Translate

Kamis, 20 Oktober 2016

Penjelasan Hukum Ngupati Dan Tingkeban

Kehamilan adalah hal yang paling membahagiakan bagi pasangan suami - istri, apalagi bagi pasangan yang baru menikah dan sangat menginginkan segera mempunyai momongan, Masa kehamilan normal seorang Ibu adalah 9 bulan sejak awal kehamilan, bagi Ibu hamil senantiasa dianjurkan oleh para ahli kesehatan untuk senantiasa memenuhi kebutuhan nutrisi demi memenuhi kebutuhan gizi bagi tubuh sang Ibu dan calon Bayi dalam rahimnya, selain kebuthan jasmani, seorang Ibu hamil juga dianjukan untuk banyak melakukan kegiatan keagamaan dalam rangka memenuhi kebutuhan rohani serta sebagai bentuk doa dan harapan bagi kebaikan Ibu dan calon sang Buah Hati.

Dalam tradisi masyarakat Indonesia, masa kehamilan seorang Ibu sering diikuti oleh acara syukuran / perayaan masa kehamilan, perayaan yang sering dilakukan dalam tradisi masyarakat indonesia diantaranya tradisi 3 bulanan, 4 bulanan dan 7 bulanan masa kehamilan. Dalam melaksanakan tradisi / syukuran tersebut sering diisi dengan berbagai kegiatan diantaranya doa, sholawatan, dan membaca ayat-ayat Al Qur'an. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan sebagai rasa syukur terhadap Allah SWT, serta memohonkan kebaikan terhadap Ibu dan Calon Bayi.

Apakah Hukum Merayakan Syukuran tersebut diperbolehkan? sebenarnya dalam agama Islam tidak ada dasar yang mensyariatkan acara peringatan tersebut, namun dalam fikih disebutkan bahwa selama acara kegiatan tersebut mengandung unsur-unsur kebaikan diantaranya shodaqoh, sholawat dan qiratu Qur'an maka diperbolehkan. Namun kegiatan yang mengandung unsur yang melenceng seperti mandi kembang, memecahkan kendi tidak dibolehkan/tidak dianjurkan.

Ngapati atau Ngupati adalah upacara selamatan ketika kehamilan menginjak pada usia 4 bulan. Sedangkan mitoni atau tingkepan (melet kandung) adalah upacara selamatan ketika kandungan berusia 7 bulan. Upacara selamatan tersebut dilakukan dengan tujuan agar janin yang ada dalam kandungan nantinya lahir dalam keadaan sehat, wal afiyat serta menjadi anak yang saleh. Penentuan bulan keempat tersebut, mengingat pada saat itu adalah waktu ditiupnya ruh oleh Malaikat kepada si janin di dalam kandungan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih. Sedangkan penetapan bulan ketujuh sebagai selamatan kedua, karena pada masa tersebut si janin telah memasuki masa-masa siap untuk dilahirkan. 

Dalam al-Qur’an al-Karim difirmankan:

 هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ

Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". (QS al-A’raf : 189).

Dalam ayat di atas, diisyaratkan tentang pentingnya berdoa ketika janin telah memasuki masa-masa memberatkan kepada seorang ibu.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُوْنُ فِى ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحُ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعَ كَلِمَاتٍ بَكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ

“Sesungguhnya penciptaan salah seorang di antara kalian dihimpun di dalam perut ibunya selama empat puluh hari berupa air mani, kemudian menjadi segumpal darah dalam waktu sama, kemudian menjadi segumpal daging juga dalam waktu yang sama. Setelah itu, malaikat diutus untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diperintahkan untuk mencatat empat perkara: mencatat rezekinya, ajalnya, perbuatannya, dan celaka ataukah bahagia. (HR. Bukhari dan Muslim)

Kehamilan adalah periode yang didambakan oleh seorang istri di dalam berumahtangga (pasca menikah). Karena proses kehamilan merupakan fase yang harus dilalui untuk menghadirkan anak di dalam keluarga. Di atas telah disebutkan hadits-nya tentang proses janin di dalam perut ibu hamil sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.

Hadits tersebut di atas menjelaskan proses kejadian manusia:

• 40 hari pertama berupa nutfah atau cairan kental,
• 40 hari kedua menjadi ‘alaqah atau segumpal daging,
• 40 hari ketiga menjadi mudhghah atau segumpal daging.

Proses di atas apabila dihitung berdasarkan bulan sama dengan 4 bulan atau 120 hari. Dan pada bulan ke-4 seperti itu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus malaikat guna meniupkan ruh ke dalam janin yang terdapat di rahim ibunya. Dan momen ini seringkali diperingati oleh masyarakat Islam dengan sebutan 4 bulanan.

Al-Qur’an al-Karim menganjurkan kita agar selalu mendoakan anak cucu kita, kendatipun mereka belum lahir. Dalam al-Qur’an dikisahkan tentang Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang mendoakan anak cucunya yang masih belum lahir:

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ. (البقرة: ١٢٨)

“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau.” (QS. al-Baqarah : 128).

Al-Qur’an juga menganjurkan kita agar selalu berdoa:

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا. (الفرقان: ٧٤)

“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Furqan : 74).

Di sisi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mendoakan janin sebagian sahabat beliau. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih berikut ini:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ ابْنٌ لِأَبِي طَلْحَةَ يَشْتَكِي فَخَرَجَ أَبُو طَلْحَةَ فَقُبِضَ الصَّبِيُّ فَلَمَّا رَجَعَ أَبُو طَلْحَةَ قَالَ مَا فَعَلَ ابْنِي قَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ هُوَ أَسْكَنُ مَا كَانَ فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ الْعَشَاءَ فَتَعَشَّى ثُمَّ أَصَابَ مِنْهَا فَلَمَّا فَرَغَ قَالَتْ وَارُوا الصَّبِيَّ فَلَمَّا أَصْبَحَ أَبُو طَلْحَةَ أَتَى رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ أَعْرَسْتُمْ اللَّيْلَةَ قَالَ نَعَمْ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمَا فَوَلَدَتْ غُلَامًا. (رواه البخاري ومسلم)

“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Abu Tholhah memiliki seorang anak laki-laki yang sedang sakit. Kemudian ia pergi meninggalkan keluarganya. Kemudian anak kecil itu meninggal dunia. Setelah Abu Tholhah pulang, beliau bertanya kepada isterinya, Ummu Sulaim, “Bagaimana keadaan anak kita?” Ummu Sulaim menjawab, “Dia sekarang dalam kondisi tenang sekali.” Kemudian Ummu Sulaim menyiapkan makanan malam, sehingga Abu Tholhah pun makan malam. Selesai makan malam, keduanya melakukan hubungan layaknya suami isteri. Setelah selesai, Ummu Sulaim menyuruh orang-orang agar mengubur anak laki-lakinya itu. Pagi harinya, Abu Tholhah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan kejadian malam harinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Tadi malam kalian tidur bersama?” Abu Tholhah menjawab, “Ya.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa, “Ya Allah, berkahilah keduanya.” Lalu Ummu Sulaim melahirkan anak laki-laki.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Di sisi lain, ketika seseorang di antara kita memiliki bayi dalam kandungan, tentu kita mendambakan agar buah hati kita lahir ke dunia dalam keadaan sempurna, selamat, sehat wal afiyat dan menjadi anak yang saleh sesuai dengan harapan keluarga dan agama. Para ulama menganjurkan agar kita selalu bersedekah ketika mempunyai hajat yang kita inginkan tercapai. Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh al-Nawawi –seorang ulama ahli hadits dan fiqih madzhab al-Syafi’i-, berkata:

يُسْتَحَبُّ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِشَيْءٍ أَمَامَ الْحَاجَاتِ مُطْلَقًا. (المجموع شرح المهذب ٤/٢٦٩). وَقَالَ أَصْحَابُنَا: يُسْتَحَبُّ اْلإِكْثَارُ مِنَ الصَّدَقَةِ عِنْدَ اْلأُمُوْرِ الْمُهِمَّةِ. (المجموع شرح المهذب ٦/٢٣٣).

“Disunnahkan bersedekah sekedarnya ketika mempunyai hajat apapun. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 4, hal. 269). Para ulama kami berkata, “Disunnahkan memperbanyak sedekah ketika menghadapi urusan-urusan yang penting.” (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 6, hal. 233).

Bersedekah pada masa-masa kehamilan, juga dilakukan oleh keluarga al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab al-Hanbali, yang diikuti oleh Syaikh Ibn Taimiyah dan menjadi madzhab resmi kaum Wahhabi di Saudi Arabia. Al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jauzi al-Hanbali menyampaikan dalam kitabnya, Manaqib al-Imam Ahmad bin Hanbal, riwayat berikut ini:

“Imam al-Khallal berkata, “Kami menerima kabar dari Muhammad bin Ali bin Bahar, berkata, “Aku mendengar Husnu, Ibu yang melahirkan anak-anak al-Imam Ahmad bin Hanbal, berkata, “Aku berkata kepada tuanku (Ahmad bin Hanbal), “Tuanku, bagaimana kalau gelang kaki satu-satunya milikku ini aku sedekahkan?” Ahmad menjawab, “Kamu rela melepasnya?” Aku menjawab, “Ya.” Ahmad berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberimu pertolongan untuk melakukannya.” Husnu berkata, “Lalu gelang kaki itu aku serahkan kepada Abu al-Hasan bin Shalih dan dijualnya seharga 8 dinar setengah. Lalu uang itu ia bagi-bagikan kepada orang-orang pada saat kehamilanku. Setelah aku melahirkan Hasan, tuanku memberi hadiah uang 1 Dirham kepada Karramah, wanita tua yang menjadi pelayan kami.” (al-Imam Ibn al-Jauzi, Manaqib al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 406-407).

Dari paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa upacara selamatan pada masa-masa kehamilan seperti ngapati ketika kandungan berusia 4 bulan atau tingkepan ketika kandungan berusia 7 bulan, tidak dilarang oleh agama, bahkan substansinya dianjurkan dan pernah dilakukan oleh keluarga al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali, madzhab resmi kaum Wahhabi di Saudi Arabia.

Tradisi yang tidak dilarang di dalam agama diakui di dalam al-Qur’an sebagai bagian dari ajaran agama. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (الأعراف: 199)

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”. (QS. al-A’raf : 199).

Dalam ayat di atas Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar menyuruh umatnya mengerjakan yang ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik. Al-Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani, seorang ulama Ahlussunnah terkemuka berkata:

والعرف ما يعرفه الناس ويتعارفونه فيما بينهم

Makna ‘uruf dalam ayat di atas adalah sesuatu yang dikenal oleh manusia dan mereka jadikan tradisi di antara mereka. (Qawathi’ al-Adillah, juz 1 hlm 29, Daral-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999).

Syaikh Wahbah al-Zuhaili berkata:

وَالْوَاقِعُ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْعُرْفِ فِي اْلآَيَةِ هُوَ الْمَعْنَى اللُّغَوِيُّ وَهُوَ اْلأَمْرُ الْمُسْتَحْسَنُ الْمَعْرُوْفُ

“Yang realistis, maksud dari ‘uruf dalam ayat di atas adalah arti secara bahasa, yaitu tradisi baik yang telah dikenal masyarakat.” (Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, 2/836).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ وَمَرْوَانَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَسْأَلُونِي خُطَّةً يُعَظِّمُونَ فِيهَا حُرُمَاتِ اللهِ إِلاَّ أَعْطَيْتُهُمْ إِيَّاهَا. رواه البخاري

“Dari Miswar bin Makhramah dan Marwan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada pada kekuasaan-Nya, mereka (kaum Musyrik) tidaklah meminta suatu kebiasaan (adat), dimana mereka mengagungkan hak-hak Allah, kecuali aku kabulkan permintaan mereka.” (HR. al-Bukhari [2581]).

Dalam riwayat lain disebutkan:

أَمَّا وَاللهِ لاَ يَدْعُونِي الْيَوْمَ إِلَى خُطَّةٍ ، يُعَظِّمُونَ فِيهَا حُرْمَةً ، وَلاَ يَدْعُونِي فِيهَا إِلَى صِلَةٍ إِلاَّ أَجَبْتُهُمْ إِلَيْهَا. رواه ابن أبي شيبة

“Ingatlah, demi Allah, mereka (orang-orang musyrik) tidak mengajakku pada hari ini terhadap suatu kebiasaan, dimana mereka mengagungkan hak-hak Allah, dan tidak mengajukku suatu hubungan, kecuali aku kabulkan ajakan mereka.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, [36855]).

Hadits di atas memberikan penegasan, bahwa Islam akan selalu menerima ajakan kaum Musrik pada suatu tradisi yang membawa pada pengagungan hak-hak Allah dan ikatan silaturrahmi. Hal ini membuktikan bahwa Islam tidak anti tradisi.”

Perhatian Islam terhadap tradisi juga ditegaskan oleh para sahabat, antara lain Abdullah bin Mas’ud yang berkata:

قال عبد الله بن مسعود : مَا رَآَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآَهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئاً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّءٌ. رواه أحمد وأبو يعلى والحاكم

"Abdullah bin Mas’ud berkata: “Tradisi yang dianggap baik oleh umat Islam, adalah baik pula menurut Allah. Tradisi yang dianggap jelek oleh umat Islam, maka jelek pula menurut Allah.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan al-Hakim).”


Anjuran melakukan kebajikan seperti beribadah dan bersedekah bagi seorang yang hamil dan tidak hamil, memang benar. Baik kebajikan tersebut dilakukan secara terus menerus, maupun dilakukan dalam waktu tertentu seperti ketika pada masa 4 dan 7 bulanan. Demikian ini didasarkan pada dalil berikut ini:

Hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا وَكَانَ عَبْدُ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَفْعَلُهُ. رواه البخاري

“Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendatangi Masjid Quba’ setap hari sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendaraan.” Abdullah bin Umar juga selalu melakukannya. (HR. al-Bukhari, [1193]).

Hadits di atas menjadi dalil bolehnya menetapkan waktu-waktu tertentu secara rutin untuk melakukan ibadah dan kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan hari Sabtu sebagai hari kunjungan beliau ke Masjid Quba’. Beliau melakukan hal tersebut, bukan karena hari Sabtu memiliki keutamaan tertentu dibandingkan dengan hari-hari yang lain. Berarti menetapkan waktu tertentu untuk kebaikan, hukumnya boleh berdasarkan hadits tersebut. Karena itu al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

وَفِيْ هَذَا الْحَدِيْثِ عَلىَ اخْتِلاَفِ طُرُقِهِ دَلاَلَةٌ عَلىَ جَوَازِ تَخْصِيْصِ بَعْضِ اْلأَيَّامِ بِبَعْضِ اْلأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَالْمُدَاوَمَةِ عَلىَ ذَلِكَ

“Hadits ini, dengan jalur-jalurnya yang berbeda, mengandung dalil bolehnya menentukan sebagian hari, dengan sebagian amal saleh dan melakukannya secara rutin.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 3 hlm 69).

Hadits Sayidina Bilal radhiyallahu ‘anhu

وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ: «يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِيْ بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّيْ سَمِعْتُ دُفَّ نَعْلَيْكَ فِي الْجَنَّةِ» قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِيْ مِنْ أَنِّيْ لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُوْرًا فِيْ سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطَّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِيْ. وَفِيْ رِوَايَةٍ : قَالَ لِبِلاَلٍ: «بِمَ سَبَقْتَنِيْ إِلَى الْجَنَّةِ؟ قَالَ: مَا أَذَّنْتُ قَطُّ إِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَمَا أَصَابَنِيْ حَدَثٌ قَطُّ إِلاَّ تَوَضَّأْتُ وَرَأَيْتُ أَنَّ للهِ عَلَيَّ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «بِهِمَا» أَيْ نِلْتَ تِلْكَ الْمَنْزِلَةَ». رواه البخاري ومسلم.

“Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Bilal ketika shalat fajar: “Hai Bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam Islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu di surga?”. Ia menjawab: “Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum pernah berwudhu’, baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkannya dengan shalat sunat dua rakaat yang aku tentukan waktunya.” Dalam riwayat lain, beliau SAW berkata kepada Bilal: “Dengan apa kamu mendahuluiku ke surga?” Ia menjawab: “Aku belum pernah adzan kecuali aku shalat sunnat dua rakaat setelahnya. Dan aku belum pernah hadats, kecuali aku berwudhu setelahnya dan harus aku teruskan dengan shalat sunat dua rakaat karena Allah”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Dengan dua kebaikan itu, kamu meraih derajat itu”.(HR. al-Bukhari (1149), Muslim (6274)).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam belum pernah menyuruh atau mengerjakan shalat dua rakaat setiap selesai berwudhu atau setiap selesai adzan, akan tetapi Bilal melakukannya atas ijtihadnya sendiri, tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkannya, bahkan memberinya kabar gembira tentang derajatnya di surga, sehingga shalat dua rakaat setiap selesai wudhu menjadi sunnat bagi seluruh umat. Dengan demikian, berarti menetapkan waktu ibadah berdasarkan ijtihad hukumnya boleh.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata ketika mengomentari hadits tersebut:

وَيُسْتَفَادُ مِنْهُ جَوَازُ اْلاِجْتِهَادِ فِيْ تَوْقِيْتِ الْعِبَادَةِ لأَنَّ بِلاَلاً تَوَصَّلَ إِلىَ مَا ذَكَرْنَا بِاْلاِسْتِنْبَاطِ فَصَوَّبَهُ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Dari hadits tersebut dapat diambil faedah, bolehnya berijtihad dalam menetapkan waktu ibadah. Karena sahabat Bilal mencapai derajat yang telah disebutkan berdasarkan istinbath (ijtihad), lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkannya.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 3 hlm 34).

Hadits Ziarah Tahunan

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِيْ قُبُوْرَ الشُّهَدَاءِ عَلىَ رَأْسِ كُلِّ حَوْلٍ فَيَقُوْلُ:"اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ"، وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ. (رواه ابن جرير في تفسيره).

“Muhammad bin Ibrahim berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendatangi makam para syuhada’ setiap tahun, lalu berkata: “Salam sejahtera semoga buat kalian sebab kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” Hal ini juga dilakukan oleh Abu Bakar, Umar dan Utsman. (HR. al-Thabari dalam Tafsir-nya [20345], dan Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya juz 4 hlm 453).

Hadits di atas juga disebutkan oleh Jalaluddin as-Suyuthi dalam Syarh al-Shudur hlm 185, dan ditentukan bahwa makam Syuhada yang diziarahi setiap tahun oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Syuhada peperangan Uhud. Hadits ini dapat dijadikan dalil, tentang tradisi haul kematian setiap tahun.

Atsar Sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ كَانَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُوْرُ قَبْرَ حَمْزَةَ كُلَّ جُمْعَةٍ. (رواه عبد الرزاق في المصنف).

“Muhammad bin Ali berkata: “Fathimah putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berziarah ke makam Hamzah setiap hari Jum’at.” (HR. Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf [6713]).

عَنِ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ : أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ تَزُوْرُ قَبْرَ عَمِّهَا حَمْزَةَ كُلَّ جُمْعَةٍ فَتُصَلِّي وَتَبْكِيْ عِنْدَهُ رواه الحاكم والبيهقي قال الحاكم هذا الحديث رواته عن آخرهم ثقات.

“Al-Husain bin Ali berkata: “Fathimah putri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berziarah ke makam pamannya, Hamzah setiap hari Jum’at, lalu berdoa dan menangis di sampingnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak [4319], al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra [7000]. Al-Hakim berkata: “Semua perawi hadits tersebut dipercaya”.).

Atsar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ حَدِّثْ النَّاسَ كُلَّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ أَبَيْتَ فَمَرَّتَيْنِ فَإِنْ أَكْثَرْتَ فَثَلاَثَ مِرَارٍ وَلا تُمِلَّ النَّاسَ هَذَا الْقُرْآنَ. رواه البخاري.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: "Sampaikanlah hadits kepada manusia setiap Jum’at sekali. Jika kamu tidak mau, maka lakukan dua kali. Jika masih kurang banyak, maka tiga kali. Jangan kamu buat orang-orang itu bosan kepada al-Qur’an ini. (HR. al-Bukhari [6337]).

Atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu

عَنْ شَقِيقٍ أَبِى وَائِلٍ قَالَ كَانَ عَبْدُ اللهِ يُذَكِّرُنَا كُلَّ يَوْمِ خَمِيسٍ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّا نُحِبُّ حَدِيثَكَ وَنَشْتَهِيهِ وَلَوَدِدْنَا أَنَّكَ حَدَّثْتَنَا كُلَّ يَوْمٍ. فَقَالَ مَا يَمْنَعُنِى أَنْ أُحَدِّثَكُمْ إِلاَّ كَرَاهِيَةُ أَنْ أُمِلَّكُمْ. إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِى الأَيَّامِ كَرَاهِيَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا. رواه البخاري ومسلم

“Syaqiq Abu Wail berkata: “Abdullah bin Mas’ud memberikan ceramah kepada kami setiap hari Kamis. Lalu seorang laki-laki berkata kepada beliau: “Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya kami senang dengan pembicaraanmu dan selalu menginginkannya. Alangkah senangnya kami jika engkau berbicara kepada kami setiap hari.” Ibnu Mas’ud menjawab: “Tidaklah mencegahku untuk berbicara kepada kalian, kecuali karena takut membuat kalian bosa. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan nasehat kepada kami dalam hari-hari tertentu, khawatir membuat kami bosan.” (HR. al-Bukhari [70], dan Muslim [7305]).

Hadits-hadits di atas dapat dijadikan dalil bagi penentuan masa 4 dan 7 bulanan selamatan kehamilan, tentu bagi orang yang mau menggunakan akalnya dan memahami al-Qur’an dan hadits dengan mengikuti para ulama yang diakui keilmuannya.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar