Translate

Kamis, 24 Desember 2020

Hukum Memberikan Daging Kurban Dengan Matang

 

Seiring dengan berkembangnya teknologi dan sarana transportasi, maka inovasi kaum muslimin dalam pendistribusian daging kurban-pun beragam. Dengan alasan pemerataan, maka salah satu inovasi dalam distribusi daging kurban adalah dengan mengolah daging kurban dan mengemasnya di kaleng untuk kemudian didistribusikan ke daerah-daerah yang minim kurbannya.

Sebelum adanya konsensus ulama, kurban disyariatkan berdasarkan beberapa dalil, di antaranya firman Allah:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Shalatlah (di hari raya) dan berkurbanlah,” (QS. Al-Kautsar, ayat 2).

Menurut pendapat yang paling masyhur, shalat dalam ayat di atas ditafsiri dengan shalat hari raya, dan kata “Nahar” ditafsiri dengan menyembelih binatang-binatang kurban.

Dan sabda Nabi:

مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ مِنْ عَمَلٍ أَحَبَّ إلَى اللهِ تَعَالَى مِنْ إرَاقَةِ الدَّمِ، إنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَظْلَافِهَا، وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

“Tidaklah anak cucu Adam beramal di hari Nahar yang lebih disukai Allah dari pada mengalirkan darah (kurban). Sesungguhnya binatang kurban datang di hari kiamat dengan tanduk-tanduk dan kuku-kukunya. Sesungguhnya darahnya jatuh pada suatu tempat tinggi atas ridloNya sebelum jatuh di tanah. Maka ikhlaskanlah hati kalian dalam berkurban,” (HR. al-Tirmidzi dan al-Hakim).

Alloh memerintahkan agar shohibul qurban memakan sebagian daging qurbannya dan memberikannya kepada yang lain dalam bentuk disedekahkan ke orang yang membutuhkan. Allah berfirman,

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian hasil qurban itu dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang membutuhkan dan fakir.” (QS. Al-Haj: 28)

Al-Qurtubi (w. 671 H) dalam tafsirnya mengatakan,

(فَكُلُوا مِنْها) أَمْرٌ مَعْنَاهُ النَّدْبُ عِنْدَ الْجُمْهُورِ. وَيُسْتَحَبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ هَدْيِهِ وَأُضْحِيَتِهِ وَأَنْ يَتَصَدَّقَ بِالْأَكْثَرِ، مَعَ تَجْوِيزِهِمُ الصَّدَقَةَ بِالْكُلِّ

‘Makanlah bagian hasil qurban itu’ ini merupakan perintah anjuran menurut jumhur ulama. Dianjurkan bagi orang yang berqurban untuk makan sebagian hasil qurbannya dan sebagian besar dia sedekahkan. Disamping mereka juga membolehkan disedekahkan semuanya. (Tafsir al-Qurtubi, 12/44) .

Karena kurban merupakan ibadah, tentu ia memiliki ketentuan yang harus dipenuhi dalam sudut pandang syariat, di antaranya berkaitan dengan cara menyedekahkan dagingnya. Umumnya masyarakat membagikan daging kurban dalam kondisi mentah, tapi tidak jarang pula yang memberikannya dalam kondisi masak, di antaranya didistribusikan dalam bentuk kemasan kornet, yaitu daging sapi yang diawetkan dalam air garam dan kemudian dimasak dengan cara direbus. Bagaimana hukumnya?.

Sebagian ulama memang membolehkan pembagian daging kurban dalam kondisi sudah dimasak tanpa mensyaratkan adanya hajat ataupun maslahat. Di antaranya:

Mazhab Maliki membolehkan pembagian daging kurban dalam kondisi sudah dimasak. Al-Imam Ibnul Hajib (w. 646 H), mewakili pendapat resmi Mazhab Maliki, mengatakan:

وَيَأْكُلُ الْمُضَحِّيْ وَيُطْعِمُ نَيِّئًا وَمَطْبُوْخًا وَيَدَّخِرُ وَيَتَصَدَّقُ

Artinya, “Pengurban dianjurkan memakan sebagian dari daging kurbannya, membagikannya dalam kondisi mentah maupun sudah dimasak, menyimpannya, atau menyedekahkannya.” [Jaami’ul Ummahaat hlm. 230, karya Ibnul Hajib, cet. Darul Yamamah Damaskus 1998 M]

Al-Imam Ibnu Jama’ah (w. 767 H) setelah menegaskan bahwa Mazhab Syafii mengharuskan sedekah daging kurban ke fakir miskin dalam keadaan mentah, beliau menyatakan:

وَأَطْلَقَ الْحَنَفِيَّةُ التَّصَدُّقَ بِهِ وَمَذْهَبُ الْمَالِكِيَّةِ أَنَّهُ يَجُوْزُ التَّصَدُّقُ بِهِ مَطْبُوْخًا

Artinya, “Mazhab Hanafi membebaskan sedekah daging kurban dalam kondisi apapun. Mazhab Maliki secara tegas menyatakan bolehnya sedekah daging kurban dalam kondisi sudah dimasak.” [Hidaayatus Saalik (III/1150), karya Ibnu Jama’ah, cet. Darul Basyairil Islamiyyah Beirut 1994 M]

Menurut pendapat kuat dalam mazhab Syafi’i, standar minimal daging kurban yang wajib disedekahkan adalah kadar daging yang mencapai standar kelayakan pada umumnya, misalnya satu plastik daging. Tidak mencukupi memberikan kadar yang remeh seperti satu atau dua suapan. Kadar daging paling minimal tersebut wajib diberikan kepada orang fakir/ miskin, meski hanya satu orang. Selebihnya dari standar minimal ini, mudlahhi (orang yang berkurban) diperkenankan untuk memakannya sendiri atau diberikan kepada orang kaya sebatas untuk dikonsumsi.

Namun yang lebih utama adalah menyedekahkan semuanya kecuali beberapa suap yang dimakan mudlahhi untuk tujuan tabarruk (mengambil keberkahan). Kebolehan memakan ini berlaku untuk kurban sunnah, sementara kurban wajib (semisal disebabkan nadzar) harus disedekahkan semuanya, mudlahhi dan orang-orang yang wajib ia nafkahi tidak diperbolehkan memakannya sedikitpun.

Berkaitan dengan distribusi daging kurban dalam keadaan masak, ulama memerincinya sebagai berikut. Untuk kadar yang wajib diberikan kepada fakir miskin (sekiranya disebut pemberian daging secara layak menurut keumumannya), tidak diperbolehkan diberikan dalam kondisi masak, sebab haknya fakir miskin adalah memiliki daging tersebut secara penuh, bukan hanya mengkonsumsi. Dengan memberinya daging mentah, fakir miskin dapat leluasa memanfaatkan daging tersebut.

Sedangkan untuk kadar daging yang melebihi batas minimal tersebut, mudlahhi diberi kebebasan dalam mendistribukannya, bisa dalam keadaan mentah atau masak, baik diberikan kepada orang kaya atau miskin. Dalam titik ini, diperbolehkan pula pendistribusian dalam bentuk kemasan kornet atau dendeng.

Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli menegaskan:

وَيَجِبُ دَفْعُ الْقَدْرِ الْوَاجِبِ نِيئًا لَا قَدِيدًا

“Wajib memberikan kadar daging yang wajib disedekahkan dalam bentuk mentah, bukan berupa dendeng,” (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz 8, hal. 142).

Syekh Khathib al-Syarbini mengatakan:

(وَالْأَصَحُّ وُجُوبُ التَّصَدُّقِ بِبَعْضِهَا) وَلَوْ جُزْءًا يَسِيرًا مِنْ لَحْمِهَا بِحَيْثُ يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ الِاسْمُ عَلَى الْفُقَرَاءِ،

“Menurut pendapat al-Ashah (yang kuat), wajib menyedekahkan sebagian kurban, meski bagian yang sedikit dari dagingnya, sekiranya bisa disebut pemberian daging (yang pantas), kepada orang fakir, meski satu orang.

وَيُشْتَرَطُ فِي اللَّحْمِ أَنْ يَكُونَ نِيئًا لِيَتَصَرَّفَ فِيهِ مَنْ يَأْخُذُهُ بِمَا شَاءَ مِنْ بَيْعٍ وَغَيْرِهِ كَمَا فِي الْكَفَّارَاتِ، فَلَا يَكْفِي جَعْلُهُ طَعَامًا وَدُعَاءُ الْفُقَرَاءِ إلَيْهِ؛ لِأَنَّ حَقَّهُمْ فِي تَمَلُّكِهِ لَا فِي أَكْلِهِ وَلَا تَمْلِيكُهُمْ لَهُ مَطْبُوخًا

“Disyaratkan di dalam daging (yang wajib disedekahkan) harus mentah, supaya fakir/ miskin yang mengambilnya leluasa mentasarufkan dengan menjual dan sesamanya, seperti ketentuan dalam bab kafarat(denda), maka tidak cukup menjadikannya masakan (matang) dan memanggil orang fakir untuk mengambilnya, sebab hak mereka adalah memiliki daging kurban, bukan hanya memakannya. Demikian pula tidak cukup memberikan hak milik kepada mereka daging masak.”

(وَالْأَفْضَلُ) التَّصَدُّقُ (بِكُلِّهَا)؛ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إلَى التَّقْوَى وَأَبْعَدُ عَنْ حَظِّ النَّفْسِ (إلَّا) لُقْمَةً أَوْ لُقْمَتَيْنِ أَوْ (لُقَمًا يَتَبَرَّكُ بِأَكْلِهَا) عَمَلًا بِظَاهِرِ الْقُرْآنِ، وَلِلِاتِّبَاعِ كَمَا مَرَّ وَلِلْخُرُوجِ مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَ الْأَكْلَ

“Lebih utama menyedekahkansemuanya, karena lebih mendekatkan kepada ketakwaan dan menjauhkan dari kepentingan nafsu, kecuali satu, dua atau beberapa suap yang dimakan untuk mengambil keberkahan, karena mengamalkan bunyi eksplisit Al-Qur’an dan mengikuti Nabi seperti keterangan yang lalu, dan karena keluar dari ikhtilafulama yang mewajibkan memakan,” (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 6, hal. 135).

Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H), mewakili pendapat resmi Mazhab Syafii, menjelaskan:

وَلَا يَجُوْزُ تَمْلِيْكُ الْأَغْنِيَاءِ مِنْهَا شَيْئًا وَإِنَّمَا يَجُوْزُ إِطْعَامُهُمْ وَالْهَدِيَّةُ إِلَيْهِمْ. وَيَجُوْزُ تَمْلِيْكُ الْفُقَرَاءِ مِنْهَا لِيَتَصَرَّفُوْا فِيْهِ بِالْبَيْعِ وَغَيْرِهِ. … لَا يَجُوْزُ أَنْ يَدْعُوَ الْفُقَرَاءَ لِيَأْكُلُوْهُ مَطْبُوْخًا لِأَنَّ حَقَّهُمْ فِيْ تَمَلُّكِهِ … وَإِنْ دَفَعَ مَطْبُوْخًا، لَمْ يُجْزِهِ بَلْ يُفَرِّقُهُ نَيِّئًا لِأَنَّ الْمَطْبُوْخَ كَالْخُبْزِ فِيْ الْفِطْرَةِ.

Artinya, “Tidak boleh memberikan kepemilikan (tamliik) daging kurban sedikit pun kepada orang kaya. Yang boleh hanyalah memberi mereka makanan berupa daging kurban dan menghadiahkannya pada mereka. Sementara orang-orang fakir, boleh diberikan kepemilikan (tamliik) daging kurban kepada mereka agar mereka memiliki keleluasaan memilih akan diapakan daging tersebut, entah dijual atau lainnya. …

Tidak boleh pengurban mengundang orang-orang fakir untuk makan daging kurban tersebut dalam kondisi sudah dimasak karena hak mereka adalah memiliki daging kurban (bukan hanya memakannya). …

Jika daging kurban diberikan dalam kondisi sudah dimasak, maka ini tidak sah (sebagai sedekah). Justru ia haruslah membagikannya dalam keadaan mentah karena menyedekahkan daging kurban dalam keadaan sudah dimasak sama saja seperti berzakat fitrah dengan roti.” [Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (VIII/239) karya An-Nawawi, cet. Dar ‘Alamil Kutub Riyadh 2003 M]

Al-Imam Al-Buhuti (w. 960 H), mewakili pendapat resmi Mazhab Hanbali, menyatakan:

يَجِبُ الصَّدَقَةُ بِبَعْضِهَا نَيِّئًا عَلَى فَقِيْرٍ مُسْلِمٍ

Artinya, “Wajib menyedekahkan sebagian daging kurban dalam kondisi mentah kepada fakir yang muslim.” [Kasysyaaful Qinaa’ (III/23) karya Al-Buhuti cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah Beirut 2009 M

Jika kita perhatikan kedua nukilan terakhir, nampak bahwa Mazhab Syafii membedakan antara tamliik (memberikan) dalam bentuk sedekah dan ith’am (memberi makan). Tamlik dalam bentuk sedekah daging kurban wajib dalam kondisi mentah. Tidak sah sedekah yang berkonsekuensi tamliik ini jika dagingnya sudah dimasak. Sedekah ini juga hanya untuk fakir miskin. Adapun ith’am dalam bentuk hadiah daging atau pemberian makanan dari daging kurban, maka boleh diberikan kepada orang kaya, tanpa ada pensyaratan harus dalam kondisi mentah. Demikian juga Mazhab Hanbali.

Artinya, dalam kasus “sedekah” daging kurban, maka harus dalam kondisi mentah, sebagaimana zakat fitrah harus dalam bentuk gandum (misalnya), bukan roti gandum yang sudah jadi. Hanya saja, berbeda dari zakat fitrah, kurban tidak seluruh dagingnya disedekahkan. Ada bagian untuk dimakan sendiri dan disimpan, bahkan diberikan dalam bentuk hadiah makanan kepada orang kaya. Maka untuk selain sedekah sebagian daging kurban pada fakir, bahkan dalam kedua mazhab ini, tentulah tidak seketat aturan di atas.

Kesimpulannya, hukum mendistribusikan daging kurban dalam bentuk masak atau sejenis kemasan kornet adalah diperbolehkan asalkan sebagian daging kurban sudah ada yang disedekahkan kepada orang fakir/miskin dalam bentuk mentah. 

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar