Translate

Rabu, 23 September 2020

Mengenang Seorang Guru Melalui Karya Agung Beliau

 Kecintaan seseorang terhadap sosok panutan memang bisa di gambarkan dan di wujudkan melalui berbagai media, salah satu di antaranya lewat baitan syair seroang pujangga yang mengkiaskan dan menggambarkan fujian-fujian terhadap baginda Rasulullah S.A.W.


Hal ini tertuliskan pada hadirnya sebuah karya cipta terbaik yang sudah menjadi kajian dan bacaan penting di dunia pesantren ahlu sunnah waljamaah, dimana saat momen-momen penting terutama di bulan kelahiran baginda Rasullullah S.A.W karya berbentuk shalawat itu selalu di bacakan oleh para Santri.


Adalah shalawat burdah yang sudah begitu di kenali oleh para kalangan pondok-pondok pesantren, bahkan hampir semua umat islam sudah mengenal apa itu shalawat burdah yang mengandung hikmah-hikmah tertentu yang menceritakan kisah baginda Rasulullah S.A.W selama masih hidup.


Kalangan pesantren, masyarakat tradisional dan kaum Ahlussunnah wal Jamaah tentu sangat karib-akrab dan bahkan mendarahdaging dengan syair/qashidah ini. Sekurang-kurangnya sudah delapan abad bergulir tradisi Burdahan dilestarikan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.


Syair Burdah yang berjumlah 163 bait ditulis oleh seorang pujangga yaitu Imam al-Bushiri, ia adalah seorang imam para penyair pujian untuk para kekasih Tuhan semesta alam, penyusun al-Burdah yang mulia yg merupakan qasidah paling terkenal dalam pujian kepada Nabi SAW dalam bahasa arab. Namanya Imam Muhammad bin Sa’id al-Bushiri.


Al-Bushiri memulai hidupnya dengan menghafal Al-Qur’an dan belajar ilmu-ilmu agama dan bahasa arab. Lalu menempuh jalan tasawuf dengan bimbingan gurunya Abu al-Abbas al-Mursi. Kepenyairannya telah begitu detas mengilhamkan banyak qasidah puji-pujian untuk manusi termulia- semoga rahmat termulia dan salam paling sempurna tercurah kepada Rasulullah.


Ia wafat di Iskandariah tahun 696 H. Makamnya di Masjidnya disebuah pantai berhadapan dengan Masjid Abu al-Mursi. Banyak pecinta menziarahinya.


Kala itu al-Bushiri terkena penyakit lumpuh setengah badan. Tubuhnya yg kurus menanggung rasa sakit tak terkira. Para dokter tak mampu mengobatinya. Ketika penyakitnya ini amat memberatkan, ia bertekad menyusun qasidah pujia-pujian untuk Rasulullah SAW. Dengan qasidah ini ia berniat untuk memohon (kesembuhan) kepada Allah melalui syafaat Rasulullah SAW. Ia pun mulai menyusun qasidah itu yang dikenal sebagai “Burdah” (selimut).

Inilah bait pertama pada qasidah itu:


‎أَمِنْ تَذَكُّرِ جِيْرَانٍ بِذِيْ سَلَمِ * مَزَجْتَ دَمْعًا جَرَى مِنْ مُقْلَةٍ بِدَمِ


Ah, adakah aku mengenang seorang teman (Rasulullah SAW) di Dzi salami

Engkau cucurkan air mata bercampur darah!


Ia menyanyikan dan melantunkan bait ini berulang-ulang, dan ia bertawasul kepada Allah melalui Nabi kita Muhammad SAW. Dalam upaya mengangkat penyakitnya. Ia banyak menangis dan berdoa. Ketika tidur, ia bermimpi berjumpa Rasulullah SAW. Denga tangan sucinya, Rasulullah mengusap bagian tubuh al-Bushiri yang amat sakit. Lalu beliau menyelimutkan kalimat kepada al-Bushiri.


Ketika bangun, al-Bushiri sudah sembuh dari penyakitnya, qasidahnya dinamai “Burdah” (selimut), karena qasidah ini dinisbahkan pada selimut Nabi Muhammad SAW, yg beliu lepaskan dari beliau dan beliau kenakan kepada al-Bushiri karena beliau kagum dengan qasidah al-Bushiri.


Beliau juga di kenal memiliki sebuah karya sastra terbaiknya yang di dedikasikan melalui bacaan shalawat yang di kenal dengan Sholawat Mudhoriyah yang dibuat oleh Imam Bushiri. Beliau telah banyak menggubah syair, sebagian di antaranya telah dicetak.


Dan yang paling kenal qashidah Burdah yang disambut baik oleh para ahli syair ulung dari Maghribi sampai ketanah air kita. Shalawat Mudhoriyah adalah salah satu syair karya Imam Al-Bushiri yang sangat besar keutamaanya. Dinamakan Mudhoriyah karena salah satu Datuk Nabi Muhammad yang bernama Mudhor.


Salah satu keistimewaan shalawat ini disebutjan dalam kitab Bughya Ahl Al-‘ibadah wa Al-Aurad Syar Ratib Qutb Zamanih Al-Haddad karya Al-Habib ALwi bin Ahmad Al-Haddad dikisahkan Imam Al Bushiri menyusun shalawat ini di pinggir pantai.


Ketika sampai pada syair no.34 yang berbunyi : “Tsummash-sholatu’alal-mukhtarima thala’at, syamsun-nahari wa ma qad sya’sya’al qamaru, tiba-tiba dari tengah laut datang seorang laki-laki yang berlari di atas air menghampirinya sambil berdiri di hadapannya sambil berkata “Cukup, akhirilah shalawatmu sampai bait ini, karena kamu telah membuat lelah para malaikat yang mencatat keutamaan pahala shalawat ini.


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم


Bismillahir-rahmanir-rahim


يَارَبِّ صَلِّ عَلَى الْمُخْتَارِمِنْ مُضَرِوَاْلأَنْبِيَاوَجَمِيْعِ الرُّسُلِ مَادُكِرُوْا


Ya rabbi shalli’alal-mukhtari min mudharin. Wal-anbiya wa jami’irusli madzu-kiru.

“Tuhanku, limpahkanlah rahmatMu untuk nabi pilihan dari suku Muhdar, juga untuk seluruh nabi dan rasul yang telah lalu.”


وَصَلِّ رَبِّ عَلَى الْهَادِي وَشِيْعَتِهِ وَصَحْبِهِ مَنْ لِطَيِّ الدِّيْنِ قَدْ نَشَرُوْا


Wa shalli rabbi’alal-hadi wa syi’atihi, Wa shabihi man lithayyid-dini qad nasyaru.

“Shalawat-Mu, wahai Tuhanku,atas nabi pembawa hidayah beserta seluruh pengikut dan shabatnya yang telah berjasa menyebarluaskan agama ini”


وَجَاهَدُوْا مَعَهُ فِي اللهِ وَاجْتَهَدُوْا وَهَاجَرُوْاوَلَهُ اَوَوْاوَقَدْنَصَرُوْا


Wa jahadu ma’ahu fillahi waj-tahadu. Wa hajaru wa lahu awaw wa qad nasharu.

“Yang telah ikut berjihad dan berijtihad bersama beliau, juga yang ikut hijrah bersama Beliau, dan yang memberi tempat singgah serta memenangkan misi Beliau.’


وَبَيَّنُواالْفَرْضَ وَالْمَسْنُوْنَ وَاعْتَصَبُوْا لِلهِ وَاعْتَصَمُوْابِاللهِ فَانْتَصَرُوْا


Wa bayyanul-fardha wal-masnuna wa’tashabu. Lillahi wa’tashamu billahi fantasharu.

“Yang telah menerangkan hukum wajib dan sunah secara bersatu padu, berupaya tanpa pamrih, dan berpegang teguh pada agama Allah hingga mereka mendapatkan kemenangan.”


أَزْكَى صَلَاةٍ وَأَنْمَاهَاوَأَشْرَفَهَا يُعَطِّرُالْكَوْنَ رَيًّانَشْرِهَاالعَطِرُ


Azka shalatin wa anmaha wa asyrafaha. Yu’athirul-kauna rayyan nasyrihal-‘athiru.

“Yaitu shalawat-Mu yang suci sesuci-sucinya,sebanyak-banyaknya, dan semulia-mulianya, yang menebarkan harum semerbak di seluruh alam semesta”.


مَعْبُوْقَةً بِعَبِيْقِ الْمِسْكِ زَاكِيَةً مِنْ طِيْبِهَاأَرَجُ الرِّضْوَانِ يَنْتَشِرُ


Ma’buqatan bi’abiqil-miski zakiya-tan. Min thibiha arajur-ridwani yantasyiru.

“Keharuman yang bercampur dengan misik kesturi yang mahal, yang aromanya tersebar luaslah keridloan-Mu”.


عَدَّالْحَصَى وَالشَّرَى وَالرَّمْلِ يَتْبَعُهَا نَجْمُ السَّمَاوَنَبَاتُ اْلأَرْضِ وَالْمَدَرُ


‘Addal-hasha wats-tsara war-ramli yatba’uha. Najmus-sama wa nabatul-ardhi wal-madaru.

“Sebanyak jumlah batuan,pasir beserta debunya, juga sebanyak bintang gemintang dilangit, tanaman, dan kerikil di bumi”.


وَعَدَّوَزْنِ مَثَاقِيْلِ الْجِبَالِ كَمَا يَلِيْهِ قَطْرُجَمِيْعِ الْمَاءِوَالْمَطَرُ


Wa’adda wazni matsaqilil-jibali kama. Yalihi qathru jami’il-ma’i wal matharu.

“Dan sejumlah beratnya timbangan gunung-gunung, sejumlah seluruh tetesan air yang mengalir dan air hujan”.


وَعَدَّمَاحَوَتِ الْأَشْجَارُمِنْ وَرَقٍ وَكُلِّ حَرْفٍ غَدَايُتْلَى وَيُسْتَطَرُ


Wa’adda ma hawatil-asyjaru min waraqin. Wa kulli harfin ghada yutla wa yus-tatharu.

“Juga sejumlah dedaunan yang terdapat di pepohonan,sebanyak semua huruf yang terbaca oleh lisan dan tertulis oleh pena”.


وَالْوَحْشِ وَالطَّيْرِوَاْلأَسْمَاكِ مَعْ نَعَمٍ يَلِيْهِمُ الْجِنُّ وَاْلأَمْلَاكَ وَاْلبَشَرُ


Wal-wahsyi wath-thairi wal-asmaki ma’ na’amin. Yalihimul-jinnu wal-amlaku wal-basyaru.

“Sebanyak jenis dan jumlah biantang liar, burung-burung, ikan dan hewan ternak. Juga sejumlah jin, malaikat dan manusia”.


وَالدَّرُّوَالنَّمْلُ مَعْ جَمْعِ الْحُبُوْبِ كَدَا وَالشَّعْرُوَالصُّوْفُ وَاْلأَرْيَاشُ وَالْوَبَرُ


Wadz-dzaru wan-namlu ma’jam’il hububi kadza. Wasy-sya’ru wash-shufu wal-arya-syu wal-wabaru.

“Sebanyak jumlah atom,semut dan semua jenis biji-bijian, juga sejumlah helai rambut manusia,hewan, dan bulu segala jenis binatang”.


وَمَاأَحَاطَ بِهِ الْعِلْمُ الْمُحِيْطُ وَمَاجَرَى بِهِ الْقَلَمُ الْمَأْمُوْرُوَالْقَدَرُ


Wa ma ahatha bihil-ilmul-muhithu wa ma. Jara bihil-qalamul-ma’muru wal-qadaru.

“Seluas kandungan ilmu Allah tentang makhluk dan apa yang ditulis qalam (pena) yang memuat suratan takdir”.


وَعَدَّنَعْمَائِكَ اللَّاتِي مَنَنْتَ بِهَاعَلَى الْخَلَائِقِ مُدْكَانُوْاوَمُدْحُشِرُوْا


Wa’adda na’ma-ikal lati mananta biha. ‘ALal-khala-iqi mudz kanu wa mudz husyiru.

“Sebanyak nikmat-nikmat-Mu, yang telah Engkau karuniakan kepada semua makhluk-Mu yang dahulu dan yang akan datang”.


وَعَدَّمِقْدَارِهِ السَّامِي الَّدِي شَرُفَتْ بِهِ النَّبِيُّوْنَ وَالأَمْلَاكُ وَافْتَخَرُوا


Wa ‘adda miqdarihis-samil-ladzi syarufat. Bihin-nabiyyuna wal-amlaku wafta-kharu.

“Setinggi jumlah derajat yang di capai oleh masing-masing nabi dan malaikat yang mulia, dengan maqam tersebut”.


وَعَدَّمَاكَانَ فِي اْلأَكْوَانِ يَاسَنَدِي وَمَايَكُوْنُ إِلَى أَنْ تُبْعَثَ الصُّوَرُ


Wa ‘adda ma kanna fil-akwani ya sanadi. Wa ma yakunu ila an tub’atsash-shuwaru.

“Sebanyak apa yang pernah ada kemudian tiada di alam jagat raya, dan apa yang masih ada maupun yang akan ada sampai kiamat”.


فِي كُلِّ طَرْفَةِ عَيْنٍ يَطْرِفُوْنَ بِهَاأَهْلُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِيْنَ أَوْيَدَرُ


Fi kulli tharfati ‘ainin yathrifuna biha. Ahlus-samawati wal-ardhina au yadzaru

“Sebanyak tiap kedipan mata yang di gerakan setiap penduduk langit dan bumi.”


مِلْءَالسَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِيْنَ مَعَ جَبَلٍ وَالْفَرْشِ وَالْعَرْشِ وَالْكُرْسِي وَمَاحَصَرُوْا


Mil-as-samawati wal-ardhina ma’a-jabalin. Wal-farsyi wal-‘arsyi wal-kursiy wa ma hasharu.

“Sepenuh isi langit dan bumi, gunung dan hamparan, dan seluas arsy, kursy, dan semua yang terdapat di dalamnya.”


مَاأَعْدَمَ اللهُ مَوْجُوْدًاوَأَوْجَدَمَعْ دُوْمًاصَلَاةًدَوَامًالَيْسَ تَنْحَصِرُ


Ma-a’damallahu maujuda wa auja-da ma’. Duman shalatan dawaman laisa tan hashiru

“Yang terus-menerus tiada henti selama Allah meniadakan yang ada dan mengadakan yang tiada, dengan berkelanjutan tanpa batas.”


تَسْتَغْرِقُ الْعَدَّمَعْ جَمْعِ الدُّهُوْرِكَمَا تُحِيْطُ بِالْحَدِّلاَتُبْقِيْ وَلاَتَدَرُ


Tastaghriqul-‘adda ma’ jam’id-duhuri kama. Tuhithu bil-haddi la tubqi wa la tadzaru.

“Yang melampai batas tanpa hitungan, dan menembus seluruh zaman, yang terus berjalan menjangkau apapun tanpa menyisakan.”


لَاغَايَةً وَانْتِهَاءًيَاعَظِيْمُ لَهَاوَلَالَهَاأَمَدٌيُقْضَى فَيُعْتَبَرُ


La ghayatan wantiha’an ya ‘azhimu laha. Wa la laha amadun yuqdha fayu’tabaru

“Yang tak berujung, tak berpangkal dan tak kenal habis, wahai Dzat Yang Maha Agung, Yang tak mengenal batas waktu hingga tak bisa di kira-kira.”


وَعَدَّأَضَعَافِ مَاقَدْمَرَّمِنْ عَدَدٍمَعْ ضِعْفِ أَضْعَافِهِ يَامَنْ لَهُ الْقَدَرُ


Wa ‘adda adh’afi ma qad marra min ‘adadin. Ma’ dhi’fi adh’afihi ya man lahul-qadaru

“Sebanyak jumlah kelipatan jumlah yang telah tersebut, ditambah kelipatan dari kelipatan tersebut, Wahai Dzat Yang Maha Kuasa melakukan segala sesuatu.”


كَمَاتُحِبُّ وَتَرْضَى سَيِّدِي وَكَمَاأَمَرْتَنَاأَنْ نُصَلِىَّ أَنْتَ مُقْتَدِرُ


Kama tuhibbu wa tardha sayyidi wa kama. Amartana an nushalliya anta muqtadiru

“Seperti yang Engkau sukai dan ridloi, seperti Shalawat yang Engkau perintahkan kepada kami, Engkaulah Yang Maha Kuasa.”


مَعَ السَّلَامِ كَمَاقَدْمَرَّمِنْ عَدَدٍرَبِّي وَضَاعِفْهُمَاوَالْفَضْلُ مُنْتَشِرُ


Ma’as-salami kama qad marra min ‘adadin. Rabbi wa dha’ifhuma wal-fardhlu muntasyiru.

“Beserta salam yang jumlahnya juga sebanyak bilangan di atas, ya Rabbi. Bahkan lipat gandakan nilai bilangan shalawat dan salam kami terus-menerus. Anugerah-Mu tak terbatas.”


وَكُلُّ دَلِكَ مَضْرُوْبٌ بِحَقِّكَ فِي أَنْفَاسِ خَلْقِكَ إِنْ قَلُّوْاوَإِنْ كَثُرُوْا


Wa kullu dzalika madhrubun bihaqqika fi. Anfasi khalqika in qallu wa in katsuru.

“Dan setiap shalawat serta salam tersebut di kalikan dengan jumlah seluruh napas makhluk-Mu, baik yang sedikit maupun yang banyak.”


يَارَبِّ وَاغْفِرْلِقَارِيْهَاوَسَامِعِهَاوَالْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعًاأَيْنَمَاحَضَرُوْا


Ya Rabbi waghfir liqariha wa sami’iha. Wal-muslimina jami’an ainama hadharu.

“Dan,Tuhanku, hapuskanlah dosa-dosa orang yang membaca shalawat ini, juga yang mendengarnya dan semua muslimin dimanapun mereka berada.”


وَوَالِدِيْنَاوَأَهْلِيْنَاوَجِيْرَتِنَاوَكُلُّنَاسَيِّدِي لِلْعَفْوِمُفْتَقِرُ


Wa walidina wa ahlina wa jiritana. Wa kulluna sayyidi lil-afwi muftaqiru.

“Juga kedua orang tua kami,tetangga kami. Dan kami semua, oh Tuhan, sangat membutuhkan ampunan-Mu.”


وَقَدْأَتَيْتُ دُنُوْبًالَاعِدَادَلَهَالَكِنَّ عَفْوَكَ لَايُبْقِي وَلَايَدَرُ


Wa qad ataitu dzunuban la ‘idada laha. Lakinna ‘afwaka la yubqi wa la yadzaru.

“Sungguh, aku telah melakukan dosa-dosa yang tak terhitung jumlahnya,namun luasnya ampunan-Mu dapat menghapuskan dosa-dosa tersebut sampai tak tersisa.”


وَالْهَمُّ عَنْ كُلِّ مَاأَبْغِيْهِ أَشْغَلَنِيْ وَقَدْأَتَى خَاضِعًاوَالْقَلْبُ مُنْكَسِرُ


Wal-hammu ‘an kulli ma abghihi asyghalani. Wa qad ata khadi’an wal-qalbu munkasiru.

“Kepayahan dalam usaha mencari apa yang kuharapkan telah menyita banyak waktuku, sekarang aku datang bersimpuh di hadapan-Mu dalam kehinaan.”


أَرْجُوْكَ يَارَبِّ فِي الدَّارَيْنِ تَرْحَمُنَابِجَاهِ مَنْ فِي يَدَيْهِ سَبَّحَ الْحَجَرُ


Arjuka ya Rabbi fid-daraini tarhamuna. Bijahi man fi yadaihi sabbahal-hajaru.

“Tuhanku,aku memohon agar Engkau mengasihi kali didunia dan akhirat dengan kemuliaan orang yang batupun bertasbih di tangannya (Nabi Muhammad SAW).”


يَارَبِّ أَعْظِمْ لَنَاأَجْرًاوَمَغْفِرَةً فَإِنَّ جُوْدَكَ بَحْرٌلَيْسَ يَنْحَصِرُ


Ya Rabbi a’zhim lana ajran wa magh-firatan. Fa inna judaka bahrun laisa yanhashiru.

“Ya Tuhanku, besarkan dan limpahkan untuk kami pahala serta ampunan-Mu, karena kemurahan-Mu bagai lautan tak bertepi.”


وَاقْضِ دُيُوْنًالَهَااْلأَخْلَاقُ ضَائِقَةٌ وَفَرِّجِ الْكَرْبَ عَنَّاأَنْتَ مُقْتَدِرُ


Waqdhi duyunan lahal-akhlaqu dha-iqatun. Wa farrijil-karba ‘anna anta muqtadiru.

“Dan lunaskanlah hutang-hutang kami, yang membuat ruang gerak kami seakan menjadi sempit, dan bebaskan kami dari kesulitan yang menimpa kami, Engkau Maha kuasa.”


وَكُنْ لَطِيْفًابِنَافِي كُلِّ نَازِلَةٍ لُطْفًاجَمِيْلًا بِهِ اْلأَهْوَالُ تَنْحَسِرُ


Wa kun lathifan bina fi kulli nazilatin. Luthfan jamilan bihil-ahwalu tanhasiru.

“Dan kasihanilah kami pada setiap bencana yang melanda kami, karena dengan kasih-Mu segala yang menakutkan itu akan sirna.”


بِالْمُصْطَفَى الْمُجْتَبَى خَيْرِاْلأَنَامِ وَمَنْ جَلَالَةً نَزَلَتْ فِي مَدْحِهِ السُّوَرُ


Bil-mushthafal-mujtaba kahiril-anami waman. Jalalatam nazalat fi madhihis-suwaru.

“Dengan kemuliaan Al-Mushthafa Al-Mujtaba (Rasulullah), sebaik-baik manusia, yang telah turun ayat-ayat suci berisi pujian dan sanjungan terhadap Rasulullah.”


