Translate

Selasa, 18 Oktober 2016

Penjelasan Tatacara Dan Hukum Seputar Sholat Jenazah

Shalat jenazah adalah shalat yang dilakukan  untuk mendo’akan   seorang muslim atau muslimah yang telah meninggal dunia; baik dia laki-laki maupun perempuan; orang dewasa maupun anak-anak. Shalat jenazah hukumnya wajib kifayah, yakni kewajiban yang pelaksanaannya dapat tercukupi manakala telah ditunaikan oleh sebagian kaum muslimin. Namun jika tidak ada yang melaksanakannya maka seluruh kaum muslimin berdosa karenanya.

Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا ، فَقَالَ : هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ ؟ قَالُوا : لاَ فَصَلَّى عَلَيْهِ ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى ، فَقَالَ : هَلْ عَلَيْهِ مَنْ دَيْنٍ قَالُوا نَعَمْ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ قَالَ أَبُو قَتَادَةَ عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللهِ فَصَلَّى عَلَيْهِ – رواه البخاري

Dari Salamah bin al-Akwa’ r.a., ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah didatangkan seorang jenazah, agar beliau menshalatinya. Lantas beliau bertanya, ‘Apakah orang ini punya hutang . Mereka menjawab: “Tidak” , maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyolatkan jenazah tersebut.  Kemudian didatangkan jenazah yang lain. Beliau bertanya: “ Apakah dia punya hutang. Mereka menjawab: “ Ya”. Beliau berkata , ‘Shalatkanlah sahabat kalian.’ Abu Qatadah berkata:” Saya yang menanggung hutangnya wahai Rasulullah.”. Lalu beliau menyolatkan jenazah tersebut. (HR. Bukhari).

Hadits ini menjadi dasar hukum melaksanakan shalat jenazah,  dan bahwa shalat tersebut hukumnya wajib kifayah. Karena saat itu Rasulullah saw hanya melakukannya untuk seorang jenazah, sementara jenazah yang lain beliau hanya memerintahkan para sahabat untuk melaksanakannya dikarenakan ia mempunyai hutang, sekalipun akhirnya beliau menyolatkannya setelah   ada sahabat yang menanggung hutangnya. .

Mempelajari sholat jenazah (mayyit) haruslah benar-benar jeli. Pasalnya, antara mayit laki-laki dan perempuan, untuk bacaannya berbeda, misalnya dalam bacaan niat. Ini sudah jelas berbeda pengucapan (lafadznya), begitu juga dengan lafadz doa khusus untuk mayit.

Selain itu, dalam mensholati mayit (jenazah) ada yang jenazahnya hadir (dihadapan kita) dan ada juga yang jenazahnya tidak hadir (atau disebut sholat ghaib), tentu bacaan niatnya juga berbeda. Namun disini kami akan memfokuskan ke lafadz bacaan niat sholat jenazah baik mayit laki-laki maupun perempuan yang jenazahnya hadir, atau yang sering kita sebut dengan Sholat Jenazah.

Melaksanakan Sholat Jenazah hukumnya fardhu kifayah, yaitu suatu hukum yang wajib dilakukan namun apabila sudah dilakukan oleh orang muslim, maka kewajiban ini akan gugur untuk orang muslim yang lainnya. Sholat Mayit atau sholat jenazah dilaksanakan dengan empat kali takbir dan tanpa ada raka'at.

Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah, jika sebagian kaum muslimin telah melakukannya, maka gugur dari lainnya.

مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّىَ عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ ، وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ  . قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ  مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ 
مَا مِنْ مَيِّتٍ يُصَلِّى عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلاَّ شُفِّعُوا فِيهِ
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيُصَلِّى عَلَيْهِ ثَلاَثَةُ صُفُوفٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ أَوْجَبَ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah didatangkan seorang mayit dan ia memiliki utang. Lantas beliau bertanya, 'Apakah orang tersebut memiliki kelebihan harta untuk melunasi utangnya?' Jika ternyata ia tidak melunasi dan punya kelebihan harta lalu utang tersebut dilunasi, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyolatkan mayit tersebut. Namun jika tidak dilunasi,

Keutamaan Shalat Jenazah

Pertama: Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Barangsiapa yang menyaksikan jenazah sampai ia menyolatkannya, maka baginya satu qiroth. Lalu barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga dimakamkan, maka baginya dua qiroth." Ada yang bertanya, "Apa yang dimaksud dua qiroth?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lantas menjawab, "Dua qiroth itu semisal dua gunung yang besar." (HR. Bukhari no. 1325 dan Muslim no. 945)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

« مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ وَلَمْ يَتْبَعْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ فَإِنْ تَبِعَهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ ». قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ « أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ ».

"Barangsiapa shalat jenazah dan tidak ikut mengiringi jenazahnya, maka baginya (pahala) satu qiroth. Jika ia sampai mengikuti jenazahnya, maka baginya (pahala) dua qiroth." Ada yang bertanya, "Apa yang dimaksud dua qiroth?" "Ukuran paling kecil dari dua qiroth adalah semisal gunung Uhud", jawab beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. Muslim no. 945)

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا: سَمِعْتُ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ: – مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ, فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا, لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا, إِلَّا شَفَّعَهُمُ اللَّهُ فِيهِ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ

dari Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma ia berkata: Saya mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Tidaklah seorang lelaki muslim meninggal, kemudian disholatkan jenazahnya oleh 40 laki-laki yang tidak mensekutukan Allah dengan suatu apapun kecuali Allah akan memberikan syafaat mereka kepadanya (riwayat Muslim)

PENJELASAN:
Hadits ini menunjukkan pentingnya berteman dengan orang-orang sholih yang senantiasa mentauhidkan Allah, tidak mensekutukanNya dengan suatu apapun. Karena jika seseorang meninggal dan disholatkan oleh seseorang yang mentauhidkan Allah, maka Allah akan mengampuninya dengan sebab syafaat sholat dari orang yang mentauhidkan Allah tersebut. Dalam hadits ini disebutkan jumlah 40 orang, sedangkan dalam hadits lain disebutkan jumlah 100 orang dan sebagian riwayat menyatakan 3 shaf.
 . 
مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ

Tidaklah suatu jenazah disholatkan oleh kaum muslimin yang mencapai seratus orang seluruhnya memberi syafaat (dengan sholat) kepadanya, kecuali ia diampuni (dengan sebab syafaat sholat orang-orang tersebut)(H.R Muslim)

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيُصَلِّي عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوفٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا أَوْجَبَ

Tidaklah ada seorang muslim yang meninggal kemudian disholatkan oleh 3 shaf kaum muslimin kecuali wajib baginya (surga)(H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ibnu Majah, dishahihkan oleh al-Hakim disepakati adz-Dzahaby, dihasankan oleh anNawawy, disepakati oleh al-Hafidz Ibnu Hajar)

Para Ulama’ menjelaskan bahwa keutamaan itu bisa didapatkan dengan jumlah 3 shaf, 40 orang, atau 100 orang. Tiga shaf adalah batasan minimal, semakin banyak jamaah, semakin baik (Syarh Shahih Muslim karya anNawawy (7/17)). Berapapun jumlah minimal yang tercapai, syaratnya adalah orang yang mensholatkan tidak pernah menyekutukan Allah dengan suatu apapun.

Kedua: Dari Kuraib, ia berkata,

أَنَّهُ مَاتَ ابْنٌ لَهُ بِقُدَيْدٍ أَوْ بِعُسْفَانَ فَقَالَ يَا كُرَيْبُ انْظُرْ مَا اجْتَمَعَ لَهُ مِنَ النَّاسِ. قَالَ فَخَرَجْتُ فَإِذَا نَاسٌ قَدِ اجْتَمَعُوا لَهُ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ تَقُولُ هُمْ أَرْبَعُونَ قَالَ نَعَمْ. قَالَ أَخْرِجُوهُ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلاً لاَ يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلاَّ شَفَّعَهُمُ اللَّهُ فِيهِ »

"Anak 'Abdullah bin 'Abbas di Qudaid atau di 'Usfan meninggal dunia. Ibnu 'Abbas lantas berkata, "Wahai Kuraib (bekas budak Ibnu 'Abbas), lihat berapa banyak manusia yang menyolati jenazahnya." Kuraib berkata, "Aku keluar, ternyata orang-orang sudah berkumpul dan aku mengabarkan pada mereka pertanyaan Ibnu 'Abbas tadi. Lantas mereka menjawab, "Ada 40 orang". Kuraib berkata, "Baik kalau begitu." Ibnu 'Abbas lantas berkata, "Keluarkan mayit tersebut. Karena aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah seorang muslim meninggal dunia lantas dishalatkan (shalat jenazah) oleh 40 orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah sedikit pun melainkan Allah akan memperkenankan syafa'at (do'a) mereka untuknya." (HR. Muslim no. 948)

Ketiga: Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
"Tidaklah seorang mayit dishalatkan (dengan shalat jenazah) oleh sekelompok kaum muslimin yang mencapai 100 orang, lalu semuanya memberi syafa'at (mendoakan kebaikan untuknya), maka syafa'at (do'a mereka) akan diperkenankan." (HR. Muslim no. 947)

Keempat: Dari Malik bin Hubairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Tidaklah seorang muslim mati lalu dishalatkan oleh tiga shaf kaum muslimin melainkan do'a mereka akan dikabulkan." (HR. Tirmidzi no. 1028 dan Abu Daud no. 3166. Imam Nawawi menyatakan dalam Al Majmu' 5/212 bahwa hadits ini hasan)

Syarat shalat jenazah

a. Sama dengan syarat shalat biasa, yaitu menutup aurat, menghadap kiblat, suci dari hadats (besar dan kecil) dan najis, baik badan, pakaian maupun tempatnya.
b. Jenazah sudah dimandikan dan dikafani (dibungkus).
c. Jenazah diletakkan di hadapan orang yang menyalati, dengan posisi kepalanya berada disebelah kanan, searah dengan kiblat.

3. Rukun shalat jenazah

a. Niat.
b. Berdiri bagi yang mampu.
c. Empat kali takbir (termasuk takbiratul ihram).
d. Membaca surat Al-Fatihah setelah takbir yang pertama (takbiratul ihram).
e. Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw. setelah takbir yang kedua.
f. Membaca doa untuk jenazah setelah takbir yang ketiga.
g. Membaca doa untuk jenazah dan orang yang menyalatinya setelah takbir yang keempat.
h. Membaca salam ke kanan dan ke kiri.

4. Sunat shalat jenazah

a. Mengangkat kedua tangan pada saat bertakbir.
b. Merendahkan suara pada setiap bacaan (israr).
c. Membaca isu'adzah (A'uudzu billaahi minasy syaithaanir rajlim).

SHOLAT JENAZAH 

 وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى قَالَ: – كَانَ زَيْدُ بْنُ أَرْقَمَ يُكَبِّرُ عَلَى جَنَائِزِنَا أَرْبَعًا, وَإِنَّهُ كَبَّرَ عَلَى جَنَازَةٍ خَمْسًا, فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُكَبِّرُهَا – رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَالْأَرْبَعَةُ

dari Abdurrahman bin Abi Laila beliau berkata: Adalah Zaid bin Arqam radhiyallaahu anhu bertakbir terhadap jenazah-jenazah kami 4 kali , dan ia pernah bertakbir 5 kali terhadap satu jenazah, kemudian aku bertanya kepadanya. Ia mengatakan: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam (pernah) bertakbir demikian (riwayat Muslim dan Imam yang Empat)

وَعَنْ عَلِيٍّ – رضي الله عنه – - أَنَّهُ كَبَّرَ عَلَى سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ سِتًّا, وَقَالَ: إِنَّهُ بَدْرِيٌّ – رَوَاهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ. وَأَصْلُهُ فِي “اَلْبُخَارِيِّ“

Dari Ali radhiyallahu anhu bahwasanya ia bertakbir terhadap jenazah Sahl bin Hunaif sebanyak 6 kali dan berkata: sesungguhnya ia adalah Sahabat yang ikut perang Badr ( riwayat Said bin Manshur dan asalnya di riwayat alBukhari)<<dishahihkan oleh al-Burqany>>

PENJELASAN:

Hadits ke-452 dan 453 ini menunjukkan bahwa para Sahabat Nabi pernah sholat jenazah dengan jumlah takbir 4 kali, 5 kali, dan 6 kali. Dalam beberapa riwayat lain, Nabi pernah mensholatkan Hamzah yang gugur pada perang Uhud dengan 9 kali takbir (riwayat atThohaawy dalam Syarh Ma’aani al-Atsar dari Abdullah bin az-Zubair, rujukan dari Shahih Fiqh as-Sunnah karya Abu Maalik Kamaal bin as-Sayyid Salim (1/654)).

Yang lebih utama adalah mengikuti pendapat jumhur dan perbuatan akhir Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam yaitu 4 kali takbir, namun jika Imam melakukan jumlah takbir lebih dari itu seperti yang pernah dilakukan sebagian Sahabat Nabi, maka makmum mengikutinya. Al-Imam at-Thohawy berpendapat bahwa jumlah takbir lebih dari 4 itu khusus untuk jenazah orang ‘alim atau yang memiliki keutamaan dalam Islam.

- وَعَنْ جَابِرٍ – رضي الله عنه – قَالَ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُكَبِّرُ عَلَى جَنَائِزِنَا أَرْبَعًا وَيَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ اَلْكِتَابِ فِي اَلتَّكْبِيرَةِ اَلْأُولَى – رَوَاهُ اَلشَّافِعِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ

dari Jabir radhiyallahu anhu ia berkata: Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam bertakbir terhadap jenazah-jenazah kami 4 kali dan membaca alFatihah di takbir yang pertama (riwayat asySyafi’i dengan sanad yang dhaif).

PENJELASAN:

Hadits ini diriwayatkan oleh asy-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm juz 1 halaman 270 dan dinyatakan sanadnya lemah (dhaif) oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaany – salah seorang Ulama’ bermadzhab asy-Syafi’i-. Sebab kelemahannya adalah karena perawi yang bernama Ibrahim bin Muhammad (bin Abi Yahya al-Aslamy) yang dinyatakan sebagai perawi pendusta oleh para Ulama’ di antaranya Abu Hatim, Yahya bin Ma’in, Ibnu Hibban. Dilemahkan pula oleh Malik, Waki’, Ibnul Mubarok, Ibnu ‘Uyainah, al-Qoththon, Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah. Bisyr bin al-Mufadhdhol menyatakan: saya bertanya kepada para Fuqoha’ Madinah, seluruhnya menyatakan bahwa dia pendusta (Tahdziibul Asmaa’ wallughoot karya anNawawy (1/142).

Ibrahim bin Muhammad ini adalah salah seorang guru al-Imam asy-Syafi’i. Kadang-kadang asy-Syafi’i menyembunyikan keadaannya dengan menyatakan: (haddatsanii man laa attahim) telah mengkhabarkan kepadaku orang yang tidak saya tuduh (berdusta)….adz-Dzahaby menyatakan bahwa hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya al-Imam asy-Syafi’i tidak menganggapnya tsiqah (terpercaya), namun beliau tidak menuduhnya sebagai pendusta (Siyaar A’lamin Nubalaa’ (8/451). Adz-Dzahaby menyatakan: tidak diragukan lagi kelemahannya (Siyaar A’lamin Nubalaa’(8/454).

Waktu dan Tempat Shalat Jenazah

Waktu Shalat:

Dalam melakukan Shalat jenazah, tidak ditentukan waktunya secara khusus, melainkan ia dapat dilakukan kapan saja, baik siang maupun malam hari, kecuali 3 waktu yakni saat matahari terbit hingga ia agak meninggi; saat matahari tepat berada di pertengahan langit (tengah hari tepat) hingga ia telah condong ke barat; dan saat matahari hampir terbenam, hingga ia terbenam sama sekali. Hal ini didasarkan pada Hadits berikut ini:

ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّىَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ  – رواه مسلم

Dari Musa bin Ali dari bapaknya ia berkata, saya mendengar Uqbah bin Amir Al Juhani berkata; “Ada tiga waktu, yang mana Rasulullah SAW telah melarang kita untuk shalat atau menguburkan jenazah pada waktu-waktu tersebut. (Pertama), saat matahari terbit hingga ia agak meninggi. (Kedua), saat matahari tepat berada di pertengahan langit (tengah hari tepat) hingga ia telah condong ke barat, (Ketiga), saat matahari hampir terbenam, hingga ia terbenam sama sekali.”

“Ada tiga waktu, yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kita untuk shalat atau menguburkan jenazah pada waktu-waktu tersebut. (Pertama), saat matahari terbit hingga ia agak meninggi. (Kedua), saat matahari tepat berada di pertengahan langit (tengah hari tepat) hingga ia telah condong ke barat, (Ketiga), saat matahari hampir terbenam, hingga ia terbenam sama sekali.” (HR Muslim) 

Tempat Shalat :

Shalat jenazah dapat dilakukan di mana saja, di tempat-tempat  yang layak untuk melaksanakan shalat;  termasuk di dalam masjid sebagaimana disebutkan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim:

أَنَّ عَائِشَةَ لَمَّا تُوُفِّىَ سَعْدُ بْنُ أَبِى وَقَّاصٍ قَالَتِ ادْخُلُوا بِهِ الْمَسْجِدَ حَتَّى أُصَلِّىَ عَلَيْهِ. فَأُنْكِرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا فَقَالَتْ وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى ابْنَىْ بَيْضَاءَ فِى الْمَسْجِدِ سُهَيْلٍ وَأَخِيهِ. قَالَ مُسْلِمٌ سُهَيْلُ بْنُ دَعْدٍ وَهُوَ ابْنُ الْبَيْضَاءِ أُمُّهُ بَيْضَاءُ.

Bahwa ketika Sa’d bin Abu Waqash meninggal, Aisyah berkata, “Masukkanlah ia ke dalam masjid hingga aku bisa menshalatkannya.” Namun mereka tidak menyetujuinya, maka ia pun berkata, “Demi Allah, sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menshalatkan jenazah dua orang putra Baidla` di dalam masjid, yaitu Suhail dan saudaranya.” Muslim berkata; “Suhail bin Da’d adalah Ibnul Baidla`, dan ibunya adalah Baidla`. (HR Muslim)

Di dalam Kitab al-Muwatho, Imam Malik meriwayatkan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ قَالَ : صُلِّيَ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي الْمَسْجِدِ

Dari Abdullah bin Umar, bahwa dia berkata, “Umar bin Khatthab dishalatkan di masjid.”

Tata cara Shalat Janazah

Berdasarkan petunjuk-petunjuk Rasulullah saw, menjelaskan tata cara shalat Jenazah sebagai berikut:

1. Imam berdiri ke arah kepala (apabila jenazah laki-laki) dan ke arah perut (apabila perempuan)

Hendaklah imam berdiri pada arah kepala mayat pria dan pada arah kepala mayat wanita. Hal ini didasarkan pada hadits berikut:

حَدَّثَنَا أَبُو غَالِبٍ الْخَيَّاطُ ، قَالَ : شَهِدْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ صَلَّى عَلَى جِنَازَةِ رَجُلٍ ، فَقَامَ عِنْدَ رَأْسِهِ ، فَلَمَّا رُفِعَتْ أُتِيَ بِجِنَازَةِ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ أَوْ مِنَ الأَنْصَارِ فَقِيلَ لَهُ : يَا أَبَا حَمْزَةَ ، هَذِهِ جِنَازَةُ فُلاَنَةَ ابْنَةِ فُلاَنٍ ، فَصَلِّ عَلَيْهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا ، فَقَامَ وَسَطَهَا وَفِينَا الْعَلاَءُ بْنُ زِيَادٍ الْعَدَوِيُّ ، فَلَمَّا رَأَى اخْتِلاَفَ قِيَامِهِ عَلَى الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ ، قَالَ : يَا أَبَا حَمْزَةَ ، هَكَذَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يصنع يَقُومُ مِنَ الرَّجُلِ حَيْثُ قُمْتَ ، وَمِنَ الْمَرْأَةِ حَيْثُ قُمْتَ ؟ قَالَ : نَعَمْ قَالَ : فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا الْعَلاَءُ فَقَالَ : احْفَظُوا. – رواه أحمد

Telah mengabarkan kepada kami Abu Ghalib Al-Khayyat berkata, saya melihat Anas menyalati jenazah seorang laki-laki, maka beliau berdiri di dekat kepalanya. Setelah jenazah itu diangkat, datang lagi jenazah wanita dari Quraisy atau dari anshar, dan ia diberitahu, wahai Abu Hamzah, ini adalah jenazah wanita fulanah binti fulan, shalatkanlah! lalu beliau berdiri didekat pusarnya. Diantara kami saat itu ada al-‘Ala’ Bin Ziyad Al-‘Adawi. Tatkala ‘Ala’ bin Ziyad melihat perbedaan letak berdiri Anas radhiyallahu’anhu antara jenazah laki-laki dan wanita, ‘Ala’ bertanya, wahai Abu Hamzah, begitukah cara Rasulullah shallahu’alaihi wasallam berdiri saat menyalatkan jenazah, yaitu seperti yang anda lakukan?. (Anas bin Malik radhiyallahu’anhu) menjawab ‘iya’. Abu Ghalib Khayyat berkata, lalu ‘Ala’ menoleh kami dan mengatakan, jagalah!. (HR Ahmad)‎

2. Makmum sekurang-kurangya 3 shaf. Masing-masing shaf lebih baik terdiri dari 5 atau 7 orang.

Lebih utama dilakukan dengan berjamaah dan makmum hendaklah dibagi menjadi 3 baris.

عَنْ مَالِكِ بْنِ هُبَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يَمُوتُ ، فَيُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبَلَغُوا أَنْ يَكُونُوا ثَلاَثَ صُفُوفٍ إِلاَّ غُفِرَ لَهُ. قَالَ فَكَانَ مَالِكُ بْنُ هُبَيْرَةَ يَتَحَرَّى إِذَا قَلَّ أَهْلُ جَنَازَةٍ أَنْ يَجْعَلَهُمْ ثَلَاثَةَ صُفُوفٍ – رواه أحمد

Dari Malik bin Hubarah berkata; Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang mukmin yang meninggal lalu ada sekelompok orang yang menshalatinya sampai tiga shaf kecuali pasti dia diampuni.” (Martsad bin Abdullah Al Yazani Radliyallahu’aanhu) berkata; jika keluarga jenazah sedikit, Malik bin Hubarah tetap menjaga agar bisa dijadikan tiga shaf. (HR Ahmad)

3. Berniat

‎Mengikhlaskan niat semata-mata mencari ridla Allah swt.
Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah saw:

” إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى – رواه البخاري

“Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; )HR Bukhari).

Adapun untuk lafadz bacaan niatnya  adalah sebagai berikut :

Niat Sholat Jenazah (Mayit) Laki-laki

اُصَلِّى عَلَى هَذَاالْمَيِّتِ اَرْبَعَ تَكْبِرَاتٍ فَرْضَ الْكِفَايَةِ مَأْمُوْمًا ِللهِ تَعَالَى

USHOLLI 'ALAA HAADZALMAYYITI ARBA'A TAKBIRAATIN FARDHOL KIFAAYATI MA'MUUMAN LILLAAHI TA'AALA.

 Artinya :
Saya niat shalat atas mayit ini empat kali takbir fardhu kifayah karena menjadi makmum karena Allah Ta’ala.

Niat Sholat Mayit (Jenazah) Perempuan

اُصَلِّى عَلَى هَذِهِ الْمَيِّتَةِ اَرْبَعَ تَكْبِرَاتٍ فَرْضَ الْكِفَايَةِ مَأْمُوْمًا ِللهِ تَعَالَى

USHOLLI 'ALAA HAADZIHIL MAYYITATI ARBA'A TAKBIRAATIN FARDHOL KIFAAYATI MA'MUUMAN LILLAAHI TA'AALA.

 Artinya :
Saya niat shalat atas mayit perempuan ini empat kali takbir fardhu kifayah karena menjadi makmum karena Allah Ta’ala.

Catatan:
Lafadz niat diatas merupakan bacaan niat ketika kita sholat jenazah menjadi ma'mum. Namun apabila kita menjadi imam, maka lafadz atau bacaan "MA'MUUMAN" diganti dengan lafadz "IMAA'MAN". Sehingga bacaan niat sholat jenazah sebagai imam untuk mayyit laki-laki adalah sebagai berikut : 

اُصَلِّى عَلَى هَذَاالْمَيِّتِ اَرْبَعَ تَكْبِرَاتٍ فَرْضَ الْكِفَايَةِ إِمَامًا ِللهِ تَعَالَى

USHOLLI 'ALAA HAADZALMAYYITI ARBA'A TAKBIRAATIN FARDHOL KIFAAYATI IMAAMAN LILLAAHI TA'AALA.

 Artinya :
Saya niat shalat atas mayit ini empat kali takbir fardhu kifayah menjadi imam karena Allah Ta’ala.

Itulah Lafadz Niat Sholat Mayit (Jenazah) Laki-laki dan Perempuan lengkap Bahasa Arab, tulisan latin dan artinya. Insya Allah pada pertemuan berikutnya kami akan membahas tentang Sholat Ghaib serta tata cara sholat jenazah. 

Dilakukan dengan berdiri tanpa ruku’, tanpa sujud dan tanpa duduk;  namun  cukup dengan  bertakbir sebanyak empat kali, termasuk takbiratul ihram. Hal ini didasarkan pada hadits:

عن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ نَعَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَصْحَابِهِ النَّجَاشِيَّ ثُمَّ تَقَدَّمَ فَصَفُّوا خَلْفَهُ فَكَبَّرَ أَرْبَعًا . – رواه البخاري

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata,: Nabi Shallallahu’alaihiwasallam mengumumkan kematian An-Najasyi, kemudian Beliau maju dan membuat barisan shaf di belakangnya, Beliau lalu takbir empat kali . (HR Bukhari)           

Setiap takbir dilakukan dengan mengangkat tangan; berdasarkan riwayat yang disandarkan kepada Ibnu Umar:

عَنْ نَافِعٍ , عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي كُلِّ تَكْبِيرَةٍ عَلَى الْجَنَازَةِ  .- رواه البيهقي

Dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwasanya beliau mengangkat kedua tangannya dalam setiap takbir pada shalat jenazah. (HR Baihaqi)

4. Takbir pertama, membaca Surat Al-Fatihah, tidak disunnatkan membaca do'a iftitah

MEMBACA ALFATIHAH DALAM SHOLAT JENAZAH
455- وَعَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ: – صَلَّيْتُ خَلَفَ ابْنِ عَبَّاسٍ عَلَى جَنَازَةٍ, فَقَرَأَ فَاتِحَةَ الكْتِابِ فَقَالَ: “لِتَعْلَمُوا أَنَّهَا سُنَّةٌ” – رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ

Dari Thalhah bin Abdillah bin Auf radhiyallahu anhu ia berkata: Aku sholat di belakang Ibnu Abbas terhadap jenazah, kemudian ia membaca alFatihah dan ia berkata: agar kalian tahu bahwa ini adalah Sunnah (riwayat alBukhari)

PENJELASAN:

Hadits ini menunjukkan bahwa disyariatkan membaca al-Fatihah dalam sholat jenazah. Hukumnya adalah wajib menurut pendapat al-Imam asy-Syafi’i dan Ahmad, sesuai dengan keumuman hadits: Tidak ada sholat bagi yang tidak membaca alFatihah (riwayat alBukhari dan Muslim). Dalam hadits ini Ibnu Abbas mengeraskan bacaan agar diketahui bahwa perbuatan membaca al-Fatihah adalah sunnah Nabi. Makna ‘Sunnah’ dalam hadits ini adalah tata cara yang dicontohkan oleh Nabi, bukan berarti ‘Sunnah’ yang jika dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan tidak mengapa. Membaca alFatihah dalam sholat jenazah disyariatkan setelah takbiratul ihram dan membaca ta’awwudz dan basmalah.

Dalam riwayat an-Nasaai dinyatakan bahwa Ibnu Abbas selain membaca al-Fatihah juga membaca suatu surat dalam alQuran. Hal itu menunjukkan bahwa boleh membaca surat dalam sholat jenazah setelah membaca alFatihah.
Dalam sholat jenazah tidak disyariatkan membaca doa istiftah.

Dalam riwayat Muslim 

« مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ وَلَمْ يَتْبَعْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ فَإِنْ تَبِعَهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ ». قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ « أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ ».

"Barangsiapa shalat jenazah dan tidak ikut mengiringi jenazahnya, maka baginya (pahala) satu qiroth. Jika ia sampai mengikuti jenazahnya, maka baginya (pahala) dua qiroth." Ada yang bertanya, "Apa yang dimaksud dua qiroth?" "Ukuran paling kecil dari dua qiroth adalah semisal gunung Uhud", jawab beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. Muslim no. 945)

Dari Kuraib, ia berkata,

أَنَّهُ مَاتَ ابْنٌ لَهُ بِقُدَيْدٍ أَوْ بِعُسْفَانَ فَقَالَ يَا كُرَيْبُ انْظُرْ مَا اجْتَمَعَ لَهُ مِنَ النَّاسِ. قَالَ فَخَرَجْتُ فَإِذَا نَاسٌ قَدِ اجْتَمَعُوا لَهُ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ تَقُولُ هُمْ أَرْبَعُونَ قَالَ نَعَمْ. قَالَ أَخْرِجُوهُ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلاً لاَ يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلاَّ شَفَّعَهُمُ اللَّهُ فِيهِ »

"Anak 'Abdullah bin 'Abbas di Qudaid atau di 'Usfan meninggal dunia. Ibnu 'Abbas lantas berkata, "Wahai Kuraib (bekas budak Ibnu 'Abbas), lihat berapa banyak manusia yang menyolati jenazahnya." Kuraib berkata, "Aku keluar, ternyata orang-orang sudah berkumpul dan aku mengabarkan pada mereka pertanyaan Ibnu 'Abbas tadi. Lantas mereka menjawab, "Ada 40 orang". Kuraib berkata, "Baik kalau begitu." Ibnu 'Abbas lantas berkata, "Keluarkan mayit tersebut. Karena aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah seorang muslim meninggal dunia lantas dishalatkan (shalat jenazah) oleh 40 orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah sedikit pun melainkan Allah akan memperkenankan syafa'at (do'a) mereka untuknya." (HR. Muslim no. 948)

Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,

مَا مِنْ مَيِّتٍ يُصَلِّى عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلاَّ شُفِّعُوا فِيهِ

"Tidaklah seorang mayit dishalatkan (dengan shalat jenazah) oleh sekelompok kaum muslimin yang mencapai 100 orang, lalu semuanya memberi syafa'at (mendoakan kebaikan untuknya), maka syafa'at (do'a mereka) akan diperkenankan." (HR. Muslim no. 947)

Dari Malik bin Hubairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيُصَلِّى عَلَيْهِ ثَلاَثَةُ صُفُوفٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ أَوْجَبَ

"Tidaklah seorang muslim mati lalu dishalatkan oleh tiga shaf kaum muslimin melainkan do'a mereka akan dikabulkan." (HR. Tirmidzi no. 1028 dan Abu Daud no. 3166. Imam Nawawi menyatakan dalam Al Majmu' 5/212 bahwa hadits ini hasan. Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini hasan jika sahabat yang mengatakan)
 
5. Takbir kedua, membaca sholawat

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدناَ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدناَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدناَ إِبْرَاهِيْمَ وَ بَارِكْ عَلَى سَيِّدناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدناَ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدناَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدناَ إِبْرَاهِيْمَ فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ

Allahuma sholli 'ala sayyidina Muhammad, wa 'ala aali sayyidina Muhammad, kama shollaita 'ala sayyidina Ibrohim, wa 'ala aali sayyidina Ibroohim, wa barik 'ala sayyidina Muhammad, wa 'ala aali sayyidina Muhammad, kama barokta 'ala sayyidina Ibohim, wa 'ala aali sayyidina Ibrohim, fil 'aalamiina innaka hamiidum majiid

6. Takbir ketiga, membaca do'a :

اللّهمّ اغْفِرْ لَهُ (هَا) وَارْحَمْهُ (هَا) وَعَافِيْهِ (هَا) وَاعْفُ عَنْهُ (هَا) وَاَكْرِمْ نُزُلَهُ (هَا) وَوَسِّعْ مَدْخََلَهُ (هَا) وَاَغْسِلْهُ (هَا) بِالْمَآءِ وَالثّلْجِ والْبَرَدِ وَنَقِّهِ (هَا) مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثّّوْبُ الْاَبْيَضُ مِنَ الدّنَسِ و اَبْدِلْهُ (هَا) دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ (هَا) وَ اَهْلاً خَيْرًا مِنْ اَهْلِهِ (هَا) وَزَوْجٍا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ (هَا) وَاَدْخِلْهُ (هَا) الْجَنّةَ وَ اَعِذْهُ (هَا) مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَ فِتْنَتِهِ وَ مِنْ عَذَابِ النّارِ

Allahummagfir lahuu (haa) warhamhuu (haa) wa 'afiihi (haa) wa'fu 'anhuu (haa) wa akrim nuzulahuu (haa) wa wassi' madkholahuu (haa) wa agsilhuu (haa) bilmaa-i wa tsalji walbarodi wa naqqihii (haa) minal khotoyaa kamaa ynaqqo tsubul abyadlu minad danasi wa abdilhu (haa) daaron khoiron min daarihii (haa) wa ahlan khoiron min ahlihii (haa) wa zaujan khoidon min zaujihi (haa) wa adkhilhuu (haa) aljannata wa a-idzhuu (haa) min adzaabil qobri wa fitnatihi wa min adzaabin naar

Dalam membaca do'a ganti lafadz هُ (hu) menjadi هَا (haa) apabila jenazahnya perempuan.

Mendoakan mayit dengan doa yang ada dalam riwayat, di antaranya: 

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّناَ وَمَيِّتِناَ وَشاَهِدِناَ وَغاَئِبِناَ وَصَغِيْرِناَ وَكَبِيْرِناَ وَذَكَرِناَ وَأُنْثاَناَ إِنَّكَ تَعْلَمُ مُنْقَلَبَناَ وَمَثْوَاناَ وَأَنْتَ عَلىَ كًلِّ شَيْءٍ قدِيْرٌ, اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلىَ الإِسْلاَمِ وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِناَّ فَتَوَفِّهِ عَلىَ الإِيْماَنِ , اَللَّهُمَّ لاَتَحْرِمْناَ أَجْرَهُ وَلاَ تُضِلَّناَ بَعْدَهُ 

"Ya Allah, ampunilah orang yang hidup dan yang mati di antara kami, yang hadir di sini dan yang tidak hadir, yang besar dan yang kecil, yang laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya Engkau mengetahui tempat kembali kami dan terminal akhir kami dan Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, siapapun yang engkau hidupkan di antara kami, hidupkanlah dirinya dalam Islam. Dan siapapun yang Engkau matikan di antara kami, matikanlah dalam iman. Ya Allah, janganlah Engkau halangi kami mendapatkan pahala seperti yang diperoleh orang ini, dan janganlah Engkau sesatkan kami setelah kematiannya." Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah no. 3201, at-Tirmidzi no. 1025 dan Ibnu Majah no. 1498. 

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعاَفِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ باِلمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنَ الذُّنُوْبِ وَالخَطاَياَ كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الأّبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَأّبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَزَوْجاً خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ القَبْرِ – أوْ مِنْ عَذَابِ النَّارِ- وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ وَنَوِّرْ لَهُ فِيْهِ 

"Ya Allah, ampunilah dirinya, berikan rahmat-Mu kepadanya, selamatkan dirinya dan ampuni dosa-dosanya, muliakan dirinya dan luaskanlah kuburnya. Cucilah dirinya dengan air, es dan embun, lalu bersihkanlah dirinya dari segala kesalahan sebagaimana Engkau membersihkan pakaian putih dari noda. Berikanlah kepadanya tempat tinggal pengganti yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, istri yang lebih baik dari istrinya, masukkan dirinya ke dalam Surga, dan peliharalah dirinya dari siksa kubur dan siksa Neraka Luaskanlah kuburannya, dan sinarilah dengan cahaya-Mu." Diriwayatkan oleh Muslim dari Ummu Salamah no. 2127.

Riwayat Abu Dawud:

اللَّهُمَّ إِنَّ فُلَانَ بْنَ فُلَانٍ فِي ذِمَّتِكَ فَقِهِ فِتْنَةَ الْقَبْرِ قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ مِنْ ذِمَّتِكَ وَحَبْلِ جِوَارِكَ فَقِهِ مِنْ فِتْنَةِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ وَأَنْتَ أَهْلُ الْوَفَاءِ وَالْحَمْدِ اللَّهُمَّ فَاغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Ya Allah, sesungguhnya Fulan bin Fulan berada dalam jaminanMu maka lindungilah dia dari Fitnah kubur.” Sedang Abdurrahman berkata; dari jaminanMu. Berada dalam jaminan keamananMu, maka lindungilah dirinya dari fitnah kubur, serta adzab neraka. Engkau senantiasa menepati janji dan Pemilik segala pujian. Ya Allah, ampunilah dosanya dan sayangilah dia, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Catatan: Lafadz  فُلَانَ بْنَ فُلَانٍ pada do’a di atas agar diganti dengan nama jenazah yang dishalatkan.

‎Riwayat Al-Baihaqi dan at-Tabrani:

 اللَّهُمَّ عَبْدُكَ وَابْنُ أَمَتِكَ احْتَاجَ إِلَى رَحْمَتِكَ، وَأَنْتَ غَنِيٌّ عَنْ عَذَابِهِ، فَإِنْ كَانَ مُحْسِنًا فَزِدْ فِي إِحْسَانِهِ، وَإِنْ كَانَ مُسِيئًا فَتَجَاوَزْ عَنْهُ

“ Ya Allah hambaMu dan putra hamba perempuanMu membutuhkan rahmatMu, Engkau tidak membutuhkan akan siksaannya. Jika dia orang yang baik, tambahilah kebaikannya dan jika ia orang yang jahat ampunilah kejahatannya” Kemudian hendaklah seseorang berdo’a sekehendaknya.

7. Takbir keempat, membaca do'a :

اللّهُمّ لاَ تَحْررِمْنَا اَجْرَهُ (هَا) وَ لاَ تََفْْتِنّاََ بَعْدَهُ (هَا) وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ (هَا) وَلِإِخْوانِناََ اّلَذِيْنَ سَبَقُوْنَ بِالْإِيْمَانِ وَ لاَ تَجْعَلْ فِى قُلُوْبِناَ غِلاًّ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا رَبّنَا إِنّكَ رَءُوْفٌ رَحِيْمٌ

Allahumma laa tahrimnaa ajrohuu (haa) walaa taftinaa ba'dahuu (haa) wagfir lanaa wa lahuu (haa) wa li ikhwanina ladzina sabaquuna bil imaani wa la taj'al fi quluubina gillal lilladzina amanuu robbana innaka rouufur rohiim

Bila jenazahnya anak-anak, disunnatkan membaca :

اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ (هَا) فَرَطًَا لِاَبَوَيْهِ (هَا) وَسَلَفًا وَذُخْرًا وَعِظَةً وَاعْتِبَارًا وَشَفِيْعًا وَ ثَقِّلْ بِهِ (هَا) مَوَازِيْنَهُمَا وَاَفْرِغِ الصَّبْرَعَلىٰ قُلُوْبِهِمَا وَلاَ تَفْتِنْهُمَا بَعْدَهُ (هَا) وَلاَ تَحْرِمْهُمَا اَجْرَهُ (هَا).ا

Allahumaj'alhuu (haa) farothon li abawaihi (haa) wa salafan wa dzukhron wa 'idzotan wa'tibaaron wa syafii'an. Wa tsaqqil bihii (haa) mawaaziinahuma, wa afrigis shobro 'ala quluubihima, wala taftinhumaa ba'dahuu (haa) wa laa tahrimhuma ajrohuu (haa)

"Ya Allah, jadikanlah dirinya sebagai pendahulu di surga bagi kedua orang tuanya, sebagai penyampai syafa'at yang mustajab. Ya Allah, perberatlah karenanya timbangan kebajikan kedua orang tuanya, dan perbanyaklah pahala kedua orang tuanya, lalu kumpulkan dirinya bersama orang-orang shalih. Ya Allah, masukkanlah dirinya dalam pengasuhan Ibrahim, dan peliharalah dirinya dengan rahmat-Mu dari siksa Al-Jahiem.” Diriwayatkan secara ringkas dari ucapan al-Hasan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 29829 dan Abdurrazzaq no. 6588. 

8. Salam

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ

Orang yang ikut berjama’ah shalat jenazah terlambat, segera mengikuti imam pada bagian yang tersisa, lalu melanjutkan shalat tersebut sesuai caranya. Kalau khawatir jenazah terburu diangkat, segera melakukan beberapa takbir secara cepat tanpa dipisahkan dengan doa, kemudian salam. 

Orang yang tidak sempat menshalatkan mayit sebelum dikubur, bisa melakukannya di kuburannya, karena Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam pernah melakukannya.

Orang yang kebetulan tidak berada di lokasi di mana jenazah wafat, namun ia mendengar berita kematiannya, maka ia bisa melaksanakan shalat ghaib dengan niat menshalatkannya. Wallahu a’lam.

 أَنَّ السُّنَّةَ فِى الصَّلاَةِ عَلَى الْجَنَازَةِ أَنْ يُكَبِّرَ الإِمَامُ ، ثُمَّ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ الأُولَى سِرًّا فِى نَفْسِهِ ، ثُمَّ يُصَلِّى عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَيُخْلِصُ الدُّعَاءَ لِلْجَنَازَةِ فِى التَّكْبِيرَاتِ لاَ يَقْرَأُ فِى شَىْءٍ مِنْهُنَّ ، ثُمَّ يُسَلِّمُ سِرًّا فِى نَفْسِهِ – رواه البيهقي

Sungguh menurut sunnah dalam menyalatkan jenazah adalah hendaklah seorang  imam bertakbir kemudian membaca surat al fatihah dengan suara lirih setelah takbir pertama kemudian membaca shalawat atas Nabi saw dan  ikhlas mendo’akan bagi mayit pada takbir-takbir berikutnya dan ia tidak membaca apapun di dalamya (selain mendoakan mayit)  kemudian salam dengan suar lirih (HR al- Baihaqi)

Shalat Jenazah di Kuburan

Jika  jenazah  telah dikuburkan lalu ada seorang atau sekelompok orang yang ingin menyalatinya  maka diperbolehkan untuk menyalatinya di atas kuburnya walaupun jenazah itu sudah dishalati sebelumnya. Rasullullah saw pernah melakukan sholat jenazah di kuburan seorang laki-laki atau wanita yang meninggal pada malam hari, ketika tidak diberi tahu oleh para sahabat.  Dari Abu Hurairah RA dia berkata:

أَنَّ رَجُلًا أَسْوَدَ أَوْ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَ يَقُمُّ الْمَسْجِدَ فَمَاتَ فَسَأَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ فَقَالُوا مَاتَ قَالَ أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي بِهِ دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ أَوْ قَالَ قَبْرِهَا فَأَتَى قَبْرَهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا

“Ada seorang laki-laki kulit hitam atau wanita kulit hitam yang menjadi tukang sapu di masjid telah meninggal dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya tentang keberadaan orang tersebut. Orang-orang pun menjawab, “Dia telah meninggal!” Beliaupun bersabda, “Kenapa kalian tidak memberi kabar kepadaku? Tunjukkanlah kuburannya padaku!” Beliau kemudian mendatangi kuburan orang itu kemudian menshalatinya.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan hadits di atas, sebagian  ulama berpendapat tentang disunahkannya sholat jenazah dikuburan . Pendapat ini merupakan salah  satu pendapat dari Imam Ahmad  dan   para penganut Imam Hanafi.   Hanya, mereka berbeda pendapat tentang syarat dan berapa waktu yang dibolehkan untuk sholat jenazah di atas kuburan.

Mengenai syarat diisyariatkan nya sholat jenazah diatas kuburan para ulama’ berpendapat bahwa shalat tersebut hanya diperuntukkan bagi  orang yang patut dan termasuk  diperintahkan shalat jenazah ketika mayat masih belum dikubur. Misalnya, orang yang tidak mengetahui kabar kematian seseorang yang seandainya dia tahu pasti akan ikut menyolati jenazah nya, atau orang yang tertinggal jenazah dan mayat terlanjur dikuburkan.   Apabila seseorang tidak termasuk yang diperintahkan sholat jenazah   maka tidak disyariatkan shalat dikubur nya. Pendapat ini didasarkan pada  kenyataan bahwa Nabi saw  tidak pernah melaksanakan shalat jenazah di atas kuburan setiap kali melewati kuburan

Dalam hal waktu pelaksanaan shalat,  Ibnu qoyyim rahimahullah memilih pendapat tanpa adanya batasan waktu.  Dia berkata : “Rasullullah saw melakukan shalat jenazah di atas kuburan setelah 3 hari penguburan nya, bahkan pernah satu bulan setelah penguburan. Akan tetapi, Nabi saw tidak membatasi waktu tertentu (dibolehkannya shalat jenazah diatas kuburan).”

Shalat Ghaib

Shalat ghaib adalah shalat jenazah yang dilakukan oleh kaum muslimin terhadap saudaranya yang wafat, sementara jenazahnya tidak ada di depan mereka atau berada di tempat yang lain.

Shalat Ghaib  pernah dilakukan oleh Rasulullah saw di Madinah terhadap An Najasyi, seorang raja negeri Habasyah (Ethiopia) yang beragama Islam, yang wafat di negeri tersebut. Pada saat itu negeri Habasyah adalah adalah negeri Nasrani. Hal ini didasarkan pada Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ وَخَرَجَ بِهِمْ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ

“Bahwasanya Rasulullah saw mengumumkan kematian An Najasyi pada hari kematiannya. Rasul keluar bersama para sahabatnya ke lapangan, lalu mengatur shaf, kemudian (melaksanakan shalat dengan) bertakbir sebanyak empat kali.” (HR Al Bukhari dan Muslim)

Mengenai hukum shalat Ghaib, para ulama’ berbeda pendapat  dalam 3 macam:

Pertama, bahwa sholat ghoib adalah masyru’(disyariatkan) dan  hukumnya  sunnah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Pendapat ini didasarkan pada hadits di atas.

Kedua, bahwa shalat ghaib  berlaku khusus bagi jenazah raja Najasyi, tidak untuk yang lainnya. Ini adalah  pendapat Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Pendapat mereka didasarkan pada   argumentasi bahwa peristiwa sholat Ghoib ini tidak pernah ada kecuali pada kejadian meninggalnya raja Najasyi.

Ketiga: bahwa shalat Ghaib disyari’atkan, tetapi hanya diperuntukkan bagi seorang muslim yang meninggal di suatu daerah yang tidak ada orang yang menshalatkannya. Adapun jika ia telah disholatkan di tempat dia meninggal atau tempat lainnya, maka tidak dilaksanakan sholat Ghoib karena kewajiban untuk mensholatkannya telah gugur dengan sholatnya kaum muslimin atasnya. Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan dipilih oleh beberapa ulama’ seperti  Al Khattabi,  Abu Dawud,  Nashiruddin Al Albany dan lain-lain.

Pendapat ketiga  tampaknya paling kuat karena  merupakan hasil kompromi di antara dalil-dalil yang dikemukakan oleh kelompok pertama dan kedua. Wallahu a’lam

Pertanyaan
Bagaimana posisi yang benar saat imam melakukan salah  janazah laki-laki maupun wanita, adakah perbedaan posisi imam? 

Jawaban:
Memang benar, ketika imam salat janazah posisinya tidak sama antara janazah laki-laki dan perempuan. Hal ini berdasarkan beberapa riwayat berikut:

 عَنْ أَبِى غَالِبٍ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَلَى جَنَازَةِ رَجُلٍ فَقَامَ حِيَالَ رَأْسِهِ ثُمَّ جَاءُوا بِجَنَازَةِ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ فَقَالُوا يَا أَبَا حَمْزَةَ صَلِّ عَلَيْهَا. فَقَامَ حِيَالَ وَسَطِ السَّرِيرِ. فَقَالَ لَهُ الْعَلاَءُ بْنُ زِيَادٍ هَكَذَا رَأَيْتَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَامَ عَلَى الْجَنَازَةِ مُقَامَكَ مِنْهَا وَمِنَ الرَّجُلِ مُقَامَكَ مِنْهُ قَالَ نَعَمْ. فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ احْفَظُوا. (سنن الترمذي - ج 3 / ص 352)

”Abu Ghalib berkata: Saya salat janazah laki-laki bersama Anas bin Malik, kemudian ia berdiri lurus dengan kepala mayit. Lalu mereka mendatangkan janazah wanita dari Quraisy, mereka berkata: Wahai Abu Hamzah (kunyah / nama sebutan Anas), salatkanlah janazah wanita ini! Kemudian Anas berdiri lurus di tengah-tengah tempat janazah. Ala’ bin Ziyad bertanya: Seperti inikah engkau melihat Rasulullah Saw berdiri di depan janazah sebagaimana kamu berdiri di depan janazah laki-laki dan perempuan? Anas menjawab: Ya. Selesai salat Anas berkata: Jagalah oleh kalian” (HR Turmudzi, ia berkata hadis ini hasan. Asy-Syaukani berkata: Perawi sanadnya terpercaya)

Untuk posisi janazah wanita dijelaskan dalam hadis-hadis sahih:

عَن سَمُرَة بْن جُنْدُبٍ – رضى الله عنه – قَالَ صَلَّيْتُ وَرَاءَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – عَلَى امْرَأَةٍ مَاتَتْ فِى نِفَاسِهَا فَقَامَ عَلَيْهَا وَسَطَهَا  (البخارى 1332)

”Samurah bin Jundub berkata: Saya salat di belakang Rasulullah Saw terhadap janazah wanita yang meninggal saat nifasnya, kemudian Rasulullah berdiri di tengah-tengahnya” (HR al-Bukhari 1332 dan Muslim 2281)

Kendati demikian, para ulama berbeda pendapat berdasarkan dalil masing-masing:

 ( وَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ إِلَى هَذَا ) أَيْ إِلَى أَنَّ الْإِمَامَ يَقُومُ حِذَاءَ رَأْسِ الرَّجُلِ وَحِذَاءَ عَجِيزَةِ الْمَرْأَةِ ( وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ ) وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَهُوَ الْحَقُّ وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ ... وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْإِمَامَ يَقُومُ بِحِذَاءِ صَدْرِ الْمَيِّتِ رَجُلًا كَانَ أَوْ اِمْرَأَةً ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ الْمَشْهُورُ . وَقَالَ مَالِكٌ : يَقُومُ حِذَاءَ الرَّأْسِ مِنْهُمَا ، وَنُقِلَ عَنْهُ أَنْ يَقُومَ عِنْدَ وَسَطِ الرَّجُلِ وَعِنْدَ مَنْكِبَيْ الْمَرْأَةِ . وَقَالَ بَعْضُهُمْ : حِذَاءَ رَأْسِ الرَّجُلِ وَثَدْيِ الْمَرْأَةِ وَاسْتَدَلَّ بِفِعْلِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ... قَالَ الشَّوْكَانِيُّ بَعْدَ ذِكْرِ هَذِهِ الْأَقْوَالِ : وَقَدْ عَرَفْت أَنَّ الْأَدِلَّةَ دَلَّتْ عَلَى مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَأَنَّ مَا عَدَاهُ لَا مُسْتَنَدَ لَهُ مِنْ الْمَرْفُوعِ إِلَّا مُجَرَّدُ الْخَطَأِ فِي الِاسْتِدْلَالِ أَوْ التَّعْوِيلِ عَلَى مَحْضِ الرَّأْيِ أَوْ تَرْجِيحِ مَا فَعَلَهُ الصَّحَابِيُّ عَلَى مَا فَعَلَهُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (تحفة الأحوذي - ج 3 / ص 91)

”Sebagian ulama berpendapat bahwa imam berdiri lurus dengan kepala janazah laki-laki, dan berdiri lurus dengan posisi tengah janazah wanita. Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, dan Syafii. Ini adalah pendapat yang benar, dan sebuah riwayat dari Abu Hanifah. Sebagian ulama Hanafiyah berpendapat bahwa imam berdiri lurus dengan dada mayit, baik laki-laki maupun wanita, ini adalah pendapat yang masyhur dari Abu Hanifah. Malik berkata: Imam berdiri lurus dengan kepala janazah laki-laki maupun wanita. Diriwayatkan pula dari Malik bahwa imam berdiri di tengah janazah laki-laki dan pundak janazah wanita. Sebagian ulama berkata: Lurus dengan kepala mayit laki-laki dan dada mayit wanita. Mereka berdalil dengan yang dilakukan oleh Ali Ra. Asy-Syaukani berkata setelah menyebut pendapat-pendapat di atas: ”Anda mengetahui bahwa dalil-dalil menunjukkan pada pendapat Syafii. Dan pendapat lainnya tidak memiliki sandaran hadis kecuali kesalahan dalam mencari dalil atau berpegangan pada suatu pendapat atau menguatkan apa yang dilakukan sahabat daripada apa yang dilakukan oleh Nabi Saw” (Tuhfat al-Ahwadzi Syarah Sunan at-Tirmidzi 3/91)

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar