Translate

Selasa, 04 April 2017

PENJELASAN HADITS TENTANG ADANYA SHOHABAT YANG MUNAFIK

Dalam kitab Shahih Muslim 4/2143 no 2779 disebutkan bahwa diantara sahabat Nabi terdapat orang munafik

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا أسود بن عامر حدثنا شعبة بن الحجاج عن قتادة عن أبي نضرة عن قيس قال قلت لعمار أرأيتم صنيعكم هذا الذي صنعتم في أمر علي أرأيا رأيتموه أو شيئا عهده إليكم رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ فقال ما عهد إلينا رسول الله صلى الله عليه و سلم شيئا لم يعهده إلى الناس كافة ولكن حذيفة أخبرني عن النبي صلى الله عليه و سلم قال قال النبي صلى الله عليه و سلم في أصحابي اثنا عشر منافقا فيهم ثمانية لا يدخلون الجنة حتى يلج الجمل في سم الخياط ثمانية منهم تكفيكهم الدبيلة وأربعة لم أحفظ ما قال شعبة فيهم

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Aswad bin Amir yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah bin Hajjaj dari Qatadah dari Abi Nadhrah dari Qais yang berkata “saya pernah bertanya kepada Ammar, bagaimana pendapatmu tentang perang terhadap Ali? Atau bagaimana pesan yang disampaikan Rasulullah SAW kepadamu?. Ammar menjawab “Rasulullah SAW tidak pernah menyampaikan pesan kepada kami suatu pesan yang tidak Beliau sampaikan juga kepada orang-orang”. Saya diberitahu oleh Huzaifah dari Nabi SAW yang bersabda “Di antara SahabatKu ada dua belas orang munafik. Di antara mereka ada delapan orang yang tidak akan masuk surga sampai unta masuk ke lubang jarum”. Delapan orang diantara mereka akan mendapat Dubailah, sedangkan empat lainnya aku tidak hafal yang dikatakan Syu’bah tentang mereka.

Matan hadis Shahih Muslim di atas menyatakan bahwa Rasulullah SAW sendiri yang menyebutkan ada sahabat Beliau yang munafik. Sudah menjadi kenyataan bahwa dalil sejelas apapun selalu bisa dicari-cari penolakannya. Mereka yang menolak ada sahabat Nabi munafik mengatakan bahwa hadis Shahih Muslim di atas menceritakan bahwa ada dua belas orang munafik dari Umat Nabi SAW dan mereka bukanlah sahabat Nabi SAW. Mereka berdalih dengan hadis berikutnya dalam Shahih Muslim 4/2143 no 2779 tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi

حدثنا محمد بن المثنى ومحمد بن بشار ( واللفظ لابن المثنى ) قالا حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن قتادة عن أبي نضرة عن قيس بن عباد قال قلنا لعمار أرأيت قتالكم أرأيا رأيتموه ؟ فإن الرأي يخطئ ويصيب أو عهدا عهده إليكم رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ فقال ما عهد إلينا رسول الله صلى الله عليه و سلم شيئا لم يعهده إلى الناس كافة وقال إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال إن في أمتي قال شعبة وأحسبه قال حدثني حذيفة وقال غندر أراه قال في أمتي اثنا عشر منافقا لا يدخلون الجنة ولا يجدون ريحها حتى يلج الجمل في سم الخياط ثمانية منهم تكفيكهم الدبيلة سراج من النار يظهر في أكتافهم حتى ينجم من صدورهم

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Muhammad bin Bisyr (lafaz ini lafaz Al Mutsanna) yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Qatadah dari Abi Nadhrah dari Qais bin Abad yang berkata “saya bertanya kepada Ammar, bagaimana pendapatmu tentang perang yang kamu lakukan? Karena pendapat itu bisa benar dan bisa salah. Atau bagaimana pesan yang disampaikan Rasulullah SAW kepadamu?. Ammar menjawab “ Rasulullah SAW tidak pernah menyampaikan pesan kepada kami yang tidak Beliau sampaikan pula kepada orang-orang. Ammar berkata “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda “bahwa diantara umatku”. Syu’bah berkata Ammar berkata telah diberitahu Huzaifah dan Ghundar berkata “saya melihat Rasulullah SAW bersabda “Diantara umatKu ada dua belas orang munafik yang tidak akan masuk surga bahkan mereka tidak mencium bau surga hingga unta masuk ke lubang jarum. Delapan orang diantara mereka akan mendapat Dubailah yaitu api yang menyengat punggung mereka hingga tembus ke dada.

Kedua hadis Shahih Muslim diatas adalah Shahih, tetapi dalih sebagian orangbahwa dua belas orang munafik itu bukan sahabat Nabi tetapi Umat Nabi tidak bisa diterima begitu saja. Justru jika kita menerima keshahihan kedua hadis ini maka tidak ada pertentangan antara hadis yang satu dengan yang lain hingga kita harus menolak salah satunya
Hadis yang satu menyatakan Di antara SahabatKu ada dua belas orang munafikHadis yang lain menyatakan Diantara UmatKu ada dua belas orang munafikCoba pikirkan dengan baik, mengapa harus dikatakan bahwa orang munafik itu ada di antara Umat Nabi tetapi bukan Sahabat Nabi. Apakah sahabat Nabi bukan termasuk Umat Nabi?. Kalau bukan lantas umat siapa, kalau iya maka penyelesaiannya mudah. Hadis yang menyebutkan kata SahabatKu adalah penjelasan yang mengkhususkan dari hadis dengan kata UmatKu. Sehingga makna hadis tersebut adalah diantara Umat Nabi SAW yaitu dari kalangan Sahabat Nabi ada dua belas orang munafik.

Makna ini sesuai dengan kedua hadis di atas dan tidak menolak atau menyangkal salah satu hadis. Berbeda dengan penakwilanbahwa dua belas orang munafik itu diantara Umat Nabi tetapi bukan sahabat Nabi, karena penakwilan ini dengan terpaksa telah menentang hadis yang shahih dan jelas yaitu hadis dengan lafaz SahabatKu. Begitulah adanya, dan silakan direnungkan

Terkait dengan hadis dua belas orang munafik terdapat salafy nashibi yang membuat tulisan khusus dengan tujuan membela doktrin mereka dan mencela orang yang ia tuduh Syiah. Kami ingatkan wahai pembaca budiman, hadis ini tidak ada kaitannya dengan Syiah. Kami akan membahas tulisan mereka secara objektif dan menunjukkan apapun tafsiran yang mereka perbuat mereka tidak akan bisa mempertahankan doktrin “keadilan sahabat ala nashibi”.

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا أسود بن عامر حدثنا شعبة بن الحجاج عن قتادة عن أبي نضرة عن قيس قال قلت لعمار أرأيتم صنيعكم هذا الذي صنعتم في أمر علي أرأيا رأيتموه أو شيئا عهده إليكم رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ فقال ما عهد إلينا رسول الله صلى الله عليه و سلم شيئا لم يعهده إلى الناس كافة ولكن حذيفة أخبرني عن النبي صلى الله عليه و سلم قال قال النبي صلى الله عليه و سلم في أصحابي اثنا عشر منافقا فيهم ثمانية لا يدخلون الجنة حتى يلج الجمل في سم الخياط ثمانية منهم تكفيكهم الدبيلة وأربعة لم أحفظ ما قال شعبة فيهم

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Aswad bin Amir yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah bin Hajjaj dari Qatadah dari Abi Nadhrah dari Qais yang berkata “saya pernah bertanya kepada Ammar, bagaimana pendapatmu tentang perang terhadap Ali? Atau bagaimana pesan yang disampaikan Rasulullah SAW kepadamu?. Ammar menjawab “Rasulullah SAW tidak pernah menyampaikan pesan kepada kami suatu pesan yang tidak Beliau sampaikan juga kepada orang-orang”. Saya diberitahu oleh Huzaifah dari Nabi SAW yang bersabda “Di kalangan SahabatKu ada dua belas orang munafik. Di antara mereka ada delapan orang yang tidak akan masuk surga sampai unta masuk ke lubang jarum”. Delapan orang diantara mereka akan mendapat Dubailah, sedangkan empat lainnya aku tidak hafal yang dikatakan Syu’bah tentang mereka. [Shahih Muslim 4/2143 no 2779]

حدثنا محمد بن المثنى ومحمد بن بشار ( واللفظ لابن المثنى ) قالا حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن قتادة عن أبي نضرة عن قيس بن عباد قال قلنا لعمار أرأيت قتالكم أرأيا رأيتموه ؟ فإن الرأي يخطئ ويصيب أو عهدا عهده إليكم رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ فقال ما عهد إلينا رسول الله صلى الله عليه و سلم شيئا لم يعهده إلى الناس كافة وقال إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال إن في أمتي قال شعبة وأحسبه قال حدثني حذيفة وقال غندر أراه قال في أمتي اثنا عشر منافقا لا يدخلون الجنة ولا يجدون ريحها حتى يلج الجمل في سم الخياط ثمانية منهم تكفيكهم الدبيلة سراج من النار يظهر في أكتافهم حتى ينجم من صدورهم

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Muhammad bin Basyaar [dan lafaz ini adalah lafaz Ibnu Mutsanna] keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Qatadah dari Abu Nadhrah dari Qais bin ‘Abbad yang berkata saya pernah bertanya kepada ‘Ammar, bagaimana pendapatmu tentang peperperanganmu? Sesungguhnya pendapat itu bisa salah dan bisa pula benar atau bagaimana pesan yang disampaikan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepadamu?. ‘Ammar berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak pernah menyampaikan pesan kepada kami yang tidak Beliau sampaikan kepada orang-orang. ‘Ammar berkata sesungguhnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “sesungguhnya di kalangan umatku. [Syu’bah berkata menurut saya] ‘Ammar berkata “Huzaifah telah menceritakan kepadaku” dan [Ghundar berkata] aku melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “di kalangan umatku ada dua belas orang munafik yang tidak akan masuk surga, bahkan mereka tidak akan dapat mencium harumnya surga sampai unta masuk ke lubang jarum. Delapan orang diantara mereka pasti akan tertimpa Dubailah yaitu pijaran api yang menyengat bagian belakang pundak sehingga tembus ke dada mereka [Shahih Muslim 4/2143 no 2779]

Kedua hadis ini adalah hadis yang sama, perbedaan lafaz yang ada tidaklah bertentangan melainkan saling melengkapi. Lafaz “ada dua belas orang munafik di kalangan sahabat” dan lafaz “ada dua belas orang munafik di kalangan umatku” tidak bertentangan karena sahabat adalah umat Nabi juga.

Pada hadis pertama riwayat ‘Aswad bin ‘Aamir dari Syu’bah disebutkan bahwa dari dua belas orang munafik delapan diantaranya tidak akan masuk surga dan akan terkena dubailahPada hadis kedua riwayat Ghundar dari Syu’bah disebutkan bahwa dari dua belas orang munafik semuanya tidak akan masuk surga dan delapan terkena dubailah.

Perbedaan lafaz ini pun tidak bertentangan melainkan saling melengkapi riwayat Ghundar juga menyebutkan bahwa empat orang yang tidak disebutkan dalam riwayat ‘Aswad juga tidak akan masuk surga. Riwayat Ghundar melengkapi riwayat ‘Aswad karena pada hadis ‘Aswad ia berkata “tidak hafal apa yang dikatakan Syu’bah tentang empat lainnya”. Yang hafal menjadi hujjah bagi yang tidak hafal.

Maka sangat salah sekali pernyataan salafy nashibi yang berkata “maka mafhum mukhalafah-nya adalah empat orang sisanya masuk surga-dimana hal ini menunjukkan taubat”. Empat orang sisanya berdasarkan riwayat shahih juga tidak akan masuk surga. Sangat jelas penarikan kesimpulan nashibi itu ngawur, ‘Aswad sendiri mengatakan ia tidak hafal apa yang dikatakan Syu’bah tentang empat orang lainnya sedangkan riwayat Ghundar menyebutkan bahwa empat sisanya juga tidak akan masuk surga. Pendalilan nashibi itu yang menyatakan empat orang munafik itu akan masuk surga adalah dalil kosong tanpa faedah yang berasal dari orang yang patut diduga punya penyakit kronis kenifakan dalam hatinya.

Tidak hanya itu, salafy nashibi juga menunjukkan kelemahan akalnya dalam menarik kesimpulan. Ia membawakan hadis Hudzaifah kemudian menafsirkan sekehendak hatinya yaitu hadis berikut

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى ، حَدَّثَنَا يَحْيَى ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ وَهْبٍ ، قَالَ : كُنَّا عِنْدَ حُذَيْفَةَ ، فَقَالَ : ” مَا بَقِيَ مِنْ أَصْحَابِ هَذِهِ الْآيَةِ إِلَّا ثَلَاثَةٌ ، وَلَا مِنَ الْمُنَافِقِينَ إِلَّا أَرْبَعَةٌ ، فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ : إِنَّكُمْ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُخْبِرُونَا فَلَا نَدْرِي ، فَمَا بَالُ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَبْقُرُونَ بُيُوتَنَا ، وَيَسْرِقُونَ أَعْلَاقَنَا ، قَالَ أُولَئِكَ الْفُسَّاقُ ، أَجَلْ لَمْ يَبْقَ مِنْهُمْ إِلَّا أَرْبَعَةٌ ، أَحَدُهُمْ شَيْخٌ كَبِيرٌ ، لَوْ شَرِبَ الْمَاءَ الْبَارِدَ لَمَا وَجَدَ بَرْدَهُ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahyaa yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Wahb, ia berkata Kami pernah berada di sisi Hudzaifah, lalu ia berkata “Tidaklah tersisa orang yang dimaksud dalam ayat ini [yaitu QS. At-Taubah : 12] kecuali tiga orang, dan tidak pula tersisa orang-orang munafik kecuali hanya empat orang saja”. Seorang A’rabiy berkata “Sesungguhnya kalian adalah shahabat-shahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kalian mengkhabarkan kepada kami, lalu kami tidak mengetahuinya. Lantas, bagaimana dengan mereka yang telah merusak rumah-rumah kami dan mencuri perhiasan-perhiasan kami ?”. Hudzaifah menjawab “Mereka itu orang-orang fasik. Ya, tidaklah tersisa dari mereka [kaum munafik] kecuali empat orang, yang salah seorang dari mereka adalah seorang yang telah tua. Seandainya ia meminum air yang dingin, tentu ia tidak akan mendapati rasa dingin air itu” [Shahih Bukhari no 4658]

Setelah membawakan hadis ini, nashibi itu mengatakan Hudzaifah wafat tahun 36 H sedangkan perang Jamal terjadi tahun 36 H dan perang Shiffin terjadi tahun 37 H maka empat orang munafik yang tersisa hidup di zaman Ali radiallahu ‘anhu dan masuk dalam konsekuensi mafhum mukhaalafah yang disebutkan sebelumnya. Maksud perkataan nashibi ini adalah empat orang munafik yang tersisa dan hidup di zaman Ali radiallahu ‘anhu adalah empat orang munafik yang kata nashibi itu telah bertaubat dan akhirnya masuk surga.

Bagi orang yang paham “logika” maka sudah jelas penarikan kesimpulan nashibi itu ngawur atau mengada-ada. Sebelumnya kami telah tunjukkan bahwa dalil “mafhum mukhaalafah”nashibi itu omong kososng. Dua belas orang munafik itu telah disebutkan semuanya masuk neraka dan kedua belas ini adalah orang yang berniat membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Aqabah dimana Nabi [shalallahu ‘alaihi wasallam] berkata bahwa mereka adalah musuh Allah dan Rasul-Nya di dunia dan akhirat. Bagimana bisa musuh Allah dan Rasul-Nya dunia dan akhirat dikatakan masuk surga. Jadi pernyataan empat orang dari mereka bertaubat dan masuk surga hanya waham yang lahir dari orang yang memiliki sifat nifaq di hatinya.

Seandainya pun kami mengikuti waham nashibi soal “empat orang munafik yang bertaubat”maka apa alasan nashibi menyatakan bahwa empat orang tersebut adalah empat orang yang tersisa dalam hadis di atas. Perhatikan, menurut nashibi itu ada dua belas orang munafik

Delapan dari mereka masuk neraka dan terkena dubailahEmpat dari mereka dikatakan nashibi itu bertaubat dan akhirnya masuk surga

Kemudian lihat hadis Hudzaifah [sahih Bukhari di atas], apakah disebutkan disana kalau empat orang yang tersisa adalah empat orang yang katanya bertaubat dan masuk surga. Bukankah sangat mungkin kalau empat orang yang dimaksud termasuk delapan orang yang terkena dubailah?. Apa dalil nashibi itu sekehendak hatinya menyatakan empat orang yang tersisa adalah empat orang yang katanya bertaubat dan masuk surga. Tidak lain hanya waham semata. Nashibi itu berhujjah dengan waham kemudian waham itu ia jadikan hujjah lagi untuk menegakkan waham lainnya. Hasilnya hanya waham di atas waham yang tidak ada nilai kebenarannya. Nashibi itu tidak mengerti cara menarik kesimpulan dengan benar.

Selanjutnya kami akan menunjukkan kebodohan salafy nashibi dalam pembelaan mereka terhadap kata “sahabat”. Jika dikatakan kata “sahabat” memiliki banyak arti bisa secara ashl dalam bahasa bisa juga secara“ishthilahiy” maka itu memang benar. Sayangnya nashibi itu tidak membahas apa yang ia maksud dengan definisi sahabat secara ishthilahiy. Bagi mereka yang mempelajari ilmu hadis terdapat banyak definisi soal sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Diantaranya Imam Nawawi berkata

فأما الصحابي فكل مسلم رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم ولو لحظة هذا هو الصحيح في حده وهو مذهب أحمد بن حنبل وأبي عبد الله البخاري في صحيحه والمحدثين كافة

Sahabat adalah setiap muslim yang melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] walaupun hanya sekilas. Pendapat ini yang shahih mengenai batasan sahabat dan ini adalah mazhab Ahmad bin Hanbal, Abu Abdullah Al Bukhari dalam shahihnya dan seluruh ulama ahli hadis [Syarh Shahih Muslim 1/35]

الصحابي من رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم في حال إسلام الرائي, وإن لم تطل صحبته له, وإن لم يروِ عنه شيئاً. هذا قول جمهور العلماء, خلفاً وسلفاً

Sahabat adalah orang yang melihat Rasulullah dalam keadaan islam ketika melihatnya walaupun tidak lama dan tidak meriwayatkan satu hadispun. Ini adalah perkataan jumhur ulama baik khalaf maupun salaf [Al Ba’its Al Hatsits Ibnu Katsir 2/491]

Apa yang dikatakan An Nawawi dan Ibnu Katsir itu bersesuaian dan sepertinya batasan sahabat menurut jumhur adalah “melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam keadaan islam”. Dan dengan definisi ini maaf tidak mengeluarkan kaum munafik dari batasan sahabat karena mereka melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan mereka mengaku islam. Kemudian datanglah Ibnu Hajar yang menyampaikan definisi baru yang menurutnya lebih shahih

أصح ما وقفت عليه من ذلك أن الصحابي من لقي النبي صلى الله عليه وآله وسلم ـ مؤمناً به ومات على الإسلام, فيدخل فيمن لقيه من طالت مجالسته أو قصرت, ومن روى عنه أو لم يروِ, ومن غزا معه أو لم يغزُ, ومن رآه رؤية ولو لم يجالسه, ومن لم يره لعارض كالعمى

Yang paling shahih menurut penelitianku tentang hal ini, sahabat adalah orang yang bertemu Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam keadaan iman kepadanya dan wafat dalam keadaan islam. Termasuk sahabat adalah orang yang bertemu beliau baik sebentar ataupun lama, yang meriwayatkan darinya ataupun yang tidak meriwayatkan darinya, yang berperang bersamanya dan yang tidak berperang, yang melihatnya walaupun belum pernah menemaninya dan orang yang tidak melihat Beliau karena sesuatu hal seperti buta[Al Ishabah 1/7]

Definisi Ibnu Hajar memang lebih detail dan justru mengundang banyak hal musykil, yang anehnya tidak terpikirkan oleh salafy nashibi. Apa yang dimaksud dengan “iman kepadanya”apakah pengakuan mereka kalau mereka beriman atau iman sebenarnya yang ada dalam hati mereka?. Kalau iman yang dimaksud adalah berdasarkan pengakuan mereka maka definisi ini pun tidak mengeluarkan kaum munafik dari lingkup sahabat Nabi. Kalau yang dimaksud iman sebenarnya maka memang benar munafik bukan sahabat Nabi karena mereka tidak beriman, tapi tolong kasih tahu bagaimana menilai “iman sebenarnya” di dalam hati orang yang sudah wafat ratusan tahun.

Apa yang dimaksud “wafat dalam keadaan islam”?. Apakah setiap orang yang dinyatakan sahabat oleh Ibnu Hajar [dalam Al Ishabah] memiliki data riwayat bahwa mereka wafat dalam keadaan islam. Definisi ini seolah mau mengatakan bahwa sahabat hanya bisa ditentukan mereka sahabat atau bukan setelah ia wafat karena setelah wafat baru diketahui kalau ia wafatnya dalam keadaan islam atau bukan. Definisi yang ini hanya bersifat teoretis dan tidak memiliki implementasi praktis.

Ada sejenis orang aneh pernah berkata ketika kami tanya “apa buktinya salah seorang sahabat wafat dalam keadaan islam?”. Ia jawab, saya yakin mereka wafat dalam keadaan islam justru anda yang ragu yang harus membawakan bukti. Ini kan lucu, apa gunanya definisi kalau tidak digunakan sebagai pembatas, apa gunanya definisi kalau ujung-ujungnya cuma “saya yakin”. Sejak kapan perkataan gampangan seperti itu menjadi bukti.

Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengartikan sahabat seperti itu. Sahabat yang tertera dalam hadis-hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menunjukkan orang-orang islam yang mengikuti Beliau terlepas dari kenyataan apakah mereka berpura-pura atau bersungguh-sungguh, ini alasannya mengapa Abdullah bin Ubay dan kaum munafik lainnya tetap masuk dalam lingkup sahabat. Dan terkadang ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menggunakan kata sahabat bukan berarti tertuju untuk semua sahabatnya. Ada contoh hadis yang anehnya tidak dimengerti oleh salafy nashibi, Ia pikir lafaz “sahabat” dalam hadis ini adalah lafaz “sahabat” secara ishthilah

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

Dari Abu Sa’id Al Khudri RA yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Janganlah Kalian mencela para SahabatKu. Seandainya salah seorang dari Kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud tidak akan menyamai satu mud infaq salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya” [ Shahih Bukhari 5/8 no 3673, Shahih Muslim 4/1067 no 221 (2540), Sunan Tirmidzi 5/695 no 3861, Sunan Abu Dawud 2/626 no 4658, Sunan Ibnu Majah 1/57 no 161 dan Musnad Ahmad 3/11 no 11094]

Kami sudah membahas secara khusus dalam tulisan yang ini bahwa sahabat dalam hadis di atas bukan sahabat secara ishthilah yang masyhur dalam ilmu hadis. Karena jika memang begitu maka semua orang yang diajak bicara oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] saat itu semuanya adalah sahabat Nabi tetapi mengapa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan jika mereka berinfaq tidak akan menyamai infaq salah seorang sahabat Nabi. Sebab munculnya hadis ini disebutkan bahwa Khalid bin Walid mencaci ‘Abdurrahman bin ‘Auf maka disini terdapat isyarat bahwa Khalid bin Walid tidak termasuk sahabat dalam lafaz di atas dan infaqnya walau sebesar gunung uhud tidak akan menyamai infaq satu mud ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Semua ulama menyatakan Khalid bin Walid adalah sahabat Nabi tetapi Khalid bin Walid tidak termasuk sahabat yang dimaksud dalam hadis di atas karena Khalid justru termasuk orang yang dinyatakan dengan kata “kalian” dimana infaknya sebesar gunung uhud tidak akan menyamai infaq salah seorang dari sahabat Nabi.

Hal ini menguatkan apa yang kami katakan bahwa Ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengucapkan lafaz “sahabat” dalam hadisnya tidak selalu memiliki makna yang sama dengan “sahabat” yang dimaksud dalam ilmu hadis [secara ishthilah]. Disini salafy nashibi menunjukkan sifat kecurangan mereka

Ketika ada hadis dengan lafaz sahabat yang menyebutkan bahwa mereka “munafik” atau “murtad” maka salafy nashibi mengatakan sahabat yang dimaksud bukan secara isthilahKetika ada hadis dengan lafaz sahabat yang menyebutkan keutamaan maka salafy nashibi memukul rata bahwa lafaz itu untuk semua sahabat secara ishthilah

Padahal bisa jadi keutamaan itu tidak berlaku untuk semua sahabat secara ishthilah tetapi untuk sahabat-sahabat yang memang setia mengikuti Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Sahabat yang fasiq dan durhaka walaupun muslim mungkin tidak layak mendapatkan keutamaan tersebut.

Kembali ke hadis dua belas orang munafik di atas, kami tidak pernah menyatakan dengan jelas siapa kedua belas orang tersebut. Yang jelas mereka berasal dari kalangan sahabat Nabi yaitu orang-orang yang mengikuti Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Apakah maksud hadis di atas adalah orang munafik di zaman Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] hanya dua belas orang?. Hal ini dikatakan oleh salafy nashibi yang “suka basa basi”. Tentu saja ini ngawur sejak kapan jumlah orang munafik cuma dua belas orang

Dua belas orang munafik yang dimaksud tidak lain adalah dua belas orang yang ikut bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam perang tabuk yang ketika perjalanan pulang mereka berencana membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] di bukit ‘Aqabah. Mereka adalah orang yang mengaku islam dan beriman kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan ikut dalam perang bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi pada hakekatnya mereka adalah munafik. Siapa kedua belas orang itu tidaklah diketahui kecuali oleh Allah SWT dan Rasul-Nya dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberitahu kepada Hudzaifah siapa saja mereka dan berkata “mereka musuh Allah dan Rasul-Nya di dunia dan akhirat”. Sangat tidak mungkin kalau jumlah orang munafik hanya mereka berdua belas karena faktanya masih banyak kaum munafik yang tidak ikut saat perang Tabuk dan tinggal di Madinah. Bukankah ada diantara mereka yang menyebarkan syubhat merendahkan Imam Ali yang ditunjuk sebagai pengganti Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Madinah.

Faktanya tidak ada riwayat shahih dari Hudzaifah yang menyebutkan nama dua belas orang munafik ini. Bahkan sahabat lain tidak mengetahui siapa mereka. Pernah suatu ketika Umar ingin menshalatkan salah seorang sahabat Nabi tetapi ia tidak jadi menshalatkannya karena Hudzaifah tidak menshalatkannya dan ketika Umar bertanya kepada Hudzaifah, ternyata orang itu adalah salah seorang dari kaum munafik. Hal ini membuktikan bahwa bahkan sampai orang munafik itu wafat sahabat lain masih menganggap mereka muslim dan harus dishalatkan jenazahnya. Dalam riwayat tersebut, ketika Hudzaifah menyebutkan kepada Umar maka ia berjanji tidak akan memberitahukan hal itu lagi.

Kalau sahabat di masa itu saja [Umar] tidak mengetahui dua belas orang munafik tersebut maka bagaimana caranya orang-orang setelah masa sahabat bisa mengetahui dua belas orang munafik tersebut. Yang patut kita permasalahkan adalah bagaimana bisa para ulama dengan mengandalkan definisi “sahabat”secara ishthilah bisa sok yakin sudah memisahkan antara sahabat [secara istilah] dan “munafik”. Apa dalilnya? Apa mereka dapat mimpi atau wangsit ketemu Hudzaifah radiallahu ‘anhu dan Hudzaifah memberitahu kepada mereka?.

Salafy nashibi berkata bahwa kaum munafik yang hidup di zaman Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah masyhur diketahui siapakah mereka ini. Orang munafik bukan sahabat dan sahabat bukan orang munafik. Mari kita tanyakan pada nashibi itu, jika memang telah masyhur maka adakah anda mampu menyebutkan nama-nama mereka, selain Abdullah bin Ubay tentunya?. Bukankah anda mengaku, siapa mereka itu telah jelas. Orang munafik bukan sahabat, ya jelas kalau sahabat yang dimaksud adalah sahabat yang benar-benar beriman dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya maka sudah jelas mereka bukan orang munafik.

Tidak usah jauh-jauh cukup dua belas orang munafik yang disebutkan Hudzaifah, kalau memang menurut nashibi itu telah masyhur diketahui siapa mereka. Maka silakan sebutkan nama-nama mereka?. Kalau memang telah masyhur siapa mereka maka apa artinya Huzaifah dikenal sebagai yang menjaga rahasia Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam], sesuatu yang masyhur dikenal tidak layak disebut rahasia. Kalau memang telah masyhur diketahui siapa mereka maka mengapa Umar tidak mengenalnya dan berniat menshalatkan jenazahnya sampai akhirnya ia dicegah oleh Huzaifah.

Hal ini tidaklah seperti yang dikatakan nashibi itu, diantara kaum munafik itu ada yang memang masyhur siapa dirinya yaitu Abdullah bin Ubay dan diantara kaum munafik juga ada yang tidak dikenal siapa saja mereka seperti halnya dua belas orang munafik yang diketahui oleh Huzaifah tetapi tidak diketahui oleh sahabat lainnya. Kaum munafik itu adalah orang yang hidup bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mereka mengaku kalau mereka beriman dan memeluk islam maka dari sisi ini mereka termasuk dalam kelompok sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jika mereka dikenal seperti Abdullah bin Ubay maka akan mudah dikatakan kalau pada hakikatnya ia bukan sahabat Nabi yang benar-benar beriman tetapi bagaimana dengan kaum munafik yang tidak dikenal seperti kedua belas munafik [dalam hadis shahih Muslim]. Jika Huzaifah sendiri merahasiakannya maka mengapa ada “ulama” atau “yang ngaku ngaku ulama” mengklaim mengenal siapa mereka dan memastikan bahwa mereka bukan sahabat.

Perdebatan ini memang terlihat hanya karena perbedaan definisi atau batasan yang digunakan soal kata “sahabat” tetapi pada hakikatnya kedudukan nashibi disini kayak orang ngeyel. Kami akan berikan analogi yang cukup memberikan gambaran. Di suatu negara ada pasukan yang telah berjasa besar bagi negara itu. Dalam pasukan tersebut ternyata ada pengkhianat atau mata-mata, tetapi tidak diketahui siapa ia. Kemudian sejarah menyebutkan karena jasa-jasa pasukan tersebut maka semua yang ikut dalam pasukan ini layak disebut pahlawan dan dianugerahkan medali kehormatan. Dengan berlalunya waktu, orang-orang yang hidup di zaman kemudian [di negara tersebut] ribut soal mata-mata dalam pasukan tersebut.

Orang yang kritis akan berkata “diantara semua pasukan yang disebut pahlawan itu ternyata ada pengkhianat atau mata-mata”.Orang yang bodoh malah ngeyel berkata “tidak ada pengkhianat dalam pasukan tersebut, pahlawan bukan pengkhianat dan pengkhianat bukanlah pahlawan”.

Sebenarnya orang yang kritis juga paham kalau pengkhianat bukanlah pahlawan tetapi kalau telah jelas siapa pengkhianat itu maka orang-orang akan menyingkirkannya dan tidak akan menyebutnya pahlawan tetapi jika tidak jelas siapa pengkhianat atau mata-mata tersebut maka orang-orang hanya melihat bahwa semua yang ikut dalam pasukan tersebut adalah pahlawan [termasuk pengkhianat itu]. Dan si bodoh bin pandir beranggapan karena semuanya telah disebut pahlawan maka tidak ada pengkhianat dalam pasukan tersebut, secara istilah pengkhianat bukan pahlawan dan pahlawan bukan pengkhianat. Si bodoh itu ribut soal definisi istilah tetapi tidak mengerti hakikat permasalahannya. Kami yakin para pembaca akan mengerti maksud dari analogi yang kami sampaikan, uups selain nashibi tentunya karena mereka adalah kaum yang hampir-hampir tidak mengerti pembicaraan.

Segelintir Munafik Dikenali Sebahagian Dari Sahabat

Rancangan oknum Sahabat Untuk Membunuh Nabi(saw)

Terdapat sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Ulama Sunni berkaitan rancangan para sahabat(tentunya yang munafik) untuk membunuh Rasulullah(sawa) dengan menjatuhkan tunggangan yang baginda naiki dari tebing tajam. Rancangan ini ada kaitannya dengan tafsir surah at Taubah ayat 74:

يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ ما قالُوا وَ لَقَدْ قالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَ كَفَرُوا بَعْدَ إِسْلامِهِمْ وَ هَمُّوا بِما لَمْ يَنالُوا وَ ما نَقَمُوا إِلاَّ أَنْ أَغْناهُمُ اللَّهُ وَ رَسُولُهُ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنْ يَتُوبُوا يَكُ خَيْراً لَهُمْ وَ إِنْ يَتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ عَذاباً أَليماً فِي الدُّنْيا وَ الْآخِرَةِ وَ ما لَهُمْ فِي الْأَرْضِ مِنْ وَلِيٍّ وَ لا نَصيرٍ

“Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam, dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertobat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali- kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.”

Ketika menerangkan ayat di atas, khususnya di bahagian: ”dan (mereka) mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya“ para ahli tafsir Sunni telah menafsirkan ada sekelompok para sahabat yang nama mereka dirahsiakan, berkomplot untuk membunuh Nabi(sawa)

Tentang ayat di atas, Ibnu Katsir berkata:

و قد ورد أن نفرا من المنافقين هموا بالفتك بالنبي صلى اللّه عليه و سلم و هو في غزوة تبوك، في بعض تلك الليالي في حال السير، و كانوا بضعة عشر رجلا، قال الضحاك: ففيهم نزلت هذه الآية

“Dan telah datang riwayat bahawa ada sekelompok orang munafik berniat untuk membunuh Nabi (sawa). ketika dalam peperangan tabuk pada salah satu malam dalam perjalanan pulang baginda. Mereka berjumlah belasan orang. Adh- Dhahhâk berkata, ‘Untuk mereka lah ayat ini turun.’”

Kemudian Ibnu Katsir menyebutkan bukti kebenaran pendapat ini dengan mengutip beberapa riwayat para ulama lain berkaitan masalah ini, seperti riwayat al Baihaqi, riwayat Imam Ahmad, Imam Muslim dan lain-lain.

Dalam sebahagian riwayat disebutkan bahawa yang ingin membunuh Nabi (sawa). itu adalah seseorang dari suku Quraisy!

Dalam tafsir al Jalâlain juga menjelaskan ayat tersebut seperti berikut:

وَ هَمُّوا بِما لَمْ يَنالُوا من الفتك بالنبي ليلة العقبة عند عوده من تبوك وهم بضعة عشر رجلا فضرب عمار بن ياسر وجوه الرواحل لما غشوه فردوا

“..dan (mereka) mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya iaitu untuk membunuh Nabi  di malam ‘Aqabah (tebing) sewaktu kepulangan baginda dari Tabuk. Mereka berjumlah belasan orang. Ammâr bin Yâsir mengenali wajah-wajah kenderaan mereka dan menghalaunya ketika mereka hendak mengerumuni Nabi (sawa).”

Ibnu Jauzi juga menyebutnya dalam tafsir Zâdul Masîr-nya. Beliau berkata:

و الثاني: أنّها نزلت فيهم حين همّوا بقتل رسول اللّه صلى اللّه عليه و سلم، رواه مجاهد عن ابن عباس، قال: و الذي همّ رجل يقال له: الأسود. و قال مقاتل: هم خمسة عشر رجلا، همّوا بقتله ليلة العقبة.

“Pendapat kedua: Ayat ini turun tentang mereka yang berniat membunuh Rasulullah saw.. demikian diriwayatkan Mujahid dari Ibnu Abbas, ia berkata, ‘Yang berniat membunuh adalah seorang bernama Aswad. Muqatil berkata, ‘Mereka berjumlah lima belas orang. Mereka berniat membunuh Nabi saw. di malam ‘Aqabah.”

Al Alûsi dalam tafsir Rûh al Ma’âni-nya juga menegaskan adanya perserongkolan para sahabat untuk membunuh Nabi (saw) itu sepulang dari pertempuran Tabûk itu.

Serta masih banyak lagi kutipan para ulama Ahlusunnah yang menuduh para sahabat itu telah berencana membunuh Nabi Muhammad SAW.

Riwayat Lengkapnya.

و أخرج البيهقي في الدلائل عن عروة رضى الله عنه قال رجع رسول الله صلى الله عليه و سلم قافلا من تبوك إلى المدينة حتى إذا كان ببعض الطريق مكر برسول الله صلى الله عليه و سلم ناس من أصحابهفتآمروا أن يطرحوه من عقبة في الطريق فلما بلغوا العقبة أرادوا أن يسلكوها معه فلما غشيهم رسول الله صلى الله عليه و سلم أخبر خبرهم فقال من شاء منكم أن يأخذ بطن الوادي فانه أوسع لكم و اخذ رسول الله صلى الله عليه و سلم العقبة و اخذ الناس ببطن الوادي الا النفر الذين مكروا برسول الله صلى الله عليه و سلم لما سمعوا ذلك استعدوا و تلثموا و قد هموا بأمر عظيم و أمر رسول الله صلى الله عليه و سلم حذيفة بن اليمان رضى الله عنه و عمار بن ياسر رضى الله عنه فمشيا معه مشيا فأمر عمارا أن يأخذ بزمام الناقة و أمر حذيفة يسوقها فبينما هم يسيرون إذ سمعوا وكزة القوم من ورائهم قد غشوه فغضب رسول الله صلى الله عليه و سلم و أمر حذيفة أن يردهم و أبصر حذيفة رضى الله عنه غضب رسول الله صلى الله عليه و سلم فرجع و معه محجن فاستقبل وجوه رواحلهم فضربها ضربا بالمحجن و أبصر القوم وهم متلثمون لا يشعروا انما ذلك فعل المسافر فرعبهم الله حين أبصروا حذيفة رضى الله عنه و ظنوا ان مكرهم قد ظهر عليه فاسرعوا حتى خالطوا الناس و أقبل حذيفة رضى الله عنه حتى أدرك رسول الله صلى الله عليه و سلم فلما أدركه قال اضرب الراحلة يا حذيفة و امش أنت يا عمار فاسرعوا حتى استووا بأعلاها فخرجوا من العقبة ينتظرون الناس فقال النبي صلى الله عليه و سلم لحذيفة هل عرفت يا حذيفة من هؤلاء الرهط أحدا قال حذيفة عرفت راحلة فلان و فلان و قال كانت ظلمة الليل و غشيتهم وهم متلثمون فقال النبي صلى الله عليه و سلم هل علمتم ما كان شأنهم و ما أرادوا قالوا لا و الله يا رسول الله قال فإنهم مكروا ليسيروا معى حتى إذا طلعت في العقبة طرحوني منها قال أفلا تامر بهم يا رسول الله فنضرب أعناقهم قال أكره أن يتحدث الناس و يقولوا ان محمدا وضع يده في أصحابه فسماهم لهما و قال اكتماهم

Imam al Baihaqi meriwayatkan dalam kitab Dalâil-nya dari Urwah yang berkata, “Rasulullah saw. pulang dari Tabuk menuju kota Madinah, sesampainya di sebahagian jalan, sekelompok orang dari sahabat beliau berbuat makar. Mereka berserongkol untuk menjatuhkan baginda saw. dari atas tebing di jalan itu. Sesampainya mereka di ujung tebing itu, mereka bermaksud berjalan di sana bersama-sama Nabi saw. Ketika telah bergabung, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabat, ‘Siapa yang ingin menempuh jalan lewat perut lembah silakan, ia lebih lebar untuk kalian!’ Sementara Rasulullah saw. melewati jalan tebing itu. Para sahabat melewati perut lembat kecuali beberapa orang yang berencana berbuat makar terhadap Rasulullah saw. Ketika mereka mendengar pengumuman itu, mereka bersiap-siap dan mengenakan penutup wajah dan berencana melakukan makar besar. Rasulullah saw. memerintahkan Hudzaifah bin al Yamân ra. Dan Ammâr bin Yâsir ra.. Keduanya berjalan bersama beliau, Ammâr diperintah untuk memegang kendali kenderaan baginda, sementra Hudzaifah diminta untuk menuntunnya. Ketika mereka sedang berjalan, mereka mendengar suara suara langkah-langkah mereka (yang bermakar itu). Mereka berusa menerobos rombongan Nabi saw. Baginda(sawa) marah dan memerintahkan Hudzaifah untuk menghalau mereka. Hudzaifah melihat marahnya Rasulullah saw. Hudzaifah kembali ke belakang dengan membawa tongkat kecil untuk menghalau mereka. Hudzaifah menghadap wajah-wajah kendaraan mereka dan memukulnya dengan tongkat itu. Hudzaifah melihat mereka dalam keadaan mengenakan penutup wajah seperti kebiasaan sebahagian orang yang bermusafir. Allah menanamkan rasa takut dalam hati mereka ketika mereka melihat Hudzaifah ra. dan mereka menyangka bahawa Hudzaifah sudah mengetahui rencana jahat mereka terbongkar. Mereka bercepat-cepat lari dan bergabung dengan orang-orang lain. Hudzaifah ra. kembali kepada Rasulullah saw., setelah sampai, beliau memerintah Hudzaifah dan Ammâr agar pantas menuntun kenderaan beliau sehingga sampai di puncak tebing itu dan setelahnya mereka keluar darinya sambil menanti rombongan lain yang menempuh jalan perut lembah.

Nabi (sawa). bersabda kepada Hudzaifah: “Hai Hudzaifah, apakah engkau mengenali sesiapa dari mereka itu?”

Hudzaifah menjawab: “Aku mengenali kenderaan-kenderaan itu milik si fulan dan si fulan. Gelapnya malam menutupi wajah mereka di samping itu mereka mengenakan penutup wajah.”

Nabi saw. bersabda, “Tahukan kamu apa mahu mereka?”

“Tidak. Demi Allah.” Jawab Hudzaifah.

Nabi (sawa) menjelaskan, “Mereka berencana jahat membunuhku. Mereka ikut berjalan bersamaku sehingga ketika sampai di atas tebing mereka akan melemparkanku dari atasnya.”

Hudzaifah berkata, “Mengapakah tidak anda perintahkan saja agar kami penggal leher-leher mereka?!”

Nabi (sawa) “Aku tidak suka nanti orang-orang berkata Muhammad membunuh sahabatnya sendiri.”

Kemudian Nabi (sawa) menyebutkan nama-nama mereka untuk Hudzaifah dan Ammâr dan meminta keduanya merahasiakan

Rujukan: Tafsir ad Durrul Mantsûr,3358

Riwayat-riwayat senada juga telah disebutkan oleh para ulama seperti Syeikh Jalaluddin as Suyuthi dalam tafsirnya dan lainnya.

Di bawah ini saya sertakan teks asli riwayat tanpa terjemahan sebagai tambahan.

و أخرج البيهقي في الدلائل عن ابن اسحق نحوه و زاد بعد قوله لحذيفة هل عرفت من القوم أحدا فقال لا   فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ان الله قد أخبرني بأسمائهم و أسماء آبائهم و سأخبرك بهم ان شاء الله عند وجه الصبح فلما أصبح سماهم له عبد الله بن أبى سعد و سعد بن أبى سرح و أبا حاصر الاعرابى و عامر و أبا عامر و الجلاس بن سويد بن الصامت و مجمع بن حارثة و مليحا التيمي و حصين بن نمير و طعمة بن أبيرق و عبد الله بن عيينة و مرة بن ربيع فهم اثنا عشر رجلا حاربوا الله و رسوله و أرادوا قتله فاطلع الله نبيه صلى الله عليه و سلم على ذلك و ذلك قوله عز و جل وَ هَمُّوا بِما لَمْ يَنالُوا و كان أبو عامر رأسهم و له بنوا مسجد الضرار و هو أبو حنظلة غسيل الملائكةو أخرج ابن سعد عن نافع بن جبير بن مطعم قال لم يخبر رسول الله صلى الله عليه و سلم بأسماء المنافقين الذين تحسوه ليلة العقبة بتبوك غير حذيفة رضى الله عنه وهم اثنا عشر رجلا ليس فيهم قريشي و كلهم من الأنصار و من حلفائهمو أخرج البيهقي في الدلائل عن حذيفة بن اليمان رضى الله عنه قال كنت آخذ بخطام ناقة رسول الله صلى الله عليه و سلم أقود به و عمار يسوقه أو أنا أسوقه و عمار يقوده حتى إذا كنا بالعقبة فإذا أنا باثني عشر راكبا قد اعترضوا فيها قال فأنبهت رسول الله صلى الله عليه و سلم فصرخ بهم فولوا مدبرين فقال لنا رسول الله صلى الله عليه و سلم هل عرفتم القوم قلنا لا يا رسول الله كانوا متلثمين و لكنا عرفنا الركاب قال هؤلاء المنافقون إلى يوم القيامة هل تدرون ما أرادوا قلنا لا قال أرادوا ان يزحموا رسول الله صلى الله عليه و سلم في العقبة فيلقوه منها قلنا يا رسول الله الله الا تبعث إلى عشائرهم حتى يبعث إليك كل قوم برأس صاحبهم قال لا انى أكره ان تحدث العرب بينها ان محمدا قاتل بقوم حتى إذا أظهره الله بهم أقبل عليهم يقتلهم ثم قال اللهم ارمهم بالدبيلة قلنا يا رسول الله و ما الدبيلة قال شهاب من نار يوضع على نياط قلب أحدهم فيهلك

Kesimpulan

Jelas dari riwayat di atas, orang-orang munafik ini adalah termasuk dan DIKENALI sebagai sahabat Nabi(sawa). Ini bertentangan dengan pendapat Ahlul Sunnah yang mengatakan keseluruhan sahabat itu adil dan tidak termasuk golongan munafik. Mereka sentiasa bersama Nabi(sawa), bermusafir bersama, berperang bersama,solat bersama dan sebagainya. TIdak mustahil, orang-orang ini, adalah para sahabat dekat Rasulullah(sawa). .

.

Ulama Tsiqat Menyatakan Ada Sahabat Badar Yang Munafik

Percayakah para pembaca jika ada orang munafik diantara mereka yang ikut dalam perang Badar. Hal ini ternyata diyakini oleh salah seorang ulama ahlus sunnah yang tsiqat. Jadi tidak ada alasan mengkaitkan hal ini sebagai keyakinan syiah atau rafidhah. Perhatikan atsar berikut

أخبرنا أبو محمد السكري ببغداد أنبأ أبو بكر الشافعي ثنا جعفر بن محمد بن الأزهر ثنا المفضل بن غسان الغلابي وهو يذكر من عرف بالنفاق في عهد النبي صلى الله عليه و سلم قال والحارث بن سويد بن صامت من بني عمرو بن عوف شهد بدرا وهو الذي قتل المجذر يوم أحد غيلة فقتله به نبي الله صلى الله عليه و سلم

Telah mengabarkan kepada kami Abu Muhammad Al Askariy di Baghdad yang berkata telah memberitakan kepada kami Abu Bakar Asy Syafi’iy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad bin Al Azhar yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Mufadhdhal bin Ghassaan Al Ghalaabiy dan ia menyebutkan diantara orang yang dikenal munafik di zaman Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam], ia berkata Al Harits bin Suwaid bin Shaamit dari Bani ‘Amru bin ‘Auf orang yang ikut dalam perang Badar dan ia telah membunuh Mijdzar pada perang Uhud dengan tipudaya maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] membunuhnya karena hal itu [Sunan Al Kubra Baihaqi 8/57 no 15841]

Atsar di atas diriwayatkan oleh para perawi tsiqat hingga Mufadhdhal bin Ghassaan Al Ghalabiy dan dia adalah ulama yang tsiqat.

Abu Muhammad Al Askariy adalah Abdullah bin Yahya bin ‘Abdul Jabar Al Baghdadiy. Adz Dzahabi menyebutnya syaikh yang tsiqat. Al Khatib berkata “kami menulis darinya dan ia shaduq” [As Siyar Adz Dzahabi 17/387 no 246]Abu Bakar Asy Syafi’i adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Ibrahim seorang Imam muhaddis mutqin hujjah faqih musnad Irak. Al Khatib berkata “tsiqat tsabit banyak meriwayatkan hadis”. Daruquthni berkata “tsiqat ma’mun” [As Siyar 16/40-42 no 27].Ja’far bin Muhammad bin Al Azhar adalah Abu Ahmad Al Bazzaar Al Bawardiy meriwayatkan dari Mufadhdhal bin Ghassaan, Wahb bin Baqiyah dan Muhammad bin Khalid. Diantara yang meriwayatkan darinya adalah Abu Bakar Asy Syafi’i. Al Khatib berkata “tsiqat” [Tarikh Baghdad 8/97 no 3613]Mufadhdhal bin Ghassaan Al Ghalaabiy adalah Abu ‘Abdurrahman Al Ghalaabiy berasal dari Bashrah dan tinggal di Baghdad. Diantara yang meriwayatkan darinya adalah Ja’far bin Muhammad bin Al Azhar. Al Khatib menyatakan ia tsiqat. [Tarikh Baghdad 15/156 no 7060]. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “ia termasuk sahabat Yahya bin Ma’in” [Ats Tsiqat juz 9 no 15904]

Maksud dari perkataan “membunuh dengan tipu daya” disini adalah Al Harits dan Mijdzar keduanya berada di pihak yang sama dalam perang Uhud tetapi Al Harits membunuh Mijdzar karena Mijdzar telah membunuh ayah Al Harits di masa Jahiliyah dahulu. Atsar di atas membuktikan ada ulama tsiqat yang berkata bahwa ada sahabat Badar yang munafik. Yah mungkin ulama satu ini [Mufadhdhal bin Ghassaan] akan dihujat oleh salafy nashibi

.

Apakah Ada Sahabat Badar Yang Dinyatakan Munafik?

Perhatikan baik-baik, judul di atas adalah pertanyaan dan tulisan kali ini akan menunjukkan berbagai qarinah yang menunjukkan ada salah seorang yang ikut menyaksikan perang Badar ternyata setelah itu ia dinyatakan munafik. Penegasan kemunafikan itu turun dari langit dengan salah satu ayat Al Qur’an yang turun untuknya

حدثنا يوسف بن حماد حدثنا عبد الأعلى بن عبد الأعلى عن سعيد عن قتادة عن أنس أن أبا طلحة قال غشينا ونحن في مصافنا يوم أحد حدث أنه كان فيمن غشيه النعاس يومئذ قال فجعل سيفي يسقط من يدي وآخذه ويسقط من يدي وآخذه والطائفة الأخرى المنافقون ليس لهم هم إلا أنفسهم أجبن قوم وأرغبه وأخذله للحق

Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Hamaad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul A’laa bin ‘Abdul A’laa dari Sa’id dari Qatadah dari Anas bahwa Abu Thalhah berkata kami diliputi rasa kantuk pada pasukan perang uhud, ia menceritakan terjadi serangan rasa kantuk pada hari itu. Dia berkata “pedangku terjatuh dari tanganku dan aku mengambilnya kembali, kemudian kembali terjatuh lagi dan aku ambil kembali. Sedangkan golongan yang lain yaitu orang-orang munafik tidak ada yang mereka cemaskan selain diri mereka sendiri, mereka adalah orang-orang pengecut dan tidak peduli pada kebenaran[Sunan Tirmidzi 5/229 no 3008]

Imam Tirmidzi berkata “ini hadis hasan shahih”. Hadis riwayat Tirmidzi ini shahih, Sa’id adalah Sa’id bin Abi Arubah, ia dimasukkan oleh Ibnu Hajar dalam mudallis martabat kedua [Thabaqat Al Mudallisin no 50]. Tetapi hal ini tidak membahayakan hadisnya karena mudallis martabat kedua dijadikan hujjah ‘an anahnya dalam kitab shahih apalagi diketahui kalau Sa’id bin Abi Arubah termasuk diantara orang yang paling tsabit riwayatnya dari Qatadah. Sa’id bin Abi Arubah juga dikatakan mengalami ikhtilath, tetapi disini yang meriwayatkan darinya adalah ‘Abdul A’la bin ‘Abdul A’la dimana ia termasuk yang meriwayatkan dari Sa’id sebelum ia mengalamai ikhtilath [Al Mukhtalithin Abu Sa'id Al Ala'iy no 18]. Periwayatan Abdul A’la dari Sa’id telah dimasukkan Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya.

Sa’id bin Abi Arubah memiliki mutaba’ah yaitu dari Syaiban bin ‘Abdurrahman sebagaimana disebutkan Abu Nu’aim dalam Shifatu Nifaq no 133 dan Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban 16/145 no 7180 [dimana Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari”]. Kemudian Qatadah dalam periwayatan dari Anas memiliki mutaba’ah dari Rabi’ bin Anas sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ath Thabari 7/318 no 8078.

حَدَّثَنَا مُحَمَّد بْن إسماعيل الصائغ، قَالَ حَدَّثَنَا يوسف بْن البهلول قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ إدريس، عَنْ ابْن إِسْحَاقَ، قَالَ حدثني يحيى بْن عباد بْن عَبْدِ اللهِ بْن الزبير، عَنْ أبيه، عَنْ عَبْد اللهِ بْن الزبير، قَالَ قَالَ الزبير  أرسل الله علينا النوم يعني يوم أحد فوالله إني لأسمع كالحلم قول معتب بْن قشير {لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَهُنَا} فحفظتها منه، وفي ذَلِكَ أنزل الله جَلَّ وَعَزَّ  {ثُمَّ أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِ الْغَمِّ أَمَنَةً نُعَاسًا} إِلَى قوله  {مَا قُتِلْنَا هَهُنَا} ، لقول معتب بْن قشير

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismail Ash Shaa’igh yang berkata telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Buhlul yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris dari Ibnu Ishaq yang berkata telah menceritakan kepadaku Yahya bin ‘Abbad bin ‘Abdullah bin Zubair dari ayahnya dari Abdullah bin Zubair yang berkata Zubair berkata Allah SWT mengirimkan rasa kantuk kepada kami yaitu pada perang Uhud maka demi Allah aku mendengar seolah seperti mimpi Mu’attib bin Qusyair berkata “sekiranya ada bagi kita sesuatu dalam urusan ini maka niscaya kita tidak akan dibunuh disini” Aku pun menghafalkan perkataan itu, dan untuk hal itulah turun firman Allah [kemudian setelah kamu berduka cita Allah menurunkan keamanan berupa kantuk] hingga perkataannya [niscaya kita tidak akan dibunuh disini] yaitu perkataan Mu’attib bin Qusyair[Tafsir Al Qur'an Ibnu Mundzir 2/457 no 1091]

Hadis di atas sanadnya hasan telah diriwayatkan oleh perawi tsiqat dan shaduq. Juga disebutkan riwayat ini dalam Tafsir Ibnu Abi Hatim 3/795 no 4373 dengan sanad yang serupa. Berikut perawi dalam sanad di atas

Muhammad bin Isma’il Ash Sha’igh adalah perawi Abu Dawud. Ibnu Abi Hatim berkata “shaduq”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 9 no 57]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 2/55]. Adz Dzahabi berkata “imam muhaddis tsiqat” [As Siyar 13/161 no 95]Yusuf bin Buhlul At Tamimiy mendengar Syarik bin ‘Abdullah, Yahya bin Zakaria bin Abi Za’idah, Abdullah bin Idris dan Abu Khalid Al Ahmar. Telah meriwayatkan darinya Bukhari, Yaqub bin Syaibah dan Abu Zur’ah. Al Khatib berkata “tsiqat”. Muhammad bin Abdullah Al Hadhramiy berkata “tsiqat” [Tarikh Baghdad 16/437 no 7561]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 2/343]‘Abdullah bin Idris adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Yaqub bin Syaibah berkata “ahli ibadah yang memiliki keutamaan”. Ibnu ‘Ammaar berkata “termasuk hamba Allah yang shalih dan zuhud”. Abu Hatim menyatakan ia hujjah imam kaum muslimin yang tsiqat. Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat ma’mun banyak meriwayatkan hadis, hujjah”. Ibnu Hibban memasukkan dalam Ats Tsiqat. Ibnu Khirasy berkata ‘tsiqat”. Al Ijli berkata “tsiqat tsabit”. Ali bin Madini menyatakan ia termasuk tsiqat. Al Khalili berkata “tsiqat muttafaq ‘alaih” [At Tahdzib juz 5 no 248]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat faqih ahli ibadah” [At Taqrib 1/477]Muhammad bin Ishaq bin Yasar adalah penulis kitab sirah yang terkenal. Ibnu Hajar mengatakan ia seorang yang imam dalam sejarah, shaduq melakukan tadlis dan bertasyayyu’ [At Taqrib 2/54]. Tetapi dalam hadis ini Muhammad bin Ishaq menyebutkan lafal “haddatsani” maka hadisnya shahih.Yahya bin ‘Abbad bin ‘Abdullah bin Zubair termasuk perawi Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Nasa’i dan Daruquthni menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis” [At Tahdzib juz 11 no 382]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 2/306]‘Abbad bin ‘Abdullah bin Zubair adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Nasa’i berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis”. Al Ijli berkata “tabiin madinah yang tsiqat” [At Tahdzib juz 5 no 164]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/467]

Jadi hadis Abdullah bin Zubair dari ayahnya di atas adalah sanadnya jayyid dan menjelaskan tentang turunnya Al Qur’an Ali Imran ayat 154 dimana salah satunya tertuju untuk Mu’attib bin Qusyair seperti yang disebutkan di atas

ثُمَّ أَنزَلَ عَلَيْكُم مِّن بَعْدِ الْغَمِّ أَمَنَةً نُّعَاساً يَغْشَى طَآئِفَةً مِّنكُمْ وَطَآئِفَةٌ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَل لَّنَا مِنَ الأَمْرِ مِن شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ يُخْفُونَ فِي أَنفُسِهِم مَّا لاَ يُبْدُونَ لَكَ يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ مَّا قُتِلْنَا هَاهُنَا قُل لَّوْ كُنتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحَّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

Kemudian setelah kamu berdukacita, Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari pada kamu, sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?”. Katakanlah “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah”. Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu, mereka berkata “Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini”. Katakanlah “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh”. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati [QS Ali Imran : 154]

Ayat di atas menjelaskan bahwa pada saat perang Uhud Allah SWT menurunkan rasa kantuk kepada orang-orang yang beriman sebagai rasa aman bagi mereka sedangkan golongan lain yang dicemaskan oleh dirinya sendiri mereka adalah orang-orang munafik yang ikut dalam barisan kaum mukminin [seperti yang ditegaskan dalam riwayat Abu Thalhah di atas]. Mereka menyangka yang tidak benar kepada Allah seperti sangkaan jahiliyah dan diantara mereka ada yang berkata“sekiranya ada bagi kita sesuatu [hak campur tangan] dalam urusan ini maka kita tidak akan terbunuh”. Disebutkan dalam riwayat shahih di atas kalau yang berucap ini adalah Mu’attib bin Qusyair. Jadi Mu’attib bin Qusyair tergolong ke dalam orang-orang munafik saat perang uhud.

Lantas siapakah Mu’attib bin Qusyair ini?. Sebagian ulama memasukkannya ke dalam daftar sahabat Nabi. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam Al Ishabah dan menyatakan ia Ashabul Aqabah, dikatakan ia munafik dan Ibnu Ishaq menyebutkan kalau ia termasuk yang ikut dalam perang Badar [Al Ishabah 6/175 no 8125]. Ibnu Abdil Barr berkata “ia ikut menyaksikan perang Badar dan uhud” [Al Isti’ab 3/1429]. Ibnu Atsir menyebutkan bahwa ia termasuk orang Anshar menyaksikan perang Badar dan perang Uhud [Asad Al Ghabah 5/237]. Ibnu Sa’ad berkata “ia menyaksikan perang Badar dan Uhud” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 3/463]. Abu Nu’aim Al Ashbahaniy memasukkan Mu’attib bin Qusyair kedalam kitabnya Ma’rifat Ash Shahabah dan berkata ia menyaksikan perang Badar [Ma’rifat Ash Shahabah Abu Nu’aim 18/118]. Ibnu Makula menyebutkan ia menyaksikan perang Badar dan termasuk Ashabul Aqabah [Ikmal Al Kamal 7/280]

Apa yang kita dapat sejauh ini?. Mu’attib bin Qusyair termasuk sahabat yang ikut dalam perang Badar tetapi ketika perang Uhud ia masuk dalam golongan orang munafik walaupun ia ikut di barisan kaum mukminin. Jadi adakah sahabat Nabi yang munafik? Uups atau bahasanya adakah sahabat Nabi yang menjadi munafik?. Apa jawabannya silakan direnungkan.

WALLOHUL WALIYYUT TAUFIQ ILA SABILUL HUDA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar