Translate

Selasa, 25 April 2017

PERISTIWA GHODIR KHUM BUKANLAH PELANTIKAN SAYYIDINA ALI BIN ABI THOLIB

Salah satu peristiwa besar dalam sejarah Islam pada masa sebelum wafat Rasulullah SAAW adalah peristiwa Ghadir Khum. Peristiwa Ghadir Khum termasuk riwayat mutawatir. Dalam hadits Ghadir Khum, setelah haji wada (haji terakhir), Rasulullah menghentikan perjalanan para sahabatnya yang sudah hampir pulang ke rumahnya masing-masing di suatu tempat yang bernama Khum (antara Makah dan Madinah). Sebelumnya, dalam perjalanan dari Makah ke Madinah, Jibril turun dan mangatakan ”Hai Rasul, sampaikanlah!”. Rasulullah tidak langsung menyampaikan, melainkan mencari situasi dan waktu yang tepat untuk menyampaikan perintah Allah tersebut. Tidak lama kemudian Jibril turun kembali dan mengatakan,”Hai Rasul, sampaikanlah!” dan Rasulullah tetap belum menyampaikannya. Kemudian Jibril turun untuk ketiga kalinya dengan membawa ayat sebagai berikut :

Al Maaidah (QS5:67)

 يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ ۖ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Wahai Rasul, sampaikanlah (balligh) apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak engkau lakukan maka engkau tidak menjalankan risalah-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir “

Apabila kita perhatikan bahasa Arab ayat di atas, Allah menggunakan kata balligh (sampaikan!), yang menunjukkan perintah Allah yang sifatnya memaksa. Apabila kita perhatikan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Qur’an sebanyak 30 juz, kita tidak akan menemukan perintah Allah lain yang sifatnya memaksa Rasulullah sebagaimana yang terdapat di dalam ayat ini. Hal ini tentunya menunjukkan betapa pentingnya perintah “penyampaian” dalam ayat tersebut. Oleh karena itu ayat ini juga disebut ayat tabligh.

Pentingnya hal yang perlu disampaikan tersebut juga tergambarkan pada bagian akhir ayat, di mana terdapat ancaman Allah jika Rasul tidak mengerjakan perintah tersebut. Dalam ancaman tersebut seolah-olah perjuangan Nabi selama 23 tahun tidak ada artinya, atau sia sia, jika tidak menyampaikan suatu “hal”. Penundaan penyampaian yang dilakukan oleh Rasulullah tentulah didasari oleh adanya kekhawatiran dalam pikiran Rasulullah mengenai kemampuan ummatnya untuk menerima dan menjalankan perintah yang disampaikannya. Oleh karenanya Rasulullah mencari strategi bagaimana agar tidak ada alasan bagi ummat untuk menolak. Ayat di atas juga menyebutkan bahwa Allah, selain memberikan perintah kepada Rasulullah untuk menyampaikan suatu “hal” tersebut, juga memberikan jaminan berupa penjagaan kepada Rasulullah atas gangguan manusia.

Dengan demikian, terdapat 3 hal penting pada ayat ini, yaitu:

Nabi diperintahkan untuk menyampaikan sesuatu hal yang penting
Allah menjaga Rasulullah dari gangguan manusia
Dampak dari orang-orang yang tidak menerima apa yang disampaikan oleh Rasulullah

Lalu bagaimanakan isi tafsir atas ayat tabligh di atas?
Sebagaimana perbedaan penafsiran yang sering kali terjadi, sebagian kecil tafsir menyebutkan bahwa ayat tabligh tersebut turun di Madinah, yaitu ketika Rasulullah diperintahkan untuk menyampaikan ajaran Islam kepada orang-orang Yahudi. Apabila kita kritisi tafsir tersebut, perlu kita ingat bahwa Rasulullah semenjak hijrah dari kota Mekkah, telah tinggal selama 10 tahun di kota Madinah. Selama Rasulullah berada di Madinah tersebut, bukankah sudah ada orang orang Yahudi? Lalu kenapa baru sekarang Allah memerintahkan Rasulullah untuk menyampaikan Islam kepada mereka? Kenapa pada saat-saat terakhir sebelum Rasullah meninggal, barulah Allah mengancam Rasulullah untuk menyampaikan Islam kepada Yahudi? Berdasarkan logika dan pemahaman kita tentang sejarah Islam, tentulah kita dapat menilai bahwa tafsir ini tidak tepat dan sama sekali tidak berdasar.

Kembali kepada peristiwa Ghadir Khum.

Oleh karena itu mari kita melihat riwayat-riwayat yang berkaitan dengan hadits tersebut, yang diantaranya terkait langsung dengan peristiwa dimana hadits tersebut muncul, dan yang lain adalah berkaitan dengan peristiwa ketika 'Ali ra meminta kesaksian kepada orang-orang atas apa yang diucapkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di Ghadir Khum.

Pertama, Peristiwa Apakah Yang Melatarbelakangi Munculnya Hadits Tersebut ?

حدثنا الفضل بن دكين حدثنا ابن أبي غنية عن الحكم عن سعيد بن جبير عن ابن عباس عن بريدة قال غزوت مع علي اليمن فرأيت منه جفوة فلما قدمت على رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكرت عليا فتنقصته فرأيت وجه رسول الله صلى الله عليه وسلم يتغير فقال يا بريدة ألست أولى بالمؤمنين من أنفسهم قلت بلى يا رسول الله قال من كنت مولاه فعلي مولاه


Dari Buraidah berkata: Aku perang bersama 'Ali di Yaman, aku melihat sikap dingin darinya, saat aku tiba dihadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, aku menyebut-nyebut Ali, aku mencelanya lalu aku melihat rona muka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berubah kemudian bersabda: Hai Buraidah! Bukankah aku lebih utama bagi orang-orang mu`min melebihi diri mereka. Aku menjawab: Benar wahai Rasulullah! Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Man kuntu maulaahu fa 'Aliyyun maulaahu."

 - Syaikh Syu'aib al-Arna'uth : Isnadnya shahih atas syarat syaikhain (Musnad imam Ahmad tahqiq Syaikh Syu'aib al-Arna'uth, Mu'assasah al-Risalah, hadits no.22945, Juz 38 hal. 32)

- Syaikh Hamzah Ahmad al-Zain : Isnadnya shahih (Musnad Ahmad Tahqiq Hamzah Zain, Darul Hadits - Kairo, hadits no. 22841,  Juz 16 hal. 475)

Perhatikanlah hadits diatas, sangat jelas bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan "Man kuntu maulaahu fa 'Aliyyun maulaahu"  ada sebabnya, yaitu karena ada protes dari sahabat berkaitan dengan sikap 'Ali ra. Oleh karena itu hadits tersebut tidak lain bermakna sebagai pembelaan rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada 'Ali bin Abi Thalib, tidak lebih. Kalau hubungan sebab akibat sudah demikian jelasnya, apa ada jalan lain lagi untuk menakwilkan hadits diatas ? Yang namanya hubungan sebab akibat itu, tidak akan ada akibat kalau tidak ada sebabnya. Dan sebab munculnya hadits diatas itu adalah jelas, yaitu karena adanya protes, bukan karena adanya perintah dari Allah Subhanahu wa ta'ala untuk melantik 'Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin yang harus menggantikan secara langsung selepas kepergian rasulullah shallallahu 'alai wa sallam.

Kedua, Apa Sebab Ali ra Mengumpulkan Orang-orang Untuk Meminta Kesaksian Atas Apa Yang Disabdakan Oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Di Ghadir Khum ?

Riwayat hadits berikut sering juga disebut-sebut oleh kaum syi'ah untuk menunjukkan bahwa sebetulnya 'Ali ra sendiri memahami bahwa"Man kuntu maulaahu fa 'Aliyyun maulaahu" adalah hujjah bagi kepemimpinannya, terbukti bahwa akhirnya 'Ali ra meminta kesaksian orang-orang atas apa yang mereka dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di Ghadir Khum.

حدثنا عبد الله حدثنا علي بن حكيم الأودي أنبأنا شريك عن أبي إسحاق عن سعيد بن وهب وعن زيد بن يثيع قالا نشد علي الناس في الرحبة من سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول يوم غدير خم إلا قام قال فقام من قبل سعيد ستة ومن قبل زيد ستة فشهدوا أنهم سمعوا رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لعلي رضي الله عنه يوم غدير خم أليس الله أولى بالمؤمنين قالوا بلى قال اللهم من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه

Dari Sa’id bin Wahb dan Zaid bin Yutsai’ keduanya berkata “Ali pernah meminta kesaksian orang-orang di al-rahbah “Siapa yang telah mendengar Rasulullah SAW bersabda pada hari Ghadir Khum maka berdirilah. Enam orang dari arah Sa’id pun berdiri dan enam orang lainnya dari arah Za’id juga berdiri. Mereka bersaksi bahwa sesungguhnya mereka pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda kepada Ali di Ghadir Khum “Bukankah Allah lebih berhak terhadap kaum mukminin”. Mereka menjawab “benar”. Beliau bersabda ““Allahumma Man kuntu maulaahu, fa 'Aliyyun maulaahu, Allahumma waali man waalahu, wa 'aadi man'aadahu”.

 - Syaikh Syu'aib al-Arna'uth : Shahih lighairihi(hadits no. 950, juz 2 hal. 262)

- Syaikh Ahmad Syakir : Isnadnya shahih(Musnad Ahmad Tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, Darul Hadits - Kairo, hadits no. 950, Juz 2 hal.18)

Riwayat diatas secara sepintas memang terlihat bahwa 'Ali ra sedang berhujjah akan kepemimpinannya menggunakan hadits Ghadir Khum. Tetapi apakah betul anggapan seperti itu ? Kenyataannya, riwayat diatas tidak menjelaskan apa sebab 'Ali ra mengumpulkan orang-orang untuk meminta kesaksian. Dimana peristiwa tersebut terjadi pada saat 'Ali ra sudah menjadi khalifah, dan setting lokasinya berada di ar-Rahbah, yaitu suatu tanah lapang yang berada di Kufah, pusat pemerintahan 'Ali ra saat itu.

Kalau memang 'Ali ra meminta kesaksian atas hadits Ghadir Khum sebagai hujjah atas kepemimpinannya, mengapa tidak dilakukan ketika berlangsungnya pembaiatan Abu Bakr, Umar, ataupun Utsman radhiallahu 'anhum ? Mengapa justru ketika beliau sudah menjadi pemimpin kaum muslimin baru menyinggung-nyinggung hadits Ghadir Khum tersebut ? Riwayat-riwayat shahih yang menunjukkan apa sebab 'Ali ra mengumpulkan orang-orang di ar-Rahbah dalam hal ini akan sangat penting untuk menjelaskan pertanyaan tersebut. Dan riwayat diatas tidak menjelaskannya.

Ada lagi riwayat dari Abi Thufail seperti berikut ini, dimana dijadikan oleh seorang syi'i sebagai hujjah untuk menunjukkan sebab 'Ali ra mengumpulkan orang-orang di ar-Rahbah untuk meminta kesaksian hadits Ghadir Khum.

حدثنا حسين بن محمد وأبو نعيم المعنى قالا ثنا فطر عن أبي الطفيل قال جمع علي رضي الله تعالى عنه الناس في الرحبة ثم قال لهم أنشد الله كل امرئ مسلم سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول يوم غدير خم ما سمع لما قام فقام ثلاثون من الناس وقال أبو نعيم فقام ناس كثير فشهدوا حين أخذه بيده فقال للناس أتعلمون أني أولى بالمؤمنين من أنفسهم قالوا نعم يا رسول الله قال من كنت مولاه فهذا مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه قال فخرجت وكأن في نفسي شيئا فلقيت زيد بن أرقم فقلت له إني سمعت عليا رضي الله تعالى عنه يقول كذا وكذا قال فما تنكر قد سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ذلك له

Dari Abi Thufail yang berkata “Ali mengumpulkan orang-orang di al-rahbah dan berkata “Aku meminta dengan nama Allah agar setiap muslim yang mendengar Rasulullah SAW bersabda di Ghadir khum terhadap apa yang telah didengarnya. Ketika ia berdiri maka berdirilah tigapuluh orang dari mereka. Abu Nu’aim berkata “kemudian berdirilah banyak orang dan memberi kesaksian yaitu ketika Rasulullah SAW memegang tangannya (Ali) dan bersabda kepada manusia “Bukankah kalian mengetahui bahwa saya lebih berhak atas kaum mu’min lebih dari diri mereka sendiri”. Para sahabat menjawab “benar ya Rasulullah”. Beliau bersabda “Man kuntu maulaahu fa hadza maulaahu Allahumma waali man waalahu, wa 'aadi man 'aadahu. Abu Thufail berkata “lalu aku keluar dan sepertinya dalam hatiku ada sesuatu maka aku menemui Zaid bin Arqam dan berkata kepadanya “sesungguhnya aku mendengar Ali RA berkata begini begitu, Zaid berkata “Apa yang patut diingkari, aku mendengar Rasulullah SAW berkata seperti itu tentangnya”.

- Syaikh Syu'aib al-Arna'uth :Isnadnya shahih(hadits no. 19302, juz 32 hal. 55 s/d 56)

- Syaikh Hamzah Ahmad al-Zain : Isnadnya shahih (hadits no. 19198, juz 14 hal. 436 s/d437)

Benarkah Peristiwa Tersebut Sebagai Pelantikan ??

Al-Bukhaariy telah meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ أَخْبَرَنَا أَزْهَرُ أَخْبَرَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ قَالَ ذُكِرَ عِنْدَ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصَى إِلَى عَلِيٍّ فَقَالَتْ مَنْ قَالَهُ لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنِّي لَمُسْنِدَتُهُ إِلَى صَدْرِي فَدَعَا بِالطَّسْتِ فَانْخَنَثَ فَمَاتَ فَمَا شَعَرْتُ فَكَيْفَ أَوْصَى إِلَى عَلِيٍّ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad : Telah mengkhabarkan kepada kami Azhar : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu ‘Aun, dari Ibraahiim, dari Al-Aswad, ia berkata : Disebutkan di sisi ‘Aaisyah : ‘Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallammewasiatkan sesuatu (secara khusus) kepada ‘Aliy’. Maka ia berkata : “Sungguh aku melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menyandarkannya di dadaku. Maka beliau meminta sebuah bejana. Badan beliau pun melemas, beliau melemas dan aku tidak sadar bahwa beliau sudah wafat, lalu kapan beliau memberinya wasiat kepada ‘Aliy ?” [Shahih Al-Bukhaariy, no. 4459].

Perkataan di atas merupakan sanggahan ‘Aaisyah Ummul-Mukminiin terhadap klaim wasiat kekhalifahan kepada ‘Aliy yang dihembus-hembuskan ‘Abdullah bin Saba’ pada masa kekhilafahan ‘Utsman bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhu. Ia (‘Aaisyah) adalah orang yang paling tahu segala sesuatu dari diri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di akhir hayatnya, karena beliau wafat di rumahnya dan ia menjadi saksi atas kematian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.Tidak ada wasiat kekhalifahan kepada ‘Aliy, tidak pula kepada yang lainnya radliyallaahu ‘anhum.
Di antara yang menunjukkannya adalah hadits :

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَسْأَلُ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ يَقُولُ أَيْنَ أَنَا غَدًا أَيْنَ أَنَا غَدًا يُرِيدُ يَوْمَ عَائِشَةَ فَأَذِنَ لَهُ أَزْوَاجُهُ يَكُونُ حَيْثُ شَاءَ فَكَانَ فِي بَيْتِ عَائِشَةَ حَتَّى مَاتَ عِنْدَهَا قَالَتْ عَائِشَةُ فَمَاتَ فِي الْيَوْمِ الَّذِي كَانَ يَدُورُ عَلَيَّ فِيهِ فِي بَيْتِي فَقَبَضَهُ اللَّهُ وَإِنَّ رَأْسَهُ لَبَيْنَ نَحْرِي وَسَحْرِي وَخَالَطَ رِيقُهُ رِيقِي ثُمَّ قَالَتْ دَخَلَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ وَمَعَهُ سِوَاكٌ يَسْتَنُّ بِهِ فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ لَهُ أَعْطِنِي هَذَا السِّوَاكَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ فَأَعْطَانِيهِ فَقَضِمْتُهُ ثُمَّ مَضَغْتُهُ فَأَعْطَيْتُهُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَنَّ بِهِ وَهُوَ مُسْتَنِدٌ إِلَى صَدْرِي

Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Sulaimaan bin Bilaal : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin ‘Urwah : Telah mengkhabarkan kepadaku ayahku, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sakit yang menyebabkan kematiannya, beliau bertanya: ‘Besok aku di mana, besok aku di mana?’ - beliau mengatakannya karena beliau ingin di rumah Aisyah. - Maka istri-istri beliau yang lainnya mengijinkan beliau untuk tinggal di rumah yang beliau kehendaki. Akhirnya Rasulullah tinggal di rumah Aisyah hingga beliau wafat di sisinya. Aisyah berkata; 'Beliau meninggal bertepatan dengan giliran beliau di rumahku. Allah mewafatkannya sedangkan pada waktu itu kepala beliau berada di antara dada dan leherku. Dan mencampurkan air liurku dengan air liur beliau. Aisyah berkata : “Pada waktu itu Abdurrahman bin Abu Bakr masuk ke rumah sambil membawa kayu siwak yang biasa dia pakai. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam pun melihat kepadanya. Aku berkata kepadanya: 'Berikan siwak itu kepadaku wahai Abdurrahman! ' Lalu dia memberikannya kepadaku. Kemudian aku bersihkan, dan aku kunyah setelah itu aku berikan kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Beliau pun bersiwak dengannya sambil bersandar di dadaku” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4450].

Bahkan menjelang wafatnya beliau, ‘Aliy sempat diajak oleh Al-‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa untuk menanyakan perihal pewaris kekhalifahan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mari kita simak haditsnya :

حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ أَبِي حَمْزَةَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ الْأَنْصَارِيُّ وَكَانَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ أَحَدَ الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ تِيبَ عَلَيْهِمْ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ خَرَجَ مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَجَعِهِ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ فَقَالَ النَّاسُ يَا أَبَا حَسَنٍ كَيْفَ أَصْبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَصْبَحَ بِحَمْدِ اللَّهِ بَارِئًا فَأَخَذَ بِيَدِهِ عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ لَهُ أَنْتَ وَاللَّهِ بَعْدَ ثَلَاثٍ عَبْدُ الْعَصَا وَإِنِّي وَاللَّهِ لَأَرَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْفَ يُتَوَفَّى مِنْ وَجَعِهِ هَذَا إِنِّي لَأَعْرِفُ وُجُوهَ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عِنْدَ الْمَوْتِ اذْهَبْ بِنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْنَسْأَلْهُ فِيمَنْ هَذَا الْأَمْرُ إِنْ كَانَ فِينَا عَلِمْنَا ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِنَا عَلِمْنَاهُ فَأَوْصَى بِنَا فَقَالَ عَلِيٌّ إِنَّا وَاللَّهِ لَئِنْ سَأَلْنَاهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنَعَنَاهَا لَا يُعْطِينَاهَا النَّاسُ بَعْدَهُ وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أَسْأَلُهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah menceritakan kepadaku Ishaaq : telah mengkhabarkan kepada kami Bisyr bin Syu’aib bin Abi Hamzah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Al-Azhariy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdullah bin Ka’b bin Maalik Al-Anshaariy – dan Ka’b bin Maalik adalah salah satu dari tiga orang yang diberikan ampunan (oleh Allah karena tidak ikut serta dalam perang Tabuk) : Bahwasannya Abdullah bin ‘Abbaas telah menceritakan kepadanya : ‘Aliy bin Abi Thaalib keluar dari menemui Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam saat beliau sakit yang menyebabkan kematian beliau, orang-orang bertanya : "Wahai Abu Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam?" Ia menjawab; "Alhamdulillah, beliau sudah sembuh". Ibnu Abbas berkata : “’Abbaas bin Abdul Muththalib memegang tangannya dan berkata : ‘Demi Allah, tidakkah kamu lihat bahwa beliau akan wafat tiga hari lagi, dan engkau akan diperintahkan dengannya ?. Sesungguhnya aku mengetahui wajah bani ‘Abdul-Muththallib ketika menghadapi kematiannya. Mari kita menemui Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, lalu kita tanyakan kepada siapa perkara (kepemimpinan) ini akan diserahkan? Jika kepada (orang) kita, maka kita mengetahuinya dan jika pada selain kita maka kita akan berbicara dengannya, sehingga ia bisa mewasiatkannya pada kita." Lalu ‘Aliy radliyallaahu 'anhu berkata; "Demi Allah, bila kita memintanya kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam lalu beliau menolak, maka selamanya orang-orang tidak akan memberikannya kepada kita. Karena itu, demi Allah, aku tidak akan pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4447].

Hadits di atas ada beberapa pelajaran di antaranya :

1.      Tajamnya firasat Al-‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu tentang telah dekatnya kematian seseorang melalui tanda-tanda dhahir yang ada. Ia memperkirakan – dengan tanda-tanda tersebut – bahwa beliau akan wafat tiga hari lagi. Namun ternyata, beliau wafat pada hari itu juga, yaitu hari Senin, sebagaimana riwayat yang disebutkan Ibnu Hajar :

وذكر بن إسحاق عن الزهري أن ذلك كان يوم قبض النبي صلى الله عليه وسلم

“Disebutkan oleh Ibnu Ishaaq, dari Al-Azhariy bahwasannya perkataan Al-‘Abbaas itu terucap pada hari dimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat” [Fathul-Baariy].

2.      Tidak ada wasiat sedikitpun kepada ‘Aliy (dan juga keada yang lainnya) tentang kepemimpinan/kekhilafahan. Jika memang ia telah diwasiati oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tampuk kepemimpinan menggantikan beliau, tentu saja ia akan menjelaskan kepada Al-‘Abbaas bahwa ia memang telah diberikan wasiat tersebut dan kepemimpinan sepeninggal Nabi merupakan haknya (dan hak anak turunnya). Namun kenyataannya, ia menolak ajakan menanyakan masalah kepemimpinan tersebut dalam keadaan tidak tahu kepada siapa kepemimpinan itu akan diberikan. Al-Baihaqiy berkata tentang hadits tersebut :

وفي هذا وفيما قبله دلالة على أن النبي صلى الله عليه وسلم لم يستخلف أحدا بالنص عليه

“Dalam hadits ini dan yang sebelumnya terdapat petunjuk bahwasannya Nabi shallallaau ‘alaihi wa sallam tidak menunjuk/mengangkat seorang pun (sebagai pengganti beliau dalam masalah kepemimpinan) dengan nash terhadapnya”.

Apakah mungkin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu sedang menerapkan siasat taqiyyah padahal saat itu merupakan saat yang sangat urgen untuk menjelaskan permasalahan yang sebenarnya ? (jika keadaannya memang seperti anggapan kaum Syi’ah). Menunda penjelasan pada waktu yang dibutuhkan adalah dilarang, sebagaimana ma’ruf dalam kaidah. Apalagi jika kita melihat masalah imamah ini merupakan salah satu ushul (pokok) agama Syi’ah yang mereka ber-wala’ dan ber-bara’ atas masalah ini.

Hanya satu hal yang tersisa, yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang tidak berwasiat apapun kepada ‘Aliy (dan juga yang lainnya) tentang masalah kepemimpinan.

Jika demikian, darimana orang-orang Syi’ah mengaku mengetahui adanya wasiat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang diberikan secara khusus kepada ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu ?

Mari kita perhatikan pula perkataan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu saat diminta menunjuk khalifah pengganti pasca tragedi ditusuknya beliau oleh Abu Lu’lu’ah Al-Majusiy:

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ حَضَرْتُ أَبِي حِينَ أُصِيبَ فَأَثْنَوْا عَلَيْهِ وَقَالُوا جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَالَ رَاغِبٌ وَرَاهِبٌ قَالُوا اسْتَخْلِفْ فَقَالَ أَتَحَمَّلُ أَمْرَكُمْ حَيًّا وَمَيِّتًا لَوَدِدْتُ أَنَّ حَظِّي مِنْهَا الْكَفَافُ لَا عَلَيَّ وَلَا لِي فَإِنْ أَسْتَخْلِفْ فَقَدْ اسْتَخْلَفَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي يَعْنِي أَبَا بَكْرٍ وَإِنْ أَتْرُكْكُمْ فَقَدْ تَرَكَكُمْ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَعَرَفْتُ أَنَّهُ حِينَ ذَكَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرُ مُسْتَخْلِفٍ

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al-‘Alaa’ : Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahya, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : "Aku ikut hadir ketika ayahku kena musibah (ditikam oleh seseorang). Para sahabat beliau yang hadir ketika itu turut menghiburnya. Mereka berkata : ‘Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan’. Umar menjawab : ‘Aku penuh harap dan juga merasa cemas’. Mereka berkata : ‘Tunjukkanlah pengganti anda (sebagai Khalifah)!" Umar menjawab : ‘Apakah aku juga harus memikul urusan pemerintahanmu waktu hidup dan matiku? Aku ingin tugasku sudah selesai, tidak kurang dan tidak lebih. Jika aku menunjuk penggantiku, maka itu pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik daripadaku, yaitu Abu Bakr Ash-Shiddiq. Dan jika pengangkatan itu aku serahkan kepada kalian, maka itu pun pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik dari aku, yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam." Abdullah berkata, "Dari perkataannya itu, tahulah aku bahwa dia tidak akan menunjuk penggantinya untuk menjadi Khalifah" [Diriwayatkan Muslim no. 1823. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhaariy no. 7218, Ahmad 1/43, ‘Abd bin Humaid no. 32, Abu Ya’laa no. 206, Ibnu Hibbaan no. 4478, dan yang lainnya].

Dan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu telah menegaskan apa yang dikatakan oleh ‘Umar radliyallaahu ‘anhu :

حدثنا إسماعيل بن أبي حارث، ثنا شبابة بن سوَّار، ثنا شُعيب ابن ميمون، عن حصين بن عبد الرحمن، عن الشعبي عن شقيق، قال : قيل لعلي رضي الله عنه : ألا تَستخلف ؟ قال : ما استخلف رسول الله صلى الله عليه وسلم فَستخلف، وإن يردِ الله تبارك وتعالى بالناس خيرًَا فَسيجمَعهم على خيرهم، كما جمعهم بعد نبيِّهم على خيرهم.

Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Abi Haarits : Telah menceritakan kepada kami Syabaabah bin Sawwaar : Telah menceritakan kepada kami Syu’aib bin Maimuun, dari Hushain bin ‘Abdirrahmaan, dari Asy-Sya’biy, dari Syaqiiq, ia berkata : Dikatakan kepada ‘Aliy : “Tidakkah engkau mengangkat pengganti (khalifah) ?”. Ia menjawab : “Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat pengganti hingga aku harus mengangkat pengganti. Seandainya Allah tabaaraka wa ta’ala menginginkan kebaikan kepada manusia, maka Ia akan menghimpun mereka di atas orang yang paling baik di antara mereka sebagaimana Ia telah menghimpun mereka sepeninggal Nabi mereka di atas orang yang paling baik di antara mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar 3/164 no. 2486].

Perhatikan pula riwayat berikut yang bercerita tentang proses pembaiatan ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhu :

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ قَالَ رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَبْلَ أَنْ يُصَابَ بِأَيَّامٍ بِالْمَدِينَةِ وَقَفَ عَلَى حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ وَعُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ قَالَ : - وَجَاءَتْ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ حَفْصَةُ وَالنِّسَاءُ تَسِيرُ مَعَهَا فَلَمَّا رَأَيْنَاهَا قُمْنَا فَوَلَجَتْ عَلَيْهِ فَبَكَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً وَاسْتَأْذَنَ الرِّجَالُ فَوَلَجَتْ دَاخِلًا لَهُمْ فَسَمِعْنَا بُكَاءَهَا مِنْ الدَّاخِلِ فَقَالُوا أَوْصِ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ اسْتَخْلِفْ قَالَ مَا أَجِدُ أَحَدًا أَحَقَّ بِهَذَا الْأَمْرِ مِنْ هَؤُلَاءِ النَّفَرِ أَوْ الرَّهْطِ الَّذِينَ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَنْهُمْ رَاضٍ فَسَمَّى عَلِيًّا وَعُثْمَانَ وَالزُّبَيْرَ وَطَلْحَةَ وَسَعْدًا وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ وَقَالَ يَشْهَدُكُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَلَيْسَ لَهُ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ كَهَيْئَةِ التَّعْزِيَةِ لَهُ فَإِنْ أَصَابَتْ الْإِمْرَةُ سَعْدًا فَهُوَ ذَاكَ وَإِلَّا فَلْيَسْتَعِنْ بِهِ أَيُّكُمْ مَا أُمِّرَ فَإِنِّي لَمْ أَعْزِلْهُ عَنْ عَجْزٍ وَلَا خِيَانَةٍ وَقَالَ أُوصِي الْخَلِيفَةَ مِنْ بَعْدِي بِالْمُهَاجِرِينَ الْأَوَّلِينَ أَنْ يَعْرِفَ لَهُمْ حَقَّهُمْ وَيَحْفَظَ لَهُمْ حُرْمَتَهُمْ وَأُوصِيهِ بِالْأَنْصَارِ خَيْرًا { الَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ } أَنْ يُقْبَلَ مِنْ مُحْسِنِهِمْ وَأَنْ يُعْفَى عَنْ مُسِيئِهِمْ وَأُوصِيهِ بِأَهْلِ الْأَمْصَارِ خَيْرًا فَإِنَّهُمْ رِدْءُ الْإِسْلَامِ وَجُبَاةُ الْمَالِ وَغَيْظُ الْعَدُوِّ وَأَنْ لَا يُؤْخَذَ مِنْهُمْ إِلَّا فَضْلُهُمْ عَنْ رِضَاهُمْ وَأُوصِيهِ بِالْأَعْرَابِ خَيْرًا فَإِنَّهُمْ أَصْلُ الْعَرَبِ وَمَادَّةُ الْإِسْلَامِ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْ حَوَاشِي أَمْوَالِهِمْ وَيُرَدَّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ وَأُوصِيهِ بِذِمَّةِ اللَّهِ وَذِمَّةِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُوفَى لَهُمْ بِعَهْدِهِمْ وَأَنْ يُقَاتَلَ مِنْ وَرَائِهِمْ وَلَا يُكَلَّفُوا إِلَّا طَاقَتَهُمْ فَلَمَّا قُبِضَ خَرَجْنَا بِهِ فَانْطَلَقْنَا نَمْشِي فَسَلَّمَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ يَسْتَأْذِنُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَالَتْ أَدْخِلُوهُ فَأُدْخِلَ فَوُضِعَ هُنَالِكَ مَعَ صَاحِبَيْهِ فَلَمَّا فُرِغَ مِنْ دَفْنِهِ اجْتَمَعَ هَؤُلَاءِ الرَّهْطُ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ اجْعَلُوا أَمْرَكُمْ إِلَى ثَلَاثَةٍ مِنْكُمْ فَقَالَ الزُّبَيْرُ قَدْ جَعَلْتُ أَمْرِي إِلَى عَلِيٍّ فَقَالَ طَلْحَةُ قَدْ جَعَلْتُ أَمْرِي إِلَى عُثْمَانَ وَقَالَ سَعْدٌ قَدْ جَعَلْتُ أَمْرِي إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ أَيُّكُمَا تَبَرَّأَ مِنْ هَذَا الْأَمْرِ فَنَجْعَلُهُ إِلَيْهِ وَاللَّهُ عَلَيْهِ وَالْإِسْلَامُ لَيَنْظُرَنَّ أَفْضَلَهُمْ فِي نَفْسِهِ فَأُسْكِتَ الشَّيْخَانِ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ أَفَتَجْعَلُونَهُ إِلَيَّ وَاللَّهُ عَلَيَّ أَنْ لَا آلُ عَنْ أَفْضَلِكُمْ قَالَا نَعَمْ فَأَخَذَ بِيَدِ أَحَدِهِمَا فَقَالَ لَكَ قَرَابَةٌ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْقَدَمُ فِي الْإِسْلَامِ مَا قَدْ عَلِمْتَ فَاللَّهُ عَلَيْكَ لَئِنْ أَمَّرْتُكَ لَتَعْدِلَنَّ وَلَئِنْ أَمَّرْتُ عُثْمَانَ لَتَسْمَعَنَّ وَلَتُطِيعَنَّ ثُمَّ خَلَا بِالْآخَرِ فَقَالَ لَهُ مِثْلَ ذَلِكَ فَلَمَّا أَخَذَ الْمِيثَاقَ قَالَ ارْفَعْ يَدَكَ يَا عُثْمَانُ فَبَايَعَهُ فَبَايَعَ لَهُ عَلِيٌّ وَوَلَجَ أَهْلُ الدَّارِ فَبَايَعُوهُ

Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Hushain, dari ‘Amr bin Maimuun, ia berkata : “……..Kemudian Hafshah, Ummul-Mukminin datang dan beberapa wanita ikut bersamanya. Tatkala kami melihatnya, kami segera berdiri. Hafshah kemudian mendekat kepada 'Umar lalu dia menangis sejenak. Kemudian beberapa orang laki-laki meminta ijin masuk, maka Hafshah masuk ke kamar karena ada orang yang mau masuk. Maka kami dapat mendengar tangisan Hafshah dari balik kamar. Orang-orang itu berkata : "Berilah wasiat, wahai Amirul-Mukminin. Tentukanlah pengganti Anda". 'Umar berkata : "Aku tidak menemukan orang yang paling berhak atas urusan ini daripada mereka atau segolongam mereka yang ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam wafat beliau ridla kepada mereka”. Maka dia menyebut nama 'Aliy, 'Utsmaan, Az-Zubair, Thalhah, Sa'ad, dan 'Abdurrahmaan. Selanjutnya dia berkata : "'Abdullah bin 'Umar akan menjadi saksi atas kalian. Namun dia tidak punya peran dalam urusan ini” - Tugas itu hanya sebagai bentuk penghibur baginya – “Jika kepemimpinan jatuh ke tangan Sa'ad, maka dia lah pemimpin urusan ini. Namun apabila bukan dia, maka mintalah bantuan dengannya. Dan siapa saja di antara kalian yang diserahi urusan ini sebagai pemimpin maka aku tidak akan memecatnya karena alasan lemah atau berkhianat". Selanjutnya 'Umar berkata : "Aku berwasiat kepada khalifah sesudahku agar memahami hak-hak kaum Muhajirin dan menjaga kehormatan mereka. Aku juga berwasiat kepadanya agar selalu berbuat baik kepada kaum Anshar yang telah menempati negeri (Madinah) ini dan telah beriman sebelum kedatangan mereka (kaum Muhajirin) agar menerima orang baik, dan memaafkan orang yang keliru dari kalangan mereka. Dan aku juga berwasiat kepadanya agar berbuat baik kepada seluruh penduduk kota ini karena mereka adalah para pembela Islam dan telah menyumbangkan harta (untuk Islam) dan telah bersikap keras terhadap musuh. Dan janganlah mengambil dari mereka kecuali harta lebih mereka dengan kerelaan mereka. Aku juga berwasiat agar berbuat baik kepada orang-orang Arab Badui karena mereka adalah nenek moyang bangsa Arab dan perintis Islam, dan agar diambil dari mereka bukan harta pilihan (utama) mereka (sebagai zakat) lalu dikembalikan (disalurkan) untuk orang-orang faqir dari kalangan mereka. Dan aku juga berwasiat kepadanya agar menunaikan perjanjian kepada ahludz-dzimmah, yaitu orang-orang yang di bawah perlindungan Allah dan Rasul-Nya shallallaahu 'alaihi wa sallam (asalkan membayar pajak) dan mereka (ahludz-dzimmah) yang berniat memerangi harus diperangi. Mereka juga tidak boleh dibebani selain sebatas kemampuan mereka". Ketika 'Umar sudah menghembuskan nafas (wafat), kami keluar membawanya lalu kami berangkat dengan berjalan. 'Abdullah bin 'Umar mengucapkan salam (kepada 'Aisyah radliallahu 'anha) lalu berkata; "'Umar bin Al Khaththab meminta izin". 'Aisyah radliyallaahu 'anhaa berkata : "Masukkanlah". Maka jasad 'Umar dimasukkan ke dalam liang lahad dan diletakkan berdampingan dengan kedua shahabatnya (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu). Setelah selesai menguburkan jenazah 'Umar, orang-orang (yang telah ditunjuk untuk mencari pengganti khalifah) berkumpul. 'Abdurrahmaan bin 'Auf berkata : "Jadikanlah urusan kalian ini kepada tiga orang diantara kalian. Maka Az-Zubair berkata : "Aku serahkan urusanku kepada 'Aliy”. Sementara Thalhah berkata : "Aku serahkan urusanku kepada 'Utsmaan”. Sedangkan Sa'ad berkata : "Aku serahkan urusanku kepada 'Abdurrahmaan bin 'Auf”. Kemudian 'Abdurrahmaan bin 'Auf berkata : "Siapa diantara kalian berdua yang mau melepaskan urusan ini maka kami akan serahkan kepada yang satunya lagi, Allah dan Islam akan mengawasinya Sungguh seseorang dapat melihat siapa yang terbaik diantara mereka menurut pandangannya sendiri”. Dua pembesar ('Utsmaan dan 'Aliy) terdiam. Lalu 'Abdurrahmaan berkata : "Apakah kalian menyerahkan urusan ini kepadaku. Allah tentu mengawasiku dan aku tidak akan semena-mena dalam memilih siapa yang terbaik diantara kalian". Keduanya berkata : "Baiklah". Maka 'Abdurrahmaan memegang tangan salah seorang dari keduanya seraya berkata : "Engkau adalah kerabat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan dari kalangan pendahulu dalam Islam (senior) sebagaimana yang kamu ketahui dan Allah akan mengawasimu. Seandainya aku serahkan urusan ini kepadamu tentu kamu akan berbuat adil dan seandainya aku serahkan urusan ini kepada 'Utsmaan tentu kamu akan mendengar dan mentaatinya". Kemudian dia berbicara menyendiri dengan 'Utsmaan dan berkata sebagaimana yang dikatakannya kepada 'Aliy. Ketika dia mengambil perjanjian bai'at, 'Abdurrahmaan berkata : "Angkatlah tanganmu wahai 'Utsmaan". Maka Abdurrahmaan membai'at 'Utsmaan lalu 'Ali ikut membai'atnya kemudian para penduduk masuk untuk membai'at 'Utsman" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3700].

Sisi pendalilannya adalah : Seandainya ‘Aliy memang mendapat wasiat dan amanat kepemimpinan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, mengapa ia tidak mengatakan hal itu kepada ‘Abdurrahmaan saat berbicara berdua dengannya ? Aneh, jika ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu yang gagah berani dan selalu menyerukan kebenaran itu tidak menyampaikan salah pokok agama (imaamah) – menurut anggapan Syi’ah – dihadapan ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf dan yang lainnya ! Malah, ia menjadi orang kedua yang membaiat ‘Utsmaan bin ‘Affaan setelah ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf radliyallaahu ‘anhum.

Perhatikan pula riwayat berikut :

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا سُرَيْجُ بْنُ النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا حَشْرَجُ بْنُ نُبَاتَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُمْهَانَ قَالَ حَدَّثَنِي سَفِينَةُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْخِلَافَةُ فِي أُمَّتِي ثَلَاثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ لِي سَفِينَةُ أَمْسِكْ خِلَافَةَ أَبِي بَكْرٍ ثُمَّ قَالَ وَخِلَافَةَ عُمَرَ وَخِلَافَةَ عُثْمَانَ ثُمَّ قَالَ لِي أَمْسِكْ خِلَافَةَ عَلِيٍّ قَالَ فَوَجَدْنَاهَا ثَلَاثِينَ سَنَةً

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manii’ : Telah menceritakan kepada kami Suraij bin An-Nu’maan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hasyraj bin Nubaatah, dari Sa’iid bin Jumhaan, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Safiinah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Kekhilafahan pada umatku selama tigapuluh tahun kemudian setelah itu kerajaan." Setelah itu Safinah berkata kepadaku : “Berpeganglah pada khilafah Abu Bakr, ‘Umar, 'Utsman”; kemudian Safinah berkata padaku : “Peganglah khilafah 'Aliy”. Berkata Sa'iid : “Ternyata kami menemukan (lamanya waktu khilafah) selama tigapuluh tahun…..” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2226].

Sisi pendalilannya adalah : Bahwasannya Rasulullah shallalaahu ‘alaihi wa sallam telah mengetahui bahwa masa kekhilafahan umatnya selama 30 tahun. Safiinah dan Sa’iid bin Jumhaan menjadi saksi bahwa masa tersebut adalah masa kekhilafahan Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum. Seandainya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat tentang kekhilafahan kepada ‘Aliy bin Abi Thaalib (dan anak turunnya), niscaya beliau tidak akan menyebutkan masa 30 tahun. Sebab, kenyataan yang ada masa kekhilafahan ‘Aliy bin Abi Thaalib dan Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa – dua orang shahabat yang dianggap imam oleh kaum Syi’ah – tidaklah selama itu. Justru itu mencocoki masa kekhilafahan Abu Bakr hingga ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa.

Oleh karena itu, anggapan orang-orang Syi’ah yang mengartikan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat haji wada’ :

مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ

“Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka ‘Aliy adalah maulanya juga"

sebagai isyarat atau penunjukan kepemimpinan sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam keliru. Silakan saja mereka (Syi’ah) berandai-andai akan hal itu, karena kenyataan yang ada bertentangan dengan perkataan ‘Aliy sendiri dan juga para shahabat yang lain – sebagaimana telah disebutkan di atas.

Berikut beberapa contoh penerapan kata maulaa dalam Al-Qur’an :

إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلاهُوَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلائِكَةُ بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ

“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula” [QS. At-Tahriim : 4].

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ مَوْلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَأَنَّ الْكَافِرِينَ لا مَوْلَى لَهُمْ

“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada mempunyai pelindung” [QS. Muhammad : 11].

Dalam kamus pun telah ma’ruf bahwasannya beda antara al-walaayah (الْوَلَايَةُ) dan al-wilaayah (الْوِلَايَةُ). Al-walaayah adalah kebalikan dari al-‘adaawah (permusuhan); yang darinya terambil kata maulaa (مَوْلَى) dan waliy (وَلِيٌّ). Keliru jika mengartikan kata maulaa dan waliy sebagai pemimpin/kepemimpinan (al-wilaayah).

Ibnul-Atsiir berkata saat menjelaskan makna kata maulaa :

وهو اسْمٌ يقَع على جَماعةٍ كَثيِرَة، فهو الرَّبُّ، والمَالكُ، والسَّيِّد والمُنْعِم، والمُعْتِقُ، والنَّاصر، والمُحِبّ، والتَّابِع، والجارُ، وابنُ العَمّ، والحَلِيفُ، والعَقيد، والصِّهْر، والعبْد، والمُعْتَقُ، والمُنْعَم عَلَيه وأكْثرها قد جاءت في الحديث.

“Ia adalah nama bagi sesuatu yang banyak, yaitu raja, tuan, pemberi anugerah, orang yang membebaskan, penolong, orang yang mencintai, pengikut, tetangga, anak paman, sekutu, orang yang mengadakan perjanjian, kerabat, hamba, orang yang dibebaskan, orang yang diberi anugerah. Dan kebanyakannya terdapat dalam hadits” [An-Nihaayah fii Ghariibil-Hadiits, materi kata ولا].

Adapun hadits lemah dan palsu yang sering dibawakan kaum Syi’ah untuk mengukuhkan klaim ‘wasiat’ di antaranya sebagai berikut (saya berikan keterangan haditsnya secara singkat) :

عن سلمان قال : قلت : يا رسول الله لكل نبي وصي، فمن وصيك ؟ - إلى أن قال : فَإِنَّ وَصِيِّي وَمَوْضِعَ سِرِّي، وَخَيْرَ مَنْ أَتْرُكُ بَعْدِي، وَيُنْجِزُ عِدَتِي، وَيَقْضِي دِينِي : عَلِيُّ بْنِ أَبِي طَالِبٍِ

 Dari Salmaan ia berkata : Aku berkata : “Wahai Rasulullah, setiap nabi mempunyai washiy (orang yang diserahi wasiat), lalu siapakah washi-mu ?”. – hingga beliau bersabda : “Sesungguhnya washiku, tempat menyimpan rahasia, dan sebaik-baik orang yang aku tinggalkan setelahku, menjalankan janjiku dan memenuhi agamaku adalah : ‘Aliy bin Abi Thaalib”.

Riwayat ini sangat lemah. Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 6/221, dalam sanadnya terdapat Naashih bin ‘Abdillah. Ibnu Ma’iin berkata : “Tidaktsiqah”. Dalam riwayat lain ia berkata : “Tidak ada apa-apanya (laisa bi-syai’)”. ‘Amr bin ‘Aliy berkata : “Matruukul-hadiits”. Al-Bukhaariy berkata : “Munkarul-hadiits”. Abu Haatim berkata : “Dla’iif, munkarul-hadiits”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak tsiqah”. Al-Haakim Abu Ahmad : “Dzaahibul-hadiits” [selengkapnya lihat Tahdziibut-Tahdziib 10/401-402 no. 721].

عن أنس بن مالك، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : وَصِيِّي وَوَارُثِي، يَقْضِي دَيْنِي وَيُنْجِزُ مَوْعِدِي : عَلِيُّ بْنِ أَبِي طَالِبٍِ

Dari Anas bin Maalik, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Washiku dan pewarisku, yang akan melunasi hutangku dan menepati janjiku : ‘Aliy bin Abi Thaalib”.

Riwayat ini sangat lemah, bahkan palsu. Ibnul-Jauziy membawakannya dalam Al-Maudluu’aat 1/376. Dalam sanadnya terdapat Mathar bin Maimuun. Al-Bukhaariy, An-Nasaa’iy, dan Abu Haatim berkata : “Munkarul-hadiits”. Al-Azdiy berkata : “Matruuk”. Al-Haakim dan Abu Nu’aim berkata : “Ia meriwayatkan dari Anas hadits-hadits palsu” [selengkapnya lihat Tahdziibut-Tahdziib, 10/170 no. 320].

عن بريدة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لِكُلِّ نَبِيٍِّ وَصِيٌُّ وَوَارِثٌُ، وَإِنَّ عَلِيًَّا وَصِيِّي وَوَارِثِي

Dari Buraidah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap Nabi mempunyai washi dan pewaris. Dan sesungguhnya ‘Aliy adalah washiku dan pewarisku”.

Riwayat ini palsu (maudluu’). Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir 42/392. Dalam sanadnya terdapat ‘Aliy bin Mujaahid Ar-Raaziy. Ibnu Ma’iin berkata : “Ia memalsukan hadits”. Yahyaa Adl-Dlariis dan Ahmad bin Ja’far berkata tentangnya : “Pendusta (kadzdzaab)” [lihat selengkapnya dalam Al-Abaathil wal-Manaakir, 2/188-190 no. 544].

Sikap Sayyidina Ali bin Abi Tholib Terhadap Kholifah Sebelumnya

Di antara contoh sikap baik beliau yang terekam dalam lembaran buku sejarah, yaitu pembaiatan beliau kepada para khalifah sebelum beliau dengan sukarela tanpa paksaan sedikit pun. Ada pun di antara pernyataan-pernyataan baik beliau kepada para khalifah sebelumnya, terlihat jelas dari salah satu pengakuan beliau ketika menyebutkan tingkatan manusia terbaik setelah Rasulullah:

أيها الناس إن خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر ثم عمر ولو شئت أن أسمى الثالث لسميت وعنه أنه قال وهو نازل من المنبر ثم عثمان ثم عثمان

Wahai segenap manusia! Sesungguhnya manusia terbaik dari umat ini setelah Rasulullah yaitu Abu Bakar, kemudian Umar, seandainya aku berkenan menyebutkan yang ketiga, maka akan aku sebutkan. Kemudian diriwayatkan dari Ali ketika ia turun dari mimbar sambil berkata kemudian Utsman, kemudian Utsman

Ungkapan Ali di atas, sangat jelas menggambarkan keridhaan beliau kepada para khalifah sebelumnya. Ungkapan ini tidak akan beliau ucapkan, jika memang benar apa yang dituduhkan Syiah kepada para khalifah sebelumnya, bahwa kekhilafahan mereka tidak syah karena mereka telah merampas hak kepemimpinan dari Ali setelah Rasulullah wafat.  Sebab, Ali sendiri memuji dan menghormati mereka dan mengakui keutamaan mereka. Bahkan, pernyataan beliau bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling berhak dan pantas menjadi khalifah setelah Rasulullah, selain tertulis  dalam salah satu rujukan utama Syiah sendiri, yaitu buku Nahju al-Balaghah yang di-syarah oleh Ibnu Abil Hadid, juga ditulis dua ulama Ahlussunnah, yaitu:  Yusuf bin Muhammad dan Abdullah bin Muhammad at Tamimi.

Dalam Islam, konsep yang telah ditetapkan untuk menentukan siapa yang berhak menjadi khalifah yaitu melalui konsep Syūra (musyawarah) para Ahlu Halli wa al-‘Aqdi dari para ulama dan pemuka umat. Yang mana, dalam proses pelaksanaanya tidak melibatkan seluruh umat Islam, akan tetapi hanya melibatkan orang-orang yang memang memiliki otoritas dan kapabilitas dalam urusan agama Islam. Konsep ini, telah dicontohkan oleh orang-orang terbaik umat ini terkhusus dari para pemuka kaum Muhajirin dan Anshar sepeninggal Rasulullah dalam pengangkatan Khulafa’ Rasyidin yang empat. Bahkan Ali sendiri menyetujuinya, tidak sebagaimana yang diyakini oleh Syiah. Persetujuan Ali terlihat jelas dari ungkapanya:

إنما الشورى للمهاجرين والأنصار ، فإن اجتمعوا على رجل وسمّوه إماماً كان ذلك لله رضى

Sesungguhnya syūra bagi sahabat Muhajirin dan Anshar, jika mereka bersepakat terhadap salah seorang yang mereka sebut sebagai Imam, maka hal itulah yang diridhai oleh Allah.

Maksud dari pernyataan Ali di atas adalah, bahwa Allah meridhai terhadap apa yang diridhai (disepakati) oleh sahabat Muhajirin dan Anshar. Atinya, Ali juga mengakui kepemimpinan tiga khalifah sebelum beliau, sebab tiga khalifah itu sudah dibaiat oleh sahabat Muhajirin dan Anshar dengan suara bulat. Kesepakatan Ali terhadap tiga khalifah sebelumnya juga dibuktikan dengan pembaiatan beliau terhadap ketiganya.

Dari pemaparan data sejauh ini, kelemahan-kelemahan argumentasi Syiah terhadap hadis Ghadir Khum yang mereka anggap sebagai nash sharih (jelas) terhadap kepemimpinan Ali pasca wafatnya Rasulullah, akan selalu terungkap kekeliruannya dari sudut pandang apa pun, baik dari asbab wurud, konteks pembicaraan nash, segi kebahasaan, periwayatan dan pernyataan Ali sendiri terhadap kebaikan para khalifah sebelum beliau dan persetujuannya dengan konsep Syūra yang dilakukan oleh sahabat Muhajirin dan Anshar. Hal demikian dapat dimaklumi, sebab dalam Islam, konsep imamah sebagaimana yang dimaksudkan oleh Syiah memang tidak pernah ada, baik dari nash al-Qur’an maupun hadits. Yang ada adalah konsep syūra (musyawarah) yang diampu oleh orang-orang yang memiliki kapabilitas dalam hal tersebut  dari golongan para ulama dan pemuka agama. Karenanya, Ahlussunnah selalu mengembalikan urusan kekhilafahan pada konsep syūra ini, sebab kekhilafahan merupakan salah satu permasalahan penting dalam umat Islam. Dan setiap permasalahan umat, memang semestinya diselesaikan dengan cara bermusyawarah, sesuai dengan anjuran yang sangat lugas dan tegas dalam Al-Qur’an.

WALLOHUL WALIYYUT TAUFIQ ILA SABILUL HUDA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar