Translate

Jumat, 03 Februari 2017

Seorang Kholifah (Pemimpin) Harus Melindungi Apa Yang Dipimpinnya

Kehidupan kaum muslimin saat ini bagaikan anak ayam kehilangan induknya, besar jumlahnya namun tercerai berai, hingga dilecehkan kehormatannya oleh kaum yang mengingkari Allah dan Rasul-Nya, dibantai dan diusir dari tanah kelahirannya oleh kaum kafir tiran seperti yang terjadi pada kaum muslimin di Palestina, Myanmar, Suriah dan belahan bumi lainnya, fakta yang tak bisa dipungkiri oleh mereka yang masih memiliki kejelian mata dan berfungsi kepekaan hatinya.

Tidaklah itu semua mengingatkan saya, kecuali kepada pujian yang dituturkan yang mulia Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- terhadap sosok penguasa yang dibai’at kaum muslimin untuk menegakkan hukum-hukum Allah, melindungi harta, kehormatan dan darah kaum muslimin, ialah al-Imam yakni al-Khalifah, berdasarkan sabdanya -shallaLlâhu ’alayh wa sallam- yang mulia; dari Abu Hurairah –radhiyaLlâhu ’anhu-. bahwa Nabi Muhammad -shallaLlâhu ’alayh wa sallam-bersabda:‎‎

إنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ، فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ، وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ

”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)

Periwayatan Hadits
Imam Abu Yusuf (w. 182 H) dalam al-Kharâj dari Abu Hurairah –radhiyaLlâhu ’anhu-.
Imam Al-Bukhari (w. 256 H) dalam Shahîh-nya dalam Bab (يُقَاتَلُ مِنْ وَرَاءِ الإِمَامِ وَيُتَّقَى بِهِ), hadits no. 2797.‎
Imam Muslim (w. 261 H) dalam Shahîh-nya dalam Bab (الإمام جنة), hadits no. 4800.‎
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) dalam Musnad-nya, Bab. (مسند أبي هريرة –رضي الله عنه-), hadits no. 10777, dari jalur Abdul Malik bin Amru, Al-Mughirah‎, dari Abi al-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abi Hurairah –radhiyaLlâhu ’anhu-.‎ Syu’aib al-Arna’uth mengatakan bahwa hadits ini shahih, sanadnya kuat.
Imam Abû Dawud dalam Sunan-nya dalam Bab (الإِمَامِ يُسْتَجَنُّ بِهِ فِى الْعُهُودِ), dalam riwayat Abu Dawud redaksinya lebih ringkas: (إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ بِهِ)‎
Imam al-Nasa’i (w. 303 H) dalam Sunan-nya dalam Subbab (ذِكْرُ مَا يَجِبُ لِلْإِمَامِ وَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ), hadits no. 4207.‎
Imam Abu Ya’la al-Moushuli (w. 307 H) dalam Musnad-nya, hadits no. 6325.
Imam al-Baihaqi dalam Al-Sunan al-Kubrâ’, Bab (مُهَادَنَةِ الْأَئِمَّةِ بَعْدَ رَسُولِ رَبِّ الْعِزَّةِ إِذَا نَزَلَتْ بِالْمُسْلِمِينَ نَازِلَةٌ) hingga redaksi yuqâtalu bihi.
Abu ’Awanah al-Isfaraini (w. 316 H) dalam Musnad-nya, Bab (كتاب الأمراء), hadits no. 7125.‎
Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) mengetengahkan hadits ini dalam Fadhîlat al-’ Âdilayn Min al-Wulât.
Al-Muhallab bin Ahmad al-Mariyiyyu (w. 435 H) dalam Al-Mukhtashar al-Nashîh fî Tahdzîb al-Kitâb al-Jâmi’ al-Shahîh, Bab (بَاب يُقَاتَلُ مِنْ وَرَاءِ الْإِمَامِ وَيُتَّقَى بِهِ) hadits no. 1071.‎
Al-Thabrani (w. 360 H) dalam Musnad al-Syâmiyyîn, hadits no. 3255.

Faidah Hadits Ini dalam Penjelasan Para Ulama Mu’tabar

Pertama, Makna Kata (الإمام)

Kata ini mengandung konotasi al-Khalifah atau al-Imam al-A’zham yang mengurusi urusan manusia. Imam al-Mala al-Qari (w. 1041 H) secara gamblang menyatakan:
(فَإِنَّمَا الْإِمَامُ) أَيِ الْخَلِيفَةُ أَوْ أَمِيرُهُ     
”Makna kalimat (إنما الإمام) yakni al-Khalifah atau Amirnya.”‎
            ‎
Imam al-Manawi al-Qahiri (w. 1031 H) pun menegaskan bahwa al-Imam dalam hadits ini yakni al-Imam al-A’zham, istilah yang sama diungkapkan oleh ulama mujtahid penulis kitab Subul al-Salâm, Imam al-Shan’ani (w. 1182 H), dimana para ulama ketika menyebut al-Imâm al-A’zham berkonotasi Imâm al-Muslimîn, dan Imâm al-Muslimîn adalah al-Khalifah, sebagaimana disebutkan Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, dan sistem pemerintahan yang dipimpin oleh al-Khalifah adalah al-Khilâfah yang disebut para ulama sebagai al-Imâmah al-Kubrâ’ (kepemimpinan agung):

الخليفة؛ من ولي الإمامة العامة للمسلمين: الرئيس الاعلى للدولة الاسلامية

”Al-Khalifah; seseorang yang memegang tampuk kepemimpinan umum bagi kaum muslimin: pemimpin tertinggi bagi Negara Islam (al-Dawlah al-Islâmiyyah).”

Dr. Mushthafa Dib al-Bugha menjelaskan bahwa makna al-imâm adalah penguasa tertinggi yang bertanggungjawab mengurusi urusan umat. ‎Ahli bahasa, Imam Ibnu Faris (w. 395 H) pun menjelaskan:

وَالْإِمَامُ: كُلُّ مَنِ اقْتُدِيَ بِهِ وَقُدِّمَ فِي الْأُمُورِ. وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِمَامُ الْأَئِمَّةِ، وَالْخَلِيفَةُ إِمَامُ الرَّعِيَّةِ، وَالْقُرْآنُ إِمَامُ الْمُسْلِمِينَ  

”Al-Imam: siapa saja yang diikuti perintahnya dan dikedepankan dalam memutuskan berbagai perkara, dan Nabi -shallaLlâhu ’alayh wa sallam- adalah pemimpin para pemimpin, dan Khalifah adalah pemimpin rakyatnya, dan al-Qur’an adalah pemimpin kaum muslimin.”
            ‎
Imam Ibnu Bathal (w. 449 H) pun mengisyaratkan bahwa yang dimaksud dari al-Imam dalam hadits ini adalah al-Khalifah, ia menjelaskan di antara penakwilan (يقاتل من ورائه) yakni dengan al-Imam yang adil khususnya, dan siapa saja yang memberontak al-Imam (al-Khalifah) maka seluruh kaum muslimin wajib memeranginya bersama al-Imam al-’Adl (al-Khalifah)‎
            ‎
Penjelasan serupa diungkapkan oleh al-Qadhi ’Iyadh (w. 544 H) dalam kitab syarh-nya atas Shahîh Muslim, dan bahwa rakyat wajib berperang bersama imamnya, mendukung dan memberikan pertolongan kepadanya memerangi mereka yang bughat.

Sebagian ulama menjelaskan makna al-Imâm dalam hadits ini yakni setiap orang yang mengurusi urusan manusia (كلّ قائم بأمور الناس) ‎yakni penguasa, yang tentunya penguasa yang diangkat sah secara syar’i. Karena hukum memerangi bughat berlaku dalam konteks pembangkangan atau pemberontakan atas penguasa yang sah secara syar’i dibai’at oleh kaum muslimin, yakni al-Khalifah. Hal itu pun dipertegas penjelasan para ulama lainnya.

Kedua, Kedudukan Al-Imam (Al-Khalifah) Berdasarkan Hadits Ini

Frase (الإمام جنة) merupakan bentuk ‎tasybîh, penyerupaan antara kedudukan al-Imam dengan junnah (perisai), dimana Imam al-Mala al-Qari menyebutkan sebagai bentuktasybîh balîgh (penyerupaan yang kuat mendalam).‎

Imam al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) dalam al-Mufradât menegaskan bahwa asal kata ‎junnah seakar kata dengan kata al-jin, yakni sesuatu yang terhalang dari pandangan mata manusia. Sedangkan junnah ialah suatu penghalang. ‎Imam Ibnu Bathal pun menukil penjelasan dalam Kitâb al-’Ayn:

الجنة: الدرع، وسمى المجن: مجنًا؛ لأنه يستتر به عند القتال.

”Al-Junnah: yakni al-Dir’u, dan dinamakan ‎al-majn: majn[an]: karena seseorang berlindung dengannya dalam peperangan.”

Karena sebagaimana penjelasan al-Hafizh al-Qurthubi, kata al-mijann, al-junnah, al-jân, al-jannah, al-jinnah semuanya kembali kepada makna al-sitr (penutup). Dimana sifat junnah dalam hadits ini, berkonotasi sebagai pelindung dari kezhaliman dan penangkal dari keburukan, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu al-Atsir (w. 606 H). 

Dimana para ulama pun merinci penjelasan atas kedudukan al-Imam, dan apa yang diungkap dalam hadits yang agung ini pun tidak terbatas dalam peperangan semata, seperti penegasan Imam al-Mala al-Qari:

(وَيُتَّقَى بِهِ) بَيَانٌ لِكَوْنِهِ جُنَّةً أَيْ يَكُونُ الْأَمِيرُ فِي الْحَرْبِ قُدَّامَ الْقَوْمِ لِيَسْتَظْهِرُوا بِهِ وَيُقَاتِلُوا بِقُوَّتِهِ كَالتُّرْسِ لِلْمُتَتَرِّسِ، وَالْأَوْلَى أَنْ يُحْمَلَ عَلَى جَمِيعِ الْأَحْوَالِ ; لِأَنَّ الْإِمَامَ يَكُونُ مَلْجَأً لِلْمُسْلِمِينَ فِي حَوَائِجِهِمْ دَائِمًا

”Frase (وَيُتَّقَى بِهِ) sebagai penjelasan dari kedudukan al-Imam sebagai junnah (perisai) yakni menjadi pemimpin dalam peperangan yang terdepan dari kaumnya untuk mengalahkan musuh dengan keberadaannya dan berperang dengan kekuatannya seperti keberadaan tameng bagi orang yang dilindunginya, dan yang lebih tepat bahwa hadits ini mengandung konotasi dalam seluruh keadaan; karena seorang al-Imam menjadi pelindung bagi kaum muslimin dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara berkelanjutan.".‎

:: Khalifah: Pelindung dari Gempuran Musuh, Pencegah Kezhaliman & Pemelihara Kemurnian Ajaran Islam
Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, di antaranya al-Hafizh Abu Zakariya bin Syarf al-Nawawi (w. 676 H) dalam kitab syarh-nya atas ‎Shahîh Muslim:

قوله صلى الله عليه وسلم: (الإمام جنة) أي: كالستر لأنه يمنع العدو من أذى المسلمين، ويمنع الناس بعضهم من بعض، ويحمي بيضة الإسلام، ويتقيه الناس ويخافون سطوته 

”Sabda Rasulullah -shallaLlâhu ’alayh wa sallam-: (الإمام جنة) yakni seperti al-sitr (pelindung), karena Imam (Khalifah) mencegah musuh dari perbuatan mencelakai kaum muslimin, dan mencegah sesama manusia (melakukan kezhaliman-pen.), memelihara kemurnian ajaran Islam, rakyat berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.”‎

Penjelasan hampir serupa disebutkan Imam al-Thibi (w. 743 H) dalam syarh-nya atas ‎Misykât al-Mashâbîh, Imam Syamsuddin al-Kirmani (w. 786 H) dalam syarh-nya atas Shahîh al-Bukhârî, Imam Shadruddin al-Munawi (w. 803 H)‎, Imam Ibnu al-Mulqan (w. 804 H) dalam syarh-nya atas al-Jâmi’ al-Shaghîr, ‎al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H) dalam syarh-nya atas ‎Shahîh Muslim, dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani (w. 852 H) dalam kitab syarh-nya atas Shahîh al-Bukhârî yang menjelaskan sifat al-Imam sebagai junnah yakni pelindung dari kejahatan musuh dan perbuatan saling menzhalimi.

Imam Badruddin al-‘Aini (w. 855 H) menjelaskan makna (يتقى به) yakni berlindung dengan al-Imam dari keburukan musuh, pembuat kerusakan dan kezhaliman, dan bagaimana tidak seperti itu? Sesungguhnya ia melindungi kaum muslimin dari tangan-tangan musuh dan melindungi kemurnian ajaran Islam. ‎Imam al-Manawi al-Qahiri (w. 1031 H) menegaskan bahwa kata ‎ junnah bermakna ‎wiqâyah (pencegah), sâtir (pelindung) dan turs (tameng), (al-Imam) yakni tameng yang memelihara kemurnian ajaran Islam, dan dengannya menolak berbagai kezhaliman, dan umat manusia akan meminta perlindungannya dalam berbagai keadaan genting.‎

Imam al-Shan’ani (w. 1182 H) pun menjelaskan fungsi al-Imam sebagai wiqâyah (pencegah), sâtir (pelindung) dan turs (tameng) yang memelihara kemurnian ajaran Islam. ‎Hal itu bisa terwujud ketika al-Imam (al-Khalifah) menegakkan hukum-hukum Islam ‎kâffah, menegakkan sanksi atas pelaku kemungkaran dan melarang aliran-aliran sesat menyesatkan.

Al-Hafizh al-Nawawi (w. 676 H) pun merinci penjelasannya bahwa makna (يقاتل من ورائه) yakni: kaum kafir, pemberontak, khawarij dan seluruh kelompok-kelompok pembuat kerusakan dan kezhaliman akan diperangi bersamanya secara mutlak.

Al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H) pun menukil penjelasan al-Hafizh al-Nawawi di atas dalam Hâsyiyyat al-Sindi, dan merinci dalam kitabnya yang lain:

يُقَاتل من وَرَائه أَي يُقَاتل مَعَه الْكفَّار والبغاة والخوارج وَسَائِر أهل الْفساد ويتقى بِهِ أَي شَرّ الْعَدو وَأهل الْفساد وَالظُّلم 

“Kalimat ( يُقَاتل من وَرَائه) Yakni kaum kuffar, para pemberontak, khawarij dan seluruh pembuat kerusakan diperangi bersamanya dan makna (يتقى بِهِ) yakni dari keburukan musuh, pembuat kerusakan dan kezhaliman.”

Memerangi mereka dengan kekuasaannya, kekuatannya dan pengaruh wibawa al-Imam, sebagaimana dituturkan oleh Imam al-Shan’ani.

Imam Ibnu Bathal (w. 449 H) menegaskan bahwa (الإمام جنة) itu sebagai pelindung interaksi manusia satu sama lain, karena dengan fungsi penguasa, Allah melindungi kaum yang lemah di antara manusia yakni pelindung bagi mereka, menjaga harta dan kehormatan-kehormatan orang-orang beriman.

Imam al-Khaththabi (w. 388 H) pun menjelaskan besarnya kedudukan al-Imam (al-Khalifah) dalam melindungi umat dari serangan kaum kuffar dalam perkataannya:

ومعنى الجنة العصمة والوقاية، وليس لغير الإمام أن يجعل لأمة بأسرها من الكفار أمانًا

“Dan makna al-junnah yakni pencegah dan pelindung, dan tidak ada bagi selain sosok al-Imam yang mampu mewujudkan keamanan bagi umatnya dari serangan orang-orang kafir.”
            
Penjelasan al-Khaththabi di atas pun dinukil oleh Al-Muhaddits al-Imam Abu Abdurrahman Syarf al-Haq al-‘Azhim al-Abadi. Dan tak sedikit para ulama lainnya yang menjadikan hadits ini sebagai dalil yang menegaskan pentingnya kedudukan al-Imam (al-Khalifah) dalam komando jihad fî sabîliLlâh.

:: Khalifah: Pemberi Keputusan & Pandangan atas Berbagai Perkara Krusial & Ancaman Berbahaya

Al-Imam atau al-Khalifah sebagai junnah(perisai) adalah sebagai pemberi keputusan yang wajib dita’ati dalam kebenaran.

Al-Qadhi ’Iyadh (w. 544 H) dalam syarh-nya atas Shahîh Muslim menjelaskan bahwa fungsi al-Imam sebagai junnah yakni seperti al-sâtir (pelindung), al-turs (tameng) karena mencegah dan melindungi kemurnian kaum muslimin dan memproteksi mereka dengan kedudukan dan pandangannya dari musuh mereka. ‎Dikatakan pula bahwa kembali kepadanya berbagai hal, dan ia sebagai perisai di antara manusia dari saling menzhalimi baik dalam masalah harta maupun jiwa.

Al-Muhaddits Syarf al-Haq al-‘Azhim al-Abadi menuturkan bahwa kata (به) dalam frase (يتقى به) yakni dengan pandangan dan perintahnya. A‎l-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H) pun menukil al-Hafizh al-Qurthubi dalam penjelasannya:

إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ أَيْ كَالتُّرْسِ قَالَ الْقُرْطُبِيُّ أَيْ يُقْتَدَى بِرَأْيِهِ وَنَظَرِهِ فِي الْأُمُورِ الْعِظَامِ وَالْوَقَائِعِ الْخَطِرَةِ وَلَا يُتَقَدَّمُ عَلَى رَأْيِهِ وَلَا يُنْفَرَدُ دُونَهُ بِأَمْرٍ مُهِمٍّ         

“Kalimat (إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ) yakni seperti tameng, al-Hafizh al-Qurthubi mengatakan yakni diikuti pendapat dan pandangan al-Imam atas berbagai perkara krusial dan ancaman berbahaya, dan pendapatnya tidak boleh didahului (pendapat lain) dan tidak boleh diputuskan sendiri tanpa keputusannya dalam perkara penting apapun.”‎

Imam Ibnu Bathal (w. 449 H) menjelaskan bahwa makna kalimat (يتقى به) yakni harus dikembalikan kepadanya pandangan, pelaksanaan dan lain sebagainya dari hal-hal yang tidak diputuskan kecuali berdasarkan pandangan dan keputusan hukum al-Imam (al-Khalifah), dan makna (يتقى به) yakni mencegah kesalahan beragama dan beramal dari berbagai syubhat dan selainnya.”

Penjelasan serupa dipaparkan al-Muhaddits al-Syaikh ’Ali bin Adam al-Ityubi al-Wallawi dalam syarh-nya atas Sunan al-Nassa’i, dan menegaskan bahwa al-Imam yang menetapkan keputusan dalam hal-hal tersebut.

:: Khalifah Pelindung dalam Peperangan & Hal-Hal yang Menyeret Ke dalam Kebinasaan Siksa Neraka
Imam al-Baghawi al-Syafi’i (w. 516 H) ketika menjelaskan (الإِمَامُ جُنَّةٌ), dikatakan bahwa yang dimaksud darinya kaum itu berlindung dengannya dalam peperangan, dikatakan pula bahwa hal itu karena seorang al-Imam melindungi kaumnya dari hal-hal yang menyeretnya ke dalam siksa api (neraka). ‎Dimana hal tersebut terwujud ketika al-Khalifah menegakkan hukum-hukum Islam kâffah (totalitas) dalam pengaturan kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat tercegah dari perbuatan kezhaliman, kemaksiatan atau kemungkaran.

Imam Ibnu Hubairah (w. 560 H) pun menjelaskannya bahwa jika seorang mujahid berjihad di bawah bendera al-Imam, maka keterlibatannya dengan al-Imam sebagai junnah (perisai) dari siksa api neraka dan berlindung dengannya dari kemurkaan Allah ’Azza wa Jalla.‎ Dimana seorang mujahid mena’ati perintah Allah dan Rasul-Nya dengan berjihad dan ditambah ganjaran mena’ati perintah al-Khalifah dengan komando untuk berjihad di bawah panjinya.
            
Dari penjelasan itu semua kita memahami besarnya kedudukan al-Imam (khalifah) dan pentingnya keberadaannya dalam melindungi rakyatnya dari ancaman kaum perusak. Maka tidak mengherankan jika hadits ini pun menjadi dalil qarînah (indikasi) atas perintah kewajiban mengangkat al-Imam (al-Khalifah) dan menegakkan al-Imâmah (al-Khilafah) dalam Islam. Sebagaimana disebutkan dalam kitab ‎Ajhizât fî Dawlat al-Khilâfah.

:: Khalifah Sebagai Pemersatu & Simbol Kesatuan Kaum Muslimin
Hal ini diungkapkan oleh Imam Waliyullah al-Dahwali (w. 1176 H):‎

أَقُول إِنَّمَا جعله بِمَنْزِلَة الْجنَّة لِأَنَّهُ سَبَب اجْتِمَاع كلمة الْمُسلمين والذب عَنْهُم. 

”Aku katakan sesungguhnya Rasulullah -shallaLlâhu ’alayh wa sallam-memposisikannya pada kedudukan sebagaijunnah (perisai) karena ia adalah sebab kesatuan kalimat kaum muslimin dan melindungi mereka.”
            ‎
Hal ini pun bisa kita pahami dimana al-Khalifah merupakan simbol kesatuan kaum muslimin dalam satu pedoman (al-Qur’an dan al-Sunnah), satu bendera al-liwâ’, satu panji jihad al-râyah, dalam satu negara besar (al-Dawlah al-Islâmiyyah), dimana para ulama pun menetapkan kaidah, sebagaimana disebutkan oleh al-Qadhi al-Nabhani dalam banyak kutubnya:

أمر الإمام يرفع الخلاف

”Perintah al-Imam (al-Khalifah) mengatasi perselisihan.”

Imam Abu Zahrah, juga menjelaskan hal yang sama, bahwa Imâmah dan Khilâfah, begitu juga Imâm dan Khalîfah itu sama:

«اَلْمَذَاهِبُ السِّيَاسِيَّةُ كُلُّهَا تَدُوْرُ حَوْلَ الْخِلاَفَةِ وَهِيَ الإِمَامَةُ الْكُبْرَى، وَسُمِيَتْ خِلاَفَةً لأنَّ الَّذِيْ يَتَوَلاَّهَا وَيَكُوْنُ الْحَاكِمُ الأعْظَمُ لِلْمُسْلِمِيْنَ يَخْلُفُ النَّبِيَّ ﷺ (فِيْ إِدَارَةِ شُؤُوْنِهِمْ، وَتُسَمَّى إِمَامَةً: لأنَّ الْخَلِيْفَةَ كَانَ يُسَمَّى إِمَامًا، وَلأنَّ طَاعَتَهُ وَاجِبَةٌ، وَلأنَّ النَّاسَ كَانُوْا يَسِيْرُوْنَ وَرَاءَهُ كَمَا يُصَلُّوْنَ وَرَاءَ مَنْ يَؤُمُّهُمُ الصَّلاَةَ».

“Semua mazhab politik berkisar tentang Khilâfah, yaitu Imâmah Kubrâ. Ia disebut Khilâfah, karena yang mengurus dan menjadi penguasa tertinggi bagi kaum Muslim itu menggantikan Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama dalam mengurus urusan mereka. Ia juga disebut Imâmah, karena Khalîfah biasa dipanggil dengan sebutan Imâm. Karena mentaatinya hukumnya wajib, karena masyarakat berjalan di belakangnya, sebagaimana orang yang berada di belakang orang yang menjadi imam shalat mereka.”

Karena itu, jelas, bahwa yang dimaksud dengan Imâm di dalam hadits Bukhari dan Muslim di atas, tak lain adalah Khalîfah. Konotasi makna Imâm di sini adalah Khalifah bisa dijelaskan dengan shighat Hashr [bentuk pembatasan, dengan konotasi “hanya”], Innamâ, yang artinya, “Sesungguhnya [imam] itu tak lain..”, sebagaimana dalam beberapa nash syara’ yang lain, seperti:

«إِنَّمَا المُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ»

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu tak lain adalah bersaudara.” [Q.s. al-Hujurat: 10]

Artinya, mereka tak lain adalah bersaudara, bukan musuh. Karena itu, ketika mereka bermusuhan, diperintahkan, “Fa ashlihu..” [damaikanlah], maksudnya agar tetap bersaudara, dan permusuhan di antara mereka pun sirna.

Ini dari aspek bahasa. Dari aspek fakta, baik historis maupun empiris, jelas bahwa konotasi makna lafadz, Imâm di sini tak lain adalah Khalîfah [kepala negara] yang memangku Khilâfah [Negara Islam]. Konotasi ini dijelaskan oleh lanjutan frasa berikutnya:

«جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»

“[Imam/Khalifah itu tak lain] laksana perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng.” [Hr. Bukhari dan Muslim]

Makna, al-Imâm Junnat[un] [Imam/Khalifah itu laksana perisai] dijelaskan oleh Imam an-Nawawi:

أَيْ: كَالسَّتْرِ؛ لأَنَّهُ يَمْنَعُ اْلعَدُوَّ مِنْ أَذَى المُسْلِمِيْنَ، وَيَمْنَعُ النَّاسَ بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْضٍ، وَيَحْمِي بَيْضَةَ الإِسْلاَمَ، وَيَتَّقِيْهِ النَّاسُ وَيَخَافُوْنَ سَطْوَتَهُ.

“Maksudnya, ibarat tameng. Karena dia mencegah musuh menyerang [menyakiti] kaum Muslim. Mencegah masyarakat, satu dengan yang lain dari serangan. Melindungi keutuhan Islam, dia disegani masyarakat, dan mereka pun takut terhadap kekutannya.”
Begitu juga frasa berikutnya, “Yuqâtalu min warâ’ihi, wa yuttaqâ bihi” [Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng]:

أَيْ: يُقَاتَلُ مَعَهُ الْكُفَّارُ وَالْبُغَاةُ وَالْخَوَارِجُ وَسَائِرُ أَهْلِ الْفَسَادِ وَالظُّلْمِ مُطْلَقًا، وَالتَّاءُ فِي (يُتَّقَى) مُبْدِلَةٌ مِنَ الْوَاوِ لأنَّ أَصْلَهَا مِنَ الْوِقَايَةِ.

“Maksudnya, bersamanya [Imam/Khalifah] kaum Kafir, Bughat, Khawarij, para pelaku kerusakan dan kezaliman, secara mutlak, akan diperangi. Huruf “Ta’” di dalam lafadz, “Yuttaqa” [dijadikan perisai] merupakan pengganti dari huruf, “Wau”, karena asalnya dari lafadz, “Wiqâyah” [perisai].”

Mengapa hanya Imâm/Khalîfah yang disebut sebagai Junnah [perisai]? Karena dialah satu-satunya yang bertanggungjawab sebagai perisai, sebagaimana dijelaskan dalam hadits lain:

«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ».

“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]

Menjadi Junnah [perisai] bagi umat Islam, khususnya, dan rakyat umumnya, meniscayakan Imâm harus kuat, berani dan terdepan. Bukan orang yang pengecut dan lemah. Kekuatan ini bukan hanya pada pribadinya, tetapi pada institusi negaranya. Kekuatan ini dibangun karena pondasi pribadi dan negaranya sama, yaitu akidah Islam. Inilah yang ada pada diri Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama dan para Khalifah setelahnya, sebagaimana tampak pada surat Khalid bin al-Walid:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، مِنْ خَالِدٍ بْنِ الْوَلِيْدِ إِلَى مُلُوْكِ فَارِسٍ، فَالْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ حَلَّ نِظَامَكُمْ وَوَهَّنَ كَيْدَكُمْ، وَفَرَّقَ كَلِمَتَكُمْ... فَأَسْلِمُوْا وَإِلاَّ فَأَدُّوْا الْجِزْيَةَ وَإِلاَّ فَقَدْ جِئْتُكُمْ بِقَوْمٍ يُحِبُّوْنَ المَوْتَ كَمَا تُحِبُّوْنَ الْحَيَاةَ

“Dengan menyebut asma Allah, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Khalid bin al-Walid, kepada Raja Persia. Segala puji hanya milik Allah, yang telah menggantikan rezim kalian, menghancurkan tipu daya kalian, dan memecahbelah kesatuan kata kalian.. Maka, masuk Islamlah kalian. Jika tidak, bayarlah jizyah. Jika tidak, maka aku akan datangkan kepada kalian, kaum yang mencintai kematian, sebagaimana kalian mencintai kehidupan.”

Ketika ada wanita Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh orang Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah, Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama melindunginya, menyatakan perang kepada mereka, dan mereka pun diusir dari Madinah. Selama 10 tahun, tak kurang 79 kali peperangan dilakukan, demi menjadi junnah [perisai] bagi Islam dan kaum Muslim. Ini tidak hanya dilakukan oleh Nabi, tetapi juga para Khalifah setelahnya. Harun ar-Rasyid, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, telah menyumbat mulut jalang Nakfur, Raja Romawi, dan memaksanya berlutut kepada Khilafah. Al-Mu’tashim di era Khilafah ‘Abbasiyyah, memenuhi jeritan wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi, melumat Amuriah, yang mengakibatkan 9000 tentara Romawi terbunuh, dan 9000 lainnya menjadi tawanan. Pun demikian dengan Sultan ‘Abdul Hamid di era Khilafah ‘Utsmaniyyah, semuanya melakukan hal yang sama. Karena mereka adalah junnah [perisai].

Umat Islam, Khilafah dan Khalifahnya sangat ditakuti oleh kaum Kafir, karena akidahnya. Karena akidah Islam inilah, mereka siap menang dan mati syahid. Mereka berperang bukan karena materi, tetapi karena dorongan iman. Karena iman inilah, rasa takut di dalam hati mereka pun tak ada lagi. Karena itu, musuh-musuh mereka pun ketakutan luar biasa, ketika berhadapan dengan pasukan kaum Muslim. Kata Raja Romawi, “Lebih baik ditelan bumi ketimbang berhadapan dengan mereka.” Sampai terpatri di benak musuh-musuh mereka, bahwa kaum Muslim tak bisa dikalahkan. Inilah generasi umat Islam yang luar biasa. Generasi ini hanya ada dalam sistem Khilafah.

Sebaliknya, meski kini kaum Muslim mempunyai banyak penguasa, tetapi mereka bukanlah Imâm yang dimaksud oleh hadits tersebut. Apa buktinya?

Karena Imâm di dalam hadits tersebut adalah penguasa kaum Muslim yang memimpin negara yang sangat kuat, ditakuti kawan dan lawan. Karenanya, bukan hanya agama, kehormatan, darah dan harta mereka pun terjaga dengan baik. Karena tak ada satu pun yang berani macam-macam. Bandingkan dengan saat ini, ketika al-Qur’an, dan Nabinya dinista, justru negara dan penguasanya membela penistanya. Ketika kekayaan alamnya dikuasai negara Kafir penjajah, jangankan mengambil balik, dan mengusir mereka, melakukan negosiasi ulang saja tidak berani. Bahkan, merekalah yang memberikan kekayaan alamnya kepada negara Kafir, sementara di negerinya sendiri rakyat terpaksa harus mendapatkannya dengan susah payah, dan dengan harga yang sangat mahal. Ketika orang non-Muslim menyerang masjid, membunuh mereka, bukannya mereka dilindungi dan dibela, justru penyerangnya malah diundang ke istana.

Karena itu, makna hadits di atas dengan jelas dan tegas menyatakan, bahwa Khilafahlah satu-satunya pelindung umat, yang menjaga agama, kehormatan, darah dan harta mereka. Khilafahlah yang menjadi penjaga kesatuan, persatuan dan keutuhan setiap jengkal wilayah mereka. Karena itu, hadits di atas sekaligus meniscayakan adanya Khilafah.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar