها ولدها صغيرا ليس له من يرضعه). فقام رجل من الأنصار فقال: إلى رضاعه. يا نبي الله! قال: فرجمها.

Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-‘Alaa’ Al-Hamdzaaniy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ya’laa (ia adalah Ibnul-Haarits Al-Muhaaribiy), dari Ghailaan (ia adalah Ibnu Jaami’ Al-Muhaaribiy), dari ‘Alqamah bin Martsad, dari Sulaimaan bin Burairad, dari ayahnya, ia berkata : “.....Kemudian datanglah seorang wanita dari daerah Ghaamid dari kalangan suku Al-Azd, ia berkata : ‘Wahai Rasulullah, sucikanlah aku !’. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Celakalah kamu ! Pulanglah dan beristighfarlah kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya’. Lalu wanita itu berkata : ‘Aku melihat engkau ingin menolakku sebagaimana engkau telah menolak Ma’iz bin Maalik’. Beliau bersabda : ‘Apa maksudnya ?’. Ia berkata : ‘Sesungguhnya ia telah hamil karena zina’. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Apakah (wanita itu) engkau ?’. Ia menjawab : ‘Ya, benar’. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya : ‘Kembalilah, hingga engkau melahirkan kandunganmu’. Buraidah (perawi) berkata : ‘Lalu wanita itu ditanggung seorang laki-laki Anshar sampai melahirkan’. Kemudian laki-laki itu datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : ‘Sesungguhnya wanita Ghamidiyyah itu telah melahirkan’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Kalau begitu, kami belum akan merajamnya, karena ia meninggalkan anaknya yang masih kecil dan tidak ada orang yang menyusuinya’. Lalu seorang laki-laki dari kalangan Anshar berdiri dan berkata : ‘Wahai Nabi Allah, serahkan kepadaku penyusuannya !’. Buraidah berkata : ‘Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam merajamnya’ [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1695].

Perhatikanlah wahai sahabat...  bagaimana keadaan para shahabat yang dikatakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebaik-baik generasi dan bintang penjaga umat.

Betapa baik dan tinggi kedudukan mereka, mereka tetaplah manusia, sama seperti kita. Mereka bertingkat-tingkat dalam hal iman dan amal. Ada yang lebih ataupun kurang.

Jika keadaan para shahabat saja seperti itu, bagaimana pula keadaan kita ?. Sehebat apapun seseorang, tentu ada lebih dan kurangnya. Ada di antara mereka yang unggul di satu hal, namun kurang dalam hal yang lain. (Mungkin), ada sebagian di antara kita yang ibadahnya ‘luar biasa’, namun kurang bisa berinteraksi dengan orang lain. Ada sebagian di antaranya yang rajin ikut ta’lim kesana dan kemari, namun susah diajak ta’awun dalam dakwah. Ada sebagian di antaranya yang diberikan kecerdasan dalam teoritis ilmu-ilmu agama, namun agak kurang dalam kekuatan implementasinya. Dan seterusnya dan seterusnya.

Seringkali kita menjadikan apa yang ada pada diri kita menjadi satu standar yang harus berlaku pada orang lain. Jika kita rajin shalat malam, maka orang lain pun ‘wajib’ shalat malam. Jika kita rajin ta’lim, maka orang lain pun ‘wajib’ rajin ta’lim. Jika kita aktif dalam dakwah, maka orang lain pun ‘wajib’ seperti itu pula. Apa-apa yang tidak berkesesuaian dengan diri kita dari orang lain, kita anggap sebagai satu cela. Tidak jarang hal itu berlanjut menjadi kekakuan, kekurangharmonisan, dan ajang bermasam muka. Kita anggap berketus kata sebagai media utama pengamalan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

الدين النصيحة

“Agama itu nasihat”.

agar,.... orang yang bersangkutan ‘menyadari kesalahannya’ yang selanjutnya melakukan apa yang kita lakukan.

Islam tidaklah bertujuan menjadikan manusia sama, akan tetapi Islam bertujuan untuk mengajak manusia beribadah kepada Allah semata dengan mengamalkan syari’at yang ada di dalamnya, yang itu bisa terwujud dengan media nasihat. Allah ta’ala telah berfirman :

ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ

“Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang” [QS. Al-Balad : 17].

Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :

وقوله: { وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ } أي: كان من المؤمنين العاملين صالحا، المتواصين بالصبر على أذى الناس، وعلى الرحمة بهم. كما جاء في الحديث: "الراحمون يرحمهم الرحمن، ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء" وفي الحديث الآخر: "لا يَرْحَم اللهُ من لا يَرْحَم الناس"

“Dan firman-Nya : ‘dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang’, yaitu : ia termasuk orang-orang mukmin yang selalu mengerjakan amal shalih dan senantiasa memberikan wasiat/nasihat untuk bersabar dari gangguan orang lain serta berkasih sayang dengan mereka. Hal itu sebagaimana terdapat dalam hadits : ‘Orang-orang yang mengasihi akan selalu dikasihi oleh Yang Maha Pengasih (Allah). Kasihilah orang-orang yanga ada di bumi, niscaya engkau akan dikasihi orang Dzat yang ada di langit”. Dan juga dalam hadits yang lain : ‘Allah tidak mengasihi orang-orang yang tidak mengasihi manusia’” [Tafsiir Al-Qur’aanil-‘Adhiim, 14/362].

Nasihat dan dakwah adalah untuk mengajak yang jauh untuk mendekat, mengajak yang lemah beramal menjadi rajin beramal. Bukan sebaliknya, mengajak yang lemah menjadi semakin lemah dan malas, serta mengajak yang jauh menjadi semakin jauh.

Kewajiban kita – jika kita tahu sesuatu (dan telah mengamalkannya) – hanyalah menyampaikan. Karena kita tahu :

لأن يهدى بك رجل واحد خير لك من حمر النعم

“Seandainya Allah memberikan hidayah seseorang melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik bagimu daripada onta merah (harta dunia yang sangat berharga)”.

Jika diterima alhamdulillah. Jika belum, maka sabar, berdoa, dan terus berusaha untuk mendapatkan onta merah. Jangan sampai hilang dan terlepas.

Allah ta’ala telah menciptakan bermilyar manusia dengan berbagai keadaannya. Di antaranya kita, ibu kita, ayah kita, teman kita, tetanga kita, relasi kita, dan yang lainnya dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Jika kita melihat orang lain penuh kekurangan, maka tidaklah beda jauh dengan diri kita. Banyak kelebihan yang mungkin dimiliki orang lain yang tidak ada pada diri kita.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda