Translate

Sabtu, 22 April 2017

SITUS BITING LUMAJANG BUKTI KERAJAAN ISLAM PERTAMA DI JAWA

Dakwah Islam di Tanah Jawa, sejatinya telah ada ratusan tahun sebelum masa Wali Songo. Di wilayah Lumajang, Jawa Timur pada sekitar abad 12-13 Masehi, dikenal sosok Penyebar Islam yang terkemuka, yaitu Syeikh Abdurrohman Assyaibani.

Syeikh Abdurrohman merupakan cucu dari sepupu Imam Ahmad bin Hambal, dan sekaligus juga menantu keluarga dinasti Kerajaan Lumajang.

Beliau adalah Syekh ABDURRAHMAN bin Muhammad bin Syaiban bin Aly bin Abbas bin Syafi’ binTsaqib bin Umar bin Utsman bin Abu Bakar bin Utsman bin Muhammad bin Abdulloh bin Umar bin Bakar bin Aly bin Gholib bin Quraisy bin Abdulloh bin Al Qutub Assyekh Syaiban AI Iraqi Al Bagdadi Rodliyallohu ‘anhu bin Abdulloh bin Abbas bin Abdulloh bin Abbas Ibnu Abdul Mutholib Asshohabi Rodliyallohu ‘anhu wa’anhum ajma’in.

Beliau dilahirkan Tahun 1111 Masehi di Baghdad Iraq. Masa hidupnya 189 Tahun. Muksa di Goa Biting Lumajang Tahun 1300 Masehi dalam keadaan Puasa dan Seluruh Fisiknya masih Utuh. Kakek beliau Qutub Syekh Syaiban Al Iraqi Al Bagdadi. sepupu Imam Ahmad Bin Hambal Assyaibani. Beliau bermarga Assyaibani Beliau pernah menuntut ilmu agama di Mekkah, hafal ALQUR’AN dan HADISTS dan telah melaksanakan Ibadah Haji sebanyak 28 kali. Pada usia 30 tahun Beliau hijrah ke Yaman. Kemudian beliau hijrah ke daerah Timur. Sampai di Aceh menikah dengan Cut Nazilah.

Beliau menyebarkan agama Islam di Indonesia mulai dari Aceh sampai Ternate, dengan cara TUTWURIHANDAYANI. Sehingga banyak kalangan Elite dan Pejabat waktu itu yang masuk agama Islam.
Postur tubuhnya Tinggi besar, hidung mancung, warna kulit Cokelat. Beliau selalu mamakai Jubah dan Surban warna Kuning krem, membawa tongkat panjang/tongkat khotbah yang ujungnya berlambang Ka’bah dalam lingkaran Tasbih, ditengah Ka’bah ada gambar Bintang Segi Lima.
Beliau selalu berdzikir ALLAH ALLAH dan membaca sholawat. Sholawat khusus beliau adalah “BISSMIKAALLOHUMMA WABIHAMDIKA SHOLLI ‘ALA SAYIDINA MUHAMMAD WA ALIHI WASHOHBIHI WABARIK WASALLIM WAKARRIM”. Juga melakukan puasa Wishol yaitu puasa 40 hari 40 malam tanpa tidur.

Thoriqoh beliau, thoreqoh MULAMIYYAH dari Bagdad. Mursyid atau Gurunya Imam Hamdun Al Qozar dari zaman Tabi’in. Thoriqot ini sebagian ajarannya mengajarkan “Tidak menunjukan kebaikan diri dan tidak pula menyimpan kejelekan di hati”.

Isteri-isteri beliau :
· Cut Nazilah dari Aceh
· Sheikhoh Aisyah Binti Muhammad Al Marbawi dari Aceh
· Signorita Miguela dari Portugis
· Roro Wulandari Bibi dari Minak Koncar Lumajang.

Keturunan-keturunannya tersebar di berbagai Bangsa

Kekeramatan Syeikh Abdurrohman Assyaibani RA adalah :
· Bisa berbicara semua Bahasa, termasuk bahasa Malaikat, jin dan Hewan.
· Segala Hajat yang dinginkan beliau pasti terkabul, karena keramat beliau KUN FAYAKUN.
· Dalam berdakwah tidak membutuhkan kendaraan, kemana-mana asal tujuan dakwah bisa sampai tujuan dalam hitungan Detik.

Fatwa-fatwa Syeikh Abdurrohman Assyaibani RA diantaranya :
· Allah itu Maha Segalanya.
· Taqwa itu Sholat, Tasbih dan Puasa
· Islam itu Damai seluruh Dunia
· Ilmu itu supaya bertambah, harus di Amalkan.
· Makan itu untuk Hidup, kalau tidak terpaksa Tidak Makan
· Hukum dan Pemeritah itu apa Kata Rakyat

Murid-murid Syeikh Abdurrohman Assyaibani RA, diantaranya:
· Syekh Abdullah (dulu makamnya di SDN1 atau BRI Lumajang. Sekarang dipindah ke makam umum Jogoyudan Lumajang)
· Syekh Muhammad Anas dari Demak. (Makamnya di belakang Masjid Jamik Anas Mahfud Lumajang)

Arya Wiraraja, Pendiri Kerajaan Islam Lumajang

Pada abad ke-13, di Tanah Jawa telah berdiri Kerajaan Islam, tepatnya di daerah Lumajang. Fakta ini sekaligus membantah, Kesultanan Demak yang berdiri pada abad ke-15, sebagai Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa.

Pendiri Kerajaan Islam Lumajang (Lamajang Tigang Juru) adalah sosok yang dikenal sebagai mitra Raden Wijaya (Pendiri Kerajaan Majapahit), yakni Arya Wiraraja.

Klan Pinatih di Bali, percaya bahwa leluhur mereka Arya Wiraraja adalah seorang Muslim. Hal ini terbukti dengan keberadaan makam leluhurnya itu, di dusun Biting (benteng), Desa Kutorenon, Kec, Sukadana, Kab. Lumajang.

Arya Wiraraja adalah kerabat Kerajaan Singasari, ibunya bernama Nararya Kirana merupakan puteri Penguasa Singasari Prabu Seminingrat Ranggawuni Wisynuwarddhana.

Pada sekitar tahun 1269, Arya Wiraraja sempat menjabat sebagai Rakryan Demung Singasari, kemudian diangkat menjadi adipati Sumenep Madura.

Ketika menjadi Adipati Sumenep, Arya Wiraraja ikut membantu Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit. Atas jasanya itu pada tahun 1296, ia mendapat hak menjadi penguasa di daerah sekitar Lumajang, Probolinggo hingga ke timur sampai Banyuwangi.

Kedekatan keluarga Penguasa Lumajang, dengan para ulama Islam terbilang sangat dekat. Hal ini terbukti salah seorang bibi dari Penguasa Lumajang, Arya Menak Koncar (Pengganti Arya Wiraraja) yang bernama Roro Wulandari menikah dengan  Syeikh Abdurrohman Assyaibani.

Pada Raja yang ke-5 Arya Tepasana, kedua puterinya menikah dengan keluarga Wali Songo. Puterinya bernama Nyimas Ayu Tepasari diperisteri oleh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati), sementara puterinya yang lain Nyimas Ayu Waruju diperisteri Raden Mahmud Pangeran Sapanjang putera Raden Ali Rahmatulloh (Sunan Ampel).

Situs Biting

Situs Biting adalah sebuah situs arkeologis yang terletak di desa Kutorenon, kecamatan Sukodono, Lumajang, provinsi Jawa Timur. Situs ini diperkirakan merupakan peninggalan dari kerajaan Lamajang dan tersebar di atas kawasan seluas sekitar 135 hektaree. Bangunan yang paling mengesankan adalah bekas tembok benteng dengan dengan panjang 10 kilometer, lebar 6 meter dan tinggi 10 meter.

Kawasan Situs Biting adalah sebuah kawasan ibu kota kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin Prabu Arya Wiraraja yang dikelilingi oleh benteng pertahanan dengan tebal 4 s/d 6 meter, tinggi 10 meter dan panjang 10 km. Hasil penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta tahun 1982-1991, Kawasan Situs Biting memiliki luas 135 hektare yang mencakup 6 blok/area merupakan blok keraton seluas 76,5 ha, blok Jeding 5 ha, blok Biting 10,5 ha, blok Randu 14,2 ha, blok Salak 16 ha, dan blok Duren 12,8 ha. Dalam Babad Negara Kertagama, kawasan ini disebut Arnon dan dalam perkembangan pada abad ke-17 disebut Renon dan dewasa ini masuk dalam desa Kutorenon yang dalam cerita rakyat identik dengan "Ketonon" atau terbakar. Nama Biting sendiri merujuk pada kosa kata Madura bernama "Benteng" karena daerah ini memang dikelilingi oleh benteng yang kokoh

Pada tahun 1995 di Kawasan Situs Biting mulai dibangun Perumnas Biting yang tentu saja banyak merusak peninggalan Sejarah (Situs) yang ada. Namun anehnya pihak-pihak terkait yaitu Balai Pelstarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur yang merupakan lembaga penyelamat seolah diam melihat perusakan ini sehingga lebih kurang 15 Hektar kawasan ini rusak oleh pembangunan ini.

Pada tahun 2010, berdasarkan lahir sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat bernama Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur (MPPM Timur) melakukan advokasi pelestarian Situs Biting. Setelah itu juga Komunitas Mahasiswa Peduli Lumajang (KMPL) bergerak dalam advokasi ini dan kemudian juga elemen masyarakat lokal Biting juga mulai sadar akan peninggalan sejarah yang ada di wilayahnya.

Advokasi yang dilakukan oleh para pelestari Situs Biting telah melahirkan berbagai event seperti Napak Tilas yang telah digelar selama 2 kali berturut-turut, lomba lukis benteng maupun seminar Nasional. Untuk acara Napak Tilas kemudian menjadi agenda resmi Pariwisata Jawa Timur dari Kabupaten Lumajang yang akan diadakan setiap bulan juni.

Pelestarian Situs Biting di Lumajang Jawa Timur merupakan contoh bagi para pecinta dan pelestari sejarah dimana LSM, mahasiswa maupun masyarakat telah bahu-membahu melakukan sosialisasi maupun advokasi terhadap peninggalan sejarah.

Dalam sejarahnya, prasasti Kudadu menyebutkan bahwa ketika Raden Wijaya melarikan diri bersama 12 pengawal setianya ke Madura, Adipati Arya Wiraraja memberikan bantuan kemudian melakukan kesepakatan "pembagian tanah Jawa menjadi dua" yang sama besar yang kemudian di sebut "Perjanjian Sumenep". Setelah itu Adipati Arya wiraraja memberi bantuan besar-besar kepada Raden Wijaya termasuk mengusahakan pengampunan politik dari Prabu Jayakatwang di Kediri dan pembukaan "hutan Tarik' menjadi sebuah desa bernama Majapahit. Dalam pembukaan desa Majapahit ini sungguh besar jasa Adipati Arya Wiraraja dan pasukan Madura. Raden wijaya sendiri datang di desa Majapahit setelah padi-padi sudah menguning.

Kira-kira 10 bulan setelah pendirian desa Majapahit ini, kemudian datanglah pasukan besar Mongol Tar Tar pimpinan Jendral Shih Pi yang mendarat di pelabuhan Tuban. Adipati Arya Wiraraja kemudian menasehati raden wijaya untuk mengirim utusan dan bekerja sama dengan pasukan besar ini dan menawarkan bantuan dengan iming-iming harta rampasan perang dan putri-putri Jawa yang cantik. Setelah dicapai kesepakatan maka diseranglah Prabu Jayakatwang di Kediri yang kemudian dapat ditaklukkan dalam waktu yang kurang dari sebulan. Setelah kekalahan Kediri, Jendral Shih Pi meminta janji putri-putri Jawa tersebut dan kemudian sekali lagi dengan kecerdikan Adipati Arya Wiraraja utusan Mongol dibawah pimpinan Jendral Kau Tsing menjemput para putri tersebut di desa Majapahit tanpa membawa senjata.
Hal ini dikarenakan permintaan Arya wiraraja dan Raden Wijaya untuk para penjemput putri Jawa tersebut untuk meletakkan senjata dikarenakan permohonan para putri yang dijanjikan yang masih trauma dengan senjata dan peperangan yang sering kali terjadi. Setelah pasukan Mongol Tar Tar masuk desa majapahit tanpa senjata, tiba-tiba gerbang desa ditutup dan pasukan Ronggolawe maupun Mpu Sora bertugas membantainya. Hal ini diikuti oleh pengusiran pasukan Mongol Tar Tar baik di pelabuhan Ujung Galuh (Surabya) maupun di Kediri oleh pasukan Madura dan laskar Majapahit. Dalam catatan sejarah, kekalahan pasukan Mongol Tar Tar ini merupakan kekalahan yang paling memalukan karena pasukan besar ini harus lari tercerai berai.

Setahun setelah pengusiran pasukan Mongol Tar Tar, menurut Kidung Harsawijaya, sesuai dengan "Perjanjian Sumenep" tepatnya pada 10 Nopember 1293 Masehi, Raden Wijaya diangkat menjadi raja Majapahit yang wilayahnya meliputi wilayah-wilaah Malang (bekas kerajaan Singosari), Pasuruan, dan wilayah-wilayah di bagian barat sedangkan di wilayah timur berdiri kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin oleh Arya Wiraraja yang kemudian dalam dongeng rakyat Lumajang disebut sebagai Prabu Menak Koncar I. Kerajaan Lamajang Tigang Juru ini sendiri menguasai wilayah seperti Madura, Lamajang, Patukangan atau Panarukan dan Blambangan. Dari pembagian bekas kerajaan Singosari ini kemudian kita mengenal adanya 2 budaya yang berbeda di Provinsi Jawa Timur, dimana bekas kerajaan Majapahit dikenal mempunyai budaya Mataraman, sedang bekas wilayah kerajaan Lamajang Tigang Juru dikenal dengan "budaya Pendalungan (campuran Jawa dan Madura)" yang berada di kawasan Tapal Kuda sekarang ini. Prabu Menak Koncar I (Arya Wiraraja)ini berkuasa dari tahun 1293- 1316 Masehi. Sepeninggal Prabu Menak Koncar I (Arya Wiraraja), salah seorang penerusnya yaiti Mpu Nambi diserang oleh Majapahit yang menyebabkan Lamajang Tigang Juru jatuh dan gugurnya Mpu Nambi yang juga merupakan patih di Majapahit. Babad Pararaton menceritakan kejatuhan Lamajang pada tahun saka "Naganahut-wulan" (Naga mengigit bulan) dan dalam Babad Negara Kertagama disebutkan tahun "Muktigunapaksarupa" yang keduanya menujukkan angka tahun 1238 Saka atau 1316 Masehi. Jatuhnya Lamajang ini kemudian membuat kota-kota pelabuhannya seperti Sadeng dan Patukangan melakukan perlawanan yang kemudian dikenal sebagai "Pasadeng" atau perang sadeng dan ketha pada tahun 1331 masehi.

Ketika Hayam Wuruk melakukan perjalanan keliling daerah Lamajang pada tahun 1359 Masehi tidak berani singgah di bekas ibu kota Arnon (Situs Biting). Malah perlawanan daerah timur kembali bergolak ketika adanya perpecahan Majapahit menjadi barat dan timur dengan adanya "Perang Paregreg" pada tahun 1401-1406 Masehi. Perlawanan masyarakat Lamajang kembali bergolak ketika Babad Tanah Jawi menceritakan Sultan Agung merebut benteng Renong (dalam hal ini Arnon atau Kutorenon) melalui Tumenggung Sura Tani sekitar tahun 1617 Masehi. Kemudian ketika anak-anak Untung Suropati terdesak dari Pasuruan, sekali perlawanan dialihkan dari kawasan Arnon atau Renong yang sekarang dikenal sebagai Situs Biting Lumajang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar