Translate

Selasa, 19 September 2017

Memaknai Hijrah Dalam Aspek Kehidupan

Asal hijrah di sini bermakna meninggalkan, yaitu meninggalkan berbicara atau meninggalkan perbuatan. Tidak berbicara pada orang lain, itu bermakna hajr.

Sedangkan kalau membahas hijrah, ada dua maksud:

Hijrah hissi, yaitu berpindah tempat, yaitu berpindah dari negeri kafir ke negeri Islam atau berpindah dari negeri yang banyak fitnah ke negeri yang tidak banyak fitnah. Ini adalah hijrah yang disyari’atkan.Hijrah maknawi (dengan hati), yaitu berpindah dari maksiat dan segala apa yang Allah larang menuju ketaatan.

Ingatlah, Tujuan Kita Diciptakan

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Allah tidak menciptakan kita sia-sia, pasti ada suatu perintah dan larangan yang mesti kita jalankan dan mesti kita jauhi. Allah Ta’ala berfirman,

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mu’minun: 115).

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, “Apakah kalian diciptakan tanpa ada maksud dan hikmah, tidak untuk beribadah kepada Allah, dan juga tanpa ada balasan dari-Nya?” (Madarij As-Salikin, 1: 98)

Jadi beribadah kepada Allah adalah tujuan diciptakannya jin, manusia dan seluruh makhluk. Makhluk tidak mungkin diciptakan begitu saja tanpa diperintah dan tanpa dilarang. Allah Ta’ala berfirman,

أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى

“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS. Al-Qiyamah: 36).

Imam Asy Syafi’i mengatakan,

لاَ يُؤْمَرُ وَلاَ يُنْهَى

“(Apakah mereka diciptakan) tanpa diperintah dan dilarang?”.

Ulama lainnya mengatakan,

لاَ يُثاَبُ وَلاَ يُعَاقَبُ

“(Apakah mereka diciptakan) tanpa ada balasan dan siksaan?” (Lihat Madarij As-Salikin, 1: 98)

Sesungguhnya menjaga dan menyelamatkan agama lebih mulia dan lebih utama daripada hanya sekedar menyelamatkan dunia. Untuk itulah, Allah ’azza wa jalla memerintahkan kaum muslimin yang tertindas, terfitnah agamanya, tidak kuasa menegakkan syi’ar-syi’ar Islam agar melakukan hijrah atau meninggalkan kampung yang rusak menuju kampung yang bisa menyelamatkan agamanya. Allah berfirman :

يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ أَرْضِي وَاسِعَةٌ فَإِيَّايَ فَاعْبُدُونِ

”Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja.” [QS. Al-Ankabuut : 56].


إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

”Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali” [QS. An-Nisaa’ : 97].

Al-Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah berkata : ”Ayat yang mulia ini turun mencakup untuk setiap orang yang tinggal di tengah-tengah orang-orang musyrik sedangkan ia mampu hijrah dan dia tidak mampu untuk menegakkan agama, maka sesungguhnya dia mendhalimi dirinya dan melakukan keharaman dengan ijma’ ulama dan berdasarkan ketegasan ayat ini”.

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata : ”Ini adalah ancaman yang sangat keras, yang menunjukkan wajib, sebab menegakkan kewajiban agama hukumnya wajib bagi yang mampu, sedangkan tidak mungkin hal itu terpenuhi kecuali dengan hijrah, maka hijrahnya jadi ikut wajib”.

Dan tidak ragu lagi bahwa keumuman ayat ini juga mencakup lebih dari sekedar hijrah dari negeri kafir, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Al-Qurthubi dalam Tafsirnya 5/346, katanya : ”Dalam ayat ini terdapat dalil tentang hijrah dari kampung yang banyak maksiat di dalamnya. Sa’id bin Jubair berkata : ”Apabila banyak kemaksiatan di suatu kampung, maka keluarlah dari kampung itu, beliau seraya membaca ayat di atas”.

Namun, anehnya masih banyak kalangan yang belum memahami masalah hijrah ini atau ada yang mengerti tapi karena cinta dunia maka diapun melalaikannya. Tak cukup hanya itu, tatkala ada seorang ulama Sunnah yang berfatwa sesuai dalil, maka mereka dengan kejahilan dan kecintaan dunianya menudingnya sebagai antek Yahudi, setan, gila, dan gelar-gelar memalukan lainnya ! Oleh karena itu, kami merasa penting untuk membahas masalah ini untuk menghilangkan kabut yang menghalangi terangnya matahari. Wallaahu a’lam.

Menjadi Manusia Ideal

Manusia ideal tentu saja yang merealisasikan tujuan penciptaannya di atas. Ia menjalankan yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Perintah dan larangan ini dalam hal hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama. Manusia ideal adalah yang baik terhadap Allah dan terhadap manusia. Kriteria ini masuk dalam kriteria orang shalih.

Ibnu Hajar berkata, “Shalih sendiri berarti,

الْقَائِم بِمَا يَجِب عَلَيْهِ مِنْ حُقُوق اللَّه وَحُقُوق عِبَاده وَتَتَفَاوَت دَرَجَاته

“Orang yang menjalankan kewajiban terhadap Allah dan kewajiban terhadap sesama hamba Allah. Kedudukan shalih pun bertingkat-tingkat” (Fath Al-Bari, 2: 314).

Karena Rasul tidak hanya diutus untuk membetulkan ibadah, namun juga mengajarkan akhlak sesama. Disebutkan dalam hadits, dari Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlak.” (HR. Ahmad, 2: 381. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Mendekati Ideal

Dari hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,ia berkata,

إِنّمَا النَّاسُ كَالإِبْلِ المِائَةِ لاَ تَكَادُ تَجِدُ فِيْهَا رَاحِلَةٌ

“Sesungguhnya manusia seperti unta sebanyak seratus, hampir-hampir tidaklah engkau dapatkan di antara unta-unta tersebut, seekor pun yang layak untuk ditunggangi.” (HR. Bukhari, no. 6498).

Maksud hadits, tak ada memang yang sempurna. Namun tetap memang ada yang mendekati ideal atau kesempurnaan.

Karena Rasul juga mengatakan bahwa yang terbaik bukanlah orang yang tidak pernah berbuat dosa. Setiap manusia pernah berbuat salah. Yang paling baik dari mereka adalah yang mau bertaubat.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Setiap manusia pernah berbuat salah. Namun yang paling baik dari yang berbuat salah adalah yang mau bertaubat.” (HR. Tirmidzi no. 2499; Ibnu Majah, no. 4251; Ahmad, 3: 198. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Kata Ibnu Rajab dalam Fathul Barinya, yang dimaksud at-tawwabun adalah:

أَيْ الرَّجَّاعُونَ إِلَى اللَّهِ بِالتَّوْبَةِ مِنْ الْمَعْصِيَةِ إِلَى الطَّاعَةِ .

“Orang yang mau kembali pada Allah dari maksiat menuju ketaatan.“ Artinya, mau berhijrah dari maksiat dahulu menjadi lebih baik saat ini.

Tentu saja hijrah tersebut haruslah tulus lillah, tulus karena Allah …

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At Tahrim: 8)

Ibnu Katsir menerangkan mengenai taubat yang tulus sebagaimana diutarakan oleh para ulama, “Taubat yang tulus yaitu dengan menghindari dosa untuk saat ini, menyesali dosa yang telah lalu, bertekad tidak mengulangi dosa itu lagi di masa akan datang. Lalu jika dosa tersebut berkaitan dengan hak sesama manusia, maka ia harus menyelesaikannya atau mengembalikannya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7: 323).

Hudzaifah pernah berkata,

بحسب المرءِ من الكذب أنْ يقول : أستغفر الله ، ثم يعود

“Cukup seseorang dikatakan berdusta ketika ia mengucapkan, “Aku beristighfar pada Allah (aku memohon ampun pada Allah) lantas ia mengulangi dosa tersebut lagi.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 411).

Siapa Saja yang Mau Berhijrah …

Siapa saja yang mau berhijrah, Allah akan menerima hijrahnya.

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar: 53).

Tentu saja setelah berhijrah, seseorang harus punya tekad menjadi baik dan bertekad tidak mengulangi lagi maksiat yang dahulu dilakukan.

ثَوَابُ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا

“Balasan dari kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.”

Begitu juga dalam ayat disebutkan,

وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى

“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.” (QS. Maryam: 76)

Agar Bisa Istiqamah dalam Berhijrah?

Ingatlah kalau bisa istiqamah, itu benar-benar suatu karunia yang besar. Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah disampaikan oleh muridnya Ibnul Qayyim dalam Madarij As-Salikin,

أَعْظَمُ الكَرَامَةِ لُزُوْمُ الاِسْتِقَامَةِ

“Karamah yang paling besar adalah bisa terus istiqamah.”

Kiat agar bisa terus istiqamah adalah:

Harus dimulai dengan niatan yang ikhlas.Meninggalkan maskiat dahulu yang dilakukan.Bertekad untuk jadi lebih baik.Mencari lingkungan bergaul yang baik.Berusaha terus menambah ilmu lewat majelis ilmu.Memperbanyak doa.

Terutama masalah teman, ini teramat penting. Karena tanpa teman yang baik, kita sulit untuk berubah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian”. (HR. Abu Daud, no. 4833; Tirmidzi, no. 2378; Ahmad, 2: 344. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. LihatShahihul Jaami’ 3545).

Teman-teman shalih bisa didapat di majelis ilmu. Kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari, no. 2101, dari Abu Musa)

Yang jelas hijrah tersebut harus ikhlas karena Allah, bukan karena cari ridha manusia.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وما لا يكون له لا ينفع ولا يدوم

“Segala sesuatu yang tidak didasari ikhlas karena Allah, pasti tidak bermanfaat dan tidak akan kekal.”  (Dar-ut Ta’arudh Al ‘Aql wan Naql, 2: 188).

Para ulama juga memiliki istilah lain,

ما كان لله يبقى

“Segala sesuatu yang didasari ikhlas karena Allah, pasti akan langgeng.”

Juga jangan lupa untuk panjatkan doa pada Allah. Karena tanpa pertolongan-Nya, kita tak berdaya dengan berbagai godaan. Do’a yang paling sering nabi panjatkan agar bisa terus istiqamah adalah,

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

“Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”

Ummu Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa do’a tersebut yang sering beliau baca. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menjawab,

يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ

“Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.”

Dalam riwayat lain dikatakan,

إِنَّ الْقُلُوبَ بِيَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُقَلِّبُهَا

“Sesungguhnya hati berada di tangan Allah ‘azza wa jalla, Allah yang membolak-balikkannya.”

Kapan Mau Hijrah?

Allah Ta’ala menyeru kita,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133)

Dalam ayat di atas disuruh bersegera bertaubat. Ini berarti disuruh pula untuk segera meninggalkan maksiat dan raihlah ampunan Allah. Ini maksud yang sama yang berisi perintah untuk segera berhijrah.

Imam Asy-Syaukani dalam Fath Al-Qadir menyatakan,

سارعوا إلى ما يوجب المغفرة من الطاعات

“Bersegeralah meraih ampunan Allah dengan melakukan ketaatan.”

Makna Hijrah

Hijrah adalah perpindahan dari satu situasi atau kondisi yang satu ke kondisi atau situasi yang lain. Hijrah merupakan perbuatan yang dianjurkan oleh Allah SWT, bahkan bisa wajib tatkala sangat diperlukan. Secara garis besarnya hijrah itu terdiri yang bersifat fisik yaitu perpindahan tempat, dan yang bersifat non fisik yaitu perpindahan situasi atau mengubah keadaan. Hijrah bisa bernilai ibadah, jika untuk Allah dan mengikuti Rasul-Nya, dan tidak bernilai ibadah bila dilakukan bukan untuk mencarai ridla Allah SW. Beliau menandaskan lagi dalam sabdanya:

 ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Barangsiapa yang hijrahnya untuk kepentingan duniawi, atau kepentingan wanita yang dinikahi, maka manfaat hijrahnya pun sesuai dengan apa yang dituju.

Hadits ini juga mengisyaratkan bahwa hijrah itu ada yang syar’i, ada pula yang tidak. Hijrah yang syar’i adalah perpindahan untuk kepentingan tegaknya al-Islam, demi meraih ridla Allah. Sedangkan hijrah yang tidak bernilai syar’i adalah yang bukan kepentingan jalan Allah, dan tidak bertujuan meraih ridla-Nya. Oleh karena itu, supaya segalanya bernilai ibadah, ikhlaskan tujuan untuk mencari ridla Allah dan melakukannya berdasar syari’ah Allah, serta mengikuti sunnah Rasul-Nya.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أُنْزِلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعِينَ فَمَكَثَ بِمَكَّةَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ سَنَةً ثُمَّ أُمِرَ بِالْهِجْرَةِ فَهَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ فَمَكَثَ بِهَا عَشْرَ سِنِينَ ثُمَّ تُوُفِّيَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Ibnu Abbas, meriwayatkan bahwa Rasûl SAW menerima wahyu ketika berusia empat puluh tahun, kemudian tetap di Mekah selama tiga belas tahun, kemudian diperintah hijrah. Beliau hijrah ke Madinah dan berada di sana selama sepuluh tahun hingga wafat. Hr. Ahmad (164-241H), al-Bukhari (194-256H),

Da’wah Islam yang dilakukan Rasul SAW pada awalnya secara sembunyi-sembunyi, kemudian bertambah luas hingga jumlah kaum muslimin empat puluh orang, yang kemudian dibina secara khusus di Bait al-Arqam.Kaum Quraisy berusaha menghalangi risalah dengan berbagai usaha, mulai dari berbagai tawaran, rayuan hingga kekerasan. Sejak tahun keempat kenabian, banyak kaum muslimin yang disiksa secara kejam, hingga mendorong Rasul untuk menghijrahkan shahabatnya ke Habsyah pada pertengahan tahun kelima. Rombongan pertama sebanyak sepuluh orang, antara lain Utsman bin Affan beserta istrinya, Ruqayah putri Rasul; Abdurrahman bin Auf, dan Zubair bin Awwam. Rombongan kedua dipimpin Ja’far sebanyak seratus orang. Pada bulan Dzul-hijah tahun keenam kenabian, Umar bin Khathab dan Hamzah masuk Islam, yang mengakibatkan semakin menambah kebencian musyrikin.

Pada tahun ketujuh dari kenabian, Bani Hasyim diboikot perekonomiannya hingga menyengsarakan. Walaupun kaum muslimin mendapat cobaan berat dari segala penjuru, terutama penindasan kaum musyrikin, baik dalam bidang ekonomi maupun politik, semua itu tidak menurunkan semangat Rasul SAW dalam berda’wah. Pada tahun itu juga, Abu Thalib sebagai pimpinan suku Bani Hasyim dan Siti Khadijah isteri Rasul yang mendukung da’wah baik materil maupun immateril, wafat.

Pada bulan syawal tahun kesepuluh dari kenabian (Mei-Juni 619 M), Rasul berangkat ke Tha’if. Namun ternyata orang Tha`if belum meraih hidayah, Rasul diperlakukan tidak layak oleh mereka bahkan mendapat lemparan batu dan kotoran hingga terluka. Menurut sebagian riwayat, setelah Rasul SAW kembali ke Mekkah maka tahun itu pula Isra dan Mi’raj terjadi, sekaligus turun perintah shalat lima waktu.

Da’wah selanjutnya dilakukan dengan mendatangi berbagai lapisan masyarakat seperti Bani Kilab, Bani Hanifah, Bani Amir, dan ternyata mendapat sambutan yang menggembirakan. Pada musim haji berikutnya, berdatanganlah masyarakat dari berbagai penjuru, yang dimanfaatkan Rasul SAW untuk menda’wahi berbagai kafilah dari luar penduduk Mekah. Di awal tahun kesebelas dari kenabian banyak orang Yatsrib  yang masuk Islam seperti: Suwaib bin Shamit, Iyas bin Mu’adz, Tufail bin Amr, dan Dlamad al-Azdi.

Pada musim haji tahun kesebelas dari kenabian (Juli 620 M), jamaah Yatsrib masuk Islam. Mereka adalah kaum muda Bani Najar seperti As’ad bin Zararah dan Auf bin Haris,  dari Bani  Zuraiq seperti Rafi’ bin Malik, dari bani Salmah seperti Qathbah bin Amir, dari Bani Haram bernama Uqbah, dan dari Bani Ubaid bernama Jabir bin Abdillah. Mereka bertekad akan menda’wahkan Islam di Yatsrib sebagai kampung halamannya.

Pada musim haji tahun keduabelas (Juli 621 M), bersama lima orang yang sudah masuk Islam tahun sebelumnya (di luar Jabir), tujuh penduduk Yatsrib bangsa Khazraj yaitu Mu’adz, Dzakwan, Ubadah, Yazid dan Abbas serta bangsa Aus yaitu Abul-Haitsam dan Uwaim berbai’at kepada Rasul di Aqabah untuk diangkat menjadi juru da’wah. Inilah yang dinamakan Bai’at al-Aqabah pertama. Rasul pun mengutus Mush’ab bin Umair untuk ikut ke Yatsrib sebagai utusan dan melihat situasi di sana.

Pada musim haji tahun berikutnya (Juni 622 M), sebanyak 73 orang Yatsrib menunaikan haji dan berbai’at pada Rasul sebagai juru da’wah Islam, yang dinamakan Baiat al-Aqabah kedua. Mereka juga mengundang Rasul untuk hijrah ke Yatsrib, dilatarbelakangi antara lain: (1) memperluas da’wah, (2) menyelamatkan muslimin yang tertindas di Mekah dan (3) menjalin persaudaraan antara Aus dan Khazraj yang telah lama bermusuhan.

Di sisi lain, semakin luasnya jangkauan da’wah Rasul dan bertambahnya jumah muslimin, berakibat kaum musyrikin semakin membenci Rasul. Mulai saat itu kaum muslimin diperintah Rasul untuk hijrah ke Yatsrib secara berangsur. Pada hari Kamis, 26 Shafar (12-september- 622 M) para pembesar Quraisy semacam parlemen, berkumpul di Dar al-Nadwa yang diikuti oleh Abu Jahl bin Hisyam, Jubair bin Muth’im, Tha’imah, Harits, Syaibah, Utbah, Abu Sufyan, al-Nazhr, Abu al-Bukhturi, Zam’ah, Hakim, Nabih, Munabbih, dan Umayah bin Khalaf. Mereka bersepakat untuk mengepung dan membunuh Rasul SAW. Rasul mengetahui ancaman kaum musyrikin tersebut dan siang harinya beliau mengunjungi rumah Abu Bakr untuk mengajak hijrah, dan kembali ke rumahnya menunggu waktu malam tiba.

Pada malam 27 Shafar (13-9-622 M), Rasul SAW dan Abu Bakr meninggalkan rumah, setelah berpesan pada Ali bin Abi Thalib,untuk menempati tempat tidur beliau, kemudian menuju Goa Tsur. Pada malam itu pula pembesar Quraisy sebanyak sebelas orang mengepung rumah Rasul SAW untuk melaksanakan pesan Dar al-Nadwa, padahal di rumah tersebut hanya ada Ali bin Abi Thalib. Rasul dan Abu Bakr berada di Goa Tsur selama tiga malam, hingga malam Ahad tanggal 30 Shafar.

Pada hari Senin 1 Rabi al-Awal, Rasul melanjutkan perjalanan menuju Yatsrib. Senin 8 Rabi’ul-Awal /23-September-622 M (perjalanan Tsur-Quba ditempuh dalam waktu satu pekan), Rasul dengan Abu Bakr tiba di Quba dan mendirikan Masjid di depan Rumah Kalstum bin al-Hadm.Di Quba, Rasul menginap empat malam dan hari Jum’at melanjutkan perjalanan. Waktu zhuhur sampai di daerah Bani Salim bin ‘Awf, perintah shalat Jum’at turun dan melakukan shalat Jum’at dengan berjamaah bersama seratus muslimin. Setelah shalat Jum’at Rasul melanjutkan perjalanan dan sampai di Yatsrib tanggal 12 rabi’ul Awal. Inilah hijrah terbesar yang dilakukan Rasul SAW bersama kaum muslimin. Kota Yatsrib kemudian diberi nama al-Madinah al-Munawarah, sebagai pusat bersinarnya syi’ar Islam ke seluruh penjuru dunia.

Hijrah menurut bahasa berarti pindah, baik secara fisik maupun non fisik. Al-Qurthubi (w.671H) menandaskan:

الهجْرة معْنَاهَا الإنْتِقَال مِنْ مَوْضِعٍ إلَى مَوْضِعٍ وَقَصْدُ تَرْكِ الأوَّل إِيْثَارًا لِلثَّانِي

Hijrah berarti pindah dari satu tempat ke tempat lain dan menyengaja meninggalkan satu posisi awal menuju posisi yang ke dua.

Pengertian semacam ini bisa dipahami bahwa hijrah itu perpindahan posisi, baik secara fisik maupun non fisik. Perpindahan fisik adalah pindah dari tempat yang diduduki, sedangkan pindah non fisik adalah pindah pendirian, pergantian sikap, atau perubahan tingkah laku. Menurut mufasir, orang yang berhijrah adalah:

تَرَكُوا دِيَارَهُم خَوْفَ الفِتْنة وَالإضْطِهَاد فِي ذَات الله

Meninggalkan kampung halaman karena Allah demi menyelamatkan diri dari kekacauan dan penindasan.

Mahmud Hijazi menjelaskan bahwa yang berhijrah adalah:

فََارَقُوا الأهْلَ وَالأوْطَانَ لإعْلاَءِ كَلِمَةِ الله وَنَصْرِ دِيْنِهِ وَلَحَقُوا بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم

Meninggalkan keluarga dan kampung halaman untuk menegakkan kalimah Allah, membela agama dan mengikuti Rasul SAW.

Orang yang berhijrah karena didasari iman dan untuk jihad, maka akan meraih rahmat dan ampunan Allah SWT. Firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Qs.2:218.

Selanjutnya arti hijrah tersirat dalam sabda Rasul SAW, sebagai berikut:

الُمهَاجِرُمَنْ هَاجَرَ  مَا نَهَى الله عَنْهُ

Orang hijrah adalah yang meninggalkan segala yang dilarang  Allah SWT. Hr. Ahmad (164-241H), Ibn Hibban (w.354 H)

Menurut  riwayat al-Thabarani (260-360H), dalam khutbah Haji Wada, Rasul bersabda:

المُهَاجِرُ مَنْ  هَاجَرَ السَّيِّئَاتِ

Orang yang berhijrah adalah yang meninggalkan segala keburukan.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar