Translate

Kamis, 31 Desember 2015

Penjelasan Tentang Sangsi Hukum Bagi Orang Yang Murtad

Islam berarti ketundukan dan kepasrahan kepada Allah swt. Hal itulah yang menjadikan seorang muslim berkomitmen dan berpegang teguh dengan segala aturan yang dituangkan Allah swt didalam agama-Nya dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Merekalah orang-orang yang betul-betul berpegang dengan tali Allah secara kuat, firman Allah swt:

وَمَن يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

Artinya: “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. dan Hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” (QS. Luqman : 22)

Mereka adalah orang-orang yang memurnikan keimanannya kepada Allah swt dari segala bentuk kemusyrikan, kekufuran dan kemunafikan dan menjauhi segala bentuk peribadahan yang ditegakkan tanpa adanya sikap ihsan—beribadah dengan keyakinan bahwa dirinya disaksikan Allah swt–.

Karena itu Allah swt hanya menerima islam sebagai agama-Nya bahkan mengatakan mereka yang beragama dengan selainnya dipastikan akan mengalami kerugian di akherat, sebagaimana firman-Nya:

Artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Al Imran : 19)

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Al imran : 85)

Ayat ini menjelaskan bahwa setiap muslim yang tetap istiqomah didalam keislamannya dan meninggal dalam keadaan muslim maka ia masuk surga Allah swt dan sebaliknya seorang kafir dan terus berada didalam kekafirannya hingga meninggal masih dalam kedaan kafir maka ia akan menjadi penghuni neraka.

Dalam ajaran Islam diyakini terdapat sistem hukum yang mengatur segala aspek kehidupan baik yang bersifat duniawi maupun ukhrowi. Keberadaan aturan tersebut adalah cerminan bahwasannya Islam tidak hanya sebagai agama yang mengurusi urusan Ilahiyah semata, namun juga bercita-cita untuk turut serta mewujudkan relasi sosial yang harmonis. Hal tersebut merupakan implementasi dari konsep rahmatan lil’âlamîn atau sebagai agama yang menebar rahmat bagi alam semesta. Salah satu aturan hukum yang ada dalam Islam adalah adanya ketentuan tentang masalah riddah atau murtad, yaitu suatu tindak pidana bagi seorang yang pindah agama dari agama Islam ke agama lain.

Adapun seorang yang tadinya muslim kemudian keluar dari keislamannya sedangkan dirinya sudah mencapai usia baligh, berakal dan mampu menentukan pilihan maka orang itu disebut dengan murtad.

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ ثُمَّ آمَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ ثُمَّ ازْدَادُواْ كُفْرًا لَّمْ يَكُنِ اللّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلاَ لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلاً

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (QS. An Nisaa : 137)

Jika seorang yang murtad dari islam kemudian bertekad kembali kepada islam maka pintu taubat Allah swt senantiasa terbuka baginya selama dirinya betul-betul melakukan taubat nashuha.

Terdapat beberapa kategori dalam konsep murtad, pertama murtad dengan perbuatan, adalah melakukan perbuatan yang haram dengan menganggapnya tidak haram atau meninggalkan perbuatan wajib dengan menganggapnya sebagai perbuatan yang tidak wajib, baik dengan sengaja atau menyepelekan. Misalnya sujud kepada matahari atau bulan, melemparkan al-Qur’an dan berzina dengan menganggap bahwa zina tersebut bukan merupakan suatu perbuatan yang hukumnya haram. Kedua murtad dengan ucapan, yang maksudnya adalah ucapan yang menunjukkan kekafiran, seperti menyatakan bahwa Allah mempunyai keturunan dengan anggapan bahwa ucapan tersebut tidak menjadi suatu larangan. Ketiga murtad dengan itikad, adalah itikad yang tidak sesuai dengan itikad (akidah) Islam, yang termasuk dalam kategori ini adalah seperti beritikad langgengnya alam, Allah itu sama dengan mahluk. Sesungguhnya kalau sekedar itikad tidaklah menyebabkan seseorang menjadi murtad sebelum dibuktikan dalam bentuk ucapan atau perbuatan. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah :

عن ابي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صعم : اِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ اُمَّتِي مَاوَسْوَسَتْ اَوْ حَدَّسْتَتْ بِهِ اَنْفُسُهَا مَالَمْ تَعْمَلْ بِهِ اَوْتَكَلَّمَْ ( رواه مسلم )

Artinya : “Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku bayangan-bayangan yang menggoda dan bergelora dalam jiwanya selama belum diamalkan atau dibicarakan”. (H.R. Muslim).

Berdasarkan hadis tersebut jika itikad seseorang muslim yang bertentangan dengan ajaran Islam tidaklah dianggap menyebabkan keluar dari Islam sebelum ia mengucapkan atau mengamalkannya.

Sanksi-sanksi Moral Bagi Orang Murtad

Pada kesempatan kali ini, paparan bahasan ini terfokuskan pada dampak-dampak buruk orang yang murtad di dunia dan akherat, sebuah fenomena yang cukup banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Sebagian orang begitu mudah mengganti akidah Islamnya, entah karena kesulitan ekonomi, anggapan semua agama itu sama dan mengajak kepada kebaikan, ataupun kepentingan-kepentingan duniawi lainnya. Jika menyadari betapa bahaya besar akan menimpa mereka usai menanggalkan baju Islamnya, mungkin mereka tidak akan pernah melakukan tindakan bodoh tersebut.

Para Ulama Islam (kalangan Fuqaha) telah membahas konsekuensi hukum yang berlaku pada orang Islam yang pindah agama dalam buku-bukum fiqih mereka dalam pasal ar-riddah. Berikut ini konsekuensi buruk dari perbuatan mencampakkan Islam – satu-satunya agama yang diridhai Allâh Azza wa Jalla – dengan memeluk agama lainnya, menjadi seorang nasrani atau pemeluk agama lainnya.

a. Amal Ibadahnya Terhapus

Banyaknya ibadah yang telah dilakukan, tidak akan pernah bermanfaat bagi pelakunya, bahkan berguguran tanpa ada hasil yang bisa dipetik, apabila di kemudian hari dia kufur kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan tempat kembalinya adalah neraka kekal abadi di dalamnya, jika mati dalam kekufuran. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” [al-Baqarah/2:217]

b. Haknya Sebagai Seorang Muslim Sirna

Seorang Muslim wajib menunaikan orang Muslim lainnya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ : رَدُّ السَّلاَمِ ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيْضِ ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَاِئزِ ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ ،
وَتَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ

“Hak seorang Muslim yang wajib ditunaikan oleh orang Muslim lainnya ada lima: menjawab salam, mengunjungi yang sedang sakit, mengiringi jenazahnya, memenuhi undangannya, mendoakan yang bersin.” [HR. al-Bukhâri dan Muslim]

Berdasarkan hadits tersebut, maka seorang Muslim tidak wajib menjawab lontaran salam dari orang yang murtad dari Islam, tidak perlu menengoknya tatkala sakit, tidak perlu menghormati dan mengiringi jenazahnya bila mati, tidak boleh mendatangi undangannya, dan tidak boleh mendoakannnya ketika si murtad bersin.

c. Haram Menikahi Seorang Muslimah. Apabila Telah Menikah, Maka Otomatis Pernikahannya Batal Demi Hukum

Islam melarang umatnya menikah dengan non-muslim secara umum, serta merupakan syarat sah suatu pernikahan Islami adalah kedua mempelai beragama Islam – kecuali dengan wanita Ahli Kitab dengan persyaratan yang ketat – . Adapun pernikahan seorang Muslim dengan seorang wanita musyrik selain Ahli Kitab, pernikahan itu tidak sah. Wanita Muslimah pun tidak boleh menikah dengan lelaki kafir, termasuk lelaki yang berstatus murtad. Sebab pernikahan seorang Muslimah (atau lelaki Muslim) dengan orang yang murtad pernikahan yang telah terjalin menjadi putus dan batal secara otomatis. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” [Al-Baqarah/2:221]

Demikian juga Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

“Maka jika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka.” [al-Mumtahanah/60:10]

Dengan demikian, dalam Islam tidak halal lagi bagi pasangan yang salah satunya telah murtad untuk melakukan hubungan layaknya suami isteri.

d.Tidak Boleh Menjadi Wali Dalam Pernikahan

Seorang wanita muslimah apabila hendak menikah, maka memerlukan seorang wali untuk menikahkannya, baik bapaknya, pamannya dan seterusnya. Akan tetapi, misalnya bapak atau walinya murtad, maka tidak berhak menikahkan anak atau kemenakannya yang Muslimah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.” [at-Taubah/9:71]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kalian mengambil mereka menjadi pemimpin. Maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” [al-Mâ’idah/5:51]

Hal ini dipertegas oleh sabda yang menyatakan bahwa, tidak ada pernikahan yang sah kecuali atas izin seorang wali dan disaksikan oleh dua orang lelaki yang adil sebagai saksi pernikahan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا نِكاَحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ

“Tidaklah suatu pernikahan itu (sah) kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi yang adil.” [HR. al-Baihaqi dan Ibnu Hibbân dengan sanad yang shahih]

Pengertian orang adil di sini ialah orang yang jauh dari dosa besar dan tidak terus-menerus melakukan dosa kecil. Atas dasar itu, seorang yang telah murtad dari Islam lebih tidak berhak lagi untuk menjadi wali dan saksi dalam pernikahan.

e. Tidak Mewarisi dan Tidak Diwarisi Hartanya

Apabila seorang bapak meninggal dunia dalam keadaan kafir (termasuk orang yang mati dalam keadaan murtad), maka anak dan ahli warisnnya yang beragama Islam tidak boleh mewarisi harta peninggalan bapaknya tersebut. Sebagian ulama menyatakan bahwa harta orang seperti ini menjadi fai’ dan masuk ke Baitul Mal kaum Muslimin dan digunakan untuk kemaslahatan kaum Muslimin. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ، وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ

“Tidaklah seorang Muslim boleh mewarisi (harta) orang kafir, demikian juga orang kafir tidak mewarisi (harta) seorang Muslim.” [Muttafaqun’alaih]

Pada kasus yang lain, apabila seorang bapak yang beragama Islam meninggal dunia, kemudian di antara anaknya atau ahli warisnya ada yang non-Muslim (termasuk murtad) maka dia tidak berhak mendapatkan bagian dari harta ayahnya.

f. Jika Mati, Tidak Dishalati, Tidak Dikafani Serta Tidak Boleh Didoakan

Apabila seseorang mati dalam keadaan murtad dari Islam, maka dia tidak boleh dishalati, dikafani maupun didoakan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ

“Dan janganlah kamu sekali-kali mensholatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allâh dan Rasûl-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” [al-Taubah/9:84]

Sangsi Bagi Yang Murtad Berulang Kali

Namun para ulama berbeda pendapat terhadap orang yang kemurtadannya terjadi berulang-ulang hingga lebih dari tiga kali :

1. Para ulama Hambali, riwayat dari para ulama Hamafi dan juga Malik berpendapat bahwa tidaklah diterima taubat orang yang berulang-ulang murtad berdasarkan firman Allah swt:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ ثُمَّ آمَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ ثُمَّ ازْدَادُواْ كُفْرًا لَّمْ يَكُنِ اللّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلاَ لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلاً

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (QS. An Nisaa : 137)

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka Itulah orang-orang yang sesat.” (QS. Al Imron : 90)

Karena berulang-ulangnya sikap murtad menunjukkan kerusakan aqidahnya dan minimnya kepedulian kepada agamanya maka orang itu harus dibunuh.

2. Para ulama Syafi’i dan pendapat yang masyhur dikalangan para ulama Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa taubat seorang yang murtad diterima walaupun kemurtadannya terjadi berulang-ulang, berdasarkan firman Allah :

قُل لِلَّذِينَ كَفَرُواْ إِن يَنتَهُواْ يُغَفَرْ لَهُم مَّا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُواْ فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الأَوَّلِينِ

Artinya: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi. Sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu ". (QS. Al Anfal : 38)

Sabda Rasulullah saw,”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan,’Laa Ilaha Illallah’ dan apabila mereka mengatakan ‘Laa Ilaha Illallah’ maka terpeliharalah dariku agama dan harta mereka kecuali dengan haknya dan hisab mereka pada Allah swt.”

Mereka juga menegaskan bahwa seorang yang murtad berkali-kali apabila bertaubat untuk yang kedua kalinya harus diancam dengan pukulan atau dikurung dan tidak dibunuh.

Ibnu Abidin mengatakan bahwa apabila orang itu murtad untuk yang kedua kalinya kemudian bertaubat maka Imam harus memukulnya dan memberikan kebebasan kepadanya dan jika ia kembali murtad untuk yang ketiga kalinya kemudian bertaubat maka ia harus dipukul dengan pukulan yang menyakitkan dan dikurung sehingga tampak padanya bekas-bekas taubat kemudian diberikan kebebasan. Dan jika dia kembali murtad maka diperlakukan seperti itu lagi selamanya sehingga dia kembali kepada islam, seperti ini pula pendapat para ulama Maliki dan Syafi’i. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 4959)

Jadi pintu taubat bagi teman anda untuk kembali kepada islam setelah kemurtadannya yang berulang-ulang masih tetap terbuka selama taubatnya itu dilakukan dengan penuh kesungguhan lahir maupun batin bukan seperti taubat-taubat yang dilakukan sebelumnya.

Adapun mereka yang tidak diterima taubatnya—sebagaimana disebutkan didalam surat al imron : 90—adalah mereka yang tidak bertaubat dari kekafiran dan kemusyrikan yang telah dilakukannya dengan kembali kepada islam.

Tentang surat An Nisaa ayat 137 ini, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan pendapat Mujahid dan para mufassir lainnya yaitu mereka bertambah kekafirannya dan terus teguh dalam kekafiran itu hingga mereka meninggal.

Ibnu Taimiyah kemudian mengatakan bahwa hal itu dikarenakan seorang yang bertaubat adalah yang kembali dari kekafirannya dan barangsiapa yang tidak bertaubat (darinya) maka sesungguhnya ia adalah orang yang terus menerus berada didalam kekafiran setelah kekafirannya.’

Sedang firman-Nya “kemudian bertambah kekafirannya” seperti seorang yang mengatakan,”Kemudian mereka berada didalam kekafiran dan terus menerus didalam kekafiran dan masih teguh dengan kekafirannya setelah keislaman mereka kemudian bertambah lagi kekafiran mereka dan tidak terdapat pengurangan didalam kekafirannya itu maka merekalah orang-orang yang taubatnya tidak diterima yaitu taubat yang dilakukannya tatkala menjelang kematiannya.

Karena orang yang bertaubat sebelum saat-saat kematiannya adalah orang yang bertaubat dengan segera dan kembali dari kekafirannya maka hal itu tidaklah menambah kekafirannya akan tetapi menguranginya. Hal itu berbeda dengan seorang yang terus menerus berada didalam kekafiran hingga waktu yang ditentukan yang tidak ada lagi waktu baginya untuk mengurangi kekafirannya apalagi meruntuhkan kekafiran itu. (Majmu’ al Fatawa juz XVI hal 30)

Bersegeralah wahai saudaraku untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya karena pintu taubat itu masih terbuka, kembalilah ke jalan Allah swt, perkuatlah hubungan anda dengan-Nya dengan ibadah-ibadah yang diperintahkan terutama shalat lima waktu. Cintailah rasul-Nya, Muhammad saw dengan menerapkan sunnah-sunnahnya didalam kehidupan anda.

Baca dan pelajarilah Al Qur’an karena ia adalah tali Allah yang kuat yang menghubungkan anda dengan-Nya dan penunjuk jalan kehidupan anda meraih kebahagiaan di dunia dan akherat. Jauhilah setan dengan segala bisikannya yang terus dihembus-hembuskan kedalam hati anda demi menimbulkan berbagai keraguan akan kebenaran islam dan memalingkan anda dari jalan kebenaran. Kemudian pelajarilah islam dari sumbernya yang benar yang bersandar kepada Al Qur’an, sunnah dan pendapat para ulama yang dipercaya baik para ulama terdahulu maupun yang belakangan.

Adapun perbuatan murtad diancam dengan tiga macam hukuman :
Hukuman pokok, hukuman pokok perbuatan murtad adalah hukuman mati. Bentuk hukuman ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh HR. Bukhori dari ibn Abas berikut ini :

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا أَيُّوبُ عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلاَمُ أَحْرَقَ نَاسًا ارْتَدُّوا عَنِ الإِسْلاَمِ فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ لَمْ أَكُنْ لأَحْرِقَهُمْ بِالنَّارِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ ». وَكُنْتُ قَاتِلَهُمْ بِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ ». فَبَلَغَ ذَلِكَ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَقَالَ وَيْحَ ابْنَ عَبَّاسٍ.

Artinya : Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud : Sesungguhnya Ali telah membakar orang-orang murtad. Berita Kejadian ini sampai kepada Ibnu Abbas, kemudian dia berkata : Aku tidak akan membakar orang Atheis. Rasul bersabda “Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah”. Dan aku akan membunuh mereka karena ucapan Nabi ”Barang siapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia”. Reaksi Ibnu Abbas ini diketahui Ali, lalu Ali berkata ”Ibnu Abbas benar”.

Dalam Islam, penjagaan aqidah umat Islam menjadi perhatian yang sangat serius. Seseorang tak bisa dengan begitu mudah berpindah-pindah agama. Sebagai gambaran, umat Islam dilarang memaksa non-Muslim untuk memeluk Islam, hal ini wajar, karena orang-orang yang mau menggunakan akal pikiran dan hatinya tentu bisa membedakan mana kebenaran dan mana kesesatan. Selama orang mau berpikir, tak perlu memaksa mereka masuk Islam, secara sadar mereka akan masuk ke dalamnya dengan senang hati.

Allah ‘azza wa jalla berfirman:

لا إكراه في الدين قد تبين الرشد من الغي

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam. Sungguh telah jelas jalan kebenaran dari jalan kesesatan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)

Jika ada non-Muslim yang ingin masuk Islam, maka sungguh ia telah mendapat hidayah. Umat Islam akan dengan senang hati menerima mereka, dan menjadikan mereka saudara. Allah ta’ala berfirman:

إنما المؤمنون إخوة

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 10)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

المسلم أخو المسلم

Artinya: “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain.” (HR. Al-Bukhari [2442, 6951], Muslim [2564, 2580], Abu Dawud [3070, 3256, 4893], at-Tirmidzi [1426, 1927, 3087], Ibn Majah [2119, 2246], dan lainnya)

Sebaliknya, jika ada seorang muslim yang ingin keluar dari Islam, maka sejatinya ia sedang tersesat dari jalan yang benar setelah sebelumnya ia mendapat hidayah. Orang seperti ini harus diselamatkan, ia harus diingatkan akan kebenaran Islam dan kesesatan ajaran selain Islam. Jika ia bersedia kembali ke pelukan Islam, berarti ia telah diterangi cahaya kebenaran, dan dijauhkan dari suram dan gelapnya kesesatan. Namun jika ia tetap memilih berada di jalan kesesatan, setelah sebelumnya ia dinaungi hidayah, berarti ia telah memilih siksa Allah di dunia dan akhirat.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

ومن يرتدد منكم عن دينه فيمت وهو كافر فأولئك حبطت أعمالهم في الدنيا والآخرة وأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون

Artinya: “Barangsiapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 217)

Ulama sepakat, sebagaimana diungkapkan oleh Wahbah az-Zuhaili, bahwa laki-laki yang murtad hukumannya adalah dibunuh, dengan syarat ia baligh, berakal, dan tidak dalam keadaan dipaksa. Bagi perempuan yang murtad pun hukumannya adalah dibunuh menurut mayoritas fuqaha, kecuali kalangan Hanafiyah.

Ulama berdalil dengan dua hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

من بدل دينه فاقتلوه

Artinya: “Siapa saja yang mengganti agamanya (dari Islam ke agama lain), maka bunuhlah ia.” (HR. Al-Bukhari [3017, 6922], Abu Dawud [4351], at-Tirmidzi [1458], an-Nasai [4059, 4060, 4061, 4062, 4063, 4064, 4065], Ibn Majah [2535], dan lainnya)

لا يحل دم امرئ مسلم يشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله إلا بإحدى ثلاث الثيب الزاني والنفس بالنفس والتارك لدينه المفارق للجماعة

Artinya: “Tidak halal darah seorang muslim, yang bersaksi tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah, kecuali karena salah satu dari tiga hal, yaitu pezina yang sudah menikah, membunuh jiwa, dan orang yang meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin.” (HR. Muslim [1676]. Diriwayatkan juga oleh al-Bukhari dan imam-imam ahli hadits lainnya dengan redaksi masing-masing)

Hukuman bunuh bagi murtadin yang tak mau bertaubat ini jelas akan menjaga kemuliaan Islam dan kaum muslimin, sekaligus menjaga aqidah umat Islam dari syubhat yang akan disebarkan murtadin jika mereka bebas berkeliaran di tengah-tengah umat Islam. Hukuman ini akan menjaga keutuhan jamaah kaum muslimin dari perpecahan, sekaligus menjaga mereka dari berbagai kerusakan.

Sayangnya, di negeri kita yang tercinta ini, hukum ini tak diterapkan. Setiap orang bebas sekehendak hatinya berpindah-pindah agama, sehingga keagungan aqidah Islam seakan-akan tak ada harganya. Ujungnya, syubhat dari kalangan murtadin ini menyebar di tengah-tengah masyarakat, berbagai pemikiran sesat dari kalangan murtadin dan zanadiqah diagung-agungkan, sedangkan kemuliaan Islam dihinakan. Ini adalah musibah terbesar.

Kemurtadan adalah bencana bagi pelaku baik di dunia terlebih di akhirat, sehingga setiap Muslim harus ekstra hati-hati darinya, agar tidak terjerumus ke dalamnya. Melalui pembahasan ini pula seyogyanya seorang Muslim bersikap tegas (bersikap proporsional) terhadap orang-orang yang rela menanggalkan akidah Islamnya. Karena sebagian umat menyikapi keluarganya yang murtad dengan dingin-dingin saja seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Semoga kita dijauhkan dari bencana seperti ini dan diwafatkan dalam keadaan memegangi akidah Islamiyyah, sehingga kelak dikumpulkan dengan penduduk Jannah. Amin.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Penjelasan Tentang Agama Dan Politik Yang Tidak Bisa Dipisahkan

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي اللَّيْثُ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ، أُتِيتُ بِقَدَحِ لَبَنٍ، فَشَرِبْتُ حَتَّى إِنِّي لَأَرَى الرِّيَّ يَخْرُجُ فِي أَظْفَارِي، ثُمَّ أَعْطَيْتُ فَضْلِي عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ» قَالُوا: فَمَا أَوَّلْتَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «العِلْمَ»
انظر أيضا حديث رقم 7006، 7007، 7027، 7032
وانظر أيضا صحيح مسلم حديث رقم 2391

 [Imam Bukhari berkata]: telah menceritakan kepada kami Sa’id bin ‘Ufair, ia berkata: telah menceritakan kepadaku Al-Laits, ia berkata: telah menceritakan kepadaku ‘Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Hamzah bin Abdullah bin ‘Umar, bahwasanya Ibnu Umar berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Pada suatu kali, selagi saya tidur, tiba-tiba saya diberi satu gelas susu, lalu aku meminumnya sampai segar, sungguh, aku melihat kesegaran itu mengalir keluar melalui kuku-kuku-ku, kemudian aku berikan sisanya kepada Umar bin Al-Khaththab”. Mereka (para sahabat) bertanya: “Apa tafsiran engkau terhadap mimpi itu wahai Rasulullah SAW? Rasulullah SAW bersabda: “Ilmu”.

Lihat pula hadits ini pada Shahih Bukhari di no. 7006, 7007, 7027, 7032.

Lihat pula di Shahih Muslim hadits no. 2391.

Ada banyak pelajaran dari hadits Nabi Muhammad SAW ini, di antaranya:

1. Rasulullah SAW telah meminum air susu sehingga beliau merasakan badannya begitu segar, sampai-sampai kesegaran itu dapat beliau lihat mengalir dan menjalar sampai ke kuku-kuku beliau SAW, dan bahkan kesegaran itu memancar keluar dari kuku-kuku tersebut.

2. Air susu satu gelas yang beliau minum dalam mimpi itu beliau tafsirkan sebagai ilmu. Artinya, diri beliau SAW telah terisi dengan ilmu, sehingga ilmu itu telah merasuk begitu merata ke sekujur tubuh beliau, sebagaimana mengalirnya rasa segar tersebut.

3. Susu yang terlihat dalam mimpi ditafsirkan sebagai ilmu, sebab sama-sama memberi manfaat, dan sama-sama memberi nutrisi; air susu memberi nutrisi bagi tubuh, dan ilmu memberi nutrisi bagi akal.

4. Ada satu hal yang lebih menarik lagi, yaitu, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, salah seorang pen-syarah Shahih Bukhari yang paling masyhur, memaknai “ilmu” itu sebagai “ilmu politik” yang dipergunakan oleh Umar bin Al-Khaththab RA untuk menyiasati dan menata masyarakat dan rakyatnya, sehingga di zamannya, masyarakat dan rakyatnya:

Aman,
Tidak terjadi kekacauan dan perpecahan,
Semuanya tunduk dan taat kepada kepemimpinannya.
5. Kenapa “ilmu politik” itu diberikan kepada Umar? Sebab:

Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq RA memerintah sebagai khalifah sangat pendek dan singkat, sehingga aspek penerapan “ilmu politik” itu belum kelihatan secara gamblang.
Bukan pula diberikan kepada khalifah Utsman bin Affan RA yang masa memerintahnya lebih panjang dari Umar, sebab, di akhir masa Utsman, terjadi “kekacauan” dan “perpecahan”, bahkan sampai ke tingkat terbunuhnya beliau RA sebagai seorang khalifah yang syahid.‎
Bukan pula diberikan kepada Ali bin Abi Thalib RA, sebab di zamannya, “kekacauan” dan “perpecahan” lebih berat daripada di zaman Utsman RA.

Kaum sekuler –baik Barat maupun Timur- tidak akan ada kata henti menyerukan manusia; jauhkan agama dari politik, jauhkan Islam dari Negara. Seruan ini, bukan barang baru, dalam sejarah keagamaan dia memiliki akar dalam ‘kesucian’ teks agama Nasrani. Dalam Bible disebutkan: “Berikan Hak Kaisar kepada Kaisar dan berikan hak Tuhan kepada Tuhan.” Inilah pemisahan ekstrim antara keterkaitan kekuasaan dan agama, tetapi bukan dari Islam, bukan dari Allah dan RasulNya, tidak dikenal oleh para sahabat, dan asing dalam seluruh literatur mu’tabarah para ulama dan sejarawan Islam.

Tahun terus berjalan, abad berganti abad, upaya mereka untuk memadamkan agama Allah Ta’ala dengan mulut-mulut mereka terus bergulir, dengan wajah dan pakaian baru tetapi isinya sama. Tetapi selalu ada pada tubuh umat ini segolongan manusia yang membendung mereka, melucuti kebohongan dan meruntuhkan semua bangunan argumen yang mereka dirikan. Hingga agama ini tetap menduduki haknya sebagai penguasa dan pengelola dunia ini.

Allah Ta’ala berfirman:

يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.” (QS. Ash Shaf (61): 8)

Kekuasaan Adalah Warisan Allah Kepada Orang Mukmin

Tidak bisa dibenarkan klaim sebagian manusia -sayangnya mereka dikenal sebagai ‘tokoh Islam’ yang berada dalam komunitas Jam’iyyah Islamiyah- yang mengatakan Islam tidak pernah mengurus negara dan politik. Tidak ada daulah dalam Islam. Ini jelas syubhat sekularisme yang mereka dapatkan melalui pendidikan dan interaksi akademis yang bebas nilai.

Banyak sekali ayat-ayat yang menjadi dalil wajibnya berdiri Daulah Islamiyah. Allah Ta’ala berfirman:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nuur (24): 55)

FirmanNya yang lain:

الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al Hajj (22): 41)

FirmanNya yang lain:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al Baqarah (2): 178)


FirmanNya yang lain:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa (4): 58-59)

Ayat-ayat ini menuntut didirikan Daulah Islamiyah, bagaimana bisa amanat dan pesan agung yang ada pada ayat-ayat ini bisa berjalan secara utuh dan sempurna tanpa adanya negara yang menerapkan dan menjaganya?

Perhatikan ayat 58, objek pembicaraan pada ayat ini adalah pemerintah dan penguasa, di mana mereka diperintahkan untuk memelihara amanah yang dibebankan kepadanya dan menetapkan hukum secara adil. Lalu pada ayat 59, objek pembicaraannya adalah rakyat yang beriman. Mereka harus taat kepada Ulil Amri yang berasal dari mereka sendiri dengan syarat Ulil Amri tersebut telah mentaati Allah dan RasulNya. Mereka pun menjadikan ketaatan kepada Ulil Amri, adalah tahapan lanjutan dari ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Selain itu, mereka juga diharuskan meredam perselisihan dengan cara mengembalikannya kepada konstitusi syar’i, yakni kepada Allah dan RasulNya yakni Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Menjalankan semua ini, agar berjalan sempurna dan utuh, tentu melazimkan adanya pada sebuah Negara, tidak hanya sekadar kehidupan individu.

Oleh karena itu, surat An Nisa ayat 58-59 ini telah dijadikan landasan utama oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menulis kitabnya As Siyasah Asy Syar’iyyah fi Ishlahir Ra’i war Ra’iyyah.

Dalam Al Quran masih banyak ayat-ayat yang membahas tema-tema sosial, politik, ekonomi, perjuangan, dan militer. Ayat-ayat ini telah menjadi perhatian khusus para imam kaum muslimin. Mereka menamakannya dengan ayatul ahkam (ayat-ayat hukum). Tak kurang dari Imam Asy Syafi’i, Imam Al Jashash, dan Imam Ibnul ‘Arabi membuat kitab tafsir khusus membahas ayat-ayat hukum, dengan judul yang sama: Ahkamul Quran. Ulama kontemporer juga ada yang melakukannya yakni Syaikh Prof. Dr. Ali Ash Shabuni menyusun kitab Rawa’i Al Bayan fi Tafsiri Ayatil Ahkam minal Quran.

Pengabaran As Sunnah

Banyak sekali hadits shahih -puluhan bahkan ratusan- yang membahas tentang khalifah, kekuasaan kepemimpinan, bai’at, pengadilan, dan karakteristik pemimpin. Juga dibahas tentang cara menasihati mereka, bermusyawarah dengan mereka, serta menyikapi mereka baik yang adil maupun yang zhalim. Pemimpin seperti apa yang layak ditaati dan yang bagaimana yang tidak boleh ditaati. Juga, hak dan kewajiban mereka,

Para imam ahli hadits pun telah membuat pembahasan dalam kitab mereka bab khusus tentang kepemimpinan dan hak-hak yang terkait dengan wewenang pemimpin. Imam Bukhari dalam Jami’ush Shahih-nya membuat Kitab Al Hudud, Kitab Ad Diyat, juga Kitab Al Ahkam yang membuat bab-bab tentang Al Imamah dan Al Imarah (kepemimpinan). Begitu pula Imam Muslim, dalam kitab Jami’ush Shahih-nya membuat Kitab Al Imarah, juga Kitab Al Hudud, dan Al Qasamah wal Muharibin wal Qishash wal Diyat. Hal sama dilakukan juga para pengarang kitab Sunan.

Fakta ilmiyah ini merupakan jawaban atas tudingan sebagian pihak yang mengatakan bahwa Khilafah Islamiyah tidak memiliki akar yuridis dalam Islam. Bagaimana bisa mereka mengatakan demikian padahal As Sunnah adalah salah satu dasar yuridis Islam, dan telah begitu banyak As Sunnah membicarakan kepemimpinan, kekuasaan khilafah, bai’at, dan pembahasan lain yang terkait.

Contoh hadits berikut:

Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إذا خرج ثلاثةٌ في سفرٍ فليؤَمِّروا أحدهم

“Jika tiga orang keluar bepergian maka hendaknya salah seorang mereka menjadi pemimpinnya.” (HR. Abu Daud No. 2608. Syaikh Al Albani mengatakan hasan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 2608)

Jika urusan safar saja Islam ikut mengambil bagian untuk menetapkan adanya pemimpin, maka tidak syak lagi bagi urusan yang lebih urgen dan besar dari itu seperti kenegaraan. Maka, adalah hal yang mustahil Islam luput dari hal-hal besar seperti politik dan Negara.

Hadits lain:

الامام ظل الله في الارض

“Pemimpin adalah naungan Allah di muka bumi.” (HR. Ahmad dan Ath Thabarani, Al Haitsami mengatakan para perawi Ahmad adalah tsiqat. Lihat Majma’ Az Zawaid, 5/215)

Hadits ini menunjukkan posisi penting kepemimpinan dalam pandangan Islam. Maka, bagaimana mungkin mereka mengatakan Islam sama sekali tidak pernah bicara kekuasaan?

Fakta Warisan Pemikiran Islam

Tema tentang kepemimpinan, kekuasaan, dan apa-apa yang menjadi tautannya seperti hudud, bai’at, diyat, pengadilan, dan lainnya. Telah dibicarakan para ulama Islam sejak masa-masa awal hingga zaman modern. Baik pembahasan yang includedengan kajian fiqih lainnya, atau pembahasan khusus pada kitab khusus pula.

Tidak pernah sepi di kolong langit ini para ulama yang mengkaji permasalahan kepemimpinan, kenegaraan, pidana, dan politik Islam. Imam Abul Hasan Al Mawardi menyusun kitab Al Ahkam As Sulthaniyah (Hukum-hukum Kekuasaan). Begitu pula Imam Abu Ya’ala dengan judul yang sama. Imam Al Haramain menyusun kitab Al Ghiyats. Imam Ibnu Taimiyah menyusun kitab As Siyasah Asy Syar’iyyah. Sedangkan muridnya, Imam Ibnul Qayyim menyusun kitab Ath Thuruq Al Hukmiyah (metode-metode pemerintahan). Imam As Suyuthi menyusun kitab Al Asathin fi ‘Adamil Muji’ As Salathin. Ibnu Syidad menyusun kitab An Nawadir As Sulthaniyah, lain sebagainya.

Fakta ini menunjukkan bahwa Islam tidak bisa dipisahkan dengan Negara dan politik. Adanya karya-karya ini serta perhatian para sarjana muslim sejak masa klasik membuktikan bahwa memang keterkaitan antara Islam dan Negara adalah memang wujud (ada). Sebab, adalah hal mustahil para imam ini membicarakan sesuatu yang sia-sia, yang tidak pernah terjadi dalam Islam dan dunianya. Dia dibicarakan karena dia ada. Hakikat ini sangat jelas bagi orang-orang yang berakal.

Fakta Sejarah Kepemimpinan Islam

Sejak masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dilanjutkan para khalifah yang empat, lalu dilanjutkan oleh para khilafah dinasti, hingga berakhirnya khilafah Turki Utsmani tahun 1924M, dan pada masa itu selalu ada ulama Islam yang memberikan sumbangan pemikiran untuk kemakmuran Negara, adalah fakta sejarah yang tidak bisa dibantah bahwa agama ini sangat perhatian dengan masalah kepemimpinan, kekuasaan, wilayahnya, serta negara. Ini juga menunjukkan, tidak mungkin selama belasan abad lamanya umat Islam dan para ulamanya melakukan kesalahan langkah karena ‘mencampurkan’ agama dan Negara, apalagi disebut tidak memiliki akar sejarah dan teologis.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إن الله لا يجمع أمتي أو قال أمة محمد صلى الله عليه وسلم على ضلالة ويد الله مع الجماعة

“Sesungguhnya Allah tidaklah mengumpulkan umatku – atau Beliau bersabda: Umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- di atas kesesatan, dan tangan Allah bersama jamaah.” (HR. At Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2167)

Seringkali kaum sekuler dan liberal menjadikan sejarah hitam kekuasaan Islam sebagai bukti untuk memperkuat hawa nafsu mereka. Mereka membeberkan adanya konflik, bahkan pertumpahan darah pada sebagian masa-masa khilafah Islamiyah. Pandangan mereka sama sekali tidak bisa dibenarkan. Peristiwa-peristiwa yang dilahirkan dari kejahatan manusia, serta kepentingan duniawi pelakunya, sama sekali bukanlah noda serta bukan pula alasan untuk menafikan nilai dan bangunan sistem yang ada. Perilaku konflik mereka hendaknya disandarkan sebagai sikap dan perilaku pribadi manusianya, bukan karena nilai yang dianut dan yang berlaku saat itu. Lalu, kenapa mereka tidak berkaca pada fakta sejarah kegemilangan Khalifah yang empat dan Umar bin Abdul Aziz? Apa yang membuat mereka menutup mata terhadap fragmen yang lain? Jika bukan kebodohan dan mata kebencian terhadap Islam, nama apalagi yang cocok buat sikap mereka ini?!

Selain itu, kaum sekuler juga membangun argumentasi mereka dengan dasar pobhia negara teokrasi a la Barat. Mereka menyangka jika Islam dijadikan dasar pemerintahan kekuasaan dan hukum-hukumnya, akan mengulangi kekuasaan kaum gerejani di Eropa yang absolute. Kekuasaan yang selalu mengatasnamakan semua perbuatan dan keputusan pemimpin berasal dari Tuhan. Sehingga, tidak ada celah untuk bertanya ‘mengapa?’, lebih-lebih mengatakan ‘tidak!’. Pemikiran dan ketakutan mereka ini sangat rapuh, bodoh, dan tidak sesuai fakta sejarah kepemimpinan rahmatan lil ‘Alamin-nya Islam. Dan, Islam sendiri menolak sistem Teokrasi, yang memposisikan suara pemimpin adalah suara Tuhan.

Tidak cukup dengan itu, mereka juga sok membela agama dengan mengatakan agama adalah sakral dan suci yang tidak selayaknya dicampuradukkan ke dunia politik dan kekuasaan yang penuh intrik dan hawa nafsu. Ini juga pemikiran yang dibangun bukan berdasarkan nilai-nilai Islam yang utuh dan menyeluruh dan menafikan sikap Islam terhadap politik, melainkan berdasarkan asumsi dan kasus manusia yang mereka lihat saja.

Jahatnya lagi adalah mereka tidak pernah mempermasalahkan lahirnya Negara sosialis, komunis, kapitalis, serta Negara Kristen vatikan, Hindu India, dan Yahudi Israel. Semua ini bebas hidup dan menghirup udara segar di alam demokrasi versi mereka. Tetapi, tangan mereka terkepal, bom mereka siap diluncurkan, serta syubuhat pemikiran pun dipublikasikan, ketika berhadapan dengan ide dan gagasan Negara Islam. Padahal baru sekadar gagasan!

Fakta sejarah bahwa Islam senantiasa ada dalam panggung kekuasaan juga telah diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, 

تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثَمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكاً عَاضًّا فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكاً جَبْرِيًّا فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ. ثُمَّ سَكَتَ‎

“Akan ada masa kenabian pada kalian selama yg Allah kehendaki Allah mengangkat atau menghilangkan kalau Allah menghendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yg sangat kuat selama yg Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan selama yg Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau diam.”
(HR. Ahmad No. 17680. Imam Al Haitsami mengatakan: perawinya tsiqat. Lihat Majma’ Az Zawaid 5/188-189)

Sebagai mukmin kita akan meyakini sign dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini. Dan, sebagai seorang yang berilmu kita telah menunjukkan fakta-fakta sejarah, serta nilai-nilai yuridis teologis bahwa memang Islam dan Kekuasaan adalah senyawa tak terpisah sejak awal lahirnya hingga berakhirnya dunia.

Ayat Qur'an Dan Hadits Tentang Kepemimpinan;

Kekuasaan Pemimpin
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ 
Katakanlah: ”Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al-'Imran (3):26)
Ketaatan Kepada Pemimpin 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً 
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS.An-Nisa (4):59)
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ 
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah, (QS. Al-Anbiya (21):73)
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ 
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar . Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. (QS. As-Sajdah (32) :24)
Pemimpin yang Beriman dan Bertakwa 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ بِطَانَةً مِّن دُونِكُمْ لاَ يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّواْ مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاء مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (QS. Al-'Imran (3) :118).
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً ‎
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) . Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya , maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya . Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An-Nisaa’: 34)

Hadits tentang pemimpin dan tanggungjawab atas apa yang dipimpinannya.‎

Setiap orang dari kita adalah pemimpin, dan setiap kita akan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ‎

Dari Ibnu Umar, dari Nabi Muhammad, beliau telah bersabda, “Setiap orang dari kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungan jawab terhadap apa yang di pimpinnya. Seorang raja adalah pemimpin bagi rakyatnya dan ia akan dimintai pertanggungan jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi anggota keluarganya dan ia akan dimintai pertanggunganjawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang istri adalah pemimpin bagi rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungan jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin bagi harta tuannya dan ia akan dimintai pertanggungan jawab atas apa yang dipimpinnya. Ketahuilah bahwa setiap orang dari kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungan jawab atas apa yang dipimpinnya.” (HR Muslim 6/8)

Hadits tentang orang yang diberi jabatan, kemudian ia membebankan (menyusahkan) atau bersikap lembut.‎

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ أَسْأَلُهَا عَنْ شَيْءٍ فَقَالَتْ مِمَّنْ أَنْتَ فَقُلْتُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ مِصْرَ فَقَالَتْ كَيْفَ كَانَ صَاحِبُكُمْ لَكُمْ فِي غَزَاتِكُمْ هَذِهِ فَقَالَ مَا نَقَمْنَا مِنْهُ شَيْئًا إِنْ كَانَ لَيَمُوتُ لِلرَّجُلِ مِنَّا الْبَعِيرُ فَيُعْطِيهِ الْبَعِيرَ وَالْعَبْدُ فَيُعْطِيهِ الْعَبْدَ وَيَحْتَاجُ إِلَى النَّفَقَةِ فَيُعْطِيهِ النَّفَقَةَ فَقَالَتْ أَمَا إِنَّهُ لَا يَمْنَعُنِي الَّذِي فَعَلَ فِي مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ أَخِي أَنْ أُخْبِرَكَ مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي بَيْتِي هَذَا اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ

Dari Abdurrahman bin Syumasah, dia berkata, “Saya pernah menemui Aisyah untuk menanyakan sesuatu kepadanya.” Kemudian ia -Aisyah binti Abu Bakar- bertanya kepada saya, “Siapakah kamu?” Saya menjawab, “Saya adalah seorang lelaki dari negeri Mesir.” Lalu ia bertanya lagi kepada saya, “Bagaimanakah sikap pemimpin negerimu di sana?” Saya menjawab, “Menurut hemat saya, kami semua menyukainya. Ia sangat baik hati dan dermawan. Apabila ada seseorang di antara kami yang untanya mati, maka ia pun akan menggantinya dengan unta yang lain. Begitu pula halnya apabila ada seseorang di antara kami yang budaknya meninggal dunia, maka ia pun akan menggantinya dengan budak yang lain. Bahkan, ia tidak segan-segan untuk memberikan bantuan kepada rakyat yang membutuhkannya,” Aisyah berkata, “Sungguh saya tidak peduli terhadap apa yang telah dilakukan kepada Muhammad bin Abu Bakar, saudaraku sendiri. Tetapi, di sini, saya hanya hendak memberitahukan sesuatu yang pernah saya dengar langsung dari Rasulullah kepadamu. Pada suatu ketika, beliau pernah berdoa di dalam rumah saya ini, “Ya Allah, barang siapa yang menjadi pemimpin umatku dalam suatu hal, lalu ia menyusahkan mereka, maka balaslah perbuatannya itu dengan kesusahan. Dan barang siapa yang menjadi pemimpin umatku dalam suatu hal, lalu ia bersikap lembut terhadap mereka, maka berikanlah kelembutan (kasih sayang) kepadanya” (HR Muslim 6/7)

Hadits tentang pengkhiaanatan para pemimpin.‎

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَذَكَرَ الْغُلُولَ فَعَظَّمَهُ وَعَظَّمَ أَمْرَهُ ثُمَّ قَالَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ يَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ فَرَسٌ لَهُ حَمْحَمَةٌ فَيَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ شَاةٌ لَهَا ثُغَاءٌ يَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ نَفْسٌ لَهَا صِيَاحٌ فَيَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ رِقَاعٌ تَخْفِقُ فَيَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ صَامِتٌ فَيَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ

Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Pada suatu hari, Rasulullah hadir di tengah-tengah kami. Setelah itu beliau menyinggung dan menerangkan tentang nasib buruk orang-orang yang suka menipu dan berkhianat dengan sangat serius. Beliau berkata, ‘Pada hari kiamat kelak, aku akan mendapati salah seorang di antara kalian datang dengan membawa seekor unta yang sedang melenguh di lehernya. Kemudian orang tersebut berseru, “Ya Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku (Rasulullah) menjawab, “Aku tidak mampu memberikan suatu (pertolongan) untukmu. Semuanya telah aku sampaikan kepadamu” Pada hari kiamat kelak, aku akan mendapati salah seorang di antara kalian datang dengan membawa seekor kuda yang meringkik di lehernya. Kemudian orang tersebut berseru, “Ya Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku (Rasulullah) menjawab seruannya, “Aku tidak mampu memberikan suatu (pertolongan) untukmu. Semuanya telah aku sampaikan kepadamu.’” Pada hari kiamat kelak, aku akan mendapati salah seorang di antara kalian datang dengan membawa seekor kambing yang sedang mengembik di lehernya. Kemudian orang tersebut berseru, “Ya Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku (Rasulullah) menjawab, “Aku tidak mampu memberikan suatu (pertolongan) untukmu. Semuanya telah aku sampaikan kepadamu.” Pada hari kiamat kelak, aku akan mendapati salah seorang di antara kalian datang dengan membawa seorang manusia yang sedang menjerit di lehernya. Kemudian orang tersebut berseru, “Ya Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku (Rasulullah) menjawab, “Aku tidak mampu memberikan suatu (pertolongan) untukmu. Semuanya telah aku sampaikan kepadamu”Pada hari kiamat kelak, aku akan mendapati salah seorang di antara kalian datang dengan membawa sehelai pakaian yang compang-camping di lehernya. Kemudian orang tersebut berseru, “Ya Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku (Rasulullah) menjawab, “Aku tidak mampu memberikan suatu (pertolongan) untukmu. Semuanya telah aku sampaikan kepadamu.” Pada hari kiamat kelak, aku akan mendapati salah seorang di antara kalian datang dengan membawa harta yang berlimpah berupa emas dan perak di lehernya. Kemudian orang tersebut berseru, “Ya Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku (Rasulullah) menjawab, “Aku tidak mampu memberikan suatu (pertolongan) untukmu. Semuanya telah aku sampaikan kepadamu.’” (HR Muslim 6/10)


Hadits tentang taat kepada para pemimpin, meskipun mereka tidak memberikan hak.

عن وَائِلٍ الْحَضْرَمِيِّ قَالَ سَأَلَ سَلَمَةُ بْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ وَقَالَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سِمَاكٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ وَقَالَ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

Dari Wa’il Al Hadhrami, dia berkata, “Salama bin Yazid al-Ju’fi pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, bagaimana menurut pendapat engkau jika ada para pemimpin di tengah-tengah kami yang selalu menuntut haknya kepada kami, tetapi mereka sendiri enggan untuk memberikan hak kami yang ada pada mereka. Apakah yang akan engkau perintahkan kepada kami saat itu?” Ternyata, setelah mendengar pertanyaan tersebut, Rasulullah malah berpaling darinya. Bahkan ketika pertanyaan itu diulang sampai tiga kali, beliau masih tetap saja terdiam dan tidak memberikan komentarnya. Setelah didesak oleh Asy’ats bin Qais, akhirnya beliau menjawab pertanyaan tersebut dan bersabda, “Kalian harus tetap patuh dan taat. Karena, bagaimanapun, mereka akan menanggung perbuatan mereka sendiri dan kalian juga akan menanggung perbuatan kalian sendiri.” Dalam satu riwayat Wa’il berkata, “Al Asy’ats mendesaknya, maka Rasulullah  bersabda, ‘Taatilah dan patuhilah, sesungguhnya atas mereka apa yang telah mereka perbuat dan atas kamu apa yang telah kamu perbuat.’ (HR Muslim 6/19)‎

Sejarah telah mencatat bahwa diantara persoalan-persoalan yang diperselisihkan pada hari-hari pertama sesudah wafatnya Rasulullah SAW adalah persoalan politik atau yang biasa disebut persoalan al-Imamah (kepemimpinan). Meskipun masalah tersebut berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abu Bakar (w. 13 H/634 M) sebagai khalifah, namun dalam waktu tidak lebih dari tiga dekade masalah serupa muncul kembali dalam lingkungan umat Islam. Kalau pada pertama kalinya, perselisihan yang terjadi adalah antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, maka pada kali ini perselisihan yang terjadi adalah antara khalifah Ali bin Abi Thalib (w. 41 H/661 M) dan Mu`awiyah bin Abi Sufyan (w. 64 H/689 M) dan berakhir dengan terbunuhnya khalifah Ali dan bertahtanya Mu`awiyah sebagai khalifah dan pendiri kerajaan Bani Umayyah.

Mencuatnya persoalan-persoalan tersebut dikarenakan al-Qur`an maupun al-Hadis sebagai sumber hukum Islam tidak memberikan penjelasan secara pasti mengenai sistem pemerintahan dalam Islam, konsepsi kekuasaan dan kedaulatan serta ide-ide tentang konstitusi.

Term bahasa Arab yang secara eksplisit bermakna negara atau pemerintahan (Daulah dan Hukumah) tidak pernah disebut-sebut oleh al-Qur`an dengan pasti. Selain itu Nabi sendiri tidak memberikan konsep pemerintahan yang baku dan mapan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan. Demikian pula bentuk negara dalam Islam bukan merupakan hal yang essensial, karena yang essensial adalah unsur-unsur, sendi-sendi, dan prinsip-prinsip dalam menjalankan pemerintahan.

Perkembangan yang baru, terjadi dalam abad XIX akibat terjadinya kontak peradaban dengan dunia Barat. Kaum pembaru dalam dunia Islam berusaha melakukan pembaruan dengan menerapkan nilai-nilai Barat atau dengan menggali dan mengkaji ulang ajaran-ajaran Islam ataupun dengan memadu kedua unsur-unsur tersebut. Gerakan pembaruan ini berdampak antara lain dalam kehidupan politik. Kerajaan Turki Usmani yang dipandang sebagai khilafah dan pemerintahan Islam sedunia tidak dapat mempertahankan eksistensinya, ia dibubarkan pada bulan Maret 1924 setelah pembentukan Negara nasional sekuler Republik Turki tanggal 29 Oktober 1923. Dengan demikian institusi yang dipandang sebagai lambang supremasi politik Islam telah lenyap.

Pemikiran politik sesungguhnya telah dikenal oleh sejarah sejak zaman Yunani kuno. Karya-karya besar sebagai perintis telah ditulis misalnya buku The Republic karya Plato (428/7-348/7 SM) dan buku Politics dari Aristoteles (384-322 SM). Kedua karya ini kemudian terlihat mempengaruhi pemikiran filosof muslim seperti al-Farabi (260-339 H/870-950 M), Ibnu Sina (370-428 H/980-1037 M), Ibnu Bajah (w. 1138 M), dan Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1198 M). Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa pemikiran politik yang berkembang dalam dunia Islam hanya diilhami oleh pemikiran Barat, sebab sebelum munculnya kaum filosof muslim tersebut pemikiran politik telah dikenal dalam lingkungan fuqaha seperti Abu Hanifah (80-150 H/699-769 M) dan Abu Yusuf (l. 117 H/731 M). Demikian pula dalam karya Imam Syafi`i (150-204 H), pemikiran politik dapat ditemukan, hanya saja sebagai faqih, pemikiran mereka bersifat legalistik normatif karena berakar pada teks-teks al-Qur`an dan Sunnah. Namun memasuki abad V H, pemikiran legalistik normatif ini mengambil pula unsur kesejarahan seperti yang tampak dalam karya Ali bin Muhammad al-Mawardi (w. 450 H) dan al-Farra (w. 458 M). Pemikiran yang legalistik tetapi memiliki dasar filsafat moral terlihat dalam karya Imam al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M) dan pemikiran sosiologis historis dikemukakan oleh Abd al-Rahman bin Khaldun (732-808 H/1332-1406 M).

Kemunduran kerajaan-kerajaan besar Islam dalam abad XVIII membangunkan dunia Islam untuk mengamati dan mempelajari kekalahannya dan mencari pemecahan masalah yang dihadapi. Kerajaan Turki Usmani mencoba mengambil peradaban Barat yang lebih maju terutama dalam bidang teknik dan kemiliteran. Sedang di India tampil Ahmad Syah Waliyullah bin Abd al-Rahman al-Dahlawi (1703-1762 M) mengemukakan gagasan agar sistem pemerintahan yang telah dikembangkan oleh al-Khulafa` al-Rasyidun (para khalifah yang mendapat petunjuk).

Pemikiran politik yang berkembang dalam dua abad berikutnya bercabang dari dua pola pemikiran di atas. Pengambilan dan penerapan nilai-nilai kebudayaan Barat (Westernisasi) dapat dibedakan atas bentuk ekstrem dan bentuk moderat. Westernisasi ekstrem terlihat dalam Kemalism (Aliran Kemalis, Kemalisme) yang berhasil mendirikan Republik Turki (1923 M) dan membebaskan segala institusi politik dari kekuasaan agama. Sedangkan Westernisasi moderat terlihat dalam pemikiran kelompok Turki Muda, khususnya pada tokoh-tokoh seperti Ahmad Riza (1859-1931 M) dan Pangeran Sahabuddin (1877-1948 M). Mereka ingin menerapkan nilai-nilai kebudayaan Barat yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam seperti ajaran konstitusi dan ajaran mengenai pengembangan kemampuan berdiri sendiri. Pada sisi lain aliran yang bertumpu pada ajaran Islam dapat pula dibedakan atas pemikiran yang ingin mengembalikan ajaran Islam yang bersumber al-Qur`an dan Sunnah dan yang bersumber dari fiqih para imam madzhab dan para mujtahid pengikut mereka dan pemikiran yang bermaksud mengembangkan konsepsi-konsepsi dari al-Qur`an dan Sunnah. Aliran pertama yang dapat disebut sebagai aliran tradisional dalam konteks pembaharuan di Turki terlihat dalam pemikiran Nemik Kemal (1840-1888 M). Meskipun ia menghendaki pembaruan, tetapi ia tetap mempertahankan tradisi-tradisi yang ada. Aliran kedua yang dapat disebut dengan meminjam istilah Linguistik sebagai “Puritanisme”, atau mempertahankan kemurnian. Jamal al-Din al-Afghani (1839-1877 M) yang menjadi pelopor Pan Islamisme adalah contoh pemikir puritanisme dari kalangan pembaru di Mesir.


Takhtimah


تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثَمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكاً عَاضًّا فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكاً جَبْرِيًّا فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ. ثُمَّ سَكَتَ‎
“Akan ada masa kenabian pada kalian ‎selama yg Allah kehendaki Allah mengangkat atau menghilangkan kalau Allah menghendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yg sangat kuat selama yg Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan selama yg Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas ‎manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau diam.”

Dalam hadits di atas sangat jelas bahwa khilafah di atas manhaj nubuwwah merupakan suatu karunia Allah semata. tdk seorang muslim pun yg beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kecuali pasti dia akan mengharapkan terwujud khilafah tersebut. Rasulullah dgn tegas mengatakan bahwa hal itu pasti terjadi pada umat ini. Janji ini telah teralisasi pada masa generasi terbaik umat ini dan Allah tetap menjanjikan kepada umat ini akan terwujud kembali khilafah tersebut di tengah-tengah mereka jika memang syarat-syarat telah dipenuhi sebagaimana firman-‎Nya:
وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُوْنَنِي لاَ يُشْرِكُوْنَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ

“Allah telah berjanji kepada orang2 yg ‎beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang2 yg sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yg telah diridhai-Nya utk mereka dan Dia dia benar-benar akan menggantikan kondisi mereka setelah mereka berada dlm ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dgn tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barangsiapa yg kafir sesudah itu mk ‎mereka itulah orang2 yg fasiq.” 
Barangsiapa yg ingin mengetahui bagaimana‎ gambaran Khilafah ‘ala Manhajin Nubuwwah mk hendak dia melihat pada daulah yg dipimpin oleh Rasulullah dan para Khulafa`ur Rasyidin sepeninggal beliau.. Diperangi segala bentuk bid’ah baik dalam akidah ibadah maupun muamalah. Dite-gakkan syariat Islam oleh tiap muslim sebelum ditegakkan oleh pemerintahnya. Kondisi masyarakat senantiasa mengutamakan dan mementingkan ilmu syar’i jauh dari kungkungan filsafat dan pengagungan rasio. Masyarakat taat dan patuh kepada pemerintah serta menegakkan jihad syar’i bersama pemerintah.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Penjelasan Tentang Kerjasama Bisnis

Manusia pada hakekatnya makhluk sosial, saling membutuhkan untuk memenuhi keperluannya dan meningkatkan taraf hidupnya. Fitrah inilah yang ditegaskan oleh Islam. Islam memerintah kan untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan manfaat.
Lebih lagi terhadap sesama umat muslim. Bahkan Islam mengibaratkan persaudaraan dan pertalian sesama muslim itu seperti satu bangunan, di mana struktur dan unsur bangunan itu saling membutuhkan dan melengkapi, sehingga menjadi sebuah bangunan yang kokoh, kuat dan bermanfaat lebih.

Rasulullah saw. bersabda:

عن أبي موسى الأشعري ـ رضي الله عنه ـ عن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ قال : ” المؤمن للمؤمن كالبنيان ، يشد بعضه بعضاً ، ثم شبك بين أصابعه ، وكان النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ جالساً ، إذ جاء رجل يسأل ، أو طالب حاجة أقبل علينا بوجهه ، فقال : اشفعوا تؤجروا ، ويقضي الله على لسان نبيه ما شاء ” . رواه البخاري ، ومسلم ، والنسائي

Dari Abu Musa Al Asy’ari ra. dari Nabi Muhammad saw bersabda:

“Orang mukmin itu bagi mukmin lainnya seperti bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. Kemudian Nabi Muhammad menggabungkan jari-jari tangannya. Ketika itu Nabi Muhammad duduk, tiba-tiba datang seorang lelaki meminta bantuan. Nabi hadapkan wajahnya kepada kami dan bersabda: Tolonglah dia, maka kamu akan mendapatkan pahala. Dan Allah menetapkan lewat lisan Nabi-Nya apa yang dikehendaki.” Imam Bukhari, Muslim, dan An Nasa’i.

Akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Al Musyarakah termasuk kedalam akad tijarah (for profit transaction).

Pengertian‎

•       Musyarakah secara bahasa diambil dari bahasa arab yang berarti mencampur.
•      Musyarakah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata “syaraka”  yang bermakna bersekutu, meyetujui atau perkongsian berarti: “Percampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya.
•       Sedangkan menurut istilah, musyarakahadalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Menurut Fuqaha Mazhab Empat

•        Menurut fuqaha Malikiyah

إذن فى التصرف لهما مع انفسهما أي أن يأذنكل واحد من شركين لصاحبه فى ان يتصرففى مال لهمامع إبقاء حق التصرف لكل منهما

syirkah adalah keizinan untuk berbuat hukum bagi kedua belah pihak, yakni masing-masing mengizinkan pihak lainya berbuat hukum terhadap harta milik bersama antara kedua belah pihak,disertai dengan tetapnya hak berbuat hukum (terhadap harta tersebut) bagi masing-masing.

•       Menurut fuqaha Hanabilah

الإجتماع فى استحاق أوتصرف هي

adalah berkumpul dalam berhak dan berbuat hukum.

•       Menurut fuqaha Syafi’iyah

ثبوت الحق فى شىء ثنين فأكثر على جهة هي الشيوع

adalah berlakunya hak tetapnya hak tentang sesuatu terhadap dua pihak atau lebih secara merata.

•        Menurut fuqaha Hanafiyah

عَقدُ بَينَ المُتَشارِكَينِ فى رَأسِ المَالِ وَالرابح هي

ialah akad antara pihak-pihak yang berserikat pokok harta dan keuntunganya.”

Landasan Syari’ah

a. Al-Qur’an

 Dalam firman Allah pada Surat An-Nisa’ ayat 12 yang berbunyi ;

فان كانوا اكثر من ذلك فهم شركاء في الثلث .(النساء : 12)

“Dan jika saudara-saudara seibu itu lebih dariseorang, maka mereka bersekutu pada yang sepertiga itu”.

Ayat ini, menurut mereka berbicara tentang perserikatan harta dalam.

وان كثيرا من الخلطاء ليبغي بعضهم على بعض الاالذين ءامنوا وعملواالصلحت وقليل ماهم.... (ص:24)

“ Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian dari mereka berbuat dzalim kepada sebagian lain,kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, dan amat sedikitlah mereka ini... “ ( Qs.Shad (38):24 ).
Ayat ini merujuk pada dibolehkannya praktik akad musyarakah. Lafadz “ al- khulata “ dalam ayat ini bisa diartikan saling bersekutu/partnership, berekutu dalam konteks ini adalah kerjasama dua atau lebih pihak untuk melakukan sebuah usaha perniagaan. 
Bardasarkan pemahaman ini jelas sekali bahwa pembiayaan musyarakah mendapatkan legalitas dari syari’ah.

b. Al-Hadits‎

ﻣﻦ نفس ﻋﻦ ﻣﺴﻠﻢ آﺮﺑﺔ ﻣﻦ آﺮب اﻟﺪﻥﻴﺎ ﻥﻔﺲ اﷲ ﻋﻨﻪ آﺮﺑﺔ ﻣﻦ آﺮب ﻱﻮم اﻟﻘﻴﺎﻣﺔ وﻣﻦ ﻱﺴﺮ ﻋﻠﻰ ﻣﻌﺴﺮ ﻱﺴﺮ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻲ اﻟﺪﻥﻴﺎ واﻻﺧﺮة . واﷲ ﻓﻲ ﻋﻮن اﻟﻌﺒﺪ ﻣﺎدام اﻟﻌﺒﺪ ﻓﻲ ﻋﻮن أﺧﻴﻪ.)واﻟﺘﺮﻣﺬى رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ وأﺑﻮداود (

Artinya: “Siapa yang memberikan keluangan terhadap orang miskin dari duka dan kabut dunia. Allah akan meluangkannya dari duka dan kabut hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan kesibukan seseorang, Allah akan memberikan kemudahan dunia dan akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong saudaranya.”(Riwayat Muslim, Abu Daud dan At Tirmidzi)‎

كَانَ سَيِّدِنَا الْعَبَّاسُ بْنِ عَبْدِاْلمُطَلِّبِ اِذَا دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَةً اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ اَنْ لَا يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا, وَلَا يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا وَلَا يَشْتَرِيَ بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ فَإِ نْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ فَبَلَغَ شَرْتُهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَا‘لِهِ وَ سَلَّم فَأَ جَازُهُ

Artinya:“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai Mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya”(HR. Thabrani dari Ibnu Abbas)‎

عن أبي هريرة, رفعه قال : ان الله يقول : أ نا ثالث الشركين, مالم يخن أحدهما صاحبه, فاذا خانه خرجت من بينهما (رواه أبوا داود والحاكم عن أبي هريرة)

“Dari Abu Hurairah yang dirafa’kan kepada Nabi SAW, bahwa Nabi SAW bersabda, sesungguhnya Allah SWT berfirman : “ aku adalah pihak ketiga antara dua orang  yng bersrikat selama salah satu pihak tidak menghianati pihak yang lain. jika salah satu pihak telah berkhianat, aku keluar dari mereka “. ( HR. Abu Daud dari Abu Hurairah ).

‎Merupakan dalil lain dibolehkannya praktik musyarakah.Hadits ini merupakan hadits qudsi dan kedudukannya shahih menurut hakim. Dalam hadits ini Allah memberikan pernyataan bahwa Dia akan bersama dua orang yang saling bersekutu dalam suatu usaha perniagaan, dalam arti, Allah akan menjaga, memberikan pertolongan dan berkah-Nya atas usaha perniagaan yang dilakukan, usaha yang dijalankan akan semakin berkembang sepanjang tidak ada pihak yang berkhianat.

c. Ijma’

Berdasarkan sumber hukum di atas maka secara ‘Ijma para ulama sepakat bahwa hukum musyarakah yaitu boleh. Hanya saja, mereka berbeda pendapat tentang jenisnya. Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni telah berkata: kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legimasi Musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.

Macam- macam Musyarakah

a. Musyarakah Kepemilikan ( Syirkah al amlak )
 1. Syirkah Ikhtiar
Yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang
yang berserikat.

Eg : dua orang yang bekerja sama secara sukarela untuk mengelola sebuah warnet, dengan perhitungan laba dibagi dua setelah dikurangi modal.
2. Syirkah Jabr
Yaitu perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas
keinginan orang yang berserikat.

Eg : dua orang yang bekerja sama namun salah satu pihak karena tidak memiliki modal, dia menawarkan jasa untuk menjaga saja warnet tersebut, sehingga dia hanya memperoleh laba 10% dari keuntungan.

b. Musyarakah Akad ( Syirkah Al ‘Aqd )

Musyarakah akad tecipta dengan cara kesepakatan, dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan konstribusi modal musyarakah, mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Adapun musyarakah akad sendiri terbagi menjadi 4, diantaranya :

•       Syirkah al ‘Inan
•      Syirkah mufawadlah
•      Syirkah al a’maal
•      Syirkah al wujuh
•      Syirkah al ‘Inan

Adalah kontrak antara dua orang atau lebih, setiap pihak memberikan satu porsi dari keseluruhn modal dan berpartisipasi dalam kerja. Semua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana disepakati di antara mereka, namun porsi masing-masing pihak ( baik dalam konstribusi modal, kerja atupun bagi hasil ) tidaklah harus sama dan identik, tapi sesuai dengan kesepakatan mereka.

Madzhab Hanafi dan Hambali mengizinkan praktik ini dengan memilih salah satu dari alternatif berikut :
keuntungan yang didapatkan dibagi sesuai dengan kontribusi modal yang diberikan oleh masing-masing pihak
Keuntungan bisa dibagi secara sama, walaupun kontribusi modal masing-masing pihak mungkin berbeda
Keuntungan bisa dibagi tidk sama tapi kontribusi dana yang diberikan sama.
·                Syirkah mufawadhah

Adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih, setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setip pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis musyarakah ini adalah kesamaan dana yng diberikan, kerja, tenggungjawab, dan beban hutang di tanggung oleh masing-masing pihak secara sama.

Madzhab Hanafi dan Maliki membolehkan jenis musyarakah ini, tetapi dengan memberikan banyak batasan terhadapnya.

•      Syirkah al a’maal

Adalah kontrak kerjasama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu.
Misalnya :
Kerjasama dua orang arsitek untuk menggarap proyek, atau kerjasama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam kantor.
Madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali setuju dan membolehkan praktik musyarakah ini.

•      Syirkah al wujuh    
   
 Adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise yang baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan tanpa ada uang cash, dan kemudian menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian. Jenis musyarakah ini tidak memrlikan modal, karena pembelian barang dilakukan secara kredit dan berdasarkan jaminan orang yang bersekutu.

Rukun Musyarakah

1)      Sighat atau ijab dan qabul
2)      Syarat bagi mitra yang melakukan musyarakah adalah harus kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan
3)      Modal yang diberikan harus berupa uang tunai, atau juga berupa aset-aset perniagaan. Seperti : barang inventori, properti, perlengkapan dan lainnya.

Madzhab Syafi’i dan Maliki mensyaratkan modal yang disediakan oleh masing-masing mitra harus dicampur supaya tidak terdapat keistimewaan, tetapi Madzhab Hanafi tidak mencantumkan syarat ini jika modal dalam bentuk uang tunai.

Syarat Musyarakah

Syarat secara umum :

1)      Akad syirkah harus bisa menerima mukallah ( perwakilan ), setiap patner merupakan wakil dari yang lain, karena masing-masing mendapatkan izin dari pihak lain untuk menjalankan perannya.
2)      Keuntungan bisa di kuantifikasikan, artinya masing-masing patner mendapatkan bagian yang jelas dari hasil keuntungan bisnis. Bisa dalam bentuk misbah/presentase.
3)      Penentuan pembagian bagi hasil atau keuntungan tidak bisa disebutkan dalam jumlah nominal yang pasti, karena hal ini bertentangn dengan konsep syirkah.

Syarat secara umum :

1)      Akad syirkah harus bisa menerima mukallah ( perwakilan ), setiap patner merupakan wakil dari yang lain, karena masing-masing mendapatkan izin dari pihak lain untuk menjalankan perannya.
2)      Keuntungan bisa di kuantifikasikan, artinya masing-masing patner mendapatkan bagian yang jelas dari hasil keuntungan bisnis. Bisa dalam bentuk misbah/presentase.
3)      Penentuan pembagian bagi hasil atau keuntungan tidak bisa disebutkan dalam jumlah nominal yang pasti, karena hal ini bertentangn dengan konsep syirkah.

Syarat secara khusus :

•      Syirkah al amwal, syaratnya :

1.Ra’sul mal (modal) dalam syirkah harus dihadirkan ketika melakukan kontrak atau akan menjalankan bisnis.
2. Ra’sul mal dalam syirkah berupa uang, bukan berupa komoditas yang mungkin akan berbeda
nilainya.

•      Syirkah mufawadlah, syaratnya :

            1. Bagi mitra yang melakukan kontrak musyarakah harus kompeten   
                     dalam memberikan atau diberikan perwakilan atau pertanggungan (
                     wakallah dan kafallah ).
            2. Mitra memiliki kesamaan kontribusi modal dalam syirkah, baik kadar
                      atau nilainya, dari awal sampai akhir kontrak kerjasama.
            3. Ra’sul mal ( modal ) yang disesarkan masing-masing mitra harus
                      memiliki persamaan, sehingga bisa dimasukkan dalam akad.
            4. Adanya peersamaan dalam pembagian keuntungan untuk masing-
                      masing mitra.
            5. bisnis yang dijalankan oleh mitra merupakan hasil kesepakatan
                     bersama, tidak boleh bisnis itu hanya bisa dilakukan oleh mitra
                     tertentu.

•      Syirkah al a’maal, syaratnya :

Jika syirkah al a;maal dibangun dengan konsep  al mufawadlah, maka harus dipenuhhi syarat-syarat khusus yang disebutkan dalam syirkah al mufawadlah.Jika syirkah al a’maal dibangun dengan dasar al ‘inan, maka syarat dalam syirkah al mufawadlah tidak harus dipenuhi, namun mitra dalam syirkah harus orang yang memiliki kompeten dan ahliyah untuk menjalankan wakalah.

•      Syirkah al wujuh, syaratnya :
Jika syirkah al wujuh dilakukan dengan konsep al mufawadlah, maka mitra yang tergabung harus memiliki kompetensi dan ahliyah untuk menjalankan al kafalah. Keduanya berkewajiban untuk menanggung separo dari harga objek syirkah, begitu juga dengan keuntungan yang didapatkan, harus dibagi secara sama diantara mitra. Jika syirkah dilakuakan dengan dasar al ‘inan, maka tidak diperlukan syarat-syarat sebagaimana disebutkan. Kadar kewajiban dan hak berdasarkan kontribusi yang diberikan.

Hukum

 Akad syirkah adakalanya hukumnya shahih ataupun fasid.

Ø  Syirkah fasid, akad syirkah dimana salah satu syarat yang telah disebutkan tidak dipenuhi.
Ø  Syirkah Shahih, akad syirkah jika semua syaratnya terpenuhi.

Adapun hukum dari :

•       Syirkah ‘inan , Para ulama fiqih sepakat bahwa bentuk perserikatan ini hukumnyaBOLEH.

•        Syirkah mufawadhah , Ulama Hanafiyah dan Zaidiyah,memBOLEHkan syirkah mufawadhah ini, dengan diperkuat oleh hadis berikut ini:

 “jika kamu melaksanakan mufawadhah maka lakukanlah dengan cara yang baik...dan lakukanlah mufawadhah karena akad ini membawa barokah”. (HR. Ibnu Majah).

Namun ulama Syafi’iyah, Hanabilah, dan Malikiyah, tidak sependapat dengan Hanafiyah dan Zaidiyah, mereka menilai bahwa hadis itu lemah dan TIDAK memBOLEHkan perserikatan mufawdhah.

•       Syirkah al a’maal, para ulama memBOLEHkannya. Karena tujuan dari syirkah ini adalah mencari keuntungan dengan modal pekerjaan secara bersama.
•       Syirkah wujuh, menurut Syaifi’iyah, Malikiyah, Zhahiriyah, dan Syiah Imamiyah syirkah semacam ini hukumnya BATHIL, sebab modal dan kerjanya tidak jelas. Adapun menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Zaidiyah hukumnya BOLEH karena masih berbentuk suatu pekerjaan dan masing-masing pihak dapat bertindak sebagai wakil.

Perkara yang membatalkan syirkah

Syirkah merupakan akad yang diperbolehkan dan tidak mengikat ( jaiz ghair lazim ), masing-masing mitra memiliki hak untuk menghentikan kontrak. Selain itu akad syirkah juga bisa batal jika :
•       salah satu mitra meninggal dunia,
•      murtad, atau
•       mengalami gangguan jiwa ( gila)
•       Modal mengalami kerugian
Menurut mazdhab Maliki bahwa “ tiap mitra berhak menghentikan kontrak kapan saja ia inginkan “