ثُمَّ الصَّلَاةُ عَلَى الْمُخْتَارِمَاطَلَعَتْ النَّهَارِوَمَاقَدْشَعْشَعَ اْلقَمَرُ


Tsummash-shalatu ‘alal-mukhtari ma thala’at. Syamsun-nahari wama qad sya’sya’al qamaru.

“Kemudian sebagai penutup,semoga kasih sayang-Mu selalu terlimpah untuk Al Mukhtar (Yang Terpilih,Rasulullah), selama matahari masih terbit dan rembulan masih memancarkan sinarnya.”


ثُمَّ الرِّضَاعَنْ أَبِى بَكْرٍخَلِيْفَتِهِ مَنْ قَامَ مِنْ بَعْدِهِ لِلَّدِيْنِ يَنْتَصِرُ


Tsummar-ridha ‘an abi bakrin khalifatihi. Man qama min ba’dihi liddini yantashiru.

“Kami memohon pula ridho-Mu untuk Khalifah Abu Bakar, yang telah berjasa mengemban misi agama ini setelah Beliau tiada hingga berhasil.”


وَعَنْ أَبِيْ حَفْصٍ الْفَارُوْقِ صَاحِبِهِ مَنْ قَوْلُهُ الْفَصْلُ فِي أَحْكَامِهِ عُمَرُ


Wa ‘an abi hafshil-faruqi shahibihi. Man qauluhul-fashlu fi ahkamihi ‘umaru.

“Begitu pula untuk Abu Hafsh Al-Faruq Umar bin Khathab, orang yang perkataannya terkenal selalu benar dan yang tegas dalam berhukum.”


وَجُدْلِعُثْمَانَ دِيْ النُّورَيْنِ مَنْ كَمُلَتْ لَهُ الْمَحَاسِنُ فِي الدَّارَيْنِ وَالظَّفَرُ


Wa jud li ‘utsmana dzin-nuraini man kamulat. Lahul-mahasinu fid-daraini wazh-zhafaru.

“Juga untuk Utsman bin Affan Dzun-Nurain (orang yg memiliki dua cahaya), yang memiliki kebaikan dan kemenangan sempurna dunia dan akhirat.”


كَدَاعَلِيٌ مَعَ ابْنَيْهِ وَأُمِّهِمَاأَهْلُ الْعَبَاءِ كَمَا قَدْجَاءَنَاالْخَبَرُ


Kadza ‘aliyyun ma’abnaihi wa ummihima. Ahlul-‘aba’i kama qad ja’anal-khabaru

“Juga untuk Ali serta kedua putranya dan ibu kedua putranya (Sayidah Fatimah), mereka itu adalah Ahlul-Aba (keluarga dalam pelukan kasih sayang Nabi) sebagaimana di sebutkan dalam hadist.”


كَدَاخَدِيْجَتُنَاالْكُبْرَى الَّتِي بَدَلَتْ أَمْوَالَهَالِرَسُوْلِ اللهِ يَنْتَصِرُ


Khadza khadijatunal-kubrallati badzalat. Amwalaha lirasulollahi yantashiru

“Begitu pula untuk Khodijah Al Kubra, wanita yang mengorbankan hartanya untuk dakwah Rasulullah hingga Beliau meraih kemenangan.”


وَاللطَّاهِرَاتُ نِسَاءُالْمُصْطَفَى وَكَدَابَنَاتُهُ وَبَنُوْهُ كُلَّمَادُكِرُوْا


Wath-thahiratu nisa-ul-musthafa wa kadza. Banatuhu wa banuhu kullama dzukiru.

“Dan para wanita suci, istri-istri Nabi Al Musthafa, juga untuk putra dan putri beliau selama mereka dikenang.”


سَعْدٌسَعِيْدُابْنُ عَوْفٍ طَلْحَةٌ وَأَبُوْ عُبَيْدَةً وَزُبَيْرٌسَادَةٌ غُرَرُ


Sa’dun sa’idubnu ‘sufin thalhstun wa abu. ‘Ubaidata wa zubairun sadatun ghuraru.

“Juga untuk para sahabat Nabi, Sa’ad bin Abi Waqas, Sa’id bin Jubair, Abdurahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah bin Jarrah dan Zubair bin Awwam, pemimpin-pemimpin yang berwibawa.”


وَحَمْزَةٌ وَكَدَاالْعَبَّاسُ سَيِّدُنَاوَنَجْلُهُ الْحَبْرُمَنْ زَالَتْ بِهِ الْغِيَرُ


Wa Hamzatun wa kadzal-‘abbasu sayyiduna. Wanajluhul-habru man zalat bihil-ghiyaru

“Begitu juga untuk Hamzah dan Abbas beserta putranya (Abdullah bin Abbas), seorang ulama yang dapat menyelesaikan berbagai masalah sesulit apapun.”


وَاْلاَلُ وَالصَّحْبُ وَاْلأَتْبَاعُ قَاطِبَةً مَاجَنَّ لَيْلُ الدَّيَا جِيْ أَوْبَدَاالسَّحَرُ


Wal-alu wash-shahbu wal-atba’u qathi-batan. Ma janna lailud-dayaji au badas-saharu

“Dan untuk keluarga, sahabat, dan pengikutnya selama malam masih beredar, atau selama fajar masih menyingsing.”


مَعَ الرِّضَامِنْكَ فِيْ عَفْوٍوَعَافِيَةٍ وَحُسْنِ خَاتِمَةٍ إِنْ يَنْقَضِي الْعُمْرُ


Ma’ar-ridha minka fi ‘afwin wa ‘afiatin. Wa husni khatimatin in yanqadhil-‘umru.

“(Semua itu) beserta keridhaan, ampunan serta kesejahteraan dari-Mu, dan semoga khusnul khatimah dapat tercapai menjelang ajal nanti”.


Imam Bushiri pun segera menutup shalawatnya dengan permohonan ridho Allah untuk keluarga Rasulullah dan para Sahabatnya. Imam Bushiri menghembuskan nafas terakhir di kota Iskandariyah, Mesir, pada tahun 696 H atau 1296 M. Ia dimakamkan di samping sebuah masjid besar yang bersambung dengan makamnya, tak jauh dari masjid dan makam sang guru, Syaikh Imam Abu Al-Abbas Al-Mursi.


Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Sabtu, 19 September 2020

MAKNA FILOSOFI GERAKAN SHOLAT

 Seperti diketahui bersama, setiap pergantian gerak dalam shalat selalu disertai kalimat takbir. Mengapa demikian? hal ini berkaitan dengan perintah rukuk dan sujud seperti dijelaskan di atas. Perintah rukuk dan sujud mengandung ajaran supaya kita bersikap tidak menyombongkan diri dan berusaha untuk merendahkan hati. Ajaran ini menegaskan antara sesama manusia itu tidak ada perbedaan. Baik itu dari warna kulit, keturunan maupun kepintarannya.


Dihadapan Allah semua manusia itu sama. Tidak ada yang lebih besar atau lebih kecil, tidak ada yang lebih berkuasa atau menjadi hamba, semua sama. Yang Maha Besar adalah Allah SWT semata. Yang Maha Kuasa adalah Allah semata. Inilah makna kalimat takbir yang selalu kita ucapkan dalam setiap pergantian gerak shalat kita.


Untuk memahami makna ajaran dalam ajaran shalat ini memang perlu penghayatan yang lebih dalam. Hendaknya kalimt takbir tidak hanya di ujung bibir saja. Dengan menghayati makna kalimat takbir ini akan membawa kita pada penghayatan makna keberadaan manusia dan makhluk yang ada di bumi ini adalah kecil. Semua makhluk pasti musnah. Tak terkecuali manusia Yang Maha Benar, Yang Maha Kekal adalah Allah.


Inilah rahasianya mengapa Allah menyuruh kita untuk melaksanakan shalat minimal lima kali dalam sehari. Dengan penghayatan yang mendalam terhadap makna yang terkandung dalam ajaran shalat dan itu diulangi sebanyak lima kali setiap harinya, maka hal ini akan membawa pengaruh pada kesehatan jiwa. Dengan shalat jiwa kita menjadi suci. Tidak ada sifat keserakahan yang menjerumuskan kita pada sikap merendahkan orang lain. Dengan hilangnya sifat-sifat syaithaniyah inilah akan membawa kita pada kesuksesan. Dengan hilangnya penyakit-penyakit yang ada dalam jiwa ini, jiwa akan cenderung untuk melakukan kebaikan. Dan ini sesuai dengan firman Allah di atas. Kunci kesuksesan adalah berbuat kebajikan, rukuk dan sujud kepada Allah SWT.


MAKNA FILOSOFI GERAKAN SHOLAT


Dimulai dari takbir hingga ditutup salam, shalat mengisyaratkan simbol dan lambang yang luar biasa.


Sholat yang telah Kita lakukan selama ini tentu bukan sekedar kewajiban, namun juga merupakan kebutuhan untuk jiwa kita. Merupakan sarana agar kita dapat menjalin hubungan dengan erat dengan sang Maha Pencipta. Dibalik itu semua, terdapat filosofi yang luar biasa dari gerakan- gerakan sholat yang Kita lakukan sehari- hari.


1. Takbiratul Ihram (Awal dan Akhir)


Pengawalan segala sesuatu, sebagaimana hidup dimulai kelahiran, sesuatu yg ada pasti ada awalnya. Dengan keimanan kita yakin bahwa semuanya berawal dari Allah. Maka dengan takbir kita mengembalikan kepada segala aktivitas kita adalah karena Allah. Takbiratul Ihram sebagai starting point sholat, simbol starting perjalan hidup. Bermakna penyerahan totalitas pada yang Maha Awal bahwa karenaNya kita ada dan karenaNYa kita melakukan perjalanan hidup.


2. Berdiri (Gerak Perjalanan)


Berdiri lambang siap berjalan menjelajahi kehidupan, karena jika duduk dan berdiam kita tidak mungkin bisa berjalan. Tegak artinya kehidupan harus ditegakkan (ditumbuhkan) pada ruang waktu, iman harus ditegakkan, akhlak harus ditegakkan, amalan pribadi dan amalan sosial juga harus ditegakkan. Sebagai mana sabda rosulullah : “Sholat adalah tiang agama (agama didirikan/ ditegakkan oleh sholat)”.


Dalam tegak berdiri, posisi kepala tunduk, artinya dalam perjalanan hidup akan tunduk dan patuh pada segala hukum dan kehendak Allah. Kedua tangan mendekap  ulu hati, simbol bahwa hati harus selalu dijaga kebersihannya dalam perjalanan hidup.


3. Rukuk (Penghormatan)


Mengenal Allah melalui hasil ciptaanNya . Dalam perjalanan hidup, pada ruang ciptaan Allah kita menemukan, menyaksikan dan merasakan bermacam- macam hal : tanah, air, gunung, laut, hewan, sistem kehidupan, rantai makanan, rasa senang, rasa sedih, rasa marah, kelahiran, kematian, pertengkaran, percintaan, ilmu alam, pikiran, manusia sekitar kita, Nabi, Rosul, dll. Ini merupakan bukti bahwa Allah itu Ada sebagai Pencipta dari semua itu. Dan kita tahu apabila tanpa petunjuk para utusan Allah (Nabi dan Rosul) kita tidak akan tahu jika itu semua ciptaan Allah dan dengan para UtusanNya, kita tahu tujuan hidup serta cara mengisi kehidupan ini agar selamat.


4. Itidal (Puja- puji pada Allah)


Kemudian kita berdiri lagi untuk mengisi perjalanan hidup dengan penuh puja dan puji pada Allah serta penuh syukur setiap saat sehingga tercipta kepatuhan dan ketaatan. Dengan mengetahui hasil ciptaan Allah, maka akan tumbuh kekaguman dan kecintaan pada Allah sehingga tumbuh rasa cinta dan iklas atau dengan senang hati akan menjalani menjalani hidup ini sesuai Kehendak Allah.


5. Sujud (penyatuan diri dengan Kehendak Allah)


Jika berdiri di analogikan dengan perjalan jasadi, maka Sujud dengan kaki dilipat, atau setengah berdiri adalah simbol dari perjalanan hati (rohani). Dangan sujud hati dan fikiran kita direndahkan serendahnya sebagai tanda ketundukan total pada atas segala kuasa dan kehendak Allah. Menyatu kan kehendak Allah dengan Kehendak kita.


Sujud pertama merupakan penyatuan Kehendak Allah dengan Kehendak ruhani/ hati/ jiwa kita. Diselangi permohonan pada duduk antara 2 sujud dengan doa : “Rabbighfirli (ampuni aku), warhamni (sayangi aku), Wajburni (cukupkanlah kekuranganku), warfa’ni (tinggikanlah derajadku), warzuqni (berilah aku rezeki), wahdini (tunjukilah aku), wa’fani (sehatkan aku), wa’fu’anni (maafkan aku).


Sujud kedua merupakan pernyataan pengagungan Allah secara lebih personal antara makhluk dengan Sang Pencipta, pernyataan ingin kembali pada Sang Pencipta akhir dari perjalanan. Dan pada waktu itu juga, kita dianjurkan untuk memanjatkan doa dalam sujud kita yang panjang


6. Duduk diantara 2 Sujud (Permohonan)


Pengungkapan berbagai permohonan pada Allah untuk memberikan segala kebutuhan yang diperlukan dalam bekal perjalanan menuju pertemuan denganNya, butuh sumber dukungan hidup jasmani dan ruhani, serta pemeliharaan dan perlindungan jasmani ruhani agar tetap pada jalan Allah.


7. Attahiyat : Pernyataan Ikrar


Tahap pemantapan, karena perjalanan hidup itu naik turun dan fitrah manusia tidak lepas dari sifat lupa, maka perlu pemantapan yang di refresh dan diulang untuk semakin kokoh, yaitu dengan Ikrar Syahadat, dengan simbol pengokohan ikrar melalui telunjuk kanan. Sebelum Ikrar, memberikan penghormatan untuk para Utusan Allah dan ruh hamba- hamba sholeh (Auliya) yang melalui merekalah kita mengenal Allah dan melalui ajaranya kita dibimbing ke jalanNya, serta menjadikan mereka menjadi saksi atas Ikrar kita.


Sholawat menjadi pernyataan kebersediaan mengikuti apa yang diajarkan Rosululloh Muhammad SAW, dan menempatkannya sebagai pimpinan dalam perjalanan kita. Salam penghormatan kepada Bapak para Nabi (Ibrohim) yang menjadi bapak induk ajaran Tauhid. Kemudian diakhir dengan permohonan doa dan permohonan perlindungan dari kejahatan tipuan Setan dan Jin agar kita dapat tetap istiqomah dan berhasil mencapai Allah.


8. Salam  


Salam adalah ucapan yang mengakui adanya manusia lain yang sama- sama melakukan perjalanan dalam hidup ini (aspek kemasyarakatan). Menunjukkan bahwa hidup ini tidak sendiri, sehingga hendaknya menyebarkan salam dan berkah kepada sesama untuk saling bahu membahu menegakkan kehidupan yang harmonis (selaras) dan tegaknya kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan di bumi. Salam adalah penutup sekaligus awal dari mulainya praktek aplikasi sholat dalam bentuk aktivitas kehidupan di lapangan hingga ke sholat berikutnya. Nah salam itu simbol dari putaran yang dimulai dari kanan ke kiri dengan poros badan. Jika dihubungkan dengan Hukum Kaidah Tangan Kanan berarti arah energi ke atas, simbolisasi bahwa perjalanan digantungkan pada Allah SWT (di atas) sebagai penjamin keselamatan dalam perjalanan.


Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Makna Filosofi Sujud

 Manusia itu diciptakan dengan sifat lupa yang selalu melekat dalam dirinya. Manusia bila memperoleh kesuksesan cenderung lupa. Apabila lupa telah menguasai dirinya, maka dia mudah menjadi sombong. Bahkan yang mendapat kesusahan saja juga sering lupa. Apabila orang yang ditimpa kesusahan ini lupa kepada Allah, dia pasti mengalami frustasi, putus asa yang akan menjerumuskannya pada jalan yang tidak di ridhoi Allah. Firman Allah menyatakan :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ


“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”. (QS. Al Hajj : 77)


Mengapa kita diperintahkan untuk rukuk? apa kandungan dari perintah itu? dan mengapa kita diperintahkan untuk sujud?. Dua ajaran itu, rukuk dan sujud, mengandung makna filosofis bahwa kita ini dianjurkan untuk menundukkan dada dan kesombongan kita. Di hadapan Allah-lah, kita harus menundukkan dada. Karena biasanya orang yang sombong itu selalu menunjukkan dadanya, mengangkat dadanya. Maka perintah rukuk ini adalah anjuran kepada kita, agar kita tidak bersikap sombong.


Sedangkan sujud mengandung makna yang sama dengan perintah rukuk. Seperti kita ketahui, kepintaran seseorang itu selalu diidentikkan dengan otak. Sedangkan otak manusia itu ada di dalam kepala manusia. Perintah sujud mengandung makna filosofis sepintar apapun manusia, di hadapan Allah tidak ada artinya apa-apa. Oleh karena itu otak manusia yang ada dalam kepala manusia selalu ada di bawah ketika ia melakukan sujud.


Masing-masing gerakan sholat mengandung manfaat, termasuk sujud di mana ini adalah posisi paling dekatnya hamba kepada Tuhannya. Sujud, memang mengandung manfaat yang luar biasa. Bahkan banyak fadilah yang takkan bisa didapatkan dengan amalan lain, bisa dilakukan dengan perantara sujud ini.


Berikut adalah manfaat-manfaat luar biasa yang bisa didapatkan ketika bersujud.


1. Sujud Membuat Otak Teraliri Darah Secara Sempurna


Otak butuh yang namanya darah untuk bisa tetap hidup dan beregenerasi, karena fungsi darah adalah sebagai penghantar zat-zat makanan beserta air dan juga oksigen. Dalam keadaan biasa, otak sebenarnya sudah teraliri darah dengan baik. Namun menurut para pakar proses tersebut tidak berjalan terlalu sempurna. Maka dari itu, sujud adalah satu cara agar bisa menyempurnakannya.


Ketika sujud jantung berada lebih tinggi posisinya dari pada kepala. Hal ini mengakibatkan darah mampu mengaliri otak dengan baik. Bahkan menurut para dokter, ada satu bagian otak yang tak teraliri darah akhirnya bisa mendapatkan asupan zat likuid berwarna merah itu. Hasilnya bisa dirasakan sendiri, setelah sujud terasa kepala lebih segar. Maka makna di balik sholat 5 waktu tentu saja agar manusia bisa selalu mendapatkan manfaat ini.


2. Doa Hamba Ketika Bersujud Akan Mudah Dikabulkan


Seperti yang sempat disinggung di bagian awal, sujud adalah posisi paling dekat seorang hamba dengan Tuhannya. Maka secara logika, di momen yang begitu intim ini tentu saja doa-doa akan mudah dikabulkan. Orangtua saja luluh saat diperlakukan sangat baik oleh anaknya. Apalagi Allah yang Arrahman dan Arrahim.


Hal ini ditegaskan pula dalam sebuah Hadist, Rasul bersabda, “Adapun pada waktu sujud, maka bersungguh-sungguhlah berdoa sebab saat itu sangat tepat untuk dikabulkan.” Agar kekuatan doa saat sujud makin powerful, maka kita bisa memanfaatkan timing yang juga sangat disukai oleh Allah. Misalnya sholat di sepertiga waktu malam di mana Dia akan turun untuk memberi membalas doa-doa.


3. Sujud Mengandung Makna Filosofi yang Dalam


Sholat mampu mencegah perbuatan keji dan munkar sekaligus mampu membuat kita tak sombong. Sujud, secara harfiah adalah meletakkan kepala di atas tanah di mana ini adalah tempat terendah. Maka sujud mengandung perlambangan siapa pun itu tak boleh sombong. Mau presiden atau pun tukang asongan, ketika sholat mereka ya pasti sujud, menempelkan dahinya di tempat yang paling rendah. 


Dampak sholat akhirnya mampu membuat orang mampu terhindar dari sifat sombong. Lalu sebuah pertanyaan unik pun muncul, “Ada yang rajin sholat kok tetap sombong?”. Ya, sudah sangat jelas hal tersebut adalah akibat memandang sholat hanya sebagai kewajiban yang selesai ya sudah. Mereka tidak mendalami makna filosofisnya yang begitu dalam.


4. Kematian Saat Sujud Berbalas Surga


Seindah-indahnya kematian, tentu saja saat momen paling terdekat dengan Tuhan. Berjihad di jalan Allah atau mati dalam keadaan paling intim dengan sang pencipta. Ya, mati saat bersujud. Saat kita meminta maaf atas segala dosa, saat di mana Allah memberikan rahmatNya, kemudian dipanggil. Sungguh, kematian seperti ini tidak akan berbalas apa pun selain surga.


Cara seseorang mati tergantung pada hal yang disukainya. Jika menginginkan mati dalam keadaan sujud, maka sudah tentu kita harus menjadikan aktivitas ini sebagai hal yang kita suka. Memang sangat beruntung mereka yang meninggalkan dunia ini dengan sebaik-baik cara.


5. Manfaat Kesehatan Lain Hanya dari Sujud


Manfaat sujud nyatanya tak hanya untuk otak dan juga jiwa, ternyata gerakan simple namun bermakna dalam ini mengandung manfaat kesehatan yang luar biasa. Misalnya melegakan sistem pernafasan, menggerakkan otot-otot tertentu yang jarang digerakkan, hingga bisa menata ulang posisi organ tubuh ke keadaan setimbang dan presisi.


Selain itu, sujud mampu meredakan pening dan migrain. Makanya banyak yang menyarankan sholat sebagai obat ketika merasakan pikiran kacau rumit dan tak karuan. Pasalnya, sujud membuat otak menjadi rileks dan juga segar. Begitu banyak manfaat dari gerakan sesederhana ini.


Sudah tahu manfaat luar biasa dari sujud, maka sudah jadi hal yang wajib pula untuk mengetahui cara melakukannya dengan benar. Sujud terbaik adalah menempelkan tujuh anggota tubuh, yakni dahi, dua telapak tangan, lutut dan juga kaki. Rasul juga menganjurkan kita berlama-lama dalam sujud terutama di rakaat terakhir sebelum salam. Nikmati indahnya bertaubat dan meminta kepada Allah saat itu dan rasakan manfaatnya bagi kehidupan. Semoga kita juga dimampukan untuk meninggal dalam keadaan paling mulia ini. Amin.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Selasa, 08 September 2020

Penyembahan Berhala Pertama Zaman Nabi Nuh

 Dalam iman dan sejarah Islam, berhala merupakan benda yang sangat buruk. Benda ini dianggap sumber dosa karena dijadikan sesembahan.


Berhala pertama yang dijadikan sesembahan bukanlah benda langit, alam, atau hewan, melainkan penyembahan terhadap orang-orang shalih, yakni lima pemuka agama dari umat Nabi Nuh bernama Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. 


Awalnya, sejak Nabi adam sampai Nabi Nuh berjarak 10 generasi (ingat umur mereka dahulu bisa mencapai 900 tahun), selama ini mereka semuanya berada di atas tauhid dan tidak menyekutukan Allah sama sekali, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu

Ibnu Abbas berkata,


كان بين نوح وآدم عشرة قرون، كلهم على شريعة من الحق، فاختلفوا، فبعث الله النبيين مبشرين ومنذرين


”Antara Nuh dan Adam ada 10 generasi. Mereka semua berada di atas syariat yang benar. Kemudian mereka saling berselisih. Kemudian Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi gambar gembira dan kabar peringatan. (Tafsir At-Thabari 4/275, Mu’assasah Risalah, syamilah).


NABI Nuh diminta Jibril menyadarkan musuh Allah, Duramsyil bin Fumail bin Jaij bin Qabil bin Adam. Dia adalah seorang raja yang sewenang-wenang dan kejam. Dia juga orang pertama yang memeras anggur dan meminumnya, orang pertama yang bermain undian, dan orang pertama yang membuat pakaian yang ditenun dengan emas. 


Dia bersama kaumnya menyembah 5 berhala yaitu, Wud, Siwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr yang disinggung oleh Allah di dalam al-Qur’an.


Di sekitar 5 berhala tersebut terdapat 1.700 berhala yang mempunyai ruangan khusus yang terbuat dari batu marmer. Setiap ruangan itu tinggi dan lebarnya sekitar 1.000 siku. 


Berhala-berhala ini diletakkan di atas kursi yang terbuat dari emas yang berisikan bermacam-macam permata yang indah. 

Berhala ini juga mempunyai para pelayan yang mengurusinya siang malam dan tiap tahunnya ada hari raya khusus untuk berhala tersebut; mereka (Duramsyil dan kaumnya) berkumpul di tempat itu untuk merayakannya.


Telah masyhur para ulama ketika menukil penafsiran Firman Allah Ta’ala :


وَ قَالُوْا لَا تَذَرُنَّ اٰلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَّلَا سُوَاعًا ۙ وَّ لَا يَغُوْثَ وَيَعُوْقَ وَنَسْرًا


“Dan mereka berkata, Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yagus, Ya’uq, dan Nasr.” (QS. Nuh 71: Ayat 23).


Mereka membawakan perkataan shohabi yang merupakan penerjemah Al Qur’an, yaitu Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Shahihnya (no. 4920) :


حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى، أَخْبَرَنَا هِشَامٌ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، وَقَالَ عَطَاءٌ: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، «صَارَتِ الأَوْثَانُ الَّتِي كَانَتْ فِي قَوْمِ نُوحٍ فِي العَرَبِ بَعْدُ أَمَّا وَدٌّ كَانَتْ لِكَلْبٍ بِدَوْمَةِ الجَنْدَلِ، وَأَمَّا سُوَاعٌ كَانَتْ لِهُذَيْلٍ، وَأَمَّا يَغُوثُ فَكَانَتْ لِمُرَادٍ، ثُمَّ لِبَنِي غُطَيْفٍ بِالْجَوْفِ، عِنْدَ سَبَإٍ، وَأَمَّا يَعُوقُ فَكَانَتْ لِهَمْدَانَ، وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرَ لِآلِ ذِي الكَلاَعِ، أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ، فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ، أَنِ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمُ الَّتِي كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ، فَفَعَلُوا، فَلَمْ تُعْبَدْ، حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ العِلْمُ عُبِدَتْ»


“Talah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa, telah mengabarkan kepada kami Hisyaam, dari Ibnu Juraij, dan ‘Athaa` berkata, dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhumaa : …. (Berhala-berhala tersebut) adalah nama-nama orang sholih dari kaumnya Nabi Nuh, setelah mereka wafat, setan membisiki kaumnya untuk membuat patung-patung sebagai perwujudan mereka didalam tempat berkumpulnya mereka yang biasa mereka berkumpul pasanya lalu menamakan patung-patung tersebut dengan nama-nama mereka, lalu mereka pun mengerjakan apa yang dibisikkan setan tersebut dan (awalnya) belum disembah, hingga generasi ini sudah habis dan ilmu sudah dicabut (datanglah generasi) yang menyembah (berhala-berhala tersebut)”.


“Penafsiran ini mengandung kerancuan tatkala Ibnu Abbas radhiyallahu anhumaa mengatakan :


هذه أسماء رجال صالحين من قوم نوح


“Ini adalah nama-nama orang sholih dari kaumnya Nabi Nuh”.

Karena zhohirnya Al Qur’an bahwa mereka itu sebelum diutusnya Nuh alaihis salam. Allah Ta’ala berfirman :

Allah SWT berfirman:


قَالَ نُوْحٌ رَّبِّ اِنَّهُمْ عَصَوْنِيْ وَاتَّبَعُوْا مَنْ لَّمْ يَزِدْهُ مَالُهٗ وَوَلَدُهٗۤ اِلَّا خَسَارًا # وَمَكَرُوْا مَكْرًا كُبَّارًا # وَ قَالُوْا لَا تَذَرُنَّ اٰلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَّلَا سُوَاعًا ۙ وَّ لَا يَغُوْثَ وَيَعُوْقَ وَنَسْرًا


“Nuh berkata, Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka durhaka kepadaku, dan mereka mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya hanya menambah kerugian baginya, dan mereka melakukan tipu daya yang sangat besar. Dan mereka berkata, Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yagus, Ya’uq, dan Nasr (QS. Nuh 71: Ayat 21-23).


Zhahirnya ayat menunjukkan apa yang disebutkan oleh Ibnu Abbas, namun konteksnya bahwa mereka adalah orang-orang sholih sebelum Nabiyullah Nuh alaihis Salaam. Wallahu a’lam -selesai-.


Kemudian saya coba luaskan pembahasan dan saya mendapatkan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari juga menyebutkan kritikan untuk sanadnya. Berikut ulasannya :

Dikatakan bahwa sanad yang dibawakan oleh Imam Bukhori adalah terputus. ‘Athaa’ yang dimaksud dalam sanad diatas adalah al-Khurasaaniy, yang mana beliau tidak pernah berjumpa dengan Ibnu Abbas.


Imam Abdur Razaq meriwayatkan atsar yang senada dari jalannya :


عَن بن جريج فَقَالَ أَخْبرنِي عَطاء الخرساني عَن بن عَبَّاسٍ


“Dari Ibnu Juraij ia berkata, telah mengabariku ‘Athaa’ al-Khurasaaniy dari Ibnu abbas : “al-Atsar”.


Imam Abu Mas’ud bahkan mengatakan :


ثَبَتَ هَذَا الْحَدِيثُ فِي تَفْسِير بن جريج عَن عَطاء الخرساني عَن بن عَبَّاس وبن جريج لم يسمع التَّفْسِير من عَطاء الخرساني وَإِنَّمَا أَخَذَهُ مِنَ ابْنِهِ عُثْمَانَ بْنِ عَطَاءٍ فَنَظَرَ فِيهِ


“Telah tsabit hadits ini dalam tafsirnya Ibnu juraij dari ‘Athaa’ al-Khurasaaniy dari Ibnu Abbas. Ibnu Juraij tidak pernah mendengar tafsir dari ‘Athaa’ al-Khurasaaniy, beliau hanyalah mengambil dari anaknya yang bernama Utsman bin ‘Athaa’, sehingga perlu dipertimbangkan”.


Kemudian Al Hafidz menukil illat haditsnya Ibnu Juraij dalam meriwayatkan dari ‘Athaa’ dari Imam Ali ibnul Madiniy yang didokumentasikan oleh Imam Sholih bin Imam Ahmad bin Hanbal, Ali bin Al-Madiniy berkata :


سَأَلت يحيى الْقطَّان عَن حَدِيث بن جريج عَن عَطاء الخرساني فَقَالَ ضَعِيفٌ فَقُلْتُ إِنَّهُ يَقُولُ أَخْبَرَنَا قَالَ لَا شَيْءَ إِنَّمَا هُوَ كِتَابٌ دَفَعَهُ إِلَيْهِ


“aku pernah bertanya kepada Yahya al-Qoththaan terkait haditsnya Ibnu Juraij dari ‘Athaa’ al-Khurasaaniy?, beliau menjawab : “dhoif”. Lanjutku : “namun ia mengatakan akhbaronaa?”, beliau menjawab : “jangan dianggap, hanyalah ia mendapatkan kitab darinya”.


Maksudnya Ibnu Juraij adalah ulama yang membolehkan secara mutlak mengatakan “akhbatonaa” untuk munawalah dan Mukatabah.


Imam Ali bin al-Madiniy sengaja menjelaskan hal ini bahkan beliau menulis berlembar-lembar untuk membuktikan bahwa Ibnu Juraij dalam banyak haditsnya ketika meriwayatkan dari ‘Athaa’ maka yang dimaksud adalah ‘Athaa’ al-Khurasaaniy bukan ‘Athaa` bin Abi Rabaah, sebagaimana kesalahan yang dilakukan oleh Muhammad bin Tsaur ketika meriwayatkan dari Ibnu Juraij dari ‘Athaa` dari Ibnu Abbas, maka beliau menduga Athaa yang dimaksud adalah Athaa bin Abi Rabaah.


Namun yang menakjubkan Al Hafidz memiliki ketsiqohan yang tinggi kepada Imam Bukhori sehingga beliau masih berprasangka bahwa jalannya Imam Bukhori ini adalah Athaa` bin Abi Rabaah, bukan hanya al-Khurasaaniy.

Alaa Kulli Haal, sesungguhnya riwayat yang tepat sebagaimana zhahirnya Al Qur’an adalah atsar dari Muhammad bin Qois sebagaimana ditulis oleh Imam ibnu Katsir dalam tafsirnya dengan sanadnya dari Imam ath-Thabariy rahimahullah dimana Muhammad bin Qois berkata :

كَانُوا قَوْمًا صَالِحِينَ بَيْنَ آدَمَ وَنُوحٍ

“Mereka adalah orang-orang sholih antara Adam dengan Nuh…”.

Dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari dijelaskan bahwa berhala menjadi sesembahan pertama kali adalah pada masa Nabi Nuh AS. Pada masa itu, kaum Nabi Nuh telah memiliki berhala. Bahkan berhala tersebut telah tersebar di kalangan orang Arab yang dipusatkan di setiap kaum.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا صَارَتْ الْأَوْثَانُ الَّتِي كَانَتْ فِي قَوْمِ نُوحٍ فِي الْعَرَبِ بَعْدُ أَمَّا وَدٌّ كَانَتْ لِكَلْبٍ بِدَوْمَةِ الْجَنْدَلِ وَأَمَّا سُوَاعٌ كَانَتْ لِهُذَيْلٍ وَأَمَّا يَغُوثُ فَكَانَتْ لِمُرَادٍ ثُمَّ لِبَنِي غُطَيْفٍ بِالْجَوْفِ عِنْدَ سَبَإٍ وَأَمَّا يَعُوقُ فَكَانَتْ لِهَمْدَانَ وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرَ لِآلِ ذِي الْكَلَاعِ أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنْ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمْ الَّتِي كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ فَفَعَلُوا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ الْعِلْمُ عُبِدَتْ

Artinya, “Dari Ibnu Abbas RA bahwanya, berhala-berhala yang dahulu diagungkan oleh kaum Nabi Nuh, di kemudian hari tersebar di bangsa 'Arab. Wadd menjadi berhala untuk kamu Kalb di Daumatul Jandal. Suwa' untuk Bani Hudzail. Yaquts untuk Murad dan Bani Ghuthaif di Jauf tepatnya di Saba`. Adapun Ya'uq adalah untuk Bani Hamdan. Sedangkan Nashr untuk Himyar keluarga Dzul Kala'. Itulah nama-nama orang saleh dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka wafat, setan membisikkan kaum itu untuk mendirikan berhala pada majelis mereka dan menamakannya dengan nama orang-orang saleh itu. Maka mereka pun melakukan hal itu, dan saat itu berhala-berhala itu belum disembah hingga mereka wafat, sesudah itu, setelah ilmu tiada, maka berhala-berhala itu pun disembah," (Lihat Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Sahihul Bukhari, [Kairo, Dāru Thauqin Najah: 1422 H), juz XII, halaman 261).

Hadits ini sedikitnya telah membukakan informasi kepada kita terkait kapan berhala-berhala itu ada. Hal ini diperkuat dengan pendapat Al-Faqihi yang menyebutkan bahwa berhala pertama kali dibuat pada masa Nabi Nuh As.

Al-Faqihi sebagaimana dikutip As-Suyuthi dalam Ad-Durarul Mantsur menyebutkan bahwa pada masa itu seorang anak yang rindu kepada orang tuanya yang meninggal mulai membuat patung-patung yang mirip dengan wajah orang tuanya.

Patung-patung tersebut dibuat karena anak dan keluarganya tidak mampu memupuk sifat sabar saat ditinggal mati oleh ayahnya. Ketika rindu, anak-anak tersebut memandangi patung-patung yang mirip orang tuanya tersebut hingga keturunan itu meninggal.

Peristiwa seperti ini berlangsung secara turun-temurun hingga anak cucunya menganggap bahwa patung-patung itu disembah sebagai Tuhan, (Lihat As-Suyūṭī, Ad-Durarul Mantsur, [Beirut, Dārul Fikr, tanpa catatan tahun], juz VI, halaman 269). 

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda