Translate

Rabu, 15 April 2015

Babad Ponorogo

Pada zaman dahulu sebelum adanya kerajaan Wengker dan Kabupaten Ponorogo, di daerah sebelah barat dan timur pernah dihuni oleh manusia. Sebelah timur di kaki gunung Pandan seudah pernah didiami manusia. Karena disana banyak ditemukan fosil atau tulang manusia yang bentuknya besar-besar dan disebut sebagai tulang raksasa. Kemudian di sebelah barat yaitu di sekitar Kecamatan Sampung pernah juga ditemukan fosil hewan dan manusia kemudian disana juga ditemukan alat-alat pertanian seperti linggis, kapak, dan alu yang semuanya berasal dari batu. Sehingga pada waktu itu disebut Zaman Batu.

Jika dihuni oleh manusia berarti memang benar sebab disana ada bukti-bukti peninggalannya. Hanya saja belum bisa diketahui dari bangsa apa dan negara mana. Waktu itu manusia belum bisa baca tulis, karena belum mempunyai huruf sehingga tidak dapat membuat bukti-bukti tertulis atau prasasti atau peninggalan sejarah yang tertulis. Keadaan seperti ini disebut zaman prasejarah dimana zaman sebelum manusia dapat menulis sejarah. Zaman Wengker dahulu di Ponorogo ini memiliki suatu kerajaan. Kerajaan ini oleh banyak orang disebut dengan Kerajaan Wengker. Kerajaan Wengker ini ada sekitaran tahun 986-1037 M. Selanjutnya datangnya agama Islam di Ponorogo dan berdirinya Kadipaten Ponorogo pada tahun 1486 M.

Zaman  Kerajaan Wengker

Setelah  kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah banyak rakyatnya yang pindah ke Jawa Timur. Pada tahun 928M Empu Sendhok memindahkan pusat Pemerintahan ke Jawa Timur  Tidak sedikit rakyat yang mengikuti jejak Empu Sendhok untuk pindah ke Jawa Timur.

Mpu Sendok kemudian mendirikan sebuah  Kerajaan yang diberi nama keraajaan Watonmas. Letaknya berada disekitar sungai Brantas antara Malang dan Surabaya. Kemudian Empu Sendhok itu dinobatkan sebagai raja pertama dengan gelar Sri Isana Wikrama Darrmotungga Dewa, yang mana menjadi moyang bagi raja-raja di Jawa selama 300 tahun berturut-turut sampai dengan tiga keturunan. Akan tetapi kerajaan Watonmas itu tidak bertahan lama karena diserang oleh musuh sehingga kerajaan Watonmas itu runtuh. Kemudian muncul suatu kerajaan baru yaitu kerajaan Kahuripan.

 Kerajaan Kahuripan dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raja Airlangga. Masa pemerintahan Raja Erlangga antara tahun 1000-1042. Setelah Empu Sendhok, ternyata juga ada rombongan lain dari Jawa Tengah yang pindah ke Jawa Timur di bawah pimpinan putra Raja Medhang yang bernama Kettu Wijaya.

Kemudiaan Kettu Wijaya beserta rombongannya berjalan melewati jalur sebelah selatan hingga di sebelah timur Gunung Lawu kemudian mereka beristirahat dan menetap disana. Dengan kejadian  itu mereka mendirikan sebuah kerajaan yang bernama kerajaan Wengker. Berdirinya kerajaan Wengker itu dibuktikan dengan adanya sebuah prasasti yang ditemukan di Sendang Kanal Madiun. Didalam prasasti tertulis berdirinya kerajaan Wengker pada tahun 986 – 1037 M dengan rajanya yang bergelar Kettu Wijaya.

Nama Wengker merupakan akronim dari “Wewengkon angker” atau tempat yang angker. Wilayah kerajaan Wengker meliputi sebelah Utara yaitu Gunung Kendeng sampai Gunung Pandan. Kemudian sebelah timur merupakan Gunung Wilis ke selatan sampai ke laut selatan. Kemudian sebelah selatan merupakan wilayah laut selatan dan sebelah barat dari pegunungan mulai laut kidul ke utara samapai ke Gunung Lawu.

Kerajaan Wengker itu kerajaan yang kuat, amat sentosa, rajanya sakti mandraguna dan rakyatnya banyak yang berilmu tinggi dan senang dalam melakukan dalam tapa brata.  

Disamping itu Kerajaan Wengker dikelilingi oleh sungai yang menjadi batas kota dan sebagai benteng pertahanan. Selain itu juga terdapat tiga benteng dalam tanah istilahnya Benteng Pendem. 

Pada tahun 947 M, Empu Sendhok digantikan anaknya yang bernama Sri Isyanatungga Wijaya yang menikah dengan Sri Lokapala. Selanjutnya ia digantikan putranya, Sri Makuyhawangsa Wardana. Sri Makuthawangsa Wardana mempunyai dua orang putri. Salah satu putrinya menikah dengan Dharmawangsa. Selanjutnya sang menantu itulah yang kemudian memegang kekuasaan di Medhang. Salah satu putri Makuthawangsa yang bernama Mahendradatta menikah dengan Udayana dan mempunyai anak bernama Airlangga. Dalam memimpin Medhang, Dharmawangsa mempunyai ambisi besar memperluas wilayah. Kerajaan Medhang saat itu diperkirakan di sekitar daerah Maospati Magetan.

Pada tahun 1016, kerajaan Medhang diserang Sriwijaya bersama sekutunya yaitu Wurawari dan Wengker, sehingga raja Dharmawangsa dan seluruh pembesar kerajaan tewas. Kemudian peristiwa itu dikenal dengan sebutan “Pralaya” atau kehancuran. Selain itu beserta sekutunya ingin menghancurkan Medhang. Sementara keterlibatan Wengker adalah pengaruh ekspansif Medhang yang berusaha memperluas wilayah dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil dan juga persaingan dalam bidang ekonomi.

Satu-satunya keluarga Kerajaan yang berhasil lolos dari serangan tersebut adalah Airlangga yang pada saat itu sedang melangsungkan pernikahan dengan putri Dharmawangsa. Pada wakti itu usia airlangga 16 tahun, beserta Narotama ia bersembunyi di hutan sekitar daerah Wonogiri untuk menyusun kekuatan 

Dan pada tahun 1019 M, Airlangga dinobatkan menjadi raja Kahuripan yang terletak di bekas reruntuhan kerajaan Medhang. Saat itu bekas kerajaan Medhang sepeninggal Dharmawangsa merupakan wilayah yang kecil karena setelah terjadinya Pralaya, wilayah Medhang menjadi terpecah-pecah. Airlangga merupakan raja yang tersohor dan berpengaruh besar.

Tahun 1028 M, Airlangga memulai usahanya menyatukan kembali wilayah Medhang termasuk terhadap kerajaan Wengker. Tahun 1031 Wengker bisa ditaklukkan. Pada tahun 1035 kerajaan Wengker ternyata bangkit dan kuat lagi. Airlangga kembali menyerang Wengker dengan kekuatan pasukan yang besar. Pada tahun 1037 M, Kettu Wijaya mengalami kekalahan, terpaksa meninggalkan harta benda dan permaisurinya. Kettu Wijaya lari ke desa Topo kemudian pindah ke Kapang diikuti bebrapa prajuritnya. Karena terus diserang pasukan Airlangga lari ke Sarosa. Dan akhirnya Kettu Wijaya dapat dikalahkan dan ia dibunuh oleh prajuritnya sendiri. Kettu Wijaya hilang beserta jiwa raganya (muksa). Dengan demikian berakhir riwayat kerajaan Wengker dibawah pimpinan Kettu Wijaya. Selanjutnya wilayah Wengker menjadi daerah kekuasaan Airlangga.

Berselang sekitar 200 tahun muncul kerajaan baru yaitu kerajaan Bantarangin. Terletak di desa Sumoroto kurang lebih 12km arah barat kota Ponorogo yang masih bagian wilayah kerajaan Wengker.

Pada tahun 1078 kerajaan Bantarangin Wengker dipimpin oleh Prabu Kelono Sewandono dan patihnya bernama Kelono Wijaya yang masih saudara kandung. Prabu Kelono Sewandono memiliki paras yang tampan sampai dijuluki Tubagus Kelono Sewandono. Sedangkan adiknya berwajah jelek, keningnya nong nong, mata pendul, bermulut lebar, gigi besar-besar, pundak benjol dan rambutnya gimbal dr hal tersebut dijuluki Bujang Ganong. Meskipun berwajah jelek namun dia memiliki kesaktian yang luar, ahli bertapa dan kaya akan ilmu kanuragan. 

Pada suatu malam Kelono Sewandono bermimpi bertemu dengan putri Kediri yang bernama Dewi Songgolangit. Keesokan harinya beliau mengutus adiknya yaitu Kelono Wijaya untuk melamar Dewi Songgolangit ke Kediri. Sang Prabu Kertojoyo raja Kediri mengetahui jika putrinya ketakutan melihat tamunya yang baru datang, namun akan menolak takut karena raja Bantarangin itu orangnya sakti mandraguna. 

Kemudian dia minta persyaratan untuk proses pernikahan nanti yaitu:
1.  1-    Seperangkat gamelan (gong) yang belum ada di bumi ini dan digunakan untuk mengiringi jalannya temanten dari Wengker sampai Kediri.
2. 2-     Berbagai mcam hewan isi hutan yang dihalau ke Kediri untuk mengisi kebun binatang
3.    3-  Manusia yang berkepala harimau.

Setelah selesai Kelono Wijoyo pun segera mohon diri dan Sesampainya di Bantarangin segera disampaikan  apa saja yang menjadi permintaan Putri Kediri. Prabu Kelono Sewandono murka mendengar apa yang dikatakan adiknya. Permintaan itu tidak wajar, tidak akan terlaksana, maka kerajaan kediri akan diserang dengan peperangan. 

Dengan kesaktian ilmunya seluruh hewan hutan dapat dikumpulkan di alun-alun lalu merakit alat musik model baru yang terbuat dari bambu dan kayu seperti seruling (terompet), angklung, ketipung dan gendang. Ketuk, kenong dan kempul juga dari bambu. Seperangkat alat musik (gamelan) yang terbuat dari bambu semuanya sudah disiapkan termasuk penabuhnya (pemainnya). Tinggal manusia berkepala harimau (macan) yang akan diketemukan nanti.

Sesudah semua persyaratan selesai calon temanten laki-laki yaitu Raja Bantarangin diiring menuju kerajaan Kediri. Gamelan (musik) dipukul dengan sorak sorai, gembira, gemuruh laksana batu bata runtuh. Waktu itu Kelono Wijaya tidak boleh ikut karena nanti akan menakuti Putri Kediri dan dikatakan kakaknya bila ikut memalukan karena jelek rupanya. Akhirnya mengalah dan menerima untuk menjaga kerajaan.

Ternyata di Kerajaan Kediri sang Patih Kediri yang bernama Singolodro yang juga disebut Barongseta juga menghendaki ingin menyunting Dewi Songgolangit. Patih Singolodro itu juga sakti mandraguna, dan kondang dapat berubah menjadi harimau putih karena itu disebut Barongseto. Mendengar ramai-ramai gemuruh sorak-sorai masuk kota secepat kilat dengan penuh keberanian menerjang barisan pengiring pengantin. Para pengiring temanten bubar lari kesana kemari. Hewan yang digiringpun lari tak karuan hanya tinggal Barongseta berhadapan dengan Kelono Sewandono.

Keduanya lalu perang tanding Prabu Kelono Sewandono naik kuda sambil membawa Tombak Pusaka dan Patih Singolodro membawa tameng dengan sebilah pedang. Setelah sekian lama adu kesaktian akhirnya Patih Singolodro terkena tusukan Tombak Prabu Kelono Sewandono seketika berubah menjadi harimau gembong yang berwarna putih dan menyerang. Prabu Kelono Sewandono  dan cajarnya mengenai leher kuda bagian belakang yang menyebabkan Sang Prabu terlepas dari kudanya. Bergulung-gulung antara harimau dengan manusia. Akhirnya Kelono Sewandono jatuh terbanting dicengkram oleh harimau. Kemudian dicakar, dicengkeram, dikunyah-kunyah, dibangting-banting seperti kucing makan tikus dibuat permainan oleh Singolodro.

Kelono Wijaya yang menunggu kerajaan, merasa malu karena kakaknya menghinanya, malu mengakui saudaranya karena jelek rupa lalu dia pergi dari kerajaan bertapa di gunung Wilis menggugat para dewa menuntut keadilan minta wajah yang bagus seperti kakaknya. Kemudian permintaan itu diterima, turunlah Dewa dari kayangan memberi topeng mas yaitu topeng manusia yang bagus seperti halnya Kelono Seswandono, satunya berupa pecut atau cambuk yang diberi nama pecut Samandiman. Setelah Kelono Wijaya sampai di alun-alun Kediri tahu kakaknya dimakan harimau gembong, lalu didekatinya. Pecut Samandiman diacungkan diatasnya. Tidak tahu asal usulnya darimana, seketika Singolodro kehabisan tenaga, lemah lunglai tanpa daya sambil mengaduh.

Kelono Wijaya menolong kakaknya, dengan mengucap mantra-mantra sambil memegang seluruh tubuhnya, seketika kekuatan Kelono Sewandono kembali seperti sediakala, luka-luka sudah hilang, hanya luka bekas cakaran kuku harimau di mukanya yang tidak bisa pulih. Setelah selesai menolong kakaknya lalu menolong Singolodro. Diraba seluruh tubuhnya seketika itu berubah menjadi manusia tetapi kepalanya masih kepala harimau. Ini untuk mencukupi permintaan Dewi Songgolangit yang ketiga. Dengan kesaktian Kelono Wijaya, hewan-hewan yang tadinya lepas kesana kemari dengan petikan jari tangan saja sudah datang sendiri, setelah berkumpul terus menghadap Raja Kediri. Singolodro yang berubah berkepala harimau berada di belakang jadi genaplah persembahan 3 macam yang menjadi persyaratan Dewi Songgolangit telah dapat dipenuhi.

Kemudian diketahui jika putri Songgolangit hilang tidak diketahui kemana arahnya lalu bersama-sama mencarinya. Sampai disalah satu gunung di sana terdapat gua yang tertutup batu. Penutup gua itu diketuk dengan jari oleh Singolodro. Batu hancur lebur, kelihatan Dewi Songgolangit merebahkan tubuhnya dibatu. Prabu Kelono Sewandono senang hatinya, lalu dibujuk di ajak pulang, disanjung akan kecantikannya diajak ke kerajaan Bantarangin. 

Karena sepatah katapun Dewi Songgolangit tidak menjawab Prabu Kelono Sewandono pun marah, karena merasa dihina. Diapun berkata : “Orang idiajak bicara sepatah katapun kok tidak menjawab hampa diam seperti batu” terbukti sumpah yang dikatakan Prabu Kelono Sewandono, seketika Dewi Songgolangit berubah menjadi batu, berwujud arca seorang wanita.

Prabu Kelono Sewandono lalu pasrah, bila Dewi Songgolangit  memang bukan jodohnya, lalu diputuskan untuk pulang. Karena pinangannya gagal,akan lewat jalan semula merasa malu maka mencari jalan lain. Kelono Wijaya yang punya Pecut Samandiman pemberian dewa akan dicoba untuk memperlihatkan kesaktiannya. Lalu diperintahkan  untuk lewat jalan bawah tanah mulai dari gua yang kemudian disebut gua Selomangleng di gunung Klotok, tanah dicambuk pecut bisa gugur, bisa berlubang seperti terowongan yang mudah dilewati. Sampai di Kerajaan Bantarangin dapat melihat keluar dengan cara membelah sungai. Tempat pemunculannya merupakan gua yang yang dinamakan gua Bedali dari kata mbedhah kali (Jawa). Karena didalam gua itu terdapat sungai yang airnya mengalir.

 Selanjutnya Raja Bantarangin karena merasa kecewa akan menikah yang gagal, dia tidak akan menikah. Sebagai hiburan yang menjadi gantinya lalu ia memelihara anak laki-laki muda yang ganteng atau yang biasa disebut dengan gemblak. Raja Bantarangin juga dikenal sebagai Raja Warok pertama. Warok berasal dari WARA yang memiliki arti pria agung, pria yang diagungkan.

Sesudah peristiwa itu Raja Bantarangin, mempunyai peninggalan berupa seperangkat gamelan (musik) terbuat dari bambu. Itu diwariskan kepada rakyat lalu diperagakannya. Mencontoh perjalanan Rajanya seperti itu lalu menjadi sebuah kesenian yang dinamakan REYOG 

Wengker Zaman Majapahit

Dimasa pemerintahan Airlangga, wilayah kerajaan wengker tidak pernah terjadi peprangan maupun persengketaan, sebaliknya menjadi daerah yang aman tentram. Airlangga membagi Kahuripan menjadi dua yaitu Kediri atau Daha dan Jenggala atau Panjalu. Sepeninggal airlangga terjadi perang saudara antara kedua kerajaan tersebut. Situasi yang tidak stabil digunakan Wengker menyusun kekuatan baru sehingga sampai berdirinya Majapahit nama Wengker masih terdengar jelas bahkan hubungan kedua kerajaan terjalin dengan baik.

Dimasa pemerintahan Majapahit, Wengker dipimpin oleh seorang Raja yang bernama Kudamerta atau Wijayarajasa. Dalam kitab Nagarakartagama disebutkan “Priya haji sang umunggu Wengker bangun hyang Upandra Nurun Narpari Wijayarajasanopamana parama-ajnottama”. Bahwa yang membangun kerajaan Wengker adalah Wijayarajasa sebagai raja pertama. Kemudian dalam kitab ini juga disebutkan Raden Kudamerta menikah dengan Bhre Dhaha. Raden Kudamerta berkedudukan di Wengker dengan nama Bhre Parameswara dari Pamotan yang dikenal dengan nama Sri Wijayarajasa. Yang dimaksud Bhre Dhaha adalah Dewi Maharajasa adik dari Tribhuwana. Berarti Wijayarajasa adalah menantu Raden Wijaya.

Selain menjadi Raja Wengker, Wijayarajasa merupakan tokoh yang mempunyai peran besar di Majapahit antara lain salah satu dari 8 tokoh yang diundang pada waktu pengangkatan Mahapatih Gajahmada tahun 1364 M, diangkat menjadi anggota dewan Sapta Prabu, menjadi anggota dewan pertimbangan agung tahun 1351 M, mengambil tindakan tegas terhadap kesalahan yang dilakukan Gajahmada atas peristiwa Bubat dan pernah mendapat penghargaan dari Ratu Tribhuwana Tunggadewi setelah meredakan pemberontakan.

Putra Wijayarajasa yang bernama Susumma Dewi atau Paduka Sori menikah dengan Hayam Wuruk pada tahun 1357 M, setelah prabu Hayam Wuruk gagal menikah dengan putri Pajajaran yang meninggal pada peristiwa Bubad. Pernikahan itu merupakan pernikahan keluarga karena ibu Susumma Dewi adalah adik Tribhuwana Tunggadewi yang merupakan ibu Hayam Wuruk. Hayam Wuruk dan Susumma Dewi merupakan sama-sama cucu Raden Wijaya atau Kertarajasa Jayawardhana pendiri Majapahit.

Dari pernikahan-pernikahan yang melibatkan dua kerajaan yaitu kerajaan Majapahit dan kerajaan Wengker. Bahwa untuk pergi ke Bubad disamakan dengan ke Wengker. Seperti kita ketahui bahwa Perang Bubad terjadi sebagai akibat strategi politik Mahapatih Gajah Mada sebagai  salah satu cara Majapahit menaklukkan kerajaan disekitarnya. Walaupun wengker adalah daerah kekuasaan Majapahit tetapi kekuatan Wengker sangat diperhitungkan Majapahit. Kerajaan Wengker jarang diungkap keadaannya karena peran Wijayarajasa lebih banyak di Majapahit dibanding memimpin kerajaannya sendiri. 

Pusat pemerintahan Wengker ketika dipimpin Wijayarajasa berada di sekitar Kecamatan Sambit Ponorogo. Wijayarajasa meninggal pada tahun 1310 Saka dan dimakamkan di Manar dengan nama Wisnubhawano.

Zaman kepimpinan Wengker dimasa Majapahit berikutnya adalah Dyah Suryawikrama Girishawardana, ia adalah anak Dyah Kertawijaya. Ia memimpin Wengker sejak ayahnya masih memimpin pemerintahan Majapahit tahun 1447-1451 M. Setelah kekosongan kekeuasaan selama tiga tahun ia memimpin Majapahit selama 10 tahun (1456-1466 M). Dalam kitab Pararaton ia bergelar Bhre Hyang Purwawisesa. Ia meninggal tahun 1466 M dan dimakamkan di Puri. Sampai masa ini nama Wengker masih disebut dalam sejarah Majapahit.

Zaman Majapahit terakhir yaitu Brawijaya V sampai runtuhnya kerajaan Majapahit, Wengker masih ada. Tetapi yang berkuasa di kerajaan Wengker sudah tidak ada. Pemerintahannya hanya tinggal daerah Kademangan. Berada di sebelah selatan juga disebut Kademangan Wengker, Demangnya bernama Kethut Suryangalam. Melihat kata Ketut kiranya perubahan dari kata Kettu, nama raja Wengker pertama yaitu Kettu Wijaya. Dapat disimpulkan Ketut Suryangalam masih keturunan Kettu Wijaya.

Demang Suryangalam kondang akan kedigdayaannya, sakti mandraguna, tidak mempan segala senjata. Sampai zaman Wengker berakhirnya, rakyatnya beragama Hindu. Memuja kepada Syiwa, Brahma dan Budha yang arca-arcanya semua ada di Ponorogo.

Zaman Islam Kadipaten Wengker

Diakhir kejayaan Majapahit yang mana wilayah Majapahit terpecah-pecah. Wilayahnya seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Surabaya memerdekakan diri. Kerajaan Majapahit itu terakhirnya kerajaan Hindu di Tanah Jawa. Raja yang terakhir Prabu Brawijaya V juga masih ada Brawijaya VI dan VII tetapi sudah tidak ada kekuasaan sama sekali. Runtuhnya Majapahit pada tahun 1478 oleh Raja Kediri atau Daha yang bernama Ronowijaya Girinda Wardana, lalu dikalahkan oleh Adipati Demak Bintoro Pangeran Glagah Wangi. Pusaka kerajaan dan Pendopo kerajaan dipindah ke Demak. Raden Djoko Piturun putra Brawijaya V ikut diboyong ke Demak. Demak menguasai kota-kota pesisir lain seperti Lasem, Tuban, Gresik dan Sedayu. Pangeran Glagah Wangi  diakui sebagai pemimpin kota-kota dagang pesisir dan pewaris Sah Majapahit  dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar Al Fatah.

Sultan Fatah merupakan putra Prabu Majapahit dengan putri Cina yang pada waktu itu hamil muda kemudian diberikan kepada Arya Damar, setelah lahir diberi nama Raden Hasan dan oleh ayahandanya di beri Nama Raden Djoko Probo dan saat sowan ke Majapahit oleh Prabu  Brawijaya terakhir di beri julukan Pangeran Jimbun. Atas jasanya menumpas pemberontakan di kasih tanah bumi perdikan di Glagah Wangi dan akhirnya bergelar Pangeran Glagah Wangi. 

Arya Damar Adipati Palembang menyatakan kepada permaisurinya bahwa putranya tersebut akan menjadi raja Islam yang pertama di Jawa. Sebagaimana kita ketahui bahwa kerajaan Islam yang pertama di tanah Jawa adalah Demak Bintoro.

Bintoro dikembangkan atas dasar Islam. Mendengar hal tersebut raja Majapahit Prabu Brawijaya mengangkat Pangeran Jimbun  menjadi mangkubumi di Bintoro dengan Gelar Pangeran Notoprojo Glagah Wangi. Berkat dukungan para wali, Bintoro berkembang menjadi kerajaan Islam pertama Dengan nama Demak pada tahun 1403 Saka atau tahun 1481 M, dibawah pimpinan  Panembahan Djimbun dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar Al Fatah.

Seiring munculnya Demak Majapahit semakin parah dilanda krisis, Majapahit telah direbut oleh Girishawardana yang sebenarnya tidak berhak atas tahta Majapahit. Pada waktu Raja Brawijaya terakhir, telah memberi kekuasaan kepada putra beliau di Demak yang kelak kemudian berkembang menjadi kerajaan Demak. 

Hal yang berbeda dialami putra Brawijaya V lain yang bernama Raden Djoko Piturun yang belum mempunyai wilayah kekuasaan. Hingga terdengar berita bahwa sebelah timur Gunung Lawu ada seorang demang dari Kutu yang tidak mau menghadap ke Majapahit. Maka Raden Djoko Piturun disuruh menghadapkan demang tersebut ke Majapahit. Kemudian Raden Djoko Piturun menghadap kakaknya Didemak dan minta pendapat Para Wali. Oleh Sunan Kalijogo Raden Djoko Piturun Di bekali Pusaka dan di sertai Kyai Muslim (Kyai Ageng Mirah) Seloaji dan juga 40 Santri senior Kadilangu untuk menuju Kadipaten Wengker. Tetapi perjalanan mereka tidak boleh bersamaan.

Demang Kutu tersebut adalah Ki Ageng Suryangalam atau terkenal dengan sebutan Kutu. Ia merupakan Punggawa Majapahit yang masih termasuk kerabat keraton maka oleh Prabu Kertabumi atau Brawijaya V, ia diberi jabatan Demang. Kademangan Kutu atau Surukubeng wilayahnya adalah bekas kerajaan Wengker yang mana seiring semakin melemahnya Majapahit. Kyai Ageng Kutu meneruskan tata cara dan adat kerajaan Wengker dahulu. Para pembantu dan punggawanya diajarkan beladiri dan berperang serta tapa brata.

Raden Djoko Piturun datang dari Demak Disertai dengan Seloaji  diutus memeriksa bekas kerajaan Wengker yang ada di sebelah timur Gunung Lawu dan disebelah barat Gunung Wilis ke selatan sampai laut selatan. Mereka berangkat berdua, sampai sebelah barat Gunung Wilis bertemu dengan Kyai Ageng Mirah. Kyai Ageng Mirah itu merupakan putra dari Kyai Ageng Gribig dan  Kyai Gribig putra dari Wasi Begono. Wasi Begono putra dari Brawijaya V. . Mereka kemudian sepakat berjuang bersama dan saling atur strategi,  Mereka selalu koordinasi terhadap apa yang mereka hadapu dalam perjuangan ini. Kyai Ageng Mirah senang setelah mendapat informasi karena masih sama2 keturunan Majapahit. Setelah saling berkenalan dan saling mengutarakan apa yang menjadi kepentingannya.  mereka bertiga lalu meneruskan perjalanan melakukan pengamatan sampai laut selatan.

Pihak Raden Djoko Piturun  berusaha melakukan pendekatan persuasif terhadap pihak Ki Ageng Kutu, antara lain dilakukan Kyai Ageng Mirah terhadap Kyai Ageng Kutu secara dialogis agar Kyai Ageng Kutu bersedia mengahdap ke Majapahit. Tetapi Kyai Ageng Kutu menolak dengan alasan antara lain kerajaan Majaphit yang memberi pintu bagi penyebaran agama Islam padahal wilayah Wengker kebanyakan menganut agama sendiri yaitu Hindu dan Budha. Kyai Ageng Kutu menganggap penyebaran Islam yang dipimpin Para Wali justru Majapahit mengangkat Pangeran Jimbun menjadi penguasa Demak Bintoro. Kyai Ageng Mirah menjelaskan bahwa pengangkatan Raden Patah tidak salah karena masih putra Brawijaya V. Tetepi Kyai Ageng Kutu tetap menganggap hal yang dilakukan Majapahit merupakan hal yang menyalahi aturan kerajaan sendiri. Akhirnya upaya dialogis yang dilakukan Kyai Ageng Mirah gagal.

Peperangan Raden Djoko Piturun dan Ki Ageng Kutu

Upaya persuasif dari pihak Raden Djoko Piturun  yang gagal dilaporkan kepada Prabu Brawijaya V, dan langkah yang dilakukan Brawijaya adalah mengirim pasukan Majapahit untuk menumpas Kyai Ageng Kutu dan setelah selesai Raden Djoko Piturun di minta agar Menghadap ke Demak. Dan diperintahkan untuk segera berangkat.  Rombongan pasukan tersebut di pimpin oleh Raden Djoko Piturun Sendiri.  Pada dasarnya Raden Djoko Piturun tidak mau bermusuhan dengan pihak Wengker mengingat jasa Kyai Ageng Kutu terhadap Majapahit begitu banyak. Tetapi Seloaji memberi nasihat bahwa apa yang dianggap Kyai Ageng Kutu benar adalah menurut Kyai Ageng Kutu sendiri, sedangkan pihak kerajaan menganggap hal yang menyalahi peraturan dan Raja pun langsung memerintahkan untuk menumpas, maka ia menasehati Raden Djoko Piturun ‎untuk tidak ragu-ragu dalam ‎bertindak.

Kemudian terjadilah peperangan antara tentara Majapahit yang dipimpin Raden Djoko Piturun beserta Kyai Ageng Mirah dan Seloaji serta beberapa tokoh lain. Jalannya peperangan termasuk didalamnya strategi perang yang dilakukan. Maka pada tahun 1468 M, Kutu sebagai ibukota Wengker jatuh ke tangan Raden Djoko Piturun dan bala tentaranya. Saat Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Bathara Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan akal cerdasnya Bathara Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini (Sulastri), dengan akan dijadikan istri. Niken Gandini dimanfaatkan Bathara Katong untuk mengambil pusaka Tombak Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringinanom Sambit Ponorogo. Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu disebut dengan Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal. Bathara Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini mungkin dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.

 Kyai Honggolono sebagai tangan kanan Kyai Ageng Kutu Tewas dalam pertempuran ini. Raden Djoko Piturun  sangat terharu melihat kematian Ki Honggolono dan musnahnya Kyai Ageng Kutu mengingat mereka berdua adalah para perwira yang berjasa besar kepada Majapahit terutama ketika merebut kembali Wengker yang sempat dikuasai Kediri. 

Konsolidasi dalam keluarga Kyai Ageng Kutu juga dilakukan antara lain menikahi putri Kyai Ageng Kutu yaitu Niken Sulastri, putra pertama Kyai Ageng Kutu yang bernama Surohandoko menggantikan kedudukan ayahnya di Kademangan Kutu, Suryongalim dijadikan Kepala Desa di Ngampel, Warok Gunoseco menjadi kepala desa di Siman, Warok Tromejo di Gunung Loreng Slahung.

Setelah selesai kemudian kembali ke Demak sebagai Penerus Majapahit, Kyai Ageng Mirah ikut sampai Demak. Setelah beberapa bulan di Demak, oleh Sultan Demak atas Saran Kanjeng Sunan Kalijogo dan Kanjeng Sunan Giri Raden Djoko Piturun, Seloaji dan Kyai Ageng Mirah diutus kembali ke Wengker dengan diberi pangkat. Raden Djoko Piturun diangkat menjadi Adipati bergelar Kanjeng Panembahan Batoro Katong. Penamaan gelar Batara, karena Wengker rakyatnya semua beragama Budha 

Terjadinya Nama Ponorogo

Perjalanan Rombongan Dari Demak Pun sampai Di Wengker dan pada suatu hari, yang kebetulan pada saat malam jumat bulan purnama, Adipati Batoro Katong, Seloaji, Kyai Ageng Mirah dan Senopati  Joyodipo duduk bersama di oro-oro (tanah gersang dan luas) untuk mengadakan musyawarah. Kemudian Adipati Batoro  Katong memulai pembicaraan, “Kyai Ageng Mirah, saya minta Kyai Ageng memikirkan pusat kota yang akan kita bangun ini, dimana dan bagaimanakah sebaiknya sebaiknya tempat untuk pendirian pusat kota itu diletakkan?”
Kemudian Kyai Ageng Mirah menjawab, “Begini Raden, kalau untuk pusat kota sebaiknya kita pilih yang berbentuk Bathok Mengkureb (tempurung tengkurap). Itulah tanah dan tempat yang sebaik-baiknya untuk dihuni”

Kemudian Joyodipo yang lebih mengenal daerah itu menyambung, “Raden, kalau berkenan dan sudi mendengar pendapat saya, untuk pusat kota Raden saya silahkan memilih ditengah-tengah tanah yang luas itu. Marilah sekarang saja kita semua kesana! Saya persilahkan Raden dan semua untuk melihat! 

Empat orang tersebut terheran-heran, semua melihat dengan sungguh-sungguh arah yang ditunjuk Joyodipo. Seloaji dan Kyai Ageng Mirah tidak melihat sesuatu apapun yang ada disana, akan tetapi Adipati Batoro  Katong melihat ada sesuatu di tengah-tengah padang rumput yang luas. Batoro Katong melihat benda berbeda berjumlah tiga buah. Batoro Katong bertanya kepada Joyodipo, “Kakang Joyodipo, saya melihat ada tombak, payung yang sedang terbuka dan satunya lagi saya kurang begitu jelas. Benda apakah itu kakang? Apakah maksud kakang menunjukkan benda ini kepada kami?” 

Raden diminta untuk menyembah tiga kali. Setelah menyembah tiga kali barulah Seloaji dan Kyai Ageng Mirah dapat menyaksikan keberadaan tiga benda tersebut. Joyodipo mengatakan bahwa dia dan kakaknya bernama Joyodrono adalah abdi dari ayahanda Raden  yaitu Prabu Brawijaya V. Adapun pusaka itu ada disini karena kamilah yang membawanya. Dahulu ayahanda bersabda, jika kelak ada orang yang dapat melihat pusaka ini, itulah tanda kesetiaan Sang Prabu kepada orang itu maka berikanlah pusaka itu, selain itu Sang Prabu juga bersabda bahwa dahulu Raden  memang diharapkan untuk menjadi raja menggantikan Sang Prabu. Itulah titah dari Ayahanda Raden  dan sekarang Radenlah yang mewarisinya. Payung ini bernama Payung Tunggul Wulung, adapun tombak ini bernama Tombak Tunggul Nogo dan satunya berupa sabuk yang bernama Sabuk Cinde Puspito.

Batoro  Katong menyembah tiga kali lalu mengambil Payung Tunggu Wulung, Seloaji mengambil tombak Tunggul Nogo, sedangkan Kyai Ageng Mirah mengambil sabuk (ikat pinggang) Cinde Puspita. Setelah ketiga barang itu diambil, terdengar suara gemuruh tiga kali. 

Bersamaan dengan itu, tanah berhamburan ke atas dan jatuh ke kanan kiri. Tanah yang berjatuhan tadi akhirnya menjadi gundukan tanah sebanyak lima puluh buah. Adapun tempat suara gemuruh terjadi, muncullah gua dengan lobang menganga. Kelak setelah empat puluh hari gua tersebut tertutup kembali seperti semula. Oleh Joyodipo gua tadi diberi nama Gua Sigala-gala. Adapun gundukan tanah tadi diberi nama ‎Gunung Lima dan Gunung Sepikul dari situlah asal muasal Ponorogo 

Setelah itu dimulai lah membabat hutan sekitar dipimpin oleh Tiga orang disertai empat puluh santri yang sudah bisa membaca Qur’an dan mengerti maknanya. Diperintah babat di hutan Wengker membangun desa sampai menjadi kota. Semua kebutuhan dicukupi, berupa alat pembabat hutan, peralatan pertanian dan perkakas rumah tangga. Hanya waktu itu keluarga, anak dan istri tidak boleh ikut.

Sampai di sebelah barat Gunung Wilis, sebelah timur Gunung Lawu disana mereka istirahat. Ketepatan ditempat yang banyak glagahnya dan tanahnya berbau wangi, disitulah mulai dibabat.‎ Orang yang berjumlah 40 dibagi menjadi empat kelompok yaitu utara 10, timur 10, selatan 10 dan barat 10 orang kemudian Batoro  Katong, Seloaji dan Kyai Ageng Mirah ditengah sebagai pengawas dan komando 

Dan saat itu Musyawarah berlanjut untuk memberikan nama kota yang akan didirikan tersebut. setelah mufakat dan kemauan terikat mereka memutuskan kota bernama Pramanaraga. Pramana artinya perana yaitu menyatunya sumber cahaya dari matahri, bulan dan bumi yang berpengaruh menyinari kehidupan manusia yang digelar di alam raya. Ketiga unsur tersebut dinamakan Trimurti, bertempat dan menyatu dengan badan manusia menjadi mani. Mani laki-laki yang bercampur perempuan mendapat sabda dari kehendak Yang Maha Kuasa menjelma menjadi manusia. Jadi Pramana dan raga diumpamakan seperti madu dan manisnya, atau bunga dan sarinya, umpama api dan nyalanya. Sedangkan pana berarti mengerti akan segala situasi, mengerti dengan pemahaman yang sesungguhnya.

Setelah dapat tertata, lalu membuat kota dan berdasar putusan musyawarah nama Kadipaten Barunya PONOROGO. Dari kata Sankrit (sansekerta) Pramana Raga, disingkat menjadi Ponorogo. Pono artinya sudah mengerti semuanya, lahir dan batin sedangkan Rogo itu badan maknanya sudah mengerti pada raganya, bisa menempatkan diri artinya tepo seliro. Jadi Ponorogo berarti manusia yang telah mengetahui, mengerti kepada dirinya sendiri yaitu manusia yang sudah mengetahui unggah-ungguh (sopan santun) atau manusia yang sudah mengerti tentang tata krama.

Kemudian esok harinya, sewaktu fajar menyingsing, terdengar suara riuh rendah bunyi-bunyian, kentongan, bende, lesung, dan alat bunyi yang lain dipukul bersamaan sebagai pertanda lahirnya kota baru Pramanaraga. 

Pada hari Ahad Pon tanggal 1 Bulan Besar tahun 1418 Saka, bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 atau 1 Dzulhijjah 901 Hijriyah. Diresmikan sebagai berdirinya kota Ponorogo, menjadi daerah Kabupaten. Adipatinya disebut Kanjeng Panembahan Batoro Katong, Patihnya Seloaji, dan Penghulu Agamanya Kyai Ageng Mirah serta Senopati Agung Joyodipo dan Guru Para Prajurit Kyai Ageng Joyodrono. 

Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.

Kemudian dengan Membawa Pusaka Masing-masing Kanjeng Panembahan dan semua pejabat berkeliling kota hingga pelosok desa. Disetiap tempat dipasang pengumuman tentang pendirian kota baru itu. Mulailah Pramonorogo dikenal masyarakat sebagai kota kadipaten yang baru. Sekarang kota Pramonorogo terkenal dengan sebutan Ponorogo.

Setelah istana kadipaten didirikan, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, Niken Sulastri ke istana kadipaten, sedang adiknya, Suromenggolo tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. 

Berdirinya kota ini diperingati atau ditulis pada batu menggunakan Candra Sengkolo Memet. Candra Sengkolo Memet itu berupa gambar atau bangunan berupa gambar 4 jumlahnya, yaitu urut dari arah ke kanan, 1. Gambar orang semedi (bertapa), 2. Gambar pohon beringin, 3. Gambar garuda terbang, 4. Gambar Gajah. Pencipta memberi arti orang 1, beringin (kayu) 4, burung terbang 0, gajah 8 jadi dapat dibaca 1408 dalam hitungan Saka.

Kemudian jangka sepuluh tahun, membuat prasasti lagi di batu. Tertulis aksara Jawa, angka aksara Jawa 1418 tahun Saka atau 1496 M itu merupakan peringatan mulai patihnya Demang Suryongalam putra Ki Ageng Kutu. Dan Patih Seloaji pun Kembali Bertugas di Demak Sebagai Senopati Keprajuritan. 

Ponorogo sudah tidak ada keributan lagi. Para Warokan dan Warok yang semula suka mengganggu kepada para santri sudah tidak mengganggu lagi. Para pemimpin desa, tetua para warok bersama-sama pergi ke Kadipaten untuk menyerahkan diri dan minta tuntunan hidup bermasyarakat dalam kaidah Keagamaan.

Para pamong praja, mulai Demang, para mantri, para bupati, prajurit dipenuhi. Pejabat lainnya dicukupi lebih-lebih permasalahan pertanian. Batoro Katong sendiri selalu memberi contoh, mempunyai kebun merica di desa Mrican dan desa Sahang Ngebel (sahang=merica). Juga beternak hewan seperti sapi, kerbau dan kuda. Selama 10 tahun kota Ponorogo menjadi aman tentram, tidak ada curi-mencuri, perampokan atau brandal.

Sebelum itu situasi kota tidak aman tenteram, lebih-lebih usaha perkembangannya agama Islam selalu mendapat rintangan. Nama santri itu dimana saja terlihat berbeda, sebab busananya serba putih, sarung putih, baju takwa model cina juga putih. Padahal pakaian penduduk aslinya serba hitam. Jadi kelihatan mencolok bedanya. Jika ada santri lewat jalan melewati rumah penduduk asli, untung-untungnya hanya dijuluki, ujarnya : Santri Buki (santri Busuk”. Celakanya lagi kadang-kadang diejek agar marah. Jika marah lalu diajak gulat, bila sial ada juga yang meludahi.

Berdasar kenyataan seperti itu Panembahan  Katong dan Kyai Ageng  Mirah lalu mengatur atau menyiasati santri, bila keluar dari rumah akan mengajar mengaji, tidak boleh sendirian, harus ada temannya paling tidak 3 – 5 orang .


Kesimpulan

Dari peristiwa itu dapat kita ketahui mengenai sejarah perjalanannya kerajaan Wengker hingga berdirinya Ponorogo. Kerajaan Wengker yang terkenal selama kurang lebih 500 tahun. Walaupun kerajaan Wengker kerajaan yang kecil tetapi sangat diperhitungkan kekuatannya oleh kerajaan-kerajaan besar seperti Kahuripan dan Majapahit serta peletak dasar-dasar pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan budaya dari daerah Ponorogo ini.

Nama Ponorogo bermula dari Pramonorogo  kemudian lama kelaman kata Pramonorogo  berubah menjadi Ponorogo. Pono bermakna pandai, mengerti sedangkan Rogo bermakna badan. 

Ponorogo berdiri pada tahun 1486 M. Dengan Adipati bernama Raden Katong, Patihnya Seloaji dan Penghulu (pemuka) agamanya Kyai Ageng Mirah. Berdirinya Ponorogo ini tidak terlepas dari perjuanga tiga orang yang sangat berjasa yaitu Raden Djoko Piturun. Seloaji dan Kyai Ageng Mirah. 

Dari usaha mereka agama Islam tersebar luas di daerah Ponorogo meskipun sebelumnya ada pertentangan-pertentangan dengan adanya Islam. Karena dulunya semua warga di Wengker ini menganut agama Hindu dan Budha. Kemudian Ponorogo menjadi kota yang aman tentram, terbebas dari pencuri dan para brandalan

Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.

Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai dihilangkan dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. 
Para punggawa dan anak cucu Bathara Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam. Adapun turunan bathara katong yang masih ada sampai sekarang yaitu di Pacitan. Serta di berbagai daerah di Jawa timur.

3 komentar:

  1. Ada versi mbh Katong adhik Raden patah beda ibu
    .....Campa beda atau sama Ama negara cina bos?

    BalasHapus
  2. Kerajaan wengker. Kerajaan Bantarangin itu bohong

    BalasHapus
  3. Sejarah memang banyak versi,ada legenda,semua bisa di yakini kebenarannya..mohon di sikapi dengan bijak,semua adalah khasanah budaya bangsa kita

    BalasHapus