Nama lengkap Ibnu Qutaibah adalah Abu Muhammad ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-Dainuri al-Marwazi. Ia dinisbatkan pada al-Dainuri, yaitu suatu daerah di mana ia pernah menjadi hakim di sana. Sebagian ulama berpendapat, Ibnu Qutaibah juga dinisbatkan pada al-Marwazi yang merupakan tempat kelahiran ayahnya.
Dalam beberapa literatur, ia terkadang dikenal dengan sebutan al-Qutba atau al-Qutaibah yang merupakan bentuk tashghir (memiliki arti kecil) dari kata Qutbah dan bentuk tunggal dari kata aqtab yang mempunyai arti jeroan binatang ternak. Tidak diketahui dengan jelas mengapa ia dinisbatkan pada kata tersebut.
Ibnu Qutaibah dilahirkan pada tahun 213 H/ 828 M di Baghdad, dan ada yang mengatakan di Kufah. Namun, para sejarawan berbeda pendapat mengenai tempat kelahirannya. Menurut Ibnu Khalikan, dia lahir di Baghdad, sedangkan menurut An-Nadim dan Ibnu al-Anbar dia lahir di Kufah pada awal Rajab Tahun 313 H.Salah satu karya Ibnu Qutaibah yang terkenal adalah Kitab Al Ma'arif (setebal empat jilid) yang merupakan ensiklopedia pertama berbahasa Arab.
Pada masa itu Baghdad merupakan ibu kota negara yang berada di dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon. Jadi dapat dikatakan bahwa pusat pemerintahan dinasti Abbasyiah berada di tengah-tengah bangsa Persia. Sejak saat itu Baghdad tidak pernah sepi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kemunculan ulama, sehingga kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Ibnu Qutaibah untuk menyerap ilmu dari beberapa ulama setempat.
Tidak puas dengan apa yang didapatkan di Bahgdad, Ibnu Qutaibah pun mulai gemar melakukan perlawatan dari satu daerah ke daerah yang lain untuk memperoleh ilmu, sebagaimana yang dilakukan para ulama pada waktu itu. Ia mengunjungi Bashrah, Makkah, Naisabur dan tempat-tempat lain untuk belajar berbagai macam disiplin ilmu dari para ulama yang ada di sana. Ibnu Qutaibah belajar hadis pada Ishaq bin Rahawaih, Abu Ishaq Ibrahim bin Sulaiman al-Ziyadi, Muhammad bin Ziyad bin ‘Ubaidillah al-Ziyadi, Ziyad bin Yahya al-Hassani, Abu Hatim al-Sijistani dan para ulama yang semasa dengan mereka.
Selain mempelajari ilmu-ilmu agama, Ibnu Qutaibah juga haus akan pengetahuan yang berkembang pesat pada waktu itu. Semangatnya yang tinggi dalam mencari ilmu semakin membara ketika menyaksikan berbagai macam pemikiran yang meracuni sebagian besar umat Islam, sehingga pada akhirnya Ibnu Qutaibah tumbuh berkembang menjadi seorang ulama yang berwawasan luas, kritis terhadap permasalahan-permasalahan sosial dan mampu mewarnai corak pemikiran keilmuan yang berkembang pada saat itu. Ibnu Qutaibah juga mampu memberikan solusi terhadap problem keagamaan khususnya permasalahan yang sedang diperdebatkan oleh ulama Kalam, dengan uraian yang ilmiah dan bisa diterima oleh berbagai kalangan, yang sebelumnya memperbincang-kan sekitar permasalahan tersebut masih dianggap tabu oleh sebagian ulama Salaf khususnya golongan Ahl al-Sunnah.
Selain itu, Ibnu Qutaibah juga mampu menempatkan dirinya sejajar dengan tokoh-tokoh ensiklopedik besar, sehingga tidak heran jika Ibnu Qutaibah menjadi rujukan bagi Ibnu Atsir dalam mengupas lafazh-lafazh hadis yang janggal dan sulit dipahami dalam karyanya al-Nihayah fi Ghorib al-Hadits dan ulama lain dalam permasalahan yang sama.
Dalam bidang fikih, Ibnu Qutaibah senantiasa berada di barisan madzhab-madzhab ulama yang teguh memegang sunnah yang berkembang pada waktu itu, meskipun secara pribadi dia mengikuti madzhab Imam Ahmad dan Imam Ishaq.
Ibnu Qutaibah adalah salah seorang ulama yang gemar menulis. Hasil karyanya tidak kurang dari 300 buah. Ibnu Qutaibah banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama hadits maupun ulama lainnya. Bahkan penduduk kota Maghrib memberikan penghargaan yang tinggi kepadanya seraya mengatakan,
“Barang siapa sengaja menentang Ibnu Qutaibah maka dicurigai sebagai seorang zindiq (atheis).” Mereka juga mengelu-elukan Ibnu Qutaibah dengan mengatakan, “Setiap rumah yang tidak terdapat karya Ibnu Qutaibah, maka tidak ada kebaikan di dalamnya.”
Di antara karya-karya Ibnu Qutaibah dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan adalah:
(1) Al-Ibil,
(2) Adab al-Qadli,
(3) Adab al-Katib,
(4) Al-Isytiqaq,
(5) Al-Asyribah,
(6) Ishlah al-Ghalath,
(7) I’rab al-Qur'an,
(8) A’lam al-Nubuwwah,
(9) Al-Alfazh al-Muqribah bi al-Alqab al-Mu’ribah,
(10) AlImamah wa al-Siyasah,
(11) Al-Anwa',
(12) Al-Taswiyah bain al-‘Arab wa al‘Ajam,
(13) Jami’ al-Nahwi,
(14) Al-Ru'ya,
(15) Al-Rajul wa al-Manzil,
(16) Al-Rad ala al-Syu’ubiyah,
(17) Al-Rad ‘ala Man Yaqulu bi Khalq al-Qur'an,
(18) Al-Syi’ru wa al-Syu’ara,
(19) Al-Shiyam,
(20) Thabaqat al-Syu’ara,
(21) Al-Arab wa ‘Ulumuha,
(22) ‘Uyun al-Akhbar,
(23) Gharib al-Hadits,
(24) Gharib al-Qur'an,
(25) Al-Faras,
(26) Fadllu al-‘Arab ‘ala al-Ajam,
(27) Al-Fiqh,
(28) Al-Qira'at,
(29) Al-Masa'il wa al-Ajwibah,
(30) Al-Musytabih min al-Hadits wa al-Qur'an,
(31) Musykil al-Hadits,
(32) Al-Ma’arif,
(33) Ma’ani al-Syir,
(34) Al-Nabat,
(35) Al-Hajwu,
dan karya-karya yang lain.
Seluruh hasil karya tersebut Ibnu Qutaibah ajarkan di kota kelahirannya, Baghdad. Di antara para muridnya yang mampu menyerap pengetahuan yang diajarkan oleh Ibnu Qutaibah adalah anaknya sendiri, Abu Ja’far bin Abdillah yang pernah menjabat sebagai Qadli di Mesir sekitar tahun 320 H.
Pada usia 63 tahun bulan Rajab tahun 276 H/889 M Ibnu Qutaibah dipanggil oleh Allah swt. Seluruh dipergunakan untuk mengembangkan pemikiran keislaman serta memajukan bidang pendidikan dan kebudayaan. Tetapi perhatian yang lebih besar ditujukan untuk membela sunnah dan ulama ahli hadits di hadapan musuh-musuh Islam.
Beliau Adalah Seorang Pakar Nahwu
(Gramatikal Bahasa Arab) Sosok Imam Ibnu Qutaibah Seorang Imam yang sangat alim, yang mulia Abu Muhammad bin Muslim bin Qutaibah al-Dainuri. Beliau adalah seorang pakar nahwu (gramatikal bahasa Arab), pengarang dalam tafsir, Hadist dan lainnya. Lahir pada tahun 213 H. beliau tinggal di Bagdad, mengambil riwayat dari Ibnu Rawaihi, dan beliau juga belajar dari ulama-ulama yang terkenal seperti ayahnya yang bernama Ibnu Qutaibah, juga dari al-Qadhi Yahya bin Aktsam, Abu Hatim al-Sajistani, Syababah bin Siwar dan al-Jahizh. Banyak ulama yang mengambil riwayat dari beliau seperti anaknya yang bernama Ahmad, dan yang lain seperti Ibnu Durustuwaihi, dan lain-lainnya. Yang belajar kepada beliau sangat banyak, diantaranya ulama-ulama terkenal, seperti Ahmad bin Marwan al-Maliki, Qasim bin Ishba’ al-Andarsi, Abu Qasim Abdullah bin Muhammad al-Azadi dan yang lainnya.
Karya-karya Imam Ibnu Qutaibah
Ibnu Qutaibah memegang kekuasaan di Dainur. Hal ini menunjukkan keluasan ilmu dan kebesaran kemuliaannya, beliau mencurahkan waktu demi menuntut ilmu, belajar dan mengumpulkan maklumat, kemudian beliau melakukan praktik dalam mengarang buku hingga kedudukannya yang tinggi dan tampak kemuliaannya.
Beliau salah satu pembesar ulama, di antara karangan beliau yang terkenal adalah: Adab al-Katib, ‘Uyun al-akhbar, Ta’wil al-Hadis, Ta’wil Musykilat Al-Qur’an, Gharib Al-Qur’an, Al-Ma’arif, Al-Syi’ir wa al-Syu’ara, Al-Ikhtilaf fi al-Lafdz wa al-Rad ‘ala al-Jahamiyah. Yang ingin kita bahas di karangan beliau adalah yang berhubungan dengan tafsir dan ilmu-ilmu Al-Qur’an yang menunjukkan usaha beliau terhadap Al-Qur’an. Metode beliau dalam membahas ilmu Al-Qur’an sangat sesuai, tidak salah serta memberikan manfaat yang sangat banyak. Contoh berikut adalah kutipan dari perkataan beliau dalam kitabnya Ta’wil Musykilat Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut: “Segala puji bagi Allah subhaanahu wa ta’ala yang menunjukkan kita kepada jalan yang benar, yang memberi hidayah dengan cahaya Al-Qur’an, sebuah kitab yang tidak ada kebengkokan di dalamnya bahkan membimbing ke jalan yang lurus, dan menjelaskan dengan sejelas-jelasnya. Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari (Tuhan) Yang Maha Bijaksanan lagi Maha Terpuji.” (QS.Fushshilat:42)
Kitab Al-Qur’an yang diagungkan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala, juga dimuliakan dan ditinggikan, sebuah kitab yang menjadi rahmat, penyembuh, pemberi hidayah dan pemberi cahaya terang. Penegasan ayatnya melemahkan bagi mereka yang menentang. Kitab yang jelas dengan susunan ayat dan mengagumkan bagi seluruh generasi.
Kitab yang selalu dibaca dan tidak membosankan, yang didengar dan tidak menggangu telinga, kitab yang selalu menakjubkan dan memberikan faedah yang tiada hentinya. Kitab yang telah menasakh kitab-kitab terdahulu, kitab yang berisikan makna luas dengan ungkapan yang singkat, seperti yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jawami al-Kalim, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku telah diberikan jawami’ al-kalim (kumpulan kata-kata) –atau Al-Qur’an.” Apabila Anda ingin melihat contohnya maka bacalah ayat 19 surah Al-A’raf ini, “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpaling daripada orang-orang yang bodoh.” (QS.Al-A’raf:19) Perhatikan bagaimana kalimat ini dikumpulkan yang menunjukkan kemulian akhlak, karena pemaaf adalah sifat penghubung silaturahmi kepada yang memutuskannya, penyapa kepada mereka yang menzalimi dan memberikan sesuatu kepada mereka yang kikir. Maksud dari yang ma’ruf adalah takwa, silaturahmi, menjaga lidah dari berdusta, menahan anggota dari berbuat yang diharamkan.
Semua sifat baik seperti ini dikatakan ma’ruf, karena diri dan jiwa teah mengenalnya dan setiap hati pasti tenteram dengankebaikan tersebut. berpaling dari orang-orang yang bodoh itu adalah sifat sabar, pemurah, pembersih diri dari lorong kebodohan dan menghindarkan diri dari kekerasan. Contoh lain yang membuktikan logisnya Al-Qur’an, dengan ungkapan yang ringkas dan makna yang padat seperti pada ayat: “Dan diantara mereka ada orang yang mendengarkanmu. Apakah kamu dapat menjadikan orang-orang tuli itu mendengar walaupun mereka tekda mengerti (tidak berakal) –dan diantara mereka ada orang yang melihat kepadamu, apakah kamu dapat memberikan petunjuk kepada orang-orang yang buta, walaupun mereka tidak dapat memperhatikan.” (QS.Yunus:42-43) Perhatikanlah bagaimana jelasnya ungkapan diatas, yaitu melebihkan pendengaran dari pada penglihatan, karena mengungkapkan tuli dengan dua kekurangan, yaitu tuli tidak dapat mendengar dan tidak berakal, dan mengungkapkan buta dengan hanya satu kekurangan saja, yaitu kekurangan penglihatan.
Model Penafsiran Al-Qur’an Imam Ibnu Qutaibah adalah salah seorang peneliti bahasa Arab, yang menyikap rahasia-rahasianya dan yang menjelaskan keistimewaannya. Beliau juga berbicara tentang kaum Arab yang diberikan Allah subhaanahu wa ta’ala keistimewaan bahasa, seperti ‘Arudh (ilmu tentang timbangan nada dan irama syair) dan bayan. Beliau mengetahui keutamaan Al-Qur’an disebabkan karena sering meneliti dan memahami bahasa Arab menurut mazhab yang bermacam-macam, juga sering meneliti keistimewaan-keistimewaan bahasa Arab yang tidak dimiliki oleh bahasa lain. Tidak ada bahasa lain yang mempunyai ilmu ‘arudh dan bayan.
Ini merupakan kelebihan yang diberkan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala karena ingin memberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah mu’jizat sebagai dalil kebenaran risalah yang dibawanya. Maka Allah subhaanahu wa ta’ala memberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah kitab dan menjadikannya ilmu pengetahuan, sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’ala menurunkan kitab kepada Rasul-Rasul yang lain, tetapi hanya sekadar masa di mana Rasul tersebut diutus. Seandainya kita diberi contoh yang dibuat beliau maka pembicaraan kita akan makin panjang, dan sekiranya kita cukupkan sampai disini dengan perkataan beliau: “Seandainya ada yang berkata hadza qatilu akhi dengan beridhafah, maka kata dengan tanwin maksudnya adalah ‘pembunuh itu saudaraku’. Dan kata dengan idhafah berarti ‘itu adalah pembunuh saudaraku.” Ibnu Qutaibah juga membantah beberapa ayat yang susah dipahami oleh orang banyak dan mereka mengira bahwa ayat-ayat tersebut tidak rasional atau tidak masuk akal.
Di antara contoh terbaik yang diungkapkan Ibnu Qutaibah, yaitu tentang ayat-ayat yang terulang-ulang dan ayat-ayat tambahan, seperti perkataan beliau: “Adapun pengulangan ayat tentang kisah para Nabi dan yang lainnya, maka sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’ala menurunkan ayat secara berangsur-angsur: potongan-potongan yang terpisah dalam waktu dua puluh tiga tahun. Berangsur-angsur menurunkan satu kewajiban setelah kewajiban yang lain agar memudahkan umat untuk menerimanya, bertahap dalam menyempurnakan agama, nasihat setelah nasihat yang lain agar menjdai peringatan bagi mereka dan mengasah setiap nasihat yang baru datang, dan sebagian menjadi ayat nasakh terhadap hukum yang di mansukh, agar umat selalu taat beribadah dengan cobaan yang Allah subhaanahu wa ta’ala berikan kepada mereka. Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman: berkatalah orang-orang kafir: “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?” :demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)” (QS.Al-Furqan:3) Ayat tersebut diturunkan denganmengkhitab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang dimaksud dengan tatsbit adalah untuk memperkuat hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang beriman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan para sahahabatnya waktu kosong, tidak selalu diisi dengan nasihat terus-menerus yang bisa menyebabkan kebosanan, dan beliau hanya mengingatkan mereka ketika terlupa atsu terhapus dalam hati. Sekiranya Nabi mendatangkan Al-Qur’an sekaligus kepada mereka niscaya sebab-sebab turun ayat telah terjadi sebelumnya, dan umat islam saat itu mendapat kesusahan dengan kewajiban-kewajiban yang diturunkan sekaligus. Kesusahan juga dirasakan bagi mereka yang ingin masuk islam.
Seandainya demikian maka tidak ada kata peringatan dan nasakh. Karena mansukh adalah hukum yang sudah dipakai kemudian dihapus dengan adanya ayat nasakh yang datang berikutnya. Bagaimana mungkin Al-Qur’an turun sekaligus, dengan menyuruh untuk meninggalkan dan mengerjakan hal yang sama. Allah subhaanahu wa ta’ala tidak mewajibkan hamba-Nya untuk menghafal keseluruhan Al-Qur’an, juga tidak mewajibkan untuk mempelajari seluru isi kandungan Al-Qur’an. Sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’ala menurunkan Al-Qur’an dengan penuh hikmah yang harus dipelajari, diimani, harus dilaksanakan perintah-Nya, dan yang harus meninggalkan semua larangan-Nya. Juga Allah subhaanahu wa ta’ala menurunkan Al-Qur’an untuk memudahkan hamba-Nya dalam menghafal, yaitu kemampuan membacanya di dalam sembahyang dengan ayat-ayat yang mudah.
Para sahahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah lentera penerang bumi, pemimpin umat manusia dalam ilmu pengetahuan. Diantara mereka ada yang hanya membaca tiga atau empat surah, sebagian yang lain hanya beberapa baris saja, hanya sebagian mereka saja yang diberikan Allah subhaanahu wa ta’ala kemampuan dalam membaca dan menghafal keseluruhan Al-Qur’an. Terkadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima tamu dari luar arab, dan beliau membacakan kepada mereka beberapa kutipan ayat saja yang dianggap cukup bagi mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus para shahabatnya ke negeri-negeri lain, dengan membekali kepada mereka bagian-bagian Al-Qur’an yang berbeda, atau surah-surah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Sekiranya ayat yang membicarakan tentang Nabi-Nabi lain hanya satu bagian saja. niscaya satu kaum hanya mendapatkan satu kisah saja, seperti satu kaum hanya menerima kisah Nabi Musa a.s saja, kaum yang lain menerima kisah Nabi Isa a.s kaum yang lain menerima kisah Nabi Nuh a.s dan seterusnya.
Dengan rahmat dan kasih sayang-Nya, Allah subhaanahu wa ta’ala menghendaki kemasyuran kisah Nabi-Nabi terdahulu kepada seluruh umat di muka bumi ini, dan mereka menerimanya dengan menganggap sebuah kisah yang terkenal atau masyhur, setiap orang mendengar dan menerima ke dalam hatinya, serta dapat lebih memahaminya. Kisah-kisah Nabi terdahulu bukanlah merupakan sebuah kewajiban yang dituntut oleh Allah subhaanahu wa ta’ala seperti sembahyang yang sempurna dengan rukun dan jumlah rakaatnya, zakat dan sunnah-sunnahnya, puasa dan haji.
Akan tetapi, ini hanyalah sebuah kisah yang tidak dituntut untuk diperlakukan seperti itu dan caranya pun tidak disebutkan dalam Al-Qur’an tersebut. kita tidak dituntut untuk melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Musa a.s, Isa a.s, Nuh a.s dan semua para Nabi yang disebutkan kisahnya di dalam Al-Qur’an. Ayat tentang kisah ini pun dirurunkan pada awal islam sebelum agama ini sempurna. Ketika agama islam sudah tersebar di segala penjuru di muka bumi, dan mereka yang lebih tahu telah mengajrkan kepada yang lain, dan Al-Qur’an telah terkodifikasi, maka terhapuslah makna seperti ini. Seluruh kisah tersebut dikumpulkan dan disatukan untuk setiap umat. Inilah sekilas tentang pemikiran Ibnu Qutaibah yang berhubungan dengan Al-Qur’an.
Setiap ungkapan yang datang dari beliau merupakan ide yang cemerlang dan permikiran yang sangat luas, sesuai denga juwa ilmiah yang menghilangkan keraguan dan kebatilan, dan juga menjelaskan sisi yang benar terhadap lontaran yang beredar. Ibnu Qutaibah sangat berjasa dalam usahanya untuk membanta mereka yang melontarkan keraguan terhadap nash-nash agama, terutama dari golongan Mu’tazilah.
Beliau mengungkapkan itu semua dengan metode ilmiah. Dengan usahanya itu pantaslah beliau untuk mendapatkan pujian dari para ulama. Ibnu Khalkan berkata: “Ibnu Qutaibah adalah seorang yang mulia dan tsiqah (terpercaya). Beliau tinggal di Bagdad. Beliau mengambil riwayat dari Ishak bin Rawaihi, Abu Ibrahim bin Sufyan bin Sulaiman dan Abu Hatim al-Sajistani. Semua kedudukan dan semua karangan beliau sangat bermamfaat.” Al-Dzahabi berkata dalam al-Mughni tentang Ibnu Qutaibah: “Beliau adalah ulama yang sangat jujur dan benar.” Al-Khatib berkata: “Ibnu Qutaibah adalah ulama yang terpercaya (tsiqah).” Beliau meninggal dalam keadaan mendadak, yaitu ketika memakan grees (makanan yang terbuat dari adonan tepung campur bubur daging) lalu beliau tiba-tiba diserang demam panas kemudian beliau berteriak dengan sangat nyaring. Setelah itu diserang penyakit gila babi lalu meninggal dunia dalam keadaan mengucap dua khalimat syahadat, yaitu tahun 276 H. semoga Allah subhaanahu wa ta’ala memberikan rahmat-Nya kepada beliau dan menjadikan ilmu beliau bermanfaat.
Konsep Pemikiran Ibnu Qutaibah
Ibnu Qutaibah hidup semasa dengan Al-Jahith, seorang teolog terkemuka dari kalangan Muktazilah.Kendatipun demikian, dia berseberangan dengan al-Jahith, sebab dia bukanlah seseorang yang berpaham Muktazilah melainkan pengikut paham Ahli Sunnah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah.
1.Konsep tentang Qadha
Menurut Ibnu Qutaibah, qadha ialah hukum, ciptaan, kepastian, dan penjelasan. Asal maknanya adalah memutuskan, memisahkan, menentukan sesuatu, mengukuhkannya, menjalankaannya, dan menyelesaikannya.Qadha terbagi menjadi dua, yakni qadha mahtum (definitif)dan qadha ghairu mahtum (tidak definitif).
Qadha mahtum adalah sebuah takdir pasti yang tidak bisa dirubah, Allah bukan tidak bisa merubahnya melainkan itu memang suatu kebijakan yang telah ditentukan-Nya.Hal ini misalnya disebutkan dalam Surat Al Kahfi ayat 29: Allah menciptakan manusia sebagaimakhluk yang bebas dalam bertindak dan menetukan nasibnya sendiri. Kemudian qadha ghairu mahtum adalah sebuah ketentuan yang masih bisa berubah karena bersifat tidak pasti, tetapi hal ini tidak bisa dilakukan secara instan karena Allah akan merubah takdir seseorang jika terpenuhinya syarat-syarat tertentu.
2.Konsep Ibadah
Ibnu Qutaibah tidak hanya berhenti sampai di situ saja, tetapi pembahasannya juga sampai kepada pluralitas jalan menuju Allah. Baginya, jalan menuju Allah tidak tunggal dan kebaikan bukan hanya sebatas shalat malam, puasa terus menerus, mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, tetapi jalan menuju Allah adalah sangat banyak dan pintu kebaikan terbuka lebar-lebar. Kemaslahatan agama terkait dengan kemaslahatan zaman, kemaslahatan zaman terkait dengan kemasalahatan yang disertai bimbingan dan pengajaran yang baik.
Sehingga menurut Ibnu Qutaibah, ibadah kepada Allah bukan hanya sebatas shalat, puasa, dan zakat, tetapi berperilaku yang baik kepada sesama juga termasuk jalan menuju Allah. Dengan kata lain, etika yang baik adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan ini dan merupakan kebaikan yang bisa menghantarkan kita wushul ilallah (sampai kepada Allah).
3.Konsep Al-Iktiwa
Al Iktiwa adalah memanaskan besi dengan menggunakan api dengan tujuan pengobatan. Menurutnya iktiwa itu terbagi dalam dua macam. Pertama, iktiwa pada anggota tubuh yang sehat di mana seseorang berharap bagian tersebut tidak mengalami sakit. Dia mengungkapkan bahwa hal semacam ini tidak diperbolehkan karena keadaannya tidak sakit melainkan sehat. Kedua, iktiwa yang dilakukan pada anggota tubuh yang mengalami pembusukan atau kerusakan, maupun anggota tubuh yang terpotong.
Hal inilah yang memperbolehkan dilakukannya iktiwa.Apabila iktiwa dilaksanakan hanya sebagai rekaan belaka, maka itu bertolak belakang terhadap hal yang utama, di mana menggunakan api untuk pengobatan pada anggota tubuh yang belum jelas sakitnya.
4.Konsep Penafsiran AlQuran
Ibnu Qutaibah telah menjelaskan dalam kitabnya Takwil Musykilu AlQur’an tentang penafsiran AlQuran menggunakan rasio. Ada hadits Nabi yang menerangkan bahwa penafsiran dengan menggunakan rasio adalah perbuatan yang dilarang.Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa sahabat dan para pembesar ulama’ tabiin sangat takut untuk menafsirkan Al-Qur’an sembarangan, padahal mereka adalah orang-orang yang kadar keilmuwan dan ketaqwaannya sudah tinggi. Lantas kenapa kita harus masuk kubangan masalah tersebut jika orang-orang dahulu telah meninggalkannya dan justru takut untuk memasukinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar