Translate

Selasa, 31 Januari 2017

Antara Jenggot Dan Kecerdasan

Dewasa ini banyak muncul tulisan (terutama kalangan Salafi-Wahabi) yang membahas tentang kewajiban memelihara jenggot dan menganggap haram dan bid’ah mencukurnya. Sebenarnya isi tulisan tersebut tidak perlu dipersoalkan selama masih dalam koridor ijtihad masing-masing umat Islam dan itu didukung oleh argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun kita tidak sependapat dengan kesimpulan argumentasi yang dikemukakannya. Namun ini menjadi masalah ketika orang yang berpendapat wajib  memelihara jenggot dan menganggap haram dan bid’ah mencukurnya mengklaim bahwa pendapat tersebut merupakan ijmak ulama, dimana konsekwensinya, maka barangsiapa yang menyalahinya, maka ia telah menyalahi ijmak, pelaku bid’ah dan kemungkaran yang wajib dicegah serta merupakan pendapat sesat dan menyesatkan. Ini tentu sangat berbahaya bagi akidah umat Islam, karena itu, melalui tulisan ini penulis mencoba menempatkan masalah ini (hukum memelihara dan mencukur jenggot) pada posisi yang sebenarnya dengan mengutip pendapat ulama-ulama mazhab dan ahli ilmu. Mudah-mudahan tulisan ini menjadi bermanfaat bagi kita semuanya, Amin ..!

Yang lagi ramai di bicarakan Antara Jenggot Dan Kecerdasan 

ومن علامات لا تخطئ طول اللحية, فان صاحبها لا يخلو من الحمق

Termasuk setengah dari tanda-tanda yang tidak mungkin salah adalah panjangnya jenggot, Maka sesunggungya orang yang memiliki jenggot yang panjang, adalah pasti seorang yang tolol (pandir).

وقد روي أنه مكتوب في التورة: ان اللحية مخرجها من الدماغ, فمن أفرط عليه طولها في قل دماغه, ومن قل دماغه قل عقله, ومن قل عقله كان أحمق

Sungguh telah diriwayatkan bahwasanya tertulis di dalam kitab Taurat: “Sesungguhnya jenggot, tempat keluarnya adalah otak, barangsiapa yang berlebihan panjang jenggotnya, maka sedikit otaknya, barangsiapa yang sedikit otaknya, sedikit kecerdasannya, dan barangsiapa yang sedikit kecerdasannya, maka orang tersebut adalah orang yang tolol (pandir)”.

قال بعض الحكماء: الحمق سماد اللحية, فمن طالت لحيته كثر حمقه

Sebagian ulama ahli hikmah menyatakan: Ketololan adalah pupuk bagi jenggot, barangsiapa yang panjang jenggotnya maka banyak ketololannya.

قال بعض الشعراء
Sebagian penyair menyampaikan:
اذا عرضت للفتى لحية ** وطالت وصارت الى سرته


فنقصان عقل الفتى عندنا ** بمقدار ما زاد في لحيته

Jika jenggot tampak pada seorang pemuda ** dan jenggot tersebut panjang dan sampai pada pusarnya
Maka (hal tersebut) menunjukkan sedikitnya kecerdasan pemuda tersebut menurut kami ** Seukuran dengan apa yang tambah dari panjang jenggotnya.

Dinukil dari keterangan yang disampaikan oleh al-Imam al-Hafidz Jamaluddin Abu al-Faraj Abdurrahman bin al-Jauzi al-Baghdadi di dalam kitabnya Akhbar al-Khumqo wa al-Mughoffalin. Oleh karena itu, maka jagalah jenggotmu

Salah pemahaman bisa radikal, apalagi bacanya tidak sambil di kaji.
Jenggot dan Kumis‎

Sering kita temukan saat ini para pengikut ulama Saudi Arabia menfatwakan haramnya mencukur jenggot dan wajibnya merawat jenggot hingga panjang secara alami. Mereka pada umumnya secara keras mengatakan haram, sementara masalah ini termasuk dalam ranah khilaf para ulama sejak dahulu.

Berikut ini kita tampilkan hadis dan atsar dalam masalah ini: 

جَزُّوْا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوْا اللُّحَى خَالِفُوْا الْمَجُوْسَ
(أخرجه مسلم رقم 260 عن أبى هريرة)

“Cukurlah kumis kalian dan biarkan jenggot kalian. Berbedalah dengan Majusi” (HR Muslim No 26o dari Abu Hurairah) 

أَعْفُوْا اللُّحَى وَجَزُّوْا الشَّوَارِبَ وَغَيِّرُوْا شَيْبَكُمْ وَلاَ تَشَبَّهُوْا بِالْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى
(أخرجه أحمد رقم 8657 والبيهقى رقم 673 عن أبى هريرة ، قال المناوى : بإسناد جيد)

“Biarkan jenggot kalian, potong kumis kalian, rubahlah uban kalian dan janganlah kalian menyamai dengan Yahudi dan Nashrani” (HR Ahmad No 8657 dan Baihaqi No 673 dari Abu Hurairah, sanadnya jayid) 

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
(رواه البخاري رقم 5892 ومسلم رقم 259) 

“Berbedalah kalian semua dengan Musyrikin. rawatlah jenggot kalian dan cukurlah kumis kalian” (HR Bukhari No 5892 dan Muslim No 259 dari Ibnu Umar)
Dalam riwayat ini perawi hadisnya adalah Abdullah bin Umar. Dalam riwayat Bukhari terdapat redaksi kelanjutan hadis diatas: 

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ ، فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ
(رواه البخاري رقم 5892)

“Ibnu Umar ketika haji atau umrah memegang jenggotnya, maka apa yang melebihi (genggamannya) ia memotongnya” (HR Bukhari No 5892) 

al-Hafidz Ibnu Hajar menyampaikan riwayat yang lain: 

وَقَدْ أَخْرَجَهُ مَالِك فِي الْمُوَطَّأ : عَنْ نَافِع بِلَفْظِ كَانَ اِبْن عُمَر إِذَا حَلَقَ رَأْسه فِي حَجّ أَوْ عَمْرَة أَخَذَ مِنْ لِحْيَته وَشَارِبه
(فتح الباري لابن حجر - ج 16 / ص 483)

“Dan telah diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwatha’ dari Nafi’ dengan redaksi: Ibnu Umar jika mencukur rambutnya saat haji atau umrah, ia juga memotong jenggot dan kumisnya” (Fath al-Baarii 16/483)

Dalam riwayat berbeda dinyatakan:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نُعْفِي السِّبَالَ إِلاَّ فِى حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ
(ابو داود . إسناده حسن اهـ فتح الباري 350/10)

Dari Jabir bin Abdillah “Kami (Para Sahabat) memanjangkan jenggot kami kecuali saat haji dan umrah” (HR Abu Dawud, dinilai hasan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar)

Ahli hadis Abdul Haq al-‘Adzim berkata: 

وَفِي الْحَدِيث أَنَّ الصَّحَابَة رَضِيَ اللَّه عَنْهُمْ كَانُوا يُقَصِّرُونَ مِنْ اللِّحْيَة فِي النُّسُك
(عون المعبود ج 9 / ص 246)

“Di dalam riwayat tersebut para sahabat memotong dari jenggot mereka saat ibadah haji atau umrah” (Aun al-Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud 9/246)

Dari dua atsar ini menunjukkan bahwa mencukur jenggot tidak haram, karena Abdullah bin Umar dan Sahabat yang lain mencukurnya saat ibadah haji atau umrah. Kalaulah mencukur jenggot haram, maka tidak akan dilakukan oleh para sahabat, terlebih Abdullah bin Umar adalah sahabat yang dikenal paling tekun dalam meneladani Rasulullah Saw hingga ke tempat-tempat dimana Rasulullah pernah melakukan salat.

Imam an-Nawawi berkata: 

( وَفِّرُوا اللِّحَى ) 
فَحَصَلَ خَمْس رِوَايَات : أَعْفُوا وَأَوْفُوا وَأَرْخُوا وَأَرْجُوا وَوَفِّرُوا ، وَمَعْنَاهَا كُلّهَا : تَرْكُهَا عَلَى حَالهَا . هَذَا هُوَ الظَّاهِر مِنْ الْحَدِيث الَّذِي تَقْتَضِيه أَلْفَاظه ، وَهُوَ الَّذِي قَالَهُ جَمَاعَة مِنْ أَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ مِنْ الْعُلَمَاء . وَقَالَ الْقَاضِي عِيَاض - رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى - يُكْرَه حَلْقهَا وَقَصّهَا وَتَحْرِيقهَا ، وَأَمَّا الْأَخْذ مِنْ طُولهَا وَعَرْضهَا فَحَسَن 
(شرح النووي على مسلم - ج 1 / ص 418)

“Dari 5 redaksi riwayat, makna kesemuanya adalah membiarkan jenggot tumbuh sesuai keadaannya. Ini berdasarkan teks hadisnya. Inilah pendapat sekelompok ulama Syafiiyah dan lainnya. Qadli Iyadl berkata: Makruh untuk memotong dan mencukur jenggot. Adapun memotong jenggot dari arah panjang dan lebarnya, maka bagus” (Syarah Muslim 1/418)

Dengan demikian, dapat disimpulkan: 

«حَلْقُ اللِّحْيَةِ» ذَهَبَ جُمْهُوْرُ الْفُقَهَاءِ : الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَهُوَ قَوْلٌ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ إِلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ حَلْقُ اللِّحْيَةِ لأَنَّهُ مُنَاقِضٌ لِلأَمْرِ النَّبَوِيِّ بِإِعْفَائِهَا وَتَوْفِيْرِهَا ...... وَاْلأَصَحُّ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ : أَنَّ حَلْقَ اللِّحْيَةِ مَكْرُوْهٌ 
(الموسوعة الفقهية ج 2 / ص 12894)

“Bab tentang mencukur jenggot. Mayoritas ulama fikih, yaitu Hanafiyyah, Malikiyah, Hababilah dan satu pendapat dalam madzhab Syafiiyah menyatakan bahwa mencukur jenggot hukumnya haram, karena bertentangan dengan perintah Nabi untuk membiarkan jenggot hingga sempurna. Dan pendapa yang lebih unggul dalam madzhab Syafiiyah bahwa mencukur jenggot adalah makruh” (Mausu’ah al-Fiqhiyyah 2/12894)
Sayidina Umar Berkumis 

عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ إِذَا غَضَبَ فَتَلَ شَارِبَهُ وَنَفَخَ
رواه الطبراني ورجاله رجال الصحيح خلا عبد الله بن أحمد وهو ثقة مأمون إلا أن عامر بن عبد الله بن الزبير لم يدرك عمر اهـ
(مجمع الزوائد ومنبع الفوائد . محقق – ج 5 / ص 200)

“Diriwayatkan dari Amir bin Abdillah bin Zubair bahwa jika Umar bin Khattab marah, maka ia memintal kumisnya dan meniup” (Riwayat Thabrani, para perawinya sahih, selain Abdullah bin Ahmad, ia terpercaya dan dipercaya. Hanya saja Amin bin Abdullah bin Zubair tidak menjumpai Umar)
al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: 
وَقَدْ رَوَى مَالِك عَنْ زَيْد بْن أَسْلَمَ " أَنَّ عُمَر كَانَ إِذَا غَضِبَ فَتَلَ شَارِبه " فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ كَانَ يُوَفِّرهُ . وَحَكَى اِبْن دَقِيق الْعِيد عَنْ بَعْض الْحَنَفِيَّة أَنَّهُ قَالَ : لَا بَأْس بِإِبْقَاءِ الشَّوَارِب فِي الْحَرْب إِرْهَابًا لِلْعَدُوِّ وَزَيَّفَهُ 
(فتح الباري لابن حجر - ج 16 / ص 479)
“Malik benar-benar telah meriwayatkan dari Zaid bin Aslam bahwa jika Umar bin Khattab marah, maka ia memintal kumisnya. Ini menunjukkan bahwa Umar memanjangkan kumisnya. Ibnu Daqiq al-Iid mengutip dari sebagian ulama Hanafiyah, bahwa: Tidak apa-apa merawat kumis saat perang, untuk menakuti musuh” (Fath al-Baarii 16/479)

PERBEDAAN MADZHAB SYAFI’I VERSI SYAFI’IYAH DENGAN MADZHAB SYAFI’I VERSI WAHABI TENTANG JENGGOT
“Merupakan perkara yang aneh adalah semangatnya sebagian ustadz dan kiyai (yang mengaku bermadzhab syafi'iyah) untuk memangkas habis jenggot mereka…, bahkan sebagian mereka mencela orang yang memanjangkan jenggotnya, atau mengecapnya sebagai teroris. Padahal Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah mengharamkan mencukur habis jenggot.”

“Mencukur habis jenggot itu hukumnya dipersesihkan oleh para ulama, antara yang mengatakan makruh dan yang mengatakan haram. Pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Syafi’i sendiri adalah makruh, bukan haram.”

“Ibnu Hazm azh-Zhohiri -rohimahulloh-:
اتفقوا على أن حلق اللحية مثلة لا يجوز

Para ulama telah sepakat, bahwa sesungguhnya menggundul jenggot termasuk tindakan mutslah, itu tidak diperbolehkan. (Marotibul Ijma’ 157)”

“Alasan bahwa menggundul jenggot itu makruh bukan karena tindakan mutslah, tetapi karena agar mukholafah/berbeda dengan kaum Majusi. Sedangkan alasan mutslah itu pendapat Ibnu Hazm sendiri. Dalam hadits-hadits shahih diterangkan, bahwa alasan melarang menggundul jenggot itu karena agar mukholafah dengan kaum Majusi. Karena itu, memberikan ‘illat mutslah dalam masalah ini sangatlah tidak tepat, karena sdh ada nash dari Syari’ dalam hadits-hadits shahih.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rohimahulloh-:

يحرم حلق اللحية للأحاديث الصحيحة ولم يبحه أحد

Menggundul jenggot itu diharamkan, karena adanya hadits-hadits shohih (tentang itu), dan tidak ada seorang pun yang membolehkannya. (Ushulul Ahkam 1/37, Ikhtiyarot Syaikhil Islam Ibni Taimiyah 19)”.

“Informasi dari Syaikh Ibnu Taimiyah masih perlu dikaji. Beliau pengikut madzhab Hanbali. Sementara Imam Ahmad bin Hanbal sendiri, masih memakruhkan menggundul habis jenggot, bukan mengharamkan. Dalam hal ini, al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullaah, guru Syaikh Ibnu Taimiyah, dan rujukan kaum Hanabilah berkata:
فَأَمَّا حَفُّ الْوَجْهِ فَقَالَ : مُهَنَّا سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ عَنِ الْحَفِّ فَقَالَ : لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ لِلنِّسَاءِ وَأَكْرَهُهُ لِلرِّجَالِ.

“Adapun menghilangkan rambut dari wajah, maka Muhannad berkata: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang menghilangkan rambut dari wajah, maka beliau berkata: “Tidak ada-apa bagi kaum wanita dan aku memakruhkannya bagi kaum laki-laki.” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz 1 hal. 105).

Dari kutipan di atas, sepertinya Syaikh Ibnu Taimiyah lupa atau memang tidak tahu terhadap hukum menggundul jenggot menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi. Karenanya, ia mengatakan bahwa tak seorang pun yang membolehkan atau tidak mengharamkan. Padahal Imam Ahmad sendiri dan Ibnu Qudamah memakruhkan.”

Abul Hasan al-Qoththon al-Maliki -rohimahulloh-:

واتفقوا على أن حلق اللحية مثلة لا تجوز

Para ulama sepakat bahwa sesungguhnya menggundul jenggot, termasuk tindakan mutslah yang tidak diperbolehkan. (al-Iqna’ fi Masailil Ijma’ 2/3953)”.

“Pernyataan tersebut sepertinya mengutip dari Ibnu Hazm dalam Maratib al-Ijma’. Dan kesepakatan di sini masih kontroversi, mengingat pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan makruh dalam riwayat di atas.”
“Imam Asy-Syafi’i -rohimahulloh- mengatakan:
ولا يأخذ من شعر رأسه ولا لحيته شيئا لان ذلك إنما يؤخذ زينة أو نسكا

“Ia (orang yang memandikan mayat) tidak boleh memangkas rambut kepala maupun jenggotnya si mayat, karena kedua rambut itu hanya boleh diambil untuk menghias diri dan ketika ibadah manasik saja”. (al-Umm 2/640)”.

“Tidak ada pengikut madzhab Syafi’i yang berbuat apa pun kepada mayat seperti menggundul rambut kepalanya, apalagi jenggotnya. Bahkan pengikut madzhab Syafi’i sangat taat terhadap Imam Syafi’i yang menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan. Ibnu Qayyimil Jauziyyah, murid terkemuka Syaikh Ibnu Taimiyah,  berkata dalam al-Ruh:
وَقَدْ ذُكِرَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ السَّلَفِ أَنَّهُمْ أَوْصَوْا أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَقْتَ الدَّفْنِ قَالَ عَبْدُ الْحَقِّ يُرْوَى أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ أَمَرَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قَبْرِهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ وَمِمَّنْ رَأَى ذَلِكَ الْمُعَلَّى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ الْخَلاَّلُ وَأَخْبَرَنِيْ الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ الْوَرَّاقُ حَدَّثَنِىْ عَلِى بْنِ مُوْسَى الْحَدَّادُ وَكَانَ صَدُوْقاً قَالَ كُنْتُ مَعَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَمُحَمَّد بْنِ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِىِّ فِيْ جَنَازَةٍ فَلَمَّا دُفِنَ الْمَيِّتُ جَلَسَ رَجُلٌ ضَرِيْرٌ يَقْرَأُ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ يَا هَذَا إِنَّ الْقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنَ الْمَقَابِرِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنِ قُدَامَةَ لأَحْمَدِ بْنِ حَنْبَلٍ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ مَا تَقُوْلُ فِيْ مُبَشِّرٍ الْحَلَبِيِّ قَالَ ثِقَةٌ قَالَ كَتَبْتَ عَنْهُ شَيْئًا قَالَ نَعَمْ فَأَخْبَرَنِيْ مُبَشِّرٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْعَلاَءِ اللَّجْلاَجِ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّهُ أَوْصَى إِذَا دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا وَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُوْصِيْ بِذَلِكَ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ فَارْجِعْ وَقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ. وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَاحِ الزَّعْفَرَانِيُّ سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ الْقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهَا وَذَكَرَ الْخَلاَّلُ عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ كَانَتِ اْلأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ. (ابن قيم الجوزية، الروح، ص/١٨٦-١٨٧).

“Telah disebutkan dari sekelompok ulama salaf, bahwa mereka berwasiat agar dibacakan al-Qur’an di sisi makam mereka ketika pemakaman. Imam Abdul Haqq berkata, diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa beliau berwasiat agar dibacakan surat al-Baqarah di sisi makamnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman. Al-Khallal berkata, “al-Hasan bin Ahmad al-Warraq mengabarkan kepadaku, “Ali bin Musa al-Haddad mengabarkan kepadaku, dan dia seorang yang dipercaya. Ia berkata, “Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari, ketika mengantar jenazah. Setelah mayit dimakamkan, seorang laki-laki tuna netra membaca al-Qur’an di samping makam itu. Lalu Ahmad berkata kepadanya, “Hai laki-laki, sesungguhnya membaca al-Qur’an di samping makam itu bid’ah.” Setelah kami keluar dari makam, Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal, “Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapat Anda tentang Mubasysyir al-Halabi?” Ia menjawab, “Dia perawi yang tsiqah (dapat dipercaya)”. Muhammad bin Qudamah berkata, “Anda menulis riwayat darinya?” Ahmad menjawab, “Ya.” Muhammad bin Qudamah berkata, “Mubasysyir mengabarkan kepadaku, dari Abdurrahman bin al-‘Ala’ al-Lajlaj, dari ayahnya, bahwasanya ia berwasiat, apabila ia dimakamkan, agar dibacakan permulaan dan penutup surat al-Baqarah di sebelah kepalanya. Ia berkata, “Aku mendengar Ibn Umar berwasiat demikian.” Lalu Ahmad berkata kepada Muhammad bin Qudamah, “Kembalilah, dan katakan kepada laki-laki tadi, agar membaca al-Qur’an di samping makam itu.” Al-Hasan bin al-Shabah al-Za’farani berkata, “Aku bertanya kepada al-Syafi’i tentang membaca al-Qur’an di samping kuburan, lalu ia menjawab, tidak apa-apa.” Al-Khallal meriwayatkan dari al-Sya’bi yang berkata, “Kaum Anshar apabila keluarga mereka ada yang meninggal, maka mereka selalu mendatangi makamnya untuk membacakan al-Qur’an di sampingnya.” (Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Ruh, hal. 186-187).

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab juga menyampaikan beberapa riwayat dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut berikut ini:‎

وَأَخْرَجَ سَعْدٌ الزَّنْجَانِيُّ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَأَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، ثُمَّ قَالَ: إِنِّيْ جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ لأَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى. وَأَخْرَجَ عَبْدُ الْعَزِيْزِ صَاحِبُ الْخَلاَّلِ بِسَنَدِهِ عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ، فَقَرَأَ سُوْرَةَ يس، خَفَّفَ اللهُ عَنْهُمْ، وَكَانَ لَهُ بِعَدَدِ مَنْ فِيْهَا حَسَناَتٌ. (الشيخ محمد بن عبد الوهاب النجدي، أحكام تمني الموت (ص/٧٥).

“Sa’ad al-Zanjani meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah secara marfu’: “Barangsiapa mendatangi kuburan lalu membaca surah al-Fatihah, Qul huwallahu ahad dan alhakumuttakatsur, kemudian mengatakan: “Ya Allah, aku hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini bagi kaum beriman laki-laki dan perempuan di kuburan ini,” maka mereka akan menjadi penolongnya kepada Allah.” Abdul Aziz –murid al-Imam al-Khallal–, meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari Anas bin Malik secara marfu’: “Barangsiapa mendatangi kuburan, lalu membaca surah Yasin, maka Allah akan meringankan siksaan mereka, dan ia akan memperoleh pahala sebanyak orang-orang yang ada di kuburan itu.” (Muhammad bin Abdul Wahhab, Ahkam Tamanni al-Maut, hal. 75).

Dalam kutipan di atas jelas sekali, anjuran membaca al-Qur’an di kuburan dari kaum Salaf, Imam al-Syafi’i, Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, pendiri Wahabi. Tetapi kaum Wahabi seperti Ustadz Firanda justru membid’ahkan dan mensyirikkan.”

“Imam Syafi’i -rohimahulloh- juga mengatakan :
والحِلاق ليس بجناية لان فيه نسكا في الرأس وليس فيه كثير ألم، وهو -وإن كان في اللحية لا يجوز- فليس كثير ألم ولا ذهاب شعر، لانه يستخلف، ولو استخلف الشعر ناقصا أو لم يستخلف كانت فيه حكومة

“Menggundul rambut bukanlah kejahatan, karena adanya ibadah dengan menggundul kepala, juga karena tidak adanya rasa sakit yang berlebihan padanya. Tindakan menggundul itu, meski tidak diperbolehkan pada jenggot, namun tidak ada rasa sakit yang berlebihan padanya, juga tidak menyebabkan hilangnya rambut, karena ia tetap akan tumbuh lagi. Seandainya setelah digundul, ternyata rambut yang tumbuh kurang, atau tidak tumbuh lagi, maka ada hukumah (semacam denda/sangsi, silahkan lihat makan al-hukuumah di Al-Haawi al-Kabiir 12/301)". (al-Umm 7/203)

Para ulama syafi'iyah telah memahami bahwa perkataan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah menunjukkan bahwa beliau mengharamkan menggunduli janggut. Diantara para ulama tersebut adalah :
Ibnu Rif'ah :‎

قال ابن رفعة: إِنَّ الشَّافِعِي قد نص في الأم على تحريم حلق اللحية

Ibnu Rif’ah -rohimahulloh- mengatakan: Sungguh Imam Syafi’i telah menegaskan dalam kitabnya Al-Umm, tentang haramnya menggundul jenggot. (Hasyiatul Abbadi ala Tuhfatil Muhtaj 9/376)”.
“Sebagian ulama Syafi’iyah, yaitu Imam Ibnu al-Rif’ah memang memahami bahwa Imam al-Syafi’i menghukum haram menggundul habis jenggot. Tetapi pendapat yang mu’tamad dalam madzhab al-Syafi’i adalah makruh.”

Al-Halimi (wafat 403 H), beliau berkata dalam kitab beliau Al-Minhaaj Fi Syu'abil Iimaan:
لا يحل لأحد أن يحلق لحيته ولا حاجبيه, وإن كان له أن يحلق سباله, لأن لحلقه فائدة, وهي أن لا يعلق به من دسم الطعام ورائحته ما يكره, بخلاف حلق اللحية, فإنه هجنة وشهرة وتشبه بالنساء, فهو كجب الذكر

"Tidak seorang pun dibolehkan memangkas habis jenggotnya, juga alisnya, meski ia boleh memangkas habis kumisnya. Karena memangkas habis kumis ada faedahnya, yakni agar lemak makanan dan bau tidak enaknya tidak tertinggal padanya. Berbeda dengan memangkas habis jenggot, karena itu termasuk tindakan hujnah, syuhroh, dan menyerupai wanita, maka ia seperti menghilangkan kemaluan" (Sebagaimana dinukil dalam kitab al-I’lam fi fawaaid Umdatil Ahkaam, karya Ibnul Mulaqqin (wafat 804 H), terbitan Daarul 'Aaashimah)”

“Ustadz Firanda sepertinya tidak membaca Kitab al-I’lam karya Ibnul Mulaqqin secara langsung, tetapi hanya hasil copas dari karya atau tulisan orang lain. Karena tulisan di atas tidak mengutip pernyataan kitab al-I’lam secara utuh, yang akhirnya menyimpulkan makruh menurut madzhab al-Syafi’i. Selengkapnya Ibnul Mulaqqin berkata demikian:
وقال الحليمي في منهاجه: لا يحل لأحد أن يحلق لحيته ولا حاجبيه، وإن كان له أن يحلق سباله، لأن لحلقه فائدة، وهي أن لا يعلق به من دسم الطعام ورائحته ما يكره، بخلاف حلق اللحية، فإنه هجنة وشهرة وتشبه بالنساء، فهو كجب الذكر، وما ذكره في حق اللحية حسن وإن كان المعروف في المذهب الكراهة.

"Al-Halimi berkata dalam Minhaj-nya: “Tidak seorang pun dibolehkan memangkas habis jenggotnya, juga alisnya, meski ia boleh memangkas habis kumisnya. Karena memangkas habis kumis ada faedahnya, yakni agar lemak makanan dan bau tidak enaknya tidak tertinggal padanya. Berbeda dengan memangkas habis jenggot, karena itu termasuk tindakan hujnah, syuhroh, dan menyerupai wanita, maka ia seperti menghilangkan kemaluan". Apa yang disebutkan oleh al-Halimi tentang jenggot itu bagus, meskipun yang diketahui dalam madzhab al-Syafi’i hukumnya makruh.” (Sebagaimana dinukil dalam kitab al-I’lam fi fawaaid Umdatil Ahkaam, karya Ibnul Mulaqqin (wafat 804 H), terbitan Daarul 'Aaashimah)”

Coba Anda perhatikan, ternyata Ibnul Mulaqqin, mengomentari pernyataan al-Halimi memberikan penjelasan, bahwa hukum menggundul jenggot menurut madzhab Syafi’i yang populer adalah makruh, bukan haram. Komentar tersebut ternyata tidak disampaikan oleh si Wahabi.”

Abu Hamid Al-Gozzali rahimahullah (wafat tahun 505 H0, beliau berkata :‎

وأما نتفها في أول النبات تشبها بالمرد فمن المنكرات الكبار فإن اللحية زينة الرجال

"Adapun mencabuti jenggot di awal munculnya, agar menyerupai orang yang tidak punya jenggot, maka ini termasuk kemungkaran yang besar, karena jenggot adalah penghias bagi laki-laki" (Ihya’ Ulumiddin 1/280)

Akan tetapi al-Gozali memberi keringanan jika jenggot yang panjangnya lebih dari satu genggam boleh untuk dipotong, dengan syarat tidak sampai mencukur gundul jenggot tersebut. Beliau rahimahullah berkata :
والأمر في هذا قريب إن لم ينته إلى تقصيص اللحية

"Perkaranya dalam masalah ini adalah mendekati, jika tidak sampai mencukur habis jenggot" (Ihyaa Uluumiddin 1/277)”.

“Kalau kutipan di atas adalah murni kutipan Ustadz Firanda dari kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Hujjatul Islam al-Ghazali, alangkah tercelanya beliau. Mengutip pernyataan Imam al-Ghazali hanya sepotong. Tapi kalau Ustadz Firanda mengutip dari gurunya, maka alangkah tercelanya sang guru yang tidak jujur tersebut. Karena kutipan sepotong di atas bersifat khusus, yaitu ketika mencukur jenggot karena bertujuan menyerupai murdi/amrad, dan hukumnya makruh bukan haram. Sedangkan al-Ghazali sendiri, sebelumnya telah menegaskan begini:‎

وَفِي اللِّحْيَةِ عَشْرُ خِصَالٍ مَكْرُوْهَةٍ وَبَعْضُهَا أَشَدُّ كَرَاهَةً مِنْ بَعْضٍ خِضَابُهَا بِالسَّوَادِ وَتَبْيِيْضُهَا بِالْكِبْرِيْتِ وَنَتْفُهَا وَنَتْفُ الشَّيْبِ مِنْهَا وَالنُّقْصَانُ مِنْهَا

“Mengenai jenggot terdapat sepuluh perkara yang makruh, sebagian lebih kuat kemakruhannya dari pada yang lain. Yaitu menyemirnya dengan warna hitam, memutihkannya dengan belerang, mencabutnya, mencabut ubannya saja dan mengurangi sebagiannya.” (Hujjatul Islam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, juz 1 hal, 277).

Ahmad Zainuddin Al-Malibaari Al-Fannaani (wafat tahun 1310 H), ia berkata :
وَيَحْرُمُ حلقُ لِحْيَةٍ

"Dan diharamkan menggundul jenggot"

(Fathul Mu'iin Bi Syarh Qurrotil 'Ain Bi Muhimmaatid diin, hal 305, terbitan Daar Ibnu Hazm)

Tentunya tidak dipungkiri bahwa sebagian ulama madzhab Syafi'iyah memandang mencukur habis jenggot hanyalah makruh dan tidak haram. Akan tetapi meskipun makruh namun ia merupakan perkara yang dibenci dan hendaknya ditinggalkan.”

“Menggundul Jenggot menurut pendapat mu’tamad dan populer madzhab al-Syafi’i adalah makruh. Perkara makruh memang dibenci, tetapi masih lebih dibenci sikap sebagian Wahabi yang curang dalam mengutip pendapat ulama. Curang dalam mengutip pendapat ulama itu termasuk kebohongan yang jelas-jelas tidak terpuji dan termasuk dosa besar.” Wallahu a’lam.

Ibn Daqiq al-‘Ied berkata:

لَا أَعْلَمُ أَحَدًا فَهِمَ مِنَ الْأَمْرِ فِي قَوْلِهِ أَعْفُوا اللِّحَى تَجْوِيزَ مُعَالَجَتِهَا بِمَا يُغْزِرُهَا كَمَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ

Artinya: “Saya tidak mengetahui ada orang yang memahami perintah Nabi dalam sabda beliau, ‘peliharalah jenggot’ dengan kebolehan memberikantreatment tertentu agar jenggot tersebut tumbuh lebat, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang.” (Fathul Bari [10/351]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/224])

Jadi, bagi yang memang dari sononya tidak punya jenggot, tidak usah sedih, dan tidak usah juga membeli penumbuh jenggot berharga mahal untuk merealisasikan perintah Nabi ini. Perintah memelihara jenggot ini hanya untuk yang dikaruniai jenggot oleh Allah ta’ala.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Kemasyhuran Qiro'ah Sanad Imam 'Ashim

Berbicara tentang al-Qur’an memang bagai lautan yang tak bertepi, semakin jauh ia dikejar semakin luas pula jangkauannya. Dari aspek manapun al-Qur’an dikaji dan diteliti, ia tidak pernah habis atau basi, bahkan semakin kaya dan selalu aktual. Mungkin itulah salah satu mukjizat yang terpancar dari kitabullah sebagai bukti kebenaran risalah Allah yang dititipkan pada Rasul-Nya, yaitu al-Islam. Aspek bacaan al-Qur’an atau qiraah –dalam pengertian yang luas, bukan hanya sekedar melafadzkan huruf Arab dengan lancar- merupakan salah satu aspek kajian yang paling jarang diperbincangkan baik kalangan santri atau kaum terpelajar, padahal membaca al-Qur’an tergolong ibadah mahdlah yang paling utama. Hal ini barangkali bisa dimengerti, mengingat kurangnya kitab atau buku yang secara panjang lebar mengupas ilmu qiraah dan minimnya guru al-Qur’an yang memiliki kemampuan memadahi tentang itu dan juga terlalu padatnya disiplin ilmu yang dipelajari. 

Tingginya semangat para “santri” mempelajari dan mencari dalil batalnya wudlu – misalnya – dari al-Qur’an, hadis dan pendapat-pendapat ulama, ternyata tidak diikuti oleh semangat mentashihkan bacaan atau mencari dalil bacaan saktah, madd, ghunnah yang sama-sama wajib dan penting bagi  kaum muslimin.

Dari fenomena di atas perlu kiranya ditumbuhkan lagi semangat untuk mengkaji aspek bacaan al-Qur’an yang masih “misteri” bagi kebanyakan orang agar kembali diminati sebagaimana begitu semangatnya anak-anak kecil di tempat-tempat pendidikan al-Qur’an untuk bisa “membaca” dengan lancar.

Sebagai akibat dari kurangnya pengetahuan mereka tentang bacaan al-Qur’an, seringkali dianggap ilmu qiraah (yang dipersempit dengan ilmu tajwid) itu hanya mempelajari makhraj dan sifat huruf, hukum nun atau mim mati dan tanwin, dan mad saja, sehingga mereka membaca al-Qur’an apa adanya sebagaimana yang terdapat dalam tulisan mushaf atau rasm, padahal ada banyak kalimat yang cara bacanya tidak sama persis dengan tulisannya, seperti bacaan imalah, tashil, isymam dan lain sebagainya

Dalam Ilmu Qira’at ada sepuluh Imam Qira’at yang sangat masyhur, bacaan mereka disepakati oleh Ulama Qira’at sebagai bacaan yang mutawatir, artinya bacaan yang betul-betul asli berasal dari nabi Muhammad dari malaikat Jibril dari Allah. 

Sepuluh Imam Qira’aat tersebut ialah : 
1. Nafi’ bin Abi Nu’aim al-Ashbihani. (70-169 H)
Nama lengkap beliau adalah Abu Ruwaim Nafi’ bin ‘Abdurrahman bin Abu Nu’aim al-Laitsi. Berasal dari Isfahan dan wafat di Madinah. Beliau seorang yang shalih dan terpercaya yang menjadi tokoh qira’at di Madinah, sehingga para penduduk di sana menganut qiraatnya. Syaikh (guru-guru) nya mencapai 70 orang. Di antara orang yang meriwayatkan darinya adalah Qalun dan Warasy.

Qalun adalah Abu Musa ‘Isa bin Mina az-Zarqi al-Madani (121-220 H). Beliau adalah maula Bani Zuhrah. Sedangkan Warasy adalah ‘Utsman bin Sa’id al-Qibthi al-Mishri (110-197 H).‎

2. Ibn Katsir, Abdullah bin Katsir al-Makki. (45-120 H)

Nama lengkap beliau adalah ‘Abdullah bin Katsir ad-Dauri al-Makki. Beliau adalah seorang tabi’in berdarah Persia dan pernah menjadi imam qira’at di Makkah. Beliau meriwayatkan dari ‘Abdullah az-Zubair, Abu Ayyub al-Anshari, Anas bin Malik, dan sahabat lainnya. Di antara orang yang meriwayatkan darinya adalah al-Bazzi dan ‎Qunbul.

Al-Bazzi adalah Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdullah bin al-Hasan al-Bazzi (170-250 H). beliau adalah seorang mu’adzdzin di masjid al-Haram, Makkah. Sedangkan Qunbul adalah Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Khalid bin Sa’id al-Makki al-Makhzumi (195-291 H).
3. Abu ‘Amr , Zaban bin al-‘Ala’. (w. 118 H)

Nama lengkap beliau adalah Abu ‘Amir Zabban bin al-A’la bin ‘Ammar al-Mazini al-Bashri radhiyallahu ‘anhu. Beliau merupakan seorang guru besar para perawi dan imam di bidang bahasa arab dan qira’at al-Quran, yang terkenal zuhud dan terpercaya. Di antara imam qira’at yang tujuh (al-Qurra’as-Sab’ah), beliau adalah yang paling banyak memiliki syaikh (guru). Beliau meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dan pernah pula belajar qira’at dari Hasan al-Bashri, Abu al-‘Aliyah Sa’id bin Jubair, ‘Ahim bin Abi an-Najud dan lainnya. Di antara orang yang meriwayatkan darinya adalah Hafs ad-Duri dan as-Susi.

Hafs ad-Duri adalah Hafs bin ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ad-Duri al-Azdi al-Baghdadi an-Nahwi (w. 246 H). Beliau adalah seorang imam qira’at dan merupakan orang pertama yang menghimpun ilmu-ilmu qira’at al-Quran. Sedangkan as-Susi adalah Abu Syu’aib bin Shalih bin Ziyad as-Susi ar-Ruqi (w. 261 H). Beliau adalah seorang ahli qira’at yangdhabith lagi terpercaya.‎

4. Ibn ‘Amir Abdullah bin ‘Amir as-Syami. (w 118 H)

Beliau adalah ‘Abdullah bin ‘Amr bin Yazid al-Yahsubi ad-Dimasqi. Seorang tabi’in yang pernah menjabat ketua peradilan (al-Qadhi) di Damaskus pada masa pemerintahan khalifah al-Walid bin ‘Abdul Malik. Beliau dilahirkan di Balqa’ dan wafat di Damaskus. Beliau meriwayatkan dari Abu ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu yang juga menjadi imam qira’at di Syam. Juga meriwayatkan dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Beliau adalah seorang yang ‘alim dan terpercaya, serta menjadi imam shalatnya ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Di antara orang yang meriwayatkan darinya adalah Hisyam dan ‎Ibnu Dzakwan.

Hisyam adalah Abu al-Walid as-Salmi ad-Dimasqi (153-245 H), seorang imam ahli hadits, qiraat, khatib, dan mufti bagi penduduk Damaskus. Sedangkan Ibnu Dzakwan adalah ‘Abdullah bin Ahmad bin Basyr bin Dzakwan al-Quraisy ad-Dimasqi (171-242 H), seorang qari’ dan imam masjid Damaskus.
5. ’Ashim bin Abi an-Najud. (w. 127/128 H)

Nama lengkap beliau adalah ‘Ashim bin Abu an-Nujud al-Asadi, dinamakan pula Abu Bakar bin Bahdallah al-Hannath. Beliau adalah maula Bani Asad, seorang tabi’in yang menjadi tokoh qira’at di Kufah. Di antara orang yang meriwayatkan darinya adalahSyu’bah dan Hafs.

Syu’bah adalah Abu Bakar bin ‘Iyash al-Asadi an-Nihyali al-Kufi al-Hannath (95-193 H). Sedangkan Hafs adalah Hafs bin Sulaiman bin Mughirah al-Kufi. Beliau adalah seorang yang dhabith lagi terpercaya.

6. Hamzah bin Habib az-Zayyat.  (80-154 H)

Nama lengkap beliau adalah Hamzah bin Habib ‘Imarah az-Zayyad al-Kufi at-Taimi. Beliau adalah seorang yang terkenal sesudah ‘Ashim dan A’masy yang ahli ibadah dan zuhud. Beliau belajar qira’at dari banyak syaikh, seperti imam Ja’far ash-Shadiq dan memilih madzhab qira’atnya pada Hamran yang mengajarkan qira’atnya Ibnu Mas’udradhiyallahu ‘anhu. Di antara orang yang meriwayatkan darinya adalah Khalaf bin Hisyam dan Khalad.

Khalaf adalah Khalaf bin Hisyam, Abu Muhammad al-Kufi al-Bazzaz al-Baghdadi (150-229 H). Sedangkan Khalad adalah Abu ‘Isa Khalid asy-Syaibani al-Kufi (w. 220 H).

7. Kisa’I, Ali bin Hamzah. (119-189 H)

Beliau memiliki nama lengkap Abu al-Hasan ‘Ali bin Hamzah al-Kufi. Seorang tokoh qira’at di Kufah sesudah imam Hamzah az-Zayyad, yang banyak menulis kitab tentang bahasa, nahwu, dan qiraat. Di antara orang yang meriwayatkan darinya adalah al-Harits dan Hafs ad-Duri.

Al-Harits adalah al-Laits bin Khalid al-Baghdadi (w. 240 H). Sedangkan Hafs adalah juga murid dari Abu ‘Amr yang telah disebutkan sebelumnya.

Beraneka ragamnya qira’at yang shahih seperti yang sudah disebutkan di atas, mengandung banyak fungsi dan kegunaan, di antaranya adalah menunjukkan betapa al-Quran sangat terjaga dari segala bentuk perubahan atau pemalsuan serta penyimpangan. Padahal al-Quran memiliki sekian banyak segi bacaan (qira’at) yang berbeda.

Di samping itu, keragaman ini sangat memudahkan kita semua, kaum muslimin, untuk membaca al-Quran sesuai dengan kemampuan kita masing-masing, sekaligus untuk mempermudah dalam memahami makna al-Quran. Karena antara sebagian qira’at dapat menjadi penjelas bagi qira’at lainnya yang masih bersifat mujmal dalam maknanya. 

8. Abu Ja’far, Yazid bin al-Qa’qa’. 
Beliau adalah Yazid bin Qo'qi, wafat di Madinah pada 128 H dan dikatakan pula132 H. Dua orang perawinya adalah Ibn Wardan dan Ibn Jimas. Ibn Wardan adalah Abu Haris isa bin Wardan al-Madani, wafat di Madinah pad awal 160 H. Sedang Ibn Jimaz adalah Abu Rabi' Sulaiman bin Muslim bin Jimaz al-Madani dan wafat pada akhir 170 H.

9. Ya’qub al-Hadlrami. 
Beliau adalah Abu Muhammad Ya'kub bin Ishaq bin Zaid al-Hadrami, wafat di Basrah pada 205 H. tetapi dikatakan pula pada 185 H. Dua orang perawinya adalah Ruwais dan Rauh.Ruwais adalah Abu Abdullah Muhammad bin Mutawakkil al-Lu'lu'i al-Basri. Ruwais adalah julukannya, wafat di Basrah pada 238 H. SedangRauh adalah Abu Hasan Rauh bin Abdul Mu'in al-Basri an-Nahwi. Beliau wafat 234 H.atau 235 H.

10. Khalaf al-bazzar (al-Bazzaz). 

Beliau adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Sa'lab al-Bazar al-Baghdadi. Beliau wafat pada 229 H, tetapi dikatkan pula bahwa kewafatannya tidak diketahui. Dua orang perawinya adalah Iskhaq dan Idris. Iskaq adalah Abu Ya'kub Ishaq bin Ibrahim bin Utsman al-Warraq al-Marwazi kemudian al-Baghdadi . Beliau wafat pada 286 H. Sedang Idris adalah Abul Hasan Idris bin Abdul Karim al-Baghdadi al-Haddad. Beliau wafat pada hari Idul Adha 292 H.

Setiap Imam tersebut mempunyai banyak murid. Di antara mereka ada murid kenamaan yang sangat mahir meriwayatkan bacaan Al-Qur’an dari imam-imam mereka atau murid-muridnya. 

Dalam perjalanan waktu, dan karena seleksi ilmiah dan alamiah, muncul nama-nama yang akhirnya dijadikan sebagai referensi yang sangat valid dan sangat dipercaya sebagai bacaan yang merefleksikan bacaan Imam-Imam qira’at sebagaimana di atas. 

Mereka yang disebut sebagai para perawi dari Imam-Imam sepuluh adalah : 
1. Nafi’ kedua perawinya : Qalun dan Warsy. 
2. Ibn Katsir : al-Bazzi dan Qunbul. 
3. Abu ‘Amr : ad-Duri dan as-Susi. 
4. Ibn ‘Amir : Hisyam dan Ibn Dzakwan. 
5. ‘Ashim: Syu’bah dan Hafsh. 
6. Hamzah : Khalaf dan Khallad. 
7. Al-Kisa’I : Abu al-Harits dan ad-Duri al-Kisa’i. 
8. Abu Ja’far : Ibn Jammaz dan Ibn Wardan. 
9. Ya’qub : Rauh dan Ruwais. 
10. Khalaf : Ishaq dan Idris. 

Yang akan kita bicarakan disini adalah Imam Hafsh perawi utama Imam ‘Ashim.

Riwayat Hidup Imam Hafsh. 
Namanya Hafsh bin Sulaiman bin al-Mughirah, Abu Umar bin Abi Dawud al-Asadi al-Kufi al-Ghadliri al-Bazzaz. Beliau lahir pada tahun 90 H. Pada masa mudanya beliau belajar langsung kepada Imam ‘Ashim yang juga menjadi bapak tirinya sendiri. 

Hafsh tidak cukup mengkhatamkan Al-Qur’an satu kali tapi dia mengkhatamkan Al-Qur’an hingga beberapa kali, sehingga Hafsh sangat mahir dengan Qira’at ‘Ashim. Sangatlah beralasan jika Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa : “riwayat yang sahih dari Imam ‘Ashim adalah riwayatnya Hafsh”. Abu Hasyim ar-Rifa’I juga mengatakan bahwa Hafsh adalah orang yang paling mengetahui bacaan Imam ‘Ashim. 

Imam adz-Dzahabi memberikan penilaian yang sama bahwa dalam penguasaan materi Qira’at, Hafsh adalah merupakan seorang yang tsiqah (terpercaya) dan tsabt (mantap). Sebenarnya Imam ‘Ashim juga mempunyai murid-murid kenamaan lainnya, salah satu dari mereka yang akhirnya menjadi perawi yang masyhur adalah Syu’bah Abu bakar bin al-‘Ayyasy. 

Hanya saja para ulama lebih banyak mengunggulkan Hafsh daripada Syu’bah. Imam Ibn al-Jazari dalam kitabnya “Ghayah an-Nihayah fi Thabaqat al-Qurra’ ” tidak menyebutkan guru-guru Hafsh kecuali Imam ‘Ashim saja. Sementara murid-murid beliau tidak terhitung banyaknya, mengingat beliau mengajarkan Al-Qur’an dalam rentang waktu yang demikian lama. 

Di antara murid-murid Hafsh adalah : 
Husein bin Muhammad al-Murudzi, Hamzah bin Qasim al-Ahwal, Sulaiman bin Dawud az-Zahrani, Hamd bin Abi Utsman ad-Daqqaq, al-‘Abbas bin al-Fadl ash-Shaffar, Abdurrahman bin Muhamad bin Waqid, Muhammad bin al-fadl Zarqan, ‘Amr bin ash-Shabbah, Ubaid bin ash-Shabbah, Hubairah bin Muhammad at-Tammar, Abu Syu’aib al-Qawwas, al-Fadl bin Yahya bin Syahi, al-Husain bin Ali al-Ju’fi, Ahmad bin Jubair al-Inthaqi dan lain-lain. 

Hafsh memang seorang yang menghabiskan umurnya untuk berkhidmah kepada Al-Qur’an. Setelah puas menimba ilmu Qira’at kepada Imam ‘Ashim, beliau berkelana ke beberapa negeri antara lain Baghdad yang merupakan Ibukota negara pada saat itu. Kemudian dilanjutkan pergi menuju ke Mekah. Pada kedua tempat tersebut, Hafsh mendarmabaktikan ilmunya dengan mengajarkan ilmu Qira’at khususnya riwayat ‘Ashim kepada penduduk kedua negeri tersebut. 

Bisa dibayangkan berapa jumlah murid di kedua tempat itu yang menimba ilmu dari beliau. Jika kemudian riwayat Hafsh bisa melebar ke seantero negeri, hal tersebut tidaklah aneh mengingat kedua negeri tersebut adalah pusat keislaman pada saat itu. 

Sanad Bacaan Hafsh. 
Sanad ( runtutan periwayatan) Imam Hafsh dari Imam ‘Ashim berujung kepada sahabat Ali bin Abi Thalib. Sementara bacaan Syu’bah bermuara kepada sahabat Abdullah bin Mas’ud. Hal tersebut dikemukakan sendiri oleh Hafsh ketika beliau mengemukakan kepada Imam ‘Ashim, kenapa bacaan Syu’bah banyak berbeda dengan bacaannya ? padahal keduanya berguru kepada Imam yang sama yaitu ‘Ashim. Lalu ‘Ashim menceritakan tentang runtutan sanad kedua rawi tersebut. 

Runtutan riwayat Hafsh adalah demikian: Hafsh - ‘Ashim - Abu Abdurrahman as-Sulami- Ali bin Abi Thalib. 
Sementara runtutan periwayatan Syu’bah adalah demikian: 
Syu’bah- Ashim- Zirr bin Hubaisy-Abdullah bin Mas’ud. 

Penyebaran Qira’at di Negeri-Negeri Islam. 

Pada saat ini Qira’at yang masih hidup di tengah-tengah umat Islam di seluruh dunia tinggal beberapa saja, yaitu : 

1. Bacaan Imam Nafi’ melalui riwayat Qalun masih digunakan oleh masyarakat Libia dan Tunisia pada umumnya. Sementara riwayat Warsy masih digunakan oleh masyarakat di Afrika Utara (al-Maghrib al-‘Arabi) seperti Aljazair, Maroko, Mauritania. 
Sedangkan masyarakat di Sudan masih menggunakan empat riwayat yaitu : Qalun, Warsy, ad-Duri Abu ‘Amr, dan Hafsh. 

2. Bacaan riwayat ad-Duri Abu ‘Amr masih banyak digunakan oleh kaum Muslimin di Somalia, Sudan, Chad, Nigeria, dan Afrika tengah secara umum. Pada waktu-waktu yang lalu riwayat ad-Duri juga digunakan oleh orang Yaman. 

Hal itu terbukti bahwa Tafsir Fath al-Qadir karya asy-Syaukani tulisan Al-Qur’annya mengikuti riwayat ad-Duri. Adanya riwayat ad-Duri di Yaman barangkali rembesan dari Sudan. Mengingat hubungan kedua negera tersebut telah terjalin sejak dahulu. 

3. Bacaan Al-Qur’an riwayat Hafsh dari ‘Ashim adalah bacaan yang paling banyak tersebar di seantero dunia Islam. Mengingat masih hidupnya beberapa bacaan melalui riwayat tersebut di atas, pemerintah Saudi Arabia melalui Mujamma’ Malik Fahd bin Abdul Aziz, telah mencetak beberapa Mushaf Al-Qur’an dengan lima riwayat yaitu : Hafsh, Qalun, Warsy, ad-Duri dan terakhir adalah Syu’bah. 

Latar Belakang Penyebaran Qira’at di Dunia Islam. 

Sebagaimana diketahui bahwa pada masa sahabat Umar bin Khaththab, banyak negeri-negeri di Irak dan Syam jatuh ke tangan kaum Muslimin. Banyak permintaan dari kaum Muslimin di negeri-negeri tersebut kepada sahabat Umar agar mengirimkan guru-guru Al-Qur’an ke negeri-negeri mereka. Maka sahabat Umar mengirimkan beberapa utusannya, antara lain adalah sahabat Ibnu Mas’ud diutus ke Kufah, Abu Musa al-Asy’ari diutus ke Basrah, Abu ad-Darda’ diutus ke Syam (Syiria). 

Bacaan mereka itulah yang akhirnya menyebar ke negeri negeri tersebut. Pada masa sahabat Usman, terutama setelah penulisan ulang mushaf Al-Qur’an, sahabat Usman mengirimkan beberapa guru Al-Qur’an bersama dengan mushaf yang baru saja ditulis ke negeri-negeri Basrah, Kufah, dan Syam. 

Penduduk negeri-negeri tersebut berseteru tentang bacaan Al-Qur’an mereka pada saat perang di Azerbaijan dan Armenia di Uni Soviet. Pada saat itu sahabat Usman mengutus al-Mughirah bin Abi Syihab al-Makhzumi ke Syam. Dari Syam lalu muncul seorang Qari’ terkenal yaitu Ibn ‘Amir. Ibn al-Jazari mengatakan bahwa bacaan penduduk negeri Syam sampai pada tahun 500 H, menggunakan Qira’at Ibn ‘Amir. 

Adapun di negeri Basrah di Iraq setelah masa Abu Musa al-Asy’ari muncullah beberapa Imam Qira’at. Di antara mereka adalah Imam Abu ‘Amr al-Bashri dan Ya’qub al-Hadlrami. Sampai pada tahun 200 H, masyarakat Basrah masih menggunakan Qira’at Abu ‘Amr al-Bashri. Kemudian mereka beralih ke Qira’at Ya’qub al-Hadlrami sampai abad ke 5 H sebelum akhirnya beralih ke riwayat Hafsh pada masa Turki Usmani. 

Sementara di negeri Kufah dimana Abdullah bin Mas’ud dikirim untuk mereka, muncul banyak ahli Qira’at. Di antara mereka adalah Imam ‘Ashim. Lalu Imam ‘Ashim sebagaimana diutarakan di atas mengajarkan kepada murid-muridnya antara lain Hafsh dan Syu’bah. Keterkaitan penduduk Kufah dengan Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib adalah sesuatu yang sangat wajar. Penduduk Kufah dalam sejarah perpolitikan adalah pengikut setia (syi’ah) Ali bin Abi Thalib. Sedangkan Ibn Mas’ud adalah orang pertama yang mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada penduduk Kufah. Sehingga mereka bangga dengan Ibn Mas’ud. 
Disamping bacaan Imam ‘Ashim, di Kufah juga tersebar bacaan Imam Hamzah, perawi Hamzah al-Kisa’i dan Khalaf. 

Tentang tersebarnya bacaan Hamzah, Ibn Mujahid berkata dalam kitabnya as-Sab’ah, ketika mengutip perkataan Muhammad bin al-Haitsam al-Muqri :

 ) أدركت الكوفة ومسجدها الغالب عليه قراءة حمزة , ولا أعلمنى أدركت حلقة من حلق المسجد يقرءون بقراءة عاصم ) 

Artinya : aku menjumpai penduduk Kufah, bacaan yang dibaca di masjid-masjid mereka adalah bacaan Hamzah. Aku tidak menjumpai beberapa kelompok pengajian Al-Qur’an di masjid-masjid Kufah dengan bacaan Imam ‘Ashim. 

Akan halnya bacaan al-Kisa’i, dalam banyak hal banyak persamaannya dengan bacaan Imam Hamzah terutama dalam bab Imalah. 

Ibn Mujahid dalam kitabnya “as-Sab’ah” yang ditulis sekitar tahun 300 H menjelaskan, bahwa bacaan Al-Qur’an pada negeri-negeri Islam adalah sebagai berikut : di Mekah dengan bacaan Ibn Katsir, di Madinah dengan bacaan Nafi’, di Basrah dengan bacaan Abu ‘Amr al-Bashri. 

Sementara di Kufah dengan bacaan ‘Ashim, Hamzah dan al-Kisa’i. Sementara itu Imam Makki al-Qaisi (w. 437 H) berkata tentang bacaan penduduk negeri-negeri Islam pada masa lalu:

 ) وكان الناس على رأس المائتين بالبصرة على قراء ة أبى عمرو البصرى ويعقوب الحضرمى , وعلى أهل الكوفة قراءة حمزة وعاصم , وبالشام على قراءة ابن عامر , وبمكة على قراءة ابن كثير , وبالمدينة على قراءة نافع , واستمروا على ذلك . فلما كان على رأس الثلاث مئة اثبت ابن مجاهاد اسم الكسائى وحذف يعقوب)

Artinya : pada permulaan tahun 200 H, masyarakat di Basrah mengikuti bacaan Abu ‘Amr al-Basri dan Ya’qub. Di Kufah mengikuti bacaan Hamzah dan ‘Ashim. Di Syam mengikuti bacaan Ibn ‘Amir. Di Madinah mengikuti bacaan Nafi’. Kemudian pada penghujung tahun 300 H, Ibn Mujahid memasang nama al-Kisa’i dan mengganti Ya’qub. 

Tersebarnya Riwayat Hafsh. 

Banyak dibicarakan oleh komunitas Al-Qur’an baik di dunia Arab atau lainnya tentang penyebab tersebarnya riwayat Hafsh di dunia Islam. Sebagian kalangan mengatakan bahwa pemerintahan Turki Usmani (sekitar 922 H/1516 M) mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam hal ini, yaitu melalui kekuatan politik kekuasaan. Sebagaimana diketahui bahwa pemerintahan Turki Usmani pada saat mencetak mushaf, mereka memilih bacaan riwayat Hafsh. Lalu mereka kembangkan bacaan riwayat ini ke seluruh negeri. 

Namun pendapat ini dibantah oleh Ghanim Qadduri al-Hamd. Dia mengatakan bahwa riwayat Hafsh sebenarnya telah menyebar di beberapa tempat. Kemudian Ghanim menyebutkan perkataan Abu Hayyan dalam tafsirnya “al-Bahr al-Muhith”: tentang riwayat Warsy dan ‘Ashim :

 ( وهى (رواية ورش ) الرواية التى تنشأ عنها ببلادنا ( الأندلس ) ونتعلمها فى المكتب . وقال عن قراءة عاصم : وهى القراءة التى ينشأ عليها أهل العراق ) ( البحر 115/1) 

Ghanim kemudian merujuk kepada perkataan Muhammad al-Mar’asyi yang hidup pada abad ke 12 H (w. 1150 H) yang disebut juga dengan Savhaqli Zadah:

 ( والمأخوذ فى ديارنا ( عش مدينة فى جنوب تركيا الآن ) قراءة عاصم برواية حفص عنه )

Artinya : yang dijadikan patokan di negeri kami (Turki) adalah bacaan ‘Ashim riwayat Hafsh. Dalam pandangan penulis ada beberapa penyebab tentang menyebarnya riwayat Hafsh. 

Ada yang berupa faktor alamiah yaitu riwayat tersebut mengalir dan menyebar dengan sendirinya seperti mengalirnya air sebagaimana juga tersebarnya madzhab-madzhab fikih, dan ada juga faktor ilmiah yaitu dilihat dari materi bacaan Hafsh itu sendiri. 

Secara garis besar bisa penulis rangkum sebagai berikut : 

1.Jika dilihat dari segi materi ilmiah, maka riwayat Hafsh adalah riwayat yang relatif mudah dibaca bagi orang yang non Arab mengingat beberapa hal : 

Pertama : tidak banyak bacaan Imalah, kecuali pada kata : (مجراها ) pada surah Hud. Hal ini berbeda dengan bacaan Syu’bah, Hamzah, al-Kisa’i, Abu ‘Amr dan Warsy yang banyak membaca Imalah. 

Kedua : tidak ada bacaan Shilah Mim Jama’ sebagaimana apa yang kita lihat pada bacaan Qalun dan Warsy. Bacaan Shilah membutuhkan kecermatan bagi pembaca, mengingat bacaan ini tidak ada tanda tertulisnya. 

Ketiga : Dalam membaca Mad Muttashil dan Munfashil, bacaan riwayat Hafsh terutama thariq Syathibiyyah tidak terlalu panjang sebagaimana bacaan Warsy dan Hamzah yang membutuhkan nafas yang panjang.
Bahkan dalam thariq Thayyibah, yaitu yang melalui jalur ‘Amr bin ash-Shabbah thariq Zar’an dan al-Fil bacaan Hafsh dalam Mad Munfashil bisa Qashr (2 harakat). 

Keempat : dalam membaca Hamzah baik yang bertemu dalam satu kalimah atau pada dua kalimah, baik berharakat atau sukun, riwayat Hafsh cenderung membaca tahqiq yaitu membaca dengan tegas (syiddah) dengan tekanan suara dan nafas yang kuat, sehingga terkesan kasar. 

Hal ini berbeda dengan bacaan Nafi’ melalui riwayat Warsy, Qalun. Bacaan Abu ‘Amr melalui riwayat ad-Duri dan as-Susi. Bacaan Ibn Katsir melalui riwayat al-Bazzi dan Qunbul yang banyak merubah bacaan Hamzah menjadi bacaan yang lunak. 

Contohnya adalah pada Hamzah sakinah atau jika ada dua Hamzah bertemu dalam satu kalimah atau dua kalimah. Imam Hafsh mempunyai bacaan tashil baina baina hanya pada satu tempat saja yaitu pada kalimat : ( ءأعجمى ) pada surah Fushshilat : 44. Kelima : Hafsh mempunyai bacaan Isymam hanya pada satu tempat yaitu pada kata : ( لا تأمنا ) sebagaimana juga bacaan imam lainnya selain Abu Ja’far. 

Kelima: Hafsh mempunyai bacaan Mad Shilah Qashirah hanya pada kalimat : ويخلد فيه مهانا ) ) pada surah al-Furqan: 69. Hal ini berbeda dengan bacaan Ibn Katsir yang banyak membaca Shilah Ha’ Kinayah. 

2.Jika dilihat dari awal kemunculan bacaan ‘Ashim yaitu di Kufah atau Iraq, secara politis, negeri Kufah (Iraq) adalah negerinya pengikut Ali (Syi’ah). Bacaan Hafsh juga bermuara kepada sahabat Ali. Kemudian Negeri Baghdad, dimana Hafsh pernah mengajar disini, adalah Ibukota negara (Abbasiyyah) pada masa itu, pusat kegiatan ilmiah, sehingga penyebarannya relatif lebih mudah. 

Jika kemudian Hafsh bermukim di Mekah kiblat kaum Muslimin yang banyak dihuni mukimin dari berbagai penjuru dunia dan mengajar Al-Qur’an di sini, maka bisa dibayangkan pengaruh bacaannya. 

Penulis juga melihat adanya hubungan yang cukup signifikan antara madzhab fikih dan Qira’at. Sebagai contoh: riwayat Warsy adalah riwayat yang banyak diikuti oleh masyarakat di Afrika Utara. Di sana madzhab fikih yang banyak dianut adalah madzhab Maliki. Masa hidup Imam Malik adalah sama dengan masa hidup Imam Nafi’. Keduanya di Madinah. Bisa jadi pada saat masyarakat Afrika Utara berkunjung ke Madinah untuk haji atau lainnya, mereka belajar fikih kepada Imam Malik dan belajar Qira’atnya kepada Imam Nafi’. Kita tahu bahwa Hafsh pernah bermukim dan mengajar Al-Qur’an di Mekah. Imam Syafi’i juga hidup di Mekah. 

Boleh jadi pada saat hidupnya kedua Imam tersebut kaum Muslimin memilih madzhab kedua Imam tersebut. Kemudian jika kita melihat sanad bacaan riwayat Hafsh pada guru-guru dari Indonesia, semisal sanad Kiai Munawwir Krapyak, akan kita jumpai banyak ulama madzhab Syafi’i pada sanad tersebut, seperti Zakariyya al-Anshari dan lain sebagainya. 

3.Hafsh mempunyai jam mengajar yang demikian lama, sebagaimana dikatakan oleh Ibn al-Jazari sehingga murid-muridnya bertebaran di berbagai tempat. Hal ini berbeda dengan Syu’bah yang tidak begitu lama mengajar. 

4.Hafsh dianggap sebagai perawi Imam ‘Ashim yang demikian piawai dan menguasai terhadap bacaan gurunya. Sebagaimana diketahui Hafsh adalah murid yang sangat setia pada ‘Ashim. Mengulang bacaan berkali-kali, dan menyebarkan bacaan ‘Ashim di beberapa negeri dalam rentang waktu yang demikian lama. Makki al-Qaisi menyebutkan bahwa ‘Ashim mempunyai kefashihan membaca yang tinggi, validitas sanadnya juga sangat kuat dan para perawinya juga tsiqah (sangat dipercaya). 

5.Ghanim Qadduri al-Hamd menyebutkan bahwa mushaf pertama yang di cetak di Hamburg (Jerman) pada tahun 1694 M/1106 H, diharakati dengan bacaan Hafsh yang ada di perpustakaan-perpustakaan di beberapa negeri Islam. Hal ini mempunyai banyak pengaruh pada masyarakat, dimana mereka menginginkan adanya mushaf yang sudah dicetak. Para penerbit mushaf di Hamburg sudah tentu melihat terlebih dahulu kecenderungan masyarakat Islam pada saat itu. 

Bahkan Blacher, seorang orientalis yang cukup terkemuka dalam bidang studi Al-Qur’an pernah mengatakan :

 ( ان الجماعة الاسلامية لن تعترف فى المستقبل الا بقراءة حفص عن عاصم )

artinya : kaum Muslimin pada masa yang akan datang tidak akan menggunakan bacaan Al-Qur’an kecuali dengan riwayat Hafsh dari ‘Ashim. 

Pernyataan Blacher yang pasti didahului oleh pengamatan yang seksama, jelas menggambarkan kecenderungan masyarakat di dunia Islam pada saat itu dan pada masa yang akan datang sehingga dia bisa memastikan hal tersebut. 

6.Ghanim Qadduri juga menyebutkan dengan melansir dari kitab “Tarikh Al-Qur’an” karya Muhammad Thahir Kurdi, bahwa penulis mushaf yang sangat terkenal pada masa pemerintahan Turki Usmani, adalah al-Hafizh Usman (w. 1110 H). Penulis ini sepanjang hidupnya telah menulis mushaf dengan tangannya sendiri, sebanyak 25 mushaf. Dari mushaf yang diterbitkan inilah riwayat Hafsh menyebar ke seantero negeri. 

Penulis melihat bagaimana hubungan antara keahlian menulis mushaf dengan khat yang indah bisa menjadi unsur yang cukup signifikan dalam penyebaran satu riwayat. Jika kemudian pemerintah Turki Usmani mencetak mushaf sendiri, dan menyebarkannya ke seantero negeri kekuasaannya, maka hal itu akan menambah pesatnya riwayat Hafsh. 

Dari sini penulis melihat adanya hubungan antara kekuasaan politik dengan penyebaran satu ideologi tertentu. 

7.Peranan para qari’, guru, imam salat, dan radio, kaset, televisi, juga sangat berpengaruh terhadap penyebaran riwayat Hafsh. Kita tahu bahwa rekaman suara pertama di dunia Islam adalah suaranya Mahmud Khalil al-Hushari atas inisiatif dari Labib Sa’id sebagaimana diceritakannya sendiri pada kitabnya “ al-Mushaf al-Murattal atau al-Jam’ash Shauti al-Awwal” rekaman ini dengan riwayat Hafsh thariq asy-Syathibiyyah. Suara yang bagus melalui teknologi yang canggih ikut memengaruhi satu bacaan. 

8.Lebih dari penyebab lahiriah dari penyebaran riwayat Hafsh, kita tidak boleh melupakan adanya penyebab “maknawiyyah” atau faktor “berkah” atau bisa kita katakan faktor “x” pada diri Hafsh. Unsur-unsur spiritual seperti kesalehan, keikhlasan, ketekunan, pengorbanan Hafsh dalam mengabdi kepada Al-Qur’an ikut menjadi penyebab tersebarnya satu riwayat bahkan madzhab fikih atau lainnya. 

Bacaan Hafs mulai tersebar luas pada masa pemerintahan Turki Utsmani didukung oleh banyaknya cetakan al-Quran dari Saudi Arabia hingga ke seluruh dunia, padahal sebelumnya hanya mendominasi di kawasan timur saja (benua Asia).

Sebelum diulas tentang bacaan gharib versi Hafs, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu di sini pengertian gharib itu. Istilah gharib terambil dari bahasa Arab, menurut Ibrahim Musthafa (tt: 647/2) ia merupakan isim sifat dari kata “gharaba – yaghribu” yang artinya ghamudla (sulit) dan khafiya (samar). Dalam literature Arab, istilah gharib al-Qiraat tidak popular dalam peristilahan ilmu qiraat dan tidak pernah dipakai dalam tulisan para pakar ilmu qiraat. Istilah ini banyak dipakai dalam buku-buku tajwid di Indonesia. Misalnya, metode “qira’ati” memasukkan bahasan gharib al-qiraah tersebut pada jilid 6. Istilah tersebut dimaksudkan sebagai bacaan yang jumlahnya terbatas dan orang awam jarang memahami dan mengenal bacaan tersebut. Adakalanya istilah ini dimaknai sebagai bacaan-bacaan al-Quran yang mana antara tulisan dan cara bacanya sedikit berbeda. Adapun bacaan-bacaan yang dianggap gharib adalah imalah, tashil, isymam, naql, badal, saktah, shilah.

1. Saktah
Secara bahasa kata “saktah” berasal dari bahasa Arab: سكت – يسكت – سكوتا  yang berarti diam; tidak bergerak. Adapun dalam istilah ilmu qiraat, saktah adalah memutus kata sambil menahan nafas dengan niat meneruskan bacaan. Dalam qira’ah sab’ah bacaan saktah banyak dijumpai pada bacaannya Imam Hamzah (baik dari riwayat khalaf maupun khalaf), yaitu setiap ada hamzah qatha’ yang didahului tanwin atau al ta’rif, seperti بالآخرة،  عذاب أليم (Arwani Amin).

Sedangkan dalam bacaan Imam Ashim riwayat Hafs; di al-Qur’an bacaan saktah hanya ada di empat tempat, yaitu:
a. Surat al-Kahfi ayat 1        :

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا ( 1) قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا (2)

1. Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al kitab (Al-Quran) dan Dia tidak Mengadakan kebengkokan di dalamnya;
2. (Sebagai bimbingan)  yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik,

b. Surat Yasin ayat 52          :

قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ

Mereka berkata: “Aduhai celakalah kami! siapakah yang membangkitkan Kami dari tempat-tidur Kami (kubur)?”. Inilah yang dijanjikan (tuhan) yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul- rasul(Nya).

c. Surat al-Qiyamah 27        :

 كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ (26) وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ (27)

26. Sekali-kali jangan. apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan, 27. Dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat menyembuhkan?”,

d. Surat al-Muthaffifin 14   :

 كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.

Pada saktah (1), alasan linguistiknya adalah bahwa susunan kalimat pada surat Al-Kahfi ayat 1 sudah sempurna. Dengan kata lain, apabila seorang qari mewaqafkan bacaan pada kata عوجا, maka ia sudah berhenti pada waqaf tamm (sempurna). Namun setelah melihat kalimat setelahnya itu ternyata terdapat kata قيّما , kalimatnya menjadi rancu. Kata قيّما   bukan sifat/naat dari kata عوجا , melainkan jadi hal atau maf’ul bih, sehingga jelas tidak tepat bila kalimat tersebut diterjemahkan: “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok serta lurus”. Mestinya terjemahannya adalah: “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok, melainkan menjadikannya sebagai ajaran yang lurus. Terjemahan tersebut sesuai dengan analisis sintaksis dan analisis I’rab oleh Ad-Darwisy.

Menurut Ad-Darwisy  kata قيّما dinashabkan sebagai hal (penjelas) dari kalimat وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا  , sedang Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa kata tersebut dinashabkan lantaran menyimpan fi’il berupa ” جعله “. Berbeda juga dengan pendapat Abu Hayyan, menurutnya kata قيّما itu badal mufrad dari badal jumlah “وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا  “.  Tidak mungkin seorang qari’ memulai bacaan (ibtida’) dari قيّما, sebagaimana juga tidak dibenarkan meneruskan bacaan (washal) dari ayat sebelumnya, karena beberapa alasan di atas. Jadi, kalimat di atas baik diwashalkan maupun diwaqafkan sama-sama tidak tepat, sebagai solusi dari keduanya adalah saktah.

Demikian juga halnya pada saktah (2) pada ayat: مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ.  Menurut Ad-Darwisy (2002:213/VIII) kata هذا itu mubtada’ dan khabarnya مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ . Berbeda halnya dengan pendapat Az-Zamakhsyari yang menjadikan kata هذا itu sifat dari مرقد, sementara ما sebagai mubtada’ yang khabarnya tersimpan, yaitu kata حق atau هذا. Dari aspek makna, kedua pendapat di atas dapat dipakai. Pertama, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan dari tempat tidur kami (yang) ini. Apa yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar.Kedua, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami.Inilah yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar. Dengan membaca saktah, kedua makna yang sama-sama benar tersebut bisa diakomodir, sekaligus juga untuk memisahkan antara ucapan malaikat dan orang kafir. Dijelaskan dalam beberapa tafsir bahwa kata هذا dan seterusnya bukan perkataan orang kafir, melainkan perkataan malaikat atau orang mukmin.‎

Sedangkan untuk pada من  pada مَنْ – راق dan بل  pada بَلْ ران  yaitu untuk menekankan fungsi مَنْ sebagai kata tanya dan fungsi بل sebagai kata penegas, juga untuk mempertegas idharnya lam dan nun karena biasanya dua huruf tersebut bila bertemu ra’ diidghamkan sehingga bunyi keduanya hilang. Ibnu Zanjalah berpendapat bahwa kata من  dan بل itu perlu dipisahkan untuk menghindari idgham, sebab masing-masing merupakan kata terpisah yang memiliki makna tersendiri.

Selain empat tempat di atas, sebetulnya ada dua lagi saktah yang dianjurkan oleh para imam qiraat termasuk Imam Ashim, yaitu:

1. Pertemuan antara surat al-Anfal dan surat at-Taubah:

إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ () بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

2. Pertemuan dua ha’ pada surat al-Haqqah, ayat 28-29:

مَآ أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ () هَّلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ

Saktah pertama, secara linguistik digunakan untuk memilah dua surat yang berbeda meski tidak dipisah dengan basmalah, sementara saktah kedua dimaksudkan untuk membedakan dua ha’, ha’ saktah pada مَالِيَهْ  dan ha’ fi’il pada هَّلَكَ.

2. Imalah
Secara bahasa imalah berasal dari kata أمال – يميل – إمالة (الرمح)  yang berarti memiringkan atau membengkokkan (tombak), sedangkan secara istilah imalah berarti memiringkan fathah ke arah kasrah atau memiringkan alif ke arah ya’ (Abu Thahir, 311). Bacaan ini banyak ditemui pada bacaan Imam Hamzah dan al-Kisa’i, yaitu di antaranya pada kata yang berakhiran alif layyinah, seperti الضحى، قلى، سجى، هدى. Namun pada riwayat Imam Hafs hanya terdapat pada kata مجراها (QS. Hud:41).
Dan Nuh berkata: “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.” Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.‎

Dalam ilmu qira’at, ada bacaan yang menyerupai imalah, yakni taqlil atau baina baina dari qiraat Imam Warsy, terutama pada lafadz yang berwazan فَعلى، فِعلى، فُعلى (Arwani Amin, 18), hanya saja taqlil lebih mendekati fathah seperti bunyi re pada kata mereka.

Bacaan imalah diakui termasuk salah satu dialek bahasa Arab standar (fasih) untuk penduduk Najed dari suku Tamim, Qais dan Asad. Bacaan imalah ini  bermanfaat untuk memudahkan pengucapan huruf, karena lidah itu akan terangkat bila membaca fathah dan turun bila membaca imalah dan tentunya turunnya lidah itu lebih ringan dari terangkatnya lidah. Juga dengan bacaan imalah, huruf ya’ yang merupakan asal dari alif layyinah tersebut akan tetap  tampak ketika dibaca.

Alasan diimalahkannnya kata “majraha” adalah untuk membedakan antara kata “majraha” yang berarti berjalan di daratan dengan kata “majraha” yang berarti berjalan di laut. Menurut kamus kontemporer bahasa Arab “Mu’jam al-lughah al-Arabiyyah al-mu’ashirah, kata “majraha” berasal dari kata “jara” yang artinya berjalan atau mengalir dan kata tersebut bisa digunakan baik berjalan di atas daratan maupun di atas air, hanya saja kecendrungannya perjalanan kendaraan (misalnya kapal laut) di air tidak stabil sebagaimana di darat. Adakalanya dihempas oleh ombak atau terpaan angin besar, sehingga sangat rasional bila kata “majraha” itu diimalahkan.

3. Naql (Menggeser harakat)
Secara bahasa naql berasal dari kata نقل – ينقل – نقلا berarti memindah; menggeser. Adapun secara istilah naql berarti memindahkan harakat ke huruf sebelumnya, sebagaimana yang banyak ditemui pada riwayat Imam Hamzah dan Warsy, yakni setiap ada al ta’rif atau tanwin bertemu hamzah, contoh بالآخرة  terbaca بلاخرة dan عذاب أليم terbaca عذابنليم .

Dalam riwayat Hafs bacaan naql hanya ada di satu tempat yaitu pada kata  بئس الاسم (QS. al-Hujurat:11).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
Alasan bacaan naql pada kata الاسم yaitu terdapatnya dua hamzah washal (hamzah yang tidak terbaca di tengah kalimat), yakni hamzah pada al ta’rif dan ismu (salah satu dari sepuluh kata benda yang tergolong hamzah washal),  yang mengapit “lam” sehingga kedua hamzah tersebut tidak terbaca ketika disambung dengan kata sebelumnya. Di antara manfaat bacaan naql ini adalah untuk memudahkan umat Islam membacanya.

4. Badal/Ibdal (mengganti huruf)
a. Penggantian Hamzah dengan Ya’

Badal/ibdal yang dimaksud di sini adalah إبدال الهمزة الساكنة بالياء  (mengganti hamzah sukun dengan ya’. Semua imam qira’at sepakat mengganti hamzah qatha’ –bila tidak disambung dengan kata sebelumnya- yang jatuh setelah hamzah washal dengan ya’ sukun, seperti لقاءنا ائت (QS. Yunus:15), في السموات ائتوني (QS .al-Ahqaf:4). Di bawah ini uraian ayat selengkapnya:
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku Apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau Adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit? bawalah kepada-Ku kitab yang sebelum (Al Quran) ini atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu), jika kamu adalah orang-orang yang benar” (QS .al-Ahqaf:4)
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan Pertemuan dengan Kami berkata: “Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini[675] atau gantilah dia”. Katakanlah: “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)”. (QS. Yunus:15)
Adapun bacaan Imam Warsy, al-Susy dan Abu Ja’far, hamzah qatha’ dalam kalimat tersebut diganti ya’ ketika diwashalkan.
b. Penggantian Shad dengan Siin

Yakni mengganti shad dengan siin pada kata يبصط   (QS. al-Baqarah:245) dan بصطة (QS. al-A’raf:69) untuk selain bacaan Nafi’, al-Bazzi, Ibnu Dzakwan, Syu’bah, Ali Kisa’i, Abu Ja’far dan Khalad.  sedangkan pada بمصيطر  (QS. al-Ghasyiyah:22) Imam Ashim membaca sebagaimana tulisan mushaf, lain halnya dengan المصيطرون (QS. al-Thur:37) kata ini bisa dibaca dengan mengganti shad dengan siin atau dibaca tetap sebagaimana tulisannya.

Alasan digantinya shad dengan siin pada semua kalimat di atas yaitu mengembalikan pada asal katanya, yaitu  بسط – يبسط ، سيطر – يسيطر. Sedangkan alasan ditetapkannya shad yaitu mengikuti rasm/khat usmani al-Qur’an dan juga untuk menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’.

5. Isymam
Yaitu membaca harakat kata yang diwaqaf tanpa ada suara dengan mengangkat dua bibir setelah mensukunkan huruf yang dirafa’, seperti نستعين . Dalam bacaan Imam Hisyam juga mengisymamkan kata seperti قيل dengan mencampur dlammah dan kasrah dalam satu huruf, demikian juga Imam Hamzah membaca isymam kata صراط، الصراط dengan memadukan bunyi ص  dan ز . Namun dalam bacaan Hafs isymam  hanya ada kata لا تأمنا. yakni lidah melafadzkan لا تأمننا tanpa ada perubahan suara alias tetap sama dengan tulisannya. Berikut ini ayat selengkapnya:
Mereka berkata: “Wahai ayah Kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai Kami terhadap Yusuf, Padahal Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya.

Kalau diamati, ternyata rasm al-Qur’an hanya menulis satu nun yang ditasydid. Pertanyaan yang muncul, mana dlammahnya? sehingga untuk mempertemukan keduanya dipilih jalan tengah yaitu bunyi bacaan mengikuti rasm, sedang gerakan bibir mengikuti kata asal. Dalam bacaan imam Ibnu Amir untuk riwayat As-Susy, seperti bacaan di atas disebutidgham kabir, yakni bertemunya dua huruf yang sama dan sama-sama hidup, lalu melebur menjadi satu huruf. Dalam bacaan Imam Ashim, hanya dikenal satu idgham saja, yaitu idgham shagir (mengidghamkan dua huruf yang sama, yang salah satunya huruf mati).

Secara bahasa, hal itu bisa difahami bahwa memang asal dari kalimat itu terdapat dua nun yang diidharkan, nun pertama dirafa’kan dan kedua dinashabkan. Nun pertama dirafa’kan (didlammahkan) karena ia termasuk fi’il mudlari yang tidak kemasukan ‘amil nawashib maupun jawazim. Kata “la” yang masuk pada kata “ta’manu” adalah nafy (yang berarti “tidak”) bukan nahy (yang berarti “jangan”). Hal itu diambil dari pemahaman konteks ayat:

 قَالُواْ يَا أَبَانَا مَا لَكَ لاَ تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ

(Mereka, saudara-saudara Yusuf, berkata: wahai ayah kami, mengapa engkau tidakpercaya pada kami untuk melindungi Yusuf, padahal kami selalu menasehatinya).

6. Tas-hil
Arti tashil secara bahasa memberi kemudahan atau keringanan, sedangkan dalam istilah qiraat, tashil diartikan membaca hamzah kedua – dari dua hamzah yang beriringan – dengan bunyi leburan hamzah dengan alif, seperti أأنذرتهم، أأنتم dan lain-lain.
Hanya saja dalam riwayat Hafs bacaan tashil hanya satu yaitu pada QS. al-Fusshilat:44).

Dan Jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: “Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh”.


Ketika bertemu dua hamzah qatha’ yang berurutan pada satu kata maka melafadzkan kata semacam ini bagi orang Arab terasa berat, sehingga bacaan seperti ini bisa meringankan.

Juga ada tashil yang berasal dari mad lazim, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Nasr Makky  ada enam tempat, yaitu
1. Surat al-An’am ayat 143    :

 قُلْ آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الْأُنْثَيَيْنِ

2. Surat al-An’am ayat 144    :

 قُلْ آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الْأُنْثَيَيْنِ

3. Surat Yunus 51                  : 

أَثُمَّ إِذَا مَا وَقَعَ آمَنْتُمْ بِهِ آلْآنَ وَقَدْ كُنْتُمْ بِهِ تَسْتَعْجِلُونَ

4. Surat Yunus 91                  : 

آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ

5. Surat Yunus 59                  : 

قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ

6. Surat al-Naml 59                :

 قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَسَلَامٌ عَلَى عِبَادِهِ الَّذِينَ اصْطَفَى آللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ

7. Madd & Qasr
Dalam qiraat khusnya bacaan Hafs, banyak ditemukan kata yang tertulis dalam rasm usmani pendek tapi dibaca panjang dan tertulis panjang dibaca pendek, di antaranya:
a- ملك terbaca مالك
Imam Ashim dan Ali Kisa’i membaca mim dengan alif, sedang yang lain membaca pendek. Mereka yang membaca dengan alif beralasan sesuai dengan ayat al-Qur’an : قل اللهم مالك الملك  dan bukan ملك الملك   juga karena maalik berarti dzat yang memiliki, sedangkan malik berarti tuan atau penguasa sehingga dalam Allah berfirman: ملك الناس yang berarti tuhan manusia dan tidak cocok makna yang seperti itu untuk kata hari pembalasan يوم الدين .‎

b-أنا  terbaca أن ketika washal
Alasan dipendekkannya nun ketika washal pada semua kata أنا (dlamir yang berarti saya) karena fungsi alif tersebut hanya berfungsi menjelaskan harakat sebagaimana menambahkan ha’ ketika berhenti (هاء السكت ). Ketika ada kata benda yang hurufnya sedikit lalu diwaqafkan dengan sukun maka bunyinya akan janggal dan diberi tambahan alif itu agar bunyi nun tetap sebagaimana asalnya. Sedangkan tidak ditambahkannya alif ketika washal karena nun sudah berharakat.

Ada juga lafadz yang mirip dengan أنا yaitu لكنا pada QS. Al-Kahfi:38. Berikut ini paparan ayatnya:
Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku.

yakni dibaca pendek ketika washal dan dibaca panjang ketika waqaf. Hal itu dikarenakan asal dari لكنا adalah لكن + أنا dan bukan لكن + نحن .


c- الرسولا، الظنونا، قواريرا
Imam Nafi’, Abu Bakar, Hisyam, al-Kisa’i membaca kata di atas dengan tanwin, sementara yang lain termasuk Imam Ashim riwayat Hafs membacanya dengan tanpa tanwin. Semua ulama mewaqafkannya dengan alif kecuali Hamzah dan Qonbul, keduanya mewaqafkan tanpa alif.

Alasan mereka yang mewaqafkan dengan alif adalah karena mengikuti rasm atau khot mushaf yang mencantumkan alif dan ketika washal alifnya tidak terbaca karena sighat muntahal jumu’ yang termasuk isim ghairu munsharif sehingga tidak boleh ditanwin. Sedangkan الظنونا، الرسولا، السبيلا meskipun bukan termasuk jama’ akan tetapi ia disamakan dengan syair yang akhir baitnya terdapat fathah yang dipanjangkan dengan alif.

d- أولئك، أولوا، الملاء
Dalam rasm usmani ada beberapa huruf yang tertulis tapi tidak terbaca seperti أولئك  أولو، الملاء, ada pula yang tak tertulis tapi terbaca seperti هذا، هذه، ذلك  . Inilah yang merupakan keunikan dari rasm al-Qur’an yang penuh rahasia dan mukjizat.

8. Shilah
Kaidah umum yang berkaitan dengan ha’ dlamir berbunyi bahwa apabila ada ha’ dlamir yang tidak didahului huruf mati maka harus dipaanjangkan seperti له، به, dan juga untuk menguatkan huruf ha’ perlu ditambahkan huruf mad setelahnya, karena tidak ada alasan yang mengharuskan membuang huruf setelah ha’ dan huruf sebelumnya berharakat, inilah ijma para ulama qira’ah, sebaliknya apabila ha didahului huruf yang disukun maka dibaca pendek, seperti منه، إليه. Para ulama qurra’ kecuali Ibnu Katsir, kurang senang menggabungkan dua huruf sukun yang dipisah oleh huruf lemah yaitu ha, sehingga mereka membuang huruf mad setelah ha’ dan inilah madzhab Imam Sibawaih.

Kendatipun demikian dalam riwayat Hafs ditemukan ha’ dlamir yang dipanjang walau didahului huruf mati seperti ويخلد فيه مهانا (QS. al-Furqan:69). Dalam hal ini Imam Hafs sama bacaannya dengan Ibnu Katsir, yaitu membaca shilah ha’ (panjang). Alasannya diketahui bahwa ha’ adalah huruf lemah sebagaimana juga hamzah, sehingga ketika ha’ dikasrahkan, maka sebagai ganti dari wawu sukun adalah ya’ untuk menguatkan ha’. Dalam perkataan  Arab sendiri jarang dijumpai wawu sukun yang didahului kasrah, sehingga menjadi فيهي  atau عليهي. 

Dan  ada pula ha’ yang dipendekkan (kendatipun tidak didahului huruf mati) dengan mendlammahkan ha’ tanpa shilah, yaitu  يرضه لكم  (QS. Al-Zumar:7), bacaan seperti juga dijumpai pada bacaan Imam Hamzah, Nafi’, Ya’qub.

Alasan dipanjangkannya kata فيه yaitu mengembalikannya pada asalnya, yang mana ـه  berasal dari kata هو . Ketika digabung dengan في  menjadi فيهو , akan tetapi karena ha’ didahului ya’ sukun yang identik dengan kasrah maka harakat ha’ harus disesuaikan dengan harakat sebelumnya dan mengganti huruf mad wawu menjadi ya’ untuk menyesuaikannya dengan kasrah sehingga menjadi فيهي dan huruf mad diganti dengan harakat kasrah berdiri: فيه .  Al-Khalidi (2004:50) menyebut ha’ tersebut dengan istilah “ha’ul khafdli” (ha’ panjang yang berfungsi merendahkan). Menurutnya konteks ayat itu memang menghendaki dipanjangkannya ha’ tersebut. Ayat itu menceritakan beberapa dosa dan kemaksiatan yang tidak akan dilakukan oleh “ibadur rahman (hamba pilihan Allah yang pengasih)”.
 (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan terhina,

Sebagai konsekuensi atas dosa yang dilakukan, mereka akan mendapatkan siksa yang pediah serta abadi dalam kehinaan. Saat kita memanjangkan ha’ pada fii-hii, seakan-akan kita ikut membantu melemparkan mereka ke neraka serta ikut menjerumuskan para pelaku dosa tersebut ke jurang kehinaan (khafdlu).
Mengenai alasan dipendekkannnya ha’ pada kata يرضه  dan semacamnya yaitu mengembalikannya pada tulisan mushaf yang tidak terdapat wawu mad setelah ha’.
Demikian juga dalam al-Quran terdapat terdapat ha’ dlamir yang didlammahkan meski jatuh setelah ya’ sukun (عليهُ), yaitu pada surat Al-Fath ayat 10.
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.

Asbabun nuzul dari ayat tersebut adalah: bahwa pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad s.a.w. beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan ‘umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin. mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang karena Utsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman telah dibunuh. karena itu Nabi menganjurkan agar kamu muslimin melakukan bai’ah (janji setia) kepada beliau. merekapun Mengadakan janji setia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai. Perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, karena itu disebut Bai’atur Ridwan. Bai’atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk Mengadakan Perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah.

Menurut Al-Khalidi, Sifat memenuhi janji berjuang ini merupakan sifat yang mulia dan luhur (rif’ah). Harakat dlammah memberikan nuansa kemuliaan dan keagungan akhlak. Jadi tepat sekali Allah mendlammahkan ha’ tersebut karena memang suasana sosiologisnya menunjukkan hal keluhuran itu, sehingga Al-Khalidi menyebutnya ha’ tersebut dengan istilah ha’ rif’ah.

9. Memfathah atau mendlammah dlad
Dalam al-Qur’an ada lafadz serupa yang diulang tiga kali dalam satu ayat yaitu ضعْف   (QS. al-Ruum:54).
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.
Kata tersebut adalah masdar dari   ضعُف – يضعَف . Para ulama qira’ah berbeda dalam membaca harakat dlad, Imam Hamzah dan Imam Syu’bah (salah satu perawi dari Imam Ashim) memfathah dlad dan lainnya kecuali Imam Hafs membacanya dengan dlammah. Sedangkan Imam Hafs membaca keduanya, fathah dan dlammah.
Alasan terjadinya perbedaan itu karena dalam ilmu sharaf, kata ضعُف – يضعَف itu mempunyai dua masdar yaitu ضَعْف   dan ضُعْف , sebagaimana yang terjadi pada kata فقر juga mempunyai dua masdar yakni فَقْر dan فُقْر.

10. Hukum Membaca Basmalah Pada Surat Taubat
Dalam Mushaf Usmani semua surat al-Qur’an di awali dengan basmalah kecuali surat al-Bara’ah atau surat al-taubat. Terkait dengan hal itu, sahabat Nabi Ubay bin Ka’ab berkata bahwa Rasulullah pernah menyuruh kami menulis basmalah di awal setiap surat, dan tidak memerintahkan kami menulisnya di awal surat al-Bara’ah, oleh karenanya surat tersebut digabungkan dengan surat al-Anfal dan itu lebih utama karena adanya keserupaan keduanya.
 (Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan RasulNya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka).

Imam Ashim berkata: Basmalah tidak ditulis di awal surat al-Bara’ah, karena basmalah itu berarti rahmat atau kasih sayang, sedangkan al-Bara’ah merupakan surat adzab atau siksaan.

Para ulama fiqh berbeda pendapat mengenai hukum membaca basmalah di awal surat al-Bara’ah ini, Imam Ibnu Hajar dan al-Khatib mengharamkan membaca basmalah di awal surat ini dan memakruhkan membacanya di tengah surat. Sedangkan Imam Ramli dan para pengikutnya memakruhkan membaca basmalah di awal surat dan mensunnahkan membacanya di tengah surat sebagaimana surat-surat yang lain.
Penutup. 
Riwayat Hafsh telah menjadi femomena tersendiri dalam penyebaran satu riwayat dalam Qira’at. Riwayat Hafsh akan terus melebar dan menyebar ke seantero dunia, bahkan ke negeri-negeri yang menggunakan riwayat lain seperti Warsy, Qalun, ad-Duri dan lain-lainnya, sesuai dengan hukum kemasyarakatan. 

Dengan semakin menyebarnya riwayat ini, kedudukan Al-Qur’an menjadi semakin kokoh, keorisinilan bacaan Al-Qur’an dan mushaf Al-Qur’an menjadi semakin meyakinkan. Meredupnya riwayat lain bukan berarti meredupnya kemutawatiran satu bacaan. Bacaan-bacaan tersebut masih tetap mutawatir karena telah diakui oleh para imam-imam Qira’at terdahulu. Nabi sendiri tidak mewajibkan membaca Al-Qur’an dengan seluruh macam bacaan yang pernah diajarkannya kepada para sahabat-sahabatnya. 

Tapi Nabi hanya menyuruh para sahabatnya untuk membaca bacaan yang mudah baginya. Dengan demikian Al-Qur’an akan tetap terjaga kemurniannya sampai akhir zaman nanti. Itu pertanda bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