Pesantren merupakan pendidikan dan pengajaran Islam di mana di dalamnya terjadi Interaksi antara kyai atau ustadz sebagai guru dan para santri sebagai murid. Jauh sebelum masa kemerdekaan, pesantren telah menjadi sistem pendidikan Nusantara. Bahkan, hampir telah menjamur diseluruh pelosok Nusantara, khususnya di pusat-pusat kerajaan Islam.
Secara umum, pesantren dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pesantren salaf (tradisional) dan pesantren khalaf (modern). Sebuah pesantren disebut pesantren salaf jika dalam kegiatan pendidikannya semata-mata berdasarkan pada pola-pola pengajaran klasik atau lama, yaitu berupa pengajian kitab kuning dengan metode pembelajaran tradisional serta belum dikombinasikan dengan pola pendidikan modern. Sedangkan pesantren khalaf (modern) adalah pesantren yang disamping tetap melestarikan unsur-unsur utama pesantren, memasukkan juga ke dalam sistem-sistem modern yang ditandai dengan sistem klasikal atau sekolah dan adanya materi ilmu-ilmu umum yang modern dalam muatan kurikulumnya. Jadi, pesantren khalaf adalah penggabungan antara sistem pesantren klasik dengan ilmu-ilmu umum termasuk sistem umum.
Dalam perkembangannya, pesantren salaf dan pesantran khalaf sangat berbeda baik dari segi keunikan kultur budaya santri maupun tradisi mengaji meskipun pada dasarnya keduanya adalah bertujuan sama yaitu tafaquh fi al-din.
Santri datang bukan hanya dari daerah setempat, dan sebagian yang rumahnya jauh tinggal menetap dekat denga kyai atau ustadz dan lama-kelamaan banyak orang tua untuk menitipkan anaknya mengaji pada sang kyai. Dengan adanya asrama (pondok), masjid, kiyai, serta santri, maka terbentuklah pesantren. Beberapa alumni yang telah selesai dan pulang dari pesantren, mereka mendirikan pesantren di tempat tinggalnya masing-masing dan keadaan ini terus berlanjut hingga masa sekarang.
Secara sejarah, pesantren salaf memiliki tiga karakter utama yaitu;
Pertama; pesantren salaf didirikan sebagai bagian dan atas dukungan masyarakatnya sendiri.
Kedua; pesantren salaf menyelenggarakan pendidikannya menerapkan kesetaraan santri, tidak membedakan status, tingkat kekayaan orang tuanya, dan sumber pendidikannya merujuk pada kitab kuning.
Ketiganya; pesantren salaf juga mengembang misi pokok yaitu menghilangkan kebodohan, khususnya tafaqquh fi al-din dan mensyiarkan agama Islam.
Jadi, tujuan didirikan dan dibentuknya pondok pesantren bukan untuk meraih kekuasaan atau dukungan aktivitas politik demi kekuasaan, meskipun secara konvergensif terlibat dengan kekuasaan (politik), baik pesantren awal yang dikembangkan oleh para Wali Songo maupun pesantren salaf yang berkembang hingga sekarang, melainkan ia (pesantren) didirikan dan dibentuk untuk tujuan pendidikan dan dakwah.
Pola Unik Pembelajaran Pesantren Salaf
Arah pendidikan ditentukan oleh mereka yang berkelibat dalam kegiatan pendidikan. Bila mana dari puluhan ribu santri yang tinggal di pesantren salaf, setengah persen saja di antara dapat menjadi ahli agama, itu sudah merupakan hasil yang maksimal. Karena pesantren salaf menampung semua lapisan masyarakat yang tidak ditampung oleh lembaga pendidikan lain, pesantren salaf bukan hanya membekali dengan ilmu agama dari kitab kuning saja melainkan juga diberi dengan ilmu lain seperti cara bercocok taman, berkebun, dan keahlian lain yang bisa bermanfaat di desanya. Jadi, meskipun pesantren salaf hanya ber orientasi pada pengkajian kitab-kitab kuning, tetap saja diajarkan ilmu lain. Meskipun juga kesan selama ini bahwa pesantren salaf adalah lembaga pendidikan keagamaan saja. Pengertian semacam ini harus dijelaskan terlebih dahulu bahwa pesantren salaf adalah pendidikan yang bisa mencapai spesialisasi dalam bidang keagamaan. Studi kasus di Tebuireng yang diadakan bagi santri salaf (diniyyah) untuk pengkajian yang lebih spesialisasi tentang hadis, ilmu tafsir, atau ilmu-ilmu bahasa Arab.
Para santri yang sudah menjadi spesialis, mendapatkan kewenangan yang meningkat seiring keberhasilan tugas tertentu. Termasuk kewenangan mengajar sebagai mana yang telah mendapatkan keilmuan secara matang dan menjadikannya sebagai bahan ajar. Dan biasanya, santri tersebut sudah bisa menerbitkan buku untuk umum (buku pegangan pesantren). Tidak jarang, kitab tulisannya menjadi sinergi transformasi keilmuan dari dalam pesantren itu sendiri.
Pada pesantren salaf, juga berjalan dua cara unik yaitu sistem sorogan dan halaqah. Hanya saja sorogan di pesantren salaf dengan cara santri yang membaca kitab, sementara kyai mendengar sekaligus mengoreksi kalau ada kesalahan.
Contoh kasus pembelajaran di pesantren Lirboyo yang berdiri tahun 1910 M, adalah sistem bandongan atau wetonan dan sorogan. Yaitu sistem bandongan atau wetonan diaplikasikan dengan cara santri salaf bersama-sama menulis makna dari kyai yang sedang membaca kitab kuning. Sedangkan sistem sorogan membutuhkan ketrampilan, telatenan dan kesabaran baik dari kyai maupun santrinya.
Dalam pesantren salaf, pola unik pembelajarannya yang paling terkenal memang menggunakan sistem bandongan dan sorogan. Namun, masih ada banyak macam metode unik pendekatan dalam proses belajar mengajar yang tidak ada pada sistem pembelajaran formal manapun, yaitu; metode musyawarah/bahtsul masa’il, metode pengajian pasaran, metode hafalan (muhafadhah), metode demonstrasi/praktek ibadah, metode rihlah ilmiah, metode mudzakarah, dan juga metode riyadhah.
Metode musyawarah atau istilah santri salaf bahtsul masail dan bahasa kerennya diskusi atau seminar. Metode ini dilakukan oleh beberapa orang santri yang membentuk halaqah yang dipimpin langsung oleh kyai atau ustadz, kemungkinan juga dipimpin oleh santri senior, untuk membahas atau mengkaji persoalan yang telah ditentukan sebelumnya. Pelaksanaannya, santri bebas mengajukan pertanyaan ataupun pendapatnya. Metode ini lebih menitik beratkan pada kemampuan perseorangan dalam menganalisa dan memecahkan suatu persoalan dengan argumen logika yang mengacu pada kitab-kitab kuning tertentu.
Metode pengajian pasaran adalah kegiatan belajar santri salaf melalui pengkajian kitab tertentu pada seorang ustadz yang dilakukan oleh sekelompok santri dalam kegiatan yang terus menerus (marathon) selama tenggang waktu tertentu. Biasanya, santri salaf mengadakan pengajian pasaran pada bulan suci Ramadhan selama 21 hari atau satu bulan penuh yang intinya pengajian ini harus (target) menyelesaikan suatu kitab yang telah ditentukan. Prespektif lain yang lebih luas, pengajian ini dapat dimaknai sebagai proses dan mereka yang ikut serta akan menjadi bagian dari jaringan pesantren itu.
Metode hafalan (muhafadzah) yang dilakukan santri salaf adalah menghafal suatu teks tertentu dengan di bawah bimbingan dan pengawasan ustadz atau kyai. Santri diberi tugas untuk menghafal bacaan-bacaan dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian, titik tekan pada pembelajaran ini adalah santri mampu mengucapkan/menghafalkan dengan lancar tanpa melihat teks. Jika sudah mampu menghafal teks yang ditugaskannya, santri boleh meneruskan hafalan selanjutnya.
Metode demontrasi/praktek ibadah merupakan cara pembelajaran yang dilakukan dengan memperagakan (mendemonstrasikan) suatu keterampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan secara perorangan maupun kelompk di bawah petunjuk dan bimbingan ustadz. Prakteknya, santri mendapatkan penjelasan tata cara ibadah, mempersiapkan segala perlengkapan yang dibutuhkan, menerima bimbingan urut kegiatan ibadah, secara bergiliran santri memperagakan ibadah, setelah selesai para santri menanyakan hal-hal yang dipandang perlu.
Metode rihlah ilmiah (study tour) diselenggarakan melalui kegiatan berkunjung menuju suatu tempat tertentu dengan tujuan mencari ilmu (penyelidikan atau obserfasi). Santri salaf sebelum berangkat menuju tempat yang ditentukan terlebih dulu mendapat penjelasan dan gambaran tentang hal-hal yang harus dikerjakan dan yang menjadi tujuannya. Setelah selesai rihlah ilmiah, diadakanlah diskusi mengenai pengalaman-pengalaman hasil dari kunjungnya dan dibimbing oleh ustadz untuk merumuskan hasil kegiatan.
Metode muhawarah adalah latihan bercakap-cakap dengan bahasa Arab yang diwajibkan oleh pesantren salaf kepada santri selama mereka tinggal di pesantren, para santri diwajibkan untuk berbicara bahasa Arab dengan siapapun termasuk ustadz dan kyai dan ditentukan dalam jangka waktu tertentu untuk menguasai kosa kata bahasa Arab, untuk itulah mereka diwajibkan berbahasa Arab dalam kesehariannya. Namun, beberapa pondok pesantren salaf tidak banyak yang melakukan metode muhadatsah. Mereka kebanyakan menggantinya dengan praktek pidato yang biasanya dilakukan seminggu sekali, dan pelajaran bahasa Arab hanya sebagai tambahan saja.
Metode mudzakarah atau juga disebut dengan bahtsul masa’il, mirip dengan metode musyawarah, namun istilah mudzakarah lebih populer dikalangan santri salaf dan lebih sering digunakan. Hal ini merupakan pertemuan ilmiah, yang membahasa masalah diniyyah, seperti ibadah, aqidah, dan masalah keagamaan pada umumnya. Dan yang lebih membedakan lagi dari metode musyawarah adalah pesertanya tingkat santri tingkat tinggi dan para ustadz dan kyai. Proses pembelajarannya ditentukan mutlak oleh kyai dan dikhususkan untuk mencetak santri tingkat tinggi untuk menjadi ustadz atau kyai besar.
Metode riyadhah adalah salah satu pembelajaran di pesantren salaf yang menekankan pada olah batin, untuk mencapai kesucian hati para santri salaf, dengan berbagai macam cara berdasarkan petunjuk dan bimbingan kyai. Pembelajaran seperti ini bukan ditunjukan untuk menguasai ilmu tertentu, namun lebih dari itu, yaitu sebagai sarana pembentukan dan kebiasaan sikap serta mental santri agar dekat kepada Tuhan.
Metode ini kerap kali dipraktekkan di pesantren salaf yang kyainya mempunyai kecenderungan dan perhatian terhadap ajaran tasawuf. Contoh prakteknya seperti sang kyai memberikan wejangan (ijazah) kepada santri untuk berpuasa, dzikir, membaca al-Quran, shalawat. Dan, melakukan bacaan-bacaan tertentu sesuai ketentuan sang kyai yang mana dalam praktek riyadhah wajib secara kontinyu (terus-menerus) sampai berhasil.
Nilai Keunikan Budaya Santri Salaf
Nilai-nilai norma budaya atau kultur norma dalam tradisi santri salaf itu sangat demokratis. Pesantren salaf bukanlah sekedar lembaga pendidikan. Kehidupan dalam dunia santri telah melahirkan suatu reproduksi sub-kultur sendiri, yang untuk mudahnya, dapat dikatakan sebagai sub-kultur santri. Sub-kultur santri itu sendiri lahir dari segala aktivitas santri yang lahir mulai dari belajar mengajar yang mengikuti jadwal-jadwal shalat, aplikasi langsung nilai-nilai keagamaan dalam lingkungan mini pesantren melahirkan keunikan tersendiri.
Dalam praktek kehidupan sehari-hari, para santri salaf juga menggunakan praktek demokrasi sebagai metode dalam melihat materi-materi belajar. Demokrasi sebagai praktek dalam hidupnya sehari-hari ternyata juga bukan hal yang baru, karena hal itu sudah dipraktekkan di pesantren-pesantren dan sudah membudaya dan sampai sekarang masih di tradisikan. Memang, pesantren salaf dalam penyebutannya sebagai lembaga pendidikan tradisional, namun dalam lembaga tersebut sudah menerapkan demokrasi dan sudah menjadi kemauan semua pihak santri itu sendiri.
Sistem nilai budaya terbentuk dan berkembang dalam lingkungan santri (masyarakat santri), serta meresap pada diri santri, proses sosial dalam lingkungan santri yang mereka alami membentuk konsepi-konsepi yang berakar dari diri mereka sendiri. Nilai budaya tradisional santri sulit berubah atau diganti dengan nilai budaya lain, termasuk tokoh kyai dalam pesantren salaf yang sudah berpendirian dan turun temurun dari kyai sesepuh terdahulu. Setidaknya hal itu terjadi dalam jangka singkat, karena kenyataannya banyak pesantren salaf yang berubah menjadi pesantri khalaf (modern).
Tradisi santri sebagai bentuk ideal dari kebudayaan yang mengarahkan dan mengendalikan kelakuan dan juga tindakan masyarakat santri. Sebenarnya, tradisi sebagai bentuk ideal kebudayaan yang bersifat emplisit, berupa nilai-nilai, norma-norma, dan kepercayaan yang mengikat dan menjadi dasar tindakan santri (akhlak santri).
Di dalam lingkungan masyarakat santri berlaku tradisi mengenakan pakaian sarung dan kopiah dalam perilaku sehari-hari. Maka sebagai anggota masyarakat yang tidak mengenakan sarung dan kopiah, atau mereka menggunakan pakaian yang berbeda seperti celana panjang, akan terkena sanksi sosial berupa cemoohan atau pandangan rendah, sehingga berkurangnya penghargaan masyarakat kepadanya.
Suatu tradisi di kalangan masyarakat santri, dapat mengikat anggota masyarakat dan mengarahkan serta mengontrol tindakan mereka. Artinya, di kalangan masyarakat santri, tradisi penggunaan simbol-simbol kesantrian masih mereka pertahankan, bahkan dipertumbuhkan terus dengan penuh bangga. Bahkan, pesantren salaf melahirkan berbagai macam kultur nilai yang sangat tinggi. Setidaknya ada enam nilai dasar dalam kebudayaan santri, yaitu: nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik, dan nilai agama.
Salah satu contoh keunikkan budaya santri yang dilakukan oleh pesantren salaf yang awal berdirinya ‘pesantren al-Amien’ (Sumenep, Madura) yang di pimpin oleh Kiyai Djahuri dalam pengajian kitab kuningnya yaitu proses belajar mengajarnya diadakan di dalam ruangan dekat rumah kediaman sang kyai. Yang mana bisa menampung 15-20 santri. Ruangan di sekat-sekat sebagai pembatas antara ruangan satu (putra) dengan ruangan lainnya (putri) yang terbuat dari papan kayu, maka dengan begitu suara kyai dengan santri bisa saling terdengar ketika aktivitas belajar mengajar sedang berlangsung. Sekat-sekat pembatas ini di lepas pada bulan suci Ramadhan dan Idul Fitri dengan maksud agar ruangan yang cukup luas tadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bulan suci Ramadhan dan acara-acara Idhul Fitri (termasuk kegiatan halaqah, mudzakarah, dan penerimaan para tamu yang banyak jumlahnya).
Nilai dan budaya santri salaf juga dipengaruhi oleh kharisma dan tradisonal kepemimpinan sang kyai, dalam hal ini amat sangat terkesan dengan istilah Max Waber yang berbunyi authority: charismatic authority, legal authority, dan traditional authority. Struktur masyarakat tradisional seperti pesantren salaf memiliki gambaran kepemimpinan dengan gaya paternalistik baik dalam fungsi kepemimpinan maupun dalam corak masyarakatnya (santri). Masyarakat santri yang bercorak demikian, disebabkan oleh faktor-faktor seperti kuatnya ikatan primordial, kehidupan masyarakat santri yang kamulalistik, peranan adat istiadat santri yang sangaat kuat dalam kehidupan sehari-hari dan kokohnya hubungan pribadi yang lajim antara anggota komunitas dengan komunitas yang lainnya serta adanya Extended Family System.
Budaya santri yang tetap langgeng dengan tradisinya tidak bisa lepas dari keikhlasan dari sang kyai dan santri itu sendiri, jika itu tidak ada, maka pesantren akan kehilangan ruh dan akan mengalami kematian spiritual. Dengan modal keikhlasan, pola relasi antara pengasuh dengan santri dan berbagai pihak akan menemukan kemaslahatan-kemaslahatan dan titik temu. Berbagai hal pun terwujud dan tranformasi nilai-nilai keragaman berjalan dengan nyaman sesuai dan selaras dengan penanaman dan nilai-nilai keagamaan. Nuansa spiritual yang khas dan suasana keberagaman yang unik pada akhirnya menjadi ruh tersendiri bagi pesantren. Tidak bisa direkayasa dan telah menjadi ciri khas khusus yang tetap membuat pesantren salaf ektif di tengah masyarakat.
Salah satu ciri khusus penting pesantren tradisional adalah lingkungan pendidikan yang sepenuhnya total mempelajari kitab kuning. Pesantren adalah sebuah kultur yang unik. Bahkan, dalam batas-batas tertentu, pesantren merupakan sub-kultur tersendiri yang biasa kita kenal dengan sub-kultur santri. Karena memang dari segi pendidikannya saja sangat beda yang mana membentuk budaya santri sebagai sistem nilai sendiri yang terpisah dengan nilai yang dianut oleh masyarakat di luar pesantren. Alasan pokok dan unik muncul untuk mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang tertulis sejak berabad-abad yang lalu.
Ada satu hal budaya santri yang harus digaris bawahi dan tidak bisa lagi untuk membantah apalagi untuk mengelakkannya dari ingatan. Yaitu, santri salaf yang mempunyai budaya keilmuan yang tinggi tidak bisa kita temukan modelnya dimanapun termasuk pesantren di luar negeri. Karena dunia santri salaf identik dengan dunia ilmu, menjadi muslim berarti menjadi santri, menjadi santri berarti tidak boleh lepas dari budaya santri yang mana proses belajarnya sampai 24 jam non stop, dimulai sejak bangun tidur hingga tidur kembali.
Pendidikan sehari semalam penuh dalam dunia santri dengan batas waktu yang relative, serta ustadz-murid atau kyi-santri tidak pernah putus. Hal ini adalah implementasi dari ajaran Rasulullah Saw yang menekankan keharusan untuk mencari ilmu dari bayi sampai mati, minal mahdi ilallahdi. Singkatnya, ajaran dasar Islam, adalah landasan ideologi kaum santri untuk menekuni (membudayakan dan mentradisikan) agamanya sebagai ilmu dan petunjuk yang bermanfaat di dunia dan akherat.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar