Translate

Selasa, 31 Desember 2019

Doa Dalam Menyembelih Hewan Untuk Aqiqoh

Aqiqah adalah sunnah Rasul yang didefinisikan sebagai penyembelihan hewan dalam rangka penebusan seorang anak. Sebab, sebagaimana sabda Nabi saw dalam hadits riwayat Abu Dawud nomor 1522, tubuh seorang anak itu tergadaikan sampai ia diaqiqahi:


الْغُلاَمُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ اْلسَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسَهُ وَيُسَمَّى

"Seorang anak tergadaikan dengan (tebusan) aqiqah yang disembelih untuknya di hari yang ke tujuh, dicukur rambut kepalanya dan diberi nama.” 

Hewan yang disembelih dalam Aqiqoh ialah dua ekor kambing bagi anak lelaki dan satu ekor kambing bagi anak perempuan. Kriteria tentang kambing yang bagaimana yang layak dijadikan sebagai aqiqoh sama dengan kambing yang layak untuk berkurban. 

Alat yang dipakai untuk menyembelih binatang aqiqah dan binatang lainnya umumnya berupa pisau, golok, dan parang. Bahkan di industri memakai alat potong yang lebih canggih, namun bentuknya tetap mirip pisau. Supaya kepingan yang disembelih tidak alot alasannya yaitu tumpulnya alat potong, maka dianjurkan untuk mengasah alat potong sampai tajam. Dengan hal demikian, akan mengurangi tindak aniaya ketika pemotongan. Berikut yaitu hadist shahihyang diriwayatkan oleh Muslim (13/1955-Nawawi), Ibnu Majah (3670), Abdurrazzaq (8603-8604) dan Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa (899).

Dari Syaddad bin Aus RA ia berkata, “Dua hal yang saya hafal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ia berkata:

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَ

“Sesungguhnya Allah memerintahkan biar berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah binatang yang akan disembelih”

Usahakan binatang akan disembelih tidak melihat ketika pengasahan alat potong
Menyembelih binatang aqiqah dan binatang lainnya harus dengan pisau yang tajam. Hal tersebut untuk mengurangi rasa sakit yang terlalu lama. Ada 2 hadist shahih yang menjelaskan perihal perihal tidak dibolehkannya memperlihatkan pengasahan pisau kepada binatang yang akan disembelih. Hadist yang pertama diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (9/280), Al-Hakim (3/233), Abdurrazzaq (8609).
Hadist ini dishahihkan oleh Al-Hakim. Selanjutnya juga disepakati oleh Adz-Dzahabi bahwa hadits ini shahih. Pada isnad oleh Al-Baihaqi rijalnya tsiqat. Perawi yang berjulukan Abdullah bin Ja’far Al-Farisi yaitu tsiqah berdasarkan Adz-Dzahabi dalam As-Siyar : Imam Al-Alamah. Kemudian juga ditsiqahkan oleh Ibnu Mandah. Lafazh hadistnya yaitu sebagai berikut:
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu ia berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengamati seorang lelaki yang meletakkan kakinya di atas pipi (sisi) kambing dalam keadaan ia mengasah perangnya sedangkan kambing tersebut memandang kepadanya, maka ia mengatakan:
أَتُرِيْدُ أَنْ تَمِيْتَهَا مَوْتَات هَلاَ حَدَدْتَ شَفْرَتَكَ قَبْلَ أَنْ تَضْجَعَهَا
“Tidaklah diterima hal ini. Apakah engkau ingin benar-benar mematikannya. (dalam riwayat lain : Apakah engkau ingin mematikannya dengan beberapa kematian).”
Hadist yang kedua diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (8606-8608). Sanad yang ada didalamnya ada kelemahan alasannya yaitu bercampurnya hafalan Shalih Maula At-Tauamah. Isinya yaitu jangan menajamkan alat potong di depan binatang yang disembelih. Berikut yaitu kutipan hadistnya:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata:
“Jika salah seorang dari kalian menajamkan parangnya maka janganlah ia menajamkannya dalam keadaan kambing yang akan disembelih melihatnya”
Menggiring binatang ke arah tempat pemotongan dengan baik
Sesudah berbuat baik terhadap binatang sembelihan dan mengasah pisau, selanjutnya binatang dibawa ke tempat penyembelihan dengan cara baik-baik. Mengenai hal ini ada dalil hadist yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (9/281), Abdurrazzaq (8605) dan isnadnya munqathi (terputus), alasannya yaitu Ibnu Sirin tidak bertemu dengan Umar, maka isnadnya dlaif. Namun demikian ada hadits lain yang menjelaskan keharusan bersikap baik (rahmah) pada hewan. Oleh alasannya yaitu itu, hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi tersebut maknanya shahih. Berikut yaitu kutipannya
Ibnu Sirin menyampaikan bahwa Umar Radhiyallahu anhu melihat seseorang menyeret kambing untuk disembelih kemudian ia memukulnya dengan pecut, maka Umar berkata dengan mencelanya:
“Giring binatang ini kepada maut dengan baik”
Jadi akhlak menyembelih binatang aqiqah dan binatang lain itu diatur terperinci dalam Islam, bukan hanya do’a menyembelih binatang aqiqoh saja. Rasulullah Muhammad yaitu nabi yang penyayang terhadap sesama makhluk.
Membaringkan binatang yang akan di potong dan menghadapkannya ke arah kiblat
Mengenai dalil menyembelih binatang aqiqah dan binatang lainnya dalam posisi terbaring berasal dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Beliau mendapati Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kepada sahabatnya untuk dibawakan kibas (sejenis kambing). Kemudian Rasulullah mengambil kibas itu dan membaringkannya. Selanjutnya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyembelihnya.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِى سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِى سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِى سَوَادٍ فَأُتِىَ بِهِ لِيُضَحِّىَ بِهِ فَقَالَ لَهَا « يَا عَائِشَةُ هَلُمِّى الْمُدْيَةَ ».ثُمَّ قَالَ « اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ ». فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ « بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ». ثُمَّ ضَحَّى بِهِ.
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminta diambilkan seekor kambing kibasy. Beliau berjalan dan bangun serta melepas pandangannya di tengah orang banyak. Kemudian ia dibawakan seekor kambing kibasy untuk ia buat qurban. Beliau berkata kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, bawakan kepadaku pisau“. Beliau melanjutkan, “Asahlah pisau itu dengan batu“. ‘Aisyah pun mengasahnya. Lalu ia membaringkan kambing itu, kemudian ia bersiap menyembelihnya, kemudian mengucapkan, “Bismillah. Ya Allah, terimalah qurban ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad”. Kemudian ia menyembelihnya
Imam an Nawawi rahimahullah menyampaikan bahwa hadits tersebut di atas memperlihatkan keutamaan menyembelih binatang dalam posisi terbaring. Menyembelih binatang dalam posisi bangun atau berlutut yaitu tidak dianjurkan dan kurang tepat. Hal tersebut merupakan salah satu sikap ihsan terhadap binatang sembelihan.
Cara menyembelih binatang aqiqah dan lainnya dengan cara dibaringkan merupakan tawaran yang disepakati oleh jumhur ulama berdasarkan hadits-hadits yang ada. Oleh alasannya yaitu itu, sebaiknya setiap muslim yang menyembelih hewan, dianjurkan untuk mengikuti apa yang telah disepakati para ulama tersebut. Membaringkan binatang sembelihan binatang yang benar yaitu dengan posisi kiri binatang tersebut berada dibawah (menempel tanah atau lantai). Cara ini memudahkan orang yang akan menyembelih untuk mengambil pisau dengan asisten dan menahan kepala binatang dengan tangan kiri.
Setelah itu, penyembelih meletakkan kaki kirinya di leher sisi kanan binatang yang disembelih. Dalam hal ini ada dalil yang diriwayatkan Anas berikut:
ضَحَّى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ ، فَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا يُسَمِّى وَيُكَبِّرُ ، فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ .
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing kibasy putih. Aku melihat ia menginjak kakinya di pangkal leher dua kambing itu. Lalu ia membaca basmalah dan takbir, kemudian ia menyembelih keduanya
Hewan yang disembelih miring dengan menghadap kiblat. Hal ini didasarkan pada sikap Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Nafi’,
أَنَّ اِبْنَ عُمَرَ كَانَ يَكْرَهُ أَنْ يَأْكُلَ ذَبِيْحَةَ ذَبْحِهِ لِغَيْرِ القِبْلَةِ.
“Sesungguhnya Ibnu Umar tidak suka memakan daging binatang yang disembelih dengan tidak menghadap kiblat.”
Menurut Syaikh Abu Malik, menghadapkan binatang ke arah kiblat bukanlah syarat dalam penyembelihan hewan. Jika memang hal ini yaitu syarat, tentu Allah akan menjelaskannya. Mengarahkan binatang sembelihan ke arah kiblat hanyalah mustahab (dianjurkan).
Mengucapkan tasmiyah (basmalah) dan takbir
Ketika akan menyembelih disyari’atkan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar”, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib sebagaimana telah dijelaskan di muka. Adapun bacaan takbir – Allahu akbar – para ulama setuju jikalau aturan membaca takbir ketika menyembelih ini yaitu sunnah dan bukan wajib.
Memotong pada kepingan yang tepat
Maksud dari menyembelih yaitu memotong urat leher, kerongkongan, kanal pernafasan dan kanal darah sehingga binatang lebih cepat mati (meninggal). Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata : Penyembelihan dilakukan di sekitar kerongkongan dan labah. Labah yaitu lekuk yang ada di atas dada dan unta juga disembelih di tempat ini.
Disunnahkan saat menyembelih binatang untuk ‘aqiqoh dengan membaca:
بِسْمِ اللهِ ، اللَّهُ أَكْبَرُ ، اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ ، هَذِهِ عَقِيقَةُ فُلاَن
Bismillah Allahu Akbar Allaahumma minka wa laka, haadzihi ‘aqiiqotu fulaan (Dengan Nama Allah, Allah adalah Yang Terbesar, Ya Allah ini dariMu dan untukMu. Ini adalah aqiqoh fulaan)
Penyebutan ‘fulaan’ itu diganti dengan nama anak yang diaqiqohi tersebut.
Hal ini sesuai hadits yang diriwayatkan al-Baihaqy dalam as-Sunan al-Kubro dan Abu Ya’la dalam Musnadnya:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : يُعَقُّ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ ، وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ ، قَالَتْ عَائِشَةُ : فَعَقَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ شَاتَيْنِ شَاتَيْنِ يَوْمَ السَّابِعِ ، وَأَمَرَ أَنْ يُمَاطَ عَنْ رَأْسِهِ الأَذَى وَقَالَ : اذْبَحُوا عَلَى اسْمِهِ وَقُولُوا بِسْمِ اللهِ ، اللَّهُ أَكْبَرُ ، اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ ، هَذِهِ عَقِيقَةُ فُلاَنٍ
Dari Aisyah –radhiyallahu anha- beliau berkata: Anak laki-laki diaqiqohi dengan dua kambing yang setara. Dan anak perempuan satu kambing. Aisyah berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam mengaqiqohi al-Hasan dan al-Husain masing-masing dua kambing pada hari ketujuh (kelahiran). Beliau memerintahkan agar pada kepala anak itu dihilangkan kotoran. Dan beliau bersabda: Sembelihlah dengan (juga) menyebut nama (anak yang akan diaqiqahi). Ucapkan: Bismillah Allahu Akbar Allaahumma minka wa laka, haadzihi ‘aqiiqotu fulaan (Dengan Nama Allah, Allah adalah Yang Terbesar, Ya Allah ini dariMu dan untukMu. Ini adalah aqiqoh fulaan).
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnus Sakan dan dinyatakan sanadnya hasan oleh anNawawiy dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab. Diriwayatkan juga oleh Ibnul Mundzir dan dinyatakan hasan.
Hal ini juga ditunjang oleh pendapat seorang Tabi’i Qotadah, yang menyatakan:
يُسَمِّى عَلَى الْعَقِيقَةِ كَمَا يُسَمِّى عَلَى الأُضْحِيَّةِ : بِسْمِ اللهِ ، عَقِيقَةُ فُلاَنٍ
Mengucapkan bismillah saat (akan menyembelih) aqiqoh sebagaimana mengucapkan bismillah pada binatang kurban, dengan mengucapkan: Bismillah, aqiqoh fulaan (riwayat Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih, para perawinya adalah rijal al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah juga menyebutkan pendapat ini adalah pendapat al-Imam Ahmad dalam Tuhfatul Mauduud fii Ahkaamil Mauluud:
ولهذا يستحب أن يقال عليها ما يقال على الأضحية قال أبو طالب سألت أبا عبد الله إذا أراد الرجل أن يعق كيف يقول قال يقول باسم الله ويذبح على النية كما يضحي بنيته يقول هذه عقيقة فلان بن فلان ولهذا يقول فيها اللهم منك ولك ويستحب فيها ما يستحب في الأضحية
Karena itu, disunnahkan untuk mengucapkan seperti yang diucapkan pada saat penyembelihan kurban. Abu Tholib berkata: Aku bertanya Abu Abdillah (Ahmad bin Hanbal): Jika seorang ingin (menyembelih) aqiqoh, apa yang dibacanya? Beliau menjawab: Ia mengucapkan Bismillah dan menyembelih dengan (menyebut niat). Ia berkata: Ini adalah aqiqoh fulaan bin fulaan. Karena itu saat menyembelih itu ia mengucapkan: Allaahumma minka wa laka ( Ya Allah ini adalah dariMu dan untukMu). Disukai melakukan padanya (aqiqoh) sebagaimana disukai melakukannya pada penyembelihan binatang kurban (Tuhfatul Mauduud fii Ahkaamil Mauluud (1/70)).
Namun kalaupun seseorang hanya mengucapkan Bismillah saat menyembelih aqiqoh dan tidak melafadzkan niat bahwa aqiqoh ini dari anak tertentu, maka yang demikian tidak mengapa. Ibnul Mundzir menyatakan:
وإن نوى العقيقة ولم يتكلم به أجزأه إن شاء الله
Jika dia berniat aqiqoh dan tidak mengucapkannya maka yang demikian sudah cukup baginya InsyaAllah (Tuhfatul Mauduud fii Ahkaamil Mauluud (1/93)).
Catatan : hadits Aisyah di atas memiliki ‘illat karena mayoritas jalur periwayatan mengandung ‘an-anah dari Ibnu Juraij, hanya periwayatan dari Ibnu Hibban dalam Shahihnya yang tidak. Ibnu Juraij, meski beliau adalah rijaal al-Bukhari dan Muslim namun beliau dikenal sebagai mudallis. Namun, riwayat ini insyaAllah bisa dikuatkan dengan riwayat yang shahih maqthu’ dari Qotadah. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan 2 jalur periwayatan dari Qotadah, yang salah satu sanadnya shahih. Syaikh al-Albany dalam kitab Qishshotul Masiihid Dajjaal (1/99) mengisyaratkan bahwa riwayat shahih maqthu’ dari Tabi’i hukumnya adalah marfu’ mursal.
Doa menyembelih binatang aqiqah sesuai sunnah sebaiknya diketahui oleh orang yang ditugaskan untuk memotong binatang tersebut, baik kambing ataupun domba. Dengan mempelajari ilmu sebelum beramal, maka seseorang mampu melaksanakan amal tersebut dengan benar tak terkecuali dengan tata cara menyembelih kambing aqiqah. Berikut ini aadalah teks bacaan doa ketika menyembelih kambing aqiqah atau domba aqiqah. Ini yaitu kumpulan doa untuk aqiqah anak dalam bahasa Arab dan latin beserta terjemahan dalam bahasa Indonesia.
بِسْمِ اللهِ وَبِاللهِ، اَللَّهُمَّ عَقِيْقَةٌ عَنْ فُلاَنِ بْنِ فُلاَن لَحْمُهَا بِلَحْمِهِ وَعَظْمُهَا بِعَظْمِهِ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْهَا وِقَآءً لآلِ مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ وَآلِهِ السَّلاَمُ
Bismillâhi wa billâhi, Allâhumma `aqîqatun `an fulan bin fulan, lahmuhâ bilahmihi wa `azhmuhâ bi`azhmihi. Allâhummaj`alhâ wiqâan liâli Muhammadin `alayhi wa âlihis salâm.
Artinya:
Dengan nama Allah dan dengan Allah, aqiqah ini dari fulan bin fulan, dagingnya dengan dagingnya, tulangnya dengan tulangnya. Ya Allah, jadikan aqiqah ini sebagai tanda kesetiaan kepada keluarga Muhammad SAW
Doa aqiqah diatas yaitu bacaan doa aqiqah untuk anak pria atau bayi laki-laki. Untuk teks bacaan doa aqiqah anak wanita atau bayi perempuan, maka nama fulan bin fulan diganti dengan fulanah binti fulanah (nama anak tersebut).
Alternatif doanya adalah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. اَللّهُم‍َّ رَبِّىْ, هَذِهِ عَقِيْقَةُ … بِنْ…. دَمُهَا بِدَمِهِ وَلَحْمُهَا بِلَحْمِهِ وَعَظْمُهَا بِعَظْمِهِ وَجِلْدُهَا بِجِلْدِهِ وَشَعْرُهَا بِشَعْرِهِ. اَللَّهُمَّ اجْعَلْهَا فِدَاءً لِ…بن….مِنَ النَّارِ
Bismillahirrokhmanirrokhiym. Allahumma Robbi Hadzihi ‘Aqyqotu…….bin….damuhaa bidamihi walakhmuhaa bilakhmihi wa-adhmuhaa biadhmihi wajilduhaa bijildihi wa-ssya’ruhaa bi-ssya’rihi Allahumma aj’alhaa fidaa an li………bin………..minannaar
Artinya: Ya Allah, wahai Tuhanku, binatang ini yaitu aqiqah untuk….bin… (sebutkan namanya), dimana darahnya (hewan) yaitu menebus darahnya (anak), dagingnya (hewan) untuk menebus dagingnya (anak), tulangnya (hewan) yaitu untuk menbus tulangnya (anak), kulitnya (hewan) yaitu untuk menebus kulitnya (anak) dan bulunya (hewan) untuk menebus rambutnya (anak). Ya Allah, hendaklah Engkau menyebabkan aqiqah ini sebagai tebusan untuk….bin…. (sebutkan namanya) dari neraka.
Dasar dari pelaksanaan tersebut yaitu hadist yang diriwayatkan Al-Baihaqi dan jago hadist lainnya:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم: عق عن الحسن والحسين شاتين يوم السابع وأمر أن يماط عن رأسه الأذى وقال اذبحوا على اسمه وقولوا بسم الله والله أكبر اللهم لك وإليك هذه عقيقة فلان
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Al-Hasan dan Al-Husain dengan dua ekor kambing pada hari ketujuh, dan diperintahkan biar rambut kepalanya dicukur. Lalu ia berkata, sembelihlah atas namanya, ucapkanlah, “Bismillah wallahu akbar. Allahumma laka wa ilaik. Hadzihi aqiqah fulan.” (Dengan nama Allah, Allah Maha Besar. Ya Allah, ini milik-Mu dan untuk-Mu. Ini yaitu aqiqah untuk si fulan.”
Fulan disini bermakna anak biasanya laki-laki, untuk wanita disebut fulanah. Namun hadist di atas mampu diterapkan baik untuk bayi pria maupun perempuan.
Doa walimah al-‘Aqiqah
اللهم احْفَظْهُ مِنْ شَرِّالْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَأُمِّ الصِّبْيَانِ وَمِنْ جَمِيْعِ السَّيِّئَاتِ وَالْعِصْيَانِ وَاحْرِسْهُ بِحَضَانَتِكَ وَكَفَالَتِكَ الْمَحْمُوْدَةِ وَبِدَوَامِ عِنَايَتِكَ وَرِعَايَتِكَ أَلنَّافِذَةِ نُقَدِّمُ بِهَا عَلَى الْقِيَامِ بِمَا كَلَّفْتَنَا مِنْ حُقُوْقِ رُبُوْبِيَّتِكَ الْكَرِيْمَةِ نَدَبْتَنَا إِلَيْهِ فِيْمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ خَلْقِكَ مِنْ مَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ وَأَطْيَبُ مَا فَضَّلْتَنَا مِنَ الْأَرْزَاقِ اللهم اجْعَلْنَا وَإِيَّاهُمْ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَأَهْلِ الْخَيْرِ وَأَهْلِ الْقُرْآنِ وَلَا تَجْعَلْنَا وَإِيَّاهُمْ مِنْ أَهْلِ الشَّرِ وَالضَّيْرِ وَ الظُّلْمِ وَالطُّغْيَانِ
“Allâhummahfadzhu min syarril jinni wal insi wa ummish shibyâni wa min jamî’is sayyiâti wal ‘ishyâni wahrishu bihadlânatika wa kafâlatika al-mahmûdati wa bidawâmi ‘inâyatika wa ri’âyatika an-nafîdzati nuqaddimu bihâ ‘alal qiyâmi bimâ kalaftanâ min huqûqi rububiyyâtika al-karîmati nadabtanâ ilaihi fîmâ bainanâ wa baina khalqika min makârimil akhlâqi wa athyabu mâ fadldlaltanâ minal arzâqi. Allâhummaj’alnâ wa iyyâhum min ahlil ‘ilmi wa ahlil khairi wa ahlil qur`âni wa lâ taj’alnâ wa iyyâhum min ahlisy syarri wadl dloiri wadz dzolami wath thughyâni.”
“Ya Allah, jagalah dia (bayi) dari kejelekan jin, manusia ummi shibyan, serta segala kejelekan dan maksiat. Jagalah dia dengan penjagaan dan tanggungan-Mu yang terpuji, dengan perawatan dan perlindunganmu yang lestari. Dengan hal tersebut aku mampu melaksanakan apa yang Kau bebankan padaku, dari hak-hak ketuhanan yang mulia. Hiasi dia dengan apa yang ada diantara kami dan makhluk-Mu, yakni akhlak mulia dan anugerah yang paling indah. Ya Allah, jadikan kami dan mereka sebagai ahli ilmu, ahli kebaikan, dan ahli Al-Qur’an. Jangan kau jadikan kami dan mereka sebagai ahli kejelekan, keburukan, aniaya, dan tercela.”
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Rabu, 25 Desember 2019

Amalan Sunah Ketika Terjadi Gerhana


Hukum Shalat gerhana adalah Sunnah Muakkad tanpa membedakan apakah gerhana matahari maupun gerhana bulan, dalam kondisi safar maupun Muqim. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa Shalat gerhana hanya disunnahkan untuk gerhana matahari sementara gerhana bulan tidak dengan beralasan Nabi SAW tidak pernah Shalat gerhana bulan, maka pendapat ini tertolak oleh Hadis berikut;

صحيح البخاري (4/ 186)
عن الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ يَقُولُ انْكَسَفَتْ الشَّمْسُ يَوْمَ مَاتَ إِبْرَاهِيمُ فَقَالَ النَّاسُ انْكَسَفَتْ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ

“Dari Al-Mughiroh Bin Syu’bah beliau berkata; Matahari mengalami gerhana di hari wafatnya Ibrahim (putra Rasulullah SAW). Maka orang-orang berkata; Dia (matahari) mengalami gerhana karena kematian Ibrahim. Maka Rasulullah SAW bersabda; Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat di antara ayat-ayat Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihatnya, maka berdoalah, dan Shalatlah sampai terang (normal) kembali” (H.R.Bukhari)

Sunnah Berjamaah

Shalat gerhana sunnah dilakukan secara berjamaah. Dalilnya adalah Hadis berikut;

صحيح البخاري (4/ 163)
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ

“Dari Aisyah istri Nabi SAW bahwasanya beliau berkata; Matahari mengalami gerhana pada masa hidup Nabi SAW. Maka beliau keluar menuju masjid lalu membariskan orang-orang dibelakang beliau “ (H.R.Bukhari)

Lafadz “فَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ” (lalu membariskan orang-orang dibelakang beliau) menunjukkan Nabi SAW membariskan kaum Muslimin dibelakangnya untuk membuat Shof Jamaah. Karena itu Hadis ini menjadi Dalil kesunnahannya. Namun Shalat Munfarid (sendirian) juga sah. Dasarnya adalah perintah mutlak dari Nabi SAW yang memerintahkan Shalat gerhana pada Hadis sebelumnya, yaitu lafadz “وَصَلُّوا” (Shalatlah kalian). Perintah “Shalatlah kalian” ini bersifat mutlak, bisa dilakukan berjamaah sebagaimana bisa dilakukan sendirian. Muslim yang melakukannya secara berjamaah berarti telah melaksanakan Hadis tersebut sebagaimana muslim yang melakukannya Munfarid juga telah melaksanakan Hadis tersebut.

Keikutsertaan Wanita dalam Shalat Gerhana

Wanita diizinkan ikut Shalat gerhana, karena Aisyah dan Asma ikut Shalat gerhana saat Rasulullah SAW menyelenggarakan Shalat gerhana.

صحيح البخاري (4/ 453)
عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ دَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَهِيَ تُصَلِّي قَائِمَةً وَالنَّاسُ قِيَامٌ فَقُلْتُ مَا شَأْنُ النَّاسِ فَأَشَارَتْ بِرَأْسِهَا إِلَى السَّمَاءِ فَقُلْتُ آيَةٌ فَقَالَتْ بِرَأْسِهَا أَيْ نَعَمْ

“Dari Asma’ beliau berkata; Aku masuk menemui Aisyah sementara dia sedang Shalat sambil berdiri dan orang-orang juga berdiri. Maka aku bertanya “Orang-orang kenapa?” Maka Aisyah memberi isyarat dengan kepalanya ke arah langit (menunjukkan bahwa terjadi gerhana matahari). Maka aku bertanya; ayat?maka dia menjawab dengan isyarat kepalanya; ya” (H.R.Bukhari)

Waktu pelaksanaan

Awal waktu saat Shalat gerhana mulai diizinkan adalah ketika gerhana mulai terjadi. Pada saat itu Shalat gerhana sudah boleh dilakukan. Jika pelaksanaannya sebelum terjadi gerhana, lalu ditengah-tengah Shalat. baru gerhananya terjadi maka shalatnya tidak sah karena Shalat tersebut dilakukan sebelum masuk waktu. Hal ini sama dengan orang yang Shalat Dhuhur jam 10 pagi atau Shalat ashar jam 13.00. Akhir waktunya ditandai ketika matahari/bulan kembali normal.
‎Dalam rentang waktu tersebut Shalat gerhana sah dilakukan. Seorang muslim bisa memilih di awal waktu, ditengahnya atau di akhir. Jika dia Shalat di akhir waktu, lalu ditengah Shalat gerhana sudah lenyap, maka Shalatnya tetap disempurnakan dan dihitung sah, karena dia telah mengawali Shalat pada waktunya. 

Tempat Pelaksanaan

Disunnahkan Shalat gerhana dilakukan di Masjid karena Rasulullah SAW melakukannya di Masjid. Kesunnahan ini tidak membedakan apakah Shalat gerhananya dilakukan berjamaah ataukah Munfarid.

صحيح البخاري (4/ 163)
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ

“Dari Aisyah istri Nabi SAW bahwasanya beliau berkata; Matahari mengalami gerhana pada masa hidup Nabi SAW. Maka beliau keluar menuju masjid lalu membariskan orang-orang di belakang beliau “ (H.R.Bukhari)

Jika dilakukan tidak di masjid misalnya di rumah, lapangan, halaman dll, maka tetap sah karena masjid bukan syarat keabsahannya.

Adzan dan Iqomat

Tidak disyariatkan Adzan dan Iqomat untuk mengawali Shalat gerhana tetapi cukup menyerukan الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ Dasarnya adalah Hadis berikut;

صحيح البخاري – مكنز (4/ 256، بترقيم الشاملة آليا)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو – رضى الله عنهما – قَالَ لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نُودِىَ إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَة

“Dari Abdullah bin ‘Amr beliau berkata; Tatkala matahari mengalami gerhana di masa Rasulullah SAW maka diumumkan ‘Assholata Jami’ah” (H.R.Bukhari)

Jumlah Rokaat

Jumlah Rokaat Shalat gerhana adalah dua. Dasarnya akan difahami dari sejumlah Hadis yang akan disebutkan di bawah

Tatacara Pelaksanaan

Untuk memudahkan dalam memahami, tatacara pelaksanaan Shalat gerhana akan dijelaskan dalam bentuk urutan sebagai berikut;

1. Niat. Cukup menyengaja dalam hati, tidak harus dilafalkan.

أُصَلِّي سُنَّةَ الخُسُوفِ رَكْعَتَيْنِ إِمَامً/مَأمُومًا لله تَعَالَى

Ushallî sunnatal khusûf rak‘ataini imâman/makmûman lillâhi ta‘âlâ

Artinya:"Saya salat sunah gerhana bulan dua rakaat sebagai imam/makmum karena Allah."

2. Takbiratul ihram

3. Membaca doa iftitah. Doa iftitah yang dibaca bebas, bisa memilih yang pendek, pertengahan maupun yang panjang asalkan didasarkan pada riwayat yang shahih. Doa iftitah dibaca pelan

4. Membaca Ta’awudz. Ta’awudz juga dibaca dengan pelan

5. Membaca surat Al-Fatihah. Surat Al-Fatihah dibaca dengan keras

6. Membaca surat. Jika mampu membaca surat Al-Baqoroh atau surat lain yang panjangnya kira-kira sama. Jika tidak mampu surat Al-Baqoroh, maka bebas memilih surat yang lain, baik yang panjang maupun yang pendek.

7. Ruku’. Ruku’ dilakukan dengan lama, kira-kira selama orang membaca 100 ayat. Bacaan Tasbih saat Rukuk bebas asalkan didasarkan pada riwayat yang shahih

8. I’tidal. Pada saat ini, bacaan Tasmi’ (سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ) Dilafalkan

9. Membaca Al-Fatihah kedua. Selesai membaca Tasmi’ tangan disedekapkan lagi lalu membaca Al-Fatihah untuk yang kedua kali. Inilah yang membedakan dengan Shalat-Shalat biasa. Jika pada Shalat biasa setelah I’tidal langsung Sujud, maka pada Shalat gerhana setelah I’tidal berdiri lagi untuk membaca.

10. Membaca surat. Jika mampu membaca surat Ali Imran atau surat lain yang panjangnya kira-kira sama. Jika tidak mampu surat Ali Imran, maka bebas memilih surat yang lain baik yang panjang maupun yang pendek.

11. Ruku’. Ruku’ dilakukan dengan lama, tetapi lebih pendek sedikit daripada Rukuk yang pertama. Bacaan Tasbih saat Rukuk bebas asalkan didasarkan pada riwayat yang shahih

12. I’tidal. Pada saat ini, bacaan Tasmi’ (سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ) Dilafalkan

13. Sujud. Setelah I’tidal dan membaca Tasmi’ , Sujud langsung dilakukan. Sujud juga diusahakan lama. Sujud dilakukan dua kali yang disela-selai duduk diantara dua Sujud sebagaimana Shalat biasa

14. Berdiri dari Sujud untuk melakukan Rokaat yang kedua. Pada Rokaat yang kedua ini yang dilakukan sama persis dengan Rokaat yang pertama, hanya saja durasi waktunya lebih pendek. Al-Fatihah dan surat dibaca, lalu Rukuk, lalu I’tidal lalu membaca lagi Al-Fatihah dan surat lalu Rukuk lalu I’tidal. Sebagaimana dalam Rokaat pertama dilakukan dua kali berdiri dan dua kali Rukuk, maka pada Rokaat yang kedua ini juga dilakukan dua kali berdiri dan dua kali Rukuk.

15. Sujud. Setelah I’tidal, maka gerakan dilanjutkan dengan Sujud dua kali yang disela-selai duduk diantara dua Sujud. Sujud pada Rokaat yang kedua ini juga lama, tetapi lebih pendek daripada Sujud pada Rokaat pertama

16. Salam

Dalil dari urutan ini adalah Hadis berikut yang didukung dan diperjelas dengan Hadis-Hadis yang lainnya;

صحيح مسلم (4/ 443)
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي حَيَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَقَامَ وَكَبَّرَ وَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ فَاقْتَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ قَامَ فَاقْتَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً هِيَ أَدْنَى مِنْ الْقِرَاءَةِ الْأُولَى ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا هُوَ أَدْنَى مِنْ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ سَجَدَ وَلَمْ يَذْكُرْ أَبُو الطَّاهِرِ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ فَعَلَ فِي الرَّكْعَةِ الْأُخْرَى مِثْلَ ذَلِكَ حَتَّى اسْتَكْمَلَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ وَانْجَلَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَنْصَرِفَ

“Dari Aisyah istri Nabi SAW beliau berkata; Matahari mengalami gerhana pada masa hidupnya Rasulullah SAW . Maka beliau keluar menuju masjid kemudian berdiri lalu bertakbir sementara orang-orang berbaris di belakang beliau. Kemudian Rasulullah SAW membaca (bacaan) lama. Lalu bertakbir, lalu Rukuk lama. Kemudian beliau mengangkat kepalanya lalu mengucapkan سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ. Lalu beliau berdiri kemudian membaca dengan panjang tetapi lebih pendek darpada bacaan yang pertama. Kemudian beliau bertakbir lalu Rukuk dengan lama tetapi lebih pendek daripada Rukuknya yang pertama. Kemudian berkata سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ kemudian bersujud. Kemudian beliau melakukan hal itu pada Rokaat yang lain (yang kedua) hingga beliau menggenapi empat Rukuk dan empat Sujud. Dan matahari telah menjadi terang (normal) sebelum beliau selesai. (H.R.Muslim)

صحيح البخاري (16/ 202)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ خَسَفَتْ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ مَعَهُ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلًا نَحْوًا مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ

Dari Abdullah Bin Abbas bahwasanya beliau berkata; Matahari mengalami gerhana pada masa Rasulullah SAW . Maka Rasulullah SAW Shalat bersama orang-orang, lalu beliau berdiri lama sekitar (membaca) surat Al-Baqoroh” (H.R.Bukhari)

Tentang ketentuan Al-Fatihah dan surat dibaca dengan Jahr (keras) maka Dalilnya adalah Hadis berikut;

صحيح مسلم (4/ 445)
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَهَرَ فِي صَلَاةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ

“Dari Aisyah bahwasanya Nabi SAW mengeraskan bacaannya pada saat Shalat gerhana” (H.R.Muslim)

سنن النسائي – مكنز (5/ 423، بترقيم الشاملة آليا)
عَنْ عَائِشَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ صَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِى أَرْبَعِ سَجَدَاتٍ وَجَهَرَ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ كُلَّمَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَالَ « سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ».

“Dari Aisyah dari Rasulullah SAW bahwasanya beliau Shalat empat kali Rukuk dalam empat kali Sujud dan membaca dengan keras bacaannya. Setiap beliau mengangkat kepalanya beliau mengucapkan سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ (H.R.An-Nasai)

Adapun riwayat yang mengesankan bahwa Rasulullah SAW tidak membaca dengan keras, misalnya riwayat berikut;

سنن أبى داود (3/ 415)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُسِفَتْ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ فَقَامَ فَحَزَرْتُ قِرَاءَتَهُ فَرَأَيْتُ أَنَّهُ قَرَأَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ

“Dari Aisyah beliau berkata; Matahari mengalami gerhana di masa Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW keluar Shalat mengimami orang-orang, lalu beliau berdiri. Aku memperkirakan bacaan beliau, kukira beliau membaca surat Al-Baqoroh (H.R.Abu Dawud)

سنن الترمذى (2/ 422)
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ صَلَّى بِنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي كُسُوفٍ لَا نَسْمَعُ لَهُ صَوْتًا

“Dari Samuroh bin Jundab beliau berkata; Rasulullah SAW mengimami kami dalam Shalat gerhana yang mana kami tidak mendengar suara beliau (H.R. At-Tirmidzi)

Maka maknanya adalah; Aisyah tidak mendengar bacaan Nabi SAW dengan jelas karena posisi beliau berada di bagian belakang. Demikian pula Samuroh, bisa difahami bahwa beliau berada di Shof bagian paling belakang sehingga tidak mendengar suara Nabi SAW. Namun Nabi SAW tetap membaca dengan keras meskipun akhirnya tidak semua Jamaah sanggup mendengar bacaan beliau.

Rukuk dalam Shalat Gerhana Bisa Ditambah

Dalam deskripsi tatacara yang dijelaskan sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa tiap Rokaat dilakukan dua kali Rukuk. Jumlah ini bisa ditambah sehingga tiap Rokaat diizinkan melakukan Rukuk tiga kali atau empat kali. Ketentuan ini didasarkan pada Hadis berikut;

صحيح مسلم (4/ 448)
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى سِتَّ رَكَعَاتٍ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ

“Dari Aisyah bahwasanya Nabi SAW Shalat enam kali Rukuk dan empat kali Sujud” (H.R.Muslim)

Enam kali Rukuk dalam dua Rokaat bermakna tiap Rokaat dilakukan tiga kali Rukuk.

صحيح مسلم (4/ 459)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ كَسَفَتْ الشَّمْسُ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ فِي أَرْبَعِ سَجَدَاتٍ

“Dari Ibnu Abbas beliau berkata; Ketika matahari mengalami gerhana, Rasulullah SAW Shalat delapan kali Rukuk dalam empat kali Sujud (H.R.Muslim)

Delapan kali Rukuk dalam dua Rokaat bermakna tiap Rokaat dilakukan empat kali Rukuk.

Khutbah Shalat Kusuf

Disunnahkan setelah selesai Shalat Kusuf, Imam melakukan khutbah. Dasarnya adalah Hadis berikut;

صحيح البخاري (4/ 159)
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ … ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ انْجَلَتْ الشَّمْسُ فَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا ثُمَّ قَالَ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ وَاللَّهِ مَا مِنْ أَحَدٍ أَغْيَرُ مِنْ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ وَاللَّهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلبَكَيْتُمْ كَثِيرًا

“Dari Aisyah bahwasanya beliau berkata:…. Kemudian beliau berpaling sementara matahari telah menjadi terang (normal). Maka beliau berkhutbah di hadapan orang-orang. Beliau memuji Allah dan menyanjungnya kemudian berkata; Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat di antara ayat-ayat Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang atau hidupnya. Jika kalian melihat hal itu, maka berdoalah kepada Allah, Shalatlah dan bershodaqohlah. Kemudian beliau bersabda; Wahai ummat Muhammad. Tidak ada seseorang yang lebih pencemburu daripada Allah ketika (melihat) hamba laki-lakinya berzina atau hamba perempuannya berzina. Wahai ummat muhammad, demi Allah seandainya kalian mengetahui apa yang kuketahui pastilah kalian sedikit tertawa dan banyak menangis” (H.R.Bukhari).

Khutbah yang dilakukan cukup satu kali, tidak perlu dua kali dengan mengqiyaskan pada khutbah Jum’at. Jumlah khutbah cukup sekali karena dhohir Hadis di atas memang hanya sekali. Lagipula, dalam urusan ibadah tidak boleh ada Qiyas.

Jika Sholat Gerhana Sendirian

Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh Muhadzzab menjelaskan bahwa shalat gerhana, baik bulan maupun matahari, bisa dilaksanakan sendirian, tanpa jamaah. Karena khutbah hanya merupakan sunnah, bukan syarat sah.

حَدِيثُ عَائِشَةَ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ وَاتَّفَقَتْ نُصُوصُ الشَّافِعِيِّ وَالْأَصْحَابِ عَلَى اسْتِحْبَابِ خُطْبَتَيْنِ بَعْدَ صَلَاةِ الْكُسُوفِ وَهُمَا سُنَّةٌ لَيْسَا شَرْطًا لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ قَالَ أَصْحَابُنَا وَصِفَتُهُمَا كَخُطْبَتَيْ الْجُمُعَةِ فِي الْأَرْكَانِ وَالشُّرُوطِ وَغَيْرِهِمَا سَوَاءٌ صَلَّاهَا جَمَاعَةٌ فِي مِصْرٍ أَوْ قَرْيَةٍ أَوْ صَلَّاهَا الْمُسَافِرُونَ فِي الصَّحْرَاءِ وَأَهْلُ الْبَادِيَةِ وَلَا يَخْطُبُ مَنْ صَلَّاهَا مُنْفَرِدًا

“Hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta ketetapan Imam as-Syafii dan para pengikutnya telah bersepakat atas kesunnahan dua khutbah setelah shalat gerhana. Dua khutbah tersebut hanyalah sunnah, bukan menjadi syarat sahnya shalat. Dua khutbah ini sama dengan khutbah Jumat dalam rukun, syarat dan selainnya, baik dilaksanakan berjamaah di kota besar maupun di desa, atau musafir di padang pasir maupun di perkampungan. Sedangkan orang yang shalat sendirian tidak perlu melakukan khutbah.”

Dari pendapat Imam an-Nawawi tersebut bisa disimpulkan bahwa khutbah bukanlah menjadi syarat sah shalat, sehingga orang yang melakukan shalat sendirian tidak perlu berkhutbah ataupun mendengarkan khutbah.

Lalu bagaimana tata cara shalatnya, jika shalat gerhana tersebut dilakukan sendirian?

Tata cara mengerjakannya sama dengan tata cara shalat gerhana yang dikerjakan berjamaah, yakni dilakukan sebanyak dua rakaat dan dengan dua kali ruku di setiap rakaatnya. Hanya saja, tidak perlu melakukan khutbah.

Amalan apa saja yang bisa dilakukan oleh kaum muslimin ketika terjadi gerhana?

Selain Shalat, amalan lain yang disyariatkan saat terjadi gerhana adalah berdoa, dzikir, istighfar, shodaqoh, membebaskan budak dan semua amal-amal Taqorrub lainnya. Dasarnya adalah riwayat berikut;

صحيح البخاري (4/ 184)
عَنْ أَبِي مُوسَى …فَإِذَا رَأَيْتُمْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِه

“Dari Abu Musa:….Jika kalian melihat hal itu maka bersegeralah dengan gentar untuk mengingatnya, berdoa kepadanya dan meminta ampun kepadanya” (H.R.Bukhari)

مسند أبي عوانة (2/ 106)
عن أسماء قالت إن كنا لنؤمر بالعتق عند الخسوف

“Dari Asma’ beliau berkata; Kami diperintahkan membebaskan (budak) pada saat gerhana” (H.R.Abu ‘Awanah)

Perbanyaklah dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan bentuk ketaatan lainnya.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari no. 1044)

Sedekah pada peristiwa ini juga disunahkan sebagaimana yang disebutkan Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Nihayatuz Zain berikut ini:

وَيُسَنُ الإِكْثَارُ مِنَ الصَّدقَةِ فِي رَمَضَانَ لَا سِيَّمَا فِي عَشْرِهِ الأَوَاخِرِ وأمَامَ الحَاجَاتِ وَعِنْدَ كُسُوفٍ وَمَرَضٍ وَحَجٍّ وَجِهَادٍ وَفِي أَزْمِنَةٍ وَأَمْكِنَةٍ فَاضِلَةٍ كَعَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ وَأَيَّامِ العِيْدِ وَالْجُمْعَةِ وَالمُحتاجِيْنَ

“Disunahkan memperbanyak sedekah pada bulan Ramadhan, terutama pada sepuluh hari terakhir di bulan itu, dan ketika mempunyai kebutuhan, ketika terjadi gerhana, sakit, haji, jihad dan pada beberapa waktu dan tempat yang memiliki keutamaan seperti tanggal 10 Dzulhijjah, hari raya, hari Jumat. Disunahkan juga sedekah kepada orang-orang yang membutuhkan,” (Lihat Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zain Syarah Qurratu ‘Ain, Beirut, Darul Fikr, juz I, halaman 183).

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Akan Terjadi Gerhana Matahari Cincin Tanggal 26-12-2019

Kamis besok, Gerhana matahari cincin (GMC) atau annular solar eclipse akan terjadi di Indonesia. GMC akan melintasi 7 provinsi di Indonesia, Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur.

Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), wilayah yang terlewati jalur gerhana matahari cincin antara lain Indonesia, Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Oman, India, Sri Langka, Samudra India, Singapura, Malaysia, dan Samudera Pasifik.

Gerhana matahari sebagian juga diamati sedikit di Afrika bagian timur, seluruh wilayah Asia, Samudra India, Australia bagian utara, dan samudera pasifik.

Di Indonesia, gerhana matahari dapat teramati dari Jawa Timur, namun berupa gerhana matahari sebagian dengan magnitude terentang antara 07,52 di Tuban hingga 0,702 di Banyuwangi, Jawa Timur.

BMKG menyebutkan gerhana di Jawa Timur akan dimulai pada pukul 11.03 WIB, puncak gerhana terjadi pada pukul 12.54 WIB, dan gerhana akan berakhir pada pukul 14.33 WIB. Durasi gerhana yang teramati di Jawa Timur rata-rata adalah 3 jam 29 menit.

Sesungguhnya ada empat jenis gerhana matahari, yaitu:

1. Gerhana Matahari Total, yaitu ketika bulan menutupi seluruh matahari sehingga korona (yang menyelubungi matahari dan biasanya jauh lebih redup daripada matahari) menjadi terlihat. Pada peristiwa gerhana total, gerhana total hanya tampak di sebuah "jalur" kecil di permukaan bumi.

2. Gerhana Matahari Cincin, yaitu ketika bulan berada tepat di tengah-tengah matahari dan bumi, tetapi ukuran tampaknya lebih kecil dibandingkan dengan ukuran tampak matahari. Alhasil, pinggiran matahari terlihat sebagai cincin yang sangat terang dan mengelilingi bulan yang tampak sebagai bundaran gelap

3. Gerhana Matahari Campuran atau Hibrida antara gerhana total dan gerhana cincin. Di sebagian permukaan bumi terlihat gerhana total, sedangan di titik lain terlihat gerhana cincin. Gerhana campuran seperti ini cukup langka.

4. Gerhana Matahari Sebagian terjadi ketika bulan berada tidak tepat di tengah-tengah garis antara matahari dan bumi, sehingga hanya menutupi sebagian matahari. Fenomena ini biasanya terlihat di banyak titik di luar jalur gerhana total atau cincin.

Kadang, yang terlihat di bumi hanyalah gerhana sebagian karena umbra (bayangan yang menyebabkan gerhana total) tidak berpotongan dengan bumi dan hanya melewati daerah di atas kawasan kutub.

Gerhana sebagian biasanya tidak begitu mempengaruhi terangnya sinar matahari. Kegelapan baru dapat dirasakan ketika lebih dari 90 persen matahari tertutup bulan, dan bahkan gerhana sebagian yang mencapai 99 persen tidak lebih gelap dibanding keadaan senja atau fajar.

Gerhana Matahari Dalam Sejarah

Catatan sejarah mengenai gerhana matahari amat berguna untuk sejarawan, karena waktu terjadinya gerhana dapat dihitung dengan tepat sehingga bisa dihubungkan untuk menduga tanggal peristiwa-peristiwa lain maupun penanggalan kalender kuno.

Contohnya, catatan Asiria menyebutkan sebuah gerhana matahari di Niniwe dalam sebuah peristiwa yang agaknya terjadi pada tahun ke-9 pemerintahan Ashur-dan III.

Dengan perhitungan astronomi diketahui bahwa gerhana ini (kini disebut Gerhana Asyur) terjadi tepat pada 15 Juni 763 SM, sehingga memungkinkan penanggalan bukan hanya masa pemerintahan Ashur-dan III, tetapi juga interpolasi peristiwa-peristiwa lain di Asiria Kuno hingga 910 SM.

Selain itu, sekelompok peneliti Universitas Cambridge menduga bahwa Yosua 10:13 menyebutkan peristiwa gerhana matahari cincin pada 30 Oktober 1207 SM dan menggunakannya untuk memperkirakan masa pemerintahan para Firaun Mesir Kuno.

4.000 tahun lalu, Raja Tiongkok Zhong Kang dilaporkan memenggal dua ahli falak yang gagal memprediksi gerhana matahari.

Contoh penanggalan yang lebih spekulatif dilakukan oleh ahli arkeologi Bruce Masse, yang menghubungkan gerhana matahari pada 10 Mei 2807 SM dengan sebuah tubrukan meteor di Samudra Hindia, dengan alasan bahwa banyak mitos-mitos kuno yang menghubungkan gerhana matahari dengan peristiwa banjir.

Dalam sejarah, gerhana juga sering dianggap sebagai firasat atau pertanda. Sejarawan Yunani Kuno Herodotos menyebut, Thales dari Miletos memprediksi sebuah gerhana yang terjadi saat pertempuran antara Bangsa Mede dan Bangsa Lydia.

Kedua kubu langsung menghentikan pertempuran dan berdamai akibat gerhana ini. Gerhana ini banyak dipelajari ilmuwan kuno maupun modern, tetapi mereka masih belum sepakat mengenai gerhana yang cocok dengan peristiwa ini.

Salah satu kemungkinan adalah gerhana pada 28 Mei 585 SM yang terjadi dekat Sungai Halys (kini Sungai Kizilirmak) di Asia Kecil. Herodotos juga menyebutkan terjadinya gerhana sebelum Kaisar Persia Xerxes I berangkat menyerang Yunani.

Menurut sejarah tradisional, serangan Xerxes terjadi pada 480 SM, yang mungkin cocok dengan gerhana matahari cincin di Sardis, Asia Kecil pada 17 Februari 478 SM (diusulkan oleh John Russel Hind) atau sebuah gerhana matahari sebagian di Persia pada 2 Oktober 480 SM Herodotos juga melaporkan gerhana matahari di Sparta saat Invasi Persia kedua ke Yunani.

Namun, tanggal gerhana di Sparta yang mendekati peristiwa ini (1 Agustus 477 SM) tidak cocok dengan tanggal invasi Persia yang diterima sejarawan. Ada juga upaya memperkirakan tanggal tepat Penyaliban Yesus (dan Jumat Agung) dengan mengasumsikan bahwa Kegelapan saat Penyaliban terjadi akibat gerhana matahari.

Upaya ini umumnya menemui jalur buntu karena peristiwa tersebut terjadi pada Paskah Yahudi yang terjadi pada bulan purnama dan tidak memungkinkan gerhana matahari.

Selain itu, Injil Lukas menyebutkan kegelapan tersebut berlangsung sekitar tiga jam, sedangkan gerhana matahari total tidak mungkin melebihi delapan menit.

Catatan gerhana di Tiongkok dimulai dari 720 SM. Ahli falak abad ke-4 SM Shi Shen menyebutkan prediksi gerhana menggunakan posisi relatif matahari dan bulan Di belahan bumi barat, tidak banyak catatan gerhana yang ditulis sebelum 800 M, yaitu ketika ilmuwan Muslim dan biarawan-biarawan Kristen mulai melakukan pengamatan pada Abad Pertengahan Awal.

Ahli falak Muslim Ibnu Yunus mencatat perhitungan jadwal gerhana sebagai salah satu dari banyak hal yang menghubungkan ilmu falak (astronomi) dengan syariah Islam, karena memungkinkan perkiraan waktu pelaksanaan Sholat Kusuf.
Catatan pengamatan korona matahari paling awal yang diketahui berasal dari Konstantinopel pada 968 M.

Gerhana matahari total pertama kali diamati melalui teleskop di Prancis pada 1706. Sembilan tahun kemudian, ahli astronomi Inggris Edmund Halley memprediksi dan mengamati gerhana matahari pada 3 Mei 1715.

Berbagai pengamatan terhadap korona saat terjadi gerhana matahari dan meningkatkan pengetahuan komunitas ilmiah tentang matahari.

Korona dikenali sebagai bagian atmosfer matahari pada 1842, dan gerhana matahari total 28 Juli 1851 diabadikan dengan foto daguerreotype untuk pertama kalinya. Analisis spektroskopi dilakukan pada gerhana matahari 18 Agustus 1868 dan berperan menghasilkan informasi mengenai komposisi kimia matahari.

Ketika Hujan Lebat Disertai Angin Kencang

Bencana bisa datang kapan saja tanpa diduga-duga. Walau sudah ada badan negara yang selalu memantau cuaca yang ada di Indonesia, namun hanya bisa melakukan prediksi dan pemberitahuan lebih awal tentang terjadinya bencana.

Badan yang mengawasi cuaca yang ada di Indonesia adalah Badan Meteoroligi, Klimatologi dan Gefisika (BMKG).

BMKG akan selalu memantau dan memberikan informasi prakiraan cuaca, maritim, penerbangan, iklim, kualitas udara, gempabumi, tsunami dan tanda waktu di Indonesia dengan Cepat, Tepat, Akurat.

Akhir-akhir ini sering terjadi bencana yang ditimbulkan oleh adanya angin kencang atau angin tornado. Di dalam pemberitaan media massa, baik cetak maupun elektronik sering menyampaikan berita tentang angin ribut yang menimpa masyarakat di berbagai daerah.

Dahulu, mungkin kita hanya mengenal istilah angin ribut saja, tapi saat ini masyarakat telah banyak mengenal istilah angin yang membahayakan, seperti angin puting beliung, twister, cyclone, storm, tornado dan sebagainya.

Sering terjadi bencana anginkencang yang tiba-tiba. Bencana angin ini datang sebelum dan sesudah hujan, atau ia bisa datang tanpa ada tanda-tanda sebelumnya. Inilah yang banyak menimbulkan korban harta benda dan nyawa.

Perubahan cuaca karena angin itu, kadang ditanggapi secara berbeda oleh setiap orang atau masyarakat. Ada orang yang marah, kesal, dan geram kepada angina atau udara karena mendapat kesialan dan kesusahan karenanya.

Namun, ada pula orang yang senang dan gembira oleh datangnya angin karena rahmat yang dibawanya.

Salahkah angin jika ia sampai menimpakan bencana atau malapetaka?

Patut untuk kita ketahui bahwa angin adalah makhluk ciptaan Allah. Dia-lah Dzat yang menciptakan angin, mengutus, dan mendatangkan angin untuk makhluk-makhluk-Nya. Angin termasuk sumber kehidupan manusia di bumi.

Allah berfirman dalam Al Quran surah Ar-Rum ayat 48 :

اَللّٰہُ الَّذِیۡ یُرۡسِلُ الرِّیٰحَ فَتُثِیۡرُ سَحَابًا فَیَبۡسُطُہٗ فِی السَّمَآءِ کَیۡفَ یَشَآءُ وَ یَجۡعَلُہٗ کِسَفًا فَتَرَی الۡوَدۡقَ یَخۡرُجُ مِنۡ خِلٰلِہٖ ۚ فَاِذَاۤ اَصَابَ بِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ مِنۡ عِبَادِہٖۤ اِذَا ہُمۡ یَسۡتَبۡشِرُوۡنَ

Artinya:

“Allah, Dia-lah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah Swt. Membentangkan di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal. Kemudian, kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, tiba-tiba mereka menjadi gembira.” (QS. Ar-Rum ayat 48).

Cobalah Anda bayangkan jika Allah tidak menciptakan angin, tentu awan tidak akan sanggup bergerak dan akhirnya hujan yang merupakan sumber utama kehidupan tidak akan bisa turun.

Apa akibatnya jika hujan tidak turun?

Kehidupan di bumi ini akan berakhir. Kekosongan angin juga bisa berpotensi menimbulkan bencana kepanasan. Angin mati akibat udara yang tidak bergerak pernah dijadikan azab oleh Allah kepada umat Nabi Yunus As. Sehingga penduduk merasa kepanasan.

Jika kita mencela angin, berarti kita sama saja mencela ciptaan Allah. Dengan mencela ciptaan Allah, berarti sama juga kita mencela kehendak dan perbuatan-Nya. Sungguh, Allah adalah Dzat yang tidak berhak untuk disalahkan, apalagi dicela dan dicaci-maki.

Allah tidak pernah berbuat zhalim pada hamba-Nya. Dalam setiap kehendak dan perbuatan-Nya, selalu terdapat rahmat, hikmah, dan kebijaksanaan. Bahkan, rahmat dan kasih-sayang Allah selalu mendahului murka-Nya.

Sebagaimana pernyataan Allah:

“Sesungguhnya Rahmat-Ku mendahului murka-Ku”, (HR. Bukhari).

Cobalah kita perhatikan dan renungkan, berapa banyak Allah mengirimkan angin rahmat-Nya untuk kita gunakan, manfaatkan, dan rasakan. Allah yang menggerakkan angin sehingga awan begerak dan menimbulkan rintik-rintik hujan yang membawa rahmat.

Allah yang mendatangkan angin sehingga tumbuh-tumbuhan dan pepohonan dapat berbunga dan berbuah. Dia yang mengirimkan angin sehingga manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan dapat merasakan kesejukan dan kerehatan.

Allah yang meniupkan angin sehingga kapal-kapal dapat berlayar dan bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya.

Rasulullah melarang keras perbuatan mencaci-maki angin, dan menyuruh kita agar berdoa meminta kebaikannya dan berlindung dari keburukannya.

Kita sebagai warga negara Indonesia yang beragama Islam tentu bersyukur memiliki dua angin tersebut, tetapi kadang angin yang kencang membawa bencana. Untuk itu Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita agar selalu berdoa ketika menghadapi angin kencang. Riwayat ini disebutkan dalam kitab Al-Adzkar An-Nawawi halaman 152 sebagai berikut:

عن أبي هريرة رضى الله عنه قال سمعت رسوالله صلى الله عليه وسلم يقول الريح من روح الله تعالى تأتي الرحمة وتأتي العذاب،  فإذا رأيتموها فلا تسبوها وسلواالله خير ها واستعينوا با لله من شرها

Artinya, “Abu Hurairah RA berkata, ia mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Angin adalah nikmat dari Allah SWT yang kadang mendatangkan rahmat  dan kadang mendatangkan ujian. Karena itu apabila kalian menyaksikan, maka jangan dicaci maki, tapi perbanyaklah meminta kepada Allah kebaikan dengan adanya angin dan memohon perlindungan kepada-Nya dari angin yang tidak baik."Pada riwayat lain dijelaskan bahwasannya Nabi Muhammad SAW ketika menghadapi angin yang sangat kencang, berdoa sebagai berikut.

أللهم  لقحا ولا عقما
Allâhumma laqhan walâ 'aqaman

Artinya: "Ya Allah, jadikanlah ini sebagai angin ini membawa air (turun hujan) dan tidak membawa malapetaka" .

Rasulullah dengan berbagai macam cara selalu mengimbau orang-orang mukmin supaya senantiasa ingat kepada Allah agar mereka selalu mendapat limpahan rahmat kasih sayang-Nya.

Azab yang bertubi-tubi turun berupa bencana-bencana alam yang telah menimpa kaum-kaum terdahulu. Banyak negeri porak-poranda dan hancur luluh sehingga hanya meninggalkan nama dan bekas-bekasnya saja.

Beliau merasa sangat khawatir jangan-jangan disebabkan sesuatu kesalahan, azab seperti itu turun pula menimpa kaum mukmin atau orang-orang yang tinggal di sekitar beliau.

Maka dari itu, jika beliau melihat angin bertiup kencang, beliau segera memohon perlindungan kepada Allah dan berdoa agar Dia menurunkan kasih sayang-Nya.

Beliau menghimbau kepada orang-orang mukmin untuk memohon kasih sayang-Nya, agar angin yang sedang bertiup kencang jangan menjadi azab bagi mereka dengan memanjatkan doa.

Diriwayatkan dalam Hadits Al-Bukhari di Kitab Awal Penciptaan, Aisyah berkata, ketika melihat awan gelap di langit serta angin kencang, Rasulullah SAW mondar-mandir, masuk -keluar masjid dan wajahnya yang biasa memancarkan nur, akan terlihat berubah. Sang penghulu Rasul itu berdoa meminta agar cuaca dikembalikan menjadi cerah.

Berdasarkan Hadist Riwayat Bukhari, ini doa hujan lebat yang pernah dibaca Rasulullah SAW:

Arab : اللَّهُمّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا,اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِوَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

Latin : Allahumma haawalaina wa laa 'alaina. Allahumma 'alal aakami wal jibaali, wazh zhiroobi, wa buthunil awdiyati, wa manaabitisy syajari.

Artinya : Ya Allah, turunkan lah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turunkan lah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan.

Hujan lebat terkadang juga disertai angin kencang. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW membaca doa angin kencang berikut ini:

اَللهُمَّ اِنِّىْ اَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَمَا فِيْهَا وَخَيْرَمَآ اَرْسَلْتَ بِهِ، وَاَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّمَآ اَرْسَلْتَ بِهِ

Ya Allah! aku mohon kepadaMu kebaikannya (angin) dan kebaikannya apa yang ada padanya, dan kebaikan yang dibawanya, dan aku berlindung kepadaMu dari kejahatannya dan kejahatan yang ada padanya dan kejahatan yang dibawanya.

Barangkali Musibah Datang

Yang patut direnungkan bisa jadi hujan deras atau lebat yang turun ini adalah teguran dari Allah. Barangkali itu adalah musibah. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menceritakan,

وَكَانَ إِذَا رَأَى غَيْمًا أَوْ رِيحًا عُرِفَ فِى وَجْهِهِ . قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الْغَيْمَ فَرِحُوا ، رَجَاءَ أَنْ يَكُونَ فِيهِ الْمَطَرُ ، وَأَرَاكَ إِذَا رَأَيْتَهُ عُرِفَ فِى وَجْهِكَ الْكَرَاهِيَةُ . فَقَالَ « يَا عَائِشَةُ مَا يُؤْمِنِّى أَنْ يَكُونَ فِيهِ عَذَابٌ عُذِّبَ قَوْمٌ بِالرِّيحِ ، وَقَدْ رَأَى قَوْمٌ الْعَذَابَ فَقَالُوا ( هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا ) »

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat mendung atau angin, maka raut wajahnya pun berbeda.” ‘Aisyah berkata, “Wahai Rasululah, jika orang-orang melihat mendung, mereka akan begitu girang. Mereka mengharap-harap agar hujan segera turun. Namun berbeda halnya dengan engkau. Jika melihat mendung, terlihat wajahmu menunjukkan tanda tidak suka.” Beliau pun bersabda, “Wahai ‘Aisyah, apa yang bisa membuatku merasa aman? Siapa tahu ini adaah azab. Dan pernah suatu kaum diberi azab dengan datangnya angin (setelah itu). Kaum tersebut (yaitu kaum ‘Aad) ketika melihat azab, mereka mengatakan, “Ini adalah awan yang akan menurunkan hujan kepada kita.” (HR. Bukhari no. 4829 dan Muslim no. 899)

Yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas adalah siksaan yang menimpa kaum ‘Aad sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut,

فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ قَالُوا هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا بَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُمْ بِهِ رِيحٌ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٌ (24) تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لَا يُرَى إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ (25)

“Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami”. (Bukan!) bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (QS. Al Ahqaf: 24-25)

Jika itu Musibah …

Jika itu musibah, maka patut direnungkan bahwa musibah itu datang bisa jadi karena dosa dan maksiat yang kita lakukan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)

‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ

“Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Lihat Al Jawabul Kaafi, hal. 87)

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Di antara akibat dari berbuat dosa adalah menghilangkan nikmat dan akibat dosa adalah mendatangkan bencana (musibah). Oleh karena itu, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa. Begitu pula datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” (Idem)

Semoga Allah menurunkan pada kita hujan yang membawa manfaat, bukan hujan yang membawa musibah. Semoga kita dimudahkan untuk kembali taat pada Allah dan diangkat dari berbagai macam musibah. Ampunilah segala dosa dan kesalahan kami, Ya Allah.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Selasa, 24 Desember 2019

Agar Mendapatkan Cinta Sejati


Kasmaran merupakan perasaan yang mungkin dirasakan seseorang saat bertemu lawan jenis. 

Saat dilanda kasmaran, hidup terasa begitu indah. Bayang-bayang orang tercinta selalu hadir, membuat tidak betah berjauhan.

Cinta adalah anugerah yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Dengan cinta, umat manusia membangun kebersamaan dan melanjutkan keturunan.

Tetapi, cinta juga bisa menjerumuskan kepada keburukan. Hal ini bisa terjadi jika cinta semata diorientasikan kepada duniawi.

Setiap makhluk mendambakan cinta. Tetapi, terkadang cinta yang didapat hanyalah bersifat semu, yang akan hilang seiring berjalannya waktu.
Tidak sedikit orang mendapat cinta semu. Padahal, cinta sejati hanyalah cinta kepada sang Khalik.

Dalam sebuah hikayat, Nabi Daud AS pernah memohon kepada Allah SWT agar mendapat cinta sejati. Rasa cinta yang menjadikan Nabi Daud begitu tunduk kepada ketentuan Allah SWT.
Nabi Daud ’alihis-salaam merupakan seorang hamba Allah yang sangat rajin beribadah kepada Allah. Hal ini disebutkan langsung oleh Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Nabi Daud ’alihis-salaam sangat rajin mendekatkan diri kepada Allah. Beliau sangat rajin memohon kepada Allah agar dirinya dicintai Allah. Beliau sangat mengutamakan cinta Allah lebih daripada mengutamakan dirinya sendiri, keluarganya sendiri dan air dingin yang bisa menghilangkan dahaga musafir dalam perjalanan terik di tengah padang pasir.  Inilah penjelasan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengenai doa Nabi Daud tersebut:

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سَعْدٍ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَبِيعَةَ الدِّمَشْقِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي عَائِذُ اللَّهِ أَبُو إِدْرِيسَ الْخَوْلَانِيُّ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ مِنْ دُعَاءِ دَاوُدَ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَالْعَمَلَ الَّذِي يُبَلِّغُنِي حُبَّكَ اللَّهُمَّ اجْعَلْ حُبَّكَ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي وَأَهْلِي وَمِنْ الْمَاءِ الْبَارِدِ قَالَ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَكَرَ دَاوُدَ يُحَدِّثُ عَنْهُ قَالَ كَانَ أَعْبَدَ الْبَشَرِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ

Telah menceritakan kepada kami [Abu Kuraib] telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Fudhail] dari [Muhammad bin Sa'd Al Anshari] dari [Abdullah bin Rabi'ah Ad Dimasyqi] ia berkata; telah menceritakan kepadaku ['Aidzullah Abu Idris Al Khaulani] dari [Abu Ad Darda`] ia berkata; Rasulullah shallallahu wa'alaihi wa sallam bersabda: "Diantara doa Daud adalah: ALLAAHUMMA INNII AS-ALUKA HUBBAKA, WA HUBBA MAN YUHIBBUKA, WAL 'AMALALLADZII YUBALLIGHUNII HUBBAKA. ALLAAHUMMAJ'Al HUBBAKA AHABBA ILAYYA MIN NAFSII WA AHLII WA MINAL MAAIL BAARID (Ya Allah, aku memohon kepadaMu kecintaanMu, dan kecintaan orang yang mencintaiMu, serta amalan yang menyampaikanku kepada kecintaanMu. Ya Allah, jadikanlah kecintaanMu lebih aku cintai daripada diriku, keluargaku serta air dingin). Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam apabila teringat Daud maka beliau menceritakan mengenainya; beliau berkata: "Ia adalah manusia yang paling banyak beribadah." Abu Isa berkata; hadits ini adalah hadits hasan gharib.

Beliau Nabi Daud sangat faham bahwa di dunia ini tidak ada cinta yang lebih patut diutamakan dan diharapkan manusia selain daripada cinta yang berasal dari Allah Ar-Rahman Ar-Rahim(Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Apalah artinya seseorang hidup di dunia mendapat cinta manusia –bahkan seluruh manusia- bilamana Allah tidak mencintainya. Semua cinta yang datang dari segenap manusia itu menjadi sia-sia sebab tidak mendatangkan cinta Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sebaliknya, apalah yang perlu dikhawatirkan seseorang bila Allah mencintainya sementara manusia –bahkan seluruh manusia- membencinya. Semua kebencian manusia tersebut tidak bermakna sedikitpun karena dirinya memperoleh cinta Allah Yang Maha  Pengasih lagi Maha Penyayang.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Belajar Pada Sifat Syukur Nabi Daud As Kepada Alloh

Pada hakikatnya, esensi syukur adalah bersyukur kepada Allah, sebab apapun nikmat yang kita dapatkan melalui manusia pada sejatinya Allah lah yang memberinya. Hanya saja ia melalui perantara manusia.

Akan tetapi perlu diingat, bahwasanya Rasulullah Saw pernah bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من لم يشكر الناس لم يشكر الله

“Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa yang tidak berterima kasih kepada manusia maka dia belum bisa bersyukur kepada Allah”.

Hadis ini menjelaskan bahwasanya betapa pentingnya menghargai manusia, betapa mulianya manusia itu di hadapan Allah. Sehingga Allah belum bisa menerima rasa syukur manusia sebelum ia berterimakasih dulu kepada manusia yang menjadi perantara sampainya sebuah kenikmatan itu.

Memuji Allah merupakan sesuatu yang niscaya dan wajib. Karena di dalam syukur terdapat sebuah ketaatan yang mendalam, ada semacam kerendahan dan kesadaran diri bahwasanya segala sesuatu yang ada di dunia milik Allah yang patut disyukuri dan tidak dijadikan kebanggaan tersendiri.

Maka tidak heran, jika banyak hadis yang menyatakan bahwa membaca Alhamdulillah atau mengucapkan syukur itu memiliki keutamaan yang luar biasa. Yakin atau tidak, mengucapkan rasa syukur memang membuat hati tentram, lega, dan terasa lebih ringan untuk berbuat baik kepada orang lain. Karena di dalam syukur ada semacam tanggung jawab moral. Jika kita bisa menerima lantas kenapa kita tidak bisa memberi. Di situlah kadang bahwasanya rasa syukur merupakan amunisi baru untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Namun, luar biasanya rasa syukur itu ternyata masih memiliki puncaknya yang cukup mengesankan; serta memberikan pelajaran kepada kita semua. Kenapa bisa demikian?

Berikut ini riwayat kisah Nabi Daud As yang dikutip dari kitab Qurrotul ‘Uyun, hal. 5,

عن سيدنا داود عليه السلام، أنه قال: “الهى إبن ادم ليس فيه شعرة إلا وفوقها نعمة وتحتها نعمة، فمن أين يكا فئها؟ فأوحى الله إليه يا داود إنى أعطى لكثير وأرضى باليسير وأن شكر ذلك أن تعلم أن ما بك من نعمة فمنى” وقيل أنه قال: ” كيف أشكرك والشكر نعمة منك علي؟ الأن شكرتنى يا داود.

Dari Sayyidina Daud As, bahwasanya dia berkata: Wahai Tuhanku, anak Adam, tidak memiliki satu rambut yang ada di dirinya kecuali di atas rambut itu ada sebuah kenikmatan dan di bawahnya pun ada kenikmatan, lantas bagaimana bisa membalasnya? Kemudian Allah memberikan wahyu kepada Daud, “Wahai Daud, sesungguhnya aku memberi yang banyak dan merelakan atau menyenangkan yang sedikit. Dan untuk mensyukuri hal demikian, kamu harus tahu bahwa sesuatu yang ada di dirimu itu adalah nikmat dariku” dan di dalam perkataan yang lain ” Wahai Tuhanku, bagaimana saya bisa bersyukur kepadamu sementara itu ucapan syukur itu sendiri merupakan nikmat darimu yang diberikan kepadaku? Allah menjawab: Nah saat inilah kamu bersyukur kepadaku wahai Daud.

Dalam kitab al-Zuhd, terdapat dua riwayat yang bercerita tentang Nabi Daud dan pertanyaannya kepada Allah tentang bagaimana caranya bersyukur. Berikut riwayatnya:

حدثنا عبد الله حدثني أبي حدثنا عبد الرحمن حدثنا جابر بن زيد عن المغيرة بن عيينة قال: قال داود عليه السلام يا رب هل بات أحد من خلقك الليلة أطول ذكرًا لك مني فأوحي الله عز وجل إليه نعم الضفدع وأنزل الله عليه: اعلموا آلَ دَاوُدَ شكرًا وقليل مِنْ عِبَادِيَ الشّكور (سورة سبأ: 13)

قال: يا رب كيف أطيق شكرك وأنت الذي تنعم عليّ ثم ترزقني علي النعمة ثم تزيدني نعمة نعمة فالنعم منك يا رب والشكر منك فكيف أطيق شكرك يا ربّ, قال: الآن عرفتني يا داود حق معرفتي

Abdullah bercerita, ayahku bercerita kepadaku, Abdurrahman bercerita, Jabir bin Zaid bercerita dari al-Mughirah bin ‘Uyainah, ia berkata:

Nabi Daud ‘alaihissalam berujar: “Wahai Tuhan, apakah ada salah satu makhluk-Mu yang banyak berdzikir kepada-Mu di malam hari melebihi aku?”

Kemudian Allah memberitahu Daud: “Ya, (ada), yaitu katak.” Dan Allah menurunkan (firman-Nya) kepada Daud (QS. Saba’: 13): “Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.”

Nabi Daud berkata: “Duh Tuhan, bagaimana mungkin aku mampu bersyukur kepada-Mu sementara Kau yang memberiku nikmat, kemudian Kau yang memberi rezeki kepadaku atas nikmat itu, kemudian Kau yang menambahiku nikmat demi nikmat. Karena (segala) nikmat berasal dari-Mu, wahai Tuhan, dan syukur berasal dari-Mu. Maka, bagaimana mungkin aku mampu bersyukur kepada-Mu, wahai Tuhan.”

Allah berfirman: “Sekarang kau telah mengenal-Ku, wahai Daud, benar-benar mengenal-Ku.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 88-89)

عن أبي الجلد، عن مسلمة أَنَّ دَاوُدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عليه وَسَلَّمَ قَالَ: إِلَهِيْ، كَيْفَ لِيْ أَنْ أَشْكُرَكَ، وَأَنَا لَا أَصِلُ إِلَى شُكْرِكَ إِلَّا بِنِعْمَتِكَ؟ فَأَوْحَى اللهُ إِلَيْهِ: يَا دَاوُدُ، أَلَسْتَ تَعْلَمُ أَنَّ الَّذِيْ بِكَ مِنَ النِّعَمِ مِنِّيْ؟ قَالَ: بَلَى، أَيْ رَبِّ، قَالَ: فَإِنِّيْ أَرْضَى بِذَلِكَ مِنْكَ شُكْرًا

Dari Abu al-Jald, dari Maslamah, sesungguhnya Nabi Daud shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Tuhanku, bagaimana mungkin aku bisa bersyukur kepada-Mu, sementara aku tidak akan sampai bersyukur kepada-Mu kecuali dengan nikmat-Mu juga?”

Kemudian Allah memberitahu Daud: “Wahai Daud, bukankah kau tahu bahwa yang ada pada dirimu merupakan bagian dari nikmat-nikmat-Ku?”

Nabi Daud menjawab: “Benar, wahai Tuhanku.”

Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku telah meridhai syukurmu itu.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 91-92)

Memiliki kesempatan bersyukur adalah nikmat, dan mensyukuri nikmat adalah nikmat. Begitulah gambaran sederhana dari riwayat di atas, bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Tidak ada satu pun di dunia ini yang tidak berasal dari-Nya. Namun, manusia kadang lalai dengan kemakhlukannya. Ia lupa bahwa dirinya makhluk yang diadakan oleh Allah, bukan ada dengan sendirinya. Ketika manusia melupakan kemakhlukannya, ia akan mudah dilalaikan oleh sesuatu. Untuk lebih jelasnya, simak uraian singkatnya berikut ini.

Riwayat di atas dimulai dengan Nabi Daud yang selalu terjaga sepanjang malam untuk berdzikir kepada Allah. Meski demikian, ia diingatkan bahwa ada makhluk lain yang dzikirnya lebih banyak darinya, yaitu katak. Kemudian Allah memerintahkan Daud dan keluarganya untuk memperbanyak syukur kepada-Nya.

Artinya, sebanyak apapun ibadah seseorang, harus dibarengi dengan syukur. Tanpa itu, ibadahnya dikhawatirkan hanya akan menghasilkan bibit takabur dan ujub. Ini menunjukkan bahwa bersyukur adalah pengingat akan kemakhlukan kita, bahwa kita harus berterima kasih dengan apapun yang Allah berikan kepada kita. Dengan melupakan terima kasih (syukur), kita akan terjebak dalam lingkaran ujub dan takabur. Itulah kenapa Allah menyuruh Daud dan keluarganya untuk bersyukur.

Di sisi lain, katak dalam riwayat di atas perlu kita pahami sebagai simbol pengingat, bahwa kita tidak lebih mulia dari siapapun, bahkan dengan makhluk Tuhan non-manusia. Simbol yang mengajarkan kita agar tidak mudah membandingkan amal ibadah kita dengan makhluk Tuhan lainnya. Karena perbandingan amal seringkali berujung pada anggapan mulia diri (takabbur/ujub) yang akan menjebak kita.

Inilah yang perlu kita hindari. Salah satu caranya dengan memperbanyak syukur kita kepada Allah. Pintu pembukanya adalah pemahaman bahwa sebanyak apapun syukur kita, tidak mungkin mendekati, apalagi menyamai nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Seperti yang diungkapkan Nabi Daud ‘alaihissalam di atas, bahwa bersyukur sendiri adalah nikmat dari Tuhan, maka ‘bagaimana mungkin ia mampu bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya itu’.

Hal ini menunjukkan adanya ketidak-seimbangan antara anugerah yang diterima dan syukur yang dirasakan dan dipanjatkan oleh seseorang. Kebanyakan dari kita lalai akan kehadiran nikmat Allah. Kita lalai bahwa waktu adalah nikmat; sehat adalah nikmat; merasa adalah nikmat, dan semuanya adalah nikmat. Kelalaian ini sudah diperingatkan oleh Nabi Muhammad jauh-jauh hari, terutama soal nikmat sehat dan waktu luang. Beliau bersabda (HR. Imam al-Bukhari):

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

“Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia lalai; nikmat sehat dan nikmat waktu luang.”

Kembali ke soal ketidak-seimbangan anugerah dan syukur. Untuk memahaminya, kita harus memperhatikan munajat indah Nabi Daud berikut ini:

إِلَهِيْ، لَوْ أَنَّ لِكُلِّ شَعْرَةٍ مِنِّيْ لِسَانَيْنِ، يُسَبِّحَانِ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ، وَالدَّهْرَ كُلَّهُ، مَا قَضَيْتُ حَقَّ نِعْمَةٍ

“Ilahi, sungguh, andai saja setiap rambutku memiliki dua lidah yang selalu bertasbih siang dan malam, dan (bertasbih) setiap waktu, aku belum menunaikan satu pun hak nikmat (yang Kau berikan kepadaku).” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, h. 88)

Artinya, bertasbih sepanjang hidup, dengan dibantu setiap helai rambut yang memiliki dua lidah, dan keduanya bertasbih siang-malam dan setiap saat, itu masih jauh dari cukup untuk memenuhi hak satu nikmat yang Allah berikan. Bayangkan saja, rambut manusia yang jumlahnya sukar dihitung, dikalikan dua (lidah), dan bertasbih sepanjang waktu sampai mati, masih tidak cukup untuk memenuhi hak satu nikmat dari Allah.

Karena itu, kerendahan hati (tawaddu’) sangat dibutuhkan dalam bersyukur kepada Allah. Kebingungan Nabi Daud dalam bersyukur menunjukkan kerendahan hatinya, bahwa tidak mungkin mensyukuri nikmat Tuhan dengan hitungan matematis, atau dengan menghitung amal ibadah yang dilakukannya. Sebab, bisa beribadah sendiri adalah nikmat, sehingga mustahil menghitung anugerah Allah dengan angka. Jika seseorang melakukan perhitungan itu, dan merasa dirinya sebagai orang yang banyak ibadahnya, bisa jadi ia akan kehilangan makna syukur.

Maka dari itu, dalam riwayat di atas, Allah menjawab kebingungan dan ketidak-mampuan Nabi Daud dengan mengatakan, “Sesungguhnya Aku telah meridhai syukurmu itu,” dan di riwayat lain, “Sekarang kau telah mengenal-Ku, wahai Daud, benar-benar mengenal-Ku.”

Pertanyaannya, pernahkah kita bersyukur dengan kerendahan hati?

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Senin, 23 Desember 2019

Nur Muhammad Sebagai Awal Penciptaan Alam Semesta

Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Kalimat bijak ini sangat tepat untuk mereka yang mungkin khilaf membandingkan Nabi Muhammad SAW dengan mantan presiden yang notabene adalah umatnya.
Andai mereka mengenali Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW), niscaya lisan mereka akan senantiasa bersholawat.

Dalam larik Qashidatul Burdah berikut ini, Imam Al-Bushiri menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW yang menjadi sebab penciptaan dunia takkan mungkin berhajat kepada dunia karena beliau SAW sendiri adalah penghulu dunia:

وَكَيفَ تَدْعُو إلَى الدُّنيا ضَرُورَةُ مَنْ ** لولاهُ لم تخرجِ الدنيا من العدمِ

Artinya, “Bagaimana orang yang kalau bukan karena dirinya niscaya dunia ini takkan keluar dari ketiadaannya berkepentingan terhadap dunia?”

Pernyataan Imam Al-Bushiri tidak berlebihan. Pernyataan Al-Bushiri cukup beralasan  karena didasarkan pada hadits qudsi riwayat Al-Hakim dan Al-Baihaqi yang menyatakan bahwa kalau bukan karena Nabi Muhammad SAW, Allah takkan menciptakan Nabi Adam AS.

والأصل في ذلك ما رواه الحاكم والبيهقي من قول الله تعالى لآدم لما سأله بحق محمد أن يغفر له ما اقترفه من صورة الخطيئة وكان رأى على قوائم العرش مكتوبا لا إله إلا الله محمد رسول الله سألتني بحقه أن أغفر لك ولولاه ما خلقتك فوجود آدم عليه السلام متوقف على وجوده صلى الله عليه وسلم

Artinya, “Dasar atas pernyataan ini adalah hadits riwayat Al-Hakim dan Al-Baihaqi perihal jawaban Allah SWT kepada Nabi Adam AS yang meminta dengan nama Nabi Muhammad SAW ampunan terkait kekeliruannya. Nabi Adam AS ketika itu melihat catatan ‘Lâ ilâha illallâh, Muhammadur Rasûlullâh’ pada tiang-tiang Arasy. Allah menjawab, ‘Kau meminta dengan namanya (Nabi Muhammad SAW) agar Aku mengampunimu. Sungguh, kalau bukan karenanya, Aku tidak akan menciptakanmu.’ Jadi, ujud Nabi Adam AS bergantung pada ujud Nabi Muhammad SAW,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Matnil Burdah, halaman 21).

Kalau bukan karena Nabi Muhammad SAW, niscaya Allah takkan menciptakan Nabi Adam AS. Kalau Nabi Adam AS tidak diciptakan oleh Allah, niscaya anak Adam atau bani Adam takkan diciptakan. Sedangkan nyatanya, Allah menciptakan Nabi Adam AS dan anak keturunannya. Allah juga menciptakan alam semesta ini hanya untuk keperluan manusia. Jadi, hanya karena Nabi Muhammad SAW Allah menciptakan alam semesta raya ini. Syekh Ibrahim Al-Baijuri yang pernah memimpin Universitas Al-Azhar di zamannya mencoba membangun logika ini dalam Hasyiyatul Burdah berikut ini:

وآدم أبو البشر وقد خلق الله لهم ما في الأرض  وسخر لهم الشمس والقمر والليل والنهار وغير ذلك كما هو نص القرآن قال تعالى خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وإذا كانت هذه الأمور إنما خلقت لأجل البشر وأبو البشر إنما خلق لأجله صلى الله عليه وسلم كانت الدنيا إنما خلقت لأجله فيكون صلى الله عليه وسلم هو السبب في وجود كل شيء

Artinya, “Nabi Adam AS memang bapak manusia. Allah menciptakan apa yang ada di bumi untuk anak manusia. Allah juga menundukkan matahari, bulan, malam, siang, dan lain sebagainya untuk anak manusia sebagaimana tercantum dalam Al-Quran, 'Dia menciptakan untukmu apa yang ada di bumi semuanya,’ (Surat Al-Baqarah ayat 29) dan ‘Dia menundukkan bagimu matahari dan bulan silih berganti dan Dia menundukkan bagimu malam dan siang,’ (Surat Ibrahim ayat 33). Jadi, ketika semesta alam raya itu diciptakan untuk manusia, sementara Nabi Adam AS adalah bapak manusia diciptakan karena Nabi Muhammad SAW, maka dunia ini diciptakan karena Nabi Muhammad SAW. Jadi, Nabi Muhammad SAW adalah sebab bagi segala ujud,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Matnil Burdah, halaman 21-22).

Syekh Khalid bin Abdullah Al-Azhari dalam Syarah Burdah menyatakan bahwa karena Rasulullah SAW sendiri adalah sebab atas penciptaan alam semesta, maka beliau SAW tidak berhajat dan berhasrat pada kesenangan duniawi yang fana:

ومعنى البيتين أنه صلى الله عليه وسلم لا تدعوه الضرورة الى حطام الدنيا الفانية فإن الدنيا ما أخرجت من العدم إلى الوجود إلا لأجله وكيف يكون كذلك وهو سيد أهل الدنيا والآخرة وسيد الانس والجن وسيد العرب والعجم

Artinya, “Makna bait ini adalah bahwa Nabi Muhammad SAW tidak berkepentingan untuk mengumpulkan harta benda duniawi yang fana karena dunia tidak diciptakan dari ketiadaan menjadi ada kecuali karena dirinya. Lalu bagaimana bisa demikian (haus harta duniawi) dengan Rasulullah SAW, sedangkan beliau adalah penghulu (pangkal atau permulaan) penduduk dunia dan akhirat, penghulu manusia dan jin, dan penghulu bangsa Arab dan bangsa ajam,” (Lihat Syekh Khalid bin Abdullah Al-Azhari, Syarah Khalid Al-Azhari ala Matnil Burdah, halaman 22).

Logika yang dibangun oleh Imam Al-Bushiri, Syekh Ibrahim Al-Baijuri, dan Syekh Khalid Al-Azhari merupakan refleksi dari Surat Al-Baqarah ayat 29, Surat Ibrahim ayat 33, dan hadits berikut ini:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أنا سيد ولد آدم ولا فخر

Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku penghulu anak Adam, dan tidak sombong,’” (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah).

Kita tidak dapat menikmati rasa kopi tanpa adanya wujud kopi, dan begitulah seterusnya. Begitu pula untuk menikmati wujud alam semesta ini tidak dapat dinikmati tanpa adanya wujud penciptaan Nabi Saw terlebih dahulu. Itulah maksud firman Allah dalam hadits Qudsi :

لَوْلَاكَ لَوْلَاكَ لَمَّا خَلَقْتُ الْاَفْلَاكَ

“ Kalaulah bukan karena (penciptaan) engkau (Muhammad), Aku tidak akan menciptakan alam semesta  “

Penjelasan ini dibenarkan dalam banyak riwayat, Nabi Saw bersabda :

اَناَ اَبُو الْأَرْوَاحِ وَاَناَ مِنْ نُوْرِ اللهِ وَالمْؤُمِنُونَ فَيْضَ نُورِى

“ Aku adalah moyang semua arwah dan aku berasal dari cahaya Allah dan orang-orang yang beriman terperciki oleh cahayaku “(Ruhul Bayan 1/403, 2/370, 3/129)

Bahkan Ibnu Taimiyah memasukkan sebuah hadits tentang awal penciptaan Nabi Saw dalam kitabnya sbb :

وَقَدْ رَوَاهُ أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ بشران مِنْ طَرِيقِ الشَّيْخِ أَبِي الْفَرَجِ ابْنِ الْجَوْزِيِّ فِي (الوفا بِفَضَائِلِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إسْحَاقَ بْنِ صَالِحٍ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ صَالِحٍ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ العوفي ثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ طهمان عَنْ يَزِيدَ بْنِ مَيْسَرَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ {مَيْسَرَةَ قَالَ قُلْت: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى كُنْت نَبِيًّا؟ قَالَ لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ الْأَرْضَ وَاسْتَوَى إلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَخَلَقَ الْعَرْشَ: كَتَبَ عَلَى سَاقِ الْعَرْشِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ خَاتَمُ الْأَنْبِيَاءِ وَخَلَقَ اللَّهُ الْجَنَّةَ الَّتِي أَسْكَنَهَا آدَمَ وَحَوَّاءَ فَكَتَبَ اسْمِي عَلَى الْأَبْوَابِ وَالْأَوْرَاقِ وَالْقِبَابِ وَالْخِيَامِ وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوحِ وَالْجَسَدِ فَلَمَّا أَحْيَاهُ اللَّهُ تَعَالَى: نَظَرَ إلَى الْعَرْشِ فَرَأَى اسْمِي فَأَخْبَرَهُ اللَّهُ أَنَّهُ سَيِّدُ وَلَدِك فَلَمَّا غَرَّهُمَا الشَّيْطَانُ تَابَا وَاسْتَشْفَعَا بِاسْمِي إلَيْهِ} . وَرَوَى أَبُو نُعَيْمٍ الْحَافِظُ فِي كِتَابِ دَلَائِلِ النُّبُوَّةِ: وَمِنْ طَرِيقِ الشَّيْخِ أَبِي الْفَرَجِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ رشدين ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ سَعِيدٍ الْفَهْرِي

“ dan sesungguhnya telah meriwayatkan Abu al-Hasan ibn Basyran melalui jalan Syaikh Abu al-Faraj ibn al-Jauzi dalam kitab al-Wafa bi Fadhl al-Mushthafa Saw : mengabarkan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr dan mengabarkan kepada kami Ahmad bin Ishaq bin Shaleh mengabarkan kepada kami Muhammad bin Sinan al-Awfi mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Tihaman dari Yazid bin Maisarah dari Abdullah bin Sufyan dari Maisarah, ia ber- kata, “ Aku berkata :  Wahai Rasulullah, kapankah engkau menjadi nabi ? Beliau menjawab : “ Setelah Allah menciptakan bumi dan bermaksud (beralih) pada penciptaan langit. Dia menyempurnakannya dalam jumlah tujuh langit. Dia juga menciptakan Arasy, dan menulis- kan pada betis (kaki) Arasy : Muhammad Utusan Allah. Penutup para Nabi. Dia juga Menciptakan surga yang didiami oleh Adam dan Hawa, lalu menuliskan namaku pada berbagai pintu dan kertas, pada kubah-kubah dan kemah-kemah, sedangkan Adam masih terpisah jasad dari ruhnya. Setelah Adam dihidupkan Allah Swt, ia memandang ke Arasy, ia pun melihat namaku. Allah lalu memberitahu Adam : “ Muhammad adalah pemimpin keturu- nanmu “. Ketika mereka diperdayakan oleh setan, mereka bertobat dan memohon syafa’at dengan (perartara berkah) namaku kepada-Nya “ Dan telah diriwayatkan oleh Abu Nu’aim al-Hafizh di dalam kitab Dalail Nubuwwah melalui jalan Syaikh Abu al-Faraj meriwayatkan kepada kami Sulaiman ibn Ahmad meriwayatkan kepada kami Ahmad bin Rasyidin mengabarkan kepada kami Ahmad ibn Sa’id al-Fahri “(Majmu’ Fatawa 2/150)

Banyak pula orang yang terkecoh pemikirannya, bahwa penciptaan Nabi Adam a.s terlebih dahulu daripada penciptaan Nabi Saw. Banyak sekali hadits yang diriwayatkan dari berbagai jalur yang justru mengatakan sebaliknya.

Dari Irbash bin Sariyah as-Salami r.a, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Saw berkata :

إِنِّي عِنْدَ اللهِ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَخَاتَمُ النَّبِيِّينَ، وَإِنَّ آدَمَ لَمُنْجَدِلٌ  فِي طِينَتِهِ

“ Aku di sisi Allah di dalam induk Kitab (Lauh Mahfuzh) sebagai penutup para nabi, sedangkan Adam masih tergolek di tanah  “(Musnad Ahmad 27/380, 27/395, Musnad al-Bazzar 10/135, Shahih Ibnu Hibban 14/313, al-Mu’jam al-Ausath 18/253, Syu’abul Iman 2/510, Syarh as-Sunnah al-Baghawi 13/207 (derajat hadits shahih)

Dalam hadits lainnya ada sahabat yang bertanya kepada Nabi Saw :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى وَجَبَتْ لَكَ النُّبُوَّةُ ؟ قَالَ: «وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوحِ وَالجَسَدِ»

“ Dari Abu Hurairah, berkata : bertanya aku kepada Rasulullah Saw di manakah engkau mendapatkan kenabian ? Bersabda Nabi Saw : “  (waktu itu) Adam berada di antara ruh dan jasad “(Sunan Turmudzi 5/585, Mushanaf Ibnu Abi Syaibah 7/239 riwayat Abdullah bin Syaqiq r.a, as-Sunan Abdullah bin Ahmad 2/398 riwayat Maisarah al-Fajri r.a, Musnad Ahmad 27/176, Musnad al-Bazzar 11/476 riwayat Ibnu Abbas r.a , 15/207 riwayat Abu Salamah r.a, al-Mu’jam al-Kabir 12/92, 12/119 (derajat hadits masyhur/mutawatir)

Dari Anas bin Malik r.a, ia berkata :

لَمَّا كَانَ اليَوْمُ الَّذِي دَخَلَ فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ أَضَاءَ مِنْهَا كُلُّ شَيْءٍ، فَلَمَّا كَانَ اليَوْمُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ أَظْلَمَ مِنْهَا كُلُّ شَيْءٍ، وَمَا نَفَضْنَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَيْدِي وَإِنَّا لَفِي دَفْنِهِ حَتَّى أَنْكَرْنَا قُلُوبَنَا

“ Pada saat Rasulullah Saw memasuki Madinah, menjadi teranglah segala benda di kota itu. Pada hari Rasulullah Saw wafat, gelaplah segala sesuatu di kota Madinah. Tidaklah kami selesai menguburkan beliau, sehingga hati kami mengingkari hal tersebut “(Shahih Ibnu Hibabn 14/601, Sunan Turmudzi 5/588, Sunan Ibnu Majah 1/522, Musnad Ahmad 21/35, 21/330, Musnad al-Bazzar 13/291, Musnad Abu Ya’la 6/51, 6/110 (derajat hadits shahih/masyhur)

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “ Rasulullah Saw tidak memiliki bayang-bayang baik dari sinar matahari maupun bulan, karena beliau itu nuuraaniy sejenis cahaya yang mengan- dung cahaya yang sangat terang “.

Abu Ja’far dalam memberikan penafsiran dalam ayat “قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ  ” (sesungguhnya akan datang kepada kalian dari Allah cahaya. QS. 5 – al-Maidah : 15) ialah cahaya Nabi Muhammad Saw “(Tafsir ath-Thabari 10/143)

Al-Hafizh al-Juzaz berkata tentang : ayat “قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ  ” (sesungguhnya akan datang kepada kalian dari Allah cahaya. QS. 5 – al-Maidah : 15) yang dimaksud dengan cahaya adalah Muhammad Saw dan hidayah atau cahayanya yang menjelaskan segala perkara dan melihat batinnya segala hakikat, seperti kedatangannya cahaya Nabi Muhammad Saw di dalam hati di dalam menjelaskan segala sesuatu dan menyingkapkan kegelapan disepertikan dengan cahayanya. (Ma’ani al-Quran wa I’rabih, al-Juzaz 2/161)

Sayyid Muhammad al-Maliki berkata : “ Bahwa Rasulullah Saw pernah memohon kepada Allah untuk diberi cahaya pada semua anggota arahnya “.

Maksud beliau adalah doa berikut ini :

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ لِي نُورًا فِي قَلْبِي، وَنُورًا فِي قَبْرِي، وَنُورًا مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَنُورًا مِنْ خَلْفِي، وَنُورًا عَنْ يَمِينِي، وَنُورًا عَنْ شِمَالِي، وَنُورًا مِنْ فَوْقِي، وَنُورًا مِنْ تَحْتِي، وَنُورًا فِي سَمْعِي، وَنُورًا فِي بَصَرِي، وَنُورًا فِي شَعْرِي، وَنُورًا فِي بَشَرِي، وَنُورًا فِي لَحْمِي، وَنُورًا فِي دَمِي، وَنُورًا فِي عِظَامِي، اللَّهُمَّ أَعْظِمْ لِي نُورًا، وَأَعْطِنِي نُورًا، وَاجْعَلْ لِي نُورًا

“ Ya Allah jadikanlah aku cahaya di dalam hatiku, dan cahaya di dalam kuburku, dan cahaya di antaranya, dan cahaya dari belakangku, dan cahaya dari kananku, dan cahaya dari kiriku, dan cahaya dari bawahku, dan cahaya dari atasku, dan cahaya dalam pendengaranku, dan cahaya dalam mataku, dan cahaya dalam rambutku, dan cahaya dalam kulitku, dan cahaya dalam dagingku, dan cahaya dalam kepermanenanku, dan cahaya dalam kebesaranku, Ya Allah agungkanlah aku dengan cahaya dan berikanlah aku cahaya dan jadikanlah aku cahaya ” (Sunan Turmudzi 5/472 riwayat Ibnu Abbas r.a, as- Sunan al-Kabir, an-Nasai 1/238, Shahih Ibnu Khuzaimah 2/165, ad-Du’a 1/165. Al-Mu’jam al-Ausath 4/95, al-Mu’jam al-Kabir 10/283, al-Adab al-Mufrad bi at-Ta’liqat, al-Bukhari 1/365 (derajat hadits shahih)
Imam Ismail al-Buruswi dalam tafsirnya berkata : “ Bahwa Allah Swt mengutus Nabi Saw sebagai cahaya yang menerangkan hakikat bagian manusia dari Allah Swt, dan Dia menamai dirinya sendiri sebagai cahaya, sebagaimana firman-Nya : (Ruhul Bayan 2/370)

اَللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

“ Allah merupakan cahaya langit dan bumi ”   (QS. 24 – an-Nur : 35)

Karena langit dan bumi itu tersamar dalam gelapnya ketiadaan, maka Allah Swt menampilkan keduanya dengan mengadakannya. Rasul Saw disebut cahaya, karena sesuatu yang pertama kali ditampilkan Allah, dengan cahaya qudrat-Nya dari gelapnya ketiadaan adalah cahaya Nabi Saw, sebagaimana sabdanya :

أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللهُ نُوْرِى

“ Sesuatu yang pertama kali diciptakan Allah adalah cahayaku ” 

Dari cahaya itu Allah menciptakan alam dan segala isinya. Maujudat ini tampil karena danya cahaya Muhammad Saw, maka ia disebut cahaya. Segala sesuatu yang keadaannya lebih mendekati kepada penciptaan, maka ia lebih utama dinamakan dengan cahaya, sebagai-mana halnya alam arwah lebih dekat kepada penciptaan daripada alam jasad. Oleh karena itu ia disebut alam cahaya. Alam yang tinggi dapat disebut cahaya bila dibandingkan dengan alam rendah. Maujudat yang paling dekat kepada penciptaan, lebih pantas untuk disebut cahaya. Oleh karena itu beliau bersabda :

اَنَا مِنَ اللهِ وَالْمُؤمِنُوْنَ مِنِّى

“ Aku berasal dari Allah dan orang-orang beriman berasal dariku “

Allah Swt berfirman :

قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ 

“ Sesungguhnya akan datang kepada kalian dari Allah cahaya ” (QS. 5 – al-Maidah : 15)

Nabi Saw bersabda :

كُنْتُ نُورًا بَيْنَ يَدَيٌَ رَبٌِى قَبْلَ خَلَقَ آدَمَ بِاَرْبَعَةِ عَشَرَ اَلْفِ عَاٍم, وَكَانَ يُسَبٌِحُ ذَلِكَ الٌنُورُ وَتَسْبِحُ اْلَمَلَاءِكَةِ بِتَسْبِحِيْهِ فَلَمٌ خَلَقَ اللهُ آدَمَ اَلْفَى ذَلِكَ الٌنُورُ فِى صَلْبِهِ

“ Dahulu aku merupakan cahaya yang berada dihadapan Rabb-Ku, yaitu 14.000 tahun sebelum Allah menciptakan Adam. Cahaya itu membaca tasbih, dan para malaikat pun menirukannya. Setelah Allah menciptakan Adam, Dia menyimpan cahaya itu ke dalam sulbi (tulang rusuk) Adam “.

Diriwayatkan melalui Ibnu Abbas r.a, bahwa Nabi Saw bersabda :

لَمَّا خَلَقَ اللهُ آدَمَ اَهْبَطَنِى فِى صُلْبِهِ اِلَى اْلأَرْضِ وَجَعَلَنِى فِى صُلْبِ نُوْحٍ فِى السَّفِيْنَةِ وَقَذَفَنِى فِى صُلْبِ إِبْرَاهِيْمَ ثُمَّ لَمْ يَزَلْ تَعَالَى يَنْقُلُنِى مِنَ الْأَصْلَابِ الْكَرِيْمَةِ وَالْأَرْحَامِ الطَّاهِرَةِ حَتَّى أَخْرَجَنِي بَيْنَ أَبَوَيَّ لَمْ يَلْتَقِيَا عَلَى سَفَاحٍ قَطُّ

“ Setelah Allah menciptakan Adam, Dia menurunkanku ke bumi dalam sulbi Adam. Kemudian menjadikanku dalam sulbi Nuh dalam perahu. dan dipindahkan aku ke dalam sulbi Ibrahim Kemudian terus-menerus Allah memindahkanku dari berbagai sulbi yang mulia dan rahim yang suci, sehingga Dia mengeluarkanku melalui ibu bapakku yang sama sekali tidak pernah terjerumus ke dalam perzinahan “

Dari pelbagai keterangan ini, tidak berlebihan ketika Sayyid Bakri Syatha dalam mukaddimah I‘anatut Thalibin menganjurkan kita untuk bersyukur kepada Rasulullah SAW karena jasanya yang mengajarkan kita mengenal dan bersyukur kepada Allah.

Sayyid Bakri Syatha menyebut Rasulullah SAW tidak lain adalah asal penciptaan bagi semua makhluk Allah. Sayyid Bakri menganjurkan kita untuk membaca banyak shalawat. Hanya saja "asal" dan kata "sebab" penciptaan di sini mesti dipahami sebagai asal atau sebab secara majazi karena pada hakikatnya perbuatan Allah tidak tergantung pada illat atau sebab.

Meskipun demikian, shalawat terhadap Nabi Muhammad SAW merupakan bentuk terima kasih atau syukur kita umat manusia terhadap Rasulullah SAW sebagai penghulu segenap manusia sebagaimana sabdanya yang mulia.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Minggu, 22 Desember 2019

Tatacara Agar Mudah Menghafal Al-Qur'an

Sholat Hifdzil Quran adalah shalat yang dilakukan pada malam Jumat agar cepat dan kuat mengingat hafalan Al-Quran. Shalat disyariatkan dalam Islam, terutama bagi penghafal Al-Quran. Sudah maklum bersama bahwa menghafal dan mengingat hafalan Al-Quran tidaklah mudah, butuh usaha sungguh-sungguh dan doa terus menerus agar hafalan tetap terjaga dengan baik.

Salah satu cara cepat menghafal Al-Quran dan kuat mengingatnya adalah dengan melakukan shalat Hifdzil Quran. Adapun tata caranya sebagai berikut;

Pertama, dilakukan pada malam Jumat dengan niat sebagai berikut;

اُصَلِّيْ سُنَّةً لِحِفْظِ اْلقُرْاَنِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ لِلَّهِ تَعَالَى

Usholli sunnatan li hifdzil quran arba’a raka’atin lillahi ta’ala

“Saya niat shalat sunnah untuk hafal Al-quran empat rakaat karena Allah Ta’ala.”

Kedua, berjumlah empat rakaat. Pada rakaat pertama setelah membaca surah Al-Fatihah membaca surah Yasin, pada rakaat kedua membaca surah Al-Dukhan, pada rakaat ketiga membaca surah Al-Sajdah, dan rakaat keempat membaca surah Al-Mulk (surah Tabarak).

Ketiga, setelah salam membaca zikir kepada Allah, membaca shalawat dan salam kepada Nabi saw. dan keluarganya, dan membaca istighfar untuk diri sendiri dan orang-orang beriman.

Keempat, kemudian membaca doa berikut;

اَللَّهُمَّ ارْحَمْنِيْ بِتَرْكِ اْلمَعَاصِيْ أَبَدًا مَا أَبْقَيْتَنِيْ وَارْحَمْنِيْ أَنْ أتَكَلَّفَ مَا لاَ يَعْنِيْنِيْ وَارْزُقْنِيْ حُسْنَ النَّظْرِ فِيْمَا يُرْضِيْكَ عَنِّيْ، اَللَّهُمَّ بَدِيْعَ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ يَا ذَااْلجَلَالِ وَاْلِاكْرَامِ وَاْلعِزَّةِ اَّلتِيْ لاَ تُرَامُ يَا اللهُ يَا رَحْمَنُ أَسْأَلُكَ بِجَلاَلِكَ وَبِنُوْرِ وَجْهِك َأَنْ تُلْزِمَ قَلْبِيْ حِفْظَ كِتاَبِكَ وَتَرْزُقَنِيْ أَنْ أَتْلُوَهُ عَلَى النَّحْوِ الَّذِيْ يُرْضِيْكَ عَنِّيْ، اَللَّهُمَّ بَدِيْعَ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ يَا ذَااْلجَلَالِ وَاْلِاكْرَامِ وَاْلعِزَّةِ اَّلتِيْ لاَ تُرَامُ يَا اللهُ يَا رَحْمَنُ أَسْأَلُكَ بِجَلاَلِكَ وَبِنُوْرِ وَجْهِك أَنْ تُنَوِّرَ بِكِتَابِكَ بَصَرِيْ وَاَنْ تُطْلِقَ بِهِ لِسَانِيْ وَاَنْ تُفَرِّجَ بِهِ قَلْبِيْ وَاَنْ تَشْرَحَ بِهِ صَدْرِيْ وَاَنْ تَغْسِلَ بِهِ بَدَنِيْ فَإِنَّهُ لَا يُعِيْنُنِيْ علىَ اْلخَيْرِ غُيْرُك وَلاَ يُؤْتِيْهِ اِلاَّ اَنْتَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ

Allahummarhamni bitarkil ma’ashi abadan ma abqoitani warhamni an atakallafa mala ya’nini warzuqni husnan nadzari fima yurdhika ‘anni. Allahumma badi’as samawati wal ardhi Ya zaljalali wal ikrom wal ‘izzatillati la turom. Ya Allah, Ya Rohman, as-aluka bijalalika wabinuri wajhika an tulzima qolbi hifdzo kitabika kama ‘allamyani warzuqni an atluwahu ‘alan nahwillazi yurdhika ‘anni. Allahumma badi’as samawati wal ardhi, zaljalali wal ikrom wal ‘izzatillati la turom. Ya Allah, Ya Rohman as-aluka bi jalalika wa binuri wajhika  an tunawwiro bi kitabika bashori wa an tuthliqo bihi lisani wa an tufarrija bihi ‘an qolbi wa an tasyroha bin shodri wa an taghsila bihi badani fainnahu la yu’inuni ‘alal khoiri alla anta wala yu’tihi illa anta wala haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim.

Hadits Sholat Hifdzil-Qur'an

Hadits tentang Shalat untuk menjaga hafalan Al-Quran ini cukup panjang dan termuat dalam beberapa kitab hadits, diantaranya :

Al-Mustadrak 'al Ash-Shahihain, karya Al-Hakim jilid 1 hal. 461
Sunan At-Tirmizy karya Al-Imam At-Tirmizy, jilid 5 hal. 455 yaitu dalam Bab Doa Hifzh.
Al-Asma' wa As-Shifat karya Al-Baihaqi, jilid 2 hal. 108 dan beberapa kitab hadits lainnya.

Berikut petikannya :

بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، إِذْ جَاءَهُ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ : بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي تَفَلَّتَ هَذَا الْقُرْآنُ مِنْ صَدْرِي ، فَمَا أَجِدُنِي أَقْدِرُ عَلَيْهِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا أَبَا الْحَسَنِ ! أَفَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِنَّ ، وَيَنْفَعُ بِهِنَّ مَنْ عَلَّمْتَهُ ، وَيُثَبِّتُ مَا تَعَلَّمْتَ فِي صَدْرِكَ ؟ قَالَ : أَجَلْ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَعَلِّمْنِي

“Ketika kami berada di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba Ali bin Abi Thalib datang seraya berkata, “Ayah dan ibuku menjadi tebusan untuk anda. Al-Qur’an mudah hilang dari hafalanku, dan aku tidak mampu untuk menjaganya.” Maka Rasulullah r bersabda, “Wahai Abu Al-Hasan, maukah kamu saya ajarkan beberapa ucapan yang dengannya Allah akan memberikan manfaat kepadamu dan kepada orang yang engkau ajari ucapan ini kepadanya, serta memantapkan apa yang telah engkau pelajari di dalam dadamu?” Dia berkata, “Mau wahai Rasulullah! Ajarkan kepadaku!”

قَالَ : إِذَا كَانَ لَيْلَةُ الْجُمُعَةِ فَإِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَقُومَ فِي ثُلُثِ اللَّيْلِ الْآخِرِ فَإِنَّهَا سَاعَةٌ مَشْهُودَةٌ وَالدُّعَاءُ فِيهَا مُسْتَجَابٌ ، وَقَدْ قَالَ أَخِي يَعْقُوبُ لِبَنِيهِ ( سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّي ) يَقُولُ حَتَّى تَأْتِيَ لَيْلَةُ الْجُمْعَةِ ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقُمْ فِي وَسَطِهَا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقُمْ فِي أَوَّلِهَا ، فَصَلِّ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ

تَقْرَأُ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُورَةِ يس

وَفِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَحم الدُّخَانِ

وَفِي الرَّكْعَةِ الثَّالِثَةِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَالم تَنْزِيلُ السَّجْدَةِ

وَفِي الرَّكْعَةِ الرَّابِعَةِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَتَبَارَكَ الْمُفَصَّلِ

فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ التَّشَهُّدِ فَاحْمَدْ اللَّهَ ، وَأَحْسِنْ الثَّنَاءَ عَلَى اللَّهِ ، وَصَلِّ عَلَيَّ وَأَحْسِنْ وَعَلَى سَائِرِ النَّبِيِّينَ ، وَاسْتَغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلِإِخْوَانِكَ الَّذِينَ سَبَقُوكَ بِالْإِيمَانِ

Beliau bersabda, “Apabila tiba malam Jumat dan engkau mampu bangun pada sepertiga malam terakhir, maka ketahuilah bahwa waktu itu merupakan malam yang disaksikan (para malaikat), doa pada saat itu terkabulkan, dan saudaraku Ya’qub telah berkata kepada anak-anaknya, “Aku akan memintakan kalian ampunan kepada Tuhanku,” dan ucapan ini terus beliau ucapkan hingga datang malam Jumat. Jika engkau tidak mampu untuk bangun di sepertiga malam terakhir, maka bangunlah pada pertengahan malamnya. Dan jika engkau tidak mampu maka bangunlah pada awal malam lalu shalatlah empat raka’at :

Pada rakaat pertamanya hendaklah engkau membaca surat Al-Fatihah dan surat Yaasiin.Pada rakaat kedua hendaklah engkau membaca surat Al-Fatihah dan surat Ad-Dukhan.Pada rakaat ketiga hendaklah engkau membaca surat Al-Fatihah dan surat As-Sajadah.Pada rakaat keempat hendaklah engkau membaca surat Al-Fatihah dan surat Al-Mulk.

Kemudian apabila engkau telah selesai dari tasyahud maka pujilah Allah dengan sebaik-baiknya, ucapkanlah shalawat kepadaku dan kepada semua para nabi dengan sebaik-baiknya, mintakan ampunan untuk orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, dan untuk semua saudaramu yang telah beriman sebelummu.

، ثُمَّ قُلْ فِي آخِرِ ذَلِكَ اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي بِتَرْكِ الْمَعَاصِي أَبَدًا مَا أَبْقَيْتَنِي ، وَارْحَمْنِي أَنْ أَتَكَلَّفَ مَا لَا يَعْنِينِي ، وَارْزُقْنِي حُسْنَ النَّظَرِ فِيمَا يُرْضِيكَ عَنِّي .

اللَّهُمَّ بَدِيعَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ ، ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ وَالْعِزَّةِ الَّتِي لَا تُرَامُ : أَسْأَلُكَ يَا أَللَّهُ يَا رَحْمَنُ بِجَلَالِكَ وَنُورِ وَجْهِكَ أَنْ تُلْزِمَ قَلْبِي حِفْظَ كِتَابِكَ كَمَا عَلَّمْتَنِي ، وَارْزُقْنِي أَنْ أَتْلُوَهُ عَلَى النَّحْوِ الَّذِي يُرْضِيكَ عَنِّيَ .

اللَّهُمَّ بَدِيعَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ ، ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ وَالْعِزَّةِ الَّتِي لَا تُرَامُ : أَسْأَلُكَ يَا أَللَّهُ يَا رَحْمَنُ بِجَلَالِكَ وَنُورِ وَجْهِكَ أَنْ تُنَوِّرَ بِكِتَابِكَ بَصَرِي ، وَأَنْ تُطْلِقَ بِهِ لِسَانِي ، وَأَنْ تُفَرِّجَ بِهِ عَنْ قَلْبِي ، وَأَنْ تَشْرَحَ بِهِ صَدْرِي ، وَأَنْ تَغْسِلَ بِهِ بَدَنِي ، فَإِنَّهُ لَا يُعِينُنِي عَلَى الْحَقِّ غَيْرُكَ ، وَلَا يُؤْتِيهِ إِلَّا أَنْتَ ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ .

(Ya Allah, rahmatilah aku untuk meninggalkan kemaksiatan selamanya selama Engkau masih memberikan kehidupan kepadaku, rahmatilah aku untuk tidak membebani diri dengan sesuatu yang tidak bermanfaat bagiku, dan berilah aku karunia berupa kenikmatan mencermati perkara yang mendatangkan keridhaan-Mu kepadaku.

Ya Allah, wahai Pencipta langit dan bumi, Pemilik keagungan dan kemuliaan serta keperkasaan yang tidak mungkin bisa dicapai oleh makhluk. Aku memohon kepada-Mu ya Allah, ya Rahman, dengan kebesaran-Mu dan cahaya wajah-Mu agar Engkau berkenan menjadikan hatiku untuk senantiasa menjaga/menghafal kitab-Mu, sebagaimana yang Engkau telah ajarkan kepadaku. Dan berilah aku karunia untuk senantiasa membacanya sesuai dengan cara yang membuat-Mu ridha kepadaku.

Ya Allah, wahai Pencipta langit dan bumi, Pemilik keagungan dan kemuliaan serta keperkasaan yang tidak mungkin bisa dicapai oleh makhluk. Aku memohon kepada-Mu ya Allah, ya Rahman, dengan kebesaran-Mu dan cahaya wajah-Mu agar dengan kitab-Mu, Engkau berkenan untuk menyinari pandanganku, melepaskan kekakuan lisanku, menghilangkan kekakuan dari hatiku, melapangkan dadaku, dan membersihkan badanku. Karena sesungguhnya tidak ada yang dapat membantuku untuk mendapatkan kebenaran selain Engkau, dan juga tidak ada yang bisa memberi kebenaran itu selain Engkau. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Mu, wahai Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung).

يَا أَبَا الْحَسَنِ ! تَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ ، أَوْ خَمْسًا ، أَوْ سَبْعًا ، تُجَبْ بِإِذْنِ اللَّهِ ، وَالَّذِي بَعَثَنِي بِالْحَقِّ مَا أَخْطَأَ مُؤْمِنًا قَطُّ .قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ : فَوَاللَّهِ مَا لَبِثَ عَلِيٌّ إِلَّا خَمْسًا أَوْ سَبْعًا حَتَّى جَاءَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مِثْلِ ذَلِكَ الْمَجْلِسِ

Wahai Abu Al-Hasan, hendaklah engkau lakukan amalan ini sebanyak tiga kali atau lima kali atau tujuh kali Jumat, maka niscaya permohonanmu akan dikabulkan dengan izin Allah. Demi Yang mengutusku dengan kebenaran, Allah tidak akan menelantarkan seorang mukmin pun.”

Abdullah bin Abbas berkata: Maka demi Allah, lima atau tujuh Jumat setelahnya, Ali kembali mendatangi Rasulullah r dalam majelis yang sama.

فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ! إِنِّي كُنْتُ فِيمَا خَلَا لَا آخُذُ إِلَّا أَرْبَعَ آيَاتٍ أَوْ نَحْوَهُنَّ ، وَإِذَا قَرَأْتُهُنَّ عَلَى نَفْسِي تَفَلَّتْنَ ، وَأَنَا أَتَعَلَّمُ الْيَوْمَ أَرْبَعِينَ آيَةً أَوْ نَحْوَهَا ، وَإِذَا قَرَأْتُهَا عَلَى نَفْسِي فَكَأَنَّمَا كِتَابُ اللَّهِ بَيْنَ عَيْنَيَّ ، وَلَقَدْ كُنْتُ أَسْمَعُ الْحَدِيثَ فَإِذَا رَدَّدْتُهُ تَفَلَّتَ ، وَأَنَا الْيَوْمَ أَسْمَعُ الْأَحَادِيثَ فَإِذَا تَحَدَّثْتُ بِهَا لَمْ أَخْرِمْ مِنْهَا حَرْفًا .فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ : مُؤْمِنٌ وَرَبِّ الْكَعْبَةِ يَا أَبَا الْحَسَنِ )

Kemudian ia berkata, “Wahai Rasulullah, biasanya dulu aku hanya sanggup menghafal empat ayat atau lebih, dan apabila aku membacanya dalam hatiku maka tiba-tiba aku lupa ayat-ayat tersebut. Namun sekarang aku sanggup untuk mempelajari (baca: menghafal) empat puluh ayat atau lebih, dan apabila aku membacanya dalam hati maka seolah-olah Kitab Allah berada di depan mataku. Dan biasanya dahulu ketika aku mendengar satu hadits lalu aku hendak mengulanginya maka tiba-tiba saya lupa akan satu hadits tersebut. Namun sekarang aku sanggup mendengar (baca: menghafal) beberapa hadits, dan apabila aku mengulanginya maka aku tidak meninggalkan satu huruf pun darinya.” Maka Rasulullah r bersabda kepadanya, “Demi Rabb Ka’bah, angkau adalah seorang mukmin wahai Abu Al Hasan.”

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda