Translate

Rabu, 26 April 2017

Syair Dan Nyanyian

Banyak hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan tentang dibencinya banyak bersya’ir :

عن بن عمر رضى الله تعالى عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لأن يمتلئ جوف أحدكم قيحا خير له من أن يمتلئ شعرا

Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang bersabda : “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada ia penuhi dengan sya’ir” [HR. Al-Bukhari no. 5802].

عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لأن يمتلئ جوف رجل قيحا يريه خير من أن يمتلئ شعرا

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah hingga merusak perutnya daripada ia penuhi dengan sya’ir” [HR. Al-Bukhari no. 5803 dan Muslim no. 2257].

Ibnu Hajar berkata :

هذه المبالغة في ذم الشعر أن الذين خوطبوا بذلك كانوا في غاية الإقبال عليه والاشتغال به فزجرهم عنه ليقبلوا على القرآن وعلى ذكر الله تعالى وعبادته فمن أخذ من ذلك ما أمر به لم يضره ما بقي عنده مما سوى ذلك والله أعلم

“Faktor munculnya celaan yang cukup keras tersebut karena orang yang diajak bicara adalah orang-orang yang menyibukkan diri dan menghabiskan waktunya hanya untuk sya’ir, sehingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mencela mereka agar mereka kembali kepada Al-Qur’an, berdzikir, dan beribadah kepada Allah. Barangsiapa telah melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya, maka tidak mengapa jika sisa waktunya digunakan untuk hal lain. Wallaahu a’lam. [Fathul-Bari – 10/550]

عن عمرو بن الشريد عن أبيه قال ردفت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما فقال هل معك من شعر أمية بن أبي الصلت شيئا قلت نعم قال هيه فأنشدته بيتا فقال هيه ثم أنشدته بيتا فقال هيه حتى أنشدته مائة بيت

Dari ‘Amru bin Asy-Syarid dari ayahnya (Asy-Syarid bin Suwaid Ats-Tsaqafy) ia berkata : ”Suatu hari aku dibonceng oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Maka beliau bertanya : ‘Apakah engkau hafal syair Umayyah bin Abish-Shalat ?’. Aku menjawab : ‘Ya’. Beliau berkata : ‘Lantunkanlah !’. Maka aku pun melantunkan satu bait syair. (Setelah selesai), beliau pun berkata :‘Teruskanlah !’. Maka aku pun melantunkan satu bait syair lagi. (Setelah selesai), beliau pun berkata hal yang sama : ‘Teruskanlah !’. Hingga aku melantunkan sekitar seratus bait syair” [HR. Muslim no. 2255].

An-Nawawi berkata ketika menjelaskan hadits di atas :

وَمَقْصُود الْحَدِيث أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَحْسَنَ شِعْر أُمِّيَّة , وَاسْتَزَادَ مِنْ إِنْشَاده لِمَا فِيهِ مِنْ الْإِقْرَار بِالْوَحْدَانِيَّةِ وَالْبَعْث , فَفِيهِ جَوَاز إِنْشَاد الشِّعْر الَّذِي لَا فُحْش فِيهِ , وَسَمَاعه , سَوَاء شِعْر الْجَاهِلِيَّة وَغَيْرهمْ , وَأَنَّ الْمَذْمُوم مِنْ الشِّعْر الَّذِي لَا فُحْش فِيهِ إِنَّمَا هُوَ الْإِكْثَار مِنْهُ , وَكَوْنه غَالِبًا عَلَى الْإِنْسَان . فَأَمَّا يَسِيره فَلَا بَأْس بِإِنْشَادِهِ وَسَمَاعه وَحِفْظه

”Maksud hadits ini bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam menganggap baik syair Umayyah dan meminta tambahan syair terhadap apa yang ada di dalamnya dari pengakuan terhadap keesaan (Allah) dan hari akhir. Dan di dalamnya terdapat pembolehan terhadap pelantunan syair yang tidak mengandung kekejian, sekaligus mendengarkannya. Sama saja, apakah syair tersebut merupakan syair Jahiliyyah atau selainnya. Dan yang harus dijauhi dari perkara syair yang tidak mengandung kekejian adalah tidak berlebihan padanya. Dan itulah yang biasanya terjadi pada diri manusia. Adapun sedikit syair dengan cara melantunkan, mendengarkannya, atau menghafalnya maka tidak mengapa” [Syarah Shahih Muslim lin-Nawawi hal. 1572 – Maktabah Al-Misykah].

Bersyair pada asalnya adalah boleh sebagaimana telah tsabit dalam hadits-hadits shahih. Bahkan, dalam kondisi-kondisi tertentu sangat diperlukan untuk menumbuhkan semangat jihad. Namun jika dilakukan secara berlebihan (sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar dan An-Nawawi), maka hal itu adalah tercela.

HUKUM NYANYIAN DAN MUSIK

Perlu dicatat bahwa lantunan syair yang dikenal di jaman Rasulaullah shallallaahu ’alaihi wasallam sangatlah berbeda dengan nyanyian [al-ghina’ atau as-simaa’].Imam Ahmad Al-Qurthubi menyatakan dalam Kasyful-Qina’ halaman 47 : Al-Ghina’ secara bahasa adalah meninggikan suara ketika bersya’ir atau yang semisal dengannya (seperti rajaz secara khusus). Di dalam Al-Qamus (halaman 1187), al-ghinaa’ dikatakan sebagai suara yang diperindah. Yang lebih jelas adalah apa yang dikatakan oleh Asy-Syathibi :

لكن العرب لم يكن لها من تحسين النغمات ما يجرى مجرى ما الناس عليه اليوم بل كانوا ينشدون الشعر مطلقا من غير ان يتعلموا هذه الترجيعات التي حدثت بعدهم بل كانوا يرققون الصوت ويمططونه على وجه يليق بأمية العرب الذين لم يعرفوا صنائع الموسيقى فلم يكن فيه إلذاذ ولا إطراب لهى وإنما كان لهم شىء من النشاط كما كان الحبشة وعبد الله بن رواحة يحدوان بين يدى رسول الله صلى الله عليه وسلم

وكما كان الأنصار يقولون عند حفر الخندق

نحن الذين بايعوا محمداًَعلى الجهاد ما حيينا أبداًَفيجيبهم صلى الله عليه وسلماللهم لا خير إلا خير الأخرةفاغفر للأنصار والمهاجرة

“Akan tetapi orang Arab tidaklah mengenal cara memperindah lantunan seperti apa yang dilakukan oleh manusia pada hari ini. Akan tetapi mereka melantunkan syair secara mutlak tanpa mempelajari notasi-notasi yang muncul setelahnya. Mereka melembutkan suara dan memanjangkannya sebagaimana kebiasaan kaum Arab yang ummi yang mereka tidak mengetahui alunan musik. Maka tidak akan menimbulkan keterlenaan dan membuat bergoyang yang melenakan. Hal itu hanyalah sesuatu yang membangkitkan semangat sebagaimana Abdullah bin Rawahah melantunkan syairnya di hadapan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Juga sebagaimana kaum Anshar yang melantunkannya ketika menggali parit (ketika menjelang perang Khandaq) :

Kamilah yang membaiat Muhammad

Untuk berjihad selamanya selama kami masih hidup

Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab mereka dengan :

Ya Allah, tidak ada kebaikan selain kebaikan akhirat

Maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin

[selesai perkataan Asy-Syathibi dalam Kitabul-I’tisham juz 1 hal. 207-208 – Maktabah Al-Misykah].

Para ulama telah membagi al-ghina’ menjadi dua :

1.Nyanyian yang seperti kita temukan dalam berbagai aktifitas sehari-hari dalam perjalanan, pekerjaan, mengangkut beban, dan sebagainya. Sebagian di antara mereka ada yang menghibur dirinya dengan bernyanyi untuk menambah gairah dan semangat, menghilangkan kejenuhan dan rasa sepi. Contoh yang pertama ini di antaranya adalah al-hida’, lagu yang dinyanyikan oleh sebagian kaum perempuan untuk menenangkan tangis atau rengekan buah hati mereka, atau nyanyian gadis-gadis kecil dalam sendau-gurau permainan mereka, wallaahu a’lam [Kaffur-Ri’a’ halaman 59-60 dan Kasyful-Qina’ halaman 47-49]. Disebutkan oleh para ulama bahwa jenis pertama ini selamat atau bersih dari penyebutan kata-kata keji dan hal-hal yang diharamkan. Ringkasnya, nyanyian – atau lebih tepatnya syair (karena lebih mirip kepada syair) – seperti ini adalah diperbolehkan.

2.Nyanyian yang dilakukan oleh penyanyi laki-laki atau perempuan, artis, dan yang semacamnya yang mengenal seluk beluk gubahan (nada dan irama – sebagaimana lazim ada di jaman sekarang) suatu lagu, dari rangkaian syair; kemudian mereka mendendangkannya dengan nada atau irama yang teratur, halus, lembut, dan menyentuh hati, membangkitkan gejolak, serta menggairahkannya. Nyanyian jenis kedua inilah yang diperselisihkan oleh para ulama. Para ulama berbeda pendapat menjadi tiga kelompok : mengharamkannya, memakruhkannya, dan membolehkannya.

Khilaf yang terjadi dalam nyanyian jenis kedua di atas, yang paling rajih adalah pendapat yangmengharamkannya atau minimal membencinya (makruh) – untuk ditinggalkan. Apalagi jika diiringi oleh alat musik, maka ini lebih jelas dan kuat lagi keharamannya. Dalil-dalil yang dijadikan dasar keharaman adalah sebagai berikut:

Dalil Al-Qur’an

1.Firman Allah ta’ala :

وَمِنَ النّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلّ عَن سَبِيلِ اللّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتّخِذَهَا هُزُواً أُوْلَـَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مّهِينٌ

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan [QS. Luqman : 6].

Ibnu Katsir menukil perkataan Ibnu Jarir dalam Tafsirnya :

حدثني يونس بن عبد الأعلى قال: أخبرنا ابن وهب, أخبرني يزيد بن يونس عن أبي صخر عن أبي معاوية البجلي عن سعيد بن جبير عن أبي الصهباء البكري أنه سمع عبد الله بن مسعود وهو يسأل عن هذه الاَية {ومن الناس من يشتري لهو الحديث ليضل على سبيل الله} فقال عبد الله بن مسعود: الغناء والله الذي لا إله إلا هو, يرددها ثلاث مرات

Telah menceritakan kepadaku Yunus bin ‘Abdil-A’laa ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku Yazid bin Yunus, dari Shakhr, dari Abu Mu’awiyyah Al-Bajaly, dari Sa’id bin Jubair, dari Abu Shahbaa’ Al-Bakry bahwasanya ia mendengar ‘Abdullah bin Mas’udradliyallaahu ‘anhu ketika ia bertanya kepada beliau tentang ayat “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah” ; maka beliau menjawab : “Al-Ghinaa’ (nyanyian)”. Demi Allah yang tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, beliau mengulanginya tiga kali [Tafsir Ibnu KatsirQS. Luqman : 6 – Free Program from Islamspirit].

Ibnu Katsir membawakan perkataan Ibnu Mas’ud dari jalan lain ‘Ammar, dari Sa’id bin Jubair, dari Abu Shahbaa’ Al-Bakri, dari Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu. Atsar ini diriwayatkan juga oleh Al-Hakim no. 3542, ia berkata : Hadits ini sanadnya shahih, namun tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Tashhih ini disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan memang seperti itulah keadaannya (atas keshahihannya).

Al-Hasan Al-Bashri mengatakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan nyanyian (ghinaa’)dan seruling (mazaamir).

Ibnu Mas’ud merupakan salah satu pembesar shahabat yang perkataan lebih diunggulkan daripada selainnya. Tentang Ibnu Mas’ud, As-Sunnah Ash-Shahiihah menjadi saksi :

عن أبي الأحوص قال كنا في دار أبي موسى مع نفر من أصحاب عبد الله وهم ينظرون في مصحف فقام عبد الله فقال أبو مسعود ما اعلم رسول الله صلى الله عليه وسلم ترك بعده اعلم بما انزل الله من هذا القائم فقال أبو موسى أما لئن قلت ذاك لقد كان يشهد إذا غبنا ويؤذن إذا حجبنا

Dari Abul-Ahwash ia berkata,”Kami pernah berada di rumah Abu Musa beserta beberapa orang shahabat Abdullah bin Mas’ud. Mereka sedang menelaah mushhaf Al-Qur’an, lalu Abdullah bin Mas’ud berdiri. Lalu kata Abu Mas’ud,”Sepengetahuanku, Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam tidaklah meninggalkan orang yang lebih mengerti tentang Al-Qur’an daripada orang yang berdiri tadi setelah beliau wafat”. Kata Abu Musa,”Kalau engkau mengatakan demikian, Abdullah bin Mas’ud memang selalu menyertai Rasulullah ketika kita tidak turut serta, dan dia diijinkan masuk ke rumah beliau ketika kita tidak diijinkan masuk” [HR. Muslim no. 2461].

Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu ketika menafsirkan {لَهْوَ الْحَدِيثِ} juga dengan Nyanyian {الغناء}.

حدثنا حفص بن عمر قال أخبرنا خالد بن عبد الله قال أخبرنا عطاء بن السائب عن سعيد بن جبير عن بن عباس ومن الناس من يشتري لهو الحديث قال الغناء وأشباهه

Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin ‘UMar, ia berkata : Telah mengkhabarakan kepada kami Khalid bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Athaa’ bin As-Saaib, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah” ; beliau berkata : “Al-Ghinaa’(nyanyian) dan yang menyerupainya” [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adaabul-Mufrad no. 786 dan 1265; shahih].

Lihat pula atsar ini dalam Tafsir Ath-Thabari. Tentang Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallamtelah berdoa untuknya : {اللهم فقهه في الدين} “Ya Allah, pahamkanlah ia dalam masalah agama” [HR. Muslim no. 2477]. Atas doa ini, para shahabat dan ulama lainnya memberikan gelar kepadanya : Turjumanul-Qur’an.

Mujahid juga menafsirkan sebagaimana perkataan dua imamnya terdahulu, dimana beliau berkata tentang ayat ini :

الـمغنـي والـمغنـية بـالـمال الكثـير, أو استـماع إلـيه, أو إلـى مثله من البـاطل.

”Membayar penyanyi laki-laki dan perempuan dengan biaya yang mahal dan mendengarkannya atau yang sepertinya, termasuk perkara-perkara yang bathil” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya no. 21360; dengan sanad shahih].

Syu’aib bin Yasar berkata :

سألت عكرمة عن ( لهو الحديث )؟ قال : هو الغناء.

”Aku pernah bertanya kepada ’Ikrimah tentangLahwul-Hadiits ; maka ia menjawab : ”Ia adalah nyanyian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir no. 2556, Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya no. 21361-21362, Ibnu Abid-Dun-ya dalam Dzammul-Malaahi – dan ini adalah lafadhnya - , dan yang lainnya. Asy-Syaikh Al-Albani dalam At-Tahrim berkata : ”Hasanul-isnad, insyaAllah”].

Penafsiran lahwul-hadiits dengan al-ghinaa’(nyanyian) ditegaskan oleh Ibnu Katsir – selain dari yang telah disebutkan di atas – juga merupakan penafsiran dari Jabir, Sa’id bin Jubair, Mak-hul, ‘Amr bin Syu’aib, dan ‘Ali bin Nadiimah rahimahumullah.

Asy-Syaukani menjelaskan :

ولهو الحديث كل ما يلهى عن الخير من الغناء والملاهي والأحاديث المكذوبة وكل ما هو منكر..... قال القرطبي: إن أولى ما قيل في هذا الباب هو تفسير لهو الحديث بالغناء، قال: وهو قول الصحابة والتابعين،

”Dan lahwal-hadiits maknanya adalah : Segala sesuatu yang melalaikan seseorang dari kebaikan, contohnya adalah nyanyian, permainan, perkataan-perkataan (dongeng) yang dusta, dan setiap perkara yang munkar.................... Dan berkata Al-Qurthubi : Sesungguhnya yang didahulukan (tepat) adalah apa yang telah dikatakan dalam bab ini bahwa tafsir darilahwul-hadiitsadalah nyanyian (al-ghinaa’). Hal itu merupakan perkataan dari para shahabat dan tabi’in” [Fathul-Qadiir – Free Program from Islamspirit].

2.Firman Allah ta’ala :

أَفَمِنْ هَـَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ *وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ *وَأَنتُمْ سَامِدُونَ

“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?. Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?. Sedang kamu melengahkan(nya)?” [QS. An-Najm : 59-61].

Ketika menafsirkan ayat { وَأَنتُمْ سَامِدُونَ} “Sedang kamu melengahkan(nya)?”, Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma dalam salah satu riwayat berkata : { هو الغناء} “Maksudnya adalah nyanyian” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya no. 25273].

Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma ketika menafsirkanوَأَنتُمْ سَامِدُونَ; maka ia berkata : “Yaitu Al-Ghinaa’(nyanyian)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya no. 25282-25283, Al-Bazzar no. 4724, Al-dan Baihaqi 10/223. Berkata Al-Haitsami dalamMajma’uz-Zawaaid juz 7 no. 11381 : “Rijaaluhu rijaalush-shahiih”].

Al-Qurthubi menjelaskan :

سمد لنا أي غن لنا، فكانوا إذا سمعوا القرآن يتلى تغنوا ولعبوا حتى لا يسمعوا.

“Samada lanaa ; artinya adalah : ghanna lanaa(bernyanyilah untuk kami). Yaitu, jika mereka mendengarkan Al-Qur’an yang dibacakan, maka mereka bernyanyi-nyanyi dan bermain-main hingga mereka tidak mendengarkannya (Al-Qur’an)” [Tafsir Al-Qurthubi – Free Program from Islamspirit].

3.Firman Allah ta’ala :

وَالّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزّورَ وَإِذَا مَرّواْ بِاللّغْوِ مَرّوا كِراما

“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” [QS. Al-Furqan : 72].

Ketika menafsirkan { وَالّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزّورَ } “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu” , Mujahid berkata : {لا يسمعون الغِناء} “(yaitu) orang-orang yang tidak mendengarkan nyanyian” [Lihat Tafsir Ath-ThabariQS. Al-Furqaan : 72].

4.Firman Allah ta’ala :

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِمْ بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي الأمْوَالِ وَالأولادِ وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلا غُرُورًا

“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” [QS. Al-Israa’ : 64].

Ibnu Katsir berkata :

وقوله تعالى: {واستفزز من استطعت منهم بصوتك} قيل هو الغناء قال مجاهد باللهو والغناء أي استخفهم بذلك

”Dan firman-Nya : Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu ; dikatakan, yaitu dengan nyanyian. Mujahid berkata : ”Dengan permainan dan nyanyian, yaitu meremehkannya dengan hal tersebut” [Tafsir Ibnu Katsir – Free Prgoram from Islamspirit].

Adapun Al-Qurthubi juga menyebutkan hal yang hampir serupa dengan perkataannya :

"بصوتك" وصوته كل داع يدعو إلى معصية الله تعالى؛ عن ابن عباس. مجاهد: الغناء والمزامير واللهو. الضحاك: صوت المزمار.

”Dengan suaramu/ajakanmu ; dan suaranya yaitu setiap hal yang mengajak kepada kemaksiatan terhadap Allah, hal itu berasal dari perkataan Ibnu ’Abbas. Adapun Mujahid, ia berkata : Nyanyian, seruling, dan permainan. Berkata Adl-Dlahhak : Suara seruling” [Tafsir Al-Qurthubi – Free Program from Islamspirit].

Ibnu Taimiyyah menjelaskan :

وقد فسر ذلك طائفة من السلف بصوت الغناء‏.‏ وهو شامل له ولغيره من الأصوات المستفزة لأصحابها عن سبيل الله‏.

”Dan sungguh sebagian ulama salaf telah menafsirkan bi-shautika dengan : ”Nyanyian (al-ghinaa’). Hal itu mencakup seluruh hal selainnya dari jenis-jenis suara yang menghalangi pelakunya dari jalan Allah” [Majmu’ Fataawaa 10/180 – Maktabah Al-Misykah].

Beberapa penafsiran ayat dari para ulama terdahulu di atas menunjukkan bahwa nyanyian di jaman mereka (jaman para shahabat dan tabi’in) merupakan sesuatu yang sangat dibenci dan termasuk perbuatan yang sia-sia.

Permasalahan hukum musik adalah permasalahan yang telah dibahas para ulama kita semenjak dulu hingga sekarang. Dalam blog ini telah dibahas apa hukum musik dan nyanyian. Adapun sekarang, apakah benar bahwasannya larangan musik merupakan ijma’ di kalangan ulama ? Sebagian besar rekan-rekan tentu akrab dengan pernyataan ijma’ tentang pengharamannya.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

وأما الالات فسيأتى الكلام على اختلاف العلماء فيها عند الكلام على حديث المعازف في كتاب الأشربة وقد حكى قوم الإجماع على تحريمها وحكى بعضهم عكسه وسنذكر بيان شبهة الفريقين إن شاء الله تعالى ولا يلزم من إباحة الضرب بالدف في العرس ونحوه إباحة غيره من الالات كالعود ونحوه

“Adapun alat musik, maka akan datang perkataan tentang ikhtilaaf para ulama padanya terhadap bahasan hadits ma’aazif dalam kitab Al-Asyribah (dalam Shahih Al-Bukhary). Sekelompok ulama mengatakan adanya ijmaa’  pengharamannya. Namun sebagian yang lain mengatakan sebaliknya. Dan akan kami sebutkan penjelasan syubhat dua kelompok tersebut, insya Allahu ta’ala. Dan tidaklah melazimkan kebolehan memukul duff sewaktu pernikahan dan yang semisalnya dengan kebolehan memukul selain duff dari macam alat-alat musik seperti ‘uud (semacam kecapi) dan yang semisalnya” [Fathul-Baariy, 3/371].

Mafhum yang diambil dari perkataan Ibnu Hajar rahimahullah di atas adalah bahwa Ibnu Hajar mengakui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama selain klaim ijma’ dalam permasalahan hukum musik dan nyanyian. Wallaahu a’lam.

Di antara ulama yang menetapkan adanya ijma’ antara lain Abu Bakr Al-Aajurriy (w. 360 H), Abuth-Thayyib Ath-Thabariy Asy-Syaafi’iy (450 H), Ibnu ‘Abdil-Barr (w. 463 H), Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy (w. 540 H), Ibnush-Shalaah (w. 643 H), Abul-‘Abbaas Al-Qurthubiy (w. 656 H), Ibnu Taimiyyah (w. 728 H), Taajuddiin As-Subkiy (w. 756 H), Ibnu Rajab (w. 795 H), Ibnu Hajar Al-Haitamiy (w. 974 H), dan yang lainnya dari kalangan ulama kontemporer.

Adapun Asy-Syaukaaniy – dan ia orang yang paling menonjol dalam hal ini – menyebutkan pendapat yang ‘menyelisihi’ ijma’ tersebut dalam bukunya Nailul-Authaar:

وذهب أهل المدينة ومن وافقهم من علماء الظاهر وجماعة من الصوفية إلى الترخيص في السماع ولو مع العود واليراع وقد حكى الأستاذ أبو منصور البغدادي الشافعي في مؤلفه في السماع أن عبد اللّه بن جعفر كان لا يرى بالغناء بأسًا ويصوغ الألحان لجواريه ويسمعها منهن على أوتاره وكان ذلك في زمن أمير المؤمنين علي رضي اللّه عنه‏.‏ وحكى الأستاذ المذكور مثل ذلك أيضًا عن القاضي شريح وسعيد بن المسيب وعطاء بن أبي رباح والزهري والشعبي‏.‏

وقال إمام الحرمين في النهاية وابن أبي الدم نقل الأثبات من المؤرخين أن عبد اللّه بن الزبير كان له جوار عوادات وأن ابن عمر دخل عليه وإلى جنبه عود فقال ما هذا يا صاحب رسول اللّه فناوله إياه فتأمله ابن عمر فقال هذا ميزان ، قال ابن الزبير‏:‏ يوزن به العقول‏.

وروى الحافظ أبو محمد ابن حزم في رسالته في السماع سنده إلى ابن سيرين قال‏:‏ إن رجلا قدم المدينة بجوار فنزل على عبد اللّه بن عمر وفيهن جارية تضرب فجاء رجل فساومه فلم يهو منهن شيئًا قال انطلق إلى رجل هو أمثل لك بيعًا من هذا قال من هو قال عبد اللّه بن جعفر فعرضهن عليه فأمر جارية منهن فقال لها خذي العود فأخذته فغنت فبايعه ثم جاء إلى ابن عمر إلى آخر القصة‏.‏

وروى صاحب العقد العلامة الأديب أبو عمر الأندلسي أن عبد اللّه بن عمر دخل على أبي جعفر فوجد عنده جارية في حجرها عود ثم قال لابن عمر هل ترى بذلك بأسًا قال لا بأس بهذا وحكى الماوردي عن معاوية وعمرو بن العاص أنهما سمعا العود عند ابن جعفر‏.‏

“Penduduk Madinah dan orang yang sependapat dengan mereka dari kalangan ulama Dhaahiriyyah dan kelompok Shuufiyyah berpendapat diberikanannya keringanan dalam masalah nyanyian (simaa’) meskipun diiringi ‘uud dan yaraa’ (seruling). Dan Al-Ustaadz Abu Manshuur Al-Baghdaadiy Asy-Syaafi’iy dalam bukunya tentang masalah simaa’ meriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin Ja’far berpendapat tidak mengapa tentang nyanyian dan membolehkan budak-budak perempuannya untuk memainkan musik sedangkan ia sendiri mendengarkan mereka dengan alat musik yang dimainkannya. Itu terjadi pada jaman Amiirul-Mukminiin ‘Aliy (bin Abi Thaalib). Abu Manshuur juga meriwayatkan hal yang serupa dengan itu dari Al-Qaadliy Syuraih, Sa’iid bin Al-Musayyib, ‘Athaa’ bin Abi Rabaah, Az-Zuhriy, dan Asy-Sya’biy. Telah berkata Al-Imaam Al-Haramain dalam An-Nihaayah dan Ibnu Abid-Damm yang menukil adanya penetapan dari kalangan muarrikhiin bahwasannya ‘Abdullah bin Az-Zubair mempunyai budak yang memainkan ‘uud. Dan bahwasannya Ibnu ‘Umar masuk menemuinya dimana di sisinya terdapat ‘uud, lalu Ibnu ‘Umar berkata : “Apa ini wahai shahabat Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam - ?”. Lalu Ibnuz-Zubair mengambikan untuknya. Lalu Ibnu ‘Umar merenungkannya dan berkata : “Ini adalah miizaan (timbangan) orang Syaam”. Ibnuz-Zubair berkata : “Yang akan menyeimbangkan akal”.

Dan diriwayatkan oleh Al-Haafidh Abu Muhammad bin Hazm dalam risalahnya tentang masalah nyanyian dengan sanad sampai pada Ibnu Siiriin, ia berkata : ‘Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang datang ke Madiinah bersama budak-budak perempuannya, lalu ia menemui ‘Abdullah bin ‘Umar. Di antara budak-budak itu ada yang bisa memukul (alat musik). Datanglah seorang laki-laki, lalu si pemilik budak menawarkan budak-budak perempuan itu kepadanya (untuk dibeli), namun ternyata laki-laki tersebut tidak merasa cocok dengan mereka. Namun ia berkata : ‘Pergilah engkau ke seseorang yang ia  sama sepertimu dalam penjualan daripada ini’. Ia berkata : ‘Siapakah ia ?’. Orang itu menjawab : ‘Abdullah bin Ja’far. Lalu laki-laki pemilik budak tadi pergi menawarkannya kepada ‘Abdullah bin Ja’far. Lalau ‘Abdullah memerintahkan salah seorang budak tersebut, dan berkata : ‘Ambillah ‘uud’. Budak perempuan itu pun mengambilnya lalu bernyanyi. Maka ‘Abdullah bin Ja’far membelinya, kemudian mendatangi Ibnu ‘Umar…. hingga akhir kisah.

Dan diriwayatkan pula oleh penulis kitab Al-‘Aqd Al-‘Allamah Al-Adiib Abu ‘Umar Al-Andalusiy : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar pernah masuk menemui ‘Abdullah bin Ja’far. Lalu ia mendapatinya bersama seorang budak wanita di kamarnya dengan‘uud. ‘Abdullah bin Ja’far berkata kepada Ibnu ‘Umar : “Apakah engkau memandang hal itu tidak apa-apa ?”. Ia menjawab : “Tidak mengapa”. Al-Maawardiy meriwayatkan dari Mu’aawiyyah dan ‘Amru bin Al-‘Aash bahwasannya mereka berdua mendengarkan ‘uud di sisi Ibnu Ja’far….” [selengkapnya dalam Nailul-Authaar, 9/100-101, Maktabah Ad-Da’wah Al-Islaamiyyah].

Kemudian Asy-Syaukaaniy menyebutkan daftar siapa-siapa saja yang membolehkan musik dan nyanyian dengan menukil perkataan Ibnun-Nahwiy :

قال ابن النحوي في « العمدة » : وقد روى الغناء وسماعه عن جماعة من الصحابة والتابعين , فمن الصحابة عمر - كما رواه ابن عبد البر وغير- وعثمان - كما نقله الماوردى وصاحب البيان والرافعى - وعبد الرحمن بن عوف كما رواه ابن أبى شيبة - وأبو عبيدة بن الجراح - كما أخرجه البيهقى- وسعد بن أبى وقاص - كما أخرجه ابن قتيبة - وأبو مسعود الأنصاري - كما أخرجه البيهقى - وبلال وعبد الله بن الأرقم وأسامة بن زيد - كما أخرجه البيهقى أيضا - وحمزة كما في الصحيح - وابن عمر - كما أخرجه ابن طاهر - والبراء بن مالك - كما أخرجه أبو نعيم - وعبد الله بن جعفر - كما رواه ابن عبد البر - وعبد الله بن الزبير - كما نقل أبو طالب المكى - وحسان - كما رواه أبو الفرج الأصبهانى - وعبد الله بن عمرو - كما رواه الزبير بين بكار - وقرظة بن كعب - كما رواه ابن قتيبة - وخوات بن جبير ورباح المعترف كما أخرجه صاحب الأغاني - والمغيرة بن شعبة - كما حكاه أبو طالب المكى- وعمرو بن العاص - كما حكاه الماوردى - وعائشة والربيع - كما في صحيح البخاري وغيره .

وأما التابعون فسعيد بن المسيب , وسالم بن عبد الله بن عمر , وابن حسان , وخارجة بن زيد , وشريح القاضى , وسعيد بن جبير , وعامر الشعبي , وعبد الله ابن أبى عتيق , وعطاء بن أبى رباح , ومحمد بن شهاب الزهري , وعمر بن عبد العزيز , وسعد بن إبراهيم الزهري .

وأما تابعوهم , فخلق لا يحصون , منهم : الأئمة الأربعة , وابن عيينة , وجمهور الشافعية

“Telah berkata Ibnun-Nahwiy dalam Al-‘Umdah : Dan telah diriwayatkan tentang kebolehan nyanyian dan mendengarkannya dari sekelompok shahabat dan tabi’iin. Dari kalangan shahabat : ‘Umar – sebagaimana diriwayatkan Ibnu ‘Abdil-Barr dan yang lainnya -, ‘Utsmaan - sebagaimana dinukil Al-Maawardiy dan penulis kitab Al-Bayaan dan Ar-Raafi’iy - , ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarraah – sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy - , Sa’d bin Abi Waqqaash – sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah - , Abu Mas’uud Al-Anshaariy – sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy - , Bilaal, ‘Abdullah bin Arqam, Usaamah bin Zaid – sebagaimana diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy - , Hamzah – sebagaimana dalam kitab Ash-Shahiih - , Ibnu ‘Umar – sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Thaahir - , Al-Barraa’ bin Maalik – sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim - , ‘Abdullah bin Ja’far – sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr - , ‘Abdullah bin Az-Zubair – sebagaimana dinukil oleh Abu Thaalib Al-Makkiy - , Hassaan – sebagaimana diriwayatkan oleh Abul-Farj Al-Ashbahaaniy - , ‘Abdullah bin ‘Amru – sebagaimana diriwayatkan oleh Az-Zubair bin Bakkaar - , Qaradhah bin Ka’b – sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah, Khawaat bin Jubair, Rabbaah bin Al-Mu’tarif – sebagaimana diriwayatkan oleh penulis kitab Al-Aghaaniy- , Al-Mughiirah bin Syu’bah – sebagaimana dihikayatkan oleh Abu Thaalib Al-Makkiy, ‘Amru bin Al-‘Aash – sebagaimana dihikayatkan oleh Al-Maawardiy - , ‘Aaisyah, Ar-Rabii’ – sebagaimana terdapat dalam Shahih Al-Bukhaariy dan yang lainnya.

Dari kalangan taabi’iin : Sa’iid bin Al-Musayyib, Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, Ibnu Hassaan, Khaarijah bin Zaid, Syuraih Al-Qaadliy, Sa’iid bin Jubair, ‘Aamir Asy-Sya’biy, ‘Abdullah bin Abi ‘Atiiq, ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah, Muhammad bin Syihaab Az-Zuhriy, ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, dan Sa’d bin Ibraahiim Az-Zuhriy.

Adapun dari kalangan yang mengikut mereka tidak terhitung jumlahnya, diantaranya : imam yang empat, Ibnu ‘Uyainah, dan jumhur Syaafi’iyyah” [lihat : Nailul-Authaar, 8/101-102].

Bahkan ia (Asy-Syaukaaniy) menulis buku khusus yang berjudul : Ibthaalu Da’waa Al-Ijmaa’ ‘alaa Tahriimi Muthlaqis-Simaa’.

Adz-Dzahabiy berkata :

قال ابن معين: كنا نأتي يوسف بن الماجشون يحدثنا، وجواريه في بيت آخر يضربن بالمعزفة.
قلت: أهل المدينة يترخصون في الغناء، هم معروفون بالتسمح فيه.

“Ibnu Ma’iin berkata : ‘Kami pernah mendatangi Yuusuf bin Al-Maajisyuun lalu ia meriwayatkan hadits kepada kami. Budak-budak perempuannya di rumahnya yang lain saat itu sedang memukul alat musik’. Aku (Adz-Dzahabiy) berkata : ‘Penduduk Madiinah memberikan rukhshah/kelonggaran dalam hal nyanyian. Dan mereka memang dikenal sebagai orang-orang yang longgar dalam masalah ini” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 8/372. Lihat pula : Tahdziibut-Tahdziib 11/430].

Al-Khaliiliy berkata : “Ia (Ibnul-Maajisyuun) dan saudara-saudara laki-lakinya memberikan rukhshah dalam masalah simaa’” [Tahdziibut-Tahdziib, 11/430].

Yuusuf bin Al-Maajisyun, lengkapnya adalah Yuusuf bin Ya’quub bin Abi Salamah Al-Maajisyuun, Abu Salamah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah (w. 185 H), dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [lihat biografinya dalam Tahdziibul-Kamaal 32/479-482 no. 7166 dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 8/371-373 no. 110].

Ibnu Ma’iin saat mengomentari Ibnul-Maajisyuun berkata : “Tsiqah”. Di riwayat lain : “Shaalih”.  Di riwayat lain : “Tidak mengapa dengannya”.

Nampaknya, Ibnu Ma’iin tidak menggugurkan ‘adalah Ibnul-Maajisyuun dalam periwayatan hadits karena membolehkan mendengarkan nyanyian dan alat musik.


WALLOHUL WALIYYUT TAUFIQ ILA SABILUL HUDA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar