Translate

Minggu, 27 Desember 2020

Amal Jariyah Akan Terus Mendatangkan Pahala

 إِذَا مَاتَ اِبْن آدَم لَيْسَ يَجْرِي        عَلَيْهِ مِنْ فِعَال غَيْر عَشْر

عُلُوم بَثَّهَا وَدُعَاء نَجْل              وَغَرْس النَّخْل وَالصَّدَقَات تَجْرِي

وِرَاثَة مُصْحَف وَرِبَاط ثَغْر        وَحَفْر الْبِئْر أَوْ إِجْرَاء نَهَر

وَبَيْت لِلْغَرِيبِ بَنَاهُ يَأْوِي          إِلَيْهِ أَوْ بَنَاهُ مَحَلّ ذِكْر

وَتَعْلِيم لِقُرْآنٍ كَرِيم                فَخُذْهَا مِنْ أَحَادِيث بِحَصْرٍ


Semoga kita semua selalu diberikan kesempatan untuk beramal jariyah dan diberikan kemudahan dalam menjalankan ibadah . Aamiin 

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Kamis, 24 Desember 2020

Hukum Memberikan Daging Kurban Dengan Matang

 

Seiring dengan berkembangnya teknologi dan sarana transportasi, maka inovasi kaum muslimin dalam pendistribusian daging kurban-pun beragam. Dengan alasan pemerataan, maka salah satu inovasi dalam distribusi daging kurban adalah dengan mengolah daging kurban dan mengemasnya di kaleng untuk kemudian didistribusikan ke daerah-daerah yang minim kurbannya.

Sebelum adanya konsensus ulama, kurban disyariatkan berdasarkan beberapa dalil, di antaranya firman Allah:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Shalatlah (di hari raya) dan berkurbanlah,” (QS. Al-Kautsar, ayat 2).

Menurut pendapat yang paling masyhur, shalat dalam ayat di atas ditafsiri dengan shalat hari raya, dan kata “Nahar” ditafsiri dengan menyembelih binatang-binatang kurban.

Dan sabda Nabi:

مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ مِنْ عَمَلٍ أَحَبَّ إلَى اللهِ تَعَالَى مِنْ إرَاقَةِ الدَّمِ، إنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَظْلَافِهَا، وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

“Tidaklah anak cucu Adam beramal di hari Nahar yang lebih disukai Allah dari pada mengalirkan darah (kurban). Sesungguhnya binatang kurban datang di hari kiamat dengan tanduk-tanduk dan kuku-kukunya. Sesungguhnya darahnya jatuh pada suatu tempat tinggi atas ridloNya sebelum jatuh di tanah. Maka ikhlaskanlah hati kalian dalam berkurban,” (HR. al-Tirmidzi dan al-Hakim).

Alloh memerintahkan agar shohibul qurban memakan sebagian daging qurbannya dan memberikannya kepada yang lain dalam bentuk disedekahkan ke orang yang membutuhkan. Allah berfirman,

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian hasil qurban itu dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang membutuhkan dan fakir.” (QS. Al-Haj: 28)

Al-Qurtubi (w. 671 H) dalam tafsirnya mengatakan,

(فَكُلُوا مِنْها) أَمْرٌ مَعْنَاهُ النَّدْبُ عِنْدَ الْجُمْهُورِ. وَيُسْتَحَبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ هَدْيِهِ وَأُضْحِيَتِهِ وَأَنْ يَتَصَدَّقَ بِالْأَكْثَرِ، مَعَ تَجْوِيزِهِمُ الصَّدَقَةَ بِالْكُلِّ

‘Makanlah bagian hasil qurban itu’ ini merupakan perintah anjuran menurut jumhur ulama. Dianjurkan bagi orang yang berqurban untuk makan sebagian hasil qurbannya dan sebagian besar dia sedekahkan. Disamping mereka juga membolehkan disedekahkan semuanya. (Tafsir al-Qurtubi, 12/44) .

Karena kurban merupakan ibadah, tentu ia memiliki ketentuan yang harus dipenuhi dalam sudut pandang syariat, di antaranya berkaitan dengan cara menyedekahkan dagingnya. Umumnya masyarakat membagikan daging kurban dalam kondisi mentah, tapi tidak jarang pula yang memberikannya dalam kondisi masak, di antaranya didistribusikan dalam bentuk kemasan kornet, yaitu daging sapi yang diawetkan dalam air garam dan kemudian dimasak dengan cara direbus. Bagaimana hukumnya?.

Sebagian ulama memang membolehkan pembagian daging kurban dalam kondisi sudah dimasak tanpa mensyaratkan adanya hajat ataupun maslahat. Di antaranya:

Mazhab Maliki membolehkan pembagian daging kurban dalam kondisi sudah dimasak. Al-Imam Ibnul Hajib (w. 646 H), mewakili pendapat resmi Mazhab Maliki, mengatakan:

وَيَأْكُلُ الْمُضَحِّيْ وَيُطْعِمُ نَيِّئًا وَمَطْبُوْخًا وَيَدَّخِرُ وَيَتَصَدَّقُ

Artinya, “Pengurban dianjurkan memakan sebagian dari daging kurbannya, membagikannya dalam kondisi mentah maupun sudah dimasak, menyimpannya, atau menyedekahkannya.” [Jaami’ul Ummahaat hlm. 230, karya Ibnul Hajib, cet. Darul Yamamah Damaskus 1998 M]

Al-Imam Ibnu Jama’ah (w. 767 H) setelah menegaskan bahwa Mazhab Syafii mengharuskan sedekah daging kurban ke fakir miskin dalam keadaan mentah, beliau menyatakan:

وَأَطْلَقَ الْحَنَفِيَّةُ التَّصَدُّقَ بِهِ وَمَذْهَبُ الْمَالِكِيَّةِ أَنَّهُ يَجُوْزُ التَّصَدُّقُ بِهِ مَطْبُوْخًا

Artinya, “Mazhab Hanafi membebaskan sedekah daging kurban dalam kondisi apapun. Mazhab Maliki secara tegas menyatakan bolehnya sedekah daging kurban dalam kondisi sudah dimasak.” [Hidaayatus Saalik (III/1150), karya Ibnu Jama’ah, cet. Darul Basyairil Islamiyyah Beirut 1994 M]

Menurut pendapat kuat dalam mazhab Syafi’i, standar minimal daging kurban yang wajib disedekahkan adalah kadar daging yang mencapai standar kelayakan pada umumnya, misalnya satu plastik daging. Tidak mencukupi memberikan kadar yang remeh seperti satu atau dua suapan. Kadar daging paling minimal tersebut wajib diberikan kepada orang fakir/ miskin, meski hanya satu orang. Selebihnya dari standar minimal ini, mudlahhi (orang yang berkurban) diperkenankan untuk memakannya sendiri atau diberikan kepada orang kaya sebatas untuk dikonsumsi.

Namun yang lebih utama adalah menyedekahkan semuanya kecuali beberapa suap yang dimakan mudlahhi untuk tujuan tabarruk (mengambil keberkahan). Kebolehan memakan ini berlaku untuk kurban sunnah, sementara kurban wajib (semisal disebabkan nadzar) harus disedekahkan semuanya, mudlahhi dan orang-orang yang wajib ia nafkahi tidak diperbolehkan memakannya sedikitpun.

Berkaitan dengan distribusi daging kurban dalam keadaan masak, ulama memerincinya sebagai berikut. Untuk kadar yang wajib diberikan kepada fakir miskin (sekiranya disebut pemberian daging secara layak menurut keumumannya), tidak diperbolehkan diberikan dalam kondisi masak, sebab haknya fakir miskin adalah memiliki daging tersebut secara penuh, bukan hanya mengkonsumsi. Dengan memberinya daging mentah, fakir miskin dapat leluasa memanfaatkan daging tersebut.

Sedangkan untuk kadar daging yang melebihi batas minimal tersebut, mudlahhi diberi kebebasan dalam mendistribukannya, bisa dalam keadaan mentah atau masak, baik diberikan kepada orang kaya atau miskin. Dalam titik ini, diperbolehkan pula pendistribusian dalam bentuk kemasan kornet atau dendeng.

Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli menegaskan:

وَيَجِبُ دَفْعُ الْقَدْرِ الْوَاجِبِ نِيئًا لَا قَدِيدًا

“Wajib memberikan kadar daging yang wajib disedekahkan dalam bentuk mentah, bukan berupa dendeng,” (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz 8, hal. 142).

Syekh Khathib al-Syarbini mengatakan:

(وَالْأَصَحُّ وُجُوبُ التَّصَدُّقِ بِبَعْضِهَا) وَلَوْ جُزْءًا يَسِيرًا مِنْ لَحْمِهَا بِحَيْثُ يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ الِاسْمُ عَلَى الْفُقَرَاءِ،

“Menurut pendapat al-Ashah (yang kuat), wajib menyedekahkan sebagian kurban, meski bagian yang sedikit dari dagingnya, sekiranya bisa disebut pemberian daging (yang pantas), kepada orang fakir, meski satu orang.

وَيُشْتَرَطُ فِي اللَّحْمِ أَنْ يَكُونَ نِيئًا لِيَتَصَرَّفَ فِيهِ مَنْ يَأْخُذُهُ بِمَا شَاءَ مِنْ بَيْعٍ وَغَيْرِهِ كَمَا فِي الْكَفَّارَاتِ، فَلَا يَكْفِي جَعْلُهُ طَعَامًا وَدُعَاءُ الْفُقَرَاءِ إلَيْهِ؛ لِأَنَّ حَقَّهُمْ فِي تَمَلُّكِهِ لَا فِي أَكْلِهِ وَلَا تَمْلِيكُهُمْ لَهُ مَطْبُوخًا

“Disyaratkan di dalam daging (yang wajib disedekahkan) harus mentah, supaya fakir/ miskin yang mengambilnya leluasa mentasarufkan dengan menjual dan sesamanya, seperti ketentuan dalam bab kafarat(denda), maka tidak cukup menjadikannya masakan (matang) dan memanggil orang fakir untuk mengambilnya, sebab hak mereka adalah memiliki daging kurban, bukan hanya memakannya. Demikian pula tidak cukup memberikan hak milik kepada mereka daging masak.”

(وَالْأَفْضَلُ) التَّصَدُّقُ (بِكُلِّهَا)؛ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إلَى التَّقْوَى وَأَبْعَدُ عَنْ حَظِّ النَّفْسِ (إلَّا) لُقْمَةً أَوْ لُقْمَتَيْنِ أَوْ (لُقَمًا يَتَبَرَّكُ بِأَكْلِهَا) عَمَلًا بِظَاهِرِ الْقُرْآنِ، وَلِلِاتِّبَاعِ كَمَا مَرَّ وَلِلْخُرُوجِ مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَ الْأَكْلَ

“Lebih utama menyedekahkansemuanya, karena lebih mendekatkan kepada ketakwaan dan menjauhkan dari kepentingan nafsu, kecuali satu, dua atau beberapa suap yang dimakan untuk mengambil keberkahan, karena mengamalkan bunyi eksplisit Al-Qur’an dan mengikuti Nabi seperti keterangan yang lalu, dan karena keluar dari ikhtilafulama yang mewajibkan memakan,” (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 6, hal. 135).

Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H), mewakili pendapat resmi Mazhab Syafii, menjelaskan:

وَلَا يَجُوْزُ تَمْلِيْكُ الْأَغْنِيَاءِ مِنْهَا شَيْئًا وَإِنَّمَا يَجُوْزُ إِطْعَامُهُمْ وَالْهَدِيَّةُ إِلَيْهِمْ. وَيَجُوْزُ تَمْلِيْكُ الْفُقَرَاءِ مِنْهَا لِيَتَصَرَّفُوْا فِيْهِ بِالْبَيْعِ وَغَيْرِهِ. … لَا يَجُوْزُ أَنْ يَدْعُوَ الْفُقَرَاءَ لِيَأْكُلُوْهُ مَطْبُوْخًا لِأَنَّ حَقَّهُمْ فِيْ تَمَلُّكِهِ … وَإِنْ دَفَعَ مَطْبُوْخًا، لَمْ يُجْزِهِ بَلْ يُفَرِّقُهُ نَيِّئًا لِأَنَّ الْمَطْبُوْخَ كَالْخُبْزِ فِيْ الْفِطْرَةِ.

Artinya, “Tidak boleh memberikan kepemilikan (tamliik) daging kurban sedikit pun kepada orang kaya. Yang boleh hanyalah memberi mereka makanan berupa daging kurban dan menghadiahkannya pada mereka. Sementara orang-orang fakir, boleh diberikan kepemilikan (tamliik) daging kurban kepada mereka agar mereka memiliki keleluasaan memilih akan diapakan daging tersebut, entah dijual atau lainnya. …

Tidak boleh pengurban mengundang orang-orang fakir untuk makan daging kurban tersebut dalam kondisi sudah dimasak karena hak mereka adalah memiliki daging kurban (bukan hanya memakannya). …

Jika daging kurban diberikan dalam kondisi sudah dimasak, maka ini tidak sah (sebagai sedekah). Justru ia haruslah membagikannya dalam keadaan mentah karena menyedekahkan daging kurban dalam keadaan sudah dimasak sama saja seperti berzakat fitrah dengan roti.” [Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (VIII/239) karya An-Nawawi, cet. Dar ‘Alamil Kutub Riyadh 2003 M]

Al-Imam Al-Buhuti (w. 960 H), mewakili pendapat resmi Mazhab Hanbali, menyatakan:

يَجِبُ الصَّدَقَةُ بِبَعْضِهَا نَيِّئًا عَلَى فَقِيْرٍ مُسْلِمٍ

Artinya, “Wajib menyedekahkan sebagian daging kurban dalam kondisi mentah kepada fakir yang muslim.” [Kasysyaaful Qinaa’ (III/23) karya Al-Buhuti cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah Beirut 2009 M

Jika kita perhatikan kedua nukilan terakhir, nampak bahwa Mazhab Syafii membedakan antara tamliik (memberikan) dalam bentuk sedekah dan ith’am (memberi makan). Tamlik dalam bentuk sedekah daging kurban wajib dalam kondisi mentah. Tidak sah sedekah yang berkonsekuensi tamliik ini jika dagingnya sudah dimasak. Sedekah ini juga hanya untuk fakir miskin. Adapun ith’am dalam bentuk hadiah daging atau pemberian makanan dari daging kurban, maka boleh diberikan kepada orang kaya, tanpa ada pensyaratan harus dalam kondisi mentah. Demikian juga Mazhab Hanbali.

Artinya, dalam kasus “sedekah” daging kurban, maka harus dalam kondisi mentah, sebagaimana zakat fitrah harus dalam bentuk gandum (misalnya), bukan roti gandum yang sudah jadi. Hanya saja, berbeda dari zakat fitrah, kurban tidak seluruh dagingnya disedekahkan. Ada bagian untuk dimakan sendiri dan disimpan, bahkan diberikan dalam bentuk hadiah makanan kepada orang kaya. Maka untuk selain sedekah sebagian daging kurban pada fakir, bahkan dalam kedua mazhab ini, tentulah tidak seketat aturan di atas.

Kesimpulannya, hukum mendistribusikan daging kurban dalam bentuk masak atau sejenis kemasan kornet adalah diperbolehkan asalkan sebagian daging kurban sudah ada yang disedekahkan kepada orang fakir/miskin dalam bentuk mentah. 

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Rabu, 23 Desember 2020

Hukum Menyimpan Daging Qurban Lebih Dari 3 Hari

 Rasulullah SAW pernah melarang sahabatnya melakukan penyimpanan daging kurban. Larangan ini berkaitan dengan orang-orang Arab yang datang dari desa-desa ke dalam kota. Lalu Rasulullah melarang penduduk Madinah untuk menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari. Hal ini dimaksudkan agar orang-orang Arab badui itu pulang ke kampungnya tanpa tangan hampa. 

Ulama berbeda pendapat tentang hukum menyimpan daging qurban  melebihi hari tasyrik.

Pendapat pertama, dilarang menyimpan dan mengawetkan daging qurban melebih 3 hari Tasyriq. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhum.

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah ketika shalat idul adha,  melarang menyimpan daging qurban lebih dari 3 hari. Dari Abu Ubaid – mantan budak Ibnu Azhar – beliau menceritakan,

صَلَّيْتُ مَعَ عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ – قَالَ – فَصَلَّى لَنَا قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ النَّاسَ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ نَهَاكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا لُحُومَ نُسُكِكُمْ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ فَلاَ تَأْكُلُوا

Saya pernah shalat id bersama Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Beliau shalat sebelum khutbah. Kemudian beliau berkhutbah, mengingat masyarakat. Beliau menyampaikan,

‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kalian untuk makan daging qurban kalian lebih dari 3 hari. Karena itu, janganlah kalian makan (lebih dari 3 hari).’ (HR. Muslim 5210, dan Nasai 4442).

Sementara riwayat dari Ibnu Umar, bahwa beliau tidak mau makan daging qurban yang disimpan lebih dari 3 hari. Dari Salim – putra Ibnu Umar – bahwa Ibnu Umar mengatakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ تُؤْكَلَ لُحُومُ الأَضَاحِى بَعْدَ ثَلاَثٍ

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan daging sembelihan lebih dari 3 hari.

Salim menceritakan kondisi bapaknya,

فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ لاَ يَأْكُلُ لُحُومَ الأَضَاحِىِّ فَوْقَ ثَلاَثٍ

Karena itu, Ibnu Umar tidak mau makan daging qurban lebih dari 3 hari. (HR. Muslim 5214 dan Ibnu Hibban 5924).

Pendapat kedua, boleh menyimpan dagig qurban lebbih dari 3 hari tasyriq. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, empat imam madzhab, dan selainnya.

Diantaranya diriwayatkan dari A’isyah Radhiyallahu ‘anha. Dari Abdurrahman bin Abis dari ayahnya, bahwa beliau pernah bertanya kepada A’isyah,

‘Benarkah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarag makan daging qurban lebih dari 3 hari?’

Jawab A’isyah,

مَا فَعَلَهُ إِلاَّ فِى عَامٍ جَاعَ النَّاسُ فِيهِ ، فَأَرَادَ أَنْ يُطْعِمَ الْغَنِىُّ الْفَقِيرَ ، وَإِنْ كُنَّا لَنَرْفَعُ الْكُرَاعَ فَنَأْكُلُهُ بَعْدَ خَمْسَ عَشْرَةَ

Beliau hanya melarang hal itu karena kelaparan yang dialami sebagian masyarakat. sehingga beliau ingin agar orang yang kaya memberikan makanan (daging qurban) kepada orang miskin. Karena kami menyimpan dan mengambili daging paha kambing, lalu kami memakannya setelah 15 hari. (HR. Bukhari 5107).

Diantara dalil pendapat ini adalah bahwa larangan makan daging qurban lebih dari 3 hari itu sudah dihapus. Ada beberapa hadis yang menunjukkan hal itu, diantaranya,

1. Hadis dari Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘aliahi wa sallam bersabda:

« مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَفِى بَيْتِهِ مِنْهُ شَىْءٌ » . فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ الْمَاضِى ؟ قَالَ : « كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا »

“Barangsiapa yang menyembelih hewan qurban, janganlah dia menyisakan sedikitpun dagingnya di dalam rumahnya setelah hari (Tasyriq) yang ketiga (tanggal 13 Dzulhijjah, pent).” Ketika tiba hari raya qurban tahun berikutnya, mereka (para sahabat) bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah kami melakukan sebagaimana tahun lalu?” Beliu menjawab: “(Tidak), untuk sekarang, silahkan kalian makan, berikan kepada yang lain, dan silahkan menyimpannya. Karena sesungguhnya pada tahun lalu manusia ditimpa kesulitan (kelaparan), sehingga aku ingin kalian membantu mereka (yang membutuhkan makanan, pent)”. (HR. Bukhari no. 5249, dan Muslim no.1974).

2. Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« يَا أَهْلَ الْمَدِينَةِ لاَ تَأْكُلُوا لُحُومَ الأَضَاحِىِّ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ». فَشَكَوْا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ لَهُمْ عِيَالاً وَحَشَمًا وَخَدَمًا فَقَالَ : « كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَاحْبِسُوا أَوِ ادَّخِرُوا » رواه مسلم

“Wahai penduduk kota Madinah, Janganlah kalian makan daging qurban melebihi tiga hari (Tasyriq, tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, pent)”. Mereka mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka memiliki keluarga, sejumlah orang (kerabat) dan pembantu. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Kalau begitu) silakan kalian memakannya, memberikannya kepada yang lain, menahannya atau menyimpannya.” (HR. Muslim no.1973).

وَقَدْ كَانَ) الِادِّخَارُ (مُحَرَّمًا) فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ (ثُمَّ أُبِيحَ) بِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا رَاجَعُوهُ فِيهِ كُنْت نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ مِنْ أَجْلِ الدَّافَّةِ وَقَدْ جَاءَ اللَّهُ بِالسَّعَةِ فَادَّخِرُوا مَا بَدَا لَكُمْ رَوَاهُ مُسْلِمٌ قَالَ الرَّافِعِيُّ وَالدَّافَّةُ جَمَاعَةٌ كَانُوا قَدْ دَخَلُوا الْمَدِينَةَ قَدْ أَقْحَمَتْهُمْ أَيْ أَهْلَكَتْهُمْ السَّنَةُ فِي الْبَادِيَةِ وَقِيلَ الدَّافَّةُ النَّازِلَةُ

Artinya, “(Dahulu) penyimpanan daging kurban sempat (diharamkan) lebih dari tiga hari, (tetapi kemudian penyimpanan itu dibolehkan) berdasarkan sabda Rasulullah SAW ketika para sahabat mendatanginya perihal ini, ‘Dahulu aku melarang kalian perihal ini (penyimpanan) karena tamu (dari desa-desa), tetapi Allah datang memberikan kelonggaran. Maka simpanlah apa (daging) yang tampak pada kalian,’ [HR Muslim].
Imam Ar-Rafi’i mengatakan bahwa kata ‘tamu’ yang dimaksud adalah sekelompok orang yang memasuki Kota Madinah. Mereka adalah orang yang mengalami kesulitan setahun di desa-desa. Ada ulama berpendapat bahwa mereka adalah tamu yang singgah atau mampir,” (Lihat Syekh Abu Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun],  juz VI, halaman 474).

Karena perubahan situasi, Rasulullah SAW kemudian mengizinkan para sahabatnya untuk menyimpan daging kurban. Hanya saja para ulama kemudian menyarankan bahwa penyimpanan itu berlaku untuk sepertiga maksimal daging kurban yang menjadi hak kurbanis (dalam pandangan qaul jadid Imam Syafi’i). Sedangkan dua pertiga daging kurban yang seharusnya disedekahkan tidak disarankan untuk disimpan, tetapi dibagikan kepada mustahiqnya.

فَرْعٌ، وَلَا يُكْرَهُ الِادِّخَار) مِنْ لَحْمِ الْأُضْحِيَّةِ وَالْهَدْيِ وَالتَّصْرِيحُ بِعَدَمِ الْكَرَاهَةِ مِنْ زِيَادَتِهِ (وَلْيَكُنْ) أَيْ وَيُسْتَحَبُّ إذَا أَرَادَ الِادِّخَارَ أَنْ يَكُونَ (مِنْ ثُلُثِ الْأَكْلِ) لَا مِنْ ثُلُثَيْ الصَّدَقَةِ وَالْهَدِيَّةِ  

Artinya, “(Ini cabang masalah. Penyimpanan) daging kurban dan hadiyah jamaah haji (tidak makruh). Penyampaian secara lugas frasa ‘ketidakmakruhan’ adalah tambahannya [Abu Ishak As-Syirazi]. (Hendaknya) maksudnya kalau seseorang ingin menyimpan daging kurban dianjurkan (sepertiga haknya yang untuk dikonsumsi), bukan dua pertiga yang menjadi hak sedekah dan hadiyah,” (Lihat Syekh Abu Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun],  juz VI, halaman 474).

Imam An-Nawawi dalam Al-Majemuk juga menyinggung perihal izin penyimpanan daging kurban oleh Rasulullah yang sebelumnya sempat diharamkan. Menurutnya, masalah ini ditetapkan dengan jelas dalam hadits shahih.

فرع) يجوز ان يدخر من لحم الاضحية وكان ادخارها فوق ثلاثة ايام منهيا عنه ثم اذن رسول الله صلى الله عليه وسلم فيه وذلك ثابت في الاحاديث الصحيحة المشهورة

Artinya, “(Ini satu cabang) penyimpanan daging kurban boleh. Dahulu penyimpanan daging kurban melebihi tiga hari sempat dilarang. Tetapi kemudian Rasulullah mengizinkannya. Hal ini sudah tetap di dalam hadits-hadits shahih yang masyhur,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majemuk Syarhul Muhadzdzab, [Jeddah, Maktabah Al-Irsyad: tanpa catatan tahun], juz VIII, halaman 395).

Menurut Imam An-Nawawi, ulama berbeda pendapat perihal penyimpanan daging kurban. Sebagian ulama menyatakan, makruh tahrim. Sebagian ulama lagi menyatakan, makruh tanzih. Imam An-Nawawi kemudian menyatakan bahwa penyimpanan daging kurban dibolehkan dalam syariat Islam.

والصواب المعروف انه لا يحرم الادخار اليوم بحال وإذا اراد الادخار فالمستحب ان يكون من نصيب الاكل لا من نصيب الصدقة والهدية

Artinya, “Yang benar dan terkenal, bahwa penyimpanan hewan kurban hari ini dalam situasi apa pun tidak haram. Daging yang disimpan dianjurkan adalah (sepertiga–pent) jatah yang dikonsumsi, bukan (dua pertiga–pent) kuota yang seharusnya disedekahkan dan menjadi hadiyyah (oleh jamaah haji),” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majemuk Syarhul Muhadzdzab, [Jeddah, Maktabah Al-Irsyad: tanpa catatan tahun], juz VIII, halaman 395-396).

Di sini pentingnya memahami hadits Rasulullah SAW secara utuh dengan menimbang konteks asbabul wurud, tarikh riwayat, dan kemungkinan riwayat lain.

Kita tidak dapat langsung mengamalkan sebuah riwayat hadits Rasulullah yang melarang sesuatu, dalam hal ini penyimpanan daging kurban tanpa membaca riwayat lain yang berkaitan dengan masalah ini dan pertimbangan lain di dalam memahami sebuah hadits Rasulullah SAW.

Perihal larangan dan izin penyimpanan daging kurban ini merupakan perhatian Rasulullah terkait distribusi serta pemerataan hewan kurban dan terkait hak daging kurbanis serta hak daging bagi mustahiq. 

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Selasa, 22 Desember 2020

Kisah Shohabat Nu'aiman bin Amr Yang Jahil Dan Wolesnya Kanjeng Nabi

 Membaca kisah, memang asyik dan menyenangkan, penuh dengan ibrah dan pelajaran, apalagi kisah para nabi dan orang-orang shalih, tentulah sarat dengan mutiara-mutiara hikmah yang sangat berharga. Tentang kisah para nabi, Alloh berfirman:

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأُوْلِي اْلأَلْبَاب

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. (QS. Yusuf : 111)

Adapun kisah orang-orang shalih, Imam Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Ketika membicarakan kisah mereka, turunlah rahmat ( Alloh )”. 
Sungguh alangkah indahnya ucapan seorang penyair:

كَرِّرْ عَلَيَّ حَدِيْثَهُمْ يَاحَادِيْ
فَحَدِيْثُهُمْ يُجْلِىْ الْفُؤَادَ الصَّاوِيْ

Ceritakanlah kepadaku tentang kisah mereka wahai shahabatku 
Sungguh kisah mereka dapat mencairkan hati yang membeku.

Adalah Nu’aiman bin Amr bin Rafa’ah seorang sahabat Rasulullah yang terkenal suka melawak dan jahil. Ia adalah sahabat dari kalangan Anshar. Meski wataknya yang suka melucu, Nu’aiman juga seorang mujahid sejati Islam. Ia merupakan Ashabul Badrkarena ikut terlibat dalam Perang Badar bersama Rasulullah dan para sahabat yang lainnya. 

Nu’aiman banyak membuat lelucon atau tingkah konyol –bahkan kejahilan- hingga membuat Rasulullah dan para sahabat lainnya tida kuat menahan tawa. Yang menjadi target kejahilanya tidak hanya sahabat, tapi juga Rasulullah. 

Karena itu, Rasulullah pernah berkata, “Nu’aiman akan masuk surga sambil tertawa, karena ia sering membuatku tertawa.”

Lantas bagaimana sikap Rasulullah terhadap sahabatnya yang suka melawak –bahkan jahil- seperti Nu’aiman tersebut? Apakah Rasulullah pernah marah dengan sikap usil Nu’aiman? Atau kah Rasulullah menganggapnya biasa saja? Lalu bagaimana kalau ada sahabat yang tersinggung dengan keusilan Nu’aiman, bagaimana Rasulullah ‘meredam’ hal itu?

حَدَّثَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا زَمْعَةُ بْنُ صَالِحٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ شِهَابٍ يُحَدِّثُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ وَهْبِ بْنِ زَمْعَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ خَرَجَ تَاجِرًا إِلَى بُصْرَى وَمَعَهُ نُعَيْمَانُ وَسُوَيْبِطُ بْنُ حَرْمَلَةَ وَكِلَاهُمَا بَدْرِيٌّ وَكَانَ سُوَيْبِطٌ عَلَى الزَّادِ فَجَاءَهُ نُعَيْمَانُ فَقَالَ أَطْعِمْنِي فَقَالَ لَا حَتَّى يَأْتِيَ أَبُو بَكْرٍ وَكَانَ نُعَيْمَانُ رَجُلًا مِضْحَاكًا مَزَّاحًا فَقَالَ لَأَغِيظَنَّكَ فَذَهَبَ إِلَى أُنَاسٍ جَلَبُوا ظَهْرًا فَقَالَ ابْتَاعُوا مِنِّي غُلَامًا عَرَبِيًّا فَارِهًا وَهُوَ ذُو لِسَانٍ وَلَعَلَّهُ يَقُولُ أَنَا حُرٌّ فَإِنْ كُنْتُمْ تَارِكِيهِ لِذَلِكَ فَدَعُونِي لَا تُفْسِدُوا عَلَيَّ غُلَامِي فَقَالُوا بَلْ نَبْتَاعُهُ مِنْكَ بِعَشْرِ قَلَائِصَ فَأَقْبَلَ بِهَا يَسُوقُهَا وَأَقْبَلَ بِالْقَوْمِ حَتَّى عَقَلَهَا ثُمَّ قَالَ لِلْقَوْمِ دُونَكُمْ هُوَ هَذَا فَجَاءَ الْقَوْمُ فَقَالُوا قَدْ اشْتَرَيْنَاكَ قَالَ سُوَيْبِطٌ هُوَ كَاذِبٌ أَنَا رَجُلٌ حُرٌّ فَقَالُوا قَدْ أَخْبَرَنَا خَبَرَكَ وَطَرَحُوا الْحَبْلَ فِي رَقَبَتِهِ فَذَهَبُوا بِهِ فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَأُخْبِرَ فَذَهَبَ هُوَ وَأَصْحَابٌ لَهُ فَرَدُّوا الْقَلَائِصَ وَأَخْذُوهُ فَضَحِكَ مِنْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ حَوْلًا

Telah menceritakan kepadanya Rauhtelah menceritakan kepada kami Zam'ah bin Shalih dia berkata; saya telah mendengar Ibnu Syihabmenceritakan dari Abdullah bin Wahb bin Zam'ah dari Ummu Salamah bahwa Abu Bakr pernah pergi untuk berdagang di Bashrah bersama Nu'aiman dan Suwaith bin Harmalah keduanya adalah pengikut perang Badr. Ketika itu Suwaith membawa bekal, sehingga Nu'aiman mendatanginya dan berkata; "Berilah aku makan!" lantas ia menjawab; "Tidak, hingga Abu Bakr datang." Nu'aiman adalah seorang lelaki yang lucu. Ia berkata; "Sungguh aku akan membuat engku marah!" lantas ia mendatangi segerombolan orang yang berkumpul." Ia berkata; "Belilah dariku seorang budak Arab yang tangkas lagi pandai bicara. Ia pasti selalu mengatakan; 'Aku orang yang merdeka'." Bila kalian tertarik dengan hal tersebut, panggillah aku dan jangan kalian sia-siakan budakku. Mereka berkata; "Pasti kami akan membelinya darimu setara dengan sepuluh unta." Lantas ia dan mereka pun menerimanya hingga ia megikatnya. Kemudian ia berkata kepada mereka; "Ia ada di bawah kalian ini." Lantas mereka pun mendatanginya dan berkata; "Kami telah membelimu?" Suwaith berkata; "Dia itu pembohong, saya adalah seorang lelaki yang merdeka" mereka berkata; "Dia telah mengabarkan kepada kami mengenai kamu." Merekapun mengikatkan tali di lehernya dan membawanya. Lalu Abu Bakr datang dan ia diberi tahu. Lantas ia dan para sahabatnya pergi dan mengembalikan unta tersebut, dan merekapun mengambilnyanya. Sementara Nabi shalallahu'alaihi wa sallam serta para sahabatnya tertawa. (MUSNAD IMAM ACHMAD)

Kita bisa menarik beberapa kesimpulan tentang sikap Rasulullah terhadap Nu’aiman.

Pertama, memakluminya. Pada umumnya Rasulullah dan para sahabat maklum tentang karakter Nu’aiman yang suka melucu. Rasulullah juga biasa saja ketika menjadi sasaran kejahilan Nu’aiman dalam membuat lelucon. Selama tingkah polah Nu’aiman tidak melanggar ajaran agama Islam, mungkin selama itu pula akan dimaklumi. 

Misalnya cerita Nu’aiman menghadiahi Rasulullah Madu. Diceritakan bahwa suatu hari Nu’aiman ingin menghadiahi Rasulullah seguci madu. Namun karena ia tidak memiliki uang, maka akhirnya Nu’aiman menyuruh penjual madu untuk menghantarkan madunya kepada Rasulullah, sebagai hadiah kepada Rasulullah.

“Nanti kamu minta juga uang harganya,” kata Nu’aiman kepada penjual madu. 

Saat bertemu Rasulullah, penjual madu tersebut mengatakan sebagaimana yang diminta Nu’aiman. Rasulullah memberikan sejumlah uang kepada penjual madu itu. Jadi lah Rasulullah mendapatkan hadiah madu, sekaligus tagihan harganya.

Setelah kejadian itu, Rasulullah memanggil Nu’aiman. Beliau menanyakan mengapa Nu’aiman melakukan hal itu. 

“Saya ingin berbuat baik kepada Anda ya Rasulullah, tapi saya tidak punya apa-apa,” jawab Nu’aiman sehingga membuat Rasulullah tersenyum. 

Kedua, mengganti kerugian akibat kejahilan Nu’aiman. Tidak hanya memaklumi Nu’aiman, bahkan Rasulullah mengganti kerugian akibat kejahilan yang dilakukan sahabatnya itu. Selain cerita di atas, ada satu kejadian yang membuat Rasulullah mengganti apa yang telah diperbuat Nu’aiman. Meski demikian, Rasulullah tidak marah. Bahkan beliau tersenyum karena apa yang dilakukan Nu’aiman memang ‘menggelitik.’

Ceritanya, suatu ketika para sahabat berkata kepada Nu’aiman bahwa sudah lama tidak makan daging unta. Mereka lantas memiliki ide untuk menyembelih unta seseorang yang tengah bertamu kepada Rasulullah. Nu’aiman langsung saja menyambut ide tersebut. Unta tamu Rasulullah tersebut akhirnya jadi disembelih Nu’aiman. 

Tamu Rasulullah yang mengetahui untanya disembelih tersebut langsung mengadu kepada Rasulullah. Setelah ditanya, para sahabat yang memiliki ide makan daging unta tersebut menjawab bahwa yang melakukan itu adalah Nu’aiman. Salah seorang dari mereka lalu menunjukkan kepada Rasulullah dan tamunya tempat persembunyian Nu’aiman. 

Saat ditanya Rasulullah mengapa melakukan itu, jawaban Nu’aiman malah membuat Rasulullah tersenyum.

“Tanyakan saja kepada orang yang menunjukkan kepadamu tempat persembunyianku,” jawab Nu’aiman. Rasulullah lalu memberikan ganti rugi kepada pemilik unta tersebut dengan jumlah yang lebih dari pada cukup. 

Ketiga, melarang sahabat lain mencela Nu’aiman. tidak semua orang suka dan maklum dengan tingkah Nu’aiman yang jahil dan usil seperti itu. Pasti ada saja pihak-pihak yang jengkel dan tidak suka dengan tingkah laku Nu’aiman. Terkait hal ini, Rasulullah sudah memberikan rambu-rambu. Rasulullah melarang para sahabatnya untuk mencela Nu’aiman. 

“Jangan lakukan itu (mencela Nu’aiman) karena dia mencintai Allah dan Rasul-Nya,” kata Rasulullah. 

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Senin, 07 Desember 2020

Nur Muhammad Simbol Rohmat Dan Awal Penciptaan

 Sebelumnya, kita telah sedikit mengenal keluasan rahmat Allah swt. Rahmat yang meliputi segala sesuatu. Rahmat yang jika terputus sedetik saja maka hancurlah seluruh alam semesta. Hingga kita sampai pada pertanyaan, siapakah simbol rahmat Allah di bumi ini? Siapakah penghubung rahmat Pencipta dengan makhluk-Nya? Siapakah yang menjadi gambaran keluasan rahmat Allah swt di alam ini?

Jika rahmat Allah meliputi segala sesuatu, maka simbol rahmat-Nya harus memiliki rahmat dan kasih sayang terluas hingga tak terikat dengan suatu alam. Alam Manusia, binatang, jin bahkan malaikat sekalipun harus memperoleh sentuhan rahmat darinya. Allah berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ -١٠٧-

“Dan Kami tidak Mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”

(Al-Anbiya’ 107)

Jika ada rahmat Allah swt di setiap sesuatu maka ada pula percikan Nur Muhammad di dalamnya. Karena dari cahaya itulah segala sesuatu tercipta. Bukankah dalam Hadist Qudsi-Nya, Allah pernah berfirman:

لولاك يا محمد ما خلقت الافلاك

“Jika bukan karenamu Wahai Muhammad, tidak Aku Ciptakan alam semesta”

Seluruh makhluk menjadi ada karena rahmat Muhammad saw yang Allah berikan kepadanya.

Simbol rahmat itu Allah berikan kepada seorang yang hatinya dipenuhi dengan rahmat dan kasih sayang. Tidak ada satu makhluk pun yang tidak mendapat sentuhan rahmat darinya. Karena Allah swt hanya akan menurunkan rahmat dan kasih sayang-Nya melalui kekasih-Nya ini.

Ketika Jibril membawakan ayat ini, Rasulullah saw bertanya padanya, “Apakah engkau juga memperoleh rahmat ini?”

Kemudian Jibril menjawab, “Iya, wahai Rasulullah. Aku memperoleh percikan rahmatmu itu. Bahkan hanya itulah yang dapat kuandalkan.”

Bukan hanya malaikat, binatang pun memperoleh rahmat dan kasih sayang dari Rasulullah saw. Tahukah kita bahwa Nabi Muhammad saw adalah manusia pertama yang mengumumkan untuk tidak berbuat keji terhadap binatang. Bukankah Rasulullah telah berpesan untuk menajamkan pisau ketika hendak menyembelih binatang. Agar mereka tidak tersiksa saat di potong lehernya. Bukankah Rasulullah saw yang melarang anak-anak kecil yang sedang asyik melempari burung dengan batu.

Di zaman ketika hati manusia keras dan tak memiliki kasih sayang, Rasulullah datang dengan hati penuh rahmat bahkan kepada binatang sekalipun.

Rahmat adalah sesuatu yang harus bisa dirasakan dan dinikmati. Alam semesta ini merupakan rasa dari kemaujudan Nabi Saw pada awal penciptaan. Sebagaimana makanan dan minuman yang bisa kita nikmati, sudah barangtentu wujud makanan dan minuman itu harus ada terlebih dahulu daripada rasanya itu sendiri. Karena rasa itu dapat dinikmati setelah adanya wujud makanan dan minuman itu sendiri. Kita tidak dapat menikmati rasa kopi tanpa adanya wujud kopi, dan begitulah seterusnya. Begitu pula untuk menikmati wujud alam semesta ini tidak dapat dinikmati tanpa adanya wujud penciptaan Nabi Saw terlebih dahulu. Itulah maksud firman Allah dalam hadits Qudsi :

لَوْلَاكَ لَوْلَاكَ لَمَّا خَلَقْتُ الْاَفْلَاكَ

“ Kalaulah bukan karena (penciptaan) engkau (Muhammad), Aku tidak akan menciptakan alam semesta  “

Penjelasan ini dibenarkan dalam banyak riwayat, Nabi Saw bersabda :

اَناَ اَبُو الْأَرْوَاحِ وَاَناَ مِنْ نُوْرِ اللهِ وَالمْؤُمِنُونَ فَيْضَ نُورِى

“ Aku adalah moyang semua arwah dan aku berasal dari cahaya Allah dan orang-orang yang beriman terperciki oleh cahayaku “(Ruhul Bayan 1/403, 2/370, 3/129)

Bahkan Ibnu Taimiyah memasukkan sebuah hadits tentang awal penciptaan Nabi Saw dalam kitabnya sbb : 

وَقَدْ رَوَاهُ أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ بشران مِنْ طَرِيقِ الشَّيْخِ أَبِي الْفَرَجِ ابْنِ الْجَوْزِيِّ فِي (الوفا بِفَضَائِلِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إسْحَاقَ بْنِ صَالِحٍ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ صَالِحٍ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ العوفي ثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ طهمان عَنْ يَزِيدَ بْنِ مَيْسَرَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ {مَيْسَرَةَ قَالَ قُلْت: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى كُنْت نَبِيًّا؟ قَالَ لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ الْأَرْضَ وَاسْتَوَى إلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَخَلَقَ الْعَرْشَ: كَتَبَ عَلَى سَاقِ الْعَرْشِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ خَاتَمُ الْأَنْبِيَاءِ وَخَلَقَ اللَّهُ الْجَنَّةَ الَّتِي أَسْكَنَهَا آدَمَ وَحَوَّاءَ فَكَتَبَ اسْمِي عَلَى الْأَبْوَابِ وَالْأَوْرَاقِ وَالْقِبَابِ وَالْخِيَامِ وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوحِ وَالْجَسَدِ فَلَمَّا أَحْيَاهُ اللَّهُ تَعَالَى: نَظَرَ إلَى الْعَرْشِ فَرَأَى اسْمِي فَأَخْبَرَهُ اللَّهُ أَنَّهُ سَيِّدُ وَلَدِك فَلَمَّا غَرَّهُمَا الشَّيْطَانُ تَابَا وَاسْتَشْفَعَا بِاسْمِي إلَيْهِ} . وَرَوَى أَبُو نُعَيْمٍ الْحَافِظُ فِي كِتَابِ دَلَائِلِ النُّبُوَّةِ: وَمِنْ طَرِيقِ الشَّيْخِ أَبِي الْفَرَجِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ رشدين ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ سَعِيدٍ الْفَهْرِي

“ dan sesungguhnya telah meriwayatkan Abu al-Hasan ibn Basyran melalui jalan Syaikh Abu al-Faraj ibn al-Jauzi dalam kitab al-Wafa bi Fadhl al-Mushthafa Saw : mengabarkan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr dan mengabarkan kepada kami Ahmad bin Ishaq bin Shaleh mengabarkan kepada kami Muhammad bin Sinan al-Awfi mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Tihaman dari Yazid bin Maisarah dari Abdullah bin Sufyan dari Maisarah, ia ber- kata, “ Aku berkata :  Wahai Rasulullah, kapankah engkau menjadi nabi ? Beliau menjawab : “ Setelah Allah menciptakan bumi dan bermaksud (beralih) pada penciptaan langit. Dia menyempurnakannya dalam jumlah tujuh langit. Dia juga menciptakan Arasy, dan menulis- kan pada betis (kaki) Arasy : Muhammad Utusan Allah. Penutup para Nabi. Dia juga Menciptakan surga yang didiami oleh Adam dan Hawa, lalu menuliskan namaku pada berbagai pintu dan kertas, pada kubah-kubah dan kemah-kemah, sedangkan Adam masih terpisah jasad dari ruhnya. Setelah Adam dihidupkan Allah Swt, ia memandang ke Arasy, ia pun melihat namaku. Allah lalu memberitahu Adam : “ Muhammad adalah pemimpin keturu- nanmu “. Ketika mereka diperdayakan oleh setan, mereka bertobat dan memohon syafa’at dengan (perartara berkah) namaku kepada-Nya “ Dan telah diriwayatkan oleh Abu Nu’aim al-Hafizh di dalam kitab Dalail Nubuwwah melalui jalan Syaikh Abu al-Faraj meriwayatkan kepada kami Sulaiman ibn Ahmad meriwayatkan kepada kami Ahmad bin Rasyidin mengabarkan kepada kami Ahmad ibn Sa’id al-Fahri “(Majmu’ Fatawa 2/150)

Banyak pula orang yang terkecoh pemikirannya, bahwa penciptaan Nabi Adam a.s terlebih dahulu daripada penciptaan Nabi Saw. Banyak sekali hadits yang diriwayatkan dari berbagai jalur yang justru mengatakan sebaliknya.

Dari Irbash bin Sariyah as-Salami r.a, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Saw berkata : 

إِنِّي عِنْدَ اللهِ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَخَاتَمُ النَّبِيِّينَ، وَإِنَّ آدَمَ لَمُنْجَدِلٌ  فِي طِينَتِهِ 

“ Aku di sisi Allah di dalam induk Kitab (Lauh Mahfuzh) sebagai penutup para nabi, sedangkan Adam masih tergolek di tanah  “(Musnad Ahmad 27/380, 27/395, Musnad al-Bazzar 10/135, Shahih Ibnu Hibban 14/313, al-Mu’jam al-Ausath 18/253, Syu’abul Iman 2/510, Syarh as-Sunnah al-Baghawi 13/207 (derajat hadits shahih)

Dalam hadits lainnya ada sahabat yang bertanya kepada Nabi Saw :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى وَجَبَتْ لَكَ النُّبُوَّةُ ؟ قَالَ: «وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوحِ وَالجَسَدِ»

“ Dari Abu Hurairah, berkata : bertanya aku kepada Rasulullah Saw di manakah engkau mendapatkan kenabian ? Bersabda Nabi Saw : “  (waktu itu) Adam berada di antara ruh dan jasad “(Sunan Turmudzi 5/585, Mushanaf Ibnu Abi Syaibah 7/239 riwayat Abdullah bin Syaqiq r.a, as-Sunan Abdullah bin Ahmad 2/398 riwayat Maisarah al-Fajri r.a, Musnad Ahmad 27/176, Musnad al-Bazzar 11/476 riwayat Ibnu Abbas r.a , 15/207 riwayat Abu Salamah r.a, al-Mu’jam al-Kabir 12/92, 12/119 (derajat hadits masyhur/mutawatir)

Dari Anas bin Malik r.a, ia berkata : 

لَمَّا كَانَ اليَوْمُ الَّذِي دَخَلَ فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ أَضَاءَ مِنْهَا كُلُّ شَيْءٍ، فَلَمَّا كَانَ اليَوْمُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ أَظْلَمَ مِنْهَا كُلُّ شَيْءٍ، وَمَا نَفَضْنَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَيْدِي وَإِنَّا لَفِي دَفْنِهِ حَتَّى أَنْكَرْنَا قُلُوبَنَا

“ Pada saat Rasulullah Saw memasuki Madinah, menjadi teranglah segala benda di kota itu. Pada hari Rasulullah Saw wafat, gelaplah segala sesuatu di kota Madinah. Tidaklah kami selesai menguburkan beliau, sehingga hati kami mengingkari hal tersebut “(Shahih Ibnu Hibabn 14/601, Sunan Turmudzi 5/588, Sunan Ibnu Majah 1/522, Musnad Ahmad 21/35, 21/330, Musnad al-Bazzar 13/291, Musnad Abu Ya’la 6/51, 6/110 (derajat hadits shahih/masyhur)

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “ Rasulullah Saw tidak memiliki bayang-bayang baik dari sinar matahari maupun bulan, karena beliau itu nuuraaniy sejenis cahaya yang mengan- dung cahaya yang sangat terang “.
Abu Ja’far dalam memberikan penafsiran dalam ayat “قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ  ” (sesungguhnya akan datang kepada kalian dari Allah cahaya. QS. 5 – al-Maidah : 15) ialah cahaya Nabi Muhammad Saw “(Tafsir ath-Thabari 10/143)
Al-Hafizh al-Juzaz berkata tentang : ayat “قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ  ” (sesungguhnya akan datang kepada kalian dari Allah cahaya. QS. 5 – al-Maidah : 15) yang dimaksud dengan cahaya adalah Muhammad Saw dan hidayah atau cahayanya yang menjelaskan segala perkara dan melihat batinnya segala hakikat, seperti kedatangannya cahaya Nabi Muhammad Saw di dalam hati di dalam menjelaskan segala sesuatu dan menyingkapkan kegelapan disepertikan dengan cahayanya. (Ma’ani al-Quran wa I’rabih, al-Juzaz 2/161)

Sayyid Muhammad al-Maliki berkata : “ Bahwa Rasulullah Saw pernah memohon kepada Allah untuk diberi cahaya pada semua anggota arahnya “. 
Maksud beliau adalah doa berikut ini : 

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ لِي نُورًا فِي قَلْبِي، وَنُورًا فِي قَبْرِي، وَنُورًا مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَنُورًا مِنْ خَلْفِي، وَنُورًا عَنْ يَمِينِي، وَنُورًا عَنْ شِمَالِي، وَنُورًا مِنْ فَوْقِي، وَنُورًا مِنْ تَحْتِي، وَنُورًا فِي سَمْعِي، وَنُورًا فِي بَصَرِي، وَنُورًا فِي شَعْرِي، وَنُورًا فِي بَشَرِي، وَنُورًا فِي لَحْمِي، وَنُورًا فِي دَمِي، وَنُورًا فِي عِظَامِي، اللَّهُمَّ أَعْظِمْ لِي نُورًا، وَأَعْطِنِي نُورًا، وَاجْعَلْ لِي نُورًا

“ Ya Allah jadikanlah aku cahaya di dalam hatiku, dan cahaya di dalam kuburku, dan cahaya di antaranya, dan cahaya dari belakangku, dan cahaya dari kananku, dan cahaya dari kiriku, dan cahaya dari bawahku, dan cahaya dari atasku, dan cahaya dalam pendengaranku, dan cahaya dalam mataku, dan cahaya dalam rambutku, dan cahaya dalam kulitku, dan cahaya dalam dagingku, dan cahaya dalam kepermanenanku, dan cahaya dalam kebesaranku, Ya Allah agungkanlah aku dengan cahaya dan berikanlah aku cahaya dan jadikanlah aku cahaya ” (Sunan Turmudzi 5/472 riwayat Ibnu Abbas r.a, as- Sunan al-Kabir, an-Nasai 1/238, Shahih Ibnu Khuzaimah 2/165, ad-Du’a 1/165. Al-Mu’jam al-Ausath 4/95, al-Mu’jam al-Kabir 10/283, al-Adab al-Mufrad bi at-Ta’liqat, al-Bukhari 1/365 (derajat hadits shahih)

Imam Ismail al-Buruswi dalam tafsirnya berkata : “ Bahwa Allah Swt mengutus Nabi Saw sebagai cahaya yang menerangkan hakikat bagian manusia dari Allah Swt, dan Dia menamai dirinya sendiri sebagai cahaya, sebagaimana firman-Nya : (Ruhul Bayan 2/370)

اَللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

“ Allah merupakan cahaya langit dan bumi ”   (QS. 24 – an-Nur : 35) 

Karena langit dan bumi itu tersamar dalam gelapnya ketiadaan, maka Allah Swt menampilkan keduanya dengan mengadakannya. Rasul Saw disebut cahaya, karena sesuatu yang pertama kali ditampilkan Allah, dengan cahaya qudrat-Nya dari gelapnya ketiadaan adalah cahaya Nabi Saw, sebagaimana sabdanya :

أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللهُ نُوْرِى

“ Sesuatu yang pertama kali diciptakan Allah adalah cahayaku ”   

Dari cahaya itu Allah menciptakan alam dan segala isinya. Maujudat ini tampil karena danya cahaya Muhammad Saw, maka ia disebut cahaya. Segala sesuatu yang keadaannya lebih mendekati kepada penciptaan, maka ia lebih utama dinamakan dengan cahaya, sebagai-mana halnya alam arwah lebih dekat kepada penciptaan daripada alam jasad. Oleh karena itu ia disebut alam cahaya. Alam yang tinggi dapat disebut cahaya bila dibandingkan dengan alam rendah. Maujudat yang paling dekat kepada penciptaan, lebih pantas untuk disebut cahaya. Oleh karena itu beliau bersabda :

اَنَا مِنَ اللهِ وَالْمُؤمِنُوْنَ مِنِّى

“ Aku berasal dari Allah dan orang-orang beriman berasal dariku “

Allah Swt berfirman :

قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ  

“ Sesungguhnya akan datang kepada kalian dari Allah cahaya ” (QS. 5 – al-Maidah : 15)

Nabi Saw bersabda :

كُنْتُ نُورًا بَيْنَ يَدَيٌَ رَبٌِى قَبْلَ خَلَقَ آدَمَ بِاَرْبَعَةِ عَشَرَ اَلْفِ عَاٍم, وَكَانَ يُسَبٌِحُ ذَلِكَ الٌنُورُ وَتَسْبِحُ اْلَمَلَاءِكَةِ بِتَسْبِحِيْهِ فَلَمٌ خَلَقَ اللهُ آدَمَ اَلْفَى ذَلِكَ الٌنُورُ فِى صَلْبِهِ

“ Dahulu aku merupakan cahaya yang berada dihadapan Rabb-Ku, yaitu 14.000 tahun sebelum Allah menciptakan Adam. Cahaya itu membaca tasbih, dan para malaikat pun menirukannya. Setelah Allah menciptakan Adam, Dia menyimpan cahaya itu ke dalam sulbi (tulang rusuk) Adam “. 

Diriwayatkan melalui Ibnu Abbas r.a, bahwa Nabi Saw bersabda :

لَمَّا خَلَقَ اللهُ آدَمَ اَهْبَطَنِى فِى صُلْبِهِ اِلَى اْلأَرْضِ وَجَعَلَنِى فِى صُلْبِ نُوْحٍ فِى السَّفِيْنَةِ وَقَذَفَنِى فِى صُلْبِ إِبْرَاهِيْمَ ثُمَّ لَمْ يَزَلْ تَعَالَى يَنْقُلُنِى مِنَ الْأَصْلَابِ الْكَرِيْمَةِ وَالْأَرْحَامِ الطَّاهِرَةِ حَتَّى أَخْرَجَنِي بَيْنَ أَبَوَيَّ لَمْ يَلْتَقِيَا عَلَى سَفَاحٍ قَطُّ

“ Setelah Allah menciptakan Adam, Dia menurunkanku ke bumi dalam sulbi Adam. Kemudian menjadikanku dalam sulbi Nuh dalam perahu. dan dipindahkan aku ke dalam sulbi Ibrahim Kemudian terus-menerus Allah memindahkanku dari berbagai sulbi yang mulia dan rahim yang suci, sehingga Dia mengeluarkanku melalui ibu bapakku yang sama sekali tidak pernah terjerumus ke dalam perzinahan “

Dalam larik Qashidatul Burdah berikut ini, Imam Al-Bushiri menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW yang menjadi sebab penciptaan dunia takkan mungkin berhajat kepada dunia karena beliau SAW sendiri adalah penghulu dunia:

وَكَيفَ تَدْعُو إلَى الدُّنيا ضَرُورَةُ مَنْ ** لولاهُ لم تخرجِ الدنيا من العدمِ

Artinya, “Bagaimana orang yang kalau bukan karena dirinya niscaya dunia ini takkan keluar dari ketiadaannya berkepentingan terhadap dunia?”

Pernyataan Imam Al-Bushiri tidak berlebihan. Pernyataan Al-Bushiri cukup beralasan  karena didasarkan pada hadits qudsi riwayat Al-Hakim dan Al-Baihaqi yang menyatakan bahwa kalau bukan karena Nabi Muhammad SAW, Allah takkan menciptakan Nabi Adam AS.

والأصل في ذلك ما رواه الحاكم والبيهقي من قول الله تعالى لآدم لما سأله بحق محمد أن يغفر له ما اقترفه من صورة الخطيئة وكان رأى على قوائم العرش مكتوبا لا إله إلا الله محمد رسول الله سألتني بحقه أن أغفر لك ولولاه ما خلقتك فوجود آدم عليه السلام متوقف على وجوده صلى الله عليه وسلم

Artinya, “Dasar atas pernyataan ini adalah hadits riwayat Al-Hakim dan Al-Baihaqi perihal jawaban Allah SWT kepada Nabi Adam AS yang meminta dengan nama Nabi Muhammad SAW ampunan terkait kekeliruannya. Nabi Adam AS ketika itu melihat catatan ‘Lâ ilâha illallâh, Muhammadur Rasûlullâh’ pada tiang-tiang Arasy. Allah menjawab, ‘Kau meminta dengan namanya (Nabi Muhammad SAW) agar Aku mengampunimu. Sungguh, kalau bukan karenanya, Aku tidak akan menciptakanmu.’ Jadi, ujud Nabi Adam AS bergantung pada ujud Nabi Muhammad SAW,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Matnil Burdah,  halaman 21).

Kalau bukan karena Nabi Muhammad SAW, niscaya Allah takkan menciptakan Nabi Adam AS. Kalau Nabi Adam AS tidak diciptakan oleh Allah, niscaya anak Adam atau bani Adam takkan diciptakan. Sedangkan nyatanya, Allah menciptakan Nabi Adam AS dan anak keturunannya. Allah juga menciptakan alam semesta ini hanya untuk keperluan manusia. Jadi, hanya karena Nabi Muhammad SAW Allah menciptakan alam semesta raya ini.

Syekh Ibrahim Al-Baijuri yang pernah memimpin Universitas Al-Azhar di zamannya mencoba membangun logika ini dalam Hasyiyatul Burdah berikut ini:

وآدم أبو البشر وقد خلق الله لهم ما في الأرض  وسخر لهم الشمس والقمر والليل والنهار وغير ذلك كما هو نص القرآن قال تعالى خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وإذا كانت هذه الأمور إنما خلقت لأجل البشر وأبو البشر إنما خلق لأجله صلى الله عليه وسلم كانت الدنيا إنما خلقت لأجله فيكون صلى الله عليه وسلم هو السبب في وجود كل شيء

Artinya, “Nabi Adam AS memang bapak manusia. Allah menciptakan apa yang ada di bumi untuk anak manusia. Allah juga menundukkan matahari, bulan, malam, siang, dan lain sebagainya untuk anak manusia sebagaimana tercantum dalam Al-Quran, 'Dia menciptakan untukmu apa yang ada di bumi semuanya,’ (Surat Al-Baqarah ayat 29) dan ‘Dia menundukkan bagimu matahari dan bulan silih berganti dan Dia menundukkan bagimu malam dan siang,’ (Surat Ibrahim ayat 33). Jadi, ketika semesta alam raya itu diciptakan untuk manusia, sementara Nabi Adam AS adalah bapak manusia diciptakan karena Nabi Muhammad SAW, maka dunia ini diciptakan karena Nabi Muhammad SAW. Jadi, Nabi Muhammad SAW adalah sebab bagi segala ujud,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Matnil Burdah, halaman 21-22).

Syekh Khalid bin Abdullah Al-Azhari dalam Syarah Burdah menyatakan bahwa karena Rasulullah SAW sendiri adalah sebab atas penciptaan alam semesta, maka beliau SAW tidak berhajat dan berhasrat pada kesenangan duniawi yang fana:

ومعنى البيتين أنه صلى الله عليه وسلم لا تدعوه الضرورة الى حطام الدنيا الفانية فإن الدنيا ما أخرجت من العدم إلى الوجود إلا لأجله وكيف يكون كذلك وهو سيد أهل الدنيا والآخرة وسيد الانس والجن وسيد العرب والعجم

Artinya, “Makna bait ini adalah bahwa Nabi Muhammad SAW tidak berkepentingan untuk mengumpulkan harta benda duniawi yang fana karena dunia tidak diciptakan dari ketiadaan menjadi ada kecuali karena dirinya. Lalu bagaimana bisa demikian (haus harta duniawi) dengan Rasulullah SAW, sedangkan beliau adalah penghulu (pangkal atau permulaan) penduduk dunia dan akhirat, penghulu manusia dan jin, dan penghulu bangsa Arab dan bangsa ajam,” (Lihat Syekh Khalid bin Abdullah Al-Azhari, Syarah Khalid Al-Azhari ala Matnil Burdah, halaman 22).

Logika yang dibangun oleh Imam Al-Bushiri, Syekh Ibrahim Al-Baijuri, dan Syekh Khalid Al-Azhari merupakan refleksi dari Surat Al-Baqarah ayat 29, Surat Ibrahim ayat 33, dan hadits berikut ini:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أنا سيد ولد آدم ولا فخر

Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku penghulu anak Adam, dan tidak sombong,’” (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah).

Dari pelbagai keterangan ini, tidak berlebihan ketika Sayyid Bakri Syatha dalam mukaddimah I‘anatut Thalibin menganjurkan kita untuk bersyukur kepada Rasulullah SAW karena jasanya yang mengajarkan kita mengenal dan bersyukur kepada Allah.

Sayyid Bakri Syatha menyebut Rasulullah SAW tidak lain adalah asal penciptaan bagi semua makhluk Allah. Sayyid Bakri menganjurkan kita untuk membaca banyak shalawat. Hanya saja "asal" dan kata "sebab" penciptaan di sini mesti dipahami sebagai asal atau sebab secara majazi karena pada hakikatnya perbuatan Allah tidak tergantung pada illat atau sebab.

Meskipun demikian, shalawat terhadap Nabi Muhammad SAW merupakan bentuk terima kasih atau syukur kita umat manusia terhadap Rasulullah SAW sebagai penghulu segenap manusia sebagaimana sabdanya yang mulia. Allahumma shalli wa sallim 'ala Sayyidina Muhammad wa alihi wa shabihi ajma'in.

Wanita Haidh Boleh Memandikan Mayat

Ulama sepakat bahwa wanita yang dalam keadaan suci dari haid dan nifas boleh memandikan jenazah wanita lain yang meninggal. Namun bagaimana jika wanita tersebut sedang haid atau nifas, bolehkah dia memandikan jenazah?

Disebutkan dalam kitab Nihayatul Muhtaj bahwa wanita yang sedang haid atau nifas boleh memandikan jenazah tanpa ada kemakruhan. Wanita haid atau nifas dalam Islam hakikatnya tetap suci sebagaimana wanita yang tidak sedang haid atau nifas dan manusia pada umumnya sehingga mereka boleh dan berhak untuk memandikan jenazah.

ويغسل الجنب والحائض الميت بلا كراهة لأنهما طاهران فكانا كغيرهما

“Orang yang junub atau haid boleh memandikan jenazah tanpa ada kemakruhan. Mereka berdua hakikatnya suci sehingga sama dengan lainnya.”

Imam Nawawi dalam kitab Almajmu juga menegaskan kebolehan wanita haid untuk memandikan jenazah. Beliau berkata;

يجوز للجنب والحائض غسل الميت بلا كراهة

“Boleh bagi orang junub atau haid untuk memandikan mayat tanpa ada kemakruhan.”

فلا توجد آية قرآنية تمنع الحائض من غسل الميت ولا من حضور غسله، ولا نعلم حديثاً عن النبي صلى الله عليه وسلم بهذا المعنى، ولا نعلم أحداً من أهل العلم حرم ذلك إلا أن بعض السلف كالحسن وابن سيرين كره ذلك، كما رواه عنهما ابن أبي شيبة في مصنفه.

والله أعلم.

Tidak ditemukan dalam Al Quran ayat yang ,telarang wanita haid memandikan mayit atau hadir pada pemandian mayit, begitu pula kami tidak ketahui adanya hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang melarangnya dengan makna seperti ini, dan tidak ada satu pun ulama yang mengharamkannya, kecuali adanya sebagian salaf yang memakruhkannya seperti Al Hasan (Al Bashri) dan Ibnu Sirin, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf.

Dalam memandikan jenazah, tidak disyaratkan seseorang harus suci dari hadas, baik kecil maupun besar. Boleh seseorang yang dalam keadaan hadas kecil maupun besar untuk mengurus jenazah, mulai dari memejamkan kedua mata mayat, memandikan dan menguburkannya.

Namun meskipun bukan syarat, hendaknya yang mengurus jenazah adalah orang yang suci dari hadas kecil dan besar dengan harapan agar pengurusan jenazah lebih sempurna dan lebih baik. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Almughni berikut.

ولا نعلم بينهم اختلافاً في صحة تغسيلهما وتغميضهما له ـ الحائض والجنب ـ ، ولكن الأولى أن يكون المتولي لأموره ، في تغميضه وتغسيله ، طاهراً لأنه أكمل وأحسن

“Kami tidak mengetahui adanya perbedaan terkait keabsahan memandikan dan memejamkan kedua mata mayat bagi orang yang sedang haid dan junub. Hanya saja hendaknya yang mengurus jenazah, baik memejamkan kedua mata maupun memandikan mayat, adalah orang yang suci -dari hadas- karena hal tersebut lebih sempurna dan lebih baik.”

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Selasa, 27 Oktober 2020

Mencintai Ahlul-Bait Sebagai Tangga Menuju Cinta Rosululloh saw


۞اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ۞

Sebagai salah satu tinggalan Nabi Muhammad SAW untuk umatnya, keturunannya sudah selayaknya mendapat penghormatan dan rasa cinta seperti yang beliau terima. Sebagaimana anjuran dari sahabat termulia Rasulullah, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq  yang mengatakan,

ارْقُبُوا مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَهْلِ بَيْتِه

“Jagalah, hormatilah dan muliakanlah Ahlul Bait (keluarga) Rasulullah SAW”
(HR. Bukhari)

Ahlul bait merupakan keturunan suci
SAW yang memiliki ikatan nasab, mereka adalah keturunan Fathimah sampai hari kiamat. Demikian yang dijelaskan Imam Nawawi dalam Syarh Al-Muhadzdzab.

Kesaksian Allah dan Rasulnya akan kemulyaan ahlul bait bisa tergambar dari firman Allah SWT dan hadits Nabi Muhammad SAW,

إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا(الاحزاب: 33

Artinya: Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, Hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS Al Ahzab 33).

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا : كتاب الله وعترتي أهل بيتي (رواه النسائ والطبراني

Artinya: Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang jika kalian berpegang teguh padanya maka kalian tidak akan tersesat: Kitabullah dan keturan ahli-baitku’’. (HR. An-Nasai dan Ath-Thabrani)

Rasul SAW telah mewasiatkan kepada umatnya perihal Ahlul Bait. Beliau tinggalkan 2 perkara yang dengan keduanya Umat Muhammad tidak akan tersesat selama-lamanya, beliau SAW bersabda :

أَمَّا بَعْدُ أَلاَ أَيُّـهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوْشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُوْلَ رَبِّيْ فَأَجِيْبُ وَأَنَا تَارِكٌ فِيْكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَاُب اللهِ فِيْهِ الْهُدَى وَالنُّوْرُ فَخُذُوْا بِكِتَابِ اللهِ وَاسْتَمْسَكُوْا بِهِ فَحَثَّ عَلَى كِتَابَ اللهِ وَرَغِّبْ فِيْهِ ثُمَّ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِيْ أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِيْ أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِيْ أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِيْ

 “Adapun setelahnya.., ketahuilah wahai manusia sesungguhnya aku hanya seorang manusia yang diberi risalah oleh Tuhanku kemudian aku menyampaikannya. Dan aku tinggalkan untuk kalian 2 perkara yang agung : yang pertama adalah Kitab Allah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, maka ambillah Kitab Allah (Al-Quran) dan berpegang teguhlah kalian dengannya; dan (yang kedua) Ahlul Baitku, Aku ingatkan kalian kepada Allah terhadap Ahlul Baitku, Aku ingatkan kalian kepada Allah terhadap Ahlul Baitku, Aku ingatkan kalian kepada Allah terhadap Ahlul Baitku”
(HR. Bukhari).

Beliau SAW menjadikan kecintaan terhadap Ahlul Bait sebagai tangga mencapai kecintaan kepada beliau.

Adapun anjuran untuk mencintai Ahlul bait bisa dilihat hadits dibawah ini,

عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أحبوا الله لما يغذوكم من نعمه وأحبوني بحب الله وأحبوا أهل بيتي بحبي.(رواه الترمذي

Artinya: Dari Abdullah bin Abbas r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Cintailah Allah atas nikmat yang telah diberikan oleh-Nya, dan cintailah aku karena cinta kepada Allah serta cintailah ahli baitku karena cinta kepadaku.” (HR. Ath-Tirmidzi)

Apabila seseorang cinta kepada orang lain, pasti sesuatu yg dicintai orang tersebut akan mencintainya juga. Seperti para sahabat baginda Muhammad, mereka menggapai kecintaan Nabi dengan teguhnya keimanan dan besarnya kecintaan mereka kepada keluarga Nabi.

Allah Subhanahu Wata’ala mensyariatkan untuk mendoakan Ahlul Bait dalam tasyahud ahkhir setiap kali shalat menurut Madzhab Syafi’iyah, itu sudah cukup menunjukkan kemuliaan mereka.

Bahkan Imam Asy-Syafi’i pernah bersyair;

Wahai Ahlul Bait Rasulullah, mencintai kalian…
Kewajiban dari Allah dalam Al-Qur`an yang Ia turunkan
Siapa yang tidak membaca doa shalawat untuk kalian, tidak ada shalat baginya 
Itu sudah cukup menunjukkan agungnya kemuliaan kalian

Abu Bakar Ash-Shiddiq RA berkata, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kerabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam lebih aku cintai melebihi kerabatku sendiri.”
Abu Bakar juga berkata, “Muliakanlah Ahlul Bait Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.”
Imam Abdullah Al-Haddad bersyair dalam Kitab At-Tâ`iyah Al-Kubrâ;

Keluarga Rasulullah adalah keluarga suci
Mencintai mereka hukumnya fardhu 
Mereka adalah para pembawa rahasia setelah nabi mereka
Dan para pewarisnya adalah pewaris-pewaris terbaik

Diriwayatkan secara marfu’ dari Abu Sa’id Al-Khudri, “Ada tiga kesucian Allah, barangsiapa memelihara ketiganya, Allah akan menjaga agama dan dunianya dan barangsiapa tidak memelihara ketiganya, Allah tidak akan menjaga dunia dan akhiratnya; kesucian islam, kesucianku dan kesucian kerabatku.”

Barangsiapa memelihara ketiga kesucian itu, ia telah naik di atas perahu keselamatan, dan siapa yang tidak menjaganya, ia ketinggalan perahu keselamatan.

Syaikh Imam Abdullah Al-Haddad bersyair;

Ahlul Bait Al-Musthafa nan suci
Mereka adalah jaminan aman bumi, maka ingatlah
Mereka laksana bintang-bintang yang terang
Seperti dijelaskan dalam kitab-kitab sunan
(Mereka laksana) perahu keselamatan kala…
Engkau takut pada badai taufan semua gangguan 
Selamatkan dirimu di dalamnya, jangan tertinggal

Berpegang teguhlah pada (agama) Allah dan mintalah pertolongan. (Dinukil dari Kitab Bahjatuth Thalibin karya Al-Faqih Al-Muhaqqiq Zen bin Ibrahim bin Sumaith)

Imbauan seperti itu sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang ulama sekaligus habib yang merupakan dzurriah Rasulullah ﷺ asal Tarim Hadramaut Yaman, yakni Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad (1634-1720 M) dalam kitabnya berjudul Al-Fushul al-‘Ilmiyyah wal Ushul al-Hikamiyyah, (Dar Al-Hawi, Cet. II, 1998, hal. 89 ) sebagai berikut: 

لأهل بيت رسول الله صلى الله عليه وسلم شرف، ولرسول الله صلى اللهعليه وسلم  بهم مزيد عناية وقد أكثر على أمته من الوصيّة بهم والحث على حبّهم ومودتهم. وبذالك أمرالله تعالى في كتابه في قوله تعالى: "قل لا أسألكم عليه أجرا إلا المودة في القربى" .(الشورى، ٢٣) ـ

Artinya: “Ahlul Bait memiliki kemuliaan tersendiri, dan Rasulullah telah menunjukkan perhatiannya yang besar kepada mereka. Beliau berulang-ulang berwasiat dan mengimbau agar umatnya mencintai dan menyayangi mereka. Dengan itu pula Allah subhanahu wataála telah memerintahkan di dalam Al-Qur’an dengan firman-Nya: “Katakanlah wahai Muhammad, tiada aku minta suatu balasan melainkan kecintan kalian pada kerabatku.” (QS 42:23). 

Dari kutipan di atas dapat ditegaskan bahwa kaum Muslimin memang harus menghormati dan mencintai Ahlul Bait bukan saja karena kekerabatan mereka dengan Rasulullah ﷺ, tetapi juga karena Allah telah memerintahkan kepada beliau untuk berseru kepada umatnya agar mencintai kerabat beliau. Dengan kata lain perintah untuk mencintai Ahlul Bait merupakan perintah dari Allah subhanahu wataála. Rasulullah sebagai pemimpin kaum Muslimin tidak meminta balasan apa pun dari umatnya kecuali kecintaan mereka kepada keluarga dan keturunan beliau. 

Adapum ancaman bagi orang-orang yang menyakiti ahlul bait

عن أبي سعيد الخذري رضي الله عنه،قال :قال رسوالله صلى الله عليه وسلم: والذي نفسي بيده لا بيغض أهل البيت أحد إلا أدخله الله النار (رواه الحا كم في الصحيحين

Artinya: Diceritakan dari Abu Sa’id Al-Khudriy r.a. beliau berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Demi dzat yang menguasai jiwa ragaku, tidaklah seseorang marah (mencaci dan membenci) kepada keluargaku kecuali Allah akan menceburkan ke dalam neraka.” (HR. Al-Hakim).

Sebuah hadits diriwayatkan oleh Iman Hakim

فلو أن رجلا صفن بين الركن والمقام فصلى صام ثم لقى الله وهو مبغض لأهل بيت محمد دخل النار
حديث حسن صحيح على شرط مسلم

“Seandainya seorang beribadah diantara rukun dan maqam (di depan Ka’bah) kemudian dia bertemu Allah Subhanahu Wata’ala dalam keadaan dia benci pada keluarga Muhammad, niscaya dia akan masuk neraka.”

Dari dalil-dali dan keterangan di atas sudah sangat jelas bahwa mencintai Ahlul Bait adalah kewajiban setiap Muslim, apapun madzhabnya, para imam Ahlus Sunnah sangat menjunjung tinggi kehormatan mereka dan mencintai dengan sepenuh hati.

Tuduhan orang bahwa mencintai Ahlul Bait adalah Syiah itu jelas cara Yahudi menjauhkan umat ini dari tali Allah dan Rasulullah.

Kita Ahlus Sunnah mencintai Ahlul Bait dan sangat memulikan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.

Ya Rabb beri kami kecintaan pada Ahlul Bait para penerus dakwah Nabi dan sahabat yg telah berkorban serta menemani beliau di kala suka dan duka.

Maka lihatlah bagaimana orang-orang dahulu cinta kepada Ahlul Bait. Mereka mengorbankan semuanya untuk meraih kecintaan kepada para keturunan Rasulullah SAW, hingga mereka mendapatkan anugerah dari ALLAH sebagaimana yang dijanjikan oleh Rasul-Nya. Cukuplah perkataan seorang ulama yang berkata :

فَازَ كَــلْبٌ بِحُبِّ أَصْحَابِ كَهْفٍ # فَكَيْفَ أَشْقَى بِحُبِّ آلِ مُحَــمَّدِ

“Seekor Anjing menjadi beruntung karena cinta kepada Ashabul Kahfi #
Bagaimana mungkin seseorang akan celaka dengan mencintai keluarga Muhammad SAW”

Semoga ALLAH SWT menganugerahkan kepada kita semua kecintaan hakiki kepada keluarga Nabi SAW hingga membuahkan cinta dari Nabi Muhammad kepada kita.

Aamiin..

وصلى اللّٰه على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وسلم

Wallohul Waliyyul Musta'an Ila Sabilurridwan

Sabtu, 17 Oktober 2020

Milad Rosululloh SAW Jadikan Sebagai Momentum Persaudaraan

 

Selamat Datang bulan Kelahiran Baginda agung Nabi Muhammad SAW. Ya Nabi Semesta menyambut gembira kelahiranmu dg terus bershalawat hingga akhir hayat, dan ujung zaman. Ya Rosulullah Salam rindu dan cinta padamu.


ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺻﻞ ﻋﻠﻰ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﺤﺒﻴﺐ ﺍﻟﻤﺤﺒﻮﺏ .

ﺷﺎﻓﻲ ﺍﻟﻌﻠﻞ ﻭﻣﻔﺮﺝ ﺍﻟﻜﺮﻭ ﺏ . ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﺳﻠﻢ .


Kegembiraan telah bersinar terang dari kelahiran sang suri tauladan Rasulullah. Selamat Maulid Nabi Muhammad SAW 1442 H.

Melalui milad Rasulullah ini, mari kita tanamkan akhlakul Rasulullah dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya untuk kesejahteraan bangsa Indonesia.

Mari tanamkan keteladanan Nabi Muhammad SAW untuk mencapai kebahagiaan serta kesuksesan di dunia dan di akhirat.

Suri teladan hanyalah Rasulullah SAW. Maka sudah seharusnya kita saling mengeratkan tali silaturahmi, dengan cara menjalankan ibadah dan muamalah sesuai dengan sunah dan syari’at.

Jadikan keteladanan Rasulullah sebagai motivasi untuk berjuang serta peduli terhadap negara.

Momentum milad Nabi Muhammad SAW ini, sangat tepat dijadikan sebagai momentum untuk mewujudkan masyarakat yang tenteram serta mempererat jalinan Ukhuwiyah Islamiyah sesama muslim.

Dengan momen maulid Nabi Muhammad SAW ini, dapat dijadikan sebagai momen meningkatkan kasih sayang, mengutamakan kebenaran, mempererat tali persaudaraan serta menjunjung tinggi toleransi.

Milad Nabi bukan hanya menjadi perayaan hari besar bagi umat Islam, namun juga sebagai cara untuk merefleksikan serta memotivasi setiap insan, agar mampu mengimplementasikan akhlakul karimah dalam kehidupan sehari-hari.

Publik figur nyata adalah Rasulullah, maka sudah seharusnya sifat-sifat Rasulullah menjadi pedoman kita dalam menjalankan kehidupan di dunia. Di momentum Maulid Nabi Muhammad SAW ini, mari kita meneladani sikap Rasulullah dalam berbagai aspek, baik kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara.

Jalan lurus adalah ketika kita mampu mengikuti jejak ketauladanan Rasulullah dalam berbagai aspek kehidupan. 

عَلَيْكَ يَارَسُوْلَ اللّٰهِ مِنْ صَلَوٰاتِ اللّٰهِ وَتَسْلِيْمَاتِهٖ وَتَحِيَّاتِهٖ وَبَرَكَاتِهٖ فٖى كُلِّ لَحْظَةٍ مَا يُمَاثِلُ فَضْلَكَ الْعَظِيْمِ، وَيُعَادِلُ قَدْرَكَ الْعَظِيْمَ وَيَجْمَعُ لَكَ فَضَائِلَ جَمِيْعِ أَنْوَاعِ الصَّلَاةِ وَالتَّسْلِيْمِ.

Engkau adalah pelita dan penawar lara di bumi yang gelap ini. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepadamu, wahai Baginda Rasulku.

Selamat menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW 1442 H. Semoga Allah SWT memberikan kita kekuatan untuk meneladani Rasulullah, menyatukan antara kata dan perbuatan, merawat persahabatan dan menjaga persaudaraan.

Aamiin 

Sabtu, 10 Oktober 2020

Hukum Mewarnai Uban

Sangat wajar jika seseorang menginjak usia senja, muncul pada kepala, wajah atau jenggotnya rambut putih, alias uban. Itulah fase kehidupan yang akan dilewati oleh setiap insan sebagaimana firman Allah Ta’ala,

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفاً وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar Ruum: 54)

Kadangkala memang kita ingin menghilangkannya, mencabutnya, atau mengganti warnanya dengan warna lain. Namun alangkah bagusnya jika setiap tindak-tanduk kita didasari dengan ilmu agar kita tidak sampai terjerumus dalam kesalahan dan dosa. Sebuah petuah bagus dari Mu’adz bin Jabal yang harus senantiasa kita ingat:

العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ

“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan berada di belakang ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni, hal. 15)

Jadi dalam masalah uban ini, marilah kita ikuti petunjuk syari’at Islam yang suci nan sempurna. Dengan mengikuti petunjuk inilah seseorang akan menuai kebahagiaan. Sebaliknya, jika enggan mengikutinya, hanya mau memperturutkan hawa nafsu semata dan menuruti perkataan manusia yang mencocoki hawa nafsu tanpa ada dasar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya orang seperti ini akan binasa.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

“Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. An Nur: 54)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Berpegangteguhlah dengan ajaranku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah ajaran tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)

Kondisi beruban memang tidak menyenangkan bagi sebagian orang. Ada yang merasa gatal sehingga ingin mencabut uban tersebut dari kepalanya. Atau karena penampilan yang sudah terlihat tua, akhirnya ia pun ingin merubah uban dengan warna lain (terutama dengan warna hitam).

Padahal uban adalah cahaya seorang mukmin di hari kiamat. Perhatikan dalam hadits-hadits berikut.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الشيب نور المؤمن لا يشيب رجل شيبة في الإسلام إلا كانت له بكل شيبة حسنة و رفع بها درجة

“Uban adalah cahaya bagi seorang mukmin. Tidaklah seseorang beruban –walaupun sehelai- dalam Islam melainkan setiap ubannya akan dihitung sebagai suatu kebaikan dan akan meninggikan derajatnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تنتفوا الشيب فإنه نور يوم القيامة ومن شاب شيبة في الإسلام كتب له بها حسنة وحط عنه بها خطيئة ورفع له بها درجة

“Janganlah mencabut uban karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti. Siapa saja yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, maka dengan uban itu akan dicatat baginya satu kebaikan, dengan uban itu akan dihapuskan satu kesalahan, juga dengannya akan ditinggikan satu derajat.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَشِيبُ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ إِلَّا كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Janganlah mencabut uban. Tidaklah seorang muslim yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, melainkan uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat nanti.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shagir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Hukuman bagi orang yang mencabut ubannya adalah kehilangan cahaya pada hari kiamat nanti. Dari Fudholah bin ‘Ubaid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَانَتْ نُورًا لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ رَجُلٌ عِنْدَ ذَلِكَ فَإِنَّ رِجَالًا يَنْتِفُونَ الشَّيْبَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَاءَ فَلْيَنْتِفْ نُورَهُ

“Barangsiapa memiliki uban di jalan Allah walaupun hanya sehelai, maka uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat.” Kemudian ada seseorang yang berkata ketika disebutkan hal ini: “Orang-orang pada mencabut ubannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Siapa saja yang ingin, silakan dia memotong cahaya (baginya di hari kiamat).” (HR. Al Bazzar, At Thabrani dalam Al Kabir dan Al Awsathdari riwayat Ibnu Luhai’ah, namun perowi lainnya tsiqoh –terpercaya-. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targib wa At Tarhib mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa saja yang ingin, maka silakan dia memotong cahaya (baginya di hari kiamat)”; tidak menunjukkan bolehnya mencabut uban, namun bermakna ancaman.

Sehingga kami nasehatkan di atas tadi, bersabar itu lebih utama. Jangan merasa gelisah atau risih dengan uban tersebut. Lihatlah balasan atau pahala yang Allah berikan kelak nanti. Cahaya di hari penuh kesulitan di hari kiamat, itu lebih utama dari gelisah dan tidak suka di dunia. Coba setiap yang beruban merenungkan hal ini. Namun hanya Allah lah yang beri taufik dan hidayah demi hidayah.

Hadits riwayat Bukhari no. 3203, berkualitas shahih.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ صَالِحٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ قَالَ أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ

Telah diriwayatkan dari ‘Abdul aziz bin Abdullah berkata telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Sa’d dari Shalih dari ibn Syihab telah berkata, Abu Salamah bin Abdurrahman, sesungguhnya Abu Hurairah r.a. berkata sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda sesungguhnya orang Yahudi dan Nasrani tidak mewarnai rambut maka berbedalah kalian dengan mereka. ( HR. Imam al-Bukhari no.3203)

Hadits riwayat Al-Nasa’i no. 4983, berkualitas shahih.

أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا عَمِّي قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ صَالِحٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ قَالَ أَبُو سَلَمَةَ إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و أَخْبَرَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَهُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى لَا تَصْبُغُ فَخَالِفُوهُمْ أَخْبَرَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ أَنْبَأَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ

Diriwayatkan dari ‘Ubaidillah bin Sa’ad bin Ibrahim berkata: telah diriwayatkan dari pamanku dari Ubay dari Shalih bin Ibnu Syihab berkata: dari Abu Salamah, bahwasanya Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW. Bersabda. Telah menceritakan kepada kami dari Yunus bin ‘Abdi al-‘A’la dari Ibnu Wahab dari Yunus dari Ibnu Syihab dari Abi Salamah dari ‘Abdirrahman dari Abi Hurairah……..

Dari hadits di atas, bisa kita dapatkan keterangan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk menyemir rambut, karena orang Yahudi dan Nasrani tidak memperkenankan menyemir rambut atau merombaknya, dengan anggapan bahwa berhias dan mempercantik diri itu dapat menghilangkan arti beribadah dan beragama, seperti yang dikerjakan oleh para rahib dan ahli-ahli Zuhud yang berlebih-lebihan.

Dengan kata lain, di zaman Rasulullah SAW dulu, orang Yahudi dan Nasrani cenderung ‘cuek’ dengan rambutnya. Mereka tidak mengurus rambutnya dengan baik. Namun Rasulullah SAW melarang taqlid pada suatu kaum dan mengikuti jejak mereka, apalagi mengikuti adat kebiasaan orang Yahudi dan Nasrani, melainkan supaya selamanya kepribadian umat Islam itu berbeda, lahir dan batin.

PENDAPAT ULAMA FIKIH EMPAT MAZHAB TENTANG SEMIR RAMBUT

1. SEMIR RAMBUT DENGAN WARNA SELAIN HITAM 

Ulama 4 mazhab (Syafi'i, Hanafi, Maliki, Hambali) sepakat atas bolehnya menyemir atau mewarnai rambut dengan warna coklat atau merah baik dengan bahan inai, katam, atau lainnya. Imam Nawawi (mazhab Syafi'i) dalam Al-Majmuk, hlm. 1/293-294, menyatakan:

يسن خضاب الشيب بصفرةٍ، أو حُمرةٍ، اتفق عليه أصحابنا، وممن صرَّح به الصيمري، والبغوى، وآخرون

Artinya: Sunnah mewarnai rambut uban dengan warna kuning atau merah, ulama mazhab Syafi'i sepakat atas hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Shaiari, Al-Baghawi dan yang lain.

Pendapat mazhab lain lihat: Mazhab Hanafi dalam Al-Fatawa Al-Hindiyah 44/45 dan Ad-Durrul Mukhtar 6/422. Mazhab Maliki dalam Al-Fawakih Ad-Dawani ala Risalati Abi Zaid Al-Qairuwani 8/191 dan Al-Istidzkar 8/439. Mazhab Hambali dalam Al-Mughni 1/105 dan Kashaful Qinak ala Matnil Iqnak 1/204.

2. SEMIR RAMBUT DENGAN WARNA HITAM

2.A. BOLEH UNTUK TUJUAN JIHAD MELAWAN KAFIR

Ulama empat mazhab sepakat atas bolehnya semir rambut dengan warna hitam dalam keadaan jihad (perang membela agama). Imam Syarwani (mazhab Syafi'i) dalam Hawasyi As-Syarwani 9/375 berkata:

وهو (أي صبغ الشَّعر) بالسَّواد حرامٌ، إلا لمجاهدٍ في الكفار، فلا بأس به

Artinya: Mengecat rambut dengan warna hitam adalah haram kecuali bagi mujahid (pelaku jihad) atas kaum kafir maka boleh. 

Pendapat serupa dari literatur klasik mazhab Syafi'i lihat dalam kitab Mughnil Muhtaj 4/293; Raudhah Talibin 1/364; Tuhfatul Muhtaj 41/203.

Pendapat dari mazhab lain atas bolehnya cat rambut warna hitam bagi mujahid lihat: Mazhab Hanafi dalam Al-Fatawa Al-Hindiyah 44/45; Mazhab Maliki dalam Al-Fawakih Ad-Dawani 8/191; Mazhab Hambali 

2.B. HARAM SEMIR WARNA HITAM DENGAN TUJUAN PENIPUAN

Ulama sepakat atas haramnya menyemir rambut dengan tujuan menipu. Seperti seorang lelaki tua menyemir rambut saat hendak menikah agar disangka masih muda oleh wanita yang akan dinikahinya. Ini juga berlaku bagi wanita yang menyemir rambut dengan tujuan agar dikira masih muda oleh lelaki yang akan menikahinya. Rerensi lihat: Mazhab Hanafi dalam Al-Fatawa Al-Hindiyah 44/45; Mazhab Maliki dlam Al-Fawakih Ad-Dawani 8/191; Mazhab Hambali dalam Matolib Ulin Nuha 1/195.

2.C. MAKRUH SEMIR RAMBUT WARNA HITAM DENGAN TUJUAN BUKAN PENIPUAN

Mayoritas ulama mazhab empat berpendapat makruh mengecat rambut uban dengan warna hitam dengan tujuan bukan penipuan (kalau penipuan haram). Ini adalah pendapat mazhab Hanafi, Maliki, dan sebagian ulama Syafi'i (sebagian lain mengharamkan), dan Hambali. Imam Nawawi dalam Al-Majmuk 1/294 menjelaskan perbedaan ulama mazhab Syafi'i dalam soal ini:

اتفقوا على ذم خضاب الرأس أو اللحية بالسَّواد، ثم قال الغزالي في الإحياء، والبغوى في التهذيب، وآخرون من الأصحاب، هو مكروه، وظاهر عباراتهم: أنه كراهة تنـزيه

Artinya: Ulama Syafi'iyah sepakat mencela semir rambut kepala atau jenggot dengan warna hitam. (Tapi) Al-Ghazali berkata dalam Ihya Ulumiddin dan Al-Baghawi dalam At-Tahdzib dan ulama Syafi'i yang lain bahwa hukumnya makruh tanzih.

Pendapat mazhab lain lihat: Mazhab Hanafi dalam Hasyiyah Ibnu Abidin 6/422; Mazhab Maliki dalam Al-Istidzkar 8/439; Mazhab Hambali dalam As-Syarhul Kabir 1/133.

2.D. SEMIR RAMBUT WARNA HITAM BOLEH

Al-Hafidh Ibnu Hajar menukil pembolehan dari sebagian ulama untuk menyemir rambut dengan warna hitam dalam keadaan tertentu, dimana beliau berkata :

وأن من العلماء من رخص فيه في الجهاد ومنهم من رخص فيه مطلقا وأن الأولى كراهته، وجنح النووي إلى أنه كراهة تحريم، وقد رخص فيه طائفة من السلف منهم سعد بن أبي وقاص وعقبة بن عامر والحسن والحسين وجرير وغير واحد واختاره ابن أبي عاصم في "كتاب الخضاب" له .... ومنهم من فرق في ذلك بين الرجل والمرأة فأجازه لها دون الرجل، واختاره الحليمي،.... واستنبط ابن أبي عاصم من قوله صلى الله عليه وسلم: "جنبوه السواد" أن الخضاب بالسواد كان من عادتهم.

”Sebagian ulama’ ada yang memberikan keringanan (menyemir dengan warna hitam) ketika berjihad. Sebagian lagi memberikan keringanan secara mutlak. Yang lebih utama hukumnya adalah makruh. Bahkan An-Nawawi menganggapnya makruh yang lebih dekat kepada haram. Sebagian ulama’ salaf memberikan keringanan (menyemir dengan warna hitam) misalnya Sa’d bin Abi Waqqash, ‘Uqbah bin ‘Aamir, Al-Hasan, Al-Husain, Jarir, dan lainnya. Inilah yang dipilih Ibnu Abi ‘Ashim sebagaimana dalam kitabnya Al-Khadlaab…. Mereka membolehkan untuk wanita dan tidak untuk pria, inilah yang dipilih oleh Al-Hulaimi…… Ibnu Abi ‘Ashim memahami dari hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :‘Jauhi warna hitam’, karena menyemir dengan warna hitam merupakan tradisi mereka” [Fathul-Baari 10/354-355 oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani].

Telah ada riwayat shahih yang menjelaskan bahwa Al-Hasan dan Al-Husain menyemir rambutnya dengan warna hitam [Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Jaami’ At-Tirmidzi 5/442, Kairo, Al-Madani, tanpa tahun; oleh Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al-Mubarakfuri].

Ibnul-Qayyim berkata,”Larangan menyemir rambut dengan warna hitam, bila (yang digunakan) adalah warna hitam pekat (murni). Apabila tidak hitam pekat seperti mencampur antara katam dengan hina’, maka tidak mengapa, karena akan membuat rambut menjadi merah kehitam-hitaman”.

Sebagian ulama non-mazhab menyatakan bahwa semir rambuat warna hitam hukumnya boleh sebagaimana dikutip oleh Yusuf Qardhawi di atas. 

Pendapat yang terpilih, hati-hati, dan selamat; hukum menyemir rambut dengan warna hitam minimal adalah makruh. Dan selayaknya itulah yang dipegang oleh setiap muslim untuk mengikuti Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Rabu, 23 September 2020

Mengenang Seorang Guru Melalui Karya Agung Beliau

 Kecintaan seseorang terhadap sosok panutan memang bisa di gambarkan dan di wujudkan melalui berbagai media, salah satu di antaranya lewat baitan syair seroang pujangga yang mengkiaskan dan menggambarkan fujian-fujian terhadap baginda Rasulullah S.A.W.


Hal ini tertuliskan pada hadirnya sebuah karya cipta terbaik yang sudah menjadi kajian dan bacaan penting di dunia pesantren ahlu sunnah waljamaah, dimana saat momen-momen penting terutama di bulan kelahiran baginda Rasullullah S.A.W karya berbentuk shalawat itu selalu di bacakan oleh para Santri.


Adalah shalawat burdah yang sudah begitu di kenali oleh para kalangan pondok-pondok pesantren, bahkan hampir semua umat islam sudah mengenal apa itu shalawat burdah yang mengandung hikmah-hikmah tertentu yang menceritakan kisah baginda Rasulullah S.A.W selama masih hidup.


Kalangan pesantren, masyarakat tradisional dan kaum Ahlussunnah wal Jamaah tentu sangat karib-akrab dan bahkan mendarahdaging dengan syair/qashidah ini. Sekurang-kurangnya sudah delapan abad bergulir tradisi Burdahan dilestarikan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.


Syair Burdah yang berjumlah 163 bait ditulis oleh seorang pujangga yaitu Imam al-Bushiri, ia adalah seorang imam para penyair pujian untuk para kekasih Tuhan semesta alam, penyusun al-Burdah yang mulia yg merupakan qasidah paling terkenal dalam pujian kepada Nabi SAW dalam bahasa arab. Namanya Imam Muhammad bin Sa’id al-Bushiri.


Al-Bushiri memulai hidupnya dengan menghafal Al-Qur’an dan belajar ilmu-ilmu agama dan bahasa arab. Lalu menempuh jalan tasawuf dengan bimbingan gurunya Abu al-Abbas al-Mursi. Kepenyairannya telah begitu detas mengilhamkan banyak qasidah puji-pujian untuk manusi termulia- semoga rahmat termulia dan salam paling sempurna tercurah kepada Rasulullah.


Ia wafat di Iskandariah tahun 696 H. Makamnya di Masjidnya disebuah pantai berhadapan dengan Masjid Abu al-Mursi. Banyak pecinta menziarahinya.


Kala itu al-Bushiri terkena penyakit lumpuh setengah badan. Tubuhnya yg kurus menanggung rasa sakit tak terkira. Para dokter tak mampu mengobatinya. Ketika penyakitnya ini amat memberatkan, ia bertekad menyusun qasidah pujia-pujian untuk Rasulullah SAW. Dengan qasidah ini ia berniat untuk memohon (kesembuhan) kepada Allah melalui syafaat Rasulullah SAW. Ia pun mulai menyusun qasidah itu yang dikenal sebagai “Burdah” (selimut).

Inilah bait pertama pada qasidah itu:


‎أَمِنْ تَذَكُّرِ جِيْرَانٍ بِذِيْ سَلَمِ * مَزَجْتَ دَمْعًا جَرَى مِنْ مُقْلَةٍ بِدَمِ


Ah, adakah aku mengenang seorang teman (Rasulullah SAW) di Dzi salami

Engkau cucurkan air mata bercampur darah!


Ia menyanyikan dan melantunkan bait ini berulang-ulang, dan ia bertawasul kepada Allah melalui Nabi kita Muhammad SAW. Dalam upaya mengangkat penyakitnya. Ia banyak menangis dan berdoa. Ketika tidur, ia bermimpi berjumpa Rasulullah SAW. Denga tangan sucinya, Rasulullah mengusap bagian tubuh al-Bushiri yang amat sakit. Lalu beliau menyelimutkan kalimat kepada al-Bushiri.


Ketika bangun, al-Bushiri sudah sembuh dari penyakitnya, qasidahnya dinamai “Burdah” (selimut), karena qasidah ini dinisbahkan pada selimut Nabi Muhammad SAW, yg beliu lepaskan dari beliau dan beliau kenakan kepada al-Bushiri karena beliau kagum dengan qasidah al-Bushiri.


Beliau juga di kenal memiliki sebuah karya sastra terbaiknya yang di dedikasikan melalui bacaan shalawat yang di kenal dengan Sholawat Mudhoriyah yang dibuat oleh Imam Bushiri. Beliau telah banyak menggubah syair, sebagian di antaranya telah dicetak.


Dan yang paling kenal qashidah Burdah yang disambut baik oleh para ahli syair ulung dari Maghribi sampai ketanah air kita. Shalawat Mudhoriyah adalah salah satu syair karya Imam Al-Bushiri yang sangat besar keutamaanya. Dinamakan Mudhoriyah karena salah satu Datuk Nabi Muhammad yang bernama Mudhor.


Salah satu keistimewaan shalawat ini disebutjan dalam kitab Bughya Ahl Al-‘ibadah wa Al-Aurad Syar Ratib Qutb Zamanih Al-Haddad karya Al-Habib ALwi bin Ahmad Al-Haddad dikisahkan Imam Al Bushiri menyusun shalawat ini di pinggir pantai.


Ketika sampai pada syair no.34 yang berbunyi : “Tsummash-sholatu’alal-mukhtarima thala’at, syamsun-nahari wa ma qad sya’sya’al qamaru, tiba-tiba dari tengah laut datang seorang laki-laki yang berlari di atas air menghampirinya sambil berdiri di hadapannya sambil berkata “Cukup, akhirilah shalawatmu sampai bait ini, karena kamu telah membuat lelah para malaikat yang mencatat keutamaan pahala shalawat ini.


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم


Bismillahir-rahmanir-rahim


يَارَبِّ صَلِّ عَلَى الْمُخْتَارِمِنْ مُضَرِوَاْلأَنْبِيَاوَجَمِيْعِ الرُّسُلِ مَادُكِرُوْا


Ya rabbi shalli’alal-mukhtari min mudharin. Wal-anbiya wa jami’irusli madzu-kiru.

“Tuhanku, limpahkanlah rahmatMu untuk nabi pilihan dari suku Muhdar, juga untuk seluruh nabi dan rasul yang telah lalu.”


وَصَلِّ رَبِّ عَلَى الْهَادِي وَشِيْعَتِهِ وَصَحْبِهِ مَنْ لِطَيِّ الدِّيْنِ قَدْ نَشَرُوْا


Wa shalli rabbi’alal-hadi wa syi’atihi, Wa shabihi man lithayyid-dini qad nasyaru.

“Shalawat-Mu, wahai Tuhanku,atas nabi pembawa hidayah beserta seluruh pengikut dan shabatnya yang telah berjasa menyebarluaskan agama ini”


وَجَاهَدُوْا مَعَهُ فِي اللهِ وَاجْتَهَدُوْا وَهَاجَرُوْاوَلَهُ اَوَوْاوَقَدْنَصَرُوْا


Wa jahadu ma’ahu fillahi waj-tahadu. Wa hajaru wa lahu awaw wa qad nasharu.

“Yang telah ikut berjihad dan berijtihad bersama beliau, juga yang ikut hijrah bersama Beliau, dan yang memberi tempat singgah serta memenangkan misi Beliau.’


وَبَيَّنُواالْفَرْضَ وَالْمَسْنُوْنَ وَاعْتَصَبُوْا لِلهِ وَاعْتَصَمُوْابِاللهِ فَانْتَصَرُوْا


Wa bayyanul-fardha wal-masnuna wa’tashabu. Lillahi wa’tashamu billahi fantasharu.

“Yang telah menerangkan hukum wajib dan sunah secara bersatu padu, berupaya tanpa pamrih, dan berpegang teguh pada agama Allah hingga mereka mendapatkan kemenangan.”


أَزْكَى صَلَاةٍ وَأَنْمَاهَاوَأَشْرَفَهَا يُعَطِّرُالْكَوْنَ رَيًّانَشْرِهَاالعَطِرُ


Azka shalatin wa anmaha wa asyrafaha. Yu’athirul-kauna rayyan nasyrihal-‘athiru.

“Yaitu shalawat-Mu yang suci sesuci-sucinya,sebanyak-banyaknya, dan semulia-mulianya, yang menebarkan harum semerbak di seluruh alam semesta”.


مَعْبُوْقَةً بِعَبِيْقِ الْمِسْكِ زَاكِيَةً مِنْ طِيْبِهَاأَرَجُ الرِّضْوَانِ يَنْتَشِرُ


Ma’buqatan bi’abiqil-miski zakiya-tan. Min thibiha arajur-ridwani yantasyiru.

“Keharuman yang bercampur dengan misik kesturi yang mahal, yang aromanya tersebar luaslah keridloan-Mu”.


عَدَّالْحَصَى وَالشَّرَى وَالرَّمْلِ يَتْبَعُهَا نَجْمُ السَّمَاوَنَبَاتُ اْلأَرْضِ وَالْمَدَرُ


‘Addal-hasha wats-tsara war-ramli yatba’uha. Najmus-sama wa nabatul-ardhi wal-madaru.

“Sebanyak jumlah batuan,pasir beserta debunya, juga sebanyak bintang gemintang dilangit, tanaman, dan kerikil di bumi”.


وَعَدَّوَزْنِ مَثَاقِيْلِ الْجِبَالِ كَمَا يَلِيْهِ قَطْرُجَمِيْعِ الْمَاءِوَالْمَطَرُ


Wa’adda wazni matsaqilil-jibali kama. Yalihi qathru jami’il-ma’i wal matharu.

“Dan sejumlah beratnya timbangan gunung-gunung, sejumlah seluruh tetesan air yang mengalir dan air hujan”.


وَعَدَّمَاحَوَتِ الْأَشْجَارُمِنْ وَرَقٍ وَكُلِّ حَرْفٍ غَدَايُتْلَى وَيُسْتَطَرُ


Wa’adda ma hawatil-asyjaru min waraqin. Wa kulli harfin ghada yutla wa yus-tatharu.

“Juga sejumlah dedaunan yang terdapat di pepohonan,sebanyak semua huruf yang terbaca oleh lisan dan tertulis oleh pena”.


وَالْوَحْشِ وَالطَّيْرِوَاْلأَسْمَاكِ مَعْ نَعَمٍ يَلِيْهِمُ الْجِنُّ وَاْلأَمْلَاكَ وَاْلبَشَرُ


Wal-wahsyi wath-thairi wal-asmaki ma’ na’amin. Yalihimul-jinnu wal-amlaku wal-basyaru.

“Sebanyak jenis dan jumlah biantang liar, burung-burung, ikan dan hewan ternak. Juga sejumlah jin, malaikat dan manusia”.


وَالدَّرُّوَالنَّمْلُ مَعْ جَمْعِ الْحُبُوْبِ كَدَا وَالشَّعْرُوَالصُّوْفُ وَاْلأَرْيَاشُ وَالْوَبَرُ


Wadz-dzaru wan-namlu ma’jam’il hububi kadza. Wasy-sya’ru wash-shufu wal-arya-syu wal-wabaru.

“Sebanyak jumlah atom,semut dan semua jenis biji-bijian, juga sejumlah helai rambut manusia,hewan, dan bulu segala jenis binatang”.


وَمَاأَحَاطَ بِهِ الْعِلْمُ الْمُحِيْطُ وَمَاجَرَى بِهِ الْقَلَمُ الْمَأْمُوْرُوَالْقَدَرُ


Wa ma ahatha bihil-ilmul-muhithu wa ma. Jara bihil-qalamul-ma’muru wal-qadaru.

“Seluas kandungan ilmu Allah tentang makhluk dan apa yang ditulis qalam (pena) yang memuat suratan takdir”.


وَعَدَّنَعْمَائِكَ اللَّاتِي مَنَنْتَ بِهَاعَلَى الْخَلَائِقِ مُدْكَانُوْاوَمُدْحُشِرُوْا


Wa’adda na’ma-ikal lati mananta biha. ‘ALal-khala-iqi mudz kanu wa mudz husyiru.

“Sebanyak nikmat-nikmat-Mu, yang telah Engkau karuniakan kepada semua makhluk-Mu yang dahulu dan yang akan datang”.


وَعَدَّمِقْدَارِهِ السَّامِي الَّدِي شَرُفَتْ بِهِ النَّبِيُّوْنَ وَالأَمْلَاكُ وَافْتَخَرُوا


Wa ‘adda miqdarihis-samil-ladzi syarufat. Bihin-nabiyyuna wal-amlaku wafta-kharu.

“Setinggi jumlah derajat yang di capai oleh masing-masing nabi dan malaikat yang mulia, dengan maqam tersebut”.


وَعَدَّمَاكَانَ فِي اْلأَكْوَانِ يَاسَنَدِي وَمَايَكُوْنُ إِلَى أَنْ تُبْعَثَ الصُّوَرُ


Wa ‘adda ma kanna fil-akwani ya sanadi. Wa ma yakunu ila an tub’atsash-shuwaru.

“Sebanyak apa yang pernah ada kemudian tiada di alam jagat raya, dan apa yang masih ada maupun yang akan ada sampai kiamat”.


فِي كُلِّ طَرْفَةِ عَيْنٍ يَطْرِفُوْنَ بِهَاأَهْلُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِيْنَ أَوْيَدَرُ


Fi kulli tharfati ‘ainin yathrifuna biha. Ahlus-samawati wal-ardhina au yadzaru

“Sebanyak tiap kedipan mata yang di gerakan setiap penduduk langit dan bumi.”


مِلْءَالسَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِيْنَ مَعَ جَبَلٍ وَالْفَرْشِ وَالْعَرْشِ وَالْكُرْسِي وَمَاحَصَرُوْا


Mil-as-samawati wal-ardhina ma’a-jabalin. Wal-farsyi wal-‘arsyi wal-kursiy wa ma hasharu.

“Sepenuh isi langit dan bumi, gunung dan hamparan, dan seluas arsy, kursy, dan semua yang terdapat di dalamnya.”


مَاأَعْدَمَ اللهُ مَوْجُوْدًاوَأَوْجَدَمَعْ دُوْمًاصَلَاةًدَوَامًالَيْسَ تَنْحَصِرُ


Ma-a’damallahu maujuda wa auja-da ma’. Duman shalatan dawaman laisa tan hashiru

“Yang terus-menerus tiada henti selama Allah meniadakan yang ada dan mengadakan yang tiada, dengan berkelanjutan tanpa batas.”


تَسْتَغْرِقُ الْعَدَّمَعْ جَمْعِ الدُّهُوْرِكَمَا تُحِيْطُ بِالْحَدِّلاَتُبْقِيْ وَلاَتَدَرُ


Tastaghriqul-‘adda ma’ jam’id-duhuri kama. Tuhithu bil-haddi la tubqi wa la tadzaru.

“Yang melampai batas tanpa hitungan, dan menembus seluruh zaman, yang terus berjalan menjangkau apapun tanpa menyisakan.”


لَاغَايَةً وَانْتِهَاءًيَاعَظِيْمُ لَهَاوَلَالَهَاأَمَدٌيُقْضَى فَيُعْتَبَرُ


La ghayatan wantiha’an ya ‘azhimu laha. Wa la laha amadun yuqdha fayu’tabaru

“Yang tak berujung, tak berpangkal dan tak kenal habis, wahai Dzat Yang Maha Agung, Yang tak mengenal batas waktu hingga tak bisa di kira-kira.”


وَعَدَّأَضَعَافِ مَاقَدْمَرَّمِنْ عَدَدٍمَعْ ضِعْفِ أَضْعَافِهِ يَامَنْ لَهُ الْقَدَرُ


Wa ‘adda adh’afi ma qad marra min ‘adadin. Ma’ dhi’fi adh’afihi ya man lahul-qadaru

“Sebanyak jumlah kelipatan jumlah yang telah tersebut, ditambah kelipatan dari kelipatan tersebut, Wahai Dzat Yang Maha Kuasa melakukan segala sesuatu.”


كَمَاتُحِبُّ وَتَرْضَى سَيِّدِي وَكَمَاأَمَرْتَنَاأَنْ نُصَلِىَّ أَنْتَ مُقْتَدِرُ


Kama tuhibbu wa tardha sayyidi wa kama. Amartana an nushalliya anta muqtadiru

“Seperti yang Engkau sukai dan ridloi, seperti Shalawat yang Engkau perintahkan kepada kami, Engkaulah Yang Maha Kuasa.”


مَعَ السَّلَامِ كَمَاقَدْمَرَّمِنْ عَدَدٍرَبِّي وَضَاعِفْهُمَاوَالْفَضْلُ مُنْتَشِرُ


Ma’as-salami kama qad marra min ‘adadin. Rabbi wa dha’ifhuma wal-fardhlu muntasyiru.

“Beserta salam yang jumlahnya juga sebanyak bilangan di atas, ya Rabbi. Bahkan lipat gandakan nilai bilangan shalawat dan salam kami terus-menerus. Anugerah-Mu tak terbatas.”


وَكُلُّ دَلِكَ مَضْرُوْبٌ بِحَقِّكَ فِي أَنْفَاسِ خَلْقِكَ إِنْ قَلُّوْاوَإِنْ كَثُرُوْا


Wa kullu dzalika madhrubun bihaqqika fi. Anfasi khalqika in qallu wa in katsuru.

“Dan setiap shalawat serta salam tersebut di kalikan dengan jumlah seluruh napas makhluk-Mu, baik yang sedikit maupun yang banyak.”


يَارَبِّ وَاغْفِرْلِقَارِيْهَاوَسَامِعِهَاوَالْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعًاأَيْنَمَاحَضَرُوْا


Ya Rabbi waghfir liqariha wa sami’iha. Wal-muslimina jami’an ainama hadharu.

“Dan,Tuhanku, hapuskanlah dosa-dosa orang yang membaca shalawat ini, juga yang mendengarnya dan semua muslimin dimanapun mereka berada.”


وَوَالِدِيْنَاوَأَهْلِيْنَاوَجِيْرَتِنَاوَكُلُّنَاسَيِّدِي لِلْعَفْوِمُفْتَقِرُ


Wa walidina wa ahlina wa jiritana. Wa kulluna sayyidi lil-afwi muftaqiru.

“Juga kedua orang tua kami,tetangga kami. Dan kami semua, oh Tuhan, sangat membutuhkan ampunan-Mu.”


وَقَدْأَتَيْتُ دُنُوْبًالَاعِدَادَلَهَالَكِنَّ عَفْوَكَ لَايُبْقِي وَلَايَدَرُ


Wa qad ataitu dzunuban la ‘idada laha. Lakinna ‘afwaka la yubqi wa la yadzaru.

“Sungguh, aku telah melakukan dosa-dosa yang tak terhitung jumlahnya,namun luasnya ampunan-Mu dapat menghapuskan dosa-dosa tersebut sampai tak tersisa.”


وَالْهَمُّ عَنْ كُلِّ مَاأَبْغِيْهِ أَشْغَلَنِيْ وَقَدْأَتَى خَاضِعًاوَالْقَلْبُ مُنْكَسِرُ


Wal-hammu ‘an kulli ma abghihi asyghalani. Wa qad ata khadi’an wal-qalbu munkasiru.

“Kepayahan dalam usaha mencari apa yang kuharapkan telah menyita banyak waktuku, sekarang aku datang bersimpuh di hadapan-Mu dalam kehinaan.”


أَرْجُوْكَ يَارَبِّ فِي الدَّارَيْنِ تَرْحَمُنَابِجَاهِ مَنْ فِي يَدَيْهِ سَبَّحَ الْحَجَرُ


Arjuka ya Rabbi fid-daraini tarhamuna. Bijahi man fi yadaihi sabbahal-hajaru.

“Tuhanku,aku memohon agar Engkau mengasihi kali didunia dan akhirat dengan kemuliaan orang yang batupun bertasbih di tangannya (Nabi Muhammad SAW).”


يَارَبِّ أَعْظِمْ لَنَاأَجْرًاوَمَغْفِرَةً فَإِنَّ جُوْدَكَ بَحْرٌلَيْسَ يَنْحَصِرُ


Ya Rabbi a’zhim lana ajran wa magh-firatan. Fa inna judaka bahrun laisa yanhashiru.

“Ya Tuhanku, besarkan dan limpahkan untuk kami pahala serta ampunan-Mu, karena kemurahan-Mu bagai lautan tak bertepi.”


وَاقْضِ دُيُوْنًالَهَااْلأَخْلَاقُ ضَائِقَةٌ وَفَرِّجِ الْكَرْبَ عَنَّاأَنْتَ مُقْتَدِرُ


Waqdhi duyunan lahal-akhlaqu dha-iqatun. Wa farrijil-karba ‘anna anta muqtadiru.

“Dan lunaskanlah hutang-hutang kami, yang membuat ruang gerak kami seakan menjadi sempit, dan bebaskan kami dari kesulitan yang menimpa kami, Engkau Maha kuasa.”


وَكُنْ لَطِيْفًابِنَافِي كُلِّ نَازِلَةٍ لُطْفًاجَمِيْلًا بِهِ اْلأَهْوَالُ تَنْحَسِرُ


Wa kun lathifan bina fi kulli nazilatin. Luthfan jamilan bihil-ahwalu tanhasiru.

“Dan kasihanilah kami pada setiap bencana yang melanda kami, karena dengan kasih-Mu segala yang menakutkan itu akan sirna.”


بِالْمُصْطَفَى الْمُجْتَبَى خَيْرِاْلأَنَامِ وَمَنْ جَلَالَةً نَزَلَتْ فِي مَدْحِهِ السُّوَرُ


Bil-mushthafal-mujtaba kahiril-anami waman. Jalalatam nazalat fi madhihis-suwaru.

“Dengan kemuliaan Al-Mushthafa Al-Mujtaba (Rasulullah), sebaik-baik manusia, yang telah turun ayat-ayat suci berisi pujian dan sanjungan terhadap Rasulullah.”


ثُمَّ الصَّلَاةُ عَلَى الْمُخْتَارِمَاطَلَعَتْ النَّهَارِوَمَاقَدْشَعْشَعَ اْلقَمَرُ


Tsummash-shalatu ‘alal-mukhtari ma thala’at. Syamsun-nahari wama qad sya’sya’al qamaru.

“Kemudian sebagai penutup,semoga kasih sayang-Mu selalu terlimpah untuk Al Mukhtar (Yang Terpilih,Rasulullah), selama matahari masih terbit dan rembulan masih memancarkan sinarnya.”


ثُمَّ الرِّضَاعَنْ أَبِى بَكْرٍخَلِيْفَتِهِ مَنْ قَامَ مِنْ بَعْدِهِ لِلَّدِيْنِ يَنْتَصِرُ


Tsummar-ridha ‘an abi bakrin khalifatihi. Man qama min ba’dihi liddini yantashiru.

“Kami memohon pula ridho-Mu untuk Khalifah Abu Bakar, yang telah berjasa mengemban misi agama ini setelah Beliau tiada hingga berhasil.”


وَعَنْ أَبِيْ حَفْصٍ الْفَارُوْقِ صَاحِبِهِ مَنْ قَوْلُهُ الْفَصْلُ فِي أَحْكَامِهِ عُمَرُ


Wa ‘an abi hafshil-faruqi shahibihi. Man qauluhul-fashlu fi ahkamihi ‘umaru.

“Begitu pula untuk Abu Hafsh Al-Faruq Umar bin Khathab, orang yang perkataannya terkenal selalu benar dan yang tegas dalam berhukum.”


وَجُدْلِعُثْمَانَ دِيْ النُّورَيْنِ مَنْ كَمُلَتْ لَهُ الْمَحَاسِنُ فِي الدَّارَيْنِ وَالظَّفَرُ


Wa jud li ‘utsmana dzin-nuraini man kamulat. Lahul-mahasinu fid-daraini wazh-zhafaru.

“Juga untuk Utsman bin Affan Dzun-Nurain (orang yg memiliki dua cahaya), yang memiliki kebaikan dan kemenangan sempurna dunia dan akhirat.”


كَدَاعَلِيٌ مَعَ ابْنَيْهِ وَأُمِّهِمَاأَهْلُ الْعَبَاءِ كَمَا قَدْجَاءَنَاالْخَبَرُ


Kadza ‘aliyyun ma’abnaihi wa ummihima. Ahlul-‘aba’i kama qad ja’anal-khabaru

“Juga untuk Ali serta kedua putranya dan ibu kedua putranya (Sayidah Fatimah), mereka itu adalah Ahlul-Aba (keluarga dalam pelukan kasih sayang Nabi) sebagaimana di sebutkan dalam hadist.”


كَدَاخَدِيْجَتُنَاالْكُبْرَى الَّتِي بَدَلَتْ أَمْوَالَهَالِرَسُوْلِ اللهِ يَنْتَصِرُ


Khadza khadijatunal-kubrallati badzalat. Amwalaha lirasulollahi yantashiru

“Begitu pula untuk Khodijah Al Kubra, wanita yang mengorbankan hartanya untuk dakwah Rasulullah hingga Beliau meraih kemenangan.”


وَاللطَّاهِرَاتُ نِسَاءُالْمُصْطَفَى وَكَدَابَنَاتُهُ وَبَنُوْهُ كُلَّمَادُكِرُوْا


Wath-thahiratu nisa-ul-musthafa wa kadza. Banatuhu wa banuhu kullama dzukiru.

“Dan para wanita suci, istri-istri Nabi Al Musthafa, juga untuk putra dan putri beliau selama mereka dikenang.”


سَعْدٌسَعِيْدُابْنُ عَوْفٍ طَلْحَةٌ وَأَبُوْ عُبَيْدَةً وَزُبَيْرٌسَادَةٌ غُرَرُ


Sa’dun sa’idubnu ‘sufin thalhstun wa abu. ‘Ubaidata wa zubairun sadatun ghuraru.

“Juga untuk para sahabat Nabi, Sa’ad bin Abi Waqas, Sa’id bin Jubair, Abdurahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah bin Jarrah dan Zubair bin Awwam, pemimpin-pemimpin yang berwibawa.”


وَحَمْزَةٌ وَكَدَاالْعَبَّاسُ سَيِّدُنَاوَنَجْلُهُ الْحَبْرُمَنْ زَالَتْ بِهِ الْغِيَرُ


Wa Hamzatun wa kadzal-‘abbasu sayyiduna. Wanajluhul-habru man zalat bihil-ghiyaru

“Begitu juga untuk Hamzah dan Abbas beserta putranya (Abdullah bin Abbas), seorang ulama yang dapat menyelesaikan berbagai masalah sesulit apapun.”


وَاْلاَلُ وَالصَّحْبُ وَاْلأَتْبَاعُ قَاطِبَةً مَاجَنَّ لَيْلُ الدَّيَا جِيْ أَوْبَدَاالسَّحَرُ


Wal-alu wash-shahbu wal-atba’u qathi-batan. Ma janna lailud-dayaji au badas-saharu

“Dan untuk keluarga, sahabat, dan pengikutnya selama malam masih beredar, atau selama fajar masih menyingsing.”


مَعَ الرِّضَامِنْكَ فِيْ عَفْوٍوَعَافِيَةٍ وَحُسْنِ خَاتِمَةٍ إِنْ يَنْقَضِي الْعُمْرُ


Ma’ar-ridha minka fi ‘afwin wa ‘afiatin. Wa husni khatimatin in yanqadhil-‘umru.

“(Semua itu) beserta keridhaan, ampunan serta kesejahteraan dari-Mu, dan semoga khusnul khatimah dapat tercapai menjelang ajal nanti”.


Imam Bushiri pun segera menutup shalawatnya dengan permohonan ridho Allah untuk keluarga Rasulullah dan para Sahabatnya. Imam Bushiri menghembuskan nafas terakhir di kota Iskandariyah, Mesir, pada tahun 696 H atau 1296 M. Ia dimakamkan di samping sebuah masjid besar yang bersambung dengan makamnya, tak jauh dari masjid dan makam sang guru, Syaikh Imam Abu Al-Abbas Al-Mursi.


Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda