Translate

Rabu, 20 September 2017

Tosan Aji Luk 13 Sebagai Lambang Keberanian dan Keselamatan

Apa yang menarik dari tosan aji, baik keris maupun tombak yang berluk (lekuk) 13? Saya pribadi termasuk yang mengidolakan tosan aji yang berluk 13. Konon, tosan aji yang ber luk 13 melambangkan kewibawaan. Itulah mengapa keris dan tombak ber-luk 13 selalu mempunyai keunikan dan pancaran tersendiri dalam khasanah pusaka-pusaka nusantara. Simak saja keris Dhapur Sengkelat, Parungsari, Karawelang, Sepokal, Johan Mangan Kala, Kantar dll. Dalam dhapur tombak lekuk 13 juga dikenal ada dhapur yang sama dengan keris, yakni dhapur Korowelang. Lantas mengapa keris atau tombak luk 13 penting untuk disampaikan di sini?

Sejak penyebaran Islam di Jawa, pengaruh islam dalam keris juga sangat kental dan terasa. Muncul akulturasi kuat diantara keduanya berikut dengan pemaknaannya. Begitupun dengan angka 13. Terdapat kepercayaan kuat dimasyarakat di berbagai tempat bahwa angka 13 adalah angka keramat dan penuh makna. Konsep angka 13 misalnya dalam ajaran islam bisa dimaknai sebagai jumlah rukun shalat. Shalat adalah tiang agama yang menjadi pondasi dasar kokohnya agama. Berikut ke-13 rukun shalat tersebut; 1) Niat, 2) Takbiiratul-ihraam, 3) Membaca Al-Fatihah, 4) Ruku’, 5) I’tidal atau Berdiri tegak setelah ruku’, 6) Sujud dengan tujuh anggota tubuh, 7) Duduk di antara dua sujud, 8) Thuma’ninah dalam semua amalan shalat, 9) Tertib urutan untuk tiap rukun yang dikerjakan, 10) Tasyahhud akhir, 11) Duduk tasyahhud akhir, 12) Shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan 13) Dua kali salam.

Kiranya inilah salah satu yang mendasari mengapa angka 13 menjadi penting dalam dunia tosan aji. Jika anda penggemar tosan aji, saya yakin ada sesuatu yang juga anda rasakan (berbeda) saat anda nanting tosan aji berlekuk 13 . Misalnya kita ambil contoh, Keris dhapur Sengkelat merupakan lambang kestabilan dan kebijaksanaan hidup yang banyak diperuntukkan untuk para ksatria, pemimpin, dan jika kini, para pejabat dan pegawai pemerintahan karena tentu dibutuhkan kestabilan dan kebijaksanaan dalam memimpin. Apa kaitannya dengan 13 rukun shalat tadi? Jika ibadah shalat anda benar, maka anda akan dapatkan kestabilan dalam berfikir dan bertindak. Ada keseimbangan emosional dan kecerdasan gerak yang anda dapatkan.

Begitu juga dengan tosan aji lainnya seperti Korowelang, ia melambangkan kewibawaan. Bagi seorang pemimpin, baik pemerintahan, swasta dan diberbagai tempat, baimana anda menciptakan sesuatu yang stabil tanpa didukung dengan dengan kepemimpinan yang mampu menghadirkan wibawa dihadapan yang dipimpinnya? Kewibawaan bagaimanapun diperlukan bagi seorang pemimpin dimanapun ia berada.

Tombak Dapur Korowelang tercatat dalam kisah pewayangan yang menyebutnya sebagai kepunyaan Pandu Dewanata. Tombak itu juga pernah dimiliki oleh Brawijaya V, dan pernah pula dimiliki oleh mantan presiden pertama RI, Ir Soekarno. Tapi sejak Bung Karno lengser, tombak itu lenyap. Pusaka Majapahit itulah yang bisa menyatukan bangsa ini dan mengakhiri setiap ontran-ontran serta bencana alam yang selama ini melanda.

Dengan mengkirabkan Tombak Dapur Korowelang ke seluruh penjuru Nusantara, menurut salah satu Kyai berbagai bencana alam seperti banjir dan angin puting beliung bisa diredam. Pemilik Tombak Dapur Korowelang akan membawa bangsa ini menuju tata titi tentrem, kerto raharjo, gemah ripah loh jinawi.

Kekuatan Tombak Korowelang ini adalah mampu menentramkan dan meredam setiap gejolak, baik yang bersumber dari manusia atau alam. Pusaka Tombak Dapur Korowelang  juga dikenal di Ponorogo, Jawa Timur. Tombak itu dikirab setiap bulan Suro dalam ritual Grebeg Suro di kota Warok itu.

Salah satu pusaka Dhapur Korowelang yang terkenal adalah Keris Kyai Koro Welang yang merupakan salah satu pusaka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I, atau Pangeran Samber Nyawa dari Mangkunegaran, yang hingga saat ini masih tersimpan di Kecamatan Selogiri, Wonogiri, Jawa Tengah. Keris pusaka ini dipercaya memiliki tuah untuk menangkal segala macam halangan dan rintangan yang menghadang.

Adapun pusaka peninggalan Pangeran Sambernyawa lainnya yang disimpan di Kecamatan Selogiri yakni Tombak Kyai Jaladara, dan Tombak Kyai Totog. Sedangkan pusaka peninggalan yang lain tersimpan di Kali Werak Kecamatan Wonogiri Kota yakni Keris Kyai Alap-alap dan Keris Kyai Bancak. Peninggalan lainnya juga ada di Kecamatan Girimarto Wonogiri yaitu Keris Kyai Semar Tinandu dan Keris Kyai Limpung. Kesemuanya hingga kini masih terjaga dan dirawat dengan baik.

Keris dan Tombak Sebagai Piyandel, Sebuah Tuntunan Hidup

Piyandel adalah sebuah keyakinan dan kepercayaan yang termanifestasikan dalam wujud berbagai benda-benda pusaka yang mengemuka secara fenomenal, penuh daya pikat dan sarat lambang yang harus didalami dan dimengerti dengan baik, benar dan mendalam. Kepercayaan bukan berisi tentang sesuatu yang pantas disembah dan dipuja, tetapi sebuah wahana yang berwujud (wadag) yang berisi doa, harapan dan tuntunan hidup (filosofi hidup) manusia jawa yang termaktub dalam “sangkan parang dumadi – sangkan paraning pambudi – manunggaling kawula Gusti”. Piwulang-piweling ini terformulasi dalam sebuah benda buatan yang disebut keris atau tombak.

Melihat keris sama halnya dengan melihat wayang. Keleluasaan pemahaman dan pengertian mengenainya tergantung luasnya cakrawala dan pengalaman hidup orang tersebut terhadap hidup dan kehidupan. Jadi tergantung kepada “kadhewasaning Jiwa Jawi” – kedewasaan orang dalam berfikir dan bersikap secara arif dan bijaksana. Semakin orang itu kaya pengalaman rohani – semakin kaya pula ia mampu menjabarkan apa yang tertera di dalam sebilah keris.

Pada mulanya, di saat manusia jawa ada pada peradaban berburu, keris adalah alat berburu (baca:mencari hidup). Kemudian ketika manusia mulai menetap dan bersosialisasi dengan sesamanya, keris menjadi alat untuk berperang (baca :mempertahankan hidup). Lebih lanjut lagi setelah tidak lagi diperlukan perang dan manusia mulai berbudaya, keris pun menjadi senjata kehidupan (baca: tuntunan hidup). Yaitu senjata untuk mengasah diri menjadi orang yang lebih beradab dan berperiperadaban hingga mencapai penyatuan diri dengan Penciptanya. Hal ini sangat nyata ditunjukkan dalam lambang-lambang yang mengemukan pada ricikan-ricikan keris.

Ilmu keris adalah ilmu lambang. Mengerti dan memahami bahasa lambang mengandalkan peradaban rasa (sense) – bukan melulu kemampuan intelektual. Jadi adalah keliru jika memahami keris secara dangkal sebagai sebuah benda yang berkekuatan magis untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Keris menjadi pusaka karena makna lambang-lambang dalam keris dianggap mampu menuntun pembuat dan pemiliknya untuk hidup secara benar, baik dan seimbang. Dan bagi orang jawa, hidup ini penuh pralambang yang masih samar-samar dan perlu dicari dan diketemukan melalui berbagai laku, tirakat maupun dalam berbagai aktivitas sehari-hari manusia jawa, misalkan dalam bentuk makanan (tumpeng, jenang, jajan pasar,dsb), baju beskap, surjan, bentuk bangunan (joglo, limas an, dsb) termasuk juga keris. Di dalam benda-benda sehari-hari tersebut tersembunyi sebuah misteri berupa pesan dan piwulang serta wewler yang diperlukan manusia untuk mengarungi hidup hingga kembali bersatu dengan Sang Pencipta.

Dalam tradisi budaya Jawa ada sebuah pemahaman“Bapa (wong tuwa) tapa, anak nampa, putu nemu, buyut katut, canggah kesrambah, mareng kegandeng, uthek-uthek gantung siwur misuwur”. Jika orang tua berlaku tirakat maka hasilnya tidak hanya dirasakan olehnya sendiri dan anak-anaknya melainkan hingga semua keturunannya. Demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu manusia Jawa diajak untuk selalu hidup prihatin, hidup “eling lan waspada”, hidup penuh laku dan berharap. Siratan-siratan laku, tirakat, doa, harapan, cita-cita restu sekaligus tuntunan itu diwujudkan oleh para leluhur Jawa dalam wujud sebuah senjata. Senjata bukan dilihat sebagai melulu wadag senjata (tosan aji) melainkan dengan pemahaman supaya manusia sadar bahwa senjata hidup dan kehidupan adalah sebuah kearifan untuk selalu mengasah diri dalam olah hidup batin
Oleh karena itu orang Jawa menamakan keris dengan sebutan Piyandel – sipat kandel, karena memanifestasikan doa, harapan, cita-cita dan tuntunan lewat dapur, ricikan, pamor, besi, dan baja yang dibuat oleh para empu dalam laku tapa, prihatin, puasa dan selalu memuji kebesaran Tuhan. “Niat ingsun nyebar ganda arum. Tyas manis kang mantesi, ruming wicara kang mranani, sinembuh laku utama”.Tekadku menyebarkan keharuman nama berlandaskan hati yang pantas (positive thinking), berbicara dengan baik, enak didengar, dan pantas dipercaya, sembari menjalankan laku keutamaan.

Meski demikian keris tetaplah benda mati. Manusia Jawa pun tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru tentang pusaka. Peringatan para leluhur tentang hal ini berbunyi : “Janjine dudu jimat kemat, ananging agunging Gusti kang pinuji”. Janji bukan jimat melainkan keagungan Tuhan-lah yang mesti diluhurkan. “Nora kepengin misuwur karana peparinge leluhur, ananging tumindak luhur karana piwulange leluhur”. Tidak ingin terkenal lantaran warisan nenek moyang, melainkan bertindak luhur karena melaksanakan nasihat nenek moyang. Oleh karena itu keris bukan jimat, tetapi lebih sebagai piyandel sebagai sarana berbuat kebajikan dan memuji keagungan Ilahi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar