Nama Suratman bukanlah nama dhapur keris, karena memang jika kita membuka buku/literatur tentang perkerisan tidak diketemukan. Tetapi dengan menyebut namanya, orang yang telah paham akan langsung tahu, bentuk keris dan pamor yang seperti apa yang dimaksud. Keris ini boleh dikata asli endemik daerah Pekalongan, Jawa Tengah dan sekitarnya yang konon menjadi ageman Raden Bahurekso (cerita asal usul pekalongan). Dhapurnya bisa berupa dhapur brojol, tilam upih dan tilam sari (sedikit sekali), dengan pola hiasan motif seperti mata uang kuno berderet di bilahnya. Pola hiasan pamor tersebut ada dua jenisnya, pertama yang biasa adalah seperti koin mata uang disusun dengan jarak-jarak dan kedua seperti koin mata uang disusun berderet rapat atau disebutnya lethrek. Motif koin ini juga mempunyai keunikan lain karena rata-rata berjumlah ganjil dan apabila diperhatikan dengan seksama, motif setiap koin yang menempel di sisi bilah sebelah depan dan belakang tidak akan tampak sejajar tingginya (selang-seling) tetapi jumlahnya sama. Pamor yang ada bukan semata-mata untuk hiasan, tetapi mempunyai maksud yang sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Pamor dalam bahasa fisiognomi bisa diartikan sebagai lambang “kekeramatan” sebuah tosan aji, yang memberikan sugesti kepada pemiliknya. Misalnya pamor ketip dipercaya akan mendatangkan keberuntungan (hoki) di rumah atau tempat kerja, karena mata uang (koin) identik dengan kemakmuran dan kesuksesan.
Keris Suratman rata-rata disimpan pemiliknya sebagai keris tayuhan (lebih mementingkan isoteri) yang di-sinengker-kan. Bilahnya yang tampak hitam legam dan wingit dengan bau khas, karena memang menurut kepercayaan turun temurun yang ada, dalam ngrukti (perawatannya) hanya dioles minyak (cendana) kemudian diasapi (hio, dupa, menyan) dan malah dibiarkan tidak diwarangi. Untuk bisa menampilkan warna bilah yang hitam dan wingit seperti pada keris ini tentu saja bukan sebuah proses rekayasa dengan hasil yang instan, perlu proses waktu bertahun-tahun untuk bisa memperoleh endapan minyak dan asap seperti itu.
FILOSOFI
Suratman Ketip bermakna surataning manungso kedah eling titahipun ingkang Pangeran, terkandung wujud harapan kehidupan manusia yang sudah tersurat akan berkah harta benda duniawi. Banyak hal bisa dipelajari dibalik makna tersebut, ada sebuah kearifan jawa dimana “Manungsa iku kudu luwih saka bandhane” atau manusia haruslah lebih dari harta bendanya. Jika manusia hanya mengikuti kemauannya saja, sampai kapanpun tidak pernah akan merasa cukup dan akan selalu merasa kekurangan, sejatinya sudah kehilangan jati dirinya. Sehingga haruslah memahami apa sejatinya hidup di dunia, hidup di dunia hanya untuk mengumpulkan harta benda yang tidak dibawa mati sajakah? atau mencari kesejatian hidup, dengan melangkah dari kenyamanan yang ada, kembali kepada yang Menciptakan Hidup, yang Besarnya melebihi semua harta benda di dunia ini?
Supaya tidak terjerat nafsu keserakahan dunawi, manusia harus tahu batasnya, kemampuan manusia ada batasnya, harta benda juga ada kapasitasnya. Manusia juga harus tahu kebutuhannya, karena seringkali apa yang dimiliki jauh melebihi dari apa yang dibutuhkan, menjadi sia-sia, tidak menjadi mubazir apabila mau berbagi kepada orang yang membutuhkan (sedekah). Jika sudah memahami tiga hal tersebut, paham apa yang menjadi tujuan hidup, sadar batas kemampuan dirinya dan menyadari semua kebutuhannya, merekalah yang akan tertuntun dengan sendirinya menuju jalan kebahagiaan dan ketentraman hati.
Keris Suratman bermakna surataning manungso, terkandung wujud harapan kehidupan manusia yang sudah tersurat dengan pemilikan harta benda. Kedalaman makna keris suratman tergambar dalam Sendratari Legenda Keris Kethip Empu Suratman yang menunjukkan bahwa keris adalah senjata masyarakat Jawa yang memiliki Filosofi tinggi yang dibuat dengan pertarungan batin yang sangat dalam untuk menciptakan sebuah keris yang menunjukkan jati diri pemilik keris. Sendratari ini terdiri dari 4 (empat) bagian cerita.
BAGIAN I
Menceritakan tentang aktifitas masyarakat Desa Gambaran sehari-hari. Lalu datanglah Empu Suratman dan anak buahnya ikut beraktifitas di Desa Gambaran. Tetapi masyarakat Desa Gambaran yang dipimpin Dewi Tumanggal tidak senang dengan kedatangan Empu Suratman, sehingga terjadilah perang antara Dewi Wulan Tumanggal dan Empu Suratman. Pada akhirnya Dewi Wulan Tumanggal kalah dan menyerah kepada Empu Suratman. Empu Suratman berbelas asih dan mengampuni Dewi Wulan Tumanggal dan ingin menikahinya. Maka, terjalinlah pernikahan diantara mereka.
BAGIAN II
Adegan ini menceritakan tentang kehidupan masyarakat Desa Gambaran yang tenang, tenteram, damai, dan sejahtera, diisi dengan tarian kerakyatan atau tari pergaulan. Di tengah canda tawa masyarakat Desa Gambaran, munculah Empu Suratman untuk membuat keris dengan melakukan semedi terlebih dahulu. Setelah mendapat ijin dari Dewi Wulan Tumanggal, akhirnya Empu Suratman melakukan semedi bersama cantrik – cantriknya.
BAGIAN III
Menceritakan Empu Suratman dan kelima cantriknya melakukan aktifitas pembuatan keris. Empu Suratman bersemedi, sedangkan para cantriknya memproses keris. Ditengah – tengah adegan, datanglah sekelompok setan yang merayu para cantrik dalam membuat keris. Akhirnya gagallah pembuatan keris mereka, tetapi tidak dengan semedi Empu Suratman. Maka terjadilah perang antara kedua kelompok tersebut. Para Setan dapat dikalahkan oleh Empu Suratman, dan mereka melarikan diri untuk meminta perlindungan raja mereka.
BAGIAN IV
Terjadilah perang antara Empu Suratman dan Raja Setan. Dalam pertempuran tersebut Empu Suratman dapat membunuh raja setan dengan keris yang belum selesai dibuatnya. Tetapi, dengan terbunuhnya raja setan oleh keris tersebut, maka keris tersebut menjadi sempurna, dan jadilah Keris Kethip Empu Suratman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar