Tata cara mengusung jenazah menurut sunnah adalah dengan memikulnya di atas pundak-pundak manusia. Adapun jika si mayit masih anak-anak (balita), maka cukuplah dibopong oleh seseorang dengan dua belah tangannya di depan dada.
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
أسرعوا بالجنازة فإن تك صالحة فخير تقدمونها، وإن تكن غير ذلك فشر تضعونه عن رقابكم
"Percepatlah dalam mengusung jenazah. Jika ia adalah seorang yang sholeh, maka itu adalah kebaikan yang kalian kedepankan. Jika ia seorang yang bukan sholeh, maka itu adalah kejelekan yang segera diletakkan dari pundak-pundak kalian." (HR. Bukhori, Muslim dan selainnya dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu)
Sabda beliau juga:
إذا وضعت الجنازة، واحتملها الرجال على أعناقهم، فإن كانت صالحة قالت: قدموني قدموني، وإن كانت غير صالحة قالت: يا ويلها أين يذهبون بها؟! يسمع صوتها كل شئ إلا الانسان، ولو سمعه لصعق
"Ketika jenazah diletakkan dan dipikul di atas pundak-pundak para laki-laki pengusungnya, jika ia seorang yang sholeh, maka akan mengatakan: "Kedepankan aku, kedepankan aku!" Jika ia tidak sholeh, maka ia mengatakan: "Aduh celaka, kemana ia akan kalian bawa pergi?!" Suaranya akan didengar oleh semuanya, kecuali manusia. Jika manusia mendengarnya, niscaya ia akan jatuh pingsan." (HR. Bukhori, Nasa'i, Baihaqi dan Ahmad dari Abu Sa'id Al Khudri rodhiyallohu 'anhu)
Mempercepat langkah ketika mengusung jenazah
Disyariatkan untuk mempercepat langkah ketika mengiring jenazah tanpa berlari, karena dikhawatirkan jenazah akan terguncang-guncang dengan keras sehingga terlepas kain kafannya dan tersingkap sebagian dari tubuhnya atau terjatuh dari usungannya dan sebagainya.
Hikmah disyariatkan untuk mempercepat langkah tersebut adalah sebagaimana yang telah disebutkan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau tersebut di atas:
أسرعوا بالجنازة فإن تك صالحة فخير تقدمونها، وإن تكن غير ذلك فشر تضعونه عن رقابكم
"Percepatlah dalam mengusung jenazah. Jika ia adalah seorang yang sholeh, maka itu adalah kebaikan yang kalian kedepankan. Jika ia seorang yang bukan sholeh, maka itu adalah kejelekan yang segera diletakkan dari pundak-pundak kalian." (HR. Bukhori, Muslim dan selainnya dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu)
Sabda beliau juga:
إذا وضعت الجنازة، واحتملها الرجال على أعناقهم، فإن كانت صالحة قالت: قدموني قدموني، وإن كانت غير صالحة قالت: يا ويلها أين يذهبون بها؟! يسمع صوتها كل شئ إلا الانسان، ولو سمعه لصعق
"Ketika jenazah diletakkan dan dipikul di atas pundak-pundak para laki-laki pengusungnya, jika ia seorang yang sholeh, maka akan mengatakan: "Kedepankan aku, kedepankan aku!" Jika ia tidak sholeh, maka ia mengatakan: "Aduh celaka, kemana ia akan kalian bawa pergi?!" Suaranya akan didengar oleh semuanya, kecuali manusia. Jika manusia mendengarnya, niscaya ia akan jatuh pingsan." (HR. Bukhori, Nasa'i, Baihaqi dan Ahmad dari Abu Sa'id Al Khudri rodhiyallohu 'anhu)
Adapun mempercepat langkah tanpa berlari ketika mengantar jenazah, maka ditunjukkan oleh hadits Abu Bakroh rodhiyallohu 'anhu dalam kisah Abdurrohman bin Jausyan rohimahulloh:
شَهِدْتُ جَنَازَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ وَخَرَجَ زِيَادٌ يَمْشِي بَيْنَ يَدَيْ السَّرِيرِ فَجَعَلَ رِجَالٌ مِنْ أَهْلِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَمَوَالِيهِمْ يَسْتَقْبِلُونَ السَّرِيرَ وَيَمْشُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ وَيَقُولُونَ رُوَيْدًا رُوَيْدًا بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ فَكَانُوا يَدِبُّونَ دَبِيبًا حَتَّى إِذَا كُنَّا بِبَعْضِ طَرِيقِ الْمِرْبَدِ لَحِقَنَا أَبُو بَكْرَةَ عَلَى بَغْلَةٍ فَلَمَّا رَأَى الَّذِي يَصْنَعُونَ حَمَلَ عَلَيْهِمْ بِبَغْلَتِهِ وَأَهْوَى إِلَيْهِمْ بِالسَّوْطِ وَقَالَ خَلُّوا فَوَالَّذِي أَكْرَمَ وَجْهَ أَبِي الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ رَأَيْتُنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّا لَنَكَادُ نَرْمُلُ بِهَا رَمَلًا فَانْبَسَطَ الْقَوْمُ
"Aku menyaksikan jenazah Abdurrohman bin Samuroh dan Ziyad keluar dan berjalan di depan usungan jenazah. Kemudian para laki-laki dari kerabat Abdurrohman dan para mawali (budak-budak) mereka mulai mengangkat usungan dan berjalan kaki dan mereka mengatakan: "Pelan-pelan, barokallohu fikum." Mereka berjalan sangat pelan bagaikan merangkak. Sampai ketika kami melewati jalan tempat penambatan onta dan hewan ternak, maka Abu Bakroh bergabung bersama kami sambil mengendarai baghl (hewan tunggangan hasil peranakan kuda dan keledai). Ketika Abu Bakroh melihat apa yang mereka lakukan, maka beliau mendekati mereka dengan tunggangannya dan mengisyaratkan kepada mereka dengan cemetinya sambil berseru: "Biarkanlah -demi Dzat yang memuliakan wajah Abul Qosim (Rosululloh) shollallohu 'alaihi wa sallam-, sungguh aku telah melihat para sahabat bersama Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam hampir-hampir berlari-lari kecil ketika mengusung jenazah." Maka mereka mulai bersemangat (setelah mendengar hal itu)." (HR. An Nasa'i)
Ibnul Qoyyim rohimahulloh mengatakan dalam Zadul Ma'ad (1/498): "Adapun rangkakan orang-orang sekarang selangkah demi selangkah, maka itu adalah bid'ah yang dibenci dan menyelisihi sunnah serta mengandung penyerupaan terhadap ahli kitab Yahudi.
Dua langkah dalam mengikuti jenazah
Mengikuti jenazah mempunyai dua langkah dalam sunnah:
Pertama: Mengikutinya dari rumah keluarganya sampai disholatkan.
Kedua: Mengikutinya dari rumah keluarganya sampai selesai proses pemakaman.
Keduanya pernah dilakukan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Abu Sa'id Al Khudriy rodhiyallohu 'anhu meriwayatkan:
كُنَّا مُقَدَّمَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (يعني المدينة) إِذَا حُضِرَ مِنَّا الْمَيِّتُ آذَنَّا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَحَضَرَهُ وَاسْتَغْفَرَ لَهُ حَتَّى إِذَا قُبِضَ انْصَرَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَنْ مَعَهُ حَتَّى يُدْفَنَ، وَرُبَّمَا طَالَ حَبْسُ ذَلِكَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا خَشِينَا مَشَقَّةَ ذَلِكَ عَلَيْهِ قَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ لِبَعْضٍ: لَوْ كُنَّا لَا نُؤْذِنُ النَّبِيَّ بِأَحَدٍ حَتَّى يُقْبَضَ، فَإِذَا قُبِضَ آذَنَّاهُ، فَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ مَشَقَّةٌ وَلَا حَبْسٌ، فَفَعَلْنَا ذَلِكَ وَكُنَّا نُؤْذِنُهُ بِالْمَيِّتِ بَعْدَ أَنْ يَمُوتَ فَيَأْتِيهِ فَيُصَلِّي عَلَيْهِ، فَرُبَّمَا انْصَرَفَ، وَرُبَّمَا مَكَثَ حَتَّى يُدْفَنَ الْمَيِّتُ، فَكُنَّا عَلَى ذَلِكَ حِينًا، ثُمَّ قُلْنَا لَوْ لَمْ يَشْخَصِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَحَمَلْنَا جَنَازَتَنَا إِلَيْهِ حَتَّى يُصَلِّيَ عَلَيْهِ عِنْدَ بَيْتِهِ لَكَانَ ذَلِكَ أَوْفَقَ بِهِ، فَفَعَلْنَا فَكَانَ ذَلِكَ الْأَمْرُ إِلَى الْيَوْمِ
"Kami dahulu -ketika awal-awal kedatangan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam di Madinah-, jika ada seseorang dari kami menjelang kematiannya, maka kami memberitahukannya kepada beliau. Sehingga beliau mendatanginya dan memintakan ampunan Alloh untuknya. Sampai jika ia meninggal, maka beliau dan yang bersama beliau pun beranjak mengikutinya sampai dimakamkan. Terkadang memakan waktu yang lama atas Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam ketika itu. Ketika kami khawatir kalau beliau merasa keberatan, maka kami mengatakan kepada sebagian lainnya: "Sekiranya kita tidak memberitahukan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam jika ada seseorang menjelang kematiannya sampai ia meninggal. Barulah setelah itu kita beritahukan kepada beliau, maka beliau tidak akan lama tertahan dan merasa keberatan." Maka kami melakukan yang demikian itu. Kami beritahukan kepada beliau ketika telah meninggal dan beliau datang untuk menyolatkannya, lalu beliau pergi. Terkadang beliau tetap menyertai sampai selesai pemakaman. Demikianlah keadaan kami ketika itu. Kemudian kami membicarakan, "Sekiranya beliau tidak usah datang menghadirinya. Kita bawa jenazah kita kepada beliau, lalu disholatkan di rumah beliau, maka tentunya itu lebih baik." Maka kami pun melakukan hal itu sampai hari ini." (HR. Ibnu Hibban, Al Hakim dan selainnya)
Mana yang lebih afdhol?
Tidak ragu lagi, bahwa langkah kedualah yang lebih utama daripada pertama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam:
من شهد الجنازة (من بيتها)، (وفي رواية من ابتع جنازة مسلم إيمانا واحتسابا) حتى يصلى عليها فله قيراط، ومن شهد ها حتى تدفن، (وفي الرواية الاخرى: يفرغ منها) فله قيراطان (من الاجر)، قيل: (يارسول الله) وما القيراطان؟ قال: مثل الجبلين العظيمين -وفي الرواية الاخرى: كل قيراط مثل أحد
"Siapa yang menghadiri jenazah di rumahnya -dalam riwayat: "Siapa yang mengikuti jenazah muslim dengan keimanan dan mengharap pahala Alloh,"- sampai disholatkan, maka baginya pahala satu qiroth. Siapa yang menghadirinya sampai dimakamkan -dalam riwayat: "Sampai selesai pemakaman,"- maka baginya pahala dua qiroth." Ditanyakan kepada beliau: "Wahai Rosululloh, apa dua qiroth itu?" Beliau menjawab: "Seperti dua gunung besar." Dalam riwayat: "Setiap qiroth itu seperti gunung Uhud." (HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Tirmidzi, Ahmad dan selain mereka dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu. Juga telah datang dari Abdulloh bin Al Mughoffal riwayat Nasa'i tercantum dalam Al Jami'us Shohih, karya Imam Al Wadi'i: 2/250)
Dalam riwayat lain dari Abu Huroirohrodhiyallohu 'anhu terdapat tambahan yang bermanfaat untuk disebutkan di sini:
وكان ابن عمر يصلي عليها، ثم ينصرف، فلما بلغه حديث أبي هريرة قال: أكثر علينا أبو هريرة، -وفي رواية: فتعاظمه-، فأرسل خبابا إلى عائشة يسألها عن قول أبي هريرة ثم يرجع إليه فيخبره ما قالت، وأخذ ابن عمر قبضة من حصى المسجد يقلبها في يده حتي رجع إليه الرسول، فقال: قالت عائشة: صدق أبو هريرة، فضرب ابن عمر بالحصى الذي كان في يده الارض ثم قال: لقد فرطنا في قراريط كثيرة، فبلغ ذلك أبا هريرة فقال: إنه لم يكن يشغلني عن رسول الله صلى الله عليه وسلم صفقة السوق، ولا غرس الودي، إنما كنت ألزم النبي صلى الله عليه وسلم لكلمة يعلمنيها، وللقمة يطعمنيها، فقال له ابن عمر: أنت يا أبا هريرة كنت ألزمنا لرسول الله صلى الله عليه وسلم وأعلمنا بحديثه
"Dahulu Ibnu Umar menyolatkan jenazah, kemudian pergi. Setelah sampai kepadanya hadits Abu Huroiroh tentang keutamaan mengikuti jenazah sampai selesai dikuburkan, maka ia berkata: "Abu Huroiroh telah berlebihan." Dalam riwayat: "Maka ia mengingkarinya." Lalu Ibnu Umar mengutus Khobbab kepada Aisyah untuk menanyakan ucapan Abu Huroiroh tersebut, kemudian kembali untuk mengabarkan apa yang ia katakan. Maka Ibnu Umar mengambil segenggam pasir masjid dan membolak-balikkannya di tangannya sampai datang utusannya. Setelah datang, maka ia berkata: "'Aisyah berkata: "Benar apa yang dikatakan Abu Huroiroh." Mendengar hal itu, maka Ibnu Umar melemparkan pasir yang ada ditangannya itu ke tanah seraya berkata: "Sungguh kita telah menyia-nyiakan banyak qiroth." Ketika Abu Huroiroh mendengar hal itu, maka ia berkata: "Itu karena aku tidak tersibukkan oleh jual beli di pasar dan juga cocok tanam bibit kurma dari mendengarkan hadits Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Aku hanyalah menetapi majelis Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam untuk mendengarkan kalimat yang beliau ajarkan dan sesuap makanan yang beliau berikan kepadaku." Maka Ibnu 'Umar berkata kepadanya: "Engkau -wahai Abu Huroiroh- adalah orang yang paling menetapi Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dan yang paling mengetahui hadits beliau." (HR. Muslim dan riwayat tambahan dari Bukhori, Ahmad, Thoyalisi, Tirmidzi dengan sanad shohih sebagaimana dalam Ahkamul Jana'iz, hal. 69)
Hukum mengikuti jenazah bagi wanita
Imam An Nawawi rohimahulloh menukilkan kesepakatan ulama bahwasanya mengikuti jenazah tersebut hanyalah wajib atas laki-laki, bukan perempuan. (Syarah Shohih Muslim; Mulakhosh, hal. 46)
Demikian juga keutamaan mengikuti jenazah tersebut di atas hanyalah diperuntukkan bagi muslim laki-laki. Adapun bagi para wanita muslimah, maka terdapat larangan tanzih (hukumnya makruh) dari Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam untuk itu, sehingga amalan tersebut dimakruhkan bagi mereka, sedangkan keutamaan tersebut menunjukkan bahwa amalan tersebut mustahab (lawan dari makruh) dan keduanya tidaklah berkumpul menjadi satu. (Fathul Bari: 3/173; Mulakhosh, hal. 48)
Ummu 'Athiyyah rodhiyallohu 'anha mengatakan:
كنا ننهى -وفي رواية: نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم- عن اتباع الجنائز، ولم يعزم علينا
"Kami dilarang -dalam riwayat: "Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam melarang kami"- untuk mengikuti jenazah dan beliau tidak menekankannya atas kami (tidak seperti perkara harom)." (HR. Bukhori, Muslim, Al Isma'iliy dan selain mereka)
Posisi seseorang ketika mengikuti jenazah
Seseorang dibolehkan untuk mengikuti jenazah, baik dengan berjalan di depannya maupun belakangnya, di sebelah kanannya maupun sebelah kirinya, berdekatan dengan jenazah tersebut. Adapun yang berkendaraan, maka berada di belakangnya, sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam:
الراكب يسير خلف الجنازة، والماشي حيث شاء منها، خلفها وأمامها، وعن يمينها، وعن يسارها، قريبا منها
"Seseorang yang berkendaraan berada di belakang jenazah. Sedangkan yang berjalan kaki, maka sekehendaknya, di belakang atau depannya, di sebelah kanan atau kirinya berdekatan dengan jenazah tersebut." (HR. Abu Dawud, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Baihaqi dan selain mereka, dari Mughiroh bin Syu'bah rodhiyallohu 'anhu).
Berjalan di depan dan di belakang jenazah ketika mengikutinya telah dilakukan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, sebagaimana ucapan Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبا بكر وعمر كانوا يمشون أمام الجنازة وخلفها
"Bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar dahulu berjalan di depan jenazah dan di belakangnya ketika mengikutinya." (HR. Thohawi)
Akan tetapi yang lebih utama adalah berjalan di belakangnya, karena hal ini dipahami dari sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam: "Mengikuti jenazah," sebagaimana dalam hadits hak-hak muslim di atas.
Berkendaraan ketika mengikuti jenazah
Diperbolehkan bagi yang mengikuti jenazah untuk berkendaraan, akan tetapi disyaratkan untuk berjalan di belakangnya, sebagaimana sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dalam hadits Mughiroh bin Syu'bah rodhiyallohu 'anhu di atas:
الراكب يسير خلف الجنازة .. الحديث
"Seseorang yang berkendaraan berada di belakang jenazah…"
Akan tetapi yang lebih utama (afdhol) adalah mengikuti jenazah dengan berjalan kaki, karena itulah yang nampak dari perbuatan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Tidak pernah diriwayatkan bahwa beliau berkendaraan ketika mengikuti jenazah. Bahkan Tsauban rodhiyallohu 'anhu berkata:
إن رسول الله صلى الله عليه وسلم أتي بدابة وهو مع الجنازة فأبى أن يركبها، فلما انصرف أتي بدابة فركب، فقيل له؟ فقال: إن الملائكة كانت تمشي فلم أكن لأركب وهم يمشون، فلما ذهبوا ركبت
"Sesungguhnya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam ketika mengikuti jenazah, didatangkan kepada beliau hewan tunggangan dan beliau menolak untuk menaikinya. Setelah selesai dan didatangkan kembali hewan tunggangannya, lalu beliau menaikinya. Ketika ditanyakan kepada beliau, maka jawab beliau: "Sesungguhnya para malaikat tadi berjalan kaki, maka tidaklah aku menaiki kendaraan sedangkan mereka berjalan kaki. Setelah mereka pergi, barulah aku naik kendaraan." (HR. Abu Dawud, Al Hakim, Baihaqi).
Adapun berkendaraan setelah selesai mengikuti jenazah, maka hal itu dibolehkan tanpa ada masalah, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Tsauban di atas.
Demikian juga pada hadits Jabir bin Samuroh rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menyolati Ibnu Dahdah bersama kami. Dalam riwayat: "Beliau mengikuti jenazah Ibnu Dahdah dengan berjalan kaki." Kemudian setelah itu didatangkan seekor kuda tak berpelana dan diikat oleh seseorang. Lalu beliau menaikinya ketika beranjak pergi. Kuda itu mulai melompat dan berjalan perlahan dan kami mengikuti berjalan di belakang beliau -dalam riwayat: "...di sekitar beliau."- Seorang laki-laki dari kaum itu berkata: "Sesungguhnya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
كم من عذق معلق أو مدلى في الجنة لابن الدحداح
"Betapa banyaknya tandan anggur yang tergantung dan berjuntai di jannah (surga) untuk Ibnu Dahdah." (HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Tirmidzi, Ahmad, Baihaqi dan Thoyalisi)
Mengantar Jenazah Sambil Membaca La Ilaha Ilallah
Sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat apabila mengiringi jenazah menuju ke pemakaman, dengan diiringi bacaan kalimat tahlil (Laa Ilaha Illallah). Bagaimanakah hukum membaca kalimat tersebut?
Tradisi seperti itu sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, dan amalan tersebut tidak dilarang oleh agama, sebab selain mengandung nilai-nilai kebaikan dengan berdzikir kepada Allah Swt perbuatan itu tentu jauh lebih baik dari pada berbicara masalah duniawi dalam suasana berkabung, sebagaimana dijelaskan oleh syekh Muhammad Bin A’lan al-Siddiqi dalam kitabnya al-Futukhat al-Rabbaniyah;
وَقَدْ جَرَّتْ اَلْعَادَةُ فِىْ بَلَدِناَ زَبِيْدٍ بِالْجَهْرِ باِلذِّكْرِ اَماَمَ الْجَناَزَةِ بِمَحْضَرٍ مِنَ اْلعُلَمَاءِ وَاْلفُقَهَاءِ وَالصُّلَحَاءِ وَقَدْ عَمَّتْ اَلْبَلْوَى بِمَا شَاهِدْناَهُ مِنْ اِشْتِغَالٍ غاَلِبٍ الْمُشَيِّعِيْنَ بِالْحَدِيْثِ اَلدُّنْيَوِيِّ وَرُبَّمَا اَدَاهُمْ ذَلِكَ اِلَى الْغِيْبَةِ اَوْ غَيْرِهَا مِنَ اْلكَلاَمِ اَلْمُحَرَّمَةِ فَالَّذِيْ اِخْتَارَهُ اِنَّ شُغْلَ اِسْمَاعِهِمْ بِالذِّكْرِ اَلْمُؤَدِّيْ اِلَى تَرْكِ اْلكَلاَمِ وَتَقْلِيْلِهِ اَوْلَى مِنِ اسْتِرْسَالِهِمْ فِى اْلكَلاَمِ الدُّنْيَوِيِّ اِرْتِكَاباً بِأَخَّفِ الْمَفْسَدَتَيْنِ . كَماَ هُوَ الْقَاعِدَةُ الشَّرْعِيَّةُ وَسَوَاءٌ اَلذِّكْرُ وَالتَّهْلِيْلُ وَغَيْرُهَا مِنْ اَنْوَاعِ الذِّكْرِ وَاللهُ اَعْلَمُ (الفتوحات الربانية على اذكر النواوية ج 4 ص 183)
Telah menjadi tradisi di daerah kami Zabid untuk mengeraskan dzikir di hadapan jenazah (ketika mengantar ke kuburan). Dan itu dilakukan di hadapan para ulama’, ahli fiqih dan orang-orang saleh. Dan sudah menjadi kebiasaan buruk yang telah kita ketahui, bahwa ketika mengantarkan jenazah, orang-orang sibuk dengan perbincangan masalah-masalah duniawi, dan tidak jarang perbincangan itu menjerumuskan mereka ke dalam ghibah atau perkataan lain yang diharamkan. Adapun hal yang terbaik adalah mendengarkan dzikir yang menyebabkan mereka tidak berbicara atau meminimalisir pembicaraan adalah lebih utama dari pada membiarkan mereka bebas membicarakan masalah-masalah duniawi. Ini sesuai dengan prinsip memilih yang lebih kecil mafsadahnya, yang merupakan salah satu kaidah syar’iyah. Tidak ada bedanya apakah yang dibaca itu dzikir, tahlil ataupun yang lainnya, WaAllahu a’lam. (Al-Futukhat al-Rabbaniyah ‘ala Adzkari al-Nabawiyah juz IV, hal. 183).
Dan lebih jelas lagi di terangkan dalam kitab Tanwirul Qulub, bahwa disunnahkan melantunkan ayat-ayat al-Qur’an, membaca dzikir atau membaca shalawat kepada nabi Muhammad Saw., dan dilarang gaduh atau berbincang-bincang tentang perkara yang tidak berguna:
وَيُسَنُّ الْمَشْيُ اَمَامَهَا وَقُرْبَهَا وَاْلاِسْرَاعُ بِهَا وَالتَّفَكُّرُ فِى الْمَوْتِ وَماَبَعْدَهُ . وَكُرِهَ اللُّغَطُ وَالْحَدِيْثُ فِيْ اُمُوْرِ الدُّنْيَا وَرَفْعِ الصَّوْتِ اِلاَّ بِالْقُرْأَنِ وَالذِّكْرِ وَالصَّلاَتِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلاَ بَأْْسَ بِهِ اْلاَنَ لِأَنَّهُ شِعَارٌ لِلْمَيِّتِ. ( تنوير القلوب ص 213 )
Para pengantar jenazah yang berjalan kaki disunnahkan berjalan di depan keranda atau di dekatnya sambil berjalan cepat dan berfikir tentang dan sesudah mati. Tetapi tidak disunnahkan bagi para pengantar jenazah untuk gaduh, bercakap-cakap urusan dunia, apalagi dengan suara keras, kecuali melantunkan ayat-ayat al-Qur’an, membaca dzikir, atau shalawat kepada nabi karena hal ini menambah syi’ar bagi si mayit. (Tanwir al-Qulub halaman 213)
Sedangkan Dzikir yang paling baik dibaca adalah kalimat La Ilaha Ilallah. Di dalam kitab Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal disebutkan:
عن ابن عمر رضي الله عنه, قَالَ لَمْ نَكُنْ نَسْمَعُ مِنْ رَسُوْلِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَهُوَ يَمْشِي خَلْفَ الْجَنَازَةِ, إِلَّا قَوْلُ: لَا إِلَهَ إِلَّا الله, مُبْدِيًّا, وَرَاجِعًا. أخرجه ابن عدى في الكامل. (نصب الراية في تخريج أحاديث الهداية, 2/ 212)
Dari Ibn Umar RA ia berkata, “Kami Tidak pernah terdengar dari Rasulullah SAW ketika beliau mengantarkan jenazah kecuali ucapan: La Ilaaha Illallah, pada waktu berangkat dan pulangnya” (Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal, juz II, hal. 572).
Hadits ini tidak memberikan penjelasan apakah Nabi Muhammad SAW membaca kalimat tahlil itu pelan atau dikeraskan. Namun kalau sahabat mendengar dzikir yang beliau baca, sudah tentu Nabi Muhammad SAW melafalkannya dengan keras, bukan sekedar berbisik.
Dapat disimpulkan bahwa membaca dzikir ketika mengiringi jenazah merupakan perbuatan yang dianjurkan. Dan yang lebih utama diucapkan adalah bacaan La Ilaha Ilallah.
Janganlah menyelisihi syariat!
Ketika mengikuti jenazah, dilarang untuk melakukan perkara-perkara yang menyelisihi syariat, baik berupa kemaksiatan, kebid'ahan maupun penyerupaan terhadap kaum kafir.
Selayang pandang tentang larangan menyerupai kaum kafir
Menyerupai dan mengekor terhadap kaum kafir merupakan perkara yang dilarang dalam syariat Islam, sedangkan menyelisihi mereka merupakan perkara yang disyariatkan dan diperintahkan, baik yang berkaitan dengan peribadatan-peribadatan, pakaian-pakaian maupun adat-istiadat khas mereka.
Alloh ta'ala berfirman:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
"Kemudian Kami jadikan engkau -wahai Rosul- di atas manhaj (metode) agama yang jelas, maka ikutilah syariat yang telah dijadikan bagimu itu dan janganlah engkau mengikuti hawa-hawa nafsu orang-orang yang jahil terhadap syariat Alloh serta tidak mengetahui al haq." (Tafsir Muyassar QS. Al Jatsiyah: 18)
Dalam ayat ini terdapat petunjuk yang agung tentang kesempurnaan agama ini serta kemuliaannya serta wajibnya untuk taat terhadap hukum-hukumnya dan tidak condong mengikuti hawa nafsu kaum kafir serta menyimpang.
Syaikhul Islam rohimahulloh berkata: "Masuk di dalam golongan orang-orang yang tidak mengetahui (jahil) terhadap syariat Alloh dan al haq -dalam ayat tersebut- adalah setiap orang yang menyelisihi syariat-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan hawa-hawa nafsu mereka adalah apa yang mereka cenderungi dan sukai serta apa yang diperbuat oleh kaum musyrikin dari jalan mereka yang nampak, yang termasuk ajaran agama mereka yang batil serta perkara-perkara yang mengikutinya. Perbuatan menyerupai hal-hal itu termasuk mengikuti hawa-hawa nafsu mereka. Oleh karena itu, kaum kafir merasa senang dengan penyerupaan kaum muslimin dalam beberapa perkara mereka serta mereka bergembira dan menginginkan sekiranya mereka bisa menggunakan biaya yang besar demi terwujudnya hal itu." (Al Iqtidho', hal. 8 sebagaimana dalam Jilbab, hal. 162)
Alloh ta'ala berfirman:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
"Bukankah telah tiba waktunya bagi orang-orang yang membenarkan Alloh dan Rosul-Nya serta mengikuti petunjuk-Nya untuk melunakkan hati-hati mereka ketika mengingat Alloh (berdzikir) dan mendengarkan Al Quran. Janganlah mereka keras hatinya seperti orang-orang yang diberi al kitab sebelum mereka (Yahudi dan Nasrani) yang telah berlalu atas mereka zaman yang panjang dan mereka mengubah-ubah firman Alloh, sehingga keraslah hati mereka dan kebanyakan dari mereka telah keluar dari ketaatan kepada Alloh." (Tafsir Muyassar QS. Al Hadid: 16)
Dalam ayat ini terdapat himbauan untuk melembutkan hati dan khusyu' kepada Allohsubhanahu wa ta'ala ketika mendengarkan apa yang telah diturunkan oleh-Nya berupa Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah) serta peringatan dari sikap menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani dalam kekerasan hati mereka dan keluarnya mereka dari ketaatan kepada Alloh ta'ala.
Syaikhul Islam rohimahulloh berkata: "(Dalam ayat ini terdapat) larangan mutlak untuk menyerupai mereka secara umum dan terdapat larangan khusus untuk menyerupai mereka dalam kekerasan hati. Kekerasan hati tersebut merupakan buah dari perbuatan-perbuatan kemaksiatan." (Al Iqtidho', hal. 43, sebagaimana dalam Jilbab, hal. 163)
Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: "Oleh karena itu, Alloh melarang kaum mukminin untuk menyerupai mereka pada segala perkara mereka, baik yang pokok maupun yang cabang." (Tafsir Ibnu Katsir pada ayat tersebut)
Dari beberapa ayat tersebut telah nampak bahwa meninggalkan jalan atau petunjuk kaum kafir dan menyerupai mereka dalam perbuatan-perbuatan, ucapan-ucapan dan hawa-hawa nafsu mereka merupakan salah satu tujuan pokok diturunkannya Al Quran Al Karim. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hal tersebut secara terperinci kepada umat beliau serta mewujudkannya pada banyak hal dari praktek-praktek syariat dalam kehidupan. Sampai-sampai hal ini diketahui oleh kaum Yahudi yang ketika itu berada di Madinah dan mereka merasakan bahwasanya beliau shollallohu 'alaihi wa sallam menginginkan untuk menyelisihi mereka di segala perkara khas mereka, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu:
إن اليهود كانوا إذا حاضت المرأة فيهم لم يؤاكلوها ولم يجامعوها في البيوت، فسأل أصحاب النبي -صلى الله عليه وسلم- النبي -صلى الله عليه وسلم-، فأنزل الله تعالى: {وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ} إلى آخر الآية، فقال رسول الله -صلى الله عليه وسلم: (اصنعوا كل شيء إلا النكاح)، فبلغ ذلك اليهود فقالوا: ما يريد هذا الرجل أن يدع من أمرنا شيئًا إلا خالفنا فيه
"Sesungguhnya orang Yahudi itu jika istrinya sedang haid, tidak mau makan bersamanya dan tidak menempatkannya di rumah-rumah. Lalu para sahabat Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bertanya kepada beliau tentang hal itu. Maka turunlah firman Alloh:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid -yaitu darah yang biasa mengalir dari rahim wanita pada waktu-waktu tertentu-. Katakanlah kepada mereka -wahai Nabi-: "Itu adalah kotoran yang membahayakan bagi siapa yang mendekatinya, maka jauhilah menyetubuhi wanita selama masa haidnya sampai berhentinya darah tersebut. Setelah darah haid berhenti dan mandi besar, maka pergaulilah mereka di tempat yang telah dihalalkan Alloh untuk kalian -yaitu qubul bukan dubur-. Sesungguhnya Alloh mencintai hamba-hamba-Nya yang banyak beristighfar dan bertaubat serta mencintai mereka yang mensucikan diri dengan menjauhi perbuatan-perbuatan keji dan kotor." (Tafsir Muyassar QS. Al Baqoroh: 222)
Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
اصنعوا كل شيء إلا النكاح
"Lakukanlah apa saja padanya, kecuali nikah (jima')."
Ketika ucapan beliau tersebut sampai kepada orang-orang Yahudi, maka mereka mengatakan: "Orang ini tidaklah ingin membiarkan apapun dari urusan kita, melainkan ia menyelisihi kita di dalamnya." (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan betapa banyaknya apa yang disyariatkan Alloh kepada Nabi-Nya berupa penyelisihan terhadap kaum Yahudi, bahkan penyelisihan terhadap segala perkara khas mereka, sebagaimana komentar mereka dalam hadits tersebut.
Kemudian, penyelisihan terhadap kaum kafir tersebut terkadang terdapat pada asal hukum perbuatannya dan terkadang pada sifat perbuatan tersebut. Seperti perbuatan menjauhi wanita haid, maka hal ini bukan menyelisihi mereka dalam asal hukumnya, akan tetapi hanya pada sifatnya, yaitu Alloh ta'ala mensyariatkan atau membolehkan untuk mendekati istri yang sedang haid selain pada tempat keluarnya darah haid. Hal ini dapat menimbulkan kebencian Yahudi yang sangat…" (Al Iqtidho', sebagaimana dalam Jilbab, hal. 166)
Adapun dalam as sunnah yang menunjukkan larangan penyerupaan (tasyabbuh) terhadap kaum kafir, diantaranya adalah pada hadits Abdulloh bin Umar rodhiyallohu 'anhuma, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
بعثت بين يدي الساعة بالسيف حتى يعبدَ الله وحده لا شريك له، وجعل رزقي تحت ظل رمحي وجعل الذلة والصغار على من خالف أمري ومن تشبه بقوم فهو منهم
"Aku telah diutus menjelang hari kiamat dengan pedang, sampai Allohlah satu-satunya yang disembah dan tidak dipersekutukan dengan apapun. Dia telah menjadikan rezkiku berada di bawah bayangan tombakku serta menjadikan kehinaan itu atas siapa yang menyelisihi perintahku. Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka." (HR. Ahmad).
Menyelisihi kaum kafir dan tidak menyerupai mereka merupakan salah satu dari tujuan syariat Islam yang tinggi. Wajib atas setiap muslim -baik laki-laki maupun perempuan- untuk memperhatikan hal tersebut pada segala urusannya, termasuk pada perkara penyelenggaraan jenazah ini.
Sebagian manusia menyangka bahwa penyelisihan ini hanyalah perkara peribadatan semata tanpa dipahami makna atau hikmah yang terkandung padanya. Hikmah dan maknanya sangatlah jelas. Telah ditetapkan oleh para ulama peneliti bahwasanya di sana terdapat keterikatan yang kuat antara sesuatu yang nampak dan yang bersifat batin (tidak nampak). Keduanya saling mempengaruhi satu sama lainnya. Jika salah satunya baik, maka baiklah yang lainnya dan sebaliknya jika jelek, maka jelek pulalah selainnya. Meskipun hal itu terkadang tidak dirasakan oleh seseorang pada dirinya sendiri, akan tetapi dapat terlihat pada selainnya. (Jilbab, hal. 207)
Hukum bersuara keras dan membawa api
Diantara perkara yang dilarang ketika mengantar jenazah adalah seperti menangis dengan suara keras, membawa dupa wangi atau bakar-bakar sesuatu dan sebagainya. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
لا تتبع الجنازة بصوت ولا نار
"Janganlah kalian mengikuti jenazah dengan suara keras dan membawa api." (HR. Abu Dawud, Ahmad. Pada sanadnya terdapat kelemahan, akan tetapi dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain dan atsar-atsar mauquf dari beberapa shohabat)
Riwayat-riwayat penguat hadits tersebut diriwayatkan dari Jabir dari Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau melarang mengikuti mayit dengan suara keras dan api. (HR. Abu Ya'la)
Ibnu Abdil Barr rohimahulloh berkata: "Aku tidak mengetahui atau menemui para ulama berselisih pendapat akan dibencinya perkara ini." (Al Istidzkar: 3/24)
Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata: "Dibenci mengiringi jenazah dengan membawa api." (Al Mughni: 2/360, no. 1540)
Ibnul Mundzir rohimahulloh berkata: "Hal itu dibenci oleh semua ulama yang telah kami hafal pendapat-pendapat mereka." Lalu beliau berkata: "Jika jenazah dikuburkan malam hari dan memerlukan pencahayaan, maka hal itu tidak apa-apa. Membawa api yang berasap itu ketika mengiring jenazah tanpa keperluan (hajah), merupakan perbuatan kaum jahiliyah." ('Aunul Ma'bud Syarh Sunan Abi Dawud, hadits no. 3169)
Hukum berdiri untuk jenazah
Berdiri untuk menyambut jenazah telah dihapus pensyariatannya. Sikap berdiri tersebut ada dua macam:
Pertama: Berdirinya seseorang yang pada mulanya duduk ketika lewatnya jenazah.
Kedua: Berdirinya pengiring jenazah ketika telah sampai di pemakaman dan tidak duduk sampai jenazah diletakkan di tanah.
Keduanya telah dihapuskan sunnahnya, berdasarkan hadits Ali rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya beliau berkata:
قام رسول الله صلى الله عليه وسلم للجنازة فقمنا، ثم جلس فجلسنا
"Dahulunya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berdiri untuk jenazah, maka kami pun berdiri untuknya. Kemudian setelahnya beliau duduk (tidak berdiri untuk jenazah) dan kami pun ikut duduk." (HR. Muslim dan selainnya)
Dalam lafal lainnya beliau berkata:
كان يقوم في الجنائز، ثم جلس بعد
"Dahulu beliau shollallohu 'alaihi wa sallam berdiri untuk jenazah, kemudian setelah itu beliau duduk (tidak berdiri untuknya)." (HR. Abu Dawud dan selainnya)
Dalam riwayat lainnya, beliau berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أمرنا بالقيام في الجنازة، ثم جلس بعد ذلك، وأمرنا بالجلوس
"Dahulu Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk berdiri ketika ada jenazah. Kemudian beliau duduk setelah itu dan memerintahkan kami untuk duduk." (HR. Asy Syafi'i, Ahmad dan Ath Thohawi)
Dalam riwayat Ibnu Hibban dan Baihaqi, beliau berkata:
قام رسول الله صلى الله عليه وسلم مع الجنائز حتى توضع، وقام الناس معه، ثم قعد بعد ذلك، وأمر هم بالقعود
"Dahulu Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berdiri bersamaan dengan jenazah sampai diletakkan dan manusia ikut berdiri bersama beliau. Kemudian beliau duduk setelah itu dan memerintahkan untuk duduk."
Dalam riwayat Isma'il bin Mas'ud bin Al Hakam Az Zuroqi dari ayahnya, bahwasanya dia berkata:
شهدت جنازة بالعراق، فرأيت رجالا قياما ينتظرون أن توضع، ورأيت علي بن أبي طالب رضي الله عنه يشير إليهم أن اجلسوا، فإن النبي صلى الله عليه وسلم قد أمرنا بالجلوس بعد القيام
"Ketika aku menyaksikan jenazah di Irak, aku melihat orang-orang berdiri menunggu jenazah itu diletakkan. Aku melihat Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu 'anhu mengisyaratkan kepada mereka untuk duduk. Sesungguhnya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kita untuk duduk setelah sebelumnya berdiri." (HR. Ath Thohawi)
Hukum mengirim atau memindahkan jenazah ke daerah atau negeri lain
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah memindahkan atau mengangkut jenazah sebelum dikuburkan ke daerah atau negeri lain.
Pendapat pertama, bahwasanya hal itu makruh (pendapat 'Aisyah dengan sanad yang terdapat kelemahan di dalamnya, Al 'Auza'i, Ibnul Mundzir dan sebagian Syafi'iyah, juga pendapat Muhammad bin Hasan dari Hanafiyah jika jaraknya lebih dari satu atau dua mil) atau harom (pendapat An Nawawi dan sebagian Syafi'iyah). Mereka mengatakan bahwa syariat memerintahkan kita untuk mempercepat penguburan. Sedangkan memindahkan ke daerah lain dapat memperlambat proses tersebut dan manfaatnya tidak begitu besar, sehingga hukumnya makruh. Demikian juga memindahkannya ke daerah lain akan beresiko berubah atau rusaknya jasad mayit, sedangkan segera menguburkannya di tempat meninggalnya dapat terhindarkan dari hal itu dan juga memperkecil biayanya.
Pendapat kedua, bahwasanya hal itu boleh, akan tetapi harus terhindarkan dari kerusakan jasad mayit, mengandung kemaslahatan atau dengan tujuan yang dibenarkan (pendapat sebagian besar Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah). Sebagian Syafi'iyah membolehkan jika dipindah ke tempat yang lebih afdhol dan dekat, seperti dekat Mekkah, Madinah atau Baitul Maqdis. Menurut Malikiyah juga, dibolehkan jika untuk dikuburkan di dekat keluarga dan kerabatnya. Mereka mengatakan bahwa hukum asal memindahkan jenazah ke daerah lain itu tidak dilarang. Tidak ada dalil shohih yang melarang hal itu. (Fathul 'Allam: 2/334-335; Miskul Khitam: 2/224; Ahkamul Maqobir, hal. 246-250)
Kesimpulan dari masalah ini, bahwasanya hukum memindahkan jenazah untuk dikuburkan ke daerah lain tersebut sesuai dengan keadaan dan tempatnya. Hukumnya harom, jika hal itu menyebabkan rusak atau berubahnya jasad mayit, meskipun dia telah berwasiat untuk itu. Hukumnya wajib, jika pada kondisi darurat, seperti meninggal di daerah musuh dan kemungkinan untuk dirusak jasadnya oleh mereka. Hukumnya boleh, jika di sana terdapat tujuan yang dibenarkan dan adanya maslahat untuk itu serta tidak terjatuh pada hal terlarang dan tidak memberatkan yang hidup atau walinya. Sebaliknya, jika tidak ada hajah atau tujuan yang dibenarkan dan tidak adanya maslahat serta jika hal itu memberatkan bagi siapa yang mengurusinya, maka hendaknya dikuburkan dimana ia meninggal, tidak dibawa ke daerah lain, dikarenakan yang demikian itu akan menunda waktu proses penguburan jenazah yang hal ini bertentangan dengan perintah syariat untuk menyegerakan penguburan jenazah sebagaimana yang telah diterangkan di atas.Wallohu a'lam. (Miskul Khitam: 2/224; Ahkamul Maqobir, hal. 251)
Memindahkan jenazah muslim yang meninggal di negeri kafir untuk dikuburkan di negeri Islam diperbolehkan oleh para ulama.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar