Kebenaran tidak hanya satu sisi saja di dalam pembuktiannya, melainkan banyak sisi lainnya yang membuktikan kebenaran tersebut. Kebenaran Akidah Ahlus sunnah wal Jama’ah bukan hanya satu sisi saja untuk membuktikan kebenarannya, namun banyak sisi pembuktian yang menyatakan kebenaran Ahlus sunnah wal Jama’ah.
Salah satu hadits berikut ini, juga merupakan satu sisi dari sekian banyak sisi dari pembuktian kebenaran ajaran Ahlus sunnah wal Jama’ah, karena tidak ada lain akidah dan ajarannya bersumber dari akidah dan ajaran Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ فَلَنِعْمَ الْاَمِيرُ اَمِيرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ قَالَ فَدَعَانِي مَسْلَمَةُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ فَسَاَلَنِي فَحَدَّثْتُهُ فَغَزَا الْقُسْطَنْطِينِيَّةَ
“Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.”[HR Ahmad]
Hadits ini juga disebutkan oleh al-Hakim dalam Mustadraknya no. 8300 dan beliau menilai sahih sanad hadits tersebut, diikuti juga oleh adz-Dzahabi dalam Talkhis al-Mustadraknya. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabirnya : 1216. Al-Bukhari dalam at-Tarikh al-Kabirnya : 1760. Al-Haitsami juga menyebutkan dalam Majma’ az-Zawaidnya : 10384 dan mengatakan para perowinya tsiqah (terpercaya). Ibnu Abdil Barr juga menyebutkan dalam al-isti’abnya dan menilainya sanadnya hasan. As-Suyuthi juga menyebutkan hadits ini dalam al-Jami’ ash-Shagirnya : 7227 dan menilai hadits ini sahih.
Maka yang menilai hadits ini sahih adalah :
1. Al-Hakim
2. Adz-Dzahabi
3. Ibnu Abdil Barr, beliau menilainya hasan.
4. Al-Haitsami, beliau menilainya tsiqah semua perowinya.
5. As-Suyuthi, beliau menilai sahih.
Hadits ini juga memiliki syahid sebagai berikut :
عن أبي قبيل قال: سمعت عبد الله بن عمرو وسئل: أي المدينتين يفتح أولا قسطنطينة أو رومية ؟ قال: فدعا عبد الله بن عمرو بصندوق له حلق فأخرج منه كتابا فجعل يقرأه قال فقال: بينما نحن حول رسول الله صلى الله عليه وسلم نكتب إذ سئل: أي المدينتين يفتح أولا قسطنطينية أو رومية؟ فقال النبي صلى الله عليه وسلم: بل مدينة هرقل أولا تفتح
“ Abu Qubail berkata: Ketika kita sedang bersama Abdullah bin Amr bin al-Ash, dia ditanya: Kota manakah yang akan dibuka terlebih dahulu; Konstantinopel atau Rumiyah?Abdullah meminta kotak dengan lingkaran-lingkaran miliknya. Kemudian dia mengeluarkan kitab. Abdullah berkata: Ketika kita sedang menulis di sekitar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau ditanya: Dua kota ini manakah yang dibuka lebih dulu: Konstantinopel atau Rumiyah/Roma?Rasul menjawab, “Kota Heraklius dibuka lebih dahulu.” Yaitu: Konstantinopel. (HR. Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Abi Syaibah dan al-Hakim)
Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim. Adz-Dzahabi sepakat dengan al-Hakim. Sementara Abdul Ghani al-Maqdisi berkata: Hadits ini hasan sanadnya. Al-Albani sependapat dengan al-Hakim dan adz-Dzahabi bahwa hadits ini shahih.
Sedangkan yang mendhoifkan hadits (pertama) tersebut adalah :
1. Albani, silakan lihat di Adl-Dla’iifah Albani no. 878
2. Syu’aib al-Arnauth, lihat dalam Takhriij Al-Musnad 31/287-288
Alasan al-Arnauth menilai hadits tersebut dhaif adalah kemajhulan Abdullah bin Bisyr Al-Khats’amiy. Sedangkan Alasan Albani menilai hadits tersebut dhaif adalah tafarrudnya Abdullah bin Bisyr Al-Ghanawi dan juga kemajhulannya. Albani mengira al-Ghanawi bukanlah al-Khats’amy yang dinilai tisqah para ulama dengan melihat tarjamah dari Ibnu Hajar al-Atsqalani yang juga tidak memastikannya.
Tanggapan kami :
Pertama : Penilaian sahih (tashih) para ulama di atas terhadap hadits tersebut, merupakan juga penilaian sifat ‘adalah (ta’dil) kepada para perowinya. Sebagaimana kaidah hadits masyhur berikut ini :
إن التصحيح فرع عن التوثيق
“ Sesungguhnya tashih (penilaian sahih) itu merupakan cabang dari tautsiq (penilaian tsiqah) “.
Kedua : Penilaian Takhrij al-Arnauth salah, karena sesungguhnya al-Khats’amy itu ma’ruf tidak majhul. Biografinya disebutkan banyak ulama ahli hadits dan juga diriwayatkan oleh al-Jama’ah. Ibnu Hajar mengatakan ia shaduq, adz-Dzahabi menilai ia tsiqah. Abu Hatim mengenalnya sebagaimana disebutkan dalam al-Ishabah :
ويقال الخثعمي قال أبو حاتم مصري له صحبة وقال بن السكن عداده في أهل الشام
“ Dikatakan juga ia adalah al-Khats’amy, Abu Hatim mengatakan, “ Ia seorang dari Mesir dan memiliki shuhbah (sahabat Nabi) “, Ibnu as-Sakan mengatakan, “ ia termasuk penduduk Syam “.
Ketiga : penilaian dhaif Albani terhadap al-Ghanawi juga salah, sebab al-Ghanawi telah ditautsiq (dinilai tsiqah) oleh Ibnu Hibban. Ia mengira al-Ghanawi lain orang dan bukan al-Khats’amy yang tsiqah. Padahal al-Hafidz Ibnu Hajar tidak memastikan hal itu. Abu Hatim mengatakan tentang al-Ghanawi dengan ucapannya “ Syaikh “ yakni seorang syaikh. Padahal Albani dalam kitabnya al-Fawaid al-Haditsiyyah halaman 63 mengatakan bahwa sebutan syaikh adalah dinilai dalam martabah / tingkatan ta’dil.
Siapakah yang menaklukkan Konstantinopel ?
Sejak Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang akan ada sebaik-baik amir dan sebaik-baik pasukannya yang menaklukkan Konstantinopel, maka para sahabat berkeinginan dan berharap mampu menaklukkan Konstantinopel karena bercita-cita mendapat rekomendasi dari sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Betapa tidak, Rasulullah memang benar-benar memuji sosok sang amir dan pasukannya tersebut. Hingga setiap orang di masa sahabat bahkan di masa tabi’in berharap menjadi sosok tersebut.
Konstantinopel Kota yang hari ini dikenal dengan nama Istambul, Turki. Dulunya berada di bawah kekuasaan Byzantium yang beragama Kristen Ortodoks yang merupakan salah satu pecahan dari kekaisaran Romawi yang terpecah menjadi dua, satunya adalah Katholik Roma di Vatikan. Perpecahan tersebut sebagai akibat konflik gereja meskipun dunia masih tetap mengakui keduanya sebagai pusat peradaban. Constantine The Great memilih kota di selat Bosphorus tersebut sebagai ibukota, dengan alasan strategis di batas Eropa dan Asia, baik di darat sebagai salah satu Jalur Sutera maupun di laut antara Laut Tengah dengan Laut Hitam dan dianggap sebagai titik terbaik sebagai pusat kebudayaan dunia, setidaknya pada kondisi geopolitik saat itu. Constantinople yang kini menjadi Istanbul. Perpecahan tersebut sebagai akibat konflik gereja meskipun dunia masih tetap mengakui keduanya sebagai pusat peradaban. Constantine The Great memilih kota di selat Bosphorus tersebut sebagai ibukota, dengan alasan strategis di batas Eropa dan Asia, baik di darat sebagai salah satu Jalur Sutera maupun di laut antara Laut Tengah dengan Laut Hitam dan dianggap sebagai titik terbaik sebagai pusat kebudayaan dunia, setidaknya pada kondisi geopolitik saat itu.
Yang mengincar kota ini untuk dikuasai termasuk bangsa Gothik, Avars, Persia, Bulgar, Rusia, Khazar, Arab Muslim dan Pasukan Salib meskipun misi awalnya adalah menguasai Jerusalem. Arab-Muslim terdorong ingin menguasai Byzantium tidak hanya karena nilai strategisnya, tapi juga atas kepercayaan kepada ramalan Rasulullah SAW melalui riwayat Hadits di atas.
Sayangnya, prestasi yang satu itu, yaitu menaklukkan kota kebanggaan bangsa Romawi, Konstantinopel, tidak pernah ada yang mampu melakukannya. Tidak dari kalangan sahabat, tidak juga dari kalangan tabi`in, tidak juga dari kalangan khilafah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah.
Di masa sahabat, memang pasukan muslim sudah sangat dekat dengan kota itu, bahkan salah satu anggota pasukannya dikuburkan di seberang pantainya, yaitu Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahuanhu. Tetapi tetap saja kota itu belum pernah jatuh ke tangan umat Islam sampai 800 tahun lamanya.
Konstantinopel memang sebuah kota yang sangat kuat, dan hanya sosok yang kuat pula yang dapat menaklukkannya. Sepanjang sejarah kota itu menjadi kota pusat peradaban barat, dimana Kaisar Heraklius bertahta. Kaisar Heraklius adalah penguasa Romawi yang hidup di zaman Nabi SAW, bahkan pernah menerima langsung surat ajakan masuk Islam dari beliau SAW.
Konstantinopel juga merupakan salah satu bandar termasyhur dunia. Bandar ini tercatat dalam tinta emas sejarah Islam khususnya pada masa Kesultanan Utsmaniyah, ketika meluaskan wilayah sekaligus melebarkan pengaruh Islam di banyak negara. Bandar ini didirikan tahun 330 M oleh Maharaja Bizantium yakni Constantine I. Kedudukannya yang strategis, membuatnya punya tempat istimewa ketika umat Islam memulai pertumbuhan di masa Kekaisaran Bizantium. Rasulullah Shallallahu ”Alaihi Wasallam juga telah beberapa kali memberikan kabar gembira tentang penguasaan kota ini ke tangan umat Islam seperti dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ”Alaihi Wasallam pada perang Khandaq.
Para khalifah dan pemimpin Islam pun selalu berusaha menaklukkan Konstantinopel. Usaha pertama dilancarkan tahun 44 H di zaman Mu”awiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu ”Anhu. Akan tetapi, usaha itu gagal. Upaya yang sama juga dilakukan pada zaman Khilafah Umayyah. Di zaman pemerintahan Abbasiyyah, beberapa usaha diteruskan tetapi masih menemui kegagalan termasuk di zaman Khalifah Harun al-Rasyid tahun 190 H.
Setelah kejatuhan Baghdad tahun 656 H, usaha menawan Kostantinopel diteruskan oleh kerajaan-kerajaan kecil di Asia Timur (Anatolia) terutama Kerajaan Seljuk. Pemimpinnya, Alp Arselan (455-465 H/1063-1072 M) berhasil mengalahkan Kaisar Roma, Dimonos (Romanus IV/Armanus), tahun 463 H/1070 M. Akibatnya sebagian besar wilayah Kekaisaran Roma takluk di bawah pengaruh Islam Seljuk.
Awal kurun ke-8 hijriyah, Daulah Utsmaniyah mengadakan kesepakatan bersama Seljuk. Kerjasama ini memberi nafas baru kepada usaha umat Islam untuk menguasai Konstantinopel. Usaha pertama dibuat di zaman Sultan Yildirim Bayazid saat dia mengepung bandar itu tahun 796 H/1393 M. Peluang yang ada telah digunakan oleh Sultan Bayazid untuk memaksa Kaisar Bizantium menyerahkan Konstantinople secara aman kepada umat Islam. Akan tetapi, usahanya menemui kegagalan karena datangnya bantuan dari Eropa dan serbuan bangsa Mongol di bawah pimpinan Timur Lenk.
Selepas Daulah Utsmaniyyah mencapai perkembangan yang lebih maju dan terarah, semangat jihad hidup kembali dengan nafas baru. Hasrat dan kesungguhan itu telah mendorong Sultan Murad II (824-863 H/1421-1451 M) untuk meneruskan usaha menaklukkan Kostantinopel. Beberapa usaha berhasil dibuat untuk mengepung kota itu tetapi dalam masa yang sama terjadi pengkhianatan di pihak umat Islam. Kaisar Bizantium menabur benih fitnah dan mengucar-kacirkan barisan tentara Islam. Usaha Sultan Murad II tidak berhasil sampai pada zaman anak beliau, Sultan Muhammad Al-Fatih (Mehmed II), sultan ke-7 Daulah Utsmaniyyah.
Hingga pada abad ke delapan tepatnya Tahun 857 H / 1453 M, kota Konstantinopel dengan benteng legendaris tak tertembus akhirnya runtuh di tangan Sultan Muhammad al-Fatih, sultan ke-7 Turki Utsmani. Oleh sebab itulah beliau terkenal dengan julukan al-Fatih yang bermakna sang pembuka atau penakluk.
Biografi Singkat
Sultan Muhammad II ini dilahirkan pada 29 Maret 1432 Masehi di Adrianapolis (perbatasan Turki – Bulgaria). menaiki tahta ketika berusia 19 tahun dan memerintah selama 30 tahun (1451 – 1481), beliau dijuluki dengan al-Fatih (sang pembuka/penakluk) dan Abul Khoirat (Suka berbuat kebaikan).
Beliau memimpin Daulah Utsmaniyyah setelah wafat ayahnya sulthan Murad II pada tanggal 16 Muharram tahun 855 Hijriyyah atau bertepatan pada 18 Februari 1451 Masehi. Usia beliau saat itu 19 tahun. Beliau seorang sultan yang kuat dan adil, pemberani, tawadhu’ dan tekun beribadah kepada Allah Ta’ala. Sejak masa pubernya sudah mampu mengungguli tema-teman sebayanya atau orang-orang dewasa saat itu dalam berbagai bidang ilmu. Sangat perhatian kepada rakyat dan bala tentaranya.
Sejak kecil, beliau di didik secara intensif oleh para ulama’ terkemuka di zamannya. Diantara gurunya adalah Muhammad bis Ismail al -Qourani al-Kurdi. Dibawah bimbingannya, Muhammad belajar dengan giat dan hafal al-Quran sejak usia dini. Di zaman ayahnya, yaitu Sultan Murad II, Sultan Murad II telah menghantar beberapa orang ulama’ untuk mengajar anaknya (Sultan Muhammad Al-Fatih), tetapi oleh Sultan Muhammad Al-Fatih menolaknya. Lalu, dia menghantar Asy-Syeikh Al-Kurani dan memberikan kuasa kepadanya untuk memukul Sultan Muhammad Al-Fatih jika beliau membantah perintah gurunya. Ia juga mengaji berbagai macam disiplin ilmu kepada Syekh Aaq Syamsuddin (Samsettin). Namanya yang sebenar ialah Muhammad bin Hamzah Ad-Dimasyqi Ar-Rumi yang mana nasabnya sampai kepada Saidina Abu Bakar As-Siddiq RA. Asy-Syeikh Aaq Samsettin (Syamsuddin) merupakan murabbi Sultan Muhammad Al-Fatih yang hakiki. Dia mengajar Amir Muhammad ilmu-ilmu agama seperti Al-Qur”an, hadits, fiqih, bahasa (Arab, Parsi dan Turki), matematika, falak, sejarah, ilmu peperangan dan sebagainya, Syeikh Aaq Syamsudin lantas meyakinkan Amir Muhammad bahwa dia adalah orang yang dimaksudkan oleh Rasulullah Shallallahu ”Alaihi Wasallam di dalam hadits pembukaan Kostantinopel.
Syaikh Aaq Syamsuddin bukan hanya pakar dalam bidang ilmu agama, beliau juga pakar dalam bidang pengobatan. Sehingga imam asy-Syaukani mengatakan :
وصار مع كونه طبيباً للقلوب طبيباً للأبدان فإنه اشتهر أن الشجرة كانت تناديه وتقول: أنا شفاء من المرض الفلاني ثم اشتهرت بركته وظهر فضله
“ Beliau selain seorang dokter bagi hati, belaiau juga seorang dokter bagi tubuh, karena telah tersohor / terkenal bahwa pohon seolah memanggilnya dan berkata, “ Aku adalah obat bagi penyakit fulan “, kemudian tersohor lah keberkahan dan tampaklah keutamaannya “
Semenjak kecil, Sultan Muhammad Al-Fatih telah mencermati usaha ayahnya menaklukkan Konstantinopel. Bahkan beliau mengkaji usaha-usaha yang pernah dibuat sepanjang sejarah Islam ke arah itu, sehingga menimbulkan keinginan yang kuat baginya meneruskan cita-cita umat Islam. Ketika beliau naik tahta pada tahun 855 H/1451 M, dia telah mulai berpikir dan menyusun strategi untuk menawan kota bandar tadi.
Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan tentang sultan Muhammad :
محمد خان بن مراد خان بن محمد خان بن بايزيد خان بن اورخان ابن عثمان الغازى سلطان الروم وابن سلاطينها ولد سنة 836 ست وثلاثين وثمان مائة وهو الذي أسس ملك بنى عثمان وقرر قواعده ومهد قوانينه وهو الذي افتتح القسطنطينة الكبرى وساق إليها السفن برا وبحرا وكان فتحها في يوم الأربعاء من جمادى الآخرة سنة 857 واستقر بها هو ومن بعده من السلاطين وبنى بها المدارس الثمان المشهورةوكان مائلا إلى العلماء مقربا لهم يخلطهم بنفسه ويأخذ عنهم في كل علم ويحسن إليهم ويستجلبهم من الأقطار النائية ويراسلهم ويفرح إذا دخل إلى مملكته واحد منهم وله معهم أخبار مبسوطة في الشقائق النعمانية عند ذكر علماء دولته وتوفي سنة 886 ست وثمانين وثمان مائة
“ Muhammad khan bin Murad khan bin Muhammad Khan Bayazid Khan bin Uru Khan bin utsman al-Ghazi. Beliau seorang sultan Romawi putra para sultan, dilhairkan tahun 836 Hijriyyah. Beliaulah yang membangun Bani Utsman dan menetapkan kaidah dan perundangangannya. Beliau juga lah yang menaklukkan Konstantinopel besar, dengan menggiring kapal-kapal baik secara daratan maupun lautan. Penaklukkannya terjadi pada hari Rabu Jumadil Akhir 857 H. beliau dan sultan setelahnya menetap di sana, membangun delapan madrasah yang terkenal. Beliau selalu condong pada ulama, mendekati mereka dengan sendirinya. Mengambil setiap ilmu dari para ulama, berbuat baik pada mereka, sering berkorespondensi dengan para ulama dari berbagai daerah, dan bahagia jika ada satu ulama yang datang ke kerajaannya. Beliau memiliki sejarah yang luas di berbagai kitab sejarah khususnya dalam kitab asy-Syaqai an-Nu’maniyyah ketika menyebutkan ulama daulahnya. Beliau wafat tahun 886 H. “
Firasat ulama.
Syeikh Bayram mengatakan sekiranya mahu berjaya menawan Kota Konstantinopel tuanku pastikan dahulu tentera dan rakyat tuanku juga baik. Apabila pemimpim baik, tentera baik dan rakyat baik barulah hadis Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam akan menjadi kenyataan. Sultan Murad agak terkejut mendengarnya tapi mengakui kebenaran kata-kata tersebut.
Syeikh Bayram mengatakan, “ Mengikut firasat saya yang dikurniakan Allah, bukan tuanku menawan konstantinopel tetapi putera tuanku “. Sultan Murad terkejut kerana beliau tidak memiliki anak. Namun Syeikh Bayram mengatakan tuanku akan mendapat seorang anak yang baik seperti yang dimaksudkan oleh hadis Rasulullah S.hallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikh Aaq Syamsuddin (Samsettin) mengatakan dalam khutbahnya di hadapan sultan Muhammad al-Fatih dan pasukannya :
ياجنود الاسلام. اعلموا واذكروا أن النبي قال في شأنكم: (لتفتحن القسطنطينية فلنعم الأمير أميرها ولنعم الجيش ذلك الجيش. ونسأل الله سبحانه وتعالى أن يوفقنا ويغفر لنا. ألا لاتسرفوا في ما أصبتم من أموال الغنيمة ولاتبذروا وأنفقوها في البر والخير لأهل هذه المدينة، واسمعوا لسلطانكم وأطيعوه وأحبوه.
“ Wahai prajurit Islam, ketahuilah dan ingatlah bahwa Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda mengenai urusan kalian, Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan “, aku memohoh kepada Allah Ta’ala agar memberikan kita taufiq dan mengampuni dosa kita. Jangan lah kalian berlebihan dari harta ghanimah yang akan kalian peroleh, jangan berbuat mubadzir, infaqkanlah dalam kebaikan bagi penduduk kota tersebut. Ta’atlah kepada sulthan kalian dan cintailah ia “.
Kemudian syaikh menoleh kepada sultan Muhammad dan berkata :
ياسلطاني ، لقد أصبحت قرة عين آل عثمان فكن على الدوام مجاهداً في سبيل الله
“ Wahai sultanku, engkau telah menjadi penyejuk mata bagi keluarga Utsman, teruslah berjihad di jalan Allah “.
Setelah kelak sultan Muhammad berhasil menaklukkan Konstantinopel, beliau mengatakan kepada pasukannya :
إنكم ترونني فرحاً . فرحي ليس فقط لفتح هذه القلعة إن فرحي يتمثل في وجود شيخ عزيز الجانب، في عهدي، هو مؤدبي الشيخ آق شمس الدين
“ Sesungguhnya kalian melihatku bergembira. Kegembiraanku bukan hanya karena menaklukkan kota ini, sesungguhnya kegembiraanku karena wujudnya seorang syaikh mulia di masaku ini di sampingku ini, beliau seorang murabbi dan pendidikku yaitu syaikh Aaq Syamsuddin “
Ahli Ilmu Kedokteran
Syeikh Syamsuddin bukan hanya ahli bidang syariah, tasawuf dan akhlak, namun ia juga dikenal ahli pengobatan. Syeikh memiliki kepedulian terhadap penyakit jasmani, sebagaimana ia peduli dengan penyakit-penyakit rohani. Dia menulis kitab berjudul Maadat al-Hayat. Dalam buku tersebut, Syeikh mengatakan, “Sangat keliru jika dikatakan bahwa penyakit-penyakit itu berpindah dari satu orang ke orang lain dengan cara menular. Penularan ini sangat kecil dan renik, hingga tidak mampu dilihat oleh mata telanjang. Penularan ini terjadi karena adanya kuman yang hidup”.
Dia dikenal orang pertama yang melakukan penelitian kuman pada abad ke-15 M. Dimana pada saat itu belum ada mikroskop. Ia jauh mendahului ilmuan Eropa. Eropa baru melakukan penelitian tentang kuman empat abad setelah Syeikh Syamsudin. Dilakukan oleh Louis Pasteour, ahli Biologi dan Kimia asal Prancis. Namun, dalam dnia ilmu Biologi, Louis Pasteour lebih dikenal daripada Syeikh Syamsuddin.
Karya-karya Syeikh cukup beragam, mulai tentang akhlak, tasawwuf, hingga kedokteran. Di antara karyanya adalah; Madaat al-Hayat, Kitab al-Thibb, Hallul Musykilat, al-Risalah al-Nuriyah, Maqalatul Auliya’, Risalah fi Dzikrillah, Talkhish al-Mata’in, Daf’u al-Mataa’in, Risalah fi Syarh Haaji Bayaram Wali. Syeih Syamsuddin meninggal dunia di kota tempat tinggalnya, Koniyoka, wilayah Turki pada tahun 863 H/1459 M.
Penyerangan ke Konstantinopel.
Hari Jumat, 6 April 1453 M, Muhammad II bersama gurunya Syeikh Aaq Syamsudin, beserta tangan kanannya Halil Pasha dan Zaghanos Pasha merencanakan penyerangan ke Konstantinopel dari berbagai penjuru benteng kota tersebut. Dengan berbekal 250.000 ribu pasukan dan meriam -teknologi baru pada saat itu- Para mujahid lantas diberikan latihan intensif dan selalu diingatkan akan pesan Rasulullah Shallallahu ”Alaihi Wasallam terkait pentingnya Konstantinopel bagi kejayaan Islam.
Muhammad II mengirim surat kepada Paleologus untuk masuk islam atau menyerahkan penguasaan kota secara damai dan membayar upeti atau pilihan terakhir yaitu perang. Constantine menjawab bahwa dia tetap akan mempertahankan kota dengan dibantu Kardinal Isidor, Pangeran Orkhan dan Giovani Giustiniani dari Genoa.
Setelah proses persiapan yang teliti, akhirnya pasukan Sultan Muhammad Al-Fatih tiba di kota Konstantinopel pada hari Kamis 26 Rabiul Awal 857 H atau 6 April 1453 M. Di hadapan tentaranya, Sultan Al-Fatih lebih dahulu berkhutbah mengingatkan tentang kelebihan jihad, kepentingan memuliakan niat dan harapan kemenangan di hadapan Allah Subhana Wa Ta”ala. Dia juga membacakan ayat-ayat Al-Qur”an mengenainya serta hadis Nabi Shallallahu ”Alaihi Wasallam tentang pembukaan kota Konstantinopel. Ini semua memberikan semangat yang tinggi pada bala tentera dan lantas mereka menyambutnya dengan zikir, pujian dan doa kepada Allah Subhana Wa Ta’ala.
Kota dengan benteng 10 m tersebut memang sulit ditembus, selain di sisi luar benteng pun dilindungi oleh parit 7m. Dari sebelah barat pasukan artileri harus membobol benteng dua lapis, dari arah selatan Laut Marmara pasukan laut Turki harus berhadapan dengan pelaut Genoa pimpinan Giustiniani dan dari arah timur armada laut harus masuk ke selat sempit Golden Horn yang sudah dilindungi dengan rantai besar hingga kapal perang ukuran kecil pun tak bisa lewat.
Trik dan strategi yang luar biasa.
Hingga akhirnya sebuah ide yang terdengar bodoh dilakukan hanya dalam waktu semalam. Salah satu pertahanan yang agak lemah adalah melalui Teluk Golden Horn yang sudah dirantai. Ide tersebut akhirnya dilakukan, yaitu dengan memindahkan kapal-kapal melalui darat untuk menghindari rantai penghalang, hanya dalam semalam dan 70-an kapal bisa memasuki wilayah Teluk Golden Horn (ini adalah ide ”tergila” pada masa itu namun Taktik ini diakui sebagai antara taktik peperangan (warfare strategy) yang terbaik di dunia oleh para sejarawan Barat sendiri). Sehingga berkata salah seorang sejarawan :
ما رأينا ولا سمعنا من قبل بمثل هذا الشيء الخارق، محمد الفاتح يحول الأرض الى بحار وتعبر سفنه فوق قمم الجبال بدلاً من الأمواج، لقد فاق محمد الثاني بهذا العمل الأسكندر الأكبر
“ Kami sebelumnya tidak pernah melihat dan mendegar perkara yang luar biasa ini. Muhammad al-Fatih merubah bumi menjadi lautan dan kapal-kapalnya telah berjalan melewati pegunungan tinggi sebagai ganti dari ombak lautan. Sungguh Muhammad II ini telah mengungguli al-Iskandar al-Akbar dengan usahanya itu “.
Kemudian sultan Muhammad membangun benteng kuat di sekitar pinggiran kota Konstantinopel untuk mempersiapkan strategi berikutnya. Dan beliau mulai menyerang musuh dari daratan maupun lautan siang dan malam dengan berbagai peralatan perang tanpa henti, sehingga musuh menjadi lemah. Pasukan sultan Muhammad mengepung dari berbagai titik tempat.
Berhari-hari hingga berminggu-minggu benteng Byzantium tak bisa jebol, kalaupun runtuh membuat celah maka pasukan Constantine langsung mempertahankan celah tersebut dan cepat menutupnya kembali. Usaha lain pun dicoba dengan menggali terowongan di bawah benteng di berbagai titik tempat yang menembus dalam kota. Usaha ini tidak mudah, karena tercium juga oleh pasukan musuh, sehingga tatkala beberapa pasukan sultan Muhammad sudah memasuki jalur kota melalui terowongan tersebut, tiba-tiba pasukan musuh menembakinya dengan bom dan mengurup kembali lubang tersebut, sehingga tidak sedikit pasukan sultan Muhammad yang tewas di dalamnya. Usaha ini terus dilakukan di beberapa tempat lainnya hingga cukup menimbulkan kepanikan musuh di dalam kota tersebut, sehingga mereka bingung, panic sampai mereka berkhayal bahwa suara gerakan kaki mereka ketika berjalan dikira suara galian tanah dari pasukan sultan Muhammad al-Fatih. Mereka khawatir bahwa pasukan sultan Muhammad muncul secara tiba-tiba dari bawah tanah di hadapan mereka di berbagai tempat dalam kota tersebut. Mereka seperti orang mabok, padahal mereka sadar dan tidak mabok.
Kemudian sultan Muhammad membuat staretgi unik lagi untuk menyerang pasukan musuh yaitu dengan membuat benteng terbuat dari kayu, berbentuk tiga sudut putaran yang tinggi dan dapat bergerak. Benteng tersebut dilapisi besi baja yang basah agar terhindar dari panasnya api. Benteng itu disiapkan dengan bebarapa pasukan di setiap sudut putarannya. Yang berada di sudut putaran yang atas, terdiri dari pasukan pemanah yang siap memanah. Benteng bergerak ini berjalan hingga mendekati pagar-pagar musuh dan terjadilah perperangan dahysat. Berhari-hari beliau melakukan stretegi tersebut.
Sultan Muhammad terus memberi semangat jihad kepada para komando perangnya, dalam khutbahnya beliau mengatakan :
إذا تم لنا فتح القسطنطينية تحقق فينا حديث من أحاديث رسول الله ومعجزة من معجزاته وسيكون من حظنا ما أشاد به هذا الحديث من التمجيد والتقدير فأبلغوا أبناءنا العساكر فردا فردا ، أن الظفر العظيم الذي سنحرزه سيزيد الإسلام قدرا وشرفا ، ويجب على كل جندي أن يجعل تعاليم شريعتنا الغراء نصب عينيه فلا يصدر عن أحد منهم ما يجافي هذه التعاليم ، وليتجنبوا الكنائس والمعابد ولا يمسوها بأذى….
“ Jika telah sempurna penaklukan Konstantinopel ini bagi kita, maka nyatalah sudah hadits Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, dan mu’jizat dari mu’jizat beliau, maka menjadi salah satu keberuntungan kita mendapatkan pujian dan rekoemndasi hadits ini. Oleh sebab itu, sampaikan pada putra-putra prajuritt kita masing-masing , bahwasanya kemenangan agung yang akan kita jaga akan menambah kemuliaan Islam. Dan wajib bagi setiap prajurit untuk menjadikan ta’lim syare’at suci kita ini di depan matanya, jangan sampai salah satu dari mereka mengesampingkan ta’lim ini. Dan menjauhi gereja serta kuil-kuil agar tidak menggangunya…”
Pada tanggal 20 Jumadil Ula tahun 857 H bertepatan tanggal 29 May 1435 Masehi pukul 01 pagi hari Selasa, Pasukan sultan Muhammad terus mengepung dan menyerang musuh, hingga Kemudian para mujahidin diperintahkan supaya meninggikan suara takbir kalimah tauhid sambil menyerang kota tersebut. Tentara Utsmaniyyah akhirnya berhasil menembus kota Konstantinopel melalui Pintu Edirne dan mereka mengibarkan bendera Daulah Utsmaniyyah di puncak kota. Kesungguhan dan semangat juang yang tinggi di kalangan tentara Al-Fatih, akhirnya berjaya mengantarkan cita-cita mereka.
Di tengah-tengah kota, sultan Muhammad al-Fatih sambil menunggangi kudanya berseru kepada pasukannya :
لقد أصبحتم فاتحي القسطنطينية الذي أخبر عنهم رسول الله
“ Sungguh kalian hari ini telah berhasil menaklukkan Konstantinopel yang telah Nabi shallahu ‘alaihi wasallam kabarkan “
Beliau memberikan tahniah / ucapan selamat kepada pasukannya dan melarang membunuh tawanan, memrintahkan bersikap lemah lembut dan berbuat baik pada mereka, kemudian beliau turun dari kudanya dan bersujud syukur kepada Allah Ta’ala sebagai rasa syukur, pujian dan rendah hati kepada Allah Ta’ala.
Beliau kemudiannya menuju ke Gereja Aya Sofya yang ketika itu menjadi tempat perlindungan sejumlah besar penduduk kota berkenaan. Ketakutan jelas terbayang di wajah masing-masing bilamana beliau menghampiri pintu. Salah seorang paderi telah membuka pintu gereja, dan Al-Fatih meminta beliau supaya menenangkan sekalian mereka yang ada. Dengan toleransi Al-Fatih, ramai yang keluar dari tempat persembunyian masing-masing bahkan ada di kalangan paderi yang terus menyatakan keislaman mereka.
Selepas itu, Sultan Muhammad Al-Fatih telah mengarahkan supaya gereja berkenaan ditukar menjadi masjid supaya Jumaat pertama nanti akan dikerjakan solat di masjid ini. Para pekerja bertugas bertungkus lumus menanggalkan salib, patung dan gambar-gambar untuk tujuan berkenaan. Pada hari Jumaat itu, Sultan Muhammad Al-Fatih bersama para muslimin telah mendirikan solat Jumaat di Masjid Aya Sofya. Khutbah yang pertama di Aya Sofya itu telah disampaikan oleh Asy-Syeikh Ak Semsettin. Pada hari itu juga Sultan Muhammad Al-Fatih telah bersumpah bahawa barangsiapa yang menukar Masjid Aya Sofya kembali kepada gereja, maka akan berolehlah kutukan dan laknat darinya dan Tuhan Masjid Aya Sofya itu.
Setelah itu, Sultan membebaskan Serbia pada tahun 1460 dan Bosnia pada tahun 1462. Seterusnya Sultan membebaskan Italia, Hungaria, dan Jerman. Pada puncak kegemilangannya, Sultan Muhammad memerintah di 25 Negeri. Kemudian Sultan membuat persiapan untuk membebaskan Rhodesia. Tapi sebelum rencana itu terlaksana Sultan meninggal dunia karena diracun oleh seorang Yahudi bernama Maesto Jakopa. Sultan Muhammad wafat pada 3 Mei 1481 ketika berusia 49 tahun.
Untuk memperingati jasanya, Masjid Al Fatih telah dibangun di sebelah makamnya.
Disebutkan oleh syaikh Nashir al-Fahd :
نه بعد فتحه للقسطنطينية سنة 857 هـ، كشف موقع قبر (أبي أيوب الأنصاري) رضي الله عنه وبنى عليه ضريحاً، وبنى بجانبه مسجداً وزين المسجد بالرخام الأبيض وبنى على ضريح أبي أيوب قبة
“ Sesungguhnya ia setelah berhasil menaklukkan Konstantinopel tahun 857 H, ia menyingkap (menemukan) makam sahabat Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu ‘anhu dan membangun dharih (kuburan tinggi) dan membangun masjid di samping makamnya, menghiasi masjid tersebut dengan marmer putih, dan membangun kubah di atas kuburan Abu Ayyub “
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Translate
Selasa, 27 Februari 2018
Khilafiyah Menjahrkan Basmallah Dalam Sholat
Menurut madzhab asy-Syafi’i, madzhab yang paling banyak dianut dan lebih dahulu berkembang di Indonesia, bacaan basmalah wajib dibaca beserta al-Fatihah. Dibaca secara keras dalam shalat jahr dan dibaca sirr dalam shalat sirr. Namun belakangan, karena pengaruh madzhab Hanbali khususnya yang masuk belakangan ini, maka sebagian imam masjid mulai ada beberapa imam yang mensirrkan bacaan basmalah ketika mengimami shalat.
Bagi sebagian orang awwam yang belum tahu banyak persoalan khilafiyyah dalam masalah fiqh, dikiranya basmalah dalam al-Fatihah tidak lagi dibaca. Padahal ia ada ditulis dalam surat al-Fatihah sebagaimana umumnya mushaf yang beredar di Indonesia. Parahnya lagi terkadang ada sebagian tokoh agama setempat yang dengan emosional memvonis bahwa shalat orang yang tidak membaca basmalah hukumnya tidak sah, maka tak ayal lagi orang awam dibuat bingung karenanya. Belum kalau ada tambahan informasi yang tidak bertanggung jawab yang mengaitkan amalan tertentu dengan gerakan fundamentalis atau ekstrimis.
Guna sedikit membantu menjernihkan persoalan, berikut kami sajikan pendapat berbagai ulama dari berbagai madzhab seputar bacaan basmalah tersebut beserta dalil-dalil yang dijadikan sandaran pendirian mereka. Tak lupa pula kami sertakan apa yang menjadi pegangan amalan ormas Islam di Indonesia dengan satu harapan dapat mengurangi kebingungan dan menghilangkan kesamaran karenanya.
Telah tetap dalam beberapa hadits bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat mengimami para shahabat membaca surat Al-Fatihah dan memulainya dengan bacaan alhamdulillaahi-rabbil-‘aalamiin....dst.
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ، وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا كَانُوا يَفْتَتِحُونَ الصَّلَاةَ بِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin ‘Umar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Qataadah, dari Anas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa dulu membuka shalat dengan membaca :alhamdulillaahi rabbil-‘aalamiin [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 743].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، وَابْنُ بَشَّارٍ كِلَاهُمَا، عَنْ غُنْدَرٍ، قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَال: سَمِعْتُ قَتَادَةَ يُحَدِّثُ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: " صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقْرَأُ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa dan Ibnu Basysyaar, keduanya dari Ghundar – Ibnul-Mutsannaa berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah : Aku mendengar Qataadah menceritakan dari Anas, ia berkata : “Aku pernah shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan, dan aku tidak pernah mendengar salah seorang pun di antara mereka membaca bismillaahir-rahmaanir-rahiim” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 399].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ يَعْنِي الأَحْمَرَ، عَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ، قَالَ: ح وحَدَّثَنَا إِسْحَاق بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَاللَّفْظُ لَهُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ الْمُعَلِّمُ، عَنْ بُدَيْلِ بْنِ مَيْسَرَةَ، عَنْ أَبِي الْجَوْزَاءِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَفْتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيرِ، وَالْقِرَاءَةَ بِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair : Telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid Al-Ahmar, dari Husain Al-Mu’allim, ia berkata : Dan telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim – dan lafadh hadits ini adalah miliknya - , ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Iisaa bin Yuunus : Telah menceritakan kepada kami Husain Al-Mu’allim, dari Budail bin Maisarah, dari Abul-Jauzaa’, dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membuka shalat dengan takbir dan bacaan : alhamdulillaahi rabbil-‘aalamiin” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 498].
Ibnu ‘Adiy (2/107-108 no. 225) mengkritik bahwasannya Abul-Jauzaa’ – namanya adalah Aus bin ‘Abdillah Ar-Rib’iy,tsiqah – tidak mendengar riwayat dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa. Inilah yang dikuatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dalamTahdziibut-Tahdziib (1/384). Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Abul-Jauzaa’ mengutus utusan kepada ‘Aaisyah untuk menanyakan hadits di atas. Namun klaim keterputusan riwayat ini perlu didiskusikan lebih lanjut.
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، قَالَ: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ إِيَاسٍ الْجُرَيْرِيُّ، عَنْ قَيْسِ بْنِ عَبَايَةَ، عَنِ ابْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: سَمِعَنِي أَبِي، وَأَنَا أَقُولُ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، فَقَالَ: أَيْ بُنَيَّ، إِيَّاكَ قَالَ: " وَلَمْ أَرَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَبْغَضَ إِلَيْهِ حَدَثًا فِي الْإِسْلَامِ مِنْهُ فَإِنِّي قَدْ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَمَعَ عُثْمَانَ، فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقُولُهَا، فَلَا تَقُلْهَا، إِذَا أَنْتَ قَرَأْتَ، فَقُلْ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ "
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Iyaas Al-Jurairiy, dari Qais bin ‘Abaayah, dari Ibnu ‘Abdillah bin Mughaffal bin Yaziid bin ‘Abdillah, ia berkata : Ayahku mendengarku yang ketika itu aku berkata (dalam shalat) : ‘bismillahir-rahmaanir-rahiim’. Ia (ayahku) berkata : “Wahai anakku, jangan engkau lakukan itu. Aku tidak pernah melihat seorang pun dari shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih marah terhadap hal yang diada-adakan dalam Islam daripadanya. Sesungguhnya aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan, namun aku tidak pernah mendengar seorang pun dari mereka membacanya (basmalah). Maka, jangan engkau lakukan. Apabila engkau membaca (Al-Fatiihah), katakanlah : alhamdulillahi rabbil-‘aalamiin” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/85].
Sanad hadits ini lemah karena Ibnu ‘Abdillah bin Al-Mughaffal adalah majhuul.
Saya kira, riwayat-riwayat yang seperti ini sudah masyhuur di sebagian besar rekan-rekan.
Melengkapi keterangan di atas, Ibnu Rajab lewat Fath al-Bari 5/200 menjelaskan siapa saja yang berpendapat seperti ini :
وإلى ذَلِكَ ذهب أكثر أهل العلم من أصْحَاب النَّبِيّ – صلى الله عليه وسلم - ، منهم : أبو بَكْر وعمر وعثمان وعلي وغيرهم ، ومن بعدهم من التابعين ، وبه يَقُول سُفْيَان الثوري وابن المبارك وأحمد وإسحاق ، لا يرون أن يجهر بـ (( بسم الله الرحمن الرحيم )) . قالوا : ويقولها فِي نفسه . انتهى . وحكى ابن المنذر هَذَا القول عَن سُفْيَان وأهل الرأي وأحمد وأبي عُبَيْدِ ، قَالَ : ورويناه عَن عُمَر وعلي وابن مَسْعُود وعمار بْن ياسر وابن الزُّبَيْر والحكم وحماد .قَالَ : وَقَالَ الأوزاعي : الإمام يخفيها .
“ Pendapat mensirrkan basmalah adalah pendapat kebanyakan ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi SAW seperti Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali serta yang lain-lain sesudah mereka dari kalangan tabi’in. Yang berpendapat demikian juga adalah Sufyan ats-Tsauri, Ibnu al-Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Mereka mengajarkan agar basmalah dibaca secara pelan ( didengar sendiri). Ibnu al-Mundzir menghikayatkan pendapat ini berasal dari Sufyan ats-Tsauri, ahl ar-Ra’y, Ahmad, Abu Ubaid. Ia juga berkata, “ Kami juga meriwayatkan pendapat ini berasal dari Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ammar bin Yasir, Ibnu az-Zubair, al-Hakam, Hammad. Ia berkata, ‘ Berkata al-Auza’i : Imam membaca basmalah dengan pelan”.
Ibnu Katsir menerangkan dalam tafsirnya : 1/118 :
وذهب آخرون إلى أنه لا يجهر بالبسملة في الصلاة، وهذا هو الثابت عن الخلفاء الأربعة وعبد الله بن مغفل، وطوائف من سلف التابعين والخلف، وهو مذهب أبي حنيفة، والثوري، وأحمد بن حنبل.
“ Ulama lain berpendirian bahwasanya basmalah tidak dikeraskan dalam shalat, riwayat ini adalah yang tetap (meyakinkan) dari khalifah empat dan Abdullah bin Mughaffal dan sekelompok ulama salaf, tabi’in dan khalaf. Ini menjadi pilihan madzhab Abu Hanifah, ats-Tsauri dan Ahmad bin Hanbal.”
Namun ada riwayat lain yang menyatakan di-masyru’-kannya mengeraskan bacaan basmalah :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِيُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْحَكَمِ، حَدَّثَنَا أبِي، وَشُعَيْبُ بْنُ اللَّيْثِ، قَالا: أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ خَالِدِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلالٍ، عَنْ نُعَيْمٍ الْمُجْمِرِ، أنَّهُ قَالَ: " صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَرَأَ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ حَتَّى بَلَغَ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ، قَالَ: آمِينَ، وَقَالَ النَّاسُ: آمِينَ، وَيَقُولُ كُلَّمَا سَجَدَ: اللَّهُ أَكْبَرُ وَإِذَا قَامَ مِنَ الْجُلُوسِ مِنَ اثْنَتَيْنِ، قَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ، ثُمَّ يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لأَشْبَهُكُمْ صَلاةً بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ".هَذَا صَحِيحٌ وَرُوَاتُهُ كُلُّهُمْ ثِقَاتٌ.
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr An-Naisaabuuriy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil-Hakam : Telah menceritakan kepada kami ayahku dan Syu’aib bin Al-Laits, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Laits bin Sa’d, dari Khaalid bin Yaziid, dari Sa’iid bin Abi Hilaal, dari Nu’aim Al-Mujmir, bahwasannya ia berkata : “Aku pernah shalat di belakang Abu Hurairah. Lalu ia membaca : bismillaahir-rahmaanir-rahiim. Kemudian membaca Ummul-Qur’aan (yaitu Al-Faatihah), hingga ketika sampai pada ayat : ghairil-maghdluubi ‘alaihim, waladl-dlaaalliin, ia membaca : aamiin. Orang-orang pun membaca : aamiin. Apabila ia sujud membaca : allaahu akbar, dan apabila berdiri dari duduk pada raka’at kedua, ia membaca : allaahu akbar. Lalu ia berkata ketika usai salam : ‘Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku yang paling mirip di antara kalian dalam shalat dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy no. 1168; dan ia berkata : “Hadits ini shahih, para perawinya semua tsiqaat”].
Sisi pendalilannya : Nu’aim bin Mujmir rahimahullah yang berposisi sebagai makmum mendengar bacaan basmalahAbu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, sehingga dapat dipahami ia (Abu Hurairah) memang mengeraskan bacaan tersebut. Dan perkataan Abu Hurairah bahwa ia adalah orang yang paling mirip shalatnya dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan apa yang dilakukannya itu berdasarkan contoh yang ia dengar atau lihat dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ada beberapa ulama (misal : Az-Zaila’iy rahimahullah) yang men-ta’lil riwayat ini dengan alasan tafarrud-nya Nu’aim bin Al-Mujmir yang menyebutkan shalatnya Abu Hurairah dengan ziyadah membaca basmalah. Namun ta’lil ini tidaklah diterima karena Nu’aim adalah tsiqah dan ia mempersaksikan shalat yang pernah ia alami bersama Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Oleh karena itu, ziyaadah ini adalah shahih dan diterima.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ صَاعِدٍ، ومُحَمَّدُ بْنُ مَخْلَدٍ، قَالا: نا جَعْفَرُ بْنُ مُكْرَمٍ، ثنا أَبُو بَكْرٍ الْحَنَفِيُّ، ثنا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ، أَخْبَرَنِي نُوحُ بْنُ أَبِي بِلالٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا قَرَأْتُمِ: الْحَمْدُ فَاقْرَءُوا: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِنَّهَا أُمُّ الْقُرْآنِ، وَأُمُّ الْكِتَابِ، وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي، وَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ أحَدُ ايَاتِهَا ".
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Muhammad bin Shaa’id dan Muhammad bin Makhlad, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ja’far bin Mukram : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Al-Hanafiy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Hamiid bin Ja’far : Telah mengkhabarkan kepadaku Nuuh bin Abi Hilaal, dari Sa’iid bin Abi Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila kalian membaca ‘alhamdulillah, maka bacalah ‘bismillaahir-rahmaanir-rahiim. Sesungguhnya ia adalah Ummul-Qur’aan, Ummul-Kitaab, dan As-Sab’ul-Matsaaniy (Al-Faatihah). Dan ‘bismillaahir-rahmaanir-rahiim’ merupakan salah satu ayatnya” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy no. 1990].
Sanad hadits ini hasan. Tapi riwayat ini diperselisihkan kemarfu’annya, karena setelah membawakan riwayat ini, Ad-Daaruquthniy membawakan perkataan Abu Bakr Al-Hanafiy :
ثُمَّ لَقِيتُ نُوحًا فَحَدَّثَنِي، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، بِمِثْلِهِ وَلَمْ يَرْفَعْهُ
“Kemudian aku menemui Nuuh (bin Abi Hilaal), lalu ia menceritakan kepadaku dari Sa’iid bin Abi Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Hurairah semisal hadits tersebut tanpa memarfu’kannya” [idem].
Al-Albaaniy menshahihkan baik yang marfuu’ maupun mauquuf dalam Ash-Shahiihah 3/179-180. Ad-Daaruquthniy memasukkan hadits ini dalam Bab : Mengeraskan Bacaan Bismillahir-rahmaanir-rahiim. Riwayat ini menjadi petunjuk sebab Abu Hurairah mengeraskan bacaan basmalah di riwayat sebelumnya –wallaahu a’lam.
Juga riwayat dari beberapa shahabat yang lain :
حَدَّثنا عَلِيُّ، قَالَ: ثنا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: ثنا شُعْبَةُ، عَنِ الأَزْرَقِ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ: " صَلَّيْتُ خَلْفَ ابْنِ الزُّبَيْرِ، فَاسْتَفْتَحَ الْقِرَاءَةَ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، فَلَمَّا قَرَأَ: غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy (bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Baghawiy), ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibraahiim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Al-Azraq bin Qais, ia berkata : “Aku pernah shalat di belakang Ibnuz-Zubair, lalu ia membuka bacaan dengan ‘bismillaahir-rahmaanir-rahiim’. Dan ketika ia selesai membaca : ‘ghairil-maghdluubi ‘alaihim wa laadl-dlaaalliin’, ia berkata : ‘bismillaahir-rahmaanir-rahiim’” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 1357; sanadnya shahih].
حَدَّثنا مُوسَى بْنُ هَارُونَ، قَالَ: ثنا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: ثنا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ ذَرٍّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ عُمَرَ كَانَ يَجْهَرُ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ "
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Haaruun, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Makhlad, dari ‘Umar bin Dzarr, dari ayahnya, dari Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan bin Abzaa, dari ayahnya : Bahwasannya ‘Umar mengeraskan bacaan bismillaahir-rahmaanir-rahiim” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 1358; sanadnya shahih].
وَكَمَا حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّهْشَلِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ الْفَقِيرُ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، " أَنَّهُ كَانَ يَفْتَتِحُ الْقِرَاءَةَ بِ " بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakrah (Bakkaar bin Qutaibah), ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Daawud (Ath-Thayaalisiy), ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr An-Nahsyaliy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yaziid Al-Faqiir, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya ia biasa membuka bacaan surat dengan bismillaahir-rahmaanir-rahiim” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar no. 727; sanadnya hasan. Yaziid mempunyai mutaba’ah dari Naafi’ sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Wahb dalam Al-Muwaththa’no. 352].
Juga tabi’iin :
حَدَّثنا ابن قتيبة، ثنا ابن أبي السري، ثنا معتمر بن سليمان، ثنا النعمان بن أبي شيبة، عن ابن طاوس أنه كان يجهر ببسم الله الرحمن الرحيم قبل الفاتحة وقبل السورة
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abis-Sariy : Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir bin Sulaimaan : Telah menceritakan kepada kami An-Nu’maan bin Abi Syaibah, dari Ibnu Thaawuus, bahwasannya ia mengeraskan bacaan bismillaahir-rahmaanir-rahiim sebelum Al-Faatihah dan sebelum surat [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan dalam Ats-Tsiqaat, 5/545; sanadnya hasan].
Juga atbaa’ut-taabi’iin :
وَحَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ حَمْدَانَ الْجَلابُ بِهَمْدَانَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ خُرَّزَادَ الأَنْطَاكِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي السَّرِيِّ الْعَسْقَلانِيُّ، قَالَ: " صَلَّيْتُ خَلْفَ الْمُعْتَمِرِ بْنِ سُلَيْمَانَ مَا لا أُحْصِي صَلاةَ الصُّبْحِ وَالْمَغْرِبِ، فَكَانَ يَجْهَرُ بِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، قَبْلَ فَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَبَعْدَهَا "
Dan telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Hamdaan Al-Jalaab di negeri Hamdaan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Khurraazaadz Al-Anthaakiy, ia berkata : Teleh menceritakan kepada kami Muhammad bin Abis-Sariy Al-‘Asqalaaniy, ia berkata : Aku pernah shalat di belakang Al-Mu’tamir bin Sulaimaan shalat Maghrib dan shalat Shubuh tidak terhitung banyaknya. Dan ia mengeraskan bismillaahir-rahmaanir-rahiim sebelum Al-Fatihah dan setelahnya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Ma’rifah no. 788; sanadnya hasan].
At-Tirmidziy menjelaskan perselisihan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini. Setelah membawakan hadits ‘Abdullah bin Al-Mughaffal (no. 244), ia berkata :
وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَعُثْمَانُ، وَعَلِيٌّ وَغَيْرُهُمْ وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ التَّابِعِينَ، وَبِهِ يَقُولُ: سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، وَابْنُ الْمُبَارَكِ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاق، لَا يَرَوْنَ أَنْ يَجْهَرَ بِ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، قَالُوا: وَيَقُولُهَا فِي نَفْسِهِ
“Dan hadits ini diamalkan oleh mayoritas ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, ‘Aliy, dan yang lainnya, dan juga ulama setelah mereka dari kalangan taabi’iin. Hadits itulah yang dipegang oleh Sufyaan Ats-Tsauriy, Ibnul-Mubaarak, Ahmad, dan Ishaaq dimana mereka tidak berpendapat mengeraskan bismillaahir-rahmaanir-rahiim. Mereka berkata : ‘Hendaknya mereka mengucapkannya untuk dirinya sendiri (secara pelan)” [As-Sunan, 1/285].
Begitu juga setelah membawakan hadits Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa (no. 245), ia berkata :
وَقَدْ قَالَ: بِهَذَا عِدَّةٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ أَبُو هُرَيْرَةَ وَابْنُ عُمَرَ، وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَابْنُ الزُّبَيْرِ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ التَّابِعِينَ رَأَوْا الْجَهْرَ بْ:بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، وَبِهِ يَقُولُ الشَّافِعِيُّ
“Dan sejumlah ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berkata dengan hadits ini, di antaranya : Abu Hurairah, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbaas, Ibnuz-Zubair, dan orang-orang setelahnya dari kalangan tabi’iin; dimana mereka berpendapat untuk mengeraskan bismillahir-rahmaanir-rahiim. Inilah pendapat yang dipegang oleh Asy-Syaafi’iy” [As-Sunan, 1/285].
Basmalah termasuk ayat dalam surat al-Fatihah dan wajib dibaca beserta al-Fatihah secara keras (jahr) dalam shalat jahriyyah dan secara sirr dalam shalat sirriyyah. Pendapat ini menjadi pegangan Imam asy-Syafi’i dan pengikutnya.
Di kalangan penganut madzhab asy-Syafi’i terdapat kesepakatan, sebagaimana diterangkan an-Nawawi, bahwa basmalah termasuk dalam Surat al-Fatihah tanpa ada perselisihan.
اما حكم المسألة فمذهبنا ان بسم الله الرحمن الرحيم آية كاملة من اول الفاتحة بلا خلاف )المجموع شرح المهذب - (ج 3 / ص 333)
“ Adapun hukum masalah, maja madzhab kami bahwasanya basmalah itu satu ayat yang sempurna dari awal surat al-Fatihah tanp ada perselisihan”. ( al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab : 3/333)
Menurut para qurra` Makah, sebagian Kufah dan Hijaz, basmalah termasuk satu ayat dari surat al-Fatihah.
Ibnu Katsir menjelaskan siapa saja yang memegang pendapat ini dalam tafsirnya 1/117 :
فذهب الشافعي، رحمه الله، إلى أنه يجهر بها مع الفاتحة والسورة، وهو مذهب طوائف من الصحابة والتابعين وأئمة المسلمين سلفًا وخلفًا ، فجهر بها من الصحابة أبو هريرة، وابن عمر، وابن عباس، ومعاوية)... تفسير ابن كثير – (1 / 117)
“ Imam asy-Syafi’i berpendapat bahwasanya basmalah dikeraskan beserta al-Fatihah dan surat(an), ini juga menjadi pendapat segolongan dari kalangan sahabat dan tabi’in dan para imam kaum muslimin zaman dahulu dan kemudian. Yang mengeraskan basmalah dari kalangan sahabat di antaranya Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Mu’awiyah...”
Imam an-Nawawi menandaskan bahwa menurut madzhab kami (madzhab asy-Syafi’i), basmalah disunnahkan untuk dibaca keras dalam shalat jahriyah baik di awal al-Fatihah maupun di awal surat. Lebih lanjut beliau menjelaskan siapa saja yang berpendapat seperti ini, dengan menukil riwayat dari Abu Bakar al-Khathib, di antaranya dari kalangan sahabat ada khalifah yang empat, Ammar bin Yasir, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Qatadah, Abu Sa’id, Qais bin Malik, Abu Hurairah, Abdullah bin Abi Aufa, Syadad bin Aus, Abdullah bin Ja’far, Husain bin Ali, Abdullah Ja’far, dan Mu’awiyah serta sejumlah sahabat dari Muhajirin dan Anshar. Dari kalangan tabi’in ada Sa’id bin al-Musayyab, Thawus, Atha`, Mujahid, Abu wail, Sa’id bin Jubair, Ibnu Sirin, Ikrimah, Ali bin Husain, Muhammad bin Ali, Salim bin Abdullah.....dll.
Basmalah dapat dibaca sekali tempo secara keras dan sekali tempo secara pelan, walau secara sirr dianggap lebih sering dikerjakan Nabi SAW. Pendapat ini dimotori oleh Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya Zadul Ma’ad fi Hadyi Khair al-`Ibad : 1/119
وَكَانَ يَجْهَرُ بِبِسْمِ اللّهِ الرّحْمَنِ الرّحِيمِ تَارَةً وَيُخْفِيهَا أَكْثَرَ مِمّا يَجْهَرُ بِهَا دَائِمًا فِي كُلّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَمْسَ مَرّاتٍ أَبَدًا حَضَرًا وَسَفَرًا وَيَخْفَى ذَلِكَ عَلَى خُلَفَائِهِ الرّاشِدِينَ وَعَلَى جُمْهُورِ أَصْحَابِهِ وَأَهْلِ بَلَدِهِ فِي الْأَعْصَارِ الْفَاضِلَةِ هَذَا مِنْ أَمْحَلِ الْمُحَالِ حَتّى يَحْتَاجَ إلَى التّشَبّثِ فِيهِ بِأَلْفَاظٍ مُجْمَلَةٍ وَأَحَادِيثَ وَاهِيَةٍ فَصَحِيحُ تِلْكَ الْأَحَادِيثِ غَيْرُ صَرِيحٍ وَصَرِيحُهَا غَيْرُ صَحِيحٍ وَهَذَا مَوْضِعٌ يَسْتَدْعِي مُجَلّدًا ضَخْمًا .
Ibnul Qayyim berkata :
“ Dahulu Rasulullah SAW. kadang-kadang mengeraskan lafadzbismillahirrahmanirahim dan lebih sering tidak membacanya secara keras. Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa beliau tidak selalu mengeraskan basmalah ketika shalat lima waktu dalam sehari semalam, baik ketika bermukim ataupun bepergian. Beliau memperlihatkan hal ini kepada khulafa` rasyidin, kepada para sahabatnya dan penduduk kota-kota besar. Ini merupakan hal yang paling mustahil sehingga harus dijelaskan lagi. Untuk membahas masalah ini rupanya membutuhkan ruang yang berjilid-jilid yang tebal .”
Jadi kesimpulannya – setelah mencermati riwayat-riwayat yang ada (di antaranya yang disebut di atas) –, membaca basmalah bagi imam ketika membaca Al-Faatihah itu boleh dan disyari’atkan. Bukan bid’ah. Ia pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam – walaupun yang paling sering dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah melirihkannya sebagaimana riwayat Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu di atas -. Mengeraskan basmalah dilakukan juga oleh beberapa shahabat dan ulama setelahnya.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Bagi sebagian orang awwam yang belum tahu banyak persoalan khilafiyyah dalam masalah fiqh, dikiranya basmalah dalam al-Fatihah tidak lagi dibaca. Padahal ia ada ditulis dalam surat al-Fatihah sebagaimana umumnya mushaf yang beredar di Indonesia. Parahnya lagi terkadang ada sebagian tokoh agama setempat yang dengan emosional memvonis bahwa shalat orang yang tidak membaca basmalah hukumnya tidak sah, maka tak ayal lagi orang awam dibuat bingung karenanya. Belum kalau ada tambahan informasi yang tidak bertanggung jawab yang mengaitkan amalan tertentu dengan gerakan fundamentalis atau ekstrimis.
Guna sedikit membantu menjernihkan persoalan, berikut kami sajikan pendapat berbagai ulama dari berbagai madzhab seputar bacaan basmalah tersebut beserta dalil-dalil yang dijadikan sandaran pendirian mereka. Tak lupa pula kami sertakan apa yang menjadi pegangan amalan ormas Islam di Indonesia dengan satu harapan dapat mengurangi kebingungan dan menghilangkan kesamaran karenanya.
Telah tetap dalam beberapa hadits bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat mengimami para shahabat membaca surat Al-Fatihah dan memulainya dengan bacaan alhamdulillaahi-rabbil-‘aalamiin....dst.
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ، وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا كَانُوا يَفْتَتِحُونَ الصَّلَاةَ بِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin ‘Umar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Qataadah, dari Anas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa dulu membuka shalat dengan membaca :alhamdulillaahi rabbil-‘aalamiin [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 743].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، وَابْنُ بَشَّارٍ كِلَاهُمَا، عَنْ غُنْدَرٍ، قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَال: سَمِعْتُ قَتَادَةَ يُحَدِّثُ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: " صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقْرَأُ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa dan Ibnu Basysyaar, keduanya dari Ghundar – Ibnul-Mutsannaa berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah : Aku mendengar Qataadah menceritakan dari Anas, ia berkata : “Aku pernah shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan, dan aku tidak pernah mendengar salah seorang pun di antara mereka membaca bismillaahir-rahmaanir-rahiim” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 399].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ يَعْنِي الأَحْمَرَ، عَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ، قَالَ: ح وحَدَّثَنَا إِسْحَاق بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَاللَّفْظُ لَهُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ الْمُعَلِّمُ، عَنْ بُدَيْلِ بْنِ مَيْسَرَةَ، عَنْ أَبِي الْجَوْزَاءِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَفْتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيرِ، وَالْقِرَاءَةَ بِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair : Telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid Al-Ahmar, dari Husain Al-Mu’allim, ia berkata : Dan telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim – dan lafadh hadits ini adalah miliknya - , ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Iisaa bin Yuunus : Telah menceritakan kepada kami Husain Al-Mu’allim, dari Budail bin Maisarah, dari Abul-Jauzaa’, dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membuka shalat dengan takbir dan bacaan : alhamdulillaahi rabbil-‘aalamiin” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 498].
Ibnu ‘Adiy (2/107-108 no. 225) mengkritik bahwasannya Abul-Jauzaa’ – namanya adalah Aus bin ‘Abdillah Ar-Rib’iy,tsiqah – tidak mendengar riwayat dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa. Inilah yang dikuatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dalamTahdziibut-Tahdziib (1/384). Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Abul-Jauzaa’ mengutus utusan kepada ‘Aaisyah untuk menanyakan hadits di atas. Namun klaim keterputusan riwayat ini perlu didiskusikan lebih lanjut.
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، قَالَ: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ إِيَاسٍ الْجُرَيْرِيُّ، عَنْ قَيْسِ بْنِ عَبَايَةَ، عَنِ ابْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: سَمِعَنِي أَبِي، وَأَنَا أَقُولُ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، فَقَالَ: أَيْ بُنَيَّ، إِيَّاكَ قَالَ: " وَلَمْ أَرَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَبْغَضَ إِلَيْهِ حَدَثًا فِي الْإِسْلَامِ مِنْهُ فَإِنِّي قَدْ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَمَعَ عُثْمَانَ، فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقُولُهَا، فَلَا تَقُلْهَا، إِذَا أَنْتَ قَرَأْتَ، فَقُلْ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ "
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Iyaas Al-Jurairiy, dari Qais bin ‘Abaayah, dari Ibnu ‘Abdillah bin Mughaffal bin Yaziid bin ‘Abdillah, ia berkata : Ayahku mendengarku yang ketika itu aku berkata (dalam shalat) : ‘bismillahir-rahmaanir-rahiim’. Ia (ayahku) berkata : “Wahai anakku, jangan engkau lakukan itu. Aku tidak pernah melihat seorang pun dari shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih marah terhadap hal yang diada-adakan dalam Islam daripadanya. Sesungguhnya aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan, namun aku tidak pernah mendengar seorang pun dari mereka membacanya (basmalah). Maka, jangan engkau lakukan. Apabila engkau membaca (Al-Fatiihah), katakanlah : alhamdulillahi rabbil-‘aalamiin” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/85].
Sanad hadits ini lemah karena Ibnu ‘Abdillah bin Al-Mughaffal adalah majhuul.
Saya kira, riwayat-riwayat yang seperti ini sudah masyhuur di sebagian besar rekan-rekan.
Melengkapi keterangan di atas, Ibnu Rajab lewat Fath al-Bari 5/200 menjelaskan siapa saja yang berpendapat seperti ini :
وإلى ذَلِكَ ذهب أكثر أهل العلم من أصْحَاب النَّبِيّ – صلى الله عليه وسلم - ، منهم : أبو بَكْر وعمر وعثمان وعلي وغيرهم ، ومن بعدهم من التابعين ، وبه يَقُول سُفْيَان الثوري وابن المبارك وأحمد وإسحاق ، لا يرون أن يجهر بـ (( بسم الله الرحمن الرحيم )) . قالوا : ويقولها فِي نفسه . انتهى . وحكى ابن المنذر هَذَا القول عَن سُفْيَان وأهل الرأي وأحمد وأبي عُبَيْدِ ، قَالَ : ورويناه عَن عُمَر وعلي وابن مَسْعُود وعمار بْن ياسر وابن الزُّبَيْر والحكم وحماد .قَالَ : وَقَالَ الأوزاعي : الإمام يخفيها .
“ Pendapat mensirrkan basmalah adalah pendapat kebanyakan ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi SAW seperti Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali serta yang lain-lain sesudah mereka dari kalangan tabi’in. Yang berpendapat demikian juga adalah Sufyan ats-Tsauri, Ibnu al-Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Mereka mengajarkan agar basmalah dibaca secara pelan ( didengar sendiri). Ibnu al-Mundzir menghikayatkan pendapat ini berasal dari Sufyan ats-Tsauri, ahl ar-Ra’y, Ahmad, Abu Ubaid. Ia juga berkata, “ Kami juga meriwayatkan pendapat ini berasal dari Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ammar bin Yasir, Ibnu az-Zubair, al-Hakam, Hammad. Ia berkata, ‘ Berkata al-Auza’i : Imam membaca basmalah dengan pelan”.
Ibnu Katsir menerangkan dalam tafsirnya : 1/118 :
وذهب آخرون إلى أنه لا يجهر بالبسملة في الصلاة، وهذا هو الثابت عن الخلفاء الأربعة وعبد الله بن مغفل، وطوائف من سلف التابعين والخلف، وهو مذهب أبي حنيفة، والثوري، وأحمد بن حنبل.
“ Ulama lain berpendirian bahwasanya basmalah tidak dikeraskan dalam shalat, riwayat ini adalah yang tetap (meyakinkan) dari khalifah empat dan Abdullah bin Mughaffal dan sekelompok ulama salaf, tabi’in dan khalaf. Ini menjadi pilihan madzhab Abu Hanifah, ats-Tsauri dan Ahmad bin Hanbal.”
Namun ada riwayat lain yang menyatakan di-masyru’-kannya mengeraskan bacaan basmalah :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِيُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْحَكَمِ، حَدَّثَنَا أبِي، وَشُعَيْبُ بْنُ اللَّيْثِ، قَالا: أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ خَالِدِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلالٍ، عَنْ نُعَيْمٍ الْمُجْمِرِ، أنَّهُ قَالَ: " صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَرَأَ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ حَتَّى بَلَغَ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ، قَالَ: آمِينَ، وَقَالَ النَّاسُ: آمِينَ، وَيَقُولُ كُلَّمَا سَجَدَ: اللَّهُ أَكْبَرُ وَإِذَا قَامَ مِنَ الْجُلُوسِ مِنَ اثْنَتَيْنِ، قَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ، ثُمَّ يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لأَشْبَهُكُمْ صَلاةً بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ".هَذَا صَحِيحٌ وَرُوَاتُهُ كُلُّهُمْ ثِقَاتٌ.
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr An-Naisaabuuriy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil-Hakam : Telah menceritakan kepada kami ayahku dan Syu’aib bin Al-Laits, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Laits bin Sa’d, dari Khaalid bin Yaziid, dari Sa’iid bin Abi Hilaal, dari Nu’aim Al-Mujmir, bahwasannya ia berkata : “Aku pernah shalat di belakang Abu Hurairah. Lalu ia membaca : bismillaahir-rahmaanir-rahiim. Kemudian membaca Ummul-Qur’aan (yaitu Al-Faatihah), hingga ketika sampai pada ayat : ghairil-maghdluubi ‘alaihim, waladl-dlaaalliin, ia membaca : aamiin. Orang-orang pun membaca : aamiin. Apabila ia sujud membaca : allaahu akbar, dan apabila berdiri dari duduk pada raka’at kedua, ia membaca : allaahu akbar. Lalu ia berkata ketika usai salam : ‘Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku yang paling mirip di antara kalian dalam shalat dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy no. 1168; dan ia berkata : “Hadits ini shahih, para perawinya semua tsiqaat”].
Sisi pendalilannya : Nu’aim bin Mujmir rahimahullah yang berposisi sebagai makmum mendengar bacaan basmalahAbu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, sehingga dapat dipahami ia (Abu Hurairah) memang mengeraskan bacaan tersebut. Dan perkataan Abu Hurairah bahwa ia adalah orang yang paling mirip shalatnya dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan apa yang dilakukannya itu berdasarkan contoh yang ia dengar atau lihat dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ada beberapa ulama (misal : Az-Zaila’iy rahimahullah) yang men-ta’lil riwayat ini dengan alasan tafarrud-nya Nu’aim bin Al-Mujmir yang menyebutkan shalatnya Abu Hurairah dengan ziyadah membaca basmalah. Namun ta’lil ini tidaklah diterima karena Nu’aim adalah tsiqah dan ia mempersaksikan shalat yang pernah ia alami bersama Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Oleh karena itu, ziyaadah ini adalah shahih dan diterima.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ صَاعِدٍ، ومُحَمَّدُ بْنُ مَخْلَدٍ، قَالا: نا جَعْفَرُ بْنُ مُكْرَمٍ، ثنا أَبُو بَكْرٍ الْحَنَفِيُّ، ثنا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ، أَخْبَرَنِي نُوحُ بْنُ أَبِي بِلالٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا قَرَأْتُمِ: الْحَمْدُ فَاقْرَءُوا: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِنَّهَا أُمُّ الْقُرْآنِ، وَأُمُّ الْكِتَابِ، وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي، وَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ أحَدُ ايَاتِهَا ".
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Muhammad bin Shaa’id dan Muhammad bin Makhlad, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ja’far bin Mukram : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Al-Hanafiy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Hamiid bin Ja’far : Telah mengkhabarkan kepadaku Nuuh bin Abi Hilaal, dari Sa’iid bin Abi Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila kalian membaca ‘alhamdulillah, maka bacalah ‘bismillaahir-rahmaanir-rahiim. Sesungguhnya ia adalah Ummul-Qur’aan, Ummul-Kitaab, dan As-Sab’ul-Matsaaniy (Al-Faatihah). Dan ‘bismillaahir-rahmaanir-rahiim’ merupakan salah satu ayatnya” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy no. 1990].
Sanad hadits ini hasan. Tapi riwayat ini diperselisihkan kemarfu’annya, karena setelah membawakan riwayat ini, Ad-Daaruquthniy membawakan perkataan Abu Bakr Al-Hanafiy :
ثُمَّ لَقِيتُ نُوحًا فَحَدَّثَنِي، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، بِمِثْلِهِ وَلَمْ يَرْفَعْهُ
“Kemudian aku menemui Nuuh (bin Abi Hilaal), lalu ia menceritakan kepadaku dari Sa’iid bin Abi Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Hurairah semisal hadits tersebut tanpa memarfu’kannya” [idem].
Al-Albaaniy menshahihkan baik yang marfuu’ maupun mauquuf dalam Ash-Shahiihah 3/179-180. Ad-Daaruquthniy memasukkan hadits ini dalam Bab : Mengeraskan Bacaan Bismillahir-rahmaanir-rahiim. Riwayat ini menjadi petunjuk sebab Abu Hurairah mengeraskan bacaan basmalah di riwayat sebelumnya –wallaahu a’lam.
Juga riwayat dari beberapa shahabat yang lain :
حَدَّثنا عَلِيُّ، قَالَ: ثنا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: ثنا شُعْبَةُ، عَنِ الأَزْرَقِ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ: " صَلَّيْتُ خَلْفَ ابْنِ الزُّبَيْرِ، فَاسْتَفْتَحَ الْقِرَاءَةَ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، فَلَمَّا قَرَأَ: غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy (bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Baghawiy), ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibraahiim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Al-Azraq bin Qais, ia berkata : “Aku pernah shalat di belakang Ibnuz-Zubair, lalu ia membuka bacaan dengan ‘bismillaahir-rahmaanir-rahiim’. Dan ketika ia selesai membaca : ‘ghairil-maghdluubi ‘alaihim wa laadl-dlaaalliin’, ia berkata : ‘bismillaahir-rahmaanir-rahiim’” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 1357; sanadnya shahih].
حَدَّثنا مُوسَى بْنُ هَارُونَ، قَالَ: ثنا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: ثنا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ ذَرٍّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ عُمَرَ كَانَ يَجْهَرُ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ "
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Haaruun, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Makhlad, dari ‘Umar bin Dzarr, dari ayahnya, dari Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan bin Abzaa, dari ayahnya : Bahwasannya ‘Umar mengeraskan bacaan bismillaahir-rahmaanir-rahiim” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 1358; sanadnya shahih].
وَكَمَا حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّهْشَلِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ الْفَقِيرُ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، " أَنَّهُ كَانَ يَفْتَتِحُ الْقِرَاءَةَ بِ " بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakrah (Bakkaar bin Qutaibah), ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Daawud (Ath-Thayaalisiy), ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr An-Nahsyaliy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yaziid Al-Faqiir, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya ia biasa membuka bacaan surat dengan bismillaahir-rahmaanir-rahiim” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar no. 727; sanadnya hasan. Yaziid mempunyai mutaba’ah dari Naafi’ sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Wahb dalam Al-Muwaththa’no. 352].
Juga tabi’iin :
حَدَّثنا ابن قتيبة، ثنا ابن أبي السري، ثنا معتمر بن سليمان، ثنا النعمان بن أبي شيبة، عن ابن طاوس أنه كان يجهر ببسم الله الرحمن الرحيم قبل الفاتحة وقبل السورة
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abis-Sariy : Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir bin Sulaimaan : Telah menceritakan kepada kami An-Nu’maan bin Abi Syaibah, dari Ibnu Thaawuus, bahwasannya ia mengeraskan bacaan bismillaahir-rahmaanir-rahiim sebelum Al-Faatihah dan sebelum surat [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan dalam Ats-Tsiqaat, 5/545; sanadnya hasan].
Juga atbaa’ut-taabi’iin :
وَحَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ حَمْدَانَ الْجَلابُ بِهَمْدَانَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ خُرَّزَادَ الأَنْطَاكِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي السَّرِيِّ الْعَسْقَلانِيُّ، قَالَ: " صَلَّيْتُ خَلْفَ الْمُعْتَمِرِ بْنِ سُلَيْمَانَ مَا لا أُحْصِي صَلاةَ الصُّبْحِ وَالْمَغْرِبِ، فَكَانَ يَجْهَرُ بِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، قَبْلَ فَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَبَعْدَهَا "
Dan telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Hamdaan Al-Jalaab di negeri Hamdaan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Khurraazaadz Al-Anthaakiy, ia berkata : Teleh menceritakan kepada kami Muhammad bin Abis-Sariy Al-‘Asqalaaniy, ia berkata : Aku pernah shalat di belakang Al-Mu’tamir bin Sulaimaan shalat Maghrib dan shalat Shubuh tidak terhitung banyaknya. Dan ia mengeraskan bismillaahir-rahmaanir-rahiim sebelum Al-Fatihah dan setelahnya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Ma’rifah no. 788; sanadnya hasan].
At-Tirmidziy menjelaskan perselisihan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini. Setelah membawakan hadits ‘Abdullah bin Al-Mughaffal (no. 244), ia berkata :
وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَعُثْمَانُ، وَعَلِيٌّ وَغَيْرُهُمْ وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ التَّابِعِينَ، وَبِهِ يَقُولُ: سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، وَابْنُ الْمُبَارَكِ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاق، لَا يَرَوْنَ أَنْ يَجْهَرَ بِ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، قَالُوا: وَيَقُولُهَا فِي نَفْسِهِ
“Dan hadits ini diamalkan oleh mayoritas ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, ‘Aliy, dan yang lainnya, dan juga ulama setelah mereka dari kalangan taabi’iin. Hadits itulah yang dipegang oleh Sufyaan Ats-Tsauriy, Ibnul-Mubaarak, Ahmad, dan Ishaaq dimana mereka tidak berpendapat mengeraskan bismillaahir-rahmaanir-rahiim. Mereka berkata : ‘Hendaknya mereka mengucapkannya untuk dirinya sendiri (secara pelan)” [As-Sunan, 1/285].
Begitu juga setelah membawakan hadits Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa (no. 245), ia berkata :
وَقَدْ قَالَ: بِهَذَا عِدَّةٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ أَبُو هُرَيْرَةَ وَابْنُ عُمَرَ، وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَابْنُ الزُّبَيْرِ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ التَّابِعِينَ رَأَوْا الْجَهْرَ بْ:بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، وَبِهِ يَقُولُ الشَّافِعِيُّ
“Dan sejumlah ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berkata dengan hadits ini, di antaranya : Abu Hurairah, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbaas, Ibnuz-Zubair, dan orang-orang setelahnya dari kalangan tabi’iin; dimana mereka berpendapat untuk mengeraskan bismillahir-rahmaanir-rahiim. Inilah pendapat yang dipegang oleh Asy-Syaafi’iy” [As-Sunan, 1/285].
Basmalah termasuk ayat dalam surat al-Fatihah dan wajib dibaca beserta al-Fatihah secara keras (jahr) dalam shalat jahriyyah dan secara sirr dalam shalat sirriyyah. Pendapat ini menjadi pegangan Imam asy-Syafi’i dan pengikutnya.
Di kalangan penganut madzhab asy-Syafi’i terdapat kesepakatan, sebagaimana diterangkan an-Nawawi, bahwa basmalah termasuk dalam Surat al-Fatihah tanpa ada perselisihan.
اما حكم المسألة فمذهبنا ان بسم الله الرحمن الرحيم آية كاملة من اول الفاتحة بلا خلاف )المجموع شرح المهذب - (ج 3 / ص 333)
“ Adapun hukum masalah, maja madzhab kami bahwasanya basmalah itu satu ayat yang sempurna dari awal surat al-Fatihah tanp ada perselisihan”. ( al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab : 3/333)
Menurut para qurra` Makah, sebagian Kufah dan Hijaz, basmalah termasuk satu ayat dari surat al-Fatihah.
Ibnu Katsir menjelaskan siapa saja yang memegang pendapat ini dalam tafsirnya 1/117 :
فذهب الشافعي، رحمه الله، إلى أنه يجهر بها مع الفاتحة والسورة، وهو مذهب طوائف من الصحابة والتابعين وأئمة المسلمين سلفًا وخلفًا ، فجهر بها من الصحابة أبو هريرة، وابن عمر، وابن عباس، ومعاوية)... تفسير ابن كثير – (1 / 117)
“ Imam asy-Syafi’i berpendapat bahwasanya basmalah dikeraskan beserta al-Fatihah dan surat(an), ini juga menjadi pendapat segolongan dari kalangan sahabat dan tabi’in dan para imam kaum muslimin zaman dahulu dan kemudian. Yang mengeraskan basmalah dari kalangan sahabat di antaranya Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Mu’awiyah...”
Imam an-Nawawi menandaskan bahwa menurut madzhab kami (madzhab asy-Syafi’i), basmalah disunnahkan untuk dibaca keras dalam shalat jahriyah baik di awal al-Fatihah maupun di awal surat. Lebih lanjut beliau menjelaskan siapa saja yang berpendapat seperti ini, dengan menukil riwayat dari Abu Bakar al-Khathib, di antaranya dari kalangan sahabat ada khalifah yang empat, Ammar bin Yasir, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Qatadah, Abu Sa’id, Qais bin Malik, Abu Hurairah, Abdullah bin Abi Aufa, Syadad bin Aus, Abdullah bin Ja’far, Husain bin Ali, Abdullah Ja’far, dan Mu’awiyah serta sejumlah sahabat dari Muhajirin dan Anshar. Dari kalangan tabi’in ada Sa’id bin al-Musayyab, Thawus, Atha`, Mujahid, Abu wail, Sa’id bin Jubair, Ibnu Sirin, Ikrimah, Ali bin Husain, Muhammad bin Ali, Salim bin Abdullah.....dll.
Basmalah dapat dibaca sekali tempo secara keras dan sekali tempo secara pelan, walau secara sirr dianggap lebih sering dikerjakan Nabi SAW. Pendapat ini dimotori oleh Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya Zadul Ma’ad fi Hadyi Khair al-`Ibad : 1/119
وَكَانَ يَجْهَرُ بِبِسْمِ اللّهِ الرّحْمَنِ الرّحِيمِ تَارَةً وَيُخْفِيهَا أَكْثَرَ مِمّا يَجْهَرُ بِهَا دَائِمًا فِي كُلّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَمْسَ مَرّاتٍ أَبَدًا حَضَرًا وَسَفَرًا وَيَخْفَى ذَلِكَ عَلَى خُلَفَائِهِ الرّاشِدِينَ وَعَلَى جُمْهُورِ أَصْحَابِهِ وَأَهْلِ بَلَدِهِ فِي الْأَعْصَارِ الْفَاضِلَةِ هَذَا مِنْ أَمْحَلِ الْمُحَالِ حَتّى يَحْتَاجَ إلَى التّشَبّثِ فِيهِ بِأَلْفَاظٍ مُجْمَلَةٍ وَأَحَادِيثَ وَاهِيَةٍ فَصَحِيحُ تِلْكَ الْأَحَادِيثِ غَيْرُ صَرِيحٍ وَصَرِيحُهَا غَيْرُ صَحِيحٍ وَهَذَا مَوْضِعٌ يَسْتَدْعِي مُجَلّدًا ضَخْمًا .
Ibnul Qayyim berkata :
“ Dahulu Rasulullah SAW. kadang-kadang mengeraskan lafadzbismillahirrahmanirahim dan lebih sering tidak membacanya secara keras. Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa beliau tidak selalu mengeraskan basmalah ketika shalat lima waktu dalam sehari semalam, baik ketika bermukim ataupun bepergian. Beliau memperlihatkan hal ini kepada khulafa` rasyidin, kepada para sahabatnya dan penduduk kota-kota besar. Ini merupakan hal yang paling mustahil sehingga harus dijelaskan lagi. Untuk membahas masalah ini rupanya membutuhkan ruang yang berjilid-jilid yang tebal .”
Jadi kesimpulannya – setelah mencermati riwayat-riwayat yang ada (di antaranya yang disebut di atas) –, membaca basmalah bagi imam ketika membaca Al-Faatihah itu boleh dan disyari’atkan. Bukan bid’ah. Ia pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam – walaupun yang paling sering dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah melirihkannya sebagaimana riwayat Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu di atas -. Mengeraskan basmalah dilakukan juga oleh beberapa shahabat dan ulama setelahnya.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Senin, 26 Februari 2018
BEBERAPA DOA YANG DIAJARKAN ROSULULLOH SAW
Telah shahih beberapa hadits sebagai berikut :
عَنْ أَبِي نَعَامَةَ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُغَفَّلٍ، سَمِعَ ابْنَهُ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْقَصْرَ الْأَبْيَضَ عَنْ يَمِينِ الْجَنَّةِ إِذَا دَخَلْتُهَا، فَقَالَ: أَيْ بُنَيَّ، سَلِ اللَّهَ الْجَنَّةَ وَتَعَوَّذْ بِهِ مِنَ النَّارِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنَّهُ سَيَكُونُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الطَّهُورِ وَالدُّعَاءِ "
Dari Abi Na’aamah ia berkata : Bahwasannya Abdullah bin Mughaffal mendengar anaknya berdoa : ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu sebuah istana putih yang terletak di sisi kanan surga, jika kelak aku masuk surga’. Maka ia (‘Abdullah bin Mughaffal) berkata : “Wahai anakku, mohonlah kepada Allah surga dan mohonlah kepada-Nya perlindungan dari api neraka. Karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya kelak akan ada satu kaum dari umat ini yang melampaui batas dalam bersuci dan berdoa” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 96, Ibnu Maajah no. 3864, dan yang lainnya; shahih].
عَنْ أَبِي نَعَامَةَ، عَنْ ابْنٍ لِسَعْدٍ، أَنَّهُ قَالَ: سَمِعَنِي أَبِي وَأَنَا أَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَنَعِيمَهَا وَبَهْجَتَهَا، وَكَذَا، وَكَذَا، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ وَسَلَاسِلِهَا وَأَغْلَالِهَا، وَكَذَا، وَكَذَا، فَقَالَ: يَا بُنَيَّ، إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " سَيَكُونُ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الدُّعَاءِ " فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ، إِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَ الْجَنَّةَ أُعْطِيتَهَا وَمَا فِيهَا مِنَ الْخَيْرِ، وَإِنْ أُعِذْتَ مِنَ النَّارِ أُعِذْتَ مِنْهَا وَمَا فِيهَا مِنَ الشَّرِّ
Dari Abi Na’aamah dari anaknya Sa’d (bin Abi Waqqaash),ia berkata : Ayahku mendengarku ketika aku berdoa : “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu surga, kenikmatannya, lalu ini, dan itu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka, rantai-rantainya, belenggu-belenggunya, lalu ini, dan itu”. Lalu ayahku berkata : “Wahai anakku, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Kelak akan ada satu kaum yang melampaui batas dalam berdoa’. Waspadalah agar engkau jangan sampai termasuk kaum tersebut. Seandainya engkau diberikan surga, maka akan diberikan pula segala yang ada di dalamnya dari kebaikan. Dan jika engkau dijauhkan dari neraka, maka akan dijauhkan pula segala apa yang ada di dalamnya dari kejelekan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1480; shahih].
Kandungan Hadits :
1. Diharamkannya berlebih-lebihan dalam berdoa, karena hal tersebut termasuk melampaui batas, dan Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
2. Diantara bentuk-bentuk melampaui batas/berlebih-lebihan dalam berdoa :
a. Meminta sesuatu yang dilarang dan diharamkan Allah terhadap hamba-Nya ketika hidup di dunia, sebagaimana permohonan Bani Israaiil kepada Muusaa ‘alaihis-salaam :
فَقَالُوَاْ أَرِنَا اللّهِ جَهْرَةً فَأَخَذَتْهُمُ الصّاعِقَةُ بِظُلْمِهِمْ
“’Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata’.Maka mereka disambar petir karena kedhalimannya” [QS. An-Nisaa’ : 153].
b. Mengangkat suara ketika berdoa sebagaimana yang terdapat dalam firman-Nya ta’ala :
ادْعُواْ رَبّكُمْ تَضَرّعاً وَخُفْيَةً إِنّهُ لاَ يُحِبّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” [QS. Al-A’raaf : 55].
c. Memperinci permohonan (sebagaimana dalam hadits di atas).
Beberapa Contoh Doa Untuk Berbagai Keperluan Dari Rosululloh
« اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الْغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الْخَلْقِ ، أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا لِي ، وَتَوَفَّنِي إِذَا عَلِمْتَ الْوَفَاةَ خَيْرًا لِي ، اللَّهُمَّ وَأَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ ، وَأَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الرِّضَا وَالْغَضَبِ ، وَأَسْأَلُكَ الْقَصْدَ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى ، وَأَسْأَلُكَ نَعِيمًا لَا يَنْفَدُ ، وَأَسْأَلُكَ قُرَّةَ عَيْنٍ لَا تَنْقَطِعُ ، وَأَسْأَلُكَ الرِّضَاءَ بَعْدَ الْقَضَاءِ ، وَأَسْأَلُكَ بَرْدَ الْعَيْشِ بَعْدَ الْمَوْتِ ، وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ ، وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ ، اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الْإِيمَانِ ، وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ »
”Ya Allah, dengan pengetahuan-Mu terhadap semua yang ghaib, dengan kuasa-Mu atas semua makhluk, hidupkanlah saya selama Engkau menilai hidup itu lebih baik bagi saya. Matikanlah saya jika Engkau menilai kematian itu lebih baik bagi saya. Ya Allah, Saya meminta kepada-Mu agar saya memiliki rasa takut kepada-Mu baik secara dhahir maupun batin. Saya meminta ucapan yang haq baik dalam keadaan terkendali maupun ketika emosi. Saya meminta kepada-Mu kesederhanaan (hemat) baik ketika kaya maupun miskin. Saya meminta kepada-Mu kenikmatan yang tak pernah sirna, ketenangan mata yang tiada terputus. Saya meminta kepada-Mu rasa rela atas takdir, Saya meminta kepada-Mu mengembalikan kehidupan setelah kematian. Saya meminta kepada-Mu nikmatnya melihat atas Dzat-Mu, kerinduan berjumpa dengan-Mu, tanpa bahaya dan ujian yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan iman dan jadikanlah kami orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (HR Ahmad 4/364, dan Nasa’i 3/54)
« اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يَنْفَعُنِي حُبُّهُ عِنْدَكَ ، اللَّهُمَّ مَا رَزَقْتَنِي مِمَّا أُحِبُّ فَاجْعَلْهُ قُوَّةً لِي فِيمَا تُحِبُّ ، اللَّهُمَّ وَمَا زَوَيْتَ عَنِّي مِمَّا أُحِبُّ فَاجْعَلْهُ فَرَاغًا لِي فِيمَا تُحِبُّ »
”Ya Allah, berilah saya rezeki mencintai-Mu dan mencintai orang yang memiliki nilai cinta di sisi-Mu. Ya Allah, apapun yang Engkau berikan yang sesuai dengan yang saya senangi, jadikanlah sebagai nilai yang Engkau senangi. Ya Allah, apapun yang Engkau genggam dari apa yang saya senangi, maka jadikanlah sebagai kelonggaran bagi saya untuk digunakan dalam hal yang Engkau senangi.” (HR Turmudzi 5/523)
« اللَّهُمَّ طَهِّرْنِي مِنْ الذُّنُوبِ وَالْخَطَايَا ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْهَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنْ الدَّنَسِ ، اللَّهُمَّ طَهِّرْنِي بِالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَالْمَاءِ الْبَارِدِ »
”Ya Allah, sucikanlah saya dari dosa dan kesalahan, bersihkan kami sebagaimana bersihnya pakaian putih dari kotoran. Ya Allah sucikanlah saya dengan salju dan air yang dingin.” (HR Turmudzi 5/515, dan Nasa’i 1/198-199)
« اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَرَبَّ إِسْرَافِيلَ أَعُوذُ بِكَ مِنْ حَرِّ النَّارِ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ »
”Ya Allah, wahai Tuhannya Jibril, Mikail dan Israfil, saya berlindung kepada-Mu dari panasnya neraka dan siksa kubur.” (HR Nasa’i 8/278)
« اللَّهُمَّ أَلْهِمْنِي رُشْدِي وَأَعِذْنِي مِنْ شَرِّ نَفْسِي »
”Ya Allah, ilhamkan kepada saya petunjuk kebenaran, lindungi saya dari keburukan diri sendiri.” (HR Ahmad 4/444, dan Turmudzi 5/519)
« اللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَاوَاتِ وَرَبَّ الْأَرْضِ وَرَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ ، فَالِقَ الْحَبِّ وَالنَّوَى وَمُنْزِلَ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْفُرْقَانِ ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ شَيْءٍ أَنْتَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهِ ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ ، وَأَنْتَ الْآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ ، وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ ، وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُونَكَ شَيْءٌ ، إِقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ وَأَغْنِنَا مِنْ الْفَقْرِ »
”Ya Allah, Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, tuhan yang menciptakan Arsy yang agung, Tuhab kita dan Tuhan segala sesuatu, yang menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan, yang menurunkan taurat, injil dan Al Quran. Saya berlindung kepada-Mu dari keburukan segala sesuatu yang Engkau kuasai. Ya Allah, Engkau yang pertama, maka tidak ada yang sebelum Engkau. Engkau yang terakhir, maka tidak ada yang setelah Engkau. Engkau yang dhahir, maka tidak ada yang di atas-Mu. Engkau yang batin, maka tidak ada yang di bawah-Mu. Bayarkan hutang kami dan cukupkanlah kami dari kefakiran.” (HR Muslim 4/2084)
« اللَّهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِنَا ، وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا ، وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلَامِ ، وَنَجِّنَا مِنْ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ، وَجَنِّبْنَا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ، وَبَارِكْ لَنَا فِي أَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُلُوبِنَا وَأَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا ، وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ ، وَاجْعَلْنَا شَاكِرِينَ لِنِعْمَتِكَ ، مُثْنِينَ بِهَا ، قَابِلِيهَا ، وَأَتِمَّهَا عَلَيْنَا »
”Ya Allah, pertautkanlah diantara hati kami, perbaikilah hubungan diantara kami, tunjukkan kami jalan kedamaian, selamatkan kami dari kegelapan menuju kepada terang, jauhkan kami dari semua keburukan, yang tampak maupun yang tidak tampak. Berkatilah kami dalam pendengaran kami, penglihatan kami, hati kami, istri dan keturunan kami. Terimalah taubat kami, engkau yang maha penerima taubat dan maha penyayang. Jadikan kami orang-orang yang bersyukur pada nikmat-Mu, pemuji nikmat-Mu, penerima nikmat-Mu, dan sempurnakanlah nikmat-Mu kepada kami.” (HR Al Hakim 1/265, Ibnu Hibban No 1001, dan Abu Dawud No 825)
« اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَ الْمَسْأَلَةِ ، وَخَيْرَ الدُّعَاءِ ، وَخَيْرَ النَّجَاحِ ، وَخَيْرَ الْعَمَلِ ، وَخَيْرَ الثَّوَابِ ، وَخَيْرَ الْحَيَاةِ ، وَخَيْرَ الْمَمَاتِ ، وَثَبِّتْنِي وَثَقِّلْ مَوَازِينِي ، وَأَحِقَّ إِيمَانِي ، وَارْفَعْ دَرَجَتِي وَتَقَبَّلْ صَلاتِي ، وَاغْفِرْ خَطِيئَتِي، وَأَسْأَلُكَ الدَّرَجَاتِ الْعُلَى مِنَ الْجَنَّةِ آمِينَ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ فَوَاتِحَ الْخَيْرِ وَخَوَاتِمَهُ وَجَوَامِعَهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَظَاهِرَهُ وَبَاطِنَهُ، وَالدَّرَجَاتِ الْعُلَى مِنَ الْجَنَّةِ آمِينَ، اللَّهُمَّ وَنَجِّنِي مِنَ النَّارِ وَمَغْفِرَةِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ، وَالْمَنْزِلَ الصَّالِحَ مِنَ الْجَنَّةِ آمِينَ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَلاصًا مِنَ النَّارِ سَالِمًا، وَأَدْخِلْنِي الْجَنَّةَ آمِنًا، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ أَنْ تُبَارِكَ لِي فِي نَفْسِي وَفِي سَمْعِي وَفِي بَصَرِي وَفِي رُوحِي وَفِي خُلُقِي وَفِي خَلِيقَتِي وَأَهْلِي وَفِي مَحْيَايَ وَفِي مَمَاتِي، اللَّهُمَّ وَتَقَبَّلْ حَسَنَاتِي، وَأَسْأَلُكَ الدَّرَجَاتِ الْعُلَى مِنَ الْجَنَّةِ آمِينَ »
”Ya Allah, saya minta kepada-Mu masalah yang terbaik, doa yang terbaik, kesuksesan yang terbaik, perbuatan yang terbaik, pahala yang terbaik, hidup yang terbaik, mati yang terbaik, teguhkan saya, beratkanlah timbangan amal kebaikan saya, nyatakanlah iman saya, angkatlah derajat saya, terimalah salat saya, ampunilah kesalahan saya. Dan saya meminta kepada-Mu derajat yang tinggi di surga. Ya Allah, saya meminta kepada-Mu kebaikan di awal dan di akhir, keseluruhannya, dhahir dan batin, dan derajat yang tinggi di surga, Amin. Ya Allah, saya meminta kepada-Mu untuk mengangkat nama saya, menurunkan dosa saya, memperbaiki urusan saya, mensucikan hati saya, menjaga kemaluan saya, menerangi hati saya, mengampuni dosa saya, saya meminta kepada-Mu derajat yang tinggi di surga, Amin. Ya Allah, saya meminta kepada-Mu memberkati diri saya, pendengaran saya, penglihatan saya, ruh saya, diri saya, moral saya, hidup saya, mati saya, perbuatan saya, maka terimalah amal-amal kebaikan saya, saya meminta kepada-Mu derajat yang tinggi di surga.” (HR Al Hakim 1/520, dan Thabrani fi al Kabir No 19192)
« اللَّهُمَّ، جَنِّبْنِي مُنْكَرَاتِ الأَخْلاقِ، وَالأَعْمَالِ، وَالأَهْوَاءِ، وَالأدْوَاءِ »
”Ya Allah, jauhkan saya dari kerusakan moral, hawa nafsu, perbuatan dan penyakit.” (HR Al Hakim 1/532, Ibnu Hibban No 965, dan Thabranifi al Kabir No 15279)
« اللَّهُمَّ قَنِّعْنِي ِبَما رَزَقْتَنِي ، وَبَارِكْ لِي فِيْهِ ، وَاخْلُفْ عَلَيَّ كُلَّ غَائِبَةٍ لِي بِخَيْرٍ »
”Ya Allah, berilah kami rasa cukup atas rezeki-Mu pada saya, berkatilah rezeki saya, dan gantilah buat saya setiap sesuatu yang terlewatkan dengan yang lebih baik.” (HR Al Hakim 1/510, dan Ibnu Khuzaimah 2522)
« اللَّهُمَّ حَاسِبْنِي حِسَابًا يَسِيْرًا »
”Ya Allah, periksalah amal saya, dengan pemeriksaan yang ringan.” (HR Ahmad 6/48, dan Al Hakim 1/255)
« اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ »
”Ya Allah, bantulah saya untuk mengingat-Mu, mensyukuri nikmat-Mu, dan berbuat baik dalam beribadah kepada-Mu.” (HR Al Hakim 1/499, Abu Dawud 2/86, dan Nasa’i 3/53)
« اللَّهُمَّ قِنِي شَرَّ نَفْسِي وَاعْزِمْ لِي عَلَى أَرْشَدِ أَمْرِي ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا أَخْطَأْتُ وَمَا عَمَدْتُ وَمَا عَلِمْتُ وَمَا جَهِلْتُ »
”Ya Allah, jagalah saya dari keburukan saya sendiri, teguhkanlah saya pada urusan yang lurus. Ya Allah, ampunilah dosa saya, baik yang rahasia, yang terlihat, yang salah, yang disengaja, yang saya tahu dan yang tidak saya ketahui.” (HR Ahmad 4/444, dan Al Hakim 1/510)
« اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي وَعَافِنِي ، أَعُوذُ بِاللهِ مِنْ ضَيْقِ الْمَقَامِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »
”Ya Allah, ampuni saya, tunjukkanlah saya, berilah saya rezeki, sehatkanlah saya, dan saya berlindung kepada-Mu dari sempitnya tempat di hari kiamat.” (HR Nasa’i 3/209, Ibnu Majah 1/431)
« اللَّهُمَّ مَتِّعْنِي بِسَمْعِي وَبَصَرِي وَاجْعَلْهُمَا الْوَارِثَ مِنِّي ، وَانْصُرْنِي عَلَى مَنْ يَظْلِمُنِي ، وَخُذْ مِنْهُ بِثَأْرِي »
”Ya Allah, berilah saya tenggang waktu menikmati penglihatan dan pendengaran saya, jadikan keduanya sebagai warisan saya, tolonglah saya dari orang yang menganiaya saya dan balaslah ia atas penganiaannya tarhadap saya.” (HR Turmudzi No 3535, dan Al Hakim 1888)
« اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِيْشَةً نَقِيَّةً ، وَمِيْتَةً سَوِيَّةً ، وَمَرَدًّا غَيْرَ مَخْزٍ وَلَا فَاضِحٍ »
”Ya Allah, saya meminta kepada-Mu kehidupan yang bersih, kematian yang baik, dan tempt kembali tanpa kehinaan dan bencana.” Doa ini dibaca oleh Rasulullah Saw pada waktu hari raya. (HR al Bazzar No 2177 dan Thabrani, hadis ini dikomentari oleh Al Haitsami dengan sanad yang baik)
« اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ كُلُّهُ اللَّهُمَّ لَا قَابِضَ لِمَا بَسَطْتَ وَلَا بَاسِطَ لِمَا قَبَضْتَ ، وَلَا هَادِيَ لِمَا أَضْلَلْتَ وَلَا مُضِلَّ لِمَنْ هَدَيْتَ ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ ، وَلَا مُقَرِّبَ لِمَا بَاعَدْتَ وَلَا مُبَاعِدَ لِمَا قَرَّبْتَ ، اللَّهُمَّ ابْسُطْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِكَ وَرَحْمَتِكَ وَفَضْلِكَ وَرِزْقِكَ ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ النَّعِيمَ الْمُقِيمَ الَّذِي لَا يَحُولُ وَلَا يَزُولُ ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ النَّعِيمَ يَوْمَ الْعَيْلَةِ وَالْأَمْنَ يَوْمَ الْخَوْفِ ، اللَّهُمَّ إِنِّي عَائِذٌ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا أَعْطَيْتَنَا وَشَرِّ مَا مَنَعْتَ ، اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْإِيمَانَ وَزَيِّنْهُ فِي قُلُوبِنَا وَكَرِّهْ إِلَيْنَا الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ وَاجْعَلْنَا مِنْ الرَّاشِدِينَ ، اللَّهُمَّ تَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ وَأَحْيِنَا مُسْلِمِينَ وَأَلْحِقْنَا بِالصَّالِحِينَ غَيْرَ خَزَايَا وَلَا مَفْتُونِينَ ، اللَّهُمَّ قَاتِلْ الْكَفَرَةَ الَّذِينَ يُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِكَ وَاجْعَلْ عَلَيْهِمْ رِجْزَكَ وَعَذَابَكَ ، اللَّهُمَّ قَاتِلْ الْكَفَرَةَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَهَ الْحَقِّ »
”Ya Allah, segala puji bagi-Mu. Ya Allah, tiada yang mampu menggenggam apa yang Engkau lepas, tiada yang mampu melepas apa yang Engkau genggam, tiada yang bisa memberi hidayah bagi orang yang telah Engkau sesatkan, tiada yang mampu menyesatkan orang yang telah Engkau beri hidayah, tiada yang mampu memberi kepada apa yang Engkau cegah, tiada yang mampu mencegah apa yang Engkau beri, tiada yang bisa mendekatkan apa yang telah Engkau jauhkan, dan tiada yang mampu menjauhkan apa yang Engkau dekatkan. Ya Allah, luaskan berkah-Mu kepada kami, juga rahmat-Mu, anugerah-Mu dan rezeki-Mu. Ya Allah, saya meminta kepada-Mu kenikmatan yang kekal, yang tiada pernah sirna. Ya Allah, saya meminta kepada-Mu kenikmatan di saat hari kemiskinan, meminta kedamaian di hari ketakutan. Ya Allah, saya berlindung kepada-Mu dari keburukan yang Engkau berikan kepada kami maupun yang Engkau cegah. Ya Allah, berilah kami kecintaan terhadap iman, hiasilah hati kami dengan iman, berilah kami kebencian pada kekufuran, kefasikan dan kedurhakaan dan jadikanlah kami orang-orang yang dapat petunjuk. Ya Allah, matikanlah kami sebagai orang muslim, hidupkan kami sebagai oramg muslim, pertemukanlah kami dengan orang-orang saleh, tanpa kerugian dan mendapatkan fitnah. Ya Allah perangilah orang-orang kafir yang telah mendustakan para rasul-Mu dan menghalang-halangi jalan-Mu, timpakanlah adzab siksa-Mu pada mereka. Ya Allah, perangilah pula orang-orang ahli kitab.” (HR Ahmad 4/424, Al Hakim 1//507, Al Bukhari fi al Adab al Mufrad 699, dan Nasa’i fi al Kubra 10444)
« اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ، وَارْحَمْنِي ، وَاهْدِنِي ، وَعَافِنِي ، وَارْزُقْنِي » وفى رواية « وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي »
”Ya Allah, ampunilah saya, kasihanilah saya, berilah saya petunjuk, sehatkanlah saya, dan berilah saya rezeki.” (HR Muslim 4/2072). (dalam riwayat Turmudzi 1/90 dan Ibnu Majah 1/148: ”Tambalkanlah kekurangan saya dan angkatlah [derajat] saya).”
« اللَّهُمَّ زِدْنَا وَلَا تَنْقُصْنَا ، وَأَكْرِمْنَا وَلَا تُهِنَّا ، وَأَعْطِنَا وَلَا تَحْرِمْنَا ، وَآثِرْنَا وَلَا تُؤْثِرْ عَلَيْنَا ، وَارْضَ عَنَّا وَأَرْضِنَا »
”Ya Allah, tambahkanlah kepada kami dan jangan Engkau kurangi, muliakanlah kami dan jangan Engkau nistakan, berilah kami dan jangan kau halangi, pilihlah kami dan jangan Engkau sia-siakan, dan ridlailah kami.” (HR Ahmad No 218, Turmudzi No 3097, dan Al Hakim No 1917)
« اللَّهُمَّ أَحْسَنْتَ خَلْقِي فَأَحْسِنْ خُلُقِي »
”Ya Allah, Engkau telah indahkan penciptaan saya, maka indahkanlah akhlak saya.” (HR Ahmad 6/68 dan 155)
« اللَّهُمَّ ثَبِّتْنِي وَاجْعَلْنِي هَادِيًا مَهْدِيًّا »
”Ya Allah, teguhkanlah saya dan jadikanlah saya orang yang dapat petunjuk dan diberi hidayah.” (HR Al Bukhari dalam Fathul Bari 6/161 )
« يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ ، لَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ ، وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ »
Doa Fatimah yang diajarkan oleh ayahnya, Rasulullah Saw: ”Wahai Tuhan yang maha hidup, yang maha mengurus segala sesuatu. Dengan rahmat-Mu saya meminta tolong. Jangan Engkau campakkan diri saya walau sekejap mata. Perbaikilah semua keadaan saya.” (HR Al Hakim No: 1958, Nasa’i fi al Kubra No 10405, dan Thabrani fi al Ausath No 445)
« اللَّهُمَّ لَا تَدَعْ لِي ذَنْباً إِلَّا غَفَرْتَهُ وَلَا هَمّاً إِلَّا فَرَّجْتَهُ وَلَا دَيْنًاً إِلَا قَضَيْتَهُ وَلَا حَاجَةً مِنْ حَوَائِجِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ إِلَّا قَضَيْتَهَا بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنِ »
“Ya Allah, jangan Engkau tinggalkan untuk saya sebuah dosa kecuali Engkau ampuni, jangan tinggalkan kesusahan kecuali Engkau hilangkan, jangan tinggalkan hutang kecuali Engkau bayarkan, jangan tinggalkan kebutuhan dunia dan akhirat kecuali Engkau penuhi, wahai yang paling mengasihi diantara yang mengasihi” (HR Thabrani fi al Ausath No 3529, dan fi Al Shaghir No 342)
« رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْرًا وَاغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ »
“Ya Tuhanku, ampunilah dosa saya dan kedua orang tua saya, rahmatilah mereka sebagaimana mereka mendidik saya waktu kecil. Berilah ampunan pula bagi orang-orang mukmin dan muslim, yang laki-laki atau wanita, yang masih hidup ataupun yang telah meninggal”. (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah, Al Iraqi menilainya sebagai hadis hasan)
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
عَنْ أَبِي نَعَامَةَ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُغَفَّلٍ، سَمِعَ ابْنَهُ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْقَصْرَ الْأَبْيَضَ عَنْ يَمِينِ الْجَنَّةِ إِذَا دَخَلْتُهَا، فَقَالَ: أَيْ بُنَيَّ، سَلِ اللَّهَ الْجَنَّةَ وَتَعَوَّذْ بِهِ مِنَ النَّارِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنَّهُ سَيَكُونُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الطَّهُورِ وَالدُّعَاءِ "
Dari Abi Na’aamah ia berkata : Bahwasannya Abdullah bin Mughaffal mendengar anaknya berdoa : ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu sebuah istana putih yang terletak di sisi kanan surga, jika kelak aku masuk surga’. Maka ia (‘Abdullah bin Mughaffal) berkata : “Wahai anakku, mohonlah kepada Allah surga dan mohonlah kepada-Nya perlindungan dari api neraka. Karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya kelak akan ada satu kaum dari umat ini yang melampaui batas dalam bersuci dan berdoa” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 96, Ibnu Maajah no. 3864, dan yang lainnya; shahih].
عَنْ أَبِي نَعَامَةَ، عَنْ ابْنٍ لِسَعْدٍ، أَنَّهُ قَالَ: سَمِعَنِي أَبِي وَأَنَا أَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَنَعِيمَهَا وَبَهْجَتَهَا، وَكَذَا، وَكَذَا، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ وَسَلَاسِلِهَا وَأَغْلَالِهَا، وَكَذَا، وَكَذَا، فَقَالَ: يَا بُنَيَّ، إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " سَيَكُونُ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الدُّعَاءِ " فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ، إِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَ الْجَنَّةَ أُعْطِيتَهَا وَمَا فِيهَا مِنَ الْخَيْرِ، وَإِنْ أُعِذْتَ مِنَ النَّارِ أُعِذْتَ مِنْهَا وَمَا فِيهَا مِنَ الشَّرِّ
Dari Abi Na’aamah dari anaknya Sa’d (bin Abi Waqqaash),ia berkata : Ayahku mendengarku ketika aku berdoa : “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu surga, kenikmatannya, lalu ini, dan itu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka, rantai-rantainya, belenggu-belenggunya, lalu ini, dan itu”. Lalu ayahku berkata : “Wahai anakku, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Kelak akan ada satu kaum yang melampaui batas dalam berdoa’. Waspadalah agar engkau jangan sampai termasuk kaum tersebut. Seandainya engkau diberikan surga, maka akan diberikan pula segala yang ada di dalamnya dari kebaikan. Dan jika engkau dijauhkan dari neraka, maka akan dijauhkan pula segala apa yang ada di dalamnya dari kejelekan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1480; shahih].
Kandungan Hadits :
1. Diharamkannya berlebih-lebihan dalam berdoa, karena hal tersebut termasuk melampaui batas, dan Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
2. Diantara bentuk-bentuk melampaui batas/berlebih-lebihan dalam berdoa :
a. Meminta sesuatu yang dilarang dan diharamkan Allah terhadap hamba-Nya ketika hidup di dunia, sebagaimana permohonan Bani Israaiil kepada Muusaa ‘alaihis-salaam :
فَقَالُوَاْ أَرِنَا اللّهِ جَهْرَةً فَأَخَذَتْهُمُ الصّاعِقَةُ بِظُلْمِهِمْ
“’Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata’.Maka mereka disambar petir karena kedhalimannya” [QS. An-Nisaa’ : 153].
b. Mengangkat suara ketika berdoa sebagaimana yang terdapat dalam firman-Nya ta’ala :
ادْعُواْ رَبّكُمْ تَضَرّعاً وَخُفْيَةً إِنّهُ لاَ يُحِبّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” [QS. Al-A’raaf : 55].
c. Memperinci permohonan (sebagaimana dalam hadits di atas).
Beberapa Contoh Doa Untuk Berbagai Keperluan Dari Rosululloh
« اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الْغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الْخَلْقِ ، أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا لِي ، وَتَوَفَّنِي إِذَا عَلِمْتَ الْوَفَاةَ خَيْرًا لِي ، اللَّهُمَّ وَأَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ ، وَأَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الرِّضَا وَالْغَضَبِ ، وَأَسْأَلُكَ الْقَصْدَ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى ، وَأَسْأَلُكَ نَعِيمًا لَا يَنْفَدُ ، وَأَسْأَلُكَ قُرَّةَ عَيْنٍ لَا تَنْقَطِعُ ، وَأَسْأَلُكَ الرِّضَاءَ بَعْدَ الْقَضَاءِ ، وَأَسْأَلُكَ بَرْدَ الْعَيْشِ بَعْدَ الْمَوْتِ ، وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ ، وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ ، اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الْإِيمَانِ ، وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ »
”Ya Allah, dengan pengetahuan-Mu terhadap semua yang ghaib, dengan kuasa-Mu atas semua makhluk, hidupkanlah saya selama Engkau menilai hidup itu lebih baik bagi saya. Matikanlah saya jika Engkau menilai kematian itu lebih baik bagi saya. Ya Allah, Saya meminta kepada-Mu agar saya memiliki rasa takut kepada-Mu baik secara dhahir maupun batin. Saya meminta ucapan yang haq baik dalam keadaan terkendali maupun ketika emosi. Saya meminta kepada-Mu kesederhanaan (hemat) baik ketika kaya maupun miskin. Saya meminta kepada-Mu kenikmatan yang tak pernah sirna, ketenangan mata yang tiada terputus. Saya meminta kepada-Mu rasa rela atas takdir, Saya meminta kepada-Mu mengembalikan kehidupan setelah kematian. Saya meminta kepada-Mu nikmatnya melihat atas Dzat-Mu, kerinduan berjumpa dengan-Mu, tanpa bahaya dan ujian yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan iman dan jadikanlah kami orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (HR Ahmad 4/364, dan Nasa’i 3/54)
« اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يَنْفَعُنِي حُبُّهُ عِنْدَكَ ، اللَّهُمَّ مَا رَزَقْتَنِي مِمَّا أُحِبُّ فَاجْعَلْهُ قُوَّةً لِي فِيمَا تُحِبُّ ، اللَّهُمَّ وَمَا زَوَيْتَ عَنِّي مِمَّا أُحِبُّ فَاجْعَلْهُ فَرَاغًا لِي فِيمَا تُحِبُّ »
”Ya Allah, berilah saya rezeki mencintai-Mu dan mencintai orang yang memiliki nilai cinta di sisi-Mu. Ya Allah, apapun yang Engkau berikan yang sesuai dengan yang saya senangi, jadikanlah sebagai nilai yang Engkau senangi. Ya Allah, apapun yang Engkau genggam dari apa yang saya senangi, maka jadikanlah sebagai kelonggaran bagi saya untuk digunakan dalam hal yang Engkau senangi.” (HR Turmudzi 5/523)
« اللَّهُمَّ طَهِّرْنِي مِنْ الذُّنُوبِ وَالْخَطَايَا ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْهَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنْ الدَّنَسِ ، اللَّهُمَّ طَهِّرْنِي بِالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَالْمَاءِ الْبَارِدِ »
”Ya Allah, sucikanlah saya dari dosa dan kesalahan, bersihkan kami sebagaimana bersihnya pakaian putih dari kotoran. Ya Allah sucikanlah saya dengan salju dan air yang dingin.” (HR Turmudzi 5/515, dan Nasa’i 1/198-199)
« اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَرَبَّ إِسْرَافِيلَ أَعُوذُ بِكَ مِنْ حَرِّ النَّارِ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ »
”Ya Allah, wahai Tuhannya Jibril, Mikail dan Israfil, saya berlindung kepada-Mu dari panasnya neraka dan siksa kubur.” (HR Nasa’i 8/278)
« اللَّهُمَّ أَلْهِمْنِي رُشْدِي وَأَعِذْنِي مِنْ شَرِّ نَفْسِي »
”Ya Allah, ilhamkan kepada saya petunjuk kebenaran, lindungi saya dari keburukan diri sendiri.” (HR Ahmad 4/444, dan Turmudzi 5/519)
« اللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَاوَاتِ وَرَبَّ الْأَرْضِ وَرَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ ، فَالِقَ الْحَبِّ وَالنَّوَى وَمُنْزِلَ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْفُرْقَانِ ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ شَيْءٍ أَنْتَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهِ ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ ، وَأَنْتَ الْآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ ، وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ ، وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُونَكَ شَيْءٌ ، إِقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ وَأَغْنِنَا مِنْ الْفَقْرِ »
”Ya Allah, Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, tuhan yang menciptakan Arsy yang agung, Tuhab kita dan Tuhan segala sesuatu, yang menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan, yang menurunkan taurat, injil dan Al Quran. Saya berlindung kepada-Mu dari keburukan segala sesuatu yang Engkau kuasai. Ya Allah, Engkau yang pertama, maka tidak ada yang sebelum Engkau. Engkau yang terakhir, maka tidak ada yang setelah Engkau. Engkau yang dhahir, maka tidak ada yang di atas-Mu. Engkau yang batin, maka tidak ada yang di bawah-Mu. Bayarkan hutang kami dan cukupkanlah kami dari kefakiran.” (HR Muslim 4/2084)
« اللَّهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِنَا ، وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا ، وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلَامِ ، وَنَجِّنَا مِنْ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ، وَجَنِّبْنَا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ، وَبَارِكْ لَنَا فِي أَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُلُوبِنَا وَأَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا ، وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ ، وَاجْعَلْنَا شَاكِرِينَ لِنِعْمَتِكَ ، مُثْنِينَ بِهَا ، قَابِلِيهَا ، وَأَتِمَّهَا عَلَيْنَا »
”Ya Allah, pertautkanlah diantara hati kami, perbaikilah hubungan diantara kami, tunjukkan kami jalan kedamaian, selamatkan kami dari kegelapan menuju kepada terang, jauhkan kami dari semua keburukan, yang tampak maupun yang tidak tampak. Berkatilah kami dalam pendengaran kami, penglihatan kami, hati kami, istri dan keturunan kami. Terimalah taubat kami, engkau yang maha penerima taubat dan maha penyayang. Jadikan kami orang-orang yang bersyukur pada nikmat-Mu, pemuji nikmat-Mu, penerima nikmat-Mu, dan sempurnakanlah nikmat-Mu kepada kami.” (HR Al Hakim 1/265, Ibnu Hibban No 1001, dan Abu Dawud No 825)
« اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَ الْمَسْأَلَةِ ، وَخَيْرَ الدُّعَاءِ ، وَخَيْرَ النَّجَاحِ ، وَخَيْرَ الْعَمَلِ ، وَخَيْرَ الثَّوَابِ ، وَخَيْرَ الْحَيَاةِ ، وَخَيْرَ الْمَمَاتِ ، وَثَبِّتْنِي وَثَقِّلْ مَوَازِينِي ، وَأَحِقَّ إِيمَانِي ، وَارْفَعْ دَرَجَتِي وَتَقَبَّلْ صَلاتِي ، وَاغْفِرْ خَطِيئَتِي، وَأَسْأَلُكَ الدَّرَجَاتِ الْعُلَى مِنَ الْجَنَّةِ آمِينَ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ فَوَاتِحَ الْخَيْرِ وَخَوَاتِمَهُ وَجَوَامِعَهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَظَاهِرَهُ وَبَاطِنَهُ، وَالدَّرَجَاتِ الْعُلَى مِنَ الْجَنَّةِ آمِينَ، اللَّهُمَّ وَنَجِّنِي مِنَ النَّارِ وَمَغْفِرَةِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ، وَالْمَنْزِلَ الصَّالِحَ مِنَ الْجَنَّةِ آمِينَ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَلاصًا مِنَ النَّارِ سَالِمًا، وَأَدْخِلْنِي الْجَنَّةَ آمِنًا، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ أَنْ تُبَارِكَ لِي فِي نَفْسِي وَفِي سَمْعِي وَفِي بَصَرِي وَفِي رُوحِي وَفِي خُلُقِي وَفِي خَلِيقَتِي وَأَهْلِي وَفِي مَحْيَايَ وَفِي مَمَاتِي، اللَّهُمَّ وَتَقَبَّلْ حَسَنَاتِي، وَأَسْأَلُكَ الدَّرَجَاتِ الْعُلَى مِنَ الْجَنَّةِ آمِينَ »
”Ya Allah, saya minta kepada-Mu masalah yang terbaik, doa yang terbaik, kesuksesan yang terbaik, perbuatan yang terbaik, pahala yang terbaik, hidup yang terbaik, mati yang terbaik, teguhkan saya, beratkanlah timbangan amal kebaikan saya, nyatakanlah iman saya, angkatlah derajat saya, terimalah salat saya, ampunilah kesalahan saya. Dan saya meminta kepada-Mu derajat yang tinggi di surga. Ya Allah, saya meminta kepada-Mu kebaikan di awal dan di akhir, keseluruhannya, dhahir dan batin, dan derajat yang tinggi di surga, Amin. Ya Allah, saya meminta kepada-Mu untuk mengangkat nama saya, menurunkan dosa saya, memperbaiki urusan saya, mensucikan hati saya, menjaga kemaluan saya, menerangi hati saya, mengampuni dosa saya, saya meminta kepada-Mu derajat yang tinggi di surga, Amin. Ya Allah, saya meminta kepada-Mu memberkati diri saya, pendengaran saya, penglihatan saya, ruh saya, diri saya, moral saya, hidup saya, mati saya, perbuatan saya, maka terimalah amal-amal kebaikan saya, saya meminta kepada-Mu derajat yang tinggi di surga.” (HR Al Hakim 1/520, dan Thabrani fi al Kabir No 19192)
« اللَّهُمَّ، جَنِّبْنِي مُنْكَرَاتِ الأَخْلاقِ، وَالأَعْمَالِ، وَالأَهْوَاءِ، وَالأدْوَاءِ »
”Ya Allah, jauhkan saya dari kerusakan moral, hawa nafsu, perbuatan dan penyakit.” (HR Al Hakim 1/532, Ibnu Hibban No 965, dan Thabranifi al Kabir No 15279)
« اللَّهُمَّ قَنِّعْنِي ِبَما رَزَقْتَنِي ، وَبَارِكْ لِي فِيْهِ ، وَاخْلُفْ عَلَيَّ كُلَّ غَائِبَةٍ لِي بِخَيْرٍ »
”Ya Allah, berilah kami rasa cukup atas rezeki-Mu pada saya, berkatilah rezeki saya, dan gantilah buat saya setiap sesuatu yang terlewatkan dengan yang lebih baik.” (HR Al Hakim 1/510, dan Ibnu Khuzaimah 2522)
« اللَّهُمَّ حَاسِبْنِي حِسَابًا يَسِيْرًا »
”Ya Allah, periksalah amal saya, dengan pemeriksaan yang ringan.” (HR Ahmad 6/48, dan Al Hakim 1/255)
« اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ »
”Ya Allah, bantulah saya untuk mengingat-Mu, mensyukuri nikmat-Mu, dan berbuat baik dalam beribadah kepada-Mu.” (HR Al Hakim 1/499, Abu Dawud 2/86, dan Nasa’i 3/53)
« اللَّهُمَّ قِنِي شَرَّ نَفْسِي وَاعْزِمْ لِي عَلَى أَرْشَدِ أَمْرِي ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا أَخْطَأْتُ وَمَا عَمَدْتُ وَمَا عَلِمْتُ وَمَا جَهِلْتُ »
”Ya Allah, jagalah saya dari keburukan saya sendiri, teguhkanlah saya pada urusan yang lurus. Ya Allah, ampunilah dosa saya, baik yang rahasia, yang terlihat, yang salah, yang disengaja, yang saya tahu dan yang tidak saya ketahui.” (HR Ahmad 4/444, dan Al Hakim 1/510)
« اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي وَعَافِنِي ، أَعُوذُ بِاللهِ مِنْ ضَيْقِ الْمَقَامِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »
”Ya Allah, ampuni saya, tunjukkanlah saya, berilah saya rezeki, sehatkanlah saya, dan saya berlindung kepada-Mu dari sempitnya tempat di hari kiamat.” (HR Nasa’i 3/209, Ibnu Majah 1/431)
« اللَّهُمَّ مَتِّعْنِي بِسَمْعِي وَبَصَرِي وَاجْعَلْهُمَا الْوَارِثَ مِنِّي ، وَانْصُرْنِي عَلَى مَنْ يَظْلِمُنِي ، وَخُذْ مِنْهُ بِثَأْرِي »
”Ya Allah, berilah saya tenggang waktu menikmati penglihatan dan pendengaran saya, jadikan keduanya sebagai warisan saya, tolonglah saya dari orang yang menganiaya saya dan balaslah ia atas penganiaannya tarhadap saya.” (HR Turmudzi No 3535, dan Al Hakim 1888)
« اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِيْشَةً نَقِيَّةً ، وَمِيْتَةً سَوِيَّةً ، وَمَرَدًّا غَيْرَ مَخْزٍ وَلَا فَاضِحٍ »
”Ya Allah, saya meminta kepada-Mu kehidupan yang bersih, kematian yang baik, dan tempt kembali tanpa kehinaan dan bencana.” Doa ini dibaca oleh Rasulullah Saw pada waktu hari raya. (HR al Bazzar No 2177 dan Thabrani, hadis ini dikomentari oleh Al Haitsami dengan sanad yang baik)
« اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ كُلُّهُ اللَّهُمَّ لَا قَابِضَ لِمَا بَسَطْتَ وَلَا بَاسِطَ لِمَا قَبَضْتَ ، وَلَا هَادِيَ لِمَا أَضْلَلْتَ وَلَا مُضِلَّ لِمَنْ هَدَيْتَ ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ ، وَلَا مُقَرِّبَ لِمَا بَاعَدْتَ وَلَا مُبَاعِدَ لِمَا قَرَّبْتَ ، اللَّهُمَّ ابْسُطْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِكَ وَرَحْمَتِكَ وَفَضْلِكَ وَرِزْقِكَ ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ النَّعِيمَ الْمُقِيمَ الَّذِي لَا يَحُولُ وَلَا يَزُولُ ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ النَّعِيمَ يَوْمَ الْعَيْلَةِ وَالْأَمْنَ يَوْمَ الْخَوْفِ ، اللَّهُمَّ إِنِّي عَائِذٌ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا أَعْطَيْتَنَا وَشَرِّ مَا مَنَعْتَ ، اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْإِيمَانَ وَزَيِّنْهُ فِي قُلُوبِنَا وَكَرِّهْ إِلَيْنَا الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ وَاجْعَلْنَا مِنْ الرَّاشِدِينَ ، اللَّهُمَّ تَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ وَأَحْيِنَا مُسْلِمِينَ وَأَلْحِقْنَا بِالصَّالِحِينَ غَيْرَ خَزَايَا وَلَا مَفْتُونِينَ ، اللَّهُمَّ قَاتِلْ الْكَفَرَةَ الَّذِينَ يُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِكَ وَاجْعَلْ عَلَيْهِمْ رِجْزَكَ وَعَذَابَكَ ، اللَّهُمَّ قَاتِلْ الْكَفَرَةَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَهَ الْحَقِّ »
”Ya Allah, segala puji bagi-Mu. Ya Allah, tiada yang mampu menggenggam apa yang Engkau lepas, tiada yang mampu melepas apa yang Engkau genggam, tiada yang bisa memberi hidayah bagi orang yang telah Engkau sesatkan, tiada yang mampu menyesatkan orang yang telah Engkau beri hidayah, tiada yang mampu memberi kepada apa yang Engkau cegah, tiada yang mampu mencegah apa yang Engkau beri, tiada yang bisa mendekatkan apa yang telah Engkau jauhkan, dan tiada yang mampu menjauhkan apa yang Engkau dekatkan. Ya Allah, luaskan berkah-Mu kepada kami, juga rahmat-Mu, anugerah-Mu dan rezeki-Mu. Ya Allah, saya meminta kepada-Mu kenikmatan yang kekal, yang tiada pernah sirna. Ya Allah, saya meminta kepada-Mu kenikmatan di saat hari kemiskinan, meminta kedamaian di hari ketakutan. Ya Allah, saya berlindung kepada-Mu dari keburukan yang Engkau berikan kepada kami maupun yang Engkau cegah. Ya Allah, berilah kami kecintaan terhadap iman, hiasilah hati kami dengan iman, berilah kami kebencian pada kekufuran, kefasikan dan kedurhakaan dan jadikanlah kami orang-orang yang dapat petunjuk. Ya Allah, matikanlah kami sebagai orang muslim, hidupkan kami sebagai oramg muslim, pertemukanlah kami dengan orang-orang saleh, tanpa kerugian dan mendapatkan fitnah. Ya Allah perangilah orang-orang kafir yang telah mendustakan para rasul-Mu dan menghalang-halangi jalan-Mu, timpakanlah adzab siksa-Mu pada mereka. Ya Allah, perangilah pula orang-orang ahli kitab.” (HR Ahmad 4/424, Al Hakim 1//507, Al Bukhari fi al Adab al Mufrad 699, dan Nasa’i fi al Kubra 10444)
« اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ، وَارْحَمْنِي ، وَاهْدِنِي ، وَعَافِنِي ، وَارْزُقْنِي » وفى رواية « وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي »
”Ya Allah, ampunilah saya, kasihanilah saya, berilah saya petunjuk, sehatkanlah saya, dan berilah saya rezeki.” (HR Muslim 4/2072). (dalam riwayat Turmudzi 1/90 dan Ibnu Majah 1/148: ”Tambalkanlah kekurangan saya dan angkatlah [derajat] saya).”
« اللَّهُمَّ زِدْنَا وَلَا تَنْقُصْنَا ، وَأَكْرِمْنَا وَلَا تُهِنَّا ، وَأَعْطِنَا وَلَا تَحْرِمْنَا ، وَآثِرْنَا وَلَا تُؤْثِرْ عَلَيْنَا ، وَارْضَ عَنَّا وَأَرْضِنَا »
”Ya Allah, tambahkanlah kepada kami dan jangan Engkau kurangi, muliakanlah kami dan jangan Engkau nistakan, berilah kami dan jangan kau halangi, pilihlah kami dan jangan Engkau sia-siakan, dan ridlailah kami.” (HR Ahmad No 218, Turmudzi No 3097, dan Al Hakim No 1917)
« اللَّهُمَّ أَحْسَنْتَ خَلْقِي فَأَحْسِنْ خُلُقِي »
”Ya Allah, Engkau telah indahkan penciptaan saya, maka indahkanlah akhlak saya.” (HR Ahmad 6/68 dan 155)
« اللَّهُمَّ ثَبِّتْنِي وَاجْعَلْنِي هَادِيًا مَهْدِيًّا »
”Ya Allah, teguhkanlah saya dan jadikanlah saya orang yang dapat petunjuk dan diberi hidayah.” (HR Al Bukhari dalam Fathul Bari 6/161 )
« يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ ، لَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ ، وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ »
Doa Fatimah yang diajarkan oleh ayahnya, Rasulullah Saw: ”Wahai Tuhan yang maha hidup, yang maha mengurus segala sesuatu. Dengan rahmat-Mu saya meminta tolong. Jangan Engkau campakkan diri saya walau sekejap mata. Perbaikilah semua keadaan saya.” (HR Al Hakim No: 1958, Nasa’i fi al Kubra No 10405, dan Thabrani fi al Ausath No 445)
« اللَّهُمَّ لَا تَدَعْ لِي ذَنْباً إِلَّا غَفَرْتَهُ وَلَا هَمّاً إِلَّا فَرَّجْتَهُ وَلَا دَيْنًاً إِلَا قَضَيْتَهُ وَلَا حَاجَةً مِنْ حَوَائِجِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ إِلَّا قَضَيْتَهَا بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنِ »
“Ya Allah, jangan Engkau tinggalkan untuk saya sebuah dosa kecuali Engkau ampuni, jangan tinggalkan kesusahan kecuali Engkau hilangkan, jangan tinggalkan hutang kecuali Engkau bayarkan, jangan tinggalkan kebutuhan dunia dan akhirat kecuali Engkau penuhi, wahai yang paling mengasihi diantara yang mengasihi” (HR Thabrani fi al Ausath No 3529, dan fi Al Shaghir No 342)
« رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْرًا وَاغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ »
“Ya Tuhanku, ampunilah dosa saya dan kedua orang tua saya, rahmatilah mereka sebagaimana mereka mendidik saya waktu kecil. Berilah ampunan pula bagi orang-orang mukmin dan muslim, yang laki-laki atau wanita, yang masih hidup ataupun yang telah meninggal”. (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah, Al Iraqi menilainya sebagai hadis hasan)
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Doa Ketika Memasuki Perkampungan Baru
Diriwayatkan dari Sa'd bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Aku mendengar Khaulah binti Hakim al-Salamiyah Radhiyallahu 'Anha berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ
"Siapa yang singgah di suatu tempat, lalu ia membaca: A'udzu Bikalimaatillaahit Taammaati min Syarri Maa Khalaq (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakan-Nya)maka tak ada sesuatupun yang membahayakannya sehingga ia beranjak dari tempatnya tersebut." (HR. Muslim)
Keterangan
Kebiasaan bangsa Arab Jahiliyah, apabila mereka melewati suatu lembah atau tempat yang menyeramkan maka mereka berlindung kepada raja jin di tempat tersebut agar melindungi mereka dari gangguan jin atau hewan yang ingin mencelakakan mereka. Sebagaimana mereka, apabila datang ke negeri musuh lalu mereka meminta perlindungan kepada pembesar negeri tersebut dan di bawah jaminannya.
Maka saat jin melihat para manusia tersebut meminta perlindungan kepada mereka karena takutnya, maka jin tersebut semakin menakut-nakuti mereka sehingga para manusia tersebut terus-menerus meminta perlindungan. Sehingga jin tersebut menambah kesesatan dan dosa, karena mereka terus-menerus melakukan kesyirikan dan kemungkaran yang diperintahkannya.
Allah Ta'ala berfirman,
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
"Dan sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari kalangan manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari jin, tetapi mereka (jin) menjadikan mereka (manusia) bertambah sesat." (QS. Al-Jin: 6)
Para ulama telah sepakat bahwa perbuatan semacam ini, yaitu isti'adzah (memohon perlindungan) kepada selain Allah adalah tidak boleh, bahkan termasuk bagian kesyirikan.
Mula Ali al-Qari al-Hanafi berkata, "Tidak boleh memohon perlindungan kepada jin. Karena Allah Subhanahu wa Ta'alatelah mencela orang-orang kafir atas perbuatan tersebut." Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan firman Allah Ta'ala:
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الْإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الْإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ
"Dan pada suatu hari saat Allah mengumpulkan mereka semua (dan berfirman): "Wahai golongan jin! Kamu telah benyak menyesatkan manusia." Dan kawan-kawan mereka dari golongan manusia berkata, "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah saling mendapatkan kesenangan. Dan sekarang waktu yang telah Engkau tentukan kepada kami telah datang." Allah berfirman, "Nerakalah tempat kamu selama-lamanya, kecuali jika Allah menghendaki lain." Sungguh Tuhanmu Mahabijaksana, Mahamengetahui." (QS. Al-An'am: 128)
Kesenangan yang didapatkan manusia dari jin berupa dituruti keinginannya, dikerjaka apa yang disuruhnya, dan diberitahu dari sebagian kabar ghaib. Sementara kesenangan yang didapatkan jin, manusia mengagungkannya, meminta perlindungan kepadanya, dan tunduk terhadap titahnya. (Diringkas dari Fathul Majid: 196)
Pelajaran dari kisah tersebut, bahwa diperohnya manfaat duniawi berupa dihindarkan dari keburukan atau mendapatkan keuntungan tidak menunjukkan bahwa itu bukan syirik.
Memohon perlindungan kepada jin (sering dikatakan orang: penguasa tempat tersebut) saat mampir ke suatu tempat tidak hanya ada pada zaman jahiliyah. Di zaman modern ini pun masih banyak yang melakukannya, seperti memohon perlingdungan kepada Nyi Roro kidul (banyak orang menyebutnya sebagai penguasa laut selatan, padahal semua belahan bumi adalah milik Allah dan Dia penguasa segalanya) saat melaut dengan melarung sesajen. Sering juga terjadi saat berkemah, para peserta meminta izin kepada penguasa tempat yang digunakan berkemah agar tidak diganggu. Begitu juga saat bepergian dan singgah di suatu tempat, ada juga yang permisi atau minta dilindungi kepada jin penguasa tempat tersebut. Sesungguhnya semua ini termasuk bentuk kesyirikan dan dapat membatalkan iman pelakunya.
. . . diperohnya manfaat duniawi berupa dihindarkan dari keburukan atau mendapatkan keuntungan tidak menunjukkan bahwa itu bukan syirik.
Tuntunan Syar'i Dalam Memohon Perlindungan
Ketika seorang muslim singgah di satu tempat atau menempati rumah baru dan berharap tidak mendapatkan gangguan atau kejahatan dari jin, kalajengking, ular dan makhluk Allah lainnya yang mempunyai potensi jahat, maka ia dianjurkan untuk berlindung kepada pencipta mereka semua, yaitu Allah Ta'ala. Salah satunya dengan membaca doa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ
"Siapa yang singgah di suatu tempat, lalu ia membaca: A'udzu Bikalimaatillaahit Taammaati min Syarri Maa Khalaq (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakan-Nya),maka tak ada sesuatupun yang membahayakannya sehingga ia beranjak dari tempatnya tersebut." (HR. Muslim)
Jika orang-orang jahiliyah saat singgah di satu tempat mereka berlindung kepada jin-jin penguasa tempat tersebut, maka syariat datang dengan memerintahkan kepada kaum muslimin agar berlindung kepada Allah dengan menyebut nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya.
Dunia ini tersusun atas benua, dan didalam benua ada negara, didalam negara tersusun atas provinsi, didalam provinsi terdiri dari kabupaten/ kota, dalam kabupaten/ kota terdiri dari kecamatan dan didalam kecamatan terdiri dari kelurahan, desa/ kampung. Demikian luasnya dunia ini, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa manusia sering bermigrasi dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya. Walaupun terkadang perpindahan ini hanya sekedar untuk travelling atau berwisata.
Sesungguhnya tempat yang akan didatangi itu adalah wilayah yang berbeda dengan tempat tinggalnya, demikian pula budaya dan tradisi masyarakat. Dari perbedaan tersebut maka terjadi daya tarik untuk berkunjung dari daerah ke daerah lainya. Belum pasti kedatangan itu disambut dengan baik, karena itu berbekal pada pengetahuan untuk memahami sikap saling menghormati dan menghargai terhadap sesama hidup mutlak diperlukan. Disamping itu tentu saja kita senantiasa memohon keselamatan agar ditempat tersebut dapat diterima dengan baik, tidak dimusuhi, tidak disakiti dan tidak dianiaya.
Diriwayatkan di dalam kitab Sunan Imam Nasai dan kitab Ibnu Sinni melalui Shuhaib r.a. yang menceritakan:
Nabi saw belum pernah melihat suatu kampung yang hendak dimasukinya melainkan beliau mengucapkan doa berikut ketika melihatnya:
اَللّٰهُمَّ رَبَّ السَّمٰوٰتِ السَّبْعِ وَمَااَظْلَلْنَاوَالْاَ رَضِيْنَ السَّبْعِ وَمَااَقْلَلْنَ وَرَبَّ الشَّيَاطِيْنِ وَمَااَظْلَلْنَ وَرَبَّ الرِّيَاحِ وَمَاذَرَيْنَ, اَسْأَلُكَ خَيْرَهٰذِهِ الْقَرْيَةِ وَخَيْرَ اَهْلِهَاوَخَيْرَمَافِيْهَاوَنَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّهَاوَشَرِّاَهْلِهَاوَشَرِّمَافِيْهَا
Allaahumma rabbas samaawaatis sab’i wamaa adhlalna wal aradiinas sab’i wamaa aqlalna warabbasy syayaathiini wamaa adhlalna warabbar riyaahi wamaa dzaraina as-aluka khaira haadzihil qaryati wakhaira ahlihaa wakhaira maa fiihaa, wana’uudzu bika min syarri haa wa syarri ahlihaa wa syarri maa fiihaa.
“Ya Allah, Rabb tujuh langit dan semua yang dinaunginya, Rabb tujuh lapis bumi dan semua yang dimuatnya, Rabb semua setan dan semua yang disesatkannya, dan Rabb angin dan semua yang ditiupnya, aku memohon kepada-Mu kebaikan kampung ini, kebaikan penghuninya, dan kebaikan apa yang terkandung di dalamnya.
Dan kami berlindung kepada-Mu dari kejahatannya, dari kejahatan penduduknya dan dari kejahatan apa yang terkandung di dalamnya.”
Diriwayatkan di dalam kitab Ibnu Sinni melalui Siti Aisyah r.a. yang menceritakan:
Rasulullah saw bila hampir sampai pada suatu daerah yang hendak dimasukinya selalu mengucapkan doa berikut:
اَللّٰهُمَّ اِنِّى اَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ هٰذِهِ وَخَيْرِمَاجَمَعْتَ فِيْهَا وَاَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَاجَمَعْتَ فِيْهَا, اَللّٰهُمَّ ارْزُقْنَاحَيَاهَاوَاَعِذْنَامِنْ وَبَاهَاوَحَبِّبْنَااِلَى اَهْلِهَاوَحَبِّبْ صَالِحِى اَهْلِهَااِلَيْنَا
Allaahumma innii as-aluka min khairi haadzihi wakhairi maa jama’ta fiihaa wa a’uudzu bika min syarri haa wa syarri maa jama’ta fiihaa.
Allaahummar zuqnaa hayaahaa, wa a’idz naa min wabaahaa, wa habbibnaa ila ahliha wa habbib shaalihii ahlihaa ilainaa.
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari kebaikan kampung ini, dan kebaikan yang Engkau himpun padanya, serta aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya dan kejahatan apa yang terkandung di dalamnya.
Ya Allah, berilah kami rezeki dari kehidupannya, dan lindungilah kami dari wabah (penyakitnya), jadikanlah kami mencintai para penduduknya serta jadikanlah orang-orang saleh dari penduduknya mencintai kami
Dengan berbekal pada pesan Rasulullah SAW kita tidak diperkenankan untuk berbuat seenaknya disuatu daerah. Karena adat istiadat dan tata krama suatu daerah tentu berbeda dengan kebiasaan yang sering dilakukan. Sadarilah bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan bisa jadi menyakiti atau merugikan orang lain. Baik disadari atau tanpa kesadaran, karena itu sebaik- baik manusia yang selalu mohon perlindungan kepada Allah SWT. Dengan harapan kedatangan kita membawa kemaslahatan bagi diri sendiri dan orang-orang yang bertempat tinggal ditempat tersebut.
Manfaat Doa
Siapa yang membaca doa ini dengan benar, maka ia akan terlindungi dari berbagai gangguan, keburukan, dan kejahatan (seperti sakit atau pengaruh buruk) yang ditimbulkan oleh makhluk yang memiliki keburukan dan potensi jahat, seperti jin, manusia, dan selainnya, baik yang nampak atau tersembunyi sehingga ia meninggalkan termpat tersebut. Seperti sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "Maka tak ada sesuatupun yang membahayakannya sehingga ia beranjak dari tempatnya tersebut."
Imam al-Qurthubi telah memberikan kesaksian atas doa ini. Beliau telah membuktikannya dan biasa mempraktekkannya, sehingga pada suatu malam beliau lupa membacanya saat memasuki rumahnya sehingga beliau tersengat kalajengking. Lalu beliau berkata, "Maka aku berpikir (merenung), ternyata aku telah lupa berta'awudz (berlindung) dengan kalimat-kalimat tersebut."
Sudah Membaca, Masih Juga Tidak Aman
Ini persoalan yang terkadang terjadi, orang sudah membacanya namun masih juga tersengat binatang, diganggu jin, atau kecurian. Apanya yang salah? Apa doanya tidak mujarab? Ataukah yang mengabarkan berdusta?
Seorang muslim wajib mengimani, apa yang diberitakan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah benar, dan apa yang beliau perintahkan pasti membawa manfaat. Beliau tidak berdusta dan tidak mengarang-ngarang sendiri dalam memberikan tuntutan. Semua itu berasal dari wahyu yang beliau terima dari Rabbnya dan Tuhan kita semua.
Allah Ta'ala berfirman,
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
"Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya. Dia itu tidak lain adalah wayu yang diberikan kepadanya." (QS. Al-Najm: 3-4)
Jika seseorang melakukan sebab syar'i (doa ini) yang diajarkan Nabi, lalu tidak didapatkan manfaatnya, maka itu bukan karena doanya yang ada cacat, salah atau tidak benar. Tetapi karena adanya mawani' (penghalang) dari dikabulkannya doa tersebut. Misalnya, membacakan surat Al-Fatihah atas orang sakit akan menjadi obat. Namun ada orang yang membacanya, tapi tidak menyembuhkan. Maka itu bukan karena al-Fatihahnya yang tidak mujarab, tapi karena adanya mawani' antara sebab dan pengaruhnya. Misal lain, orang yang membaca doa ketika akan berjima' maka syetan tidak akan bisa menimpakan gangguan pada anak tersebut. Namun, ada orang yang sudah membacanya, tapi anaknya tetap diganggu syetan. Maka hal itu bukan karena doanya tidak mujarab, tapi karena adanya mawani' yang menghalangi terkabulnya manfaat. Maka hendaknya orang tadi mengintrospeksi diri dan mencari tahu apa yang menghalangi dari terkabulnya doa perlindungan yang dibacanya tersebut. Mungkin, karena makanan yang tidak halal, banyaknya kemaksiatan yang dikerjakan, atau mungkin masih ada durhaka kepada orang tua.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ
"Siapa yang singgah di suatu tempat, lalu ia membaca: A'udzu Bikalimaatillaahit Taammaati min Syarri Maa Khalaq (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakan-Nya)maka tak ada sesuatupun yang membahayakannya sehingga ia beranjak dari tempatnya tersebut." (HR. Muslim)
Keterangan
Kebiasaan bangsa Arab Jahiliyah, apabila mereka melewati suatu lembah atau tempat yang menyeramkan maka mereka berlindung kepada raja jin di tempat tersebut agar melindungi mereka dari gangguan jin atau hewan yang ingin mencelakakan mereka. Sebagaimana mereka, apabila datang ke negeri musuh lalu mereka meminta perlindungan kepada pembesar negeri tersebut dan di bawah jaminannya.
Maka saat jin melihat para manusia tersebut meminta perlindungan kepada mereka karena takutnya, maka jin tersebut semakin menakut-nakuti mereka sehingga para manusia tersebut terus-menerus meminta perlindungan. Sehingga jin tersebut menambah kesesatan dan dosa, karena mereka terus-menerus melakukan kesyirikan dan kemungkaran yang diperintahkannya.
Allah Ta'ala berfirman,
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
"Dan sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari kalangan manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari jin, tetapi mereka (jin) menjadikan mereka (manusia) bertambah sesat." (QS. Al-Jin: 6)
Para ulama telah sepakat bahwa perbuatan semacam ini, yaitu isti'adzah (memohon perlindungan) kepada selain Allah adalah tidak boleh, bahkan termasuk bagian kesyirikan.
Mula Ali al-Qari al-Hanafi berkata, "Tidak boleh memohon perlindungan kepada jin. Karena Allah Subhanahu wa Ta'alatelah mencela orang-orang kafir atas perbuatan tersebut." Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan firman Allah Ta'ala:
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الْإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الْإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ
"Dan pada suatu hari saat Allah mengumpulkan mereka semua (dan berfirman): "Wahai golongan jin! Kamu telah benyak menyesatkan manusia." Dan kawan-kawan mereka dari golongan manusia berkata, "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah saling mendapatkan kesenangan. Dan sekarang waktu yang telah Engkau tentukan kepada kami telah datang." Allah berfirman, "Nerakalah tempat kamu selama-lamanya, kecuali jika Allah menghendaki lain." Sungguh Tuhanmu Mahabijaksana, Mahamengetahui." (QS. Al-An'am: 128)
Kesenangan yang didapatkan manusia dari jin berupa dituruti keinginannya, dikerjaka apa yang disuruhnya, dan diberitahu dari sebagian kabar ghaib. Sementara kesenangan yang didapatkan jin, manusia mengagungkannya, meminta perlindungan kepadanya, dan tunduk terhadap titahnya. (Diringkas dari Fathul Majid: 196)
Pelajaran dari kisah tersebut, bahwa diperohnya manfaat duniawi berupa dihindarkan dari keburukan atau mendapatkan keuntungan tidak menunjukkan bahwa itu bukan syirik.
Memohon perlindungan kepada jin (sering dikatakan orang: penguasa tempat tersebut) saat mampir ke suatu tempat tidak hanya ada pada zaman jahiliyah. Di zaman modern ini pun masih banyak yang melakukannya, seperti memohon perlingdungan kepada Nyi Roro kidul (banyak orang menyebutnya sebagai penguasa laut selatan, padahal semua belahan bumi adalah milik Allah dan Dia penguasa segalanya) saat melaut dengan melarung sesajen. Sering juga terjadi saat berkemah, para peserta meminta izin kepada penguasa tempat yang digunakan berkemah agar tidak diganggu. Begitu juga saat bepergian dan singgah di suatu tempat, ada juga yang permisi atau minta dilindungi kepada jin penguasa tempat tersebut. Sesungguhnya semua ini termasuk bentuk kesyirikan dan dapat membatalkan iman pelakunya.
. . . diperohnya manfaat duniawi berupa dihindarkan dari keburukan atau mendapatkan keuntungan tidak menunjukkan bahwa itu bukan syirik.
Tuntunan Syar'i Dalam Memohon Perlindungan
Ketika seorang muslim singgah di satu tempat atau menempati rumah baru dan berharap tidak mendapatkan gangguan atau kejahatan dari jin, kalajengking, ular dan makhluk Allah lainnya yang mempunyai potensi jahat, maka ia dianjurkan untuk berlindung kepada pencipta mereka semua, yaitu Allah Ta'ala. Salah satunya dengan membaca doa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ
"Siapa yang singgah di suatu tempat, lalu ia membaca: A'udzu Bikalimaatillaahit Taammaati min Syarri Maa Khalaq (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakan-Nya),maka tak ada sesuatupun yang membahayakannya sehingga ia beranjak dari tempatnya tersebut." (HR. Muslim)
Jika orang-orang jahiliyah saat singgah di satu tempat mereka berlindung kepada jin-jin penguasa tempat tersebut, maka syariat datang dengan memerintahkan kepada kaum muslimin agar berlindung kepada Allah dengan menyebut nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya.
Dunia ini tersusun atas benua, dan didalam benua ada negara, didalam negara tersusun atas provinsi, didalam provinsi terdiri dari kabupaten/ kota, dalam kabupaten/ kota terdiri dari kecamatan dan didalam kecamatan terdiri dari kelurahan, desa/ kampung. Demikian luasnya dunia ini, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa manusia sering bermigrasi dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya. Walaupun terkadang perpindahan ini hanya sekedar untuk travelling atau berwisata.
Sesungguhnya tempat yang akan didatangi itu adalah wilayah yang berbeda dengan tempat tinggalnya, demikian pula budaya dan tradisi masyarakat. Dari perbedaan tersebut maka terjadi daya tarik untuk berkunjung dari daerah ke daerah lainya. Belum pasti kedatangan itu disambut dengan baik, karena itu berbekal pada pengetahuan untuk memahami sikap saling menghormati dan menghargai terhadap sesama hidup mutlak diperlukan. Disamping itu tentu saja kita senantiasa memohon keselamatan agar ditempat tersebut dapat diterima dengan baik, tidak dimusuhi, tidak disakiti dan tidak dianiaya.
Diriwayatkan di dalam kitab Sunan Imam Nasai dan kitab Ibnu Sinni melalui Shuhaib r.a. yang menceritakan:
Nabi saw belum pernah melihat suatu kampung yang hendak dimasukinya melainkan beliau mengucapkan doa berikut ketika melihatnya:
اَللّٰهُمَّ رَبَّ السَّمٰوٰتِ السَّبْعِ وَمَااَظْلَلْنَاوَالْاَ رَضِيْنَ السَّبْعِ وَمَااَقْلَلْنَ وَرَبَّ الشَّيَاطِيْنِ وَمَااَظْلَلْنَ وَرَبَّ الرِّيَاحِ وَمَاذَرَيْنَ, اَسْأَلُكَ خَيْرَهٰذِهِ الْقَرْيَةِ وَخَيْرَ اَهْلِهَاوَخَيْرَمَافِيْهَاوَنَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّهَاوَشَرِّاَهْلِهَاوَشَرِّمَافِيْهَا
Allaahumma rabbas samaawaatis sab’i wamaa adhlalna wal aradiinas sab’i wamaa aqlalna warabbasy syayaathiini wamaa adhlalna warabbar riyaahi wamaa dzaraina as-aluka khaira haadzihil qaryati wakhaira ahlihaa wakhaira maa fiihaa, wana’uudzu bika min syarri haa wa syarri ahlihaa wa syarri maa fiihaa.
“Ya Allah, Rabb tujuh langit dan semua yang dinaunginya, Rabb tujuh lapis bumi dan semua yang dimuatnya, Rabb semua setan dan semua yang disesatkannya, dan Rabb angin dan semua yang ditiupnya, aku memohon kepada-Mu kebaikan kampung ini, kebaikan penghuninya, dan kebaikan apa yang terkandung di dalamnya.
Dan kami berlindung kepada-Mu dari kejahatannya, dari kejahatan penduduknya dan dari kejahatan apa yang terkandung di dalamnya.”
Diriwayatkan di dalam kitab Ibnu Sinni melalui Siti Aisyah r.a. yang menceritakan:
Rasulullah saw bila hampir sampai pada suatu daerah yang hendak dimasukinya selalu mengucapkan doa berikut:
اَللّٰهُمَّ اِنِّى اَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ هٰذِهِ وَخَيْرِمَاجَمَعْتَ فِيْهَا وَاَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَاجَمَعْتَ فِيْهَا, اَللّٰهُمَّ ارْزُقْنَاحَيَاهَاوَاَعِذْنَامِنْ وَبَاهَاوَحَبِّبْنَااِلَى اَهْلِهَاوَحَبِّبْ صَالِحِى اَهْلِهَااِلَيْنَا
Allaahumma innii as-aluka min khairi haadzihi wakhairi maa jama’ta fiihaa wa a’uudzu bika min syarri haa wa syarri maa jama’ta fiihaa.
Allaahummar zuqnaa hayaahaa, wa a’idz naa min wabaahaa, wa habbibnaa ila ahliha wa habbib shaalihii ahlihaa ilainaa.
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari kebaikan kampung ini, dan kebaikan yang Engkau himpun padanya, serta aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya dan kejahatan apa yang terkandung di dalamnya.
Ya Allah, berilah kami rezeki dari kehidupannya, dan lindungilah kami dari wabah (penyakitnya), jadikanlah kami mencintai para penduduknya serta jadikanlah orang-orang saleh dari penduduknya mencintai kami
Dengan berbekal pada pesan Rasulullah SAW kita tidak diperkenankan untuk berbuat seenaknya disuatu daerah. Karena adat istiadat dan tata krama suatu daerah tentu berbeda dengan kebiasaan yang sering dilakukan. Sadarilah bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan bisa jadi menyakiti atau merugikan orang lain. Baik disadari atau tanpa kesadaran, karena itu sebaik- baik manusia yang selalu mohon perlindungan kepada Allah SWT. Dengan harapan kedatangan kita membawa kemaslahatan bagi diri sendiri dan orang-orang yang bertempat tinggal ditempat tersebut.
Manfaat Doa
Siapa yang membaca doa ini dengan benar, maka ia akan terlindungi dari berbagai gangguan, keburukan, dan kejahatan (seperti sakit atau pengaruh buruk) yang ditimbulkan oleh makhluk yang memiliki keburukan dan potensi jahat, seperti jin, manusia, dan selainnya, baik yang nampak atau tersembunyi sehingga ia meninggalkan termpat tersebut. Seperti sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "Maka tak ada sesuatupun yang membahayakannya sehingga ia beranjak dari tempatnya tersebut."
Imam al-Qurthubi telah memberikan kesaksian atas doa ini. Beliau telah membuktikannya dan biasa mempraktekkannya, sehingga pada suatu malam beliau lupa membacanya saat memasuki rumahnya sehingga beliau tersengat kalajengking. Lalu beliau berkata, "Maka aku berpikir (merenung), ternyata aku telah lupa berta'awudz (berlindung) dengan kalimat-kalimat tersebut."
Sudah Membaca, Masih Juga Tidak Aman
Ini persoalan yang terkadang terjadi, orang sudah membacanya namun masih juga tersengat binatang, diganggu jin, atau kecurian. Apanya yang salah? Apa doanya tidak mujarab? Ataukah yang mengabarkan berdusta?
Seorang muslim wajib mengimani, apa yang diberitakan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah benar, dan apa yang beliau perintahkan pasti membawa manfaat. Beliau tidak berdusta dan tidak mengarang-ngarang sendiri dalam memberikan tuntutan. Semua itu berasal dari wahyu yang beliau terima dari Rabbnya dan Tuhan kita semua.
Allah Ta'ala berfirman,
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
"Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya. Dia itu tidak lain adalah wayu yang diberikan kepadanya." (QS. Al-Najm: 3-4)
Jika seseorang melakukan sebab syar'i (doa ini) yang diajarkan Nabi, lalu tidak didapatkan manfaatnya, maka itu bukan karena doanya yang ada cacat, salah atau tidak benar. Tetapi karena adanya mawani' (penghalang) dari dikabulkannya doa tersebut. Misalnya, membacakan surat Al-Fatihah atas orang sakit akan menjadi obat. Namun ada orang yang membacanya, tapi tidak menyembuhkan. Maka itu bukan karena al-Fatihahnya yang tidak mujarab, tapi karena adanya mawani' antara sebab dan pengaruhnya. Misal lain, orang yang membaca doa ketika akan berjima' maka syetan tidak akan bisa menimpakan gangguan pada anak tersebut. Namun, ada orang yang sudah membacanya, tapi anaknya tetap diganggu syetan. Maka hal itu bukan karena doanya tidak mujarab, tapi karena adanya mawani' yang menghalangi terkabulnya manfaat. Maka hendaknya orang tadi mengintrospeksi diri dan mencari tahu apa yang menghalangi dari terkabulnya doa perlindungan yang dibacanya tersebut. Mungkin, karena makanan yang tidak halal, banyaknya kemaksiatan yang dikerjakan, atau mungkin masih ada durhaka kepada orang tua.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Status Hadits Dzikir Masuk Pasar
Berdzikir atau mengingat Allah bukanlah hanya di masjid atau tempat shalat. Berdzikir pada Allah itu setiap saat bahkan sampai di tempat keramaian sekalipun seperti pasar. Namun karena kesibukan dunia dan transaksi di pasar, banyak yang lalai dari Allah. Ujung-ujungnya sampai terjerumus dalam perkara yang haram karena merasa tidak ada yang mengawasinya setiap saat.
Fadhilah Dzikir
Kita telah mengetahui bahwa dzikir adalah amalan yang amat utama. Di antara bentuk dzikir adalah menyebut asma’ dan sifat Allah, ditambah perenungan makna dan pengaplikasiannya. Di samping itu, mengingat nikmat Allah juga termasuk bagian dari dzikir. Begitu pula duduk di majelis ilmu untuk mengkaji hukum-hukum Allah juga termasuk dzikir. Demikian macam-macam dzikir yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim semacam dalam kitab beliau Al Wabilush Shoyyib dan Madarijus Salikin.
Di antara keutamaan dzikir sebagaimana disebutkan berikut ini:
(1) Dengan dzikir akan mengusir setan.
(2) Dzikir mudah mendatangkan ridho Ar Rahman.
(3) Dzikir dapat menghilangkan gelisah dan hati yang gundah gulana.
(4) Dzikir menguatkan hati dan badan.
(5) Dzikir menerangi hati dan wajah pun menjadi bersinar.
(6) Dzikir mudah mendatangkan rizki.
(7) Dzikir membuat orang yang berdzikir akan merasakan manisnya iman dan keceriaan.
(8) Hati dan ruh semakin kuat dengan dzikir. Jika seseorang melupakan dzikir maka kondisinya sebagaimana badan yang hilang kekuatan. Ibnul Qayyim rahimahullah menceritakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sesekali pernah shalat Shubuh dan beliau duduk berdzikir pada Allah Ta’ala sampai beranjak siang. Setelah itu beliau berpaling padaku dan berkata, “Ini adalah kebiasaanku di pagi hari. Jika aku tidak berdzikir seperti ini, hilanglah kekuatanku” –atau perkataan beliau yang semisal ini-.
(9) Senantiasa berdzikir pada Allah menyebabkan seseorang tidak mungkin melupakan-Nya. Orang yang melupakan Allah adalah sebab sengsara dirinya dalam kehidupannya dan di hari ia dikembalikan. Seseorang yang melupakan Allah menyebabkan ia melupakan dirinya dan maslahat untuk dirinya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hasyr: 19).
(10) Dzikir adalah obat hati sedangkan lalai dari dzikir adalah penyakit hati. Mak-huul, seorang tabi’in, berkata, “Dzikir kepada Allah adalah obat (bagi hati). Sedangkan sibuk membicarakan (‘aib) manusia, itu adalah penyakit.”
Demikian sebagian keutamaan dzikir yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Al Wabilush Shoyyib.
Berdzikir di Kala Orang-Orang Lalai
Lisan ini diperintahkan untuk berdzikir setiap saat. Dari ‘Abdullah bin Busr, ia berkata,
جَاءَ أَعْرَابِيَّانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ أَحَدُهُمَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». وَقَالَ الآخَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَىَّ فَمُرْنِى بِأَمْرٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. فَقَالَ « لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْباً مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ »
“Ada dua orang Arab (badui) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas salah satu dari mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, manusia bagaimanakah yang baik?” “Yang panjang umurnya dan baik amalannya,” jawab beliau. Salah satunya lagi bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syari’at Islam amat banyak. Perintahkanlah padaku suatu amalan yang bisa kubergantung padanya.” “Hendaklah lisanmu selalu basah untuk berdzikir pada Allah,” jawab beliau. (HR. Ahmad 4: 188, sanad shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Hadits ini menunjukkan bahwa dzikir itu dilakukan setiap saat, bukan hanya di masjid, sampai di sekitar orang-orang yang lalai dari dzikir, kita pun diperintahkan untuk tetap berdzikir.
Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Ketika hati seseorang terus berdzikir pada Allah maka ia seperti berada dalam shalat. Jika ia berada di pasar lalu ia menggerakkan kedua bibirnya untuk berdzikir, maka itu lebih baik.” (Lihat Jaami’ul wal Hikam, 2: 524). Dinyatakan lebih baik karena orang yang berdzikir di pasar berarti berdzikir di kala orang-orang pada lalai. Para pedagang dan konsumen tentu lebih sibuk dengan tawar menawar mereka dan jarang yang ambil peduli untuk sedikit mengingat Allah barang sejenak.
Lihatlah contoh ulama salaf. Kata Ibnu Rajab Al Hambali setelah membawahkan perkataan Abu ‘Ubaidah di atas, beliau mengatakan bahwa sebagian salaf ada yang bersengaja ke pasar hanya untuk berdzikir di sekitar orang-orang yang lalai dari mengingat Allah. Ibnu Rajab pun menceritakan bahwa ada dua orang yang sempat berjumpa di pasar. Lalu salah satu dari mereka berkata, “Mari sini, mari kita mengingat Allah di saat orang-orang pada lalai dari-Nya.” Mereka pun menepi dan menjauh dari keramaian, lantas mereka pun mengingat Allah. Lalu mereka berpisah dan salah satu dari mereka meninggal dunia. Dalam mimpi, salah satunya bertemu lagi temannya. Di mimpi tersebut, temannya berkata, “Aku merasakan bahwa Allah mengampuni dosa kita di sore itu dikarenakan kita berjumpa di pasar (dan lantas mengingat Allah).” Lihat Jaami’ul wal Hikam, 2: 524).
Kedho’ifan Do’a Khusus Masuk Pasar
At-Tirmidziy rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا أَزْهَرُ بْنُ سِنَانٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ وَاسِعٍ، قَالَ: قَدِمْتُ مَكَّةَ فَلَقِيَنِي أَخِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ فَحَدَّثَنِي، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ دَخَلَ السُّوقَ، فَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ وَرَفَعَ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ دَرَجَةٍ ".
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manii’ : Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun : Telah mengkhabarkan kepada kami Az-har bin Sinaan : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Waasi’, ia berkata : Aku pernah datang ke Makkah, lalu aku menjumpai saudaraku, Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar. Lalu ia menceritakan kepadaku dari ayahnya, dari kakeknya : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Barangsiapa yang masuk pasar dan mengucapkan : Laa ilaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu, lahul-mulku wa lahul-hamdu yuhyii wa yumiitu wahuwa hayyun laa yamuutu biyadihil-khairu wa huwa ‘alaa kulli syain qadiir (Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya segala pujian. Dia-lah Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan. Dia-lah Yang Hidup, tidak akan pernah mati. Di tangan-Nya kebaikan. Dia-lah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu); maka Allah akan tulis baginya sejuta kebaikan, menghapus sejuta kejelekan (dosa), dan mengangkatnya sejuta derajat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3428].
Diriwayatkan juga oleh Ad-Daarimiy no. 2734, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah no. 2821, Adl-Dliyaa' dalam Al-Mukhtarah no. 186 - 169, ‘Abd bin Humaid no. 28, Al-Haakim 1/538, Al-‘Uqailiy dalam Adl-Dlu’afaa’ 1/151, Ath-Thabaraaniy dalam Ad-Du’aa’ no. 792, Ibnu Basyraan dalam Al-Amaaliy 1/262, Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 56/139, dan Ibnu Qudaamah dalam Fadllu Yaumit-Tarwiyyah wa ‘Arafah no. 23; semuanya dari jalan Az-har bin Sinaan Al-Qurasyiy dan selanjutnya seperti hadits di atas.
Sanad riwayat ini dla’iif (lemah) dengan sebab Az-har. Berikut keterangan para perawinya :
1. Ahmad bin Manii’ bin ‘Abdirrahmaan Abu Ja’far Al-Baghawiy Al-Asham; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 160 H, dan wafat tahun 244 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 100 no. 115].
2. Yaziid bin Haaruun bin Zaadziy atau Zaadzaan bin Tsaabit As-Sulamiy Abu Khaalid Al-Waasithiy; seorang yang tsiqah, mutqin, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqahke-9, lahir tahun 118 H, dan wafat tahun 206 H.Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1084 no. 7842].
3. Az-har bin Sinaan Al-Bashriy, Abu Khaalid Al-Qurasyiy; seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai oleh At-Tirmidziy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 123 no. 311].
4. Muhammad bin Waasi’ bin Jaabir bin Al-Akhnas bin ‘Aaidz bin Khaarijah bin Ziyaad Al-Azdiy, Abu Bakr/Abu ‘Abdillah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 123 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 904 no. 6408].
5. Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Al-Khaththaab Al-Qurasyiy, Abu ‘Umar/Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang tsabat, ‘aabid, lagi mempunyai keutamaan. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 106 H.. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 360 no. 2189].
6. ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththaab Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Makkiy Al-Madaniy; salah seorang shahabat Nabi yang mulia. Termasukthabaqah ke-1, dan wafat tahun 73 H/74 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 528 no. 3514].
7. ‘Umar bin Al-Khaththaab bin Nufail bin ‘Abdil-‘Uzzaa bin Riyaah bin ‘Abdillah bin Qarth bin Razaah bin ‘Adiy Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy, Abu Hafsh; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, amiirul-mukminiin. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 23 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 717 no. 4922].
Muhammad bin Waasi’ dalam periwayatan dari Saalim mempunyai mutaba’ah dari :
1. ‘Amru bin Diinaar Aaluz-Zubair.
Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3429, Ibnu Maajah no. 2235, Ahmad 1/47, Ath-Thayaalisiy no. 12, Ad-Duulaabiy dalam Al-Kunaa no. 705, Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 183, Abu Nu’aim dalam Akhbaar Ashbahaan 2/150, Abul-‘Abbaas Al-Asham dalam Hadiits-nya no. 58, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 2/205 & 6/235-236, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 212, Tamaam Ar-Raaziy dalam Al-Fawaaid no. 1598, Ath-Thabaraaniy dalam Ad-Du’aa’ no. 789-791, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 1338, Ar-Ramahurmuziy dalam Al-Muhaddits Al-Faashil 1/332-333, Abusy-Syaikh Al-Ashbahaaniy dalam Thabaqaatul-Muhadditsiin no. 332 & 443, ‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy dalam Akhbaarush-Shalaah no. 133, Bakr bin Bakkaar dalam Juuz-nya no. 47, Ibnu Abi Fawaaris dalam Juuz-nya no. 129, Abu ‘Abdillah bin Mandah dalam Al-Amaaliy no. 167 & 372, Abu ‘Abdillah Al-Farraa' dalam Al-Fawaaid no. 43, Ibnu Basyraan dalam Al-Amaaliy 1/300, Asy-Syajriy dalam Al-Amaaliy no. 40 & 117, Al-Khathiib dalam Maudlihul-Auhaam2/318-319, Ibnul-Bannaa Al-Baghdaadiy dalam Fadlaailut-Tahliil no. 5, dan Adz-Dzahabiy dalamAt-Taariikh 29/345; semuanya dari jalan ‘Amru bin Diinaar, dari Saalim, dan selanjutnya seperti hadits di atas.
Sanad riwayat ini dla’iif dengan sebab ‘Amru bin Diinaar. Nama lengkapnya adalah : ‘Amru bin Diinaar Al-Bashriy, Abu Yahyaa Al-A’war, Qahramaan Aaluz-Zubair; seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah ke-6. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 734 no. 5060].
Diriwayatkan juga oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/538 : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Umar bin Muhammad bin Zaid : Telah menceritakan kepadaku seorang laki-laki penduduk Bashrah, dari Saalim bin ‘Abdillah, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfuu’.
Kemungkinan laki-laki mubham ini adalah ‘Amru bin Diinaar Al-Bashriy. Wallaahu a’lam.
Abu Haatim rahimahullah berkata : “Hadits ini sangat munkar. Saalim tidak meriwayatkan hadits ini” [Al-‘Ilal, 5/312 no. 2006].
2. Muhaajir bin Habiib.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraani dalam Ad-Du’aa’ no. 793 dan Abul-Fadhl Az-Zuhriy dalam Hadiits-nya no. 176; semuanya dari Abu Khaalid Al-Ahmad : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Muhaajir, ia berkata : Aku mendengar Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar berkata : Aku mendengar ayahku berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “...(al-hadits)...”.
Sulaimaan bin Hayyaan Al-Azdiy Abu Khaalid Al-Ahmar (114-189/190 H); seorang yangdiperselisihkan statusnya.
Ishaq bin Rahaawaih berkata : Aku bertanya kepada Wakii’ tentang Abu Khaalid, lalu ia berkata : “Dan Abu Khaalid, apakah ia termasuk orang yang masih ditanyakan ?”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Shaduuq, namun bukan sebagai hujjah”. Di lain riwayat ia berkata : “Tsiqah”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya”. ‘Aliy bin Al-Madiniy berkata : “Tsiqah”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Abu Hisyaam Ar-Rifaa’iy berkata : “Telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid Al-Ahmar, at-tsiqatul-amiin (sangat terpercaya)”. Abu Haatim berkata : “Shaduuq”. Abu Bakr Al-Khathiib berkata : “Sufyaan mencela Abu Khaalid dengan sebab keluarnya bersama Ibraahiim bin ‘Abdillah bin Hasan. Adapun dalam masalah hadits, maka ia tidak mencelanya”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ia mempunyai hadits-hadits yang shaalihah (baik). Hanya saja, hapalannya yang jelek menyebabkan ia sering keliru. Ia pada asalnya adalah sebagaimana yang dikatakan Ibnu Ma’iin : ‘shaduuq, namun nukan sebagai hujjah” [Tahdziibul-Kamaal, 11/394-398 no. 2504]. Ibnu Sa’d berkata : “Seorang yang tsiqah, banyak haditsnya”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah, shaahibus-sunnah”. Al-Bazzaar berkata : “Bukan seorang yang haafidh. Ia meriwayatkan hadits-hadits dari Al-A’masy dan lainnya yang tidak mempunyai mutaba’ah” [Tahdziibut-Tahdziib, 4/182 no. 313]. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, sering keliru (yukhthi’)” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 406 no. 2562]. Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah masyhuur” [Man Tukullima fiih Wahuwa Muwatstsaq Au Shaalihul-Hadiits, hal. 239-240 no. 144].
Kesimpulan : Ia seorang yang tsiqah, namun mempunyai beberapa keraguan (auhaam).
Adapun Muhaajir bin Habiib atau Muhaashir bin Habiib, seorang yang shaduuq, hasan haditsnya – atau bahkan ia seorang yang tsiqah.
Riwayat ini munkar.
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata : “’Aliy bin Al-Madiiniy berkata dalam Musnad ‘Umar : ‘Adapun hadits Muhaajir dari Saalim tentang orang yang masuk ke pasar, maka Muhaajir bin Habiib ini seorang yang tsiqah dari kalangan penduduk Syaam. Akan tetapi Abu Khaalid Al-Ahmar tidak pernah berjumpa dengannya. Yang meriwayatkan darinya hanyalah Tsaur bin Yaziid, Al-Ahwash bin Hakiim, Faraj bin Fadlaalah, dan penduduk Syaam. Ini adalah hadits munkar dari hadits Muhaajir dimana ia mendengarnya dari Saalim. Hadits ini hanyalah diriwayatkan oleh seorang syaikh yang menurut ulama tidak tsabt yang bernama ‘Amru bin Diinaar Qahramaan Aaliz-Zubair. Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Ar-Rabii’ hadits tersebut darinya. Shahabat-shahabat kami sangat mengingkari hadits ini karena kebagusan sanadnya. Syaikh ini (yaitu ‘Amru bin Diinaar) meriwayatkan satu hadits yang lain dari Saalim, dari ayahnya, dari ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau bersabda : ‘Barangsiapa yang melihat sesuatu yang basah....’. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan perkataan yang tidak aku hapal. Dan ini termasuk yang diingkari para ulama. Seandainya Muhaajir shahih haditsnya tentang doa masuk pasar, niscaya ‘Amru bin Diinaar tidak diingkari dalam hadits ini” [Musnad Al-Faaruuq, 2/642-643].
3. ‘Ubaidullah Al-‘Umariy.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 13175 dan dari jalannya diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 12637 dan Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 45/405 : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Ma’mariy : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Aslam Al-Himshiy : Telah menceritakan kepada kami Salm bin Maimuun Al-Khawwaash, dari ‘Aliy bin ‘Athaa’, dari ‘Ubaidullah Al-‘Umariy, dari Saalim bin ‘Abdillah, dari ayahnya, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “......(al-hadits)...”.
Dalam riwayat ini, Ibnu ‘Umar meriwayatkan langsung secara marfuu’ dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tanpa melalui perantaraan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhumaa. Ini keliru, karena yang benar Ibnu ‘Umar meriwayatkan hadits ini melalui perantaraan ayahnya.
Sanad riwayat ini dla’iif dengan sebab Salm bin Maimuun Al-Khawwaash Az-Zaahid Ar-Raaziy. Ia seorang perawi dla’iif yang meriwayatkan beberapa hadits munkar [lihat : Lisaanul-Miizaan, 4/112 no. 3551]. Adapun ‘Aliy bin ‘Athaa’, saya belum menemukan data biografinya.
Diriwayatkan juga oleh At-Tirmidziy dalam Al-‘Ilal Al-Kabiir hal. 674, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr 12/302 no. 6140, Al-Haakim 1/539, dan Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 6/167; semuanya dari jalan Yahyaa bin Sulaim, dari ‘Imraan bin Muslim, dari ‘Abdullah bin Diinaar, dari Ibnu ‘Umar secara marfuu’.
At-Tirmidziy berkata : Aku pernah bertanya kepada Muhammad (bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy) tentang hadits ini. Maka ia berkata : “Ini adalah hadits munkar”. Aku berkata kepadanya : “Siapakah ‘Imraan bin Muslim ini ?. Apakah ia ‘Imraan bin Al-Qashiir ?”. Ia berkata : “Bukan. Syaikh ini munkarul-hadiits” [Al-‘Ilal Al-Kabiir, hal. 363]. Penghukuman Al-Bukhaariy tersebut sama dengan Abu Haatim [Al-‘Ilal, 5/352 no. 2038].
Ibnu Abi Haatim berkata : “Hadits ini keliru. Yang benar adalah : ‘Imraan bin Muslim, dari ‘Amru bin Diinaar Qahramaan Aaliz-Zubair, dari Saalim, dari ayahnya. Lalu perawi keliru dan menjadikan nama ‘Amru (bin Diinaar) sebagai ‘Abdullah bin Diinaar, dan menggugurkan Saalim dari sanad hadits ini. Telah menceritakan kepada kami hal tersebut Muhammad bin ‘Ammaar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Sulaimaan, dari Bukair bin Syihaab Ad-Daamaghaaniy, dari ‘Imraan bin Muslim, dari ‘Amru bin Diinaar, dari Saalim, dari ayahnya, dari ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia menyebutkan haditsnya” [Al-‘Ilal, 5/352-353].
Perkataan Ibnu Abi Haatim ini sekaligus menunjukkan kekeliruan sanad yang dibawakan oleh Al-Haakim 1/539 yang menyebutkan mutaba’ah ‘Imraan bin Muslim dalam periwayatan dari ‘Abdullah bin Diinaar : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Baalawaih : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Al-Hasan bin Habdarah : Telah menceritakan kepada kami Masruuq bin Al-Marzabaan : Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Hisyaam bin Hassaan, dari ‘Abdullah bin Diinaar, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “....(al-hadits)....”.
Hal itu dikarenakan Hisyaam bin Hassaan masyhur dalam hadits ini meriwayatkan dari ‘Amru bin Diinaar, dari Saalim, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfuu’.
Al-Khathiib dalam At-Talkhiish 1/169 & 1/321 membawakan mutaba’ah dari Saalim, yaitu ‘Abdurrahmaan bin Zaid bin Aslam dan Khaarijah bin Mush’ab. Akan tetapi ‘Abdurrahmaan dan Khaarijah adalah dua orang perawi yang sangat lemah.
‘Abdurrahmaan bin Zaid bin Aslam; seorang yang dla’iif menurut kesepakatan sebagaimana dikatakan Ibnul-Jauziy. Bahkan Ibnu Ma’iin berkata berkata : “Haditsnya tidak ada apa-apanya”. Ibnu Sa’d berkata : “Sangat lemah”. As-Saajiy berkata : “Munkarul-hadiits”. Al-Haakim dan Abu Nu’aim berkata : “Ia meriwayatkan dari ayahnya hadits-hadits palsu” [Tahdziibut-Tahdziib, 6/177-179 no. 361].
Khaarijah bin Mush’ab bin Khaarijah Adl-Dluba’iy, Abul-Hajjaaj Al-Khurasaaniy As-Sarkhasiy; seorang yangmatruuk, melakukan tadlis dari para pendusta. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 168 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 283 no. 1622].
‘Umar bin Al-Khaththaab mempunyai syaahid dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhum, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 183 : Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Zuhair : Telah menceritakan kepadaku ‘Umar bin Al-Khaththaab : Telah menceritakan kepada kami Abu Hafsh At-Tuniisiy, dari Shadaqah, dari Al-Hajjaaj bin Arthaah. Dari Nahsyal bin Sa’iid, dari Adl-Dlahhaak bin Muzaahim, dari Ibnu ‘Abbaas secara marfuu’.
Sanad riwayat ini sangat lemah terutama dengan keberadaan Nahsyal bin Sa’iid. Nama lengkapnya adalah : Nahsyal bin Sa’iid bin Wardaan Al-Qurasyiy Al-Wadaaniy, Abu Sa’iid/Abu ‘Abdillah Al-Khuraasaaniy An-Naisaabuuriy; seorang yang matruk – Ishaaq bin Rahawaih mendustakannya. Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai oleh Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1009 no. 7247].
Kesimpulan :
Hadits ini dengan keseluruhan jalannya adalah dla’iif. Jalan-jalan hadits yang ada belum mampu menaikkan hadits ini pada derajat hasan atau yang lebih tinggi dari itu (shahih).
FAEDAH HADITS :
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
- Yang dimaksud dengan pasar adalah semua tempat yang didatangkan dan diperjual-belikan padanya berbagai macam barang dagangan [Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (1/170).
Yang ini mencakup pasar tradisional, pasar modern, super market, mall, toko-toko besar dan lain-lain.
- Pasar adalah tempat berjual-beli dan tempat yang melalaikan orang dari mengingat Allah Ta’ala karena kesibukan mengurus perdagangan. Maka di sanalah tempat berkumpulnya setan dan bala tentaranya, sehingga orang yang berzikir di tempat seperti itu berarti dia telah memerangi setan dan tentaranya, maka pantaslah jika dia mendapat pahala dan keutamaan besar yang tersebut dalam hadits di atas. [Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (9/272) dan “Faidhul Qadiir” (1/170).].
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,
“Dalam hadits di atas terdapat dalil mengenai dianjurkannya melakukan amalan ketaatan di saat manusia lalai. Inilah amalan yang dicintai di sisi Allah.” (Lathoif Al Ma’arif, 235)
Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan.
Tatkalah manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu. Sebagaimana seseorang yang berdzikir di tempat orang-orang yang begitu lalai dari mengingat Allah -seperti ketika di pasar-, maka dzikir ketika itu adalah amalan yang sangat istimewa.
Abu Sholeh mengatakan,
“Sesungguhnya Allah tertawa melihat orang yang masih sempat berdzikir di pasar. Kenapa demikian? Karena pasar adalah tempatnya orang-orang lalai dari mengingat Allah.”
- Pasar merupakan tempat yang paling dibenci oleh Allah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أحب البلاد إلى الله مساجدها و أبغض البلاد إلى الله أسواقها
“Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya dan yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim no. 671 dari Abu Hurairah)
Dalam hadits lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خير البقاع المساجد و شر البقاع الأسواق
“Sebaik-baik tempat adalah masjid, dan seburuk-buruk tempat adalah pasar.” (HR. At-Thabarani dan al-Hakim. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 3271)
ada juga hadits lain:
لا تكونن إن استطعت أول من يدخل السوق ولا آخر من يخرج منها
" Janganlah engkau menjadi orang pertama yang masuk pasar jika engkau mampu dan jangan pula menjadi orang paling terakhir yang keluar darinya.
فإنها معركة الشيطان وبها ينصب رايته
Karena pasar itu adalah tempat peperangan para syaitan dan disanalah ditancapkan benderanya." [diriwayatkan oleh Imam Muslim (2451) dari Salman radiyallohu ‘anhu]
Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al-Imam menjelaskan hadits diatas:
Ucapan ini memiliki hukum marfu (disandarkan kepada Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, pen).
Yang dimaksud dengan ا لمعر كة dalam kata ”معركة الشيطان ” adalah tempat peperangan para syaitan dan mereka menjadikan pasar sebagai tempat perang tersebut karena dia mengalahkan mayoritas penghuninya disebabkan karena mereka lalai dari dzikrullah dan gemar melakukan kemaksiatan.
Oleh karena itu, pasar merupakan tempat yang dibenci oleh Alla Subhaanahu wata’ala.
(Kemudian beliau membawakan hadits)
أحب البلاد إلى الله مساجدها و أبغض البلاد إلى الله أسواقها
“Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya dan yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim no. 671 dari Abu Hurairah)
Demikianlah para setan berkumpul di tempat-tempat yang di dalamnya gemar dilakukan perbuatan maksiat dan kemungkaran.
Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam:
إن هذه السوق يخالطها اللغو والكذب ، فشوبوها بالصدقة
Sesungguhnya pasar ini, bercampur (perbuatan/perkataan yang) sia-sia dan kedustaan (sumpah serapah). maka campurilah dengan sedekah (Shahiih, HR. Nasaa-iy; dishahiihkan oleh syaikh al-Albaniy dalam shahih an Nasaa-iy)
Maka bukan berarti menjadikan kita memahami keutamaan dzikir masuk pasar ini dengan pemahaman,
“kalau begitu, kita akan ke pasar setiap hari (walaupun tanpa keperluan mendesak) untuk menggapai fadhilah dzikir masuk pasar..”
karena telah dijelaskan diatas bahwa pasar merupakan tempat yang Allah benci, sejelek-jeleknya tempat yang dimana diatas terdapat berbagai macam kemungkaran, perbuatan dan perkataan sia-sia, belum lagi disanalah tempat syaithan berkumpul dan ditancapkan benderanya.. maka tentunya orang yang mencintai Allah akan mencntai apa yang di cintaiNya dan membenci apa yang dibenciNya.
Maka kita ke pasar SEKEDAR dengan KEBUTUHAN kita, terkecuali jika memang kita seorang pedagang (yang memang tempatnya dipasar), yang dimana disanalah tempat kita mencari nafkah.
- Seorang muslim yang datang ke pasar untuk mencari rezki yang halal, dengan selalu berzikir (ingat) kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan-Nya, maka ini adalah termasuk sebaik-baik usaha yang diberkahi oleh Allah Ta’ala.
Sebagaimana sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sungguh sebaik-baik rizki yang dimakan oleh seorang laki-laki adalah dari usahanya sendiri (yang halal)” [SHAHIIH, HR an-Nasa-i (no. 4452), Abu Dawud (no. 3528), at-Tirmidzi (no. 1358) dan al-Hakim (no. 2295), dinyatakan shahih oleh at-Tirmidzi, al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani]
- Dzkir ini lebih utama jika diucapkan dengan lisan disertai dengan penghayatan akan kandungan maknanya dalam hati.
Karena dzikir yang dilakukan dengan lisan dan hati adalah lebih sempurna dan utama [Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 314)]
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Fadhilah Dzikir
Kita telah mengetahui bahwa dzikir adalah amalan yang amat utama. Di antara bentuk dzikir adalah menyebut asma’ dan sifat Allah, ditambah perenungan makna dan pengaplikasiannya. Di samping itu, mengingat nikmat Allah juga termasuk bagian dari dzikir. Begitu pula duduk di majelis ilmu untuk mengkaji hukum-hukum Allah juga termasuk dzikir. Demikian macam-macam dzikir yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim semacam dalam kitab beliau Al Wabilush Shoyyib dan Madarijus Salikin.
Di antara keutamaan dzikir sebagaimana disebutkan berikut ini:
(1) Dengan dzikir akan mengusir setan.
(2) Dzikir mudah mendatangkan ridho Ar Rahman.
(3) Dzikir dapat menghilangkan gelisah dan hati yang gundah gulana.
(4) Dzikir menguatkan hati dan badan.
(5) Dzikir menerangi hati dan wajah pun menjadi bersinar.
(6) Dzikir mudah mendatangkan rizki.
(7) Dzikir membuat orang yang berdzikir akan merasakan manisnya iman dan keceriaan.
(8) Hati dan ruh semakin kuat dengan dzikir. Jika seseorang melupakan dzikir maka kondisinya sebagaimana badan yang hilang kekuatan. Ibnul Qayyim rahimahullah menceritakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sesekali pernah shalat Shubuh dan beliau duduk berdzikir pada Allah Ta’ala sampai beranjak siang. Setelah itu beliau berpaling padaku dan berkata, “Ini adalah kebiasaanku di pagi hari. Jika aku tidak berdzikir seperti ini, hilanglah kekuatanku” –atau perkataan beliau yang semisal ini-.
(9) Senantiasa berdzikir pada Allah menyebabkan seseorang tidak mungkin melupakan-Nya. Orang yang melupakan Allah adalah sebab sengsara dirinya dalam kehidupannya dan di hari ia dikembalikan. Seseorang yang melupakan Allah menyebabkan ia melupakan dirinya dan maslahat untuk dirinya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hasyr: 19).
(10) Dzikir adalah obat hati sedangkan lalai dari dzikir adalah penyakit hati. Mak-huul, seorang tabi’in, berkata, “Dzikir kepada Allah adalah obat (bagi hati). Sedangkan sibuk membicarakan (‘aib) manusia, itu adalah penyakit.”
Demikian sebagian keutamaan dzikir yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Al Wabilush Shoyyib.
Berdzikir di Kala Orang-Orang Lalai
Lisan ini diperintahkan untuk berdzikir setiap saat. Dari ‘Abdullah bin Busr, ia berkata,
جَاءَ أَعْرَابِيَّانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ أَحَدُهُمَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». وَقَالَ الآخَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَىَّ فَمُرْنِى بِأَمْرٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. فَقَالَ « لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْباً مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ »
“Ada dua orang Arab (badui) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas salah satu dari mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, manusia bagaimanakah yang baik?” “Yang panjang umurnya dan baik amalannya,” jawab beliau. Salah satunya lagi bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syari’at Islam amat banyak. Perintahkanlah padaku suatu amalan yang bisa kubergantung padanya.” “Hendaklah lisanmu selalu basah untuk berdzikir pada Allah,” jawab beliau. (HR. Ahmad 4: 188, sanad shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Hadits ini menunjukkan bahwa dzikir itu dilakukan setiap saat, bukan hanya di masjid, sampai di sekitar orang-orang yang lalai dari dzikir, kita pun diperintahkan untuk tetap berdzikir.
Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Ketika hati seseorang terus berdzikir pada Allah maka ia seperti berada dalam shalat. Jika ia berada di pasar lalu ia menggerakkan kedua bibirnya untuk berdzikir, maka itu lebih baik.” (Lihat Jaami’ul wal Hikam, 2: 524). Dinyatakan lebih baik karena orang yang berdzikir di pasar berarti berdzikir di kala orang-orang pada lalai. Para pedagang dan konsumen tentu lebih sibuk dengan tawar menawar mereka dan jarang yang ambil peduli untuk sedikit mengingat Allah barang sejenak.
Lihatlah contoh ulama salaf. Kata Ibnu Rajab Al Hambali setelah membawahkan perkataan Abu ‘Ubaidah di atas, beliau mengatakan bahwa sebagian salaf ada yang bersengaja ke pasar hanya untuk berdzikir di sekitar orang-orang yang lalai dari mengingat Allah. Ibnu Rajab pun menceritakan bahwa ada dua orang yang sempat berjumpa di pasar. Lalu salah satu dari mereka berkata, “Mari sini, mari kita mengingat Allah di saat orang-orang pada lalai dari-Nya.” Mereka pun menepi dan menjauh dari keramaian, lantas mereka pun mengingat Allah. Lalu mereka berpisah dan salah satu dari mereka meninggal dunia. Dalam mimpi, salah satunya bertemu lagi temannya. Di mimpi tersebut, temannya berkata, “Aku merasakan bahwa Allah mengampuni dosa kita di sore itu dikarenakan kita berjumpa di pasar (dan lantas mengingat Allah).” Lihat Jaami’ul wal Hikam, 2: 524).
Kedho’ifan Do’a Khusus Masuk Pasar
At-Tirmidziy rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا أَزْهَرُ بْنُ سِنَانٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ وَاسِعٍ، قَالَ: قَدِمْتُ مَكَّةَ فَلَقِيَنِي أَخِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ فَحَدَّثَنِي، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ دَخَلَ السُّوقَ، فَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ وَرَفَعَ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ دَرَجَةٍ ".
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manii’ : Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun : Telah mengkhabarkan kepada kami Az-har bin Sinaan : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Waasi’, ia berkata : Aku pernah datang ke Makkah, lalu aku menjumpai saudaraku, Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar. Lalu ia menceritakan kepadaku dari ayahnya, dari kakeknya : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Barangsiapa yang masuk pasar dan mengucapkan : Laa ilaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu, lahul-mulku wa lahul-hamdu yuhyii wa yumiitu wahuwa hayyun laa yamuutu biyadihil-khairu wa huwa ‘alaa kulli syain qadiir (Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya segala pujian. Dia-lah Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan. Dia-lah Yang Hidup, tidak akan pernah mati. Di tangan-Nya kebaikan. Dia-lah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu); maka Allah akan tulis baginya sejuta kebaikan, menghapus sejuta kejelekan (dosa), dan mengangkatnya sejuta derajat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3428].
Diriwayatkan juga oleh Ad-Daarimiy no. 2734, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah no. 2821, Adl-Dliyaa' dalam Al-Mukhtarah no. 186 - 169, ‘Abd bin Humaid no. 28, Al-Haakim 1/538, Al-‘Uqailiy dalam Adl-Dlu’afaa’ 1/151, Ath-Thabaraaniy dalam Ad-Du’aa’ no. 792, Ibnu Basyraan dalam Al-Amaaliy 1/262, Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 56/139, dan Ibnu Qudaamah dalam Fadllu Yaumit-Tarwiyyah wa ‘Arafah no. 23; semuanya dari jalan Az-har bin Sinaan Al-Qurasyiy dan selanjutnya seperti hadits di atas.
Sanad riwayat ini dla’iif (lemah) dengan sebab Az-har. Berikut keterangan para perawinya :
1. Ahmad bin Manii’ bin ‘Abdirrahmaan Abu Ja’far Al-Baghawiy Al-Asham; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 160 H, dan wafat tahun 244 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 100 no. 115].
2. Yaziid bin Haaruun bin Zaadziy atau Zaadzaan bin Tsaabit As-Sulamiy Abu Khaalid Al-Waasithiy; seorang yang tsiqah, mutqin, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqahke-9, lahir tahun 118 H, dan wafat tahun 206 H.Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1084 no. 7842].
3. Az-har bin Sinaan Al-Bashriy, Abu Khaalid Al-Qurasyiy; seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai oleh At-Tirmidziy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 123 no. 311].
4. Muhammad bin Waasi’ bin Jaabir bin Al-Akhnas bin ‘Aaidz bin Khaarijah bin Ziyaad Al-Azdiy, Abu Bakr/Abu ‘Abdillah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 123 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 904 no. 6408].
5. Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Al-Khaththaab Al-Qurasyiy, Abu ‘Umar/Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang tsabat, ‘aabid, lagi mempunyai keutamaan. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 106 H.. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 360 no. 2189].
6. ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththaab Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Makkiy Al-Madaniy; salah seorang shahabat Nabi yang mulia. Termasukthabaqah ke-1, dan wafat tahun 73 H/74 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 528 no. 3514].
7. ‘Umar bin Al-Khaththaab bin Nufail bin ‘Abdil-‘Uzzaa bin Riyaah bin ‘Abdillah bin Qarth bin Razaah bin ‘Adiy Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy, Abu Hafsh; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, amiirul-mukminiin. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 23 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 717 no. 4922].
Muhammad bin Waasi’ dalam periwayatan dari Saalim mempunyai mutaba’ah dari :
1. ‘Amru bin Diinaar Aaluz-Zubair.
Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3429, Ibnu Maajah no. 2235, Ahmad 1/47, Ath-Thayaalisiy no. 12, Ad-Duulaabiy dalam Al-Kunaa no. 705, Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 183, Abu Nu’aim dalam Akhbaar Ashbahaan 2/150, Abul-‘Abbaas Al-Asham dalam Hadiits-nya no. 58, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 2/205 & 6/235-236, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 212, Tamaam Ar-Raaziy dalam Al-Fawaaid no. 1598, Ath-Thabaraaniy dalam Ad-Du’aa’ no. 789-791, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 1338, Ar-Ramahurmuziy dalam Al-Muhaddits Al-Faashil 1/332-333, Abusy-Syaikh Al-Ashbahaaniy dalam Thabaqaatul-Muhadditsiin no. 332 & 443, ‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy dalam Akhbaarush-Shalaah no. 133, Bakr bin Bakkaar dalam Juuz-nya no. 47, Ibnu Abi Fawaaris dalam Juuz-nya no. 129, Abu ‘Abdillah bin Mandah dalam Al-Amaaliy no. 167 & 372, Abu ‘Abdillah Al-Farraa' dalam Al-Fawaaid no. 43, Ibnu Basyraan dalam Al-Amaaliy 1/300, Asy-Syajriy dalam Al-Amaaliy no. 40 & 117, Al-Khathiib dalam Maudlihul-Auhaam2/318-319, Ibnul-Bannaa Al-Baghdaadiy dalam Fadlaailut-Tahliil no. 5, dan Adz-Dzahabiy dalamAt-Taariikh 29/345; semuanya dari jalan ‘Amru bin Diinaar, dari Saalim, dan selanjutnya seperti hadits di atas.
Sanad riwayat ini dla’iif dengan sebab ‘Amru bin Diinaar. Nama lengkapnya adalah : ‘Amru bin Diinaar Al-Bashriy, Abu Yahyaa Al-A’war, Qahramaan Aaluz-Zubair; seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah ke-6. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 734 no. 5060].
Diriwayatkan juga oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/538 : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Umar bin Muhammad bin Zaid : Telah menceritakan kepadaku seorang laki-laki penduduk Bashrah, dari Saalim bin ‘Abdillah, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfuu’.
Kemungkinan laki-laki mubham ini adalah ‘Amru bin Diinaar Al-Bashriy. Wallaahu a’lam.
Abu Haatim rahimahullah berkata : “Hadits ini sangat munkar. Saalim tidak meriwayatkan hadits ini” [Al-‘Ilal, 5/312 no. 2006].
2. Muhaajir bin Habiib.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraani dalam Ad-Du’aa’ no. 793 dan Abul-Fadhl Az-Zuhriy dalam Hadiits-nya no. 176; semuanya dari Abu Khaalid Al-Ahmad : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Muhaajir, ia berkata : Aku mendengar Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar berkata : Aku mendengar ayahku berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “...(al-hadits)...”.
Sulaimaan bin Hayyaan Al-Azdiy Abu Khaalid Al-Ahmar (114-189/190 H); seorang yangdiperselisihkan statusnya.
Ishaq bin Rahaawaih berkata : Aku bertanya kepada Wakii’ tentang Abu Khaalid, lalu ia berkata : “Dan Abu Khaalid, apakah ia termasuk orang yang masih ditanyakan ?”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Shaduuq, namun bukan sebagai hujjah”. Di lain riwayat ia berkata : “Tsiqah”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya”. ‘Aliy bin Al-Madiniy berkata : “Tsiqah”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Abu Hisyaam Ar-Rifaa’iy berkata : “Telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid Al-Ahmar, at-tsiqatul-amiin (sangat terpercaya)”. Abu Haatim berkata : “Shaduuq”. Abu Bakr Al-Khathiib berkata : “Sufyaan mencela Abu Khaalid dengan sebab keluarnya bersama Ibraahiim bin ‘Abdillah bin Hasan. Adapun dalam masalah hadits, maka ia tidak mencelanya”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ia mempunyai hadits-hadits yang shaalihah (baik). Hanya saja, hapalannya yang jelek menyebabkan ia sering keliru. Ia pada asalnya adalah sebagaimana yang dikatakan Ibnu Ma’iin : ‘shaduuq, namun nukan sebagai hujjah” [Tahdziibul-Kamaal, 11/394-398 no. 2504]. Ibnu Sa’d berkata : “Seorang yang tsiqah, banyak haditsnya”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah, shaahibus-sunnah”. Al-Bazzaar berkata : “Bukan seorang yang haafidh. Ia meriwayatkan hadits-hadits dari Al-A’masy dan lainnya yang tidak mempunyai mutaba’ah” [Tahdziibut-Tahdziib, 4/182 no. 313]. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, sering keliru (yukhthi’)” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 406 no. 2562]. Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah masyhuur” [Man Tukullima fiih Wahuwa Muwatstsaq Au Shaalihul-Hadiits, hal. 239-240 no. 144].
Kesimpulan : Ia seorang yang tsiqah, namun mempunyai beberapa keraguan (auhaam).
Adapun Muhaajir bin Habiib atau Muhaashir bin Habiib, seorang yang shaduuq, hasan haditsnya – atau bahkan ia seorang yang tsiqah.
Riwayat ini munkar.
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata : “’Aliy bin Al-Madiiniy berkata dalam Musnad ‘Umar : ‘Adapun hadits Muhaajir dari Saalim tentang orang yang masuk ke pasar, maka Muhaajir bin Habiib ini seorang yang tsiqah dari kalangan penduduk Syaam. Akan tetapi Abu Khaalid Al-Ahmar tidak pernah berjumpa dengannya. Yang meriwayatkan darinya hanyalah Tsaur bin Yaziid, Al-Ahwash bin Hakiim, Faraj bin Fadlaalah, dan penduduk Syaam. Ini adalah hadits munkar dari hadits Muhaajir dimana ia mendengarnya dari Saalim. Hadits ini hanyalah diriwayatkan oleh seorang syaikh yang menurut ulama tidak tsabt yang bernama ‘Amru bin Diinaar Qahramaan Aaliz-Zubair. Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Ar-Rabii’ hadits tersebut darinya. Shahabat-shahabat kami sangat mengingkari hadits ini karena kebagusan sanadnya. Syaikh ini (yaitu ‘Amru bin Diinaar) meriwayatkan satu hadits yang lain dari Saalim, dari ayahnya, dari ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau bersabda : ‘Barangsiapa yang melihat sesuatu yang basah....’. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan perkataan yang tidak aku hapal. Dan ini termasuk yang diingkari para ulama. Seandainya Muhaajir shahih haditsnya tentang doa masuk pasar, niscaya ‘Amru bin Diinaar tidak diingkari dalam hadits ini” [Musnad Al-Faaruuq, 2/642-643].
3. ‘Ubaidullah Al-‘Umariy.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 13175 dan dari jalannya diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 12637 dan Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 45/405 : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Ma’mariy : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Aslam Al-Himshiy : Telah menceritakan kepada kami Salm bin Maimuun Al-Khawwaash, dari ‘Aliy bin ‘Athaa’, dari ‘Ubaidullah Al-‘Umariy, dari Saalim bin ‘Abdillah, dari ayahnya, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “......(al-hadits)...”.
Dalam riwayat ini, Ibnu ‘Umar meriwayatkan langsung secara marfuu’ dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tanpa melalui perantaraan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhumaa. Ini keliru, karena yang benar Ibnu ‘Umar meriwayatkan hadits ini melalui perantaraan ayahnya.
Sanad riwayat ini dla’iif dengan sebab Salm bin Maimuun Al-Khawwaash Az-Zaahid Ar-Raaziy. Ia seorang perawi dla’iif yang meriwayatkan beberapa hadits munkar [lihat : Lisaanul-Miizaan, 4/112 no. 3551]. Adapun ‘Aliy bin ‘Athaa’, saya belum menemukan data biografinya.
Diriwayatkan juga oleh At-Tirmidziy dalam Al-‘Ilal Al-Kabiir hal. 674, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr 12/302 no. 6140, Al-Haakim 1/539, dan Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 6/167; semuanya dari jalan Yahyaa bin Sulaim, dari ‘Imraan bin Muslim, dari ‘Abdullah bin Diinaar, dari Ibnu ‘Umar secara marfuu’.
At-Tirmidziy berkata : Aku pernah bertanya kepada Muhammad (bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy) tentang hadits ini. Maka ia berkata : “Ini adalah hadits munkar”. Aku berkata kepadanya : “Siapakah ‘Imraan bin Muslim ini ?. Apakah ia ‘Imraan bin Al-Qashiir ?”. Ia berkata : “Bukan. Syaikh ini munkarul-hadiits” [Al-‘Ilal Al-Kabiir, hal. 363]. Penghukuman Al-Bukhaariy tersebut sama dengan Abu Haatim [Al-‘Ilal, 5/352 no. 2038].
Ibnu Abi Haatim berkata : “Hadits ini keliru. Yang benar adalah : ‘Imraan bin Muslim, dari ‘Amru bin Diinaar Qahramaan Aaliz-Zubair, dari Saalim, dari ayahnya. Lalu perawi keliru dan menjadikan nama ‘Amru (bin Diinaar) sebagai ‘Abdullah bin Diinaar, dan menggugurkan Saalim dari sanad hadits ini. Telah menceritakan kepada kami hal tersebut Muhammad bin ‘Ammaar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Sulaimaan, dari Bukair bin Syihaab Ad-Daamaghaaniy, dari ‘Imraan bin Muslim, dari ‘Amru bin Diinaar, dari Saalim, dari ayahnya, dari ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia menyebutkan haditsnya” [Al-‘Ilal, 5/352-353].
Perkataan Ibnu Abi Haatim ini sekaligus menunjukkan kekeliruan sanad yang dibawakan oleh Al-Haakim 1/539 yang menyebutkan mutaba’ah ‘Imraan bin Muslim dalam periwayatan dari ‘Abdullah bin Diinaar : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Baalawaih : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Al-Hasan bin Habdarah : Telah menceritakan kepada kami Masruuq bin Al-Marzabaan : Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Hisyaam bin Hassaan, dari ‘Abdullah bin Diinaar, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “....(al-hadits)....”.
Hal itu dikarenakan Hisyaam bin Hassaan masyhur dalam hadits ini meriwayatkan dari ‘Amru bin Diinaar, dari Saalim, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfuu’.
Al-Khathiib dalam At-Talkhiish 1/169 & 1/321 membawakan mutaba’ah dari Saalim, yaitu ‘Abdurrahmaan bin Zaid bin Aslam dan Khaarijah bin Mush’ab. Akan tetapi ‘Abdurrahmaan dan Khaarijah adalah dua orang perawi yang sangat lemah.
‘Abdurrahmaan bin Zaid bin Aslam; seorang yang dla’iif menurut kesepakatan sebagaimana dikatakan Ibnul-Jauziy. Bahkan Ibnu Ma’iin berkata berkata : “Haditsnya tidak ada apa-apanya”. Ibnu Sa’d berkata : “Sangat lemah”. As-Saajiy berkata : “Munkarul-hadiits”. Al-Haakim dan Abu Nu’aim berkata : “Ia meriwayatkan dari ayahnya hadits-hadits palsu” [Tahdziibut-Tahdziib, 6/177-179 no. 361].
Khaarijah bin Mush’ab bin Khaarijah Adl-Dluba’iy, Abul-Hajjaaj Al-Khurasaaniy As-Sarkhasiy; seorang yangmatruuk, melakukan tadlis dari para pendusta. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 168 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 283 no. 1622].
‘Umar bin Al-Khaththaab mempunyai syaahid dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhum, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 183 : Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Zuhair : Telah menceritakan kepadaku ‘Umar bin Al-Khaththaab : Telah menceritakan kepada kami Abu Hafsh At-Tuniisiy, dari Shadaqah, dari Al-Hajjaaj bin Arthaah. Dari Nahsyal bin Sa’iid, dari Adl-Dlahhaak bin Muzaahim, dari Ibnu ‘Abbaas secara marfuu’.
Sanad riwayat ini sangat lemah terutama dengan keberadaan Nahsyal bin Sa’iid. Nama lengkapnya adalah : Nahsyal bin Sa’iid bin Wardaan Al-Qurasyiy Al-Wadaaniy, Abu Sa’iid/Abu ‘Abdillah Al-Khuraasaaniy An-Naisaabuuriy; seorang yang matruk – Ishaaq bin Rahawaih mendustakannya. Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai oleh Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1009 no. 7247].
Kesimpulan :
Hadits ini dengan keseluruhan jalannya adalah dla’iif. Jalan-jalan hadits yang ada belum mampu menaikkan hadits ini pada derajat hasan atau yang lebih tinggi dari itu (shahih).
FAEDAH HADITS :
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
- Yang dimaksud dengan pasar adalah semua tempat yang didatangkan dan diperjual-belikan padanya berbagai macam barang dagangan [Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (1/170).
Yang ini mencakup pasar tradisional, pasar modern, super market, mall, toko-toko besar dan lain-lain.
- Pasar adalah tempat berjual-beli dan tempat yang melalaikan orang dari mengingat Allah Ta’ala karena kesibukan mengurus perdagangan. Maka di sanalah tempat berkumpulnya setan dan bala tentaranya, sehingga orang yang berzikir di tempat seperti itu berarti dia telah memerangi setan dan tentaranya, maka pantaslah jika dia mendapat pahala dan keutamaan besar yang tersebut dalam hadits di atas. [Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (9/272) dan “Faidhul Qadiir” (1/170).].
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,
“Dalam hadits di atas terdapat dalil mengenai dianjurkannya melakukan amalan ketaatan di saat manusia lalai. Inilah amalan yang dicintai di sisi Allah.” (Lathoif Al Ma’arif, 235)
Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan.
Tatkalah manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu. Sebagaimana seseorang yang berdzikir di tempat orang-orang yang begitu lalai dari mengingat Allah -seperti ketika di pasar-, maka dzikir ketika itu adalah amalan yang sangat istimewa.
Abu Sholeh mengatakan,
“Sesungguhnya Allah tertawa melihat orang yang masih sempat berdzikir di pasar. Kenapa demikian? Karena pasar adalah tempatnya orang-orang lalai dari mengingat Allah.”
- Pasar merupakan tempat yang paling dibenci oleh Allah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أحب البلاد إلى الله مساجدها و أبغض البلاد إلى الله أسواقها
“Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya dan yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim no. 671 dari Abu Hurairah)
Dalam hadits lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خير البقاع المساجد و شر البقاع الأسواق
“Sebaik-baik tempat adalah masjid, dan seburuk-buruk tempat adalah pasar.” (HR. At-Thabarani dan al-Hakim. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 3271)
ada juga hadits lain:
لا تكونن إن استطعت أول من يدخل السوق ولا آخر من يخرج منها
" Janganlah engkau menjadi orang pertama yang masuk pasar jika engkau mampu dan jangan pula menjadi orang paling terakhir yang keluar darinya.
فإنها معركة الشيطان وبها ينصب رايته
Karena pasar itu adalah tempat peperangan para syaitan dan disanalah ditancapkan benderanya." [diriwayatkan oleh Imam Muslim (2451) dari Salman radiyallohu ‘anhu]
Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al-Imam menjelaskan hadits diatas:
Ucapan ini memiliki hukum marfu (disandarkan kepada Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, pen).
Yang dimaksud dengan ا لمعر كة dalam kata ”معركة الشيطان ” adalah tempat peperangan para syaitan dan mereka menjadikan pasar sebagai tempat perang tersebut karena dia mengalahkan mayoritas penghuninya disebabkan karena mereka lalai dari dzikrullah dan gemar melakukan kemaksiatan.
Oleh karena itu, pasar merupakan tempat yang dibenci oleh Alla Subhaanahu wata’ala.
(Kemudian beliau membawakan hadits)
أحب البلاد إلى الله مساجدها و أبغض البلاد إلى الله أسواقها
“Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya dan yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim no. 671 dari Abu Hurairah)
Demikianlah para setan berkumpul di tempat-tempat yang di dalamnya gemar dilakukan perbuatan maksiat dan kemungkaran.
Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam:
إن هذه السوق يخالطها اللغو والكذب ، فشوبوها بالصدقة
Sesungguhnya pasar ini, bercampur (perbuatan/perkataan yang) sia-sia dan kedustaan (sumpah serapah). maka campurilah dengan sedekah (Shahiih, HR. Nasaa-iy; dishahiihkan oleh syaikh al-Albaniy dalam shahih an Nasaa-iy)
Maka bukan berarti menjadikan kita memahami keutamaan dzikir masuk pasar ini dengan pemahaman,
“kalau begitu, kita akan ke pasar setiap hari (walaupun tanpa keperluan mendesak) untuk menggapai fadhilah dzikir masuk pasar..”
karena telah dijelaskan diatas bahwa pasar merupakan tempat yang Allah benci, sejelek-jeleknya tempat yang dimana diatas terdapat berbagai macam kemungkaran, perbuatan dan perkataan sia-sia, belum lagi disanalah tempat syaithan berkumpul dan ditancapkan benderanya.. maka tentunya orang yang mencintai Allah akan mencntai apa yang di cintaiNya dan membenci apa yang dibenciNya.
Maka kita ke pasar SEKEDAR dengan KEBUTUHAN kita, terkecuali jika memang kita seorang pedagang (yang memang tempatnya dipasar), yang dimana disanalah tempat kita mencari nafkah.
- Seorang muslim yang datang ke pasar untuk mencari rezki yang halal, dengan selalu berzikir (ingat) kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan-Nya, maka ini adalah termasuk sebaik-baik usaha yang diberkahi oleh Allah Ta’ala.
Sebagaimana sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sungguh sebaik-baik rizki yang dimakan oleh seorang laki-laki adalah dari usahanya sendiri (yang halal)” [SHAHIIH, HR an-Nasa-i (no. 4452), Abu Dawud (no. 3528), at-Tirmidzi (no. 1358) dan al-Hakim (no. 2295), dinyatakan shahih oleh at-Tirmidzi, al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani]
- Dzkir ini lebih utama jika diucapkan dengan lisan disertai dengan penghayatan akan kandungan maknanya dalam hati.
Karena dzikir yang dilakukan dengan lisan dan hati adalah lebih sempurna dan utama [Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 314)]
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Langganan:
Postingan (Atom)