Menyangkut masalah furu’ (cabang) yang telah terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama. Berdo’a bersama setelah sholat bukan hanya terjadi di Indonesia saja, di negara-negara Arab pun juga terdapat fenomena seperti itu. Bahkan sudah terjadi sejak zaman dahulu
Pada dasarnya, kalau kita mengkaji ajaran Islam secara mendalam, akan kita dapati bahwa tradisi doa bersama, di mana salah seorang dari jamaah mengucapkan doa, sedangkan anggota jamaah lainnya membaca amin, merupakan tradisi Islami sejak generasi salaf yang saleh dan sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits hasan Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ حَبِيْبِ بْنِ مَسْلَمَةَ الْفِهْرِيِّ وَكَانَ مُجَابَ الدَّعْوَةِ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: لاَ يَجْتَمِعُ قَوْمٌ مُسْلِمُوْنَ يَدْعُوْ بَعْضُهُمْ وَيُؤَمِّنُ بَعْضُهُمْ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَهُمْ. رواه الطبراني في الكبير و الحاكم في المستدرك
“Dari Habib bin Maslamah al-Fihri RA –beliau seorang yang dikabulkan doanya-, berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak lah berkumpul suatu kaum Muslimin, lalu sebagian mereka berdoa, dan sebagian lainnya mengucapkan amin, kecuali Allah pasti mengabulkan doa mereka.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak. Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai persyaratan Muslim. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid, para perawi hadits ini adalah para perawi hadits shahih, kecuali Ibn Lahi’ah, seorang yang haditsnya bernilai hasan.”
Dalam hadits lain diterangkan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اَلدَّاعِيْ وَالْمُؤَمِّنُ فِي اْلأَجْرِ شَرِيْكَانِ. رواه الديلمي في مسند الفردوس بسند ضعيف.
“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang berdoa dan orang yang membaca amin sama-sama memperoleh pahala.” (HR. al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus dengan sanad yang lemah).
Menurut al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari dalam kitabnya al-Mudawi li-’Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi (juz 4 hal. 43), kelemahan hadits al-Dailami di atas dapat diperkuat dengan ayat al-Qur’an. Allah SWT berfirman tentang kisahNabi Musa AS:
قَالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا. (يونس : ٨٩).
“Allah berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan doa kamu berdua, oleh karena itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus.” (QS. Yunus : 89).
Sebagaimana terdapat didalam Kitab Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah sebagai berikut:
الموسوعة الفقهية الكويتية – (1 / 116)
التَّأْمِينُ عَلَى الدُّعَاءِ دُبُرَ الصَّلاَةِ .
18 – لَمْ أَجِدْ مَنْ يَقُول بِالتَّأْمِينِ عَلَى دُعَاءِ الإِْمَامِ بَعْدَ الصَّلاَةِ إِلاَّ بَعْضَ الْمَالِكِيَّةِ . وَمِمَّنْ قَال بِجَوَازِهِ ابْنُ عَرَفَةَ ، وَأَنْكَرَ الْخِلاَفَ فِي كَرَاهِيَتِهِ . وَفِي جَوَابِ الْفَقِيهِ الْعَلاَّمَةِ أَبِي مَهْدِيٍّ الْغُبْرِينِيُّ مَا نَصُّهُ : ” وَنُقَرِّرُ أَوَّلاً أَنَّهُ لَمْ يَرِدْ فِي الْمِلَّةِ نَهْيٌ عَنْ الدُّعَاءِ دُبُرَ الصَّلاَةِ ، عَلَى مَاجَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ الْيَوْمَ مِنَ الاِجْتِمَاعِ ، بَل جَاءَ التَّرْغِيبُ فِيهِ عَلَى الْجُمْلَةِ . ” فَذَكَرَ أَدِلَّةً كَثِيرَةً ثُمَّ قَال : ” فَتَحَصَّل بَعْدَ ذَلِكَ كُلِّهِ مِنَ الْمَجْمُوعِ أَنَّ عَمَل الأَْئِمَّةِ مُنْذُ الأَْزْمِنَةِ الْمُتَقَادِمَةِ مُسْتَمِرٌّ فِي مَسَاجِدِ الْجَمَاعَاتِ ، وَهُيَ مَسَاجِدُ الْجَوَامِعِ ، وَفِي مَسَاجِدِ الْقَبَائِل ، وَهِيَ مَسَاجِدُ الأَْرْبَاضِ وَالرَّوَابِطِ ، عَلَى الْجَهْرِ بِالدُّعَاءِ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنَ الصَّلَوَاتِ ، عَلَى الْهَيْئَةِ الْمُتَعَارَفَةِ الآْنَ ، مِنْ تَشْرِيكِ الْحَاضِرِينَ ، وَتَأْمِينِ السَّامِعِينَ ، وَبَسْطِ الأَْيْدِي وَمَدِّهَا عِنْدَ السُّؤَال وَالتَّضَرُّعِ وَالاِبْتِهَال مِنْ غَيْرِ مُنَازِعٍ . “
وَكَرِهَهُ مَالِكٌ وَجَمَاعَةٌ غَيْرُهُ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ ، لِمَا يَقَعُ فِي نَفْسِ الإِْمَامِ مِنَ التَّعَاظُمِ . وَبَقِيَّةُ الْقَائِلِينَ بِالدُّعَاءِ عَقِبَ الصَّلاَةِ يُسِرُّونَ بِهِ نَدْبًا ، عَلَى تَفْصِيلٍ . (1) ( ر : دُعَاءٌ ) .
MENG”AMINKAN’ DOA SETELAH SHALAT
Saya tidak temukan pendapat yang membolehkan mengaminkan doa setelah shalat kecuali pendapat beberapa orang pengikut mazhab Maliki . Diantara yang membolehkan itu adalah Ibnu Arafah, dia bahkan mengingkari adanya perbedaan pendapat tentang makruhnya hal ini.
Berikut ini nash ( tex ) jawaban dari alfaqih al’allamah ( Ahli fiqih yg sangat alim ) Abi Mahdi AlGhubriny dalam masalah ini : (( Pertama kita pastikan tidak ada dalam agama larangan berdoa secara berjamaah setelah shalat sebagaimana kebiasaan yang terjadi sekarang , bahkan secara umum itu dianjurkan. – kemudian dia menyebutkan beberapa dalil, lalu meneruskan – jadi bisa disimpulkan bahwa apa yang dilakukan para imam sejak masa-masa dulu terus berlanjut di masjid-masjid raya, masjid-masjid kampung, masjid-masjid sekolah, yaitu mengeraskan suara saat berdoa setelah shalat seperti cara yang dikenal sekarang, mengikut-sertakan hadirin ( jama’ah ), mereka mengaminkannya, menadahkan tangan saat berdoa dan merendahkan diri di hadapan Allah, yang mana hal tersebut tidak ada yang mengingkarinya )) .
Imam Malik tidak menyukai hal tersebut juga sekelompok lain dari Mazhab Maliki, karena bisa menimbulkan perasaan diri hebat pada diri seorang imam.
Sebagian berpendapat doa setelah shalat disunnatkan dengan tidak mengeraskan suara, dengan beberapa rincian dalam pendapat mereka.
Didalam masalah ini pendapat para ulama terbagi menjadi dua yaitu
Sebagian ulama tidak menyukainya, karena berdasarkan keterangan bahwa Rasulullah dan para sahabat tidak melakukan do’a bersama setelah melakukan shalat fardhu.
Sebagian ulama membolehkannnya bahkan sebagian menganjurkannya karena dianggap baik.
Dalil dari ulama yang tidak menyukainya sudah jelas dan sangat sederhana yaitu karena tidak ada contoh dari Rasulullah dan para sahabat oleh karena itu tidak perlu dikerjakan bahkan bisa jadi terlarang.
Yang perlu dipahami adalah pendapat ulama yang membolehkan atau menganjurkan. Mereka membagi persoalan tersebut menjadi dua bagian kemudian disimpulkan menjadi satu kesatuan. Yaitu
Hukum berdo’a setelah shalat
Berdo’a setelah shalat adalah merupakan anjuran dari Rasulullah dan tidak ada ulama yang berbeda pandangan, karena dasarnya yang besumber dari hadis shahih sangat banyak diantaranya adalah
سنن أبى داود – (4 / 318)
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ بِيَدِهِ وَقَالَ يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“ Sesungguhnya Rasulullah saw pernah memegang tanganku dan berkata :” Yaa Muadz , sesungguhnya Demi Allah aku mencintai Mu., Demi Allah aku mencintaiMu . aku berpesan kepadamu Yaa Muadz “ jangan sekali-kali engkau meninggalkan do’a setiap selesai shalat dengan do’a sebagai berikut: ‘ Yaa Allah tolonglah aku agar dapat selalu mengingatMu, dapat mensyukuri nikmatMu dan dapat beribadah kepadaMu dengan sebaik-baiknya”
Hukum mengaminkan do’a orang lain
Mengaminkan do’a adalah juga adalah sesuatu yang disyariatkan, dan juga tidak ada perbedaan pandangan diantara para ulama, sebagaimana sabda-sabda Rasulullah sebagai berikut:
الأدب المفرد – (1 / 342)
عن عائشة عن رسول الله صلى الله عليه و سلم : ما حسدكم اليهود على شيء ما حسدوكم على السلام والتأمين
Dari Aisyah r.a. dari Rasulullah s.a.w, bersabda: “Tidak ada hal yang paling dirikan oleh orang Yahudi kepada dirimu kecuali ucapan salam dan perkataan amiin. (Hadis Riwayat Bukhari didalam Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Albani)
جامع الأحاديث – (17 / 36)
لا يجتمع ملأ فيدعو بعضهم ويؤمن بعضهم إلا أجابهم الله (الطبرانى ، والحاكم ، والبيهقى(
Rasulullah bersabda: “Tidaklah sekelompok orang berdo’a kemudian saling mengaminkan, maka do’anya akan dikabulkan oleh Allah (Hadis Riwayat Thabarani, Al Hakim dan Baihaqi, dikutip dari Kitab Jami’ul Ahadis)
Malaikat mengaminkan do’a yang orang mendo’akan saudara muslim lainnya, sebagaimana tersebut dalam hadis berikut:
جامع الأحاديث – (3 / 144)
إذا دعا المرءُ لأخيه بظهر الغيبِ قالت الملائكةُ آمين ولك مثلُه (البزار عن أنس) [المناوى]
أخرجه البزار كما فى مجمع الزوائد (10/152) قال الهيثمى : رجاله ثقات
Rasulullah bersabda: “apabila seseorang mendo’akan saudaranya yang tidak berada disisinya maka para malaikat mengucapkan amiin dan bagi yang berdo’a akan memperoleh yang sama (hadis riwayat al Bazar dalam Kitab Al Manawi dan Majmu’ zawaid, dikutip dari Kitab Jami’ul Ahadis, perawinya dapat dipercaya)
Berdasarkan hadis-hadis diatas, sebagian ulama membolehkan, setelah shalat imam membaca do’a dan diaminkan oleh para makmun.
Namun kiranya perlu diperhatikan pendapat para ulama salaf bahwa berdo’a secara berjama’ah setelah sholat adalah bukan membuat hukum baru dalam artian bahwa apabila tidak berdo’a secara berjamaah ada keburukan disana atau sebaliknya..
Sebagaimana yang kita ketuahi bahwa bahwa berdzikir bisa dilakukan dengan sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Dalam shalat berjamaah sebaiknya dilakukan bersama-sama. Imam membaca dzikir dengan keras dan makmum mengikutinya. Hal ini didasarkan keumuman hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ (رواه مسلم
“Dari Abi Hurairah ra dan Abi Said al-Khudri ra bahwa keduanya telah menyaksikan Nabi saw beliau bersabda: ‘Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla kecuali para malaikat mengelilingi mereka, rahmat menyelimuti mereka, dan ketenangan hati turun kepada mereka, dan Allah menyebut (memuji) mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (H.R. Muslim)
Di sisi lain memang beberapa hadits shahih yang tampak memiliki maksud berbeda. Di satu sisi terdapat hadits yang menunjukkan bahwa membaca dzikir dengan suara keras setelah sahalat fardlu sudah dilakukan para sahabat pada masa Nabi saw. Hal ini sebagaiman dikemukakan oleh Ibnu Abbas ra:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ، كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه البخاري ومسلم
“Dari Ibnu Abbas ra ia berkata: ‘Bahwa mengerasakan suara dalam berdzikir ketika orang-orang selesai shalat maktubah itu sudah ada pada masa Nabi saw” (H.R. Bukhari-Muslim)
Namun terdapat juga hadits lain yang berkebalikan, yang menunjukkan adanya anjuran untuk memelankan suara ketika berdzikir, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:
ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا، وَلَكِنْ تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا (رواه البخاري
“Ringankanlan atas diri kalian (jangan mengerasakan suara secara berlebihan) karena susunggunya kalian tidak berdoa kepada Dzat yang tidak mendengar dan tidak kepada yang ghaib, akan tetapi kalian berdoa kepada Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat” (H.R. Bukhari)
Dari kedua hadits tersebut dapat dipahami bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir dan memelannkannya sama-sama memiliki landasan yang shahih. Maka dalam konteks ini Imam an-Nawawi berusaha untuk menjembatani keduanya dengan cara memberikan anjuran kepada orang yang berdzikir untuk menyesuakan dengan situasi dan kondisi. Berikut ini adalah penjelasan Imam an-Nawawi yang dikemukan oleh penulis kitab Ruh al-Bayan.
وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ الوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الْإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّيَاءَ أَوْ تَأَذَّى المُصَلُّونَ أَوْ النَّائِمُونَ وَالْجَهْرُ أَفْضَلُ فِى غَيْرِ ذَلِكَ لِأَنَّ الْعَمَلَ فِيهِ أَكْثَرُ وَلِأَنَ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِينَ وَلِأَنَّهُ يُوقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيَصْرِفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيَطْرِدُ النَّوْمَ وَيَزِيدَ فِى النَّشَاطِ (أبو الفداء إسماعيل حقي، روح البيان، بيروت-دار الفكر، ج، 3، ص. 306
“Imam an-Nawawi memadukan antara hadits-hadits yang menganjurkan (mustahab) mengeraskan suara dalam berdzikir dan hadits-hadits yang menganjurkan memelankan suara dalam berdzikir; bahwa memelankan suara dalam berdzikir itu lebih utama sekiranya dapat menutupi riya dan mengganggu orang yang shalat atau orang yang sedang tidur. Sedangkan mengeraskan suara dalam berdzikir itu lebih utama pada selain dua kondisi tersebut karena: pebuatan yang dilakukan lebih banyak, faidah dari berdzikir dengan suara keras itu bisa memberikan pengaruh yang mendalam kepada pendengarnya, bisa mengingatkan hati orang yang berdzikir, memusatkan perhatiannya untuk melakukan perenungan terhadap dzikir tersebut, mengarahkan pendenganrannya kepada dzikir terebut, menghilankan kantuk dan menambah semangatnya”. (Abu al-Fida` Ismail Haqqi, Ruh al-Bayan, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 3, h. 306)
Sedang mengenai doa bersama, yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah setelah imam selesai shalat bersama-sama dengan makmum melakukan dzikir kemudian imam melakukan doa yang diamini oleh makmunya. Hal ini jelas diperbolehkan, dan di antara dalil yang memperbolehkannya adalah hadits berikut ini:
عَنْ حَبِيْبِ بْنِ مَسْلَمَةَ الْفِهْرِيِّ وَكَانَ مُجَابَ الدَّعْوَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُوْلُ: لاَ يَجْتَمِعُ قَوْمٌ مُسْلِمُوْنَ فَيَدْعُوْ بَعْضُهُمْ وَيُؤَمِّنُ بَعْضُهُمْ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَهُمْ. رواه الطبراني
“Dari Habib bin Maslamah al-Fihri ra –ia adalah seorang yang dikabulkan doanya-, berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Tidaklah berkumpul suatu kaum muslim yang sebagian mereka berdoa, dan sebagian lainnya mengamininya, kecuali Allah mengabulkan doa mereka.” (HR. al-Thabarani)
Dalam Al Qur’an dikabarkan ketika Nabi Musa berdoa:
وَقَالَ مُوسَى رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالًا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ
“Musa berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan kami akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.”” (QS. Yunus: 88)
Namun perhatikan apa firman AllahTa’ala setelahnya:
قَالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا وَلَا تَتَّبِعَانِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Allah berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui”” (QS. Yunus: 89)
Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi menjelaskan: “firman Allah ini khitab (lawan bicara) nya adalah Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam padahal yang berdoa hanya Nabi Musa seorang. Namun ketika Nabi Musa berdoa, Nabi Harun mengamini doa beliau. Dan orang yang mengamini doa dianggap sebagai orang mengucapkan doa” (Sifat Shalat Nabi, 92).
Dalam sebuah hadits :
إِذَا أَمَّنَ القَارِئُ فَأَمِّنُوا، فَإِنَّ المَلاَئِكَةَ تُؤَمِّنُ، فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ المَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (مسلم)
Apabila yang membaca (doa) mengucapkan Amin, maka ucapkanlah Amin, karena malaikat mengaminkan, dan barangsiapa ucapan Amin nya bersamaan dengan Amin nya malaikat niscaya diampunia dosa-dosa (kecil) nya yang telah lalu (HSR Muslim)
Selain Muslim hadits yang sama diriwayatkan juga oleh Bukhari dalam shahihnya 8:85; Ahmad dalam musnadnya 12:187; Ibnu Abi Syaibah dalam mushannafnya 2:187; Ibnu Majah dalam sunannya 1:277; Nasaa`i dalam sunannya 2:143; Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 1:286; Thabrani dalam Mu`jamul Aushat 9:7 dan Baihaqi dalam sunan kubra 2:80.
Lafazh “alqaari`” pada hadits di atas arti harfiahnya adalah “yang membaca”, termasuk dalam pengertiannya yang membaca doa, maka itu dulu kami menyimpulkan baha apabila yang berdoa mengucap Amin, maka yang mendengar wajib mengucap Amin.
Belakangan terungkap bahwa sebenarnya yang dimaksud hadits di atas adalah apabila imam dalam shalat mengucap Amin, maka ma`mum di belakangnya wajib juga mengucap Amin. Jadi lafazh “alqaari`” itu maksudnya “al-imam” sebagaimana hadits sebagai berikut:
إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ، فَأَمِّنُوا، فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ المَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (البخاري)
Apabila imam (dalam shalat) mengucap Amin, maka ucapkanlah Amin, karena se sungguhnya barangsiapa ucapan Amin nya bersamaan dengan ucapan Amin para malaikat niscaya akan diampuni dosa-dosa (kecilnya) yang telah lalu (HSR Bukhari)
Selain Bukhari, hadits ini diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwath-tha` 2:119; Syafi`i dalam musnadnya 1:82; Muslim dalam shahihnya 1:306; Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 1:286; Abu Awanah dalam mustakhrajnya 1:455; Abu Dawud dalam sunannya 1:246; Tirmi dzi dalam sunannya 1:332; Nasaa`i dalam sunannya 2:144 dan Baihaqi dalam sunan kubra 2:79.
Lalu sekarang bagaimana hukum sebenarnya mengaminkan doa seorang khatib atau doa seseorang yang kita dengar ? Untuk itu kita meruju` pada sebuah riwayat dari Jabir bin Abdullah:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَقَى المِنبر فَلما رَقَى الدَّرجة الأُولى قَالَ: (آمِين) ثُم رَقى الثَانية فَقال: (آمِينَ) ثُم رَقى الثَالثة فَقال: (آمِينَ) فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ سَمعنَاك تَقولُ: (آمينَ) ثَلاث مَرات؟ قَالَ: (لَما رَقيتُ الدَّرجةَ الأُولى جَاءِني جِبريلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقال: شَقي عَبدٌ أَدركَ رمضانَ فانسَلخَ مِنهُ ولَم يُغفَر لَه فَقلتُ: آمِينَ، ثُم قَال شَقي عَبدٌ أَدرك والدَيهِ أَو أَحدَهُما فَلم يُدخِلاهُ الجنَّةَ. فَقلتُ: آمينَ. ثُم قَال شَقي عَبدٌ ذُكرتَ عِندهُ ولَم يُصلِ عَليك. فَقلتُ: آمينَ) رواه البخاري في الأدب المفرد 1:337
Bahwasanya suatu hari Nabi saw naik ke mimbar, ketika beliau menaiki tangga per tama beliau mengucapkan Amin, ketika menaiki tangga kedua beliau juga mengucapkan Amin, dan begitupula ketika menaiki tangga ketiga beliau mengucapkan Amin. Para sahabat kemudian bertanya: Ya Rasulullah, kami mendengar engkau mengucapkan Amin sebanyak tiga kali, (apakah gerangan yang terjadi ) ? Beliau lalu bersabda: Ketika saya menaiki tangga yang pertama Jibril as datang lalu berkata: Semoga kecelakaan menimpa seorang hamba yang menjumpai dan melewati bulan Ramadhan namun dia tidak diam puni, saya pun mengatakan Amin, Kemudian dia berkata: semoga kecelakaan menimpa seorang hamba yang sempat menjmpai kedua orang tuanya atau salah satu dari padanya (dalam keadaan masih hidup), namun keduanya tidak memasukkannya ke sorga (karena ia durhaka kepada nya), maka saya menjawab: Amin. Kemudian berkata: Semoga kecela kaan menimpa seorang hamba yang tidak mengucapkan shalawat kepadamu, ketika nama mu disebutkan di hadapannya, maka saya pun mengucapkan Amin (Bukhari dalam al-Ada bul Mufrad)
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad 1:237 dengan status Shahih Lighairihi (artinya shahih karena terangkat riwayat lain)
Riwayat di atas dengan jelas menerangkan bahwa Nabi saw mengucap Amin ketika mendengar Jibril as berdoa, ini artinya pengaminan doa itu adalah sesuatu yang masyru` (di syari`atkan) berarti kita boleh mengamalkannya. Dan oleh karena dalam hal ini Nabi saw tidak memerintahkan pengaminan tersebut, maka status hukumnya adalah sunnah, sebab semata mata perbuatan Nabi saw apabila tidak diiringi dengan perintah maka hukumnya adalah sunnah.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar