Translate

Senin, 07 Desember 2020

Nur Muhammad Simbol Rohmat Dan Awal Penciptaan

 Sebelumnya, kita telah sedikit mengenal keluasan rahmat Allah swt. Rahmat yang meliputi segala sesuatu. Rahmat yang jika terputus sedetik saja maka hancurlah seluruh alam semesta. Hingga kita sampai pada pertanyaan, siapakah simbol rahmat Allah di bumi ini? Siapakah penghubung rahmat Pencipta dengan makhluk-Nya? Siapakah yang menjadi gambaran keluasan rahmat Allah swt di alam ini?

Jika rahmat Allah meliputi segala sesuatu, maka simbol rahmat-Nya harus memiliki rahmat dan kasih sayang terluas hingga tak terikat dengan suatu alam. Alam Manusia, binatang, jin bahkan malaikat sekalipun harus memperoleh sentuhan rahmat darinya. Allah berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ -١٠٧-

“Dan Kami tidak Mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”

(Al-Anbiya’ 107)

Jika ada rahmat Allah swt di setiap sesuatu maka ada pula percikan Nur Muhammad di dalamnya. Karena dari cahaya itulah segala sesuatu tercipta. Bukankah dalam Hadist Qudsi-Nya, Allah pernah berfirman:

لولاك يا محمد ما خلقت الافلاك

“Jika bukan karenamu Wahai Muhammad, tidak Aku Ciptakan alam semesta”

Seluruh makhluk menjadi ada karena rahmat Muhammad saw yang Allah berikan kepadanya.

Simbol rahmat itu Allah berikan kepada seorang yang hatinya dipenuhi dengan rahmat dan kasih sayang. Tidak ada satu makhluk pun yang tidak mendapat sentuhan rahmat darinya. Karena Allah swt hanya akan menurunkan rahmat dan kasih sayang-Nya melalui kekasih-Nya ini.

Ketika Jibril membawakan ayat ini, Rasulullah saw bertanya padanya, “Apakah engkau juga memperoleh rahmat ini?”

Kemudian Jibril menjawab, “Iya, wahai Rasulullah. Aku memperoleh percikan rahmatmu itu. Bahkan hanya itulah yang dapat kuandalkan.”

Bukan hanya malaikat, binatang pun memperoleh rahmat dan kasih sayang dari Rasulullah saw. Tahukah kita bahwa Nabi Muhammad saw adalah manusia pertama yang mengumumkan untuk tidak berbuat keji terhadap binatang. Bukankah Rasulullah telah berpesan untuk menajamkan pisau ketika hendak menyembelih binatang. Agar mereka tidak tersiksa saat di potong lehernya. Bukankah Rasulullah saw yang melarang anak-anak kecil yang sedang asyik melempari burung dengan batu.

Di zaman ketika hati manusia keras dan tak memiliki kasih sayang, Rasulullah datang dengan hati penuh rahmat bahkan kepada binatang sekalipun.

Rahmat adalah sesuatu yang harus bisa dirasakan dan dinikmati. Alam semesta ini merupakan rasa dari kemaujudan Nabi Saw pada awal penciptaan. Sebagaimana makanan dan minuman yang bisa kita nikmati, sudah barangtentu wujud makanan dan minuman itu harus ada terlebih dahulu daripada rasanya itu sendiri. Karena rasa itu dapat dinikmati setelah adanya wujud makanan dan minuman itu sendiri. Kita tidak dapat menikmati rasa kopi tanpa adanya wujud kopi, dan begitulah seterusnya. Begitu pula untuk menikmati wujud alam semesta ini tidak dapat dinikmati tanpa adanya wujud penciptaan Nabi Saw terlebih dahulu. Itulah maksud firman Allah dalam hadits Qudsi :

لَوْلَاكَ لَوْلَاكَ لَمَّا خَلَقْتُ الْاَفْلَاكَ

“ Kalaulah bukan karena (penciptaan) engkau (Muhammad), Aku tidak akan menciptakan alam semesta  “

Penjelasan ini dibenarkan dalam banyak riwayat, Nabi Saw bersabda :

اَناَ اَبُو الْأَرْوَاحِ وَاَناَ مِنْ نُوْرِ اللهِ وَالمْؤُمِنُونَ فَيْضَ نُورِى

“ Aku adalah moyang semua arwah dan aku berasal dari cahaya Allah dan orang-orang yang beriman terperciki oleh cahayaku “(Ruhul Bayan 1/403, 2/370, 3/129)

Bahkan Ibnu Taimiyah memasukkan sebuah hadits tentang awal penciptaan Nabi Saw dalam kitabnya sbb : 

وَقَدْ رَوَاهُ أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ بشران مِنْ طَرِيقِ الشَّيْخِ أَبِي الْفَرَجِ ابْنِ الْجَوْزِيِّ فِي (الوفا بِفَضَائِلِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إسْحَاقَ بْنِ صَالِحٍ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ صَالِحٍ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ العوفي ثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ طهمان عَنْ يَزِيدَ بْنِ مَيْسَرَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ {مَيْسَرَةَ قَالَ قُلْت: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى كُنْت نَبِيًّا؟ قَالَ لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ الْأَرْضَ وَاسْتَوَى إلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَخَلَقَ الْعَرْشَ: كَتَبَ عَلَى سَاقِ الْعَرْشِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ خَاتَمُ الْأَنْبِيَاءِ وَخَلَقَ اللَّهُ الْجَنَّةَ الَّتِي أَسْكَنَهَا آدَمَ وَحَوَّاءَ فَكَتَبَ اسْمِي عَلَى الْأَبْوَابِ وَالْأَوْرَاقِ وَالْقِبَابِ وَالْخِيَامِ وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوحِ وَالْجَسَدِ فَلَمَّا أَحْيَاهُ اللَّهُ تَعَالَى: نَظَرَ إلَى الْعَرْشِ فَرَأَى اسْمِي فَأَخْبَرَهُ اللَّهُ أَنَّهُ سَيِّدُ وَلَدِك فَلَمَّا غَرَّهُمَا الشَّيْطَانُ تَابَا وَاسْتَشْفَعَا بِاسْمِي إلَيْهِ} . وَرَوَى أَبُو نُعَيْمٍ الْحَافِظُ فِي كِتَابِ دَلَائِلِ النُّبُوَّةِ: وَمِنْ طَرِيقِ الشَّيْخِ أَبِي الْفَرَجِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ رشدين ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ سَعِيدٍ الْفَهْرِي

“ dan sesungguhnya telah meriwayatkan Abu al-Hasan ibn Basyran melalui jalan Syaikh Abu al-Faraj ibn al-Jauzi dalam kitab al-Wafa bi Fadhl al-Mushthafa Saw : mengabarkan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr dan mengabarkan kepada kami Ahmad bin Ishaq bin Shaleh mengabarkan kepada kami Muhammad bin Sinan al-Awfi mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Tihaman dari Yazid bin Maisarah dari Abdullah bin Sufyan dari Maisarah, ia ber- kata, “ Aku berkata :  Wahai Rasulullah, kapankah engkau menjadi nabi ? Beliau menjawab : “ Setelah Allah menciptakan bumi dan bermaksud (beralih) pada penciptaan langit. Dia menyempurnakannya dalam jumlah tujuh langit. Dia juga menciptakan Arasy, dan menulis- kan pada betis (kaki) Arasy : Muhammad Utusan Allah. Penutup para Nabi. Dia juga Menciptakan surga yang didiami oleh Adam dan Hawa, lalu menuliskan namaku pada berbagai pintu dan kertas, pada kubah-kubah dan kemah-kemah, sedangkan Adam masih terpisah jasad dari ruhnya. Setelah Adam dihidupkan Allah Swt, ia memandang ke Arasy, ia pun melihat namaku. Allah lalu memberitahu Adam : “ Muhammad adalah pemimpin keturu- nanmu “. Ketika mereka diperdayakan oleh setan, mereka bertobat dan memohon syafa’at dengan (perartara berkah) namaku kepada-Nya “ Dan telah diriwayatkan oleh Abu Nu’aim al-Hafizh di dalam kitab Dalail Nubuwwah melalui jalan Syaikh Abu al-Faraj meriwayatkan kepada kami Sulaiman ibn Ahmad meriwayatkan kepada kami Ahmad bin Rasyidin mengabarkan kepada kami Ahmad ibn Sa’id al-Fahri “(Majmu’ Fatawa 2/150)

Banyak pula orang yang terkecoh pemikirannya, bahwa penciptaan Nabi Adam a.s terlebih dahulu daripada penciptaan Nabi Saw. Banyak sekali hadits yang diriwayatkan dari berbagai jalur yang justru mengatakan sebaliknya.

Dari Irbash bin Sariyah as-Salami r.a, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Saw berkata : 

إِنِّي عِنْدَ اللهِ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَخَاتَمُ النَّبِيِّينَ، وَإِنَّ آدَمَ لَمُنْجَدِلٌ  فِي طِينَتِهِ 

“ Aku di sisi Allah di dalam induk Kitab (Lauh Mahfuzh) sebagai penutup para nabi, sedangkan Adam masih tergolek di tanah  “(Musnad Ahmad 27/380, 27/395, Musnad al-Bazzar 10/135, Shahih Ibnu Hibban 14/313, al-Mu’jam al-Ausath 18/253, Syu’abul Iman 2/510, Syarh as-Sunnah al-Baghawi 13/207 (derajat hadits shahih)

Dalam hadits lainnya ada sahabat yang bertanya kepada Nabi Saw :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى وَجَبَتْ لَكَ النُّبُوَّةُ ؟ قَالَ: «وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوحِ وَالجَسَدِ»

“ Dari Abu Hurairah, berkata : bertanya aku kepada Rasulullah Saw di manakah engkau mendapatkan kenabian ? Bersabda Nabi Saw : “  (waktu itu) Adam berada di antara ruh dan jasad “(Sunan Turmudzi 5/585, Mushanaf Ibnu Abi Syaibah 7/239 riwayat Abdullah bin Syaqiq r.a, as-Sunan Abdullah bin Ahmad 2/398 riwayat Maisarah al-Fajri r.a, Musnad Ahmad 27/176, Musnad al-Bazzar 11/476 riwayat Ibnu Abbas r.a , 15/207 riwayat Abu Salamah r.a, al-Mu’jam al-Kabir 12/92, 12/119 (derajat hadits masyhur/mutawatir)

Dari Anas bin Malik r.a, ia berkata : 

لَمَّا كَانَ اليَوْمُ الَّذِي دَخَلَ فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ أَضَاءَ مِنْهَا كُلُّ شَيْءٍ، فَلَمَّا كَانَ اليَوْمُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ أَظْلَمَ مِنْهَا كُلُّ شَيْءٍ، وَمَا نَفَضْنَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَيْدِي وَإِنَّا لَفِي دَفْنِهِ حَتَّى أَنْكَرْنَا قُلُوبَنَا

“ Pada saat Rasulullah Saw memasuki Madinah, menjadi teranglah segala benda di kota itu. Pada hari Rasulullah Saw wafat, gelaplah segala sesuatu di kota Madinah. Tidaklah kami selesai menguburkan beliau, sehingga hati kami mengingkari hal tersebut “(Shahih Ibnu Hibabn 14/601, Sunan Turmudzi 5/588, Sunan Ibnu Majah 1/522, Musnad Ahmad 21/35, 21/330, Musnad al-Bazzar 13/291, Musnad Abu Ya’la 6/51, 6/110 (derajat hadits shahih/masyhur)

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “ Rasulullah Saw tidak memiliki bayang-bayang baik dari sinar matahari maupun bulan, karena beliau itu nuuraaniy sejenis cahaya yang mengan- dung cahaya yang sangat terang “.
Abu Ja’far dalam memberikan penafsiran dalam ayat “قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ  ” (sesungguhnya akan datang kepada kalian dari Allah cahaya. QS. 5 – al-Maidah : 15) ialah cahaya Nabi Muhammad Saw “(Tafsir ath-Thabari 10/143)
Al-Hafizh al-Juzaz berkata tentang : ayat “قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ  ” (sesungguhnya akan datang kepada kalian dari Allah cahaya. QS. 5 – al-Maidah : 15) yang dimaksud dengan cahaya adalah Muhammad Saw dan hidayah atau cahayanya yang menjelaskan segala perkara dan melihat batinnya segala hakikat, seperti kedatangannya cahaya Nabi Muhammad Saw di dalam hati di dalam menjelaskan segala sesuatu dan menyingkapkan kegelapan disepertikan dengan cahayanya. (Ma’ani al-Quran wa I’rabih, al-Juzaz 2/161)

Sayyid Muhammad al-Maliki berkata : “ Bahwa Rasulullah Saw pernah memohon kepada Allah untuk diberi cahaya pada semua anggota arahnya “. 
Maksud beliau adalah doa berikut ini : 

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ لِي نُورًا فِي قَلْبِي، وَنُورًا فِي قَبْرِي، وَنُورًا مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَنُورًا مِنْ خَلْفِي، وَنُورًا عَنْ يَمِينِي، وَنُورًا عَنْ شِمَالِي، وَنُورًا مِنْ فَوْقِي، وَنُورًا مِنْ تَحْتِي، وَنُورًا فِي سَمْعِي، وَنُورًا فِي بَصَرِي، وَنُورًا فِي شَعْرِي، وَنُورًا فِي بَشَرِي، وَنُورًا فِي لَحْمِي، وَنُورًا فِي دَمِي، وَنُورًا فِي عِظَامِي، اللَّهُمَّ أَعْظِمْ لِي نُورًا، وَأَعْطِنِي نُورًا، وَاجْعَلْ لِي نُورًا

“ Ya Allah jadikanlah aku cahaya di dalam hatiku, dan cahaya di dalam kuburku, dan cahaya di antaranya, dan cahaya dari belakangku, dan cahaya dari kananku, dan cahaya dari kiriku, dan cahaya dari bawahku, dan cahaya dari atasku, dan cahaya dalam pendengaranku, dan cahaya dalam mataku, dan cahaya dalam rambutku, dan cahaya dalam kulitku, dan cahaya dalam dagingku, dan cahaya dalam kepermanenanku, dan cahaya dalam kebesaranku, Ya Allah agungkanlah aku dengan cahaya dan berikanlah aku cahaya dan jadikanlah aku cahaya ” (Sunan Turmudzi 5/472 riwayat Ibnu Abbas r.a, as- Sunan al-Kabir, an-Nasai 1/238, Shahih Ibnu Khuzaimah 2/165, ad-Du’a 1/165. Al-Mu’jam al-Ausath 4/95, al-Mu’jam al-Kabir 10/283, al-Adab al-Mufrad bi at-Ta’liqat, al-Bukhari 1/365 (derajat hadits shahih)

Imam Ismail al-Buruswi dalam tafsirnya berkata : “ Bahwa Allah Swt mengutus Nabi Saw sebagai cahaya yang menerangkan hakikat bagian manusia dari Allah Swt, dan Dia menamai dirinya sendiri sebagai cahaya, sebagaimana firman-Nya : (Ruhul Bayan 2/370)

اَللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

“ Allah merupakan cahaya langit dan bumi ”   (QS. 24 – an-Nur : 35) 

Karena langit dan bumi itu tersamar dalam gelapnya ketiadaan, maka Allah Swt menampilkan keduanya dengan mengadakannya. Rasul Saw disebut cahaya, karena sesuatu yang pertama kali ditampilkan Allah, dengan cahaya qudrat-Nya dari gelapnya ketiadaan adalah cahaya Nabi Saw, sebagaimana sabdanya :

أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللهُ نُوْرِى

“ Sesuatu yang pertama kali diciptakan Allah adalah cahayaku ”   

Dari cahaya itu Allah menciptakan alam dan segala isinya. Maujudat ini tampil karena danya cahaya Muhammad Saw, maka ia disebut cahaya. Segala sesuatu yang keadaannya lebih mendekati kepada penciptaan, maka ia lebih utama dinamakan dengan cahaya, sebagai-mana halnya alam arwah lebih dekat kepada penciptaan daripada alam jasad. Oleh karena itu ia disebut alam cahaya. Alam yang tinggi dapat disebut cahaya bila dibandingkan dengan alam rendah. Maujudat yang paling dekat kepada penciptaan, lebih pantas untuk disebut cahaya. Oleh karena itu beliau bersabda :

اَنَا مِنَ اللهِ وَالْمُؤمِنُوْنَ مِنِّى

“ Aku berasal dari Allah dan orang-orang beriman berasal dariku “

Allah Swt berfirman :

قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ  

“ Sesungguhnya akan datang kepada kalian dari Allah cahaya ” (QS. 5 – al-Maidah : 15)

Nabi Saw bersabda :

كُنْتُ نُورًا بَيْنَ يَدَيٌَ رَبٌِى قَبْلَ خَلَقَ آدَمَ بِاَرْبَعَةِ عَشَرَ اَلْفِ عَاٍم, وَكَانَ يُسَبٌِحُ ذَلِكَ الٌنُورُ وَتَسْبِحُ اْلَمَلَاءِكَةِ بِتَسْبِحِيْهِ فَلَمٌ خَلَقَ اللهُ آدَمَ اَلْفَى ذَلِكَ الٌنُورُ فِى صَلْبِهِ

“ Dahulu aku merupakan cahaya yang berada dihadapan Rabb-Ku, yaitu 14.000 tahun sebelum Allah menciptakan Adam. Cahaya itu membaca tasbih, dan para malaikat pun menirukannya. Setelah Allah menciptakan Adam, Dia menyimpan cahaya itu ke dalam sulbi (tulang rusuk) Adam “. 

Diriwayatkan melalui Ibnu Abbas r.a, bahwa Nabi Saw bersabda :

لَمَّا خَلَقَ اللهُ آدَمَ اَهْبَطَنِى فِى صُلْبِهِ اِلَى اْلأَرْضِ وَجَعَلَنِى فِى صُلْبِ نُوْحٍ فِى السَّفِيْنَةِ وَقَذَفَنِى فِى صُلْبِ إِبْرَاهِيْمَ ثُمَّ لَمْ يَزَلْ تَعَالَى يَنْقُلُنِى مِنَ الْأَصْلَابِ الْكَرِيْمَةِ وَالْأَرْحَامِ الطَّاهِرَةِ حَتَّى أَخْرَجَنِي بَيْنَ أَبَوَيَّ لَمْ يَلْتَقِيَا عَلَى سَفَاحٍ قَطُّ

“ Setelah Allah menciptakan Adam, Dia menurunkanku ke bumi dalam sulbi Adam. Kemudian menjadikanku dalam sulbi Nuh dalam perahu. dan dipindahkan aku ke dalam sulbi Ibrahim Kemudian terus-menerus Allah memindahkanku dari berbagai sulbi yang mulia dan rahim yang suci, sehingga Dia mengeluarkanku melalui ibu bapakku yang sama sekali tidak pernah terjerumus ke dalam perzinahan “

Dalam larik Qashidatul Burdah berikut ini, Imam Al-Bushiri menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW yang menjadi sebab penciptaan dunia takkan mungkin berhajat kepada dunia karena beliau SAW sendiri adalah penghulu dunia:

وَكَيفَ تَدْعُو إلَى الدُّنيا ضَرُورَةُ مَنْ ** لولاهُ لم تخرجِ الدنيا من العدمِ

Artinya, “Bagaimana orang yang kalau bukan karena dirinya niscaya dunia ini takkan keluar dari ketiadaannya berkepentingan terhadap dunia?”

Pernyataan Imam Al-Bushiri tidak berlebihan. Pernyataan Al-Bushiri cukup beralasan  karena didasarkan pada hadits qudsi riwayat Al-Hakim dan Al-Baihaqi yang menyatakan bahwa kalau bukan karena Nabi Muhammad SAW, Allah takkan menciptakan Nabi Adam AS.

والأصل في ذلك ما رواه الحاكم والبيهقي من قول الله تعالى لآدم لما سأله بحق محمد أن يغفر له ما اقترفه من صورة الخطيئة وكان رأى على قوائم العرش مكتوبا لا إله إلا الله محمد رسول الله سألتني بحقه أن أغفر لك ولولاه ما خلقتك فوجود آدم عليه السلام متوقف على وجوده صلى الله عليه وسلم

Artinya, “Dasar atas pernyataan ini adalah hadits riwayat Al-Hakim dan Al-Baihaqi perihal jawaban Allah SWT kepada Nabi Adam AS yang meminta dengan nama Nabi Muhammad SAW ampunan terkait kekeliruannya. Nabi Adam AS ketika itu melihat catatan ‘Lâ ilâha illallâh, Muhammadur Rasûlullâh’ pada tiang-tiang Arasy. Allah menjawab, ‘Kau meminta dengan namanya (Nabi Muhammad SAW) agar Aku mengampunimu. Sungguh, kalau bukan karenanya, Aku tidak akan menciptakanmu.’ Jadi, ujud Nabi Adam AS bergantung pada ujud Nabi Muhammad SAW,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Matnil Burdah,  halaman 21).

Kalau bukan karena Nabi Muhammad SAW, niscaya Allah takkan menciptakan Nabi Adam AS. Kalau Nabi Adam AS tidak diciptakan oleh Allah, niscaya anak Adam atau bani Adam takkan diciptakan. Sedangkan nyatanya, Allah menciptakan Nabi Adam AS dan anak keturunannya. Allah juga menciptakan alam semesta ini hanya untuk keperluan manusia. Jadi, hanya karena Nabi Muhammad SAW Allah menciptakan alam semesta raya ini.

Syekh Ibrahim Al-Baijuri yang pernah memimpin Universitas Al-Azhar di zamannya mencoba membangun logika ini dalam Hasyiyatul Burdah berikut ini:

وآدم أبو البشر وقد خلق الله لهم ما في الأرض  وسخر لهم الشمس والقمر والليل والنهار وغير ذلك كما هو نص القرآن قال تعالى خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وإذا كانت هذه الأمور إنما خلقت لأجل البشر وأبو البشر إنما خلق لأجله صلى الله عليه وسلم كانت الدنيا إنما خلقت لأجله فيكون صلى الله عليه وسلم هو السبب في وجود كل شيء

Artinya, “Nabi Adam AS memang bapak manusia. Allah menciptakan apa yang ada di bumi untuk anak manusia. Allah juga menundukkan matahari, bulan, malam, siang, dan lain sebagainya untuk anak manusia sebagaimana tercantum dalam Al-Quran, 'Dia menciptakan untukmu apa yang ada di bumi semuanya,’ (Surat Al-Baqarah ayat 29) dan ‘Dia menundukkan bagimu matahari dan bulan silih berganti dan Dia menundukkan bagimu malam dan siang,’ (Surat Ibrahim ayat 33). Jadi, ketika semesta alam raya itu diciptakan untuk manusia, sementara Nabi Adam AS adalah bapak manusia diciptakan karena Nabi Muhammad SAW, maka dunia ini diciptakan karena Nabi Muhammad SAW. Jadi, Nabi Muhammad SAW adalah sebab bagi segala ujud,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Matnil Burdah, halaman 21-22).

Syekh Khalid bin Abdullah Al-Azhari dalam Syarah Burdah menyatakan bahwa karena Rasulullah SAW sendiri adalah sebab atas penciptaan alam semesta, maka beliau SAW tidak berhajat dan berhasrat pada kesenangan duniawi yang fana:

ومعنى البيتين أنه صلى الله عليه وسلم لا تدعوه الضرورة الى حطام الدنيا الفانية فإن الدنيا ما أخرجت من العدم إلى الوجود إلا لأجله وكيف يكون كذلك وهو سيد أهل الدنيا والآخرة وسيد الانس والجن وسيد العرب والعجم

Artinya, “Makna bait ini adalah bahwa Nabi Muhammad SAW tidak berkepentingan untuk mengumpulkan harta benda duniawi yang fana karena dunia tidak diciptakan dari ketiadaan menjadi ada kecuali karena dirinya. Lalu bagaimana bisa demikian (haus harta duniawi) dengan Rasulullah SAW, sedangkan beliau adalah penghulu (pangkal atau permulaan) penduduk dunia dan akhirat, penghulu manusia dan jin, dan penghulu bangsa Arab dan bangsa ajam,” (Lihat Syekh Khalid bin Abdullah Al-Azhari, Syarah Khalid Al-Azhari ala Matnil Burdah, halaman 22).

Logika yang dibangun oleh Imam Al-Bushiri, Syekh Ibrahim Al-Baijuri, dan Syekh Khalid Al-Azhari merupakan refleksi dari Surat Al-Baqarah ayat 29, Surat Ibrahim ayat 33, dan hadits berikut ini:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أنا سيد ولد آدم ولا فخر

Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku penghulu anak Adam, dan tidak sombong,’” (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah).

Dari pelbagai keterangan ini, tidak berlebihan ketika Sayyid Bakri Syatha dalam mukaddimah I‘anatut Thalibin menganjurkan kita untuk bersyukur kepada Rasulullah SAW karena jasanya yang mengajarkan kita mengenal dan bersyukur kepada Allah.

Sayyid Bakri Syatha menyebut Rasulullah SAW tidak lain adalah asal penciptaan bagi semua makhluk Allah. Sayyid Bakri menganjurkan kita untuk membaca banyak shalawat. Hanya saja "asal" dan kata "sebab" penciptaan di sini mesti dipahami sebagai asal atau sebab secara majazi karena pada hakikatnya perbuatan Allah tidak tergantung pada illat atau sebab.

Meskipun demikian, shalawat terhadap Nabi Muhammad SAW merupakan bentuk terima kasih atau syukur kita umat manusia terhadap Rasulullah SAW sebagai penghulu segenap manusia sebagaimana sabdanya yang mulia. Allahumma shalli wa sallim 'ala Sayyidina Muhammad wa alihi wa shabihi ajma'in.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar