Translate

Senin, 20 Juni 2016

Penjelasan ALLOH Melaknat Orang-Orang Yang Menyakiti Nabi

Mencintai dan memuliakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam adalah syarat sahnya iman. Barangsiapa dalam hatinya tidak ada rasa cinta dan penghormatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, niscaya dalam hatinya tiada keimanan sedikit pun.

Semakin kuat rasa cinta seorang muslim kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, niscaya keimanannya semakin kuat pula. Dan keimanan tersebut akan mencapai puncaknya ketika seorang muslim lebih mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam daripada rasa cintanya kepada ayah, ibu, anak, istri, saudara dan manusia siapapun juga.

Sebagaimana ditegaskan dalam hadits-hadits shahih:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ»

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Demi Allah Yang nyawaku berada di tangan-Nya. Salah seorang di antara kalian tidak beriman sehingga aku lebih ia cintai daripada bapaknya dan anaknya sendiri.” (HR. Bukhari no. 14)

عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ»

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Salah seorang di antara kalian tidak beriman sehingga aku lebih ia cintai daripada bapaknya sendiri, anaknya sendiri dan seluruh manusia.”(HR. Bukhari no. 15 dan Muslim no. 44)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Tiga perkara yang barangsiapa pada dirinya terdapat ketiga perkara tersebut niscaya ia akan bisa meraih lezatnya keimanan: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari manusia siapapun juga, (2) mencintai seseorang semata-mata karena (orang tersebut taat kepada) Allah dan (3) benci kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran, sebagaimana rasa bencinya jika dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)

Seorang muslim senantiasa mencintai dan mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Di antara wujud mencintai dan mengagungkan beliau adalah:

1. Membenarkan wahyu Al-Qur’an dan as-sunnah (hadits nabawi) yang beliau terima dari Allah ta’ala.

2. Melaksanakan perintah-perintah beliau, baik hal yang wajib maupun yang sunah.

3. Menjauhi larangan-larangan beliau, baik hal yang haram maupun yang makruh.

4. Mempelajari, mengajarkan, mendakwahkan dan memperjuangkan ajaran agama Islam yang beliau bawa.

5. Menjadikan syariat beliau, Al-Qur’an dan as-sunnah, sebagai satu-satunya pedoman hidup dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

6. Mengorbankan jiwa raga, harta, tenaga, pikiran dan waktunya untuk memperjuangkan tegaknya syariat beliau.

7. Memanjatkan shalawat kepada beliau dan memohon kepada Allah agar kelak di hari kiamat diperkenankan menerima syafaat beliau.

8. Memusuhi dan membenci orang-orang yang membenci, memusuhi, mencaci maki dan melecehkan beliau.

Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wa salam adalah pribadi agung dan manusia pilihan yang paling dicintai dan diagungkan oleh Allah Ta’ala. Oleh karenanya, mengagungkan Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wa salam adalah bagian dari mengagungkan syiar-syiar agama Allah Ta’ala. Sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala,

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj [22]: 32)

Islam memandang penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sama artinya dengan penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Allah Ta’ala dan agama Islam. Sebab, Allah Ta’ala-lah Yang telah mengutus beliau sebagai penutup seluruh nabi dan rasul dengan membawa agama Islam.

Demikian pula penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada agama Islam sama artinya dengan penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Tentu saja, penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Allah Ta’ala juga merupakan penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan agama Islam.

Allah Ta’ala, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan agama Islam adalah tiga hal yang saling berkait erat dan tidak bisa dipisahkan. Ketiganya wajib diagungkan oleh seorang muslim. Penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada salah satunya berarti penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada dua perkara lainnya.

Seorang muslim akan mengikuti tuntunan Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’ ulama dalam menyikapi tindakan dan orang yang melakukan penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Allah Ta’ala, atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam atau agama Islam. Lantas bagaimana Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’ ulama memandang penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Allah Ta’ala, atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam atau agama Islam?

Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman; 

إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا (57) وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا (58) 

Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan. Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS Al-Ahzab Ayat 57-58)

Allah Swt. memperingatkan dan mengancam orang yang menyakiti Allah dengan menentang perintah-perintah-Nya dan melanggar larangan-larangan-Nya serta tiada henti-hentinya melakukan hal tersebut, juga menyakiti Rasul-Nya dengan mencelanya atau merendahkan martabatnya.Na'uzu billahi min zalik.
Ikrimah telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. (Al-Ahzab: 57) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan para pembuat patung.

Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui hadis Sufyan ibnu Uyaynah:

عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ المسيَّب، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَقُولُ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ: يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ، يَسُبّ الدَّهْرَ، وَأَنَا الدَّهْرُ، أُقَلِّبُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهُ"

Dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah Swt. telah berfirman, "Anak Adam menyakiti Aku; dia mencaci masa, padahal Akulah yang menciptakan masa. Aku bolak-balikkan malam dan siang harinya (secara silih berganti).”

Makna yang dimaksud ialah bahwa dahulu orang-orang Jahiliah selalu mengatakan, "Celakalah masa itu, karena telah menimpakan kepada kami anu dan anu." Mereka menyandarkan perbuatan-perbuatan Allah kepada masa dan mencacinya, padahal sesungguhnya yang melakukan semua itu hanyalah Allah Swt. Setelah Islam datang, maka tradisi tersebut dilarang. Demikianlah menurut apa yang telah ditetapkan oleh Imam Syafii Abu Ubaidah dan selain keduanya dari kalangan ulama.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. (Al-Ahzab: 57) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang mendiskreditkan Nabi Saw. karena mengawini Safiyyah binti Huyayin ibnu Akhtab.

Makna lahiriah ayat menunjukkan pengertian yang umum mencakup semua orang yang menyakiti Nabi Saw. dengan sesuatu hal. Dan barang siapa yang menyakiti Nabi Saw., berarti telah menyakiti Allah. Sebagaimana orang yang taat kepada Rasulullah Saw., berarti taat kepada Allah Swt. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad:

حَدَّثَنَا يُونُسُ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ عَبيدة بْنِ أَبِي رَائِطَةَ الْحَذَّاءِ التَّمِيمِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ [بْنِ زِيَادٍ] ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُغَفَّلِ الْمُزَنِيِّ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اللَّهَ اللَّهَ فِي أَصْحَابِي، لَا تَتَّخِذُوهُمْ غَرَضا بَعْدِي، فَمِنْ أَحَبَّهُمْ فَبِحُبِّي أَحَبَّهُمْ، وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ فَبِبُغْضِي أَبْغَضَهُمْ، وَمَنْ آذَاهُمْ فَقَدْ آذَانِي، وَمِنْ آذَانِي فَقَدْ آذَى اللَّهَ، وَمَنْ آذَى اللَّهَ يُوشِكُ أَنْ يَأْخُذَهُ".

Telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, dari Ubaidah ibnu Abu Ra'itah Al-Hazza Al-Mujasyi'i, dari Abdur Rahman ibnu Ziad, dari Abdullah ibnul Mugaffal Al-Muzani yang mengatakan, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah sehubungan dengan sahabat-sahabatku; janganlah kamu jadikan mereka bahan celaan sesudahku. Barang siapa yang menyukai mereka, maka dengan tulus aku pun mencintainya. Dan barang siapa yang membenci mereka, maka dengan murka aku pun membencinya. Barang siapa yang menyakiti mereka, maka sungguh ia telah menyakitiku. Dan barang siapa yang menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah. Dan barang siapa yang menyakiti Allah, maka dalam waktu yang dekat Allah akan mengazabnya.

Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Ubaidah ibnu Abu Ra'itah, dari Abdur Rahman ibnu Ziad, dari Abdullah ibnul Mugaffal dengan sanad yang sama. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib, kami tidak mengetahuinya melainkan melalui jalur ini.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam diutus sebagai rahmatan lil ‘alamien. Beliau terkenal luas sebagai seorang yang sabar, santun, pemaaf, dan penyayang. Seluruh ucapan dan perbuatan beliau adalah pelaksanaan dari wahyu Al-Qur’an. Beliau adalah “Al-Qur’an yang berjalan”. Seluruh ucapan dan perbuatan beliau adalah akhlak mulia yang wajib dicontoh oleh kaum muslimin.

Lantas bagaimana teladan ucapan dan perbuatan Nabi shallalalhu ‘alaihi wa salam dalam menyikapi orang-orang yang mencaci maki, melecehkan dan mengolok-olok Allah atau ajaran Islam atau diri beliau sendiri? Jawabannya bisa kita dapatkan dari hadits-hadits shahih berikut ini:

Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ أَعْمَى كَانَتْ لَهُ أُمُّ وَلَدٍ تَشْتُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتَقَعُ فِيهِ، فَيَنْهَاهَا، فَلَا تَنْتَهِي، وَيَزْجُرُهَا فَلَا تَنْزَجِرُ، قَالَ: فَلَمَّا كَانَتْ ذَاتَ لَيْلَةٍ، جَعَلَتْ تَقَعُ فِي النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتَشْتُمُهُ، فَأَخَذَ الْمِغْوَلَ فَوَضَعَهُ فِي بَطْنِهَا، وَاتَّكَأَ عَلَيْهَا فَقَتَلَهَا، فَوَقَعَ بَيْنَ رِجْلَيْهَا طِفْلٌ، فَلَطَّخَتْ مَا هُنَاكَ بِالدَّمِ،

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang laki-laki buta yang memiliki seorang budak perempuan yang hamil dari hubungan dengannya (ummu walad). Budak perempuan itu biasa mencaci maki dan merendahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Sebagai tuan, laki-laki buta itu telah memperingatkan budak perempuannya untuk menghentikan perbuatan buruknya itu, namun perempuan itu tidak mau menuruti peringatannya. Laki-laki buta itu telah memerintahkan budak perempuannya menghentikan perbuatan buruknya itu, namun perempuan itu tidak mau berhenti.         

Pada suatu malam, budak perempuan itu kembali mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Maki laki-laki buta itu mengambil belati dan menusukkannya ke perut perempuan serta menekannya dengan kuat sampai budak perempuan itu tewas. Tiba-tiba seorang bayi laki-laki keluar dari perut perempuan itu di antara kedua kakinya, dan darahnya menodai ranjang.

 فَلَمَّا أَصْبَحَ ذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَمَعَ النَّاسَ فَقَالَ: «أَنْشُدُ اللَّهَ رَجُلًا فَعَلَ مَا فَعَلَ لِي عَلَيْهِ حَقٌّ إِلَّا قَامَ»، فَقَامَ الْأَعْمَى يَتَخَطَّى النَّاسَ وَهُوَ يَتَزَلْزَلُ حَتَّى قَعَدَ بَيْنَ يَدَيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَا صَاحِبُهَا، كَانَتْ تَشْتُمُكَ، وَتَقَعُ فِيكَ، فَأَنْهَاهَا فَلَا تَنْتَهِي، وَأَزْجُرُهَا، فَلَا تَنْزَجِرُ، وَلِي مِنْهَا ابْنَانِ مِثْلُ اللُّؤْلُؤَتَيْنِ، وَكَانَتْ بِي رَفِيقَةً، فَلَمَّا كَانَ الْبَارِحَةَ جَعَلَتْ تَشْتُمُكَ، وَتَقَعُ فِيكَ، فَأَخَذْتُ الْمِغْوَلَ فَوَضَعْتُهُ فِي بَطْنِهَا، وَاتَّكَأْتُ عَلَيْهَا حَتَّى قَتَلْتُهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَلَا اشْهَدُوا أَنَّ دَمَهَا هَدَرٌ»

Keesokan paginya, berita pembunuhan terhadap budak perempuan yang hamil itu dilaporkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Maka beliau mengumpulkan para sahabat dan bersabda, “Aku bersumpah dengan nama Allah, hendaknya orang yang melakukan pembunuhan itu berdiri sekarang juga memenuhi panggilanku!”

Maka laki-laki yang buta itu berdiri, berjalan di antara orang-orang dan maju ke depan sehingga ia bisa duduk di depan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Laki-laki itu berkata: “Wahai Rasulullah, akulah yang telah membunuhnya. Dia selalu mencaci maki dan merendahkan Anda. Aku telah memperingatkannya, namun ia tidak mau peduli. Aku telah melarangnya, namun ia tidak mau berhenti. Aku memiliki dua orang anak seperti intan pertama darinya. Ia adalah kawan hidupku. Ketika tadi malam ia kembali mencaci maki dan merendahkan Anda, maka aku pun mengambil belati, menusukkan ke perutnya dan menekannya dengan kuat sampai ia tewas.”

Mendengar pengakuan laki-laki buta itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Hendaklah kalian semua menjadi saksi, bahwa darah perempuan itu telah sia-sia.” (HR. Abu Daud no. 4361, An-Nasai no. 4070, Al-Baihaqi no. 13375)

Imam Syamsul Haq ‘Azhim Abadi berkata: “Beliau bersabda “darah perempaun itu telah sia-sia” barangkali karena berdasar wahyu, beliau telah mengetahui kebenaran pengakuan laki-laki itu. Hadits ini menunjukkan bahwa jika orang kafir dzimmi tidak menahan lisannya dari (mencaci maki atau melecehkan) Allah dan rasul-Nya, niscaya ia tidak memiliki dzimmah (jaminan keamanan bagi orang kafir dzimmi) sehingga ia halal dibunuh. Demikian dikatakan oleh imam (Muhammad Hayat) As-Sindi

Imam Al-Mundziri berkata: Hadits ini juga diriwayatkan oleh An-Nasai. Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang mencaci maki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dijatuhi hukuman mati.

Dikatakan (oleh para ulama): Tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika orang yang mencaci maki tersebut adalah seorang muslim, maka ia wajib dihukum mati. Perbedaan pendapat terjadi ketika orang yang mencaci maki adalah orang kafir dzimmi. Imam Syafi’i berpendapat ia harus dihukum bunuh dan ikatan dzimmahnya telah batal. Imam Abu Hanifah berpendapat ia tidak dihukum mati, sebab dosa kesyirikan yang mereka lakukan masih lebih besar dari dosa mencaci maki. Imam Malik berpendapat jika orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam adalah orang Yahudi atau Nasrani, maka ia wajib dihukum mati, kecuali jika ia masuk Islam. Demikian penjelasan dari imam Al-Mundziri. (‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 12/11)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Hadits ini merupakan dalil yang tegas tentang bolehnya membunuh perempuan tersebut karena ia telah mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Tentu saja, hadits ini juga menjadi dalil lebih bolehnya membunuh orang kafir dzimmi dan membunuh seorang muslim atau muslimah yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.” (Ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul, hlm. 62)

Hadits Jabir bin Abdullah tentang kisah pembunuhan terhadap pemimpin Yahudi, Ka’ab bin Asyraf:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ لِكَعْبِ بْنِ الأَشْرَفِ، فَإِنَّهُ قَدْ آذَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ»، قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ: أَتُحِبُّ أَنْ أَقْتُلَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «نَعَمْ»،

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa salam bersabda, “Siapakah yang mau “membereskan” Ka’ab bin Asyraf? Sesungguhnya ia telah menyakiti Allah dan rasul-Nya.” Muhammad bin Maslamah bertanya, “Apakah Anda senang jika aku membunuhnya, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Ya”…” (HR. Bukhari no. 3031 dan Muslim no. 1801)

Imam Bukhari telah menyebutkan kisah pembunuhan Ka’ab bin Asyraf tersebut dalam beberapa hadits (no. 2510, 3031, 4037). Kisah pembunuhan oleh regu suku Aus tersebut juga disebutkan dalam semua kitab sirah nabawiyah (sejarah hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam).

Hadits Barra’ bin Azib tentang kisah satu regu suku Khazraj yang diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam untuk membunuh tokoh Yahudi Khaibar, Abu Rafi’ Salam bin Abil Huqaiq karena ia sering mencaci maki dan melecehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.
Hadits tersebut diriwayatkan beberapa kali oleh imam Bukhari dalam kitab shahihnya dan kisahnya juga disebutkan dalam semua kitab sirah nabawiyah. Di antara lafal hadits tersebut dalam shahih Bukhari adalah sebagai berikut:

 عَنِ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَبِي رَافِعٍ اليَهُودِيِّ رِجَالًا مِنَ الأَنْصَارِ، فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَتِيكٍ، وَكَانَ أَبُو رَافِعٍ يُؤْذِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيُعِينُ عَلَيْهِ، وَكَانَ فِي حِصْنٍ لَهُ بِأَرْضِ الحِجَازِ

Dari Barra’ bin Azib berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengirim beberapa orang sahabat Anshar untuk (membunuh) pemimpin Yahudi, Abu Rafi’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengangkat Abdullah bin Atik sebagai komandan regu untuk tugas tersebut. Abu Rabi’ adalah pemimpin Yahudi yang sering menyakiti dan memusuhi beliau. Ia tinggal di sebuah benteng miliknya di daerah Hijaz…” (HR. Bukhari no. 4039, Al-Baihaqi no. 18100)

 عَنِ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: «بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَهْطًا إِلَى أَبِي رَافِعٍ، فَدَخَلَ عَلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَتِيكٍ بَيْتَهُ لَيْلًا وَهُوَ نَائِمٌ فَقَتَلَهُ»

Dari Barra’ bin Azib berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengirim beberapa orang sahabat Anshar untuk (membunuh) pemimpin Yahudi, Abu Rafi’. Maka Abdullah bin Atik memasuki (benteng dan rumah) Abu rafi’ pada malam hari saat ia tengah terlelap tidur, maka Abdullah bin Atik pun segera membunuhnya.” (HR. Bukhari no. 4038, Al-Baihaqi no. 18100)

Imam Bukhari memasukkan hadits-hadits kisah pembunuhan Abu Rafi’ Al-Yahudi tersebut dalam bab “membunuh orang musyrik yang sedang tidur” (no. hadits 3022 dan 3023) dan bab “pembunuhan atas Abu Rafi’ Abdullah bin Abil Huqaiq” (no. hadits 4038, 4039, 4040). Kisah pembunuhan atas Abu Rafi’ Al-Yahudi juga diriwayatkan oleh imam Abdur Razzaq Ash-Shan’ani, Al-Baihaqi, Abu Ya’la Al-Maushili, Ath-Thabarani dan lain-lain dari jalur Abdullah bin Atik, Abdullah bin Unais dan Abdurrahman bin Abdullah bin Ka’ab.   

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Hadits ini menunjukkan kebolehan membunuh orang-orang mereka (kafir) yang sangat menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Abu Rafi’ adalah orang yang sangat memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan ia memprokovasi manusia untuk hal itu.” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 6/156)‎

Pendapat para ulama madzhab
[1] Madzhab Hanafi
Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri Al-Hanafi berkata: “Seluruh ulama telah bersepakat bahwa orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dijatuhi hukuman mati. Imam Ath-Thabari juga mengutip pendapat dari imam Abu Hanifah dan murid-muridnya tentang kemurtadan orang yang melecehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, atau berlepas diri dari beliau atau menuduh beliau berdusta.” (Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Dien, hlm. 64)

[2]. Madzhab Maliki
Imam Muhammad bin Sahnun Al-Maliki berkata: “Seluruh ulama telah bersepakat bahwa orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan melecehkan beliau adalah orang yang kafir, dan barangsiapa meragukan kekafirannya dan bahwa ia diadzab niscaya telah kafir pula.” (Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Dien, hlm. 64)

Al-Qadhi Iyadh bin Musa Al-Yahshibi Al-Maliki berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa orang yang mencaci maki Allah Ta’ala dari kalangan kaum muslimin telah menjadi orang kafir yang halal darahnya. Demikian pula orang yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam sengaja berdusta dalam menyampaikan atau mengabarkan wahyu, atau ia meragukan kejujuran beliau, atau ia mencaci maki beliau, atau ia mengatakan bahwa beliau belum menyampaikan wahyu, atau ia meremehkan beliau atau meremehkan salah seorang nabi lainnya, atau ia mengejek mereka, atau ia menyakiti mereka, atau ia membunuh seorang nabi, atau ia memerangi seorang nabi,maka ia telah kafir berdasar ijma’ ulama.” (Asy-Syifa fit Ta’rif bi-Huquqil Musthafa, hlm. 582)

[3]. Madzhab Syafi’i
Imam Abu Sulaiman Al-Khathabi Asy-Syafi’i berkata, “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dari seorang muslim pun tentang kewajiban membunuhnya (orang yang mencaci maki nabi).” (Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 2)

Imam Abu Bakr Al-Farisi dari kalangan ulama madzhab Syafi’i telah menyebutkan ijma’ seluruh kaum muslimin bahwa hukuman untuk orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam adalah hukuman mati. (Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 2)

Imam Ibnu Al-Mundzir Asy-Syafi’i berkata, “Para ulama telah berijma’ (bersepakat) bahwa orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam harus dibunuh. Di antara yang berpendapat demikian adalah imam Malik (bin Anas), Laits (bin Sa’ad), Ahmad (bin Hambal) dan Ishaq (bin Rahawaih). Hal itu juga menjadi pendapat imam Syafi’i.”(Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, 8/82)

Imam Al-Mundziri Asy-Syafi’i berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika orang yang mencaci maki tersebut adalah seorang muslim, maka ia wajib dihukum mati. Perbedaan pendapat terjadi ketika orang yang mencaci maki adalah orang kafir dzimmi. Imam Syafi’i berpendapat ia harus dihukum bunuh dan ikatan dzimmahnya telah batal. Imam Abu Hanifah berpendapat ia tidak dihukum mati, sebab dosa kesyirikan yang mereka lakukan masih lebih besar dari dosa mencaci maki. Imam Malik berpendapat jika orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam adalah orang Yahudi atau Nasrani, maka ia wajib dihukum mati, kecuali jika ia masuk Islam.” (‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 12/11)

[4]. Madzhab Hambali
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Barangsiapa mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam atau melecehkan beliau, baik ia orang muslim atau orang kafir, maka ia wajib dibunuh. Aku berpendapat ia dijatuhi hukuman mati dan tidak perlu diberi tenggang waktu untuk bertaubat.” (Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 4)

Imam Ishaq bin Rahawaih berkata: “Kaum muslimin telah bersepakat bahwa barangsiapa mencaci maki Allah atau mencaci maki Rasul-Nya atau menolak sebagian wahyu yang Allah turunkan atau membunuh salah seorang nabi yang diutus Allah, maka ia telah kafir dengan perbuatannya itu sekalipun ia mengakui seluruh wahyu yang Allah turunkan.” (Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 3)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Sesungguhnya mencaci maki Allah atau mencaci maki Rasul-Nya adalah kekafiran secara lahir dan batin. Sama saja apakah orang yang mencaci maki itu meyakini caci makian itu sebenarnya haram diucapkan, atau ia meyakini caci makian itu boleh diucapkan, maupun caci makian itu keluar sebagai kecerobohan bukan karena keyakinan. Inilah pendapat para ulama fiqih dan seluruh ahlus sunnah yang menyatakan bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan.” (Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 512)

[5] Madzhab Zhahiri
Imam Muhammad bin Hazm Azh-Zhahiri berkata: “Berdasar dalil-dalil yang kami uraikan di atas maka benarlah bahwa setiap orang yang mencaci maki Allah atau mengolok-olok Allah, atau mencaci maki seorang malaikat atau mengolok-oloknya, atau atau mencaci maki seorang nabi atau mengolok-oloknya, atau mencaci maki sebuah ayat Allah atau mengolok-oloknya, padahal semua ajaran syariat Islam dan seluruh ayat Al-Qur’an adalah bagian dari ayat Allah, niscaya ia telah kafir murtad, atas dirinya harus diterapkan hukuman bagi seorang murtad. Inilah pendapat yang kami pegangi.” (Al-Muhalla, 12/438)

Inilah tuntunan Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an, tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dalam hadits shahih, tuntunan khulafaur rasyidin dan pendapat seluruh ulama Islam dari seluruh madzhab di kalangan ahlus sunnah dalam menyikapi orang-orang yang melecehkan, mengejek, merendahkan, mengolok-olok atau mencaci maki Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam.

Kita bersyukur bahwa kaum muslimin di Benghazi, Libya, telah memberikan contoh keteladanan bagi kaum muslimin sedunia dalam membela kehormatan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam. Semoga kaum muslimin lainnya bisa membuktikan pembelaannya kepada kehormatan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam yang dilecehkan oleh orang-orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang kafir lainnya.

Orang-orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang kafir lainnya pasti tidak akan pernah berhenti melecehkan, mengejek, mengolok-olok dan mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Secara lahiriah, mulut mereka mengatas namakan “kebebasan seni, kebebasan berekspresi, demokrasi dan HAM. Adapun seca batin, isi hati mereka telah ditelanjangi oleh Allah Ta’ala dengan firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil menjadi teman kepercayaan kalian orang-orang yang di luar kalanganmu (yaitu orang-orang kafir) karena mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudaratan bagi kalian. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kalian. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepada kalian ayat-ayat (Kami), jika kalian memahaminya.” (QS. Ali Imran [3]: 118) 

Firman Allah di atas sangat jelas dan begitu mudah dipahami. Seorang muslim yang mengimani Allah dan Rasul-Nya, mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan merindukan syafaatnya kelak di hari kiamat sudah tentu akan berpikir dengan logika keimanan. Mereka akan bangkit memberikan pembelaan dengan  waktu, tenaga, pikiran, harta dan bahkan nyawa mereka manakala kehormatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dilecehkan.

Adapun para politikus yang sibuk mencari kursi kekuasaan atau rakus mempertahankan kursi kekuasaan akan berpikir dengan logika politik. Mereka rela jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dilecehkan. Bagi mereka, pelecehan itu masalah kecil belaka, lupakan saja, tak perlu dipikirkan, tak perlu marah. Bagi mereka, pelecehan itu tidak ada kaitannya dengan keimanan dan keislaman sama sekali.

Mereka tak akan melakukan pembelaan karena khawatir tuan besar AS dan Barat marah. Mereka khawatir jika media massa internasional yang dikendalikan Yahudi dan Nasrani melabeli mereka dengan label “muslim fundamentalis”, “muslim ekstrimis”, atau bahkan “muslim teroris”. Mereka khawatir jika dituding “anti HAM”, “anti demokrasi”, “anti kebebasan berkespresi”, atau “anti kebebasan seni”. Mereka khawatir jika dikeluarkan dari kelompok elit “muslim moderat”.

Bagi mereka, tidak apa-apa kehormatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dilecehkan, asal bukan presiden, mentri, DPR/MPR, partai politik kita atau organisasi massa kita yang dilecehkan. Bagi mereka, tidak apa-apa kehormatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dilecehkan asalkan “kursi” kita tidak hilang, asalkan konstituen kita tidak hilang.

Firman Allah Swt.:

{وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا}

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat. (Al-Ahzab: 58)

Yakni mereka melancarkan tuduhan buruk terhadap orang-orang mukmin dan mukminat yang pada hakikatnya bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka itu, padahal orang-orang mukmin dan mukminat tidak tahu menahu dan tidak pernah melakukannya.

{فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا}

maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (Al-Ahzab: 58)

Yakni merupakan suatu kedustaan yang besar bila mempergunjingkan orang-orang mukmin dan mukminat dengan sesuatu hal yang tidak pernah mereka lakukan, yang tujuannya ialah mencela dan mendiskreditkan mereka. Orang-orang yang paling banyak terkena ancaman ini adalah orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kaum Rafidah.

Kaum Rafidah adalah orang-orang yang mendiskreditkan para sahabat dan mencela mereka, padahal Allah Swt. sendiri telah membersihkan mereka dari hal tersebut. Orang-orang tersebut telah menyifati para sahabat dengan hal-hal yang bertentangan dengan apa yang diberitakan oleh Allah Swt. tentang mereka. Allah Swt. telah memberitakan bahwa Dia telah rida kepada kaum Muhajirin dan kaum Ansar serta memuji sikap mereka. Akan tetapi, sebaliknya orang-orang yang jahil lagi bodoh itu mencela para sahabat, mendiskreditkan mereka, serta mempergunjingkan mereka dengan hal-hal yang para sahabat tidak pernah melakukannya salama-lamanya. Pada hakikatnya mereka sendirilah yang terbalik akal sehatnya karena mencela orang yang terpuji dan memuji orang yang tercela.

قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا القَعْنَبِيّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ -يَعْنِي: ابْنَ مُحَمَّدٍ -عَنْ الْعَلَاءِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْغِيبَةُ؟ قَالَ: "ذكرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ". قِيلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: "إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّه".

Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qa’nabi, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Muhammad, dari Al-A'la, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa pernah ditanyakan kepada Rasulullah, "Apakahgibah itu, wahai Rasulullah? Rasulullah Saw. menjawab: "Bila kamu menyebut-nyebut saudaramu dengan hal-hal yang tidak disukainya. ”Ditanyakan lagi, "Bagaimanakah pendapatmu, jika pada saudaraku itu terdapat apa yang kukatakan?" Rasulullah Saw. menjawab, "Jika pada saudaramu itu terdapat apa yang kamu katakan, berarti kamu telah mengumpatnya. Dan bila pada saudaramu itu tidak terdapat apa yang kamu katakan, berarti kamu telah melancarkan tuduhan dusta terhadapnya.”

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Turmuzi, dari Qutaibah, dari Ad-Darawardi, kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ سَلَمَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ هِشَامٍ، عَنْ عَمَّارِ بْنِ أَنَسٍ، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَة، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ: "أيُّ الرِّبَا أَرْبَى عِنْدَ اللَّهِ؟ " قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: "أَرْبَى الرِّبَا عِنْدَ اللَّهِ استحلالُ عِرْضِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ"، ثُمَّ قَرَأَ: {وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا}

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Hisyam, dari Ammar ibnu Anas, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada para sahabatnya: "Riba apakah yang paling parah di sisi Allah?” Mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah Saw. bersabda,"Riba yang paling berat di sisi Allah ialah menghalalkan kehormatan seorang muslim.”Kemudian Nabi Saw. membacakan firman Allah Swt.: Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (Al-Ahzab: 58)

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar