Translate

Rabu, 13 September 2017

Fenomena Pendidikan Anak Kyai

Panggilan “Gus” digunakan di Jawa oleh orang tua terhadap anak-anak lelaki. Panggilan lainnya, bisa juga “le” dari kata “thole” untuk anak lelaki, dan “ndhuk” dari kata “gendhuk” untuk anak perempuan.

Contohnya: Reneo gus, reneo le, reneo, ndhuk. Artinya, ke sinilah gus (wahai anak kecil laki-laki), ke sinilah le (wahai anak kecil laki-laki), ke sini lah ndhuk (wahai anak kecil perempuan).

Ada yang mengatakan, sebutan gus itu dari German. The meaning of Gus in German is Revered, Exalted. It is a baby boy name.

(Arti dari Gus di Jerman adalah yang terhormat, Maha. Ini adalah nama bayi laki-laki).

Gus, le, dan ndhuk itu semua adalah panggilan dengan rasa kasih sayang kepada anak-anak.  Panggilan itu akan terasa nglunjak, tidak sopan, bahkan menghina atau menantang bila diucapkan oleh orang yang umurnya sejajar, apalagi umurnya lebih muda atau statusnya lebih jembel.

Misalnya, anak kelas 5 SD berkata kepada anak kelas 6 dengan perkataan: Napa le, matamu plerak-plerek nyang aku? (ngapain lu, matamu melotot lotok ke gue) (Maaf, ini bahasa kasar, karena memang untuk contoh kalimat yang isinya penentangan).

Lafal “le” di situ walau sudah diterjemahkan dengan lu (loe) bahasa Betawi, namun masih belum begitu mewakili, karena lafal “le” di Bahasa Jawa di situ ada sikap penentangan dan penghinaan (dari yang muda kepada yang lebih tua). Jadi lafal “le” di situ pantang diucapkan oleh orang yang umurnya sejajar, apalagi lebih muda, atau statusnya di masyarakat lebih jembel/ rendah, kecuali memang sengaja untuk menentang atau bahkan menghinanya.

Anehnya, lafal gus tidak dapat digunakan untuk itu. Misalnya: ngapain gus matamu melotot lotot ke gue;kalimat itu menjadi hambar maknanya. Karena gus di situ sebutan yang mengandung penghormatan, jadi tidak tepat ketika digandengkan dengan lafal penentangan yang mengandung hinaan tersebut.Kecuali lafal gus di situ bukan panggilan penghormatan tetapi adalah nama, misalnya Gusbush. Barangkali saja itu juga menjadi sebab, sebutan gus tidak dianggap nglunjak ketika diucapkan oleh orang yang lebih muda kepada yang lebih tua. Padahal kalau sebutan “le” pasti mengandung penghinaan atau penentangan bila pelontarnya itu orang yang lebih muda. Apalagi misalnya pejabat lalu disebut “le” oleh rakyat maka jelas mengandung penghinaan.

Begitu juga, entah kenapa, sebutan gus itu padahal aslinya untuk kanak-kanak, tetapi juga masih dipakai ketika orangnya sudah sampai umur tua, bahkan sampai meninggal sekalipun. Dan entah kenapa pula apakah ada kaitannya atau tidak, kadang yang punya sebutan gus itu ada sifat kekanak-kanakannya. Misalnya, terkesan agar perkataannya itu ditertawakan orang. Terbukti dengan suka humor, yang mungkin bagi orang yang tidak suka disebutnya cengengesan. Apakah merasa bahwa dirinya masih kanak-kanak karena disebut gus atau sebab lainnya, belum ada penelitian yang hasilnya terdengar. Oleh karena itu, tampaknya hanya barisan dari orang-orang yang tidak tahu gelagat prilaku secara cermat  saja yang mau mengangkat orang yang julukannya pakai gus jadi pengarep/ orang terdepan.

Sebutan gus tampaknya ada kemaafan-kemaafan tertentu dalam bahasa maupun pergaulan. Namun bukan berarti kalis dari resiko. Justru sebutan terhormat itu mengandung resiko yang kadang bisa drastis.

Ketika sebutan terhormat dalam hal ini gus, digandengkan dengan kalimat untuk menjatuhkannya juga bisa. Misal, sebutanmu gus, tapi kelakuanmu tidak bagus! Itu justru menambah mantapnya penjatuhan. Bahkan hanya digandengangkan dengan lafal abal-abal (gus abal-abal) begitu saja sudah menjatuhkannya. Dan itu tidak berlaku pada sebuta “le” (thole). Mau dikatain “thole abal-abal”? Ya ngga’ ngaruh, kata orang Betawi Jakarta.

Fenomena Pendidikan Para Anak Kyai

Kyai, Tuan Guru, Abah, Ajengan, Buya, Alim Ulama' dan gelar sejenisnya adalah bagian dari kelompok elite dalam strata keagamaan di Indonesia. Mereka sangat dihormati dan dimuliakan oleh santri maupun kaumnya. Karena mereka adalah tempat untuk berkeluh kesah, tempat untuk berkonsultasi baik masalah spiritual maupun sosial oleh masyarakat yang ada di sekitarnya.

Di lingkungan pesantren dan masyarakat pedesaan, kyai merupakan figur yang sangat dihormati tidak saja oleh para santri yang mondok di pesantrennya, tapi juga oleh masyarakat sekitar yang menjadikannya sebagai figur tempat berkeluh-kesah, tempat berkonsultasi tidak saja masalah spiritual tapi juga sosial. Apabila sang kyai kebetulan juga kaya, maka ia juga menjadi tempat masyarakat untuk berkonsultasi finansial. Alhasil, keluarga kyai menjadi kelompok elit khususnya di masyarakat Jawa. Di kota atau di kawasan luar Jawa kyai, ustadz, tuan guru, buya dan sebutan lain untuk tokoh agama, juga menjadi figur yang dihormati walaupun dengan level di bawah kyai Jawa.

Penghormatan masyarakat pada kyai juga menular pada penghormatan mereka pada keluarga kyai. Anak dan istri kyai umumnya mendapat penghormatan yang hampir sepadan dengan ayah mereka.

Putra kyai di Jawa biasanya mendapat panggilan kehormatan tertentu di kalangan santri dan masyarakat. Di Jawa Timur dan Jawa Tengah, misalnya, mereka biasa dipanggil dengan sebutan gus, lora, bindereh, neng dan kang sejak mereka baru lahir. Sedang putri kyai umumnya mendapat panggilan kehormatan ning di depan namanya.

Cara santri bersalaman dengan kyai biasanya dilakukan dengan mencium tangan kyai. Begitu juga saat santri berjabat tangan dengan putra kyai. Walaupun sang putra kyai masih kecil.

Penghormatan ini tidaklah terbatas hanya untuk sang Kyai saja, namun juga menular pada keluarga Kyai tersebut, baik istri maupun anaknya. masyarakat pada umumnya akan menghormati istri dan anak kyai hampir sepadan dengan kyai tersebut.

Ada hal yang menarik dalam adat keluarga per Kyai an Indonesia, terutama di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, karena anak seorang kyai biasanya dipanggil dengan julukan "Gus" sejak lahir. sedangkan anak kyai yang berjenis kelamin perempuan umumnya akan dipanggil dengan "neng" atau "ning".

Jika kyai di masyarakat atau pesantren adalah seorang Raja, maka seorang Gus bisa dikatakan sebagai "Sang Pangeran" atau "Sang Putri" jika perempuan. Oleh karena itu, mereka juga dihormati dan dimuliakan oleh para santri dan masyarakat sekitar sama halnya seperti menghormati orang tuanya.

Cara bersalaman dengan Gus atau Ning juga dilakukan dengan mencium tangannya seperti halnya ketika mencium tangan orang tuanya. walaupun anak-anak kyai tersebut belum dewasa.

Permasalahan Pendidikan Bagi Seorang Gus

Dalam lingkup pesantren, Seorang Gus atau anak kyai ibarat Pangeran yang tak pernah salah dan tak mungkin salah, Tak jarang para santri pun ikut memanjakannya dan mengidolakannya secara berlebihan. Sedangkan pada waktu yang sama, Sang ayah sibuk mengurus umat dan para santri serta sibuk dalam berbagai aktifitas pengajian sehingga pendidikan untuk "Sang Pangeran" pun terabaikan.

Dengan latar belakang seperti itu tentunya tidaklah aneh jika banyak anak kyai yang gagal dalam hal pendidikan, baik formal, spiritual maupun sosial. hal ini terjadi karena anak kyai tersebut hidup dalam kondisi psikologi yang kurang sehat.

Beberapa efek negatif yang ditimbulkan karena kurangnya pendidikan tersebut adalah:

1- Pandangan bahwa hidup ini didasarkan atas kasta (Perbedaan golongan manusia karena keturunan)

2- Pemikiran bahwa untuk menjadi sukses tidak harus bekerja keras

Berdasarkan kedua pemikiran inilah yang akan menjadikan seorang anak kyai menjadi gagal dalam kehidupannya. tak jarang mereka bersikap arogan, sombong, merasa mulia dan tidak bisa dikritik ataupun dinasehati oleh orang lain.

Solusi Pendidikan Untuk Anak Kyai

Ada beberapa solusi yang akan membantu mengatasi fenomena anak kyai diatas dengan cara sebagai berikut:

- Sang Kyai harus memerintahkan pada semua masyarakat, santri dan anggota keluarga di rumahnya untuk memperlakukan anaknya secara wajar dan umum seperti anak-anak lainnya yang normal. seperti contohnya tidak mencium tangannya ketika berjabat tangan dan tidak memanjakannya secara berlebihan.

- Kyai tersebut haruslah menyadari bahwa pendidikan untuk keluarga haruslah lebih diutamakan daripada pendidikan untuk yang lainnya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

 “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai ( perintah ) Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”, (QS. Attahrim 66:6)

- Kyai tersebut harus mendidik dan mengingatkan pada anak-anaknya bahwa kesuksesan dalam hidup baik dunia dan akhirat adalah hasil kerja keras, bukan dengan berpangku tangan dan hanya mengandalkan orangtuanya. Kesuksesan dalam hidup ini biasanya diperoleh karena luhurnya budi pekerti, tingginya level pendidikan dan luasnya wawasan keagamaan. tak jarang di zaman akhir ini banyak anak kyai yang gagal sehingga mereka hanya menjadi sampah masyarakat.

- Sang Kyai juga harus mengingatkan pada anak-anaknya bahwa mereka adalah calon penerus perjuangan orangtuanya, maka dari itu mereka haruslah lebih pintar dan rajin dibandingkan dengan orangtuanya karena tantangan dakwah di zaman sekarang tentunya berbeda dengan zaman yang dilewati oleh orangtuanya.

Menjadi anak seorang kyai, khususnya kyai pesantren, itu tidak enak. Semakin besar pesantren seorang kyai, semakin besar ketidaknyamanan itu bagi anaknya. Ketidakenakan itu tentu saja bukan dilihat dari yang tampak di luar. Secara dzahir, menjadi anak kyai tentu saja sangat menguntungkan. Bayangkan, sejak kecil ia terbiasa dengan berbagai pemanjaan, penghormatan, dan pujian dari santri-santri ayahnya. Tiada kritik atau perlawanan apapun dari para santri saat anak kyai yang masih usia TK, SD atau SMP berperilaku bandel.

Padahal hidup yang normal bagi seorang anak adalah apabila dia mendapat perlakuan reward and punishment (penghargaan dan sanksi) dari lingkungannya. Mendapat reward saat dia berperilaku baik dan punishment saat berperilaku buruk. Dari cara ini, seorang anak belajar mengenal akhlak, nilai, norma dan etika baik dan buruk. Baik akhlak islami, nilai universal dan etika sosial setempat.

Dengan terbiasanya anak kyai menerima reward saja tanpa adanya punishment, maka tanpa disadari mental dan mindset-nya tidak tumbuh dengan sehat. Dampak negatif dari pemanjaan ini antara lain (a) anak tidak mandiri, (b) tidak mau menerima kritik, (c) tidak mau bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan, (c) pemalas, tidak mau bekerja keras; (d) suka merendahkan orang lain, (e) tidak memiliki sensitivitas dan kapasitas kepemimpinan.

Gus Jadzab dan Lora Helap

Salah satu contoh nyata dari akibat pemanjaan santri pada anak kyainya yang terbukti merusak adalah adanya julukan jadzab atau helap pada gus (anak kyai Jawa) atau lora (anak kyai Madura) yang berperilaku menyimpang. Padahal jadzab adalah istilah yang dipakai aliran sufisme yang diperuntukkan bagi para murid tarikat yang sedang menjalani ritual pendekatan diri pada Allah menurut cara-cara sufi. Mungkin karena adanya kesamaan antara anak kyai bandel dan murid tarikat dalam segi sama-sama “aneh” atau karena santri percaya bahwa kebandelan anak kyai adalah dalam rangka proses “nglakoni”, maka anak kyai yang bandel disebut dengan istilah tersebut.

Terlepas dari itu semua, faktanya adalah bahwa julukan jadzab atau helap ini semakin menghancurkan kepribadian anak kyai yang kenakalannya sedang tidak terkontrol itu. Tidak sedikit dari anak kyai yang tidak hanya melanggar nilai etika sosial, tapi juga syariah dan akhirnya menjadi sampah masyarakat.

Lalu, apa langkah yang mesti diambil oleh orang tua dan para santri agar para putra-putri kyai dapat memaksimalkan potensinya dan dapat menjadi penerus pesantren yang egaliter, rendah hati, memiliki karakter kepemimpinan dan secara intelektual mumpuni?

Pertama, sejak kecil anak kyai harus dididik menghormati yang lebih tua. Baik itu santri, tetangga maupun tamu pesantren. Salah satu indikasi penghormatan adalah dengan mencium tangan saat bersalaman, mengucapkan salam atau sekedar tersenyum saat berjumpa. Mencium tangan yang lebih tua boleh diakhiri saat putra kyai sudah dewasa dan mulai mengajar. Dalam Islam, penghormatan berdasarkan ilmu lebih didahulukan daripada umur sebagaimana imam salat yang lebih mendahulukan ahli ilmu daripada yang tua.

Kedua, kyai harus menginstruksikan santrinya agar mengingatkan gus atau lora-nya kalau berperilaku kurang baik. Baik itu dalam bentuk malas belajar, kurang sopan, melanggar syariah atau melanggar disiplin pesantren. Santri jangan sampai membiarkan anak kyai bebas berbuat semaunya tanpa kritik karena ini akan sangat membahayakan kesehatan mentalnya. Begitu juga santri hendaknya memberikan apresiasi (reward) atas perilaku baik anak kyai. Tentu saja reward and punishment harus juga diberlakukan di rumah; dalam lingkungan keluarga.

Ketiga, hilangkan mental feodalisme sejak dini. Ajarkan kerendahhatian, keseteraan antar-manusia, dan bahwa penghargaan Allah dan manusia akan didapat dengan keilmuan yang tinggi dan kesalihan perilaku

ا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا إِذا قيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَ إِذا قيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَ الَّذينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجاتٍ وَ اللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ خَبيرٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu berlapang-lapanglah pada majlis-majlis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan melapangkan bagi kamu. Dan jika dikatakan kepada kamu ; Berdirilah ! “, maka berdirilah Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang~rang yang diberi ilmu beberapa derajat ; Dan Allah dengan apapun yang kamu kerjakan adalah Maha Mengetahui.(QS Al Mujadalah 58: 11); bukan karena faktor keturunan

Keteladanan Abuya Dimyati Cidahu Dalam Mendidik
Kyai Dimyati adalah pengasuh sebuah pesantren di Kampung Cidahu Kecamatan Cadasari Kabupaten Pandeglang Banten. Beliau dikenal sebagai ulama yang komplit: tinggi ilmunya, luas wawasannya, kharismatik kepribadiannya dan yang tak kalah penting, disiplin dalam mendidik putranya.

Setiap pagi Abuya Dimyati, begitu beliau biasa disapa para santrinya, mengajar kitab kuning pada para santri yang datang dari berbagai penjuru Tanah Air. Program pengajian kitab ini dianggap sangat penting bagi beliau. Terbukti, tidak ada seorangpun yang boleh mengganggu acara tersebut. Para tamu pejabat tinggi yang sering datang untuk silaturrahmi harus menunggu dengan sabar sampai beliau selesai mengajar. Apalagi tamu-tamu yang lain. Ini fenomena langka. Umumnya, tidak sedikit para kyai yang meliburkan program pengajian kitabnya apabila ada pejabat penting yang datang bertamu. Beliau dikenal dengan prinsip yang dikatakannya dalam bahasa Sunda: “Thariqah aing mah ngaji!” (Tarekat saya adalah ngaji). Ini mirip dengan kata-kata kyai Syuhud Zayyadi saat ditanya kenapa beliau sangat menyukai sholawat. “Tang tarikat jiyah sholawat” (tarikat saya adalah baca sholawat), jawab beliau dalam sebuah kesempatan.

Tetapi kelebihan Abuya bukan itu saja. Ada satu hal lagi yang patut diteladani oleh para kyai lain. Yaitu, beliau tidak akan memulai mengajar kitab sampai semua putra-putrinya hadir. Mendidik para santri merupakan hal penting. Tetapi bagi Abuya Dimyati, mendidik keluarga (istri dan anak) sendiri jauh lebih penting karena itu perintah pertama yang secara eksplisit disebut dalam Al Quran agar pendidikan dimulai dari diri sendiri dan keluarga

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

 “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai ( perintah ) Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”,(QS At Tahrim 66 :6).

Seperti pernah saya singgung pada tulisan sebelumnya, kesuksesan seorang kyai bukan pada seberapa banyak santri yang nyantri di pesantrennya. Sukses tidaknya seorang kyai dalam hemat saya terletak pada seberapa besar dia berhasil mendidik keluarganya yakni anak dan istrinya. Dalam konteks ini, Abuya Dimyati merupakan sosok ulama yang sangat sukses.

Kesuksesan Abuya bukan hanya dalam memberikan wawasan keilmuan pada anak sehingga putra-putrinya mewarisi kealiman ayahnya. Tetapi juga dalam mendidik kepribadian mereka.

Di Banten beliau adalah seorang ulama yang masyhur. Masyarakat Banten menyebutnya sebagai “pakunya daerah Banten, di samping sebagai pakunya negara Indonesia.” Karena selain kyai yang berilmu tinggi, beliau juga seorang mursyid tarikat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Tidak heran, dengan kemasyhuran itu, banyak para pejabat tinggi negara yudikatif dan legislatif yang bertamu ke rumahnya. Biasanya, tamu pejabat tinggi tidak datang dengan tangan hampa. Tidak sedikit dari mereka yang datang dengan berbagai limpahan hadiah namun semua itu ditolaknya. Ketika beliau diberi sumbangan oleh para pejabat beliau selalu menolak dan mengembalikan sumbangan tersebut. Salah satu contoh, ketika beliau diberi sumbangan oleh Mbak Tutut (anak mantan presiden Soeharto) sebesar 1 milyar beliau mengembalikannya.

Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat bersahaja dan sederhana. Kesederhanaan adalah perilaku ideal seorang kyai. Dan perilaku keseharian adalah teladan terbaik orang tua dalam memberi pendidikan kepribadian pada anak-anaknya

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al Ahzab 33:21).

Tentu, hidup sederhana tidak harus bermakna miskin. Justru, hidup sederhana yang ideal adalah yang dilakukan orang kaya. Karena itu menjadi bukti, bahwa kekayaan bukanlah tujuan, tapi hanya sebagai akibat dari hasil kerja keras yang notabene merupakan salah satu perintah Allah

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS Al Jumah 62:9-10).

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar