Translate

Sabtu, 18 April 2015

Babad Termas (Sejarah Pesantren Termas Pacitan)

Pondok Tremas adalah salah satu pondok yang cukup tua umurnya, yang kalau ditinjau dari letak geografisnya berada di desa Tremas, Kecamatan Arjosari, kabupaten Pacitan. Sedangkan Pacitan adalah sebuah kota di tepi pantai selatan yang terletak pada garis lintang selatan : 8' 3 – 8' 17 bujur timur 11' 2 – 11' 28.

Dilihat dari segi jaraknya, yakni 135 Km dari kota Solo dan 70 Km dari kota Ponorogo, maka wajarlah kalau santri-santri yang berdatangan dari daerah lain harus berjalan kaki karena belum adanya sarana transportasi. 

Sedangkan desa Tremas terletak pada 11 kilometer dari kota Pacitan ke utara dan1 kilometer dari kecamatan  Arjosari. Desa Tremas dipagari oleh bukit-bukit kecil yang melingkar dimana sebelah utara dan sebelah timur desa Tremas mengalir sungai Grindulu yang selalu membawa lumpur banjir di waktu musim penghujan. Oleh karenanya pondasi rumah penduduk desa tersebut rata-rata sangat tinggi bila dibandingkan dengan pondasi rumah penduduk di daerah yang bebas banjir.

Desa Tremas dibatasi oleh beberapa desa yaitu, sebelah utara dibatasi oleh desa Gayuhan, sebelah timur dibatasi oleh desa Jatimalang, sebelah selatan dibatasi oleh desa Arjosari dan di sebelah barat dibatasi oleh desa Sedayu. Mata pencaharian penduduknya adalah bertani, yakni bercocok tanam padi, kacang tanah, kelapa, pisang, sayur mayur dan sebagainya. Karena Pacitan merupakan daerah yang minus dan tandus maka tidaklah aneh jika masyarakatnya sedikit ketinggalan jika dibandingkan dengan masyarakat daerah lain, khususnya dalam bidang ekonomi.Dengan uraian tersebut kita dapat menggambarkan kehidupan rakyat di daerah itu, yang sedikit banyak dapat mempengaruhi keadaan Pondok Tremas

Tremas berasal dari dua kata yaitu Trem berasal dari kata Patrem yang berarti senjata atau keris kecil dan mas berasal dari kata emas yang berarti logam mulia yang biasa dipakai untuk perhiasan kaum wanita.

Kata ini berkaitan erat dengan cerita tentang dibukanya sebuah hutan yang akhirnya dinamakan Tremas, adapun yang pertama kali membuka hutan tersebut adalah seorang punggawa keraton Surakarta yang bernama Ketok Jenggot, atas perintah raja keraton Surakarta sebagai hadiah atas jasanya yang telah berhasil mengamankan keraton dari mara bahaya. 

Dikisahkan pada suatu hari, Raja Keraton Surakarta memerintahkan kepada punggawanya yang bernama Ketok Jenggot untuk menjaga ketat kerajaannya, karena raja bermimpi bahwa hari yang akan datang mau ada bencana yang disebabkan datangnya seorang pencuri yang akan memasuki dan mengambil senjata pusaka yang ada di tempat penyimpanan, maka disuruhnyaKetok Jenggot menjaga dan mempertahankan dengan sebaik-baiknya.

Namun pada suatu hari datang seorang penyusup yang dengan kecerdikannya dapat masuk dalam keraton, akan tetapi usaha penyusup tersebut terlihat oleh Ketok Jenggot hingga terjadilah suatu perkelahian, setelah menghabiskan berpuluh-puluh jurus, maka dengan kesaktiannya, Ketok Jenggot berhasil memenangkan perkelaihan tersebut. Siapakah pencuri tersebut? tak lain adalah sang raja sendiri dengan maksud ingin menguji sampai dimana keperwiraan dan kesaktian Ketok Jengot.

Setelah kejadian itu, maka sang raja pun mengakui bahwa punggawanya tersebut benar-benar patuh dan sakti. Sebagai tanda atas kepatuhan dan kepahlawanannya itu maka sang raja memberikan hadiah kepada Ketok Jenggot berupa senjata Patrem Emas dan memberi tugas untuk membuka hutan di sebelah timur daerah Surakarta.

Demikianlah akhirnya setelah melalui perjuangan yang tidak ringan, Ketok Jenggot berhasil membuka hutan di sebelah timur daerah Surakarta, yang kemudian daerah tersebut bernama Tremas.

Perlu diketahui, bahwa sebelum Ketok Jenggot membuka hutan Tremas, di daerah tersebut sudah ada sekelompok orang yang lebih dahulu datang dan bermukim, yaitu R. Ngabehi Honggowijoyo (ayah Nyai Abdul Manan). Maka dari itu setelah meminta ijin dan memberi keterangan tentang tugasnya, barulah Ketok Jenggot mulai melaksanakan tugasnya dengan membuka sebagian besar hutan di daerah tersebut. Setelah tugasnya selesai, senjata Patrem Emas yang dibawanya itu ditanam ditempat beliau pertama kali membuka hutan tersebut, dan akhirnya daerah yang baru dibukanya tersebut diberi nama “Tremas“.

Demikianlah sekilas cerita tentang asal mula nama Tremas yang dikemudian hari digunakan untuk menyebut sebuah pesantren yang berdiri di daerah tersebut, sedangkan Ketok Jenggot sendiri akhirnya bermukim disitu sampai akhirhaya dan dimakamkan di daerah tersebut. 

Babad Tremas – asal muasal Berdiri Pesantren

Pada abad ke XV M. bumi nusantara ini di bawah naungan kerajaan Majapahit, dan seluruh masyarakatnya masih memeluk agama Hindu atau Budha. Begitu juga daerah Wengker selatan atau di sebut juga Pesisir selatan (Pacitan) yang pada waktu itu daerah tersebut masih di kuasai seorang sakti beragama Hindu yang bernama Ki Ageng Buwana Keling, yang di kenal sebagai cikal bakal daerah Pacitan. 

Menurut silsilah, asal usul Ki Ageng Buwana Keling adalah putra Pejajaran yang di kawinkan dengan salah satu putri Brawijaya V yang bernama putri Togati. Setelah menjadi menantu Majapahit maka KI Ageng Buwana Keling mendapat hadiah tanah di pesisir selatan dan di haruskan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. KI Ageng Buwana Keling berputra tunggal bernama Raden Purbengkoro yang setelah tua bernama Ki Ageng Bana Keling. Kegoncangan masyarakat Ki Ageng Buwana Keling di Pesisir selatan terjadi setelah datangnya Muballigh Islam dari kerajaan Demak Bintara, yang di pimpin oleh Ki Ageng Petung (R. Jaka Deleg/Kyai Geseng), KI Ageng Posong (R. Jaka Puring Mas/KI Ampok Boyo) dan sahabat mereka Syekh Maulana Maghribi. Yang meminta Ki Ageng Buwana Keling beserta semua rakyat di wengker selatan untuk mengikuti atau memeluk ajaran Islam. 

Namun setelah Ki Ageng Buwana Keling menolak dengan keras dan tetap tidak menganut agama baru yaitu agama Islam, maka tanpa dapat dikendalikan lagi terjadilah peperangan antara kedua belah pihak. Peperangan antara penganut agama Hindu yang dipimpin oleh Ki Ageng Buwana Keling dengan penganut agama Islam yang dipimpin oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi memakan waktu yang cukup lama, karena kedua belah pihak, memang terdiri dari orang-orang sakti. Namun akhirnya dengan keuletan dan kepandaian serta kesaktian para muballigh tersebut peperangan itu dapat dimenangkan Ki Ageng Petung dan pengikut-pengikutnya setelah dibantu oleh prajurit dari Adipati Ponorogo yang pada waktu itu bernama Raden Betoro Katong (Putra Brawijaya V). 

Dari saat itulah maka daerah Wengker selatan atau Pacitan dapat dikuasai oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi, sehingga dengan mudah dapat menyiarkan agama Islam secara menyeluruh kepada rakyat hingga wafatnya, dan dimakamkan di daerah Pacitan. 

Demikianlah dari tahun ke tahun sampai Bupati Jagakarya I berkuasa (tahun 1826), perkembangan agama Islam di Pacitan maju dengan pesatnya, bahkan tiga tahun kemudian putra dari Demang Semanten yang bernama Bagus Darso kembali dari perantauannya mencari dan mendalami ilmu agama Islam di pondok pesantren Tegalsari Ponorogo di bawah asuhan Kyai Hasan Besari. Sekembalinya beliau dari pondok tersebut di bawah bimbingan ayahnya R. Ngabehi Dipomenggolo mulai mendirikan pondok di desa Semanten (2 Km arah utara kota Pacitan). setelah kurang lebih satu tahun kemudian pindah ke daerah Tremas, maka dari saat itulah mulai berdiri Pondok Tremas. 

Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa KH. Abdul Manan pada masa kecilnya bernama Bagus Darso. Sejak kecil beliau sudah terkenal cerdas dan sangat tertarik terhadap masalah-masalah keagamaan. Dalam masa remajanya beliau dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo untuk mempelajari dan memperdalam pengetahua agama Islam di bawah bimbingan Kyai Hasan Besari. Selama disana Bagus Darso selalu belajar dengan rajin dan tekun. Karena ketekunannya, kerajinannya serta kecerdasan yang dibawanya semenjak kecil itulah maka kepandaian Bagus Darso didalam menguasai dan memahami ilmu yang dipelajarinya melebihi kawan-kawan sebayanya, sehingga tersebutlah sampai sekarang kisah-kisah tentang kelebihan beliau. 

Diantara kisah tersebut adalah sebagai berikut : 

Pada suatu malam yang dingin dimana waktu itu para santri Pondok Tegalsari sedang tidur pulas, sebagaimana biasasnya Kyai Hasasn Besari keluar untuk sekedar menjenguk anak-anak didiknya yang sedang tidur di asrama maupun di serambi masjid. Pada waktu beliau memeriksa serambi masjid yang penuh ditiduri oleh para santri itu, tiba-tiba pandangan kyai tertumbuk pada suatu pemandangan aneh berupa cahaya yang bersinar, dalam hati beliau bertanya, apakah gerangan cahaya aneh itu. Kalau cahaya kunang tentu tidak demikian, apalagi cahaya api tentu tidak mungkin, sebab cahaya ini mempunyai kelainan. kemudian dengan hati-hati, agar tidak sampai para santri yang sedang tidur, kyai mendekati cahaya aneh itu. Makin dekat dengan cahaya aneh tersebut keheranan kyai bertambah, sebab cahaya itu semakin menunjukkan tanda-tanda yang aneh. Dan kemudian apa yang disaksikan kyai adalah suatu pemandangan yang sungguh luar biasa, sebab cahaya itu keluar dari ubun-ubun salah satu santrinya. 

Kemudian diperiksanya siapakah sesungguhnya santri yang mendapat anugerah itu.Tetapi kegelapan malam dan pandangan mata yang sudah kabur terbawa usia lanjut menyebabkan usaha beliau gagal. 
Namun Kyai Hasan Ali tidak kehilangan akal, dengan hati-hati sekali ujung ikat kepala santri itu diikat sebagai tanda untuk mengetahui besok pagi kalau hari sudah mulai terang. Esoknya sehabis sembahyang Subuh, para santri yang tidur di serambi masjid disuruh menghadap beliau. Setelah mereka menghadap, dipandangnya satu demi satu santri tersebut dengan tidak lupa memperhatikan ikat kepala masing-masing. 
Disinilah beliau mengetahui bahwa sinar aneh yang semalam keluar dari ubun-ubun salah satu santrinya berasal dari salah satu santri muda pantai selatan (Pacitan) yang tidak lain adalah Bagus Darso. Dan semenjak itu perhatian Kyai Hasan Ali dalam mendidik Bagus Darso semakin bertambah, sebab beliau merasa mendapat amanat untuk mendidik seorang anak yang kelak kemudian hari akan menjadi pemuka dan pemimpin umat.

Demikianlah salah satu kisah KH. Abdul Manan pada waktu mudanya di Pondok Tegalsari dalam cerita. Dan setelah Bagus Darso dianggap cukup ilmu yang diperolehnya di Pondok Pesantren Tegalsari, beliau kembali pulang ke Semanten. Di desa inilah beliau kemudian menyelenggarakan pengajian yang sudah barang tentu bermula dengan sangat sederhana. Dan karena semenjak di Pondok Tegalsari beliau sudah terkenal sebagai seorang santri yang tinggi ilmunya, maka banyaklah orang Pacitan yang mengaji pada beliau. Dari sinilah kemudian di sekitar masjid didirikan pondok untuk para santri yang datang dari jauh. Namun beberapa waktu kemudian pondok tersebut pindah ke daerah Tremas setelah oleh ayahnya beliau dikawinkan dengan Putri Demang Tremas R. Ngabehi Hongggowijoyo. Sedang R. Ngabehi Honggowijoyo itu sendiri adalah kakak kandung R. Ngabehi Dipomenggolo. 

Diantara faktor yang menjadi penyebab perpindahan Kyai Abdul Manan dari daerah Semanten ke desa Tremas, yang paling pokok adalah pertimbangan kekeluargaan yang dianggap lebih baik beliu pindah ke daerah Tremas. Pertimbangan tersebut antara adalah, karena mertua dan istri beliau menyediakan daerah yang jauh dari keramaian atau pusat pemerintahan, sehingga merupakan daerah yang sangat cocok bagi para santri yang ingin belajar dan memperdalam ilmu agama. 

Berdasarkan pertimbangan itulah maka beliau kemudian memutuskan pindah dari Semanten ke daerah Tremas, dan mendirikan pondok pesantren yang kemudian disebut “Pondok Tremas“. Demikianlah sedikit sejarah berdirinya Pondok Tremas yang dipelopori oleh beliau KH. Abdul Manan pada tahun 1830 M

Babad Tremas - Periode KH. Abdul Manan  1830-1862

Setelah Bagus Darso (nama kecil KH. Abdul Manan) menyelesaikan pelajarannya di Pondok Tegalsari Ponorogo, beliau lantas mendirikan pondok di daerah Semanten [2km arah utara kota Pacitan], Namun dikemudian hari pondok tersebut akhirnya dipindah ke Tremas.

Usaha pertama kali yang dilakukan untuk membangun tempat pengajian sudah barang tentu mendirikan sebuah masjid (terletak agak ke sebelah timur dari masjid yang sekarang). Dan setelah santri-santri dari jauh yang sebagian berasal dari bekas santri-santrinya di Semanten mulai berdatangan, maka dibangunlah sebuah asrama pondok di sebelah selatan masjid. Sudah barang tentu keadaan masjid dan asrama pondok pada waktu itu masih sangat sederhana sekali, atapnya masih menggunakan daun ilalang dan kerangka lainnya masih banyak yang menggunakan bahan dari bambu.

Perkembangan Pondok Tremas pada masa itu sumber dananya diperoleh dari mertuanya, yaitu Demang Tremas Raden Ngabehi Honggowijoyo, karena membangun pondok adalah memang merupakan tujuan utama dari Raden Ngabehi Honggowijoyo untuk mengambil Bagus Darso sebagai menantu.

Adapun pengajian-pengajian pada awal berdirinya masih belum banyak berbeda dengan pengajian pada masa pondok masih terletak di Semanten, yang antara lain :
> Pasholatan
> Ilmu Taukhid 
> Fiqh, Tafsir dan lain-lain 

Jadi karena Pondok Tremas pada waktu itu masih dalam taraf permulaan dan santrinya juga belum sebanyak pada periode sesudahnya, maka kitab-kitab yang dipakainya juga masih dalam tingkatan dasar.

Demikianlah keadaan pembangunan Pondok Tremas pada masa periode KH. Abdul Manan, hingga wafatnya pada hari Jum’at (minggu pertama) bulan Syawal 1282 H. dan dimakamkan di desa Semanten. Beliau meninggalkan tujuh orang putra, yang antara lain adalah KH. Abdulloh

Periode KH. Abdulloh 1862-1894

Sepeninggal KH. Abdul Manan, maka pengasuh atau pimpinan digantikan oleh putranya yang bernama KH. Abdulloh. Pada masa kecilnya beliau mendapatkan pelajaran dasar dari ayahnya sendiri di Pondok Tremas.

Setelah cukup dewasa KH. Abdullloh diajak oleh ayahnya pergi ke Makkah Al-Mukarromah untuk menunaikan ibadah haji, dan menetap di Makkah untuk menuntut ilmu. Setelah beberapa tahun di Makkah beliau kembali ke Tremas lagi, dan membantu ayahnya mengajar di Pondok Tremas.

Setelah Pondok Tremas mulai dikenal di daerah-daerah lain, dan kealiman serta keluasan ilmu yang dimiliki beliau, maka mulailah terlihat tanda-tanda bahwa Pondok Tremas yang dimulai dari ilalang dan bambu itu dikemudian hari akan membesar menjadi sebuah pondok yang sangat membahagiakan setiap orang yang mencintainya.

Demikianlah, dalam periode ini mulai berdatangan beberapa santri yang berasal dari daerah lain, seperti Salatiga, Purworejo, Kediri dan lain-lain. Pada waktu itu baik jalan Pacitan-Ponorogo maupun Pacitan-Solo belum ada kendaraan, sehingga orang yang ingin memperdalam ilmu pengetahuan agama Islam (mengaji) ke Pondok Tremas harus berjalan kaki dengan melewati gunung-gunung dan hutan yang pada waktu itu masih cukup lebat.

Dapat dibayangkan betapa sukar dan beratnya perjalanan mereka waktu itu. Namun demikian, karena didorong oleh suatu keyakinan yang membaja bahwa perjalanan dalam rangka menuntut ilmu agama Islam adalah perjalanan suci, dimana kematian pada jalan ini mempunyai nilai yang sama dengan kematian jihad fisabilillah, maka keadaan alam Pacitan yang sangat berat itu tidak akan pernah melemahkan tekad mereka untuk sampai ke tempat tujuan. Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadist yang artinya :

Abu Darda’ dan Abu Hurairah RA. Berkata, Rosululloh SAW. Bersabda : “Sungguh satu bab (ilmu) yang dipelajari oleh seseorang itu lebih kucintai daripada menjalankan sholat sunat seribu rakaat “. Kata mereka selanjutnya : Rosululloh SAW. Bersabda : “ Apabila kematian merenggut seorang pelajar yang sedang dalam keadaan menuntut ilmu, maka ia adalah mati syahid “. (Riwayat Al-Bazaar dan Thabrani)

Demikianlah serentak dengan semakin bertambahnya santri-santri dari daerah lain, maka kebutuhan akan tempatpun semakin mendesak dan terasa sangat perlu dibangun asrama baru untuk tempat tinggal mereka. Untuk memenuhi keperluan tersebut maka dibangunlah sebuah asrama di sebelah selatan jalan, yang di masa KH. Dimyathi terkenal dengan nama “Pondok Wetan“. Demikan juga dalam bidang pendidikan, pada masa KH. Abdulloh ini juga mengalami perkembangan, hal itu disebabkan karena santri lama yang sudah menamatkan kitab-kitab dasar perlu juga dilanjutkan, dan untuk itu harus dibacakan beberapa kitab yang lebih tinggi. 

Sedang santri lama yang sudah cukup pandai dapat diserahi membaca kitab-kitab dasar bagi santri baru, sementara kyai meneruskan membaca kitab lanjutan untuk santri lama. Begitulah perkembangan Pondok Tremas baik segi fisik maupun pendidikannya. Meskipun perkembangan pada masa KH. Abdulloh ini tidak begitu menyolok bila dibandingkan dengan keadaan Pondok Tremas pada masa KH. Abdul Manan, namun sepanjang KH. Abdulloh memimpin Pondok Tremas telah berhasil meletakkan suatau batu landasan sebagai pangkal berpijak kearah kemajuan dan kebesaran serta keharuman Pondok Tremas dikalangan pondok pesantren khususnya dan pendidikan Islam umumnya.

Keberhasilan KH. Abdulloh dalam meletakkan batu landasan tersebut adalah keberhasilan beliau dalam mendidik putra-putranya sehingga menjadi ulama-ulama yang tidak saja menguasai kitab-kitab yang dibaca, tapi lebih daripada itu juga telah berhasil menyusun berbagai macam kitab yang bernilai dalam ilmu pengetahuan agama Islam, sehingga kemudian muncullah sebutan “Attarmasie“ yang memperoleh tempat tersendiri dalam dunia ilmu pengetahuan agama Islam di negara Arab.Barangkali karena pengalaman KH. Abdulloh dalam menuntut ilmu di Makkah, sehingga kemudian putra laki-lakinya semua dikirim ke Makkah untuk menuntut ilmu disana. Putra pertama yang dikirim ke Makkah bersamaan musin haji adalah Muhammad Mahfudz. Setelah mukim disana beliau menuntut ilmu dengan tekun dibawah asuhan guru utamanya yaitu Syeikh Abu Bakar Syatha sehingga menjadi ulama besar yang mampu mendudukkan dirinya sebagai salah seorang pengajar di Masjidil Haram.

Setelah beberapa tahun Syeikh Mahfudz dikirim ke Makkah, KH. Abdulloh menunaikan ibadah Haji yang ketiga kalinya dengan mengikut sertakan beberapa putranya yang lain, yaitu K. Dimyathi, K. Dahlan, K. Abdur Rozaq dengan maksud agar setelah selesai ibadah Haji mereka akan ditinggalkan di Makkah untuk menuntut ilmu dibawah bimbingan Syeikh Mahfudz dan beliau sendiri akan kembali ke Tremas untuk mengajar santri-santrinya yang selama menunaikan ibadah Haji ke Makkah, Pondok Tremas untuk sementara diserahkan kepada menantunya yang bernama Kyai Muhammad Zaed (Suami Nyai Tirib/Nyai khotijah). Namun apa boleh buat, rupanya Allah Swt. Menghendaki KH. Abdulloh kembali kehadirat-Nya di tanah suci Makkah Almukarromah. Hingga wafatlah pada hari senin malam selasa, 29 Sya’ban 1314 H.

Sepeninggal KH. Abdulloh, untuk beberapa lama Pondok Tremas masih dipimpin oleh Kyai Muhammad Zaed, sementara menanti kedatangan KH. Dimyathi yang kemudian akan meneruskan karya ayah dan kakeknya dalam mengabdi kepada agamanya. 

Sementara itu KH. Dahlan setelah kembali dari Makkah kemudian dikawinkan dan diambil menantu oleh Kyai Shaleh Darat Semarang. Kemudian mukim disana hingga wafatnya pada hari Ahad, 7 syawal 1329 H. Dan kemudian dimakamkan di Bergota Semarang, dimana pusaranya berjejer dengan pusara Kyai Saleh Darat Semarang.


Adapun putra-putra KH. Abdulloh lainnya, sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, mereka juga memiliki keistimewaan-keistimewaan tersendiri. Kalau KH. Dimyathi termashur karena kesuksesannya dalam membina dan mememajukan pondok, Maka KH. Muhammad Bakri teristemewa dangan Al-Qur’annya, dan KH. Abdurrozaq mempunyai kekhususan dalam bidang thoriqoh, dimana beliau menjadi seorang Mursyid yang mempunyai murid dimana-mana. Beliau wafat pada tanggal 3 April 1958, dan dimakamkan di Tremas

Periode KH. Dimyathie 1894-1834

Setelah kita ikuti perkembangan Pondok Tremas pada masa KH. Abdulloh dan bagaimana beliau berhasil mendidik putra-putranya menjadi ulama-ulama yang tangguh baik dalam ilmu maupun dalam amalnya, maka tibalah kini pada masa dimana Pondok tremas dipimpin oleh beliau Hadrotus Syeikh KH. Dimyathi. Suatu masa dimana Pondok Tremas telah mencatat perkembangan yang pesat, baik perkembangan fisiknya maupun perkembangan pendidikannya. Dan pada masa inilah Pondok Tremas berhasil melahirkan kader-kader ulama yang kemudian mempunyai peranan besar dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.

Semenjak masa KH. Abdulloh Pondok Tremas sudah mulai dikenal di daerah-daerah lain. Sehingga tahun kepopuleran dan kemashuran Pondok Tremas semakin bertambah, lebih-lebih setelah kitab Syeikh Mahfudz seperti yang kami sebutkan diatas mulai beredar di pulau Jawa dan di tanah Melayu dengan istilah “Attarmasie“, maka makin banyaklah orang-orang dari daerah lain yang berkeinginan kuat untuk untuk menuntut ilmu agama Islam di Pondok Tremas.

Dengan datangnya para santri yang semakin banyak maka timbullah kebutuhan tentang dibangunnnya asrama-asrama baru. Tetapi kali ini masalahnya tidak akan selesai begitu saja dengan dibangunnya asrama tersebut, sebab masalah lain yang berhubungan dengan suasana tata bangunan pondok harus dipikirkan pula, sehingga pembangunan asrama tersebut tidak akan mengganggu dan membawa akibat ketidakteraturan suasana. Berdasarkan pertimbangan inilah maka KH. Dimyathi kemudian mengambil kebijaksanaan untuk memindahkan masjid yang sejak masa KH. Abdul Manan terletak disebelah timur dari masjid sekarang ketengah-tengah pekarangan.

Demikianlah perkembangan pembangunan pondok yang disebabkan makin bertambahnya santri, hingga pada waktu itu jumlah santri hampir mendekati 2000 orang. Seluruh tanah milik kyai hampir semuanya sudah didirikan bangunan-bangunan untuk asrama, baik disebelah selatan jalan, maupun disebelah utara jalan. Masing-masing asrama didirikan dan ditempati oleh santri-santri yang berasal dari satu daerah, oleh karenanya nama-nama pondok atau asrama pada masa itu tergantung dari santri yang bertempat di asrama tersebut, misalnya pondok Cirebon, pondok Pasuruan, pondok Tegal, pondok Solo, pondok Ngawi, pondok Malaysia, pondok Singapura dan sebagainya.

Disamping itu karena perkembangan pendidikan ilmiah juga semakin pesat, maka pada masa kepemimpinan KH. Dimyathi ini pula didirikan sebuah gedung yang digunakan untuk madrasah. Hingga perkembangan ilmiah pada masa KH. Dimyathi ini sangat menyolok bila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Pada tahun-tahun permulaan pengajian-pengajian masih ditangani langsung oleh kyai sendiri, tetapi setelah usia kyai bertambah lanjut maka ada beberapa kitab yang diserahkan kepada beberapa orang santri yang oleh KH. Dimyathi dianggap sudah mampu untuk membaca kitab dan menerangkan atau menjelaskan kepada santri yang lain.

Diantara kitab-kitab yang dibaca pada waktu itu banyak mengalami penambahan-penambahan, diantaranya adalah;
فتح المعين
    تعليم المتعلم
    احياء علوم الدين
    تفسير الجلالين
    الفية ابن مالك
    منهاج القويم
    صحيح البخارى
صحيح مسلم

Semua kitab-kitab itu diajarkan menurut sistem pengajian yang biasa berlaku di pondok pesantren pada umumnya, misalnya dipakai sebagai kitab pengajian wetonan dan juga sebagai kitab sorogan.

Kemudian pada tahun 1928 M. beberapa santri yang mempunyai pengalaman belajar dibeberapa daerah mengajukan gagasan untuk mengadakan sistem pendidikan madrasah (klasikal), disamping pengajian-pengajian yang sudah berjalan. Rupanya terhadap gagasan tersebut kyai tidak menaruh keberatan apa-apa bahkan merestui, maka dalam tahun itu pula didirikanlah sebuah madrasah yang bernama madrasah Ibtidaiyyah. Murid pertama madrasah ini sebanyak 30 ( tiga puluh ) anak. 

Namun jika dibandingkan jumlah para santri yang hampir mencapai 2000 orang maka jumlah 30 orang siswa ini menunjukkan bahwa minat para santri terhadap sistem pengajaran semacam ini masih sangat kurang sekali. Dan memang demikianlah kenyataanya, sebab bagi mereka yang sudah terbiasa mengaji dengan tidak pernah terkena kewajiban menghafal, tamrinan dan lain sebagainya, maka sistem madrasah ini tidak menarik sama sekali. Oleh karena itu tidak mengherankan bila madrasah Ibtidaiyah itu kemudian hanya berumur beberapa bulan saja.

Namun demikian usaha-usaha untuk mengadakan perkembangan pendidikan dengan sistem madrasah itu tidak pernah berhenti. Sehingga akhirnya pada tahun 1932 M. dengan dipelopori oleh beliau Kyai Hamid Dimyathi didirikanlah sebuah madrasah yang bernama madrasah Salafiyah. Pada mulanya madrasah tersebut hanya diperuntukkan bagi anak-anak desa sekitar ( masyarakat ), tetapi setelah Kyai Hamid Dimyathi menggantikan ayahnya menjadi kyai, maka madrasah tersebut dibuka pula untuk anak-anak pondok.

Demikianlah perkembangan fisik maupun perkembangan ilmiyah Pondok Tremas di masa KH. Dimyathi, sehingga dapat dikatakan bahwa pada masa itulah kejayaan Pondok Tremas. Dan karena kemajuan, kebesaran serta keharumannya, maka tidak mengherankan bila para alumni dari periode ini banyak yang menjadi tokoh-tokoh yang dapat diandalkan dalam bidangnya masing-masing.

Namun sebelum kita menginjak pada periode selanjutnya, terlebih dahulu akan penyusun sampaikan tentang beberapa hal sekitar kepribadian beliau Hadrotus Syeikh KH. Dimyathi.

Beliau dikenal oleh santri-santrinya sebagai orang yang sangat alim dan tinggi ilmunya, sholeh dan tawadlu’ dalam tingkah lakunya, sabar dalam sikapnya dan sederhana dalam segala-galanya. Beberapa pihak yang dekat dengan kehidupan pribadi beliau menerangkan bahwa KH. Dimyathi tidak pernah menunjukkan kemarahan pada wajah lahiriyahnya, sampai-sampai terhadap seorang santri yang berbuat kesalahan besar dan diputuskan dipulangkan umpamanya, maka dengan nada datar beliau berkata penuh tawadlu’. “ Barangkali yang paling maslahat bagi saudara seyogyanya pulang terlebih dahulu “. dan pulanglah sang santri dengan penyesalan yang dalam. Namun demikian, sikap beliau yang agung tersebut tidak pernah mengurangi ketaatan dan keseganan para santri terhadap pribadi beliau. Dan kebesaran pribadi serta wibawa beliau makin tampak apabila beliau sedang mengajar.

Di tengah-tengah para santri yang memenuhi serambi masjid, dalam suasana yang hening, dengan nada yang pasti dan meyakinkan beliau membaca kitab yang diajarkan baris demi baris, yang kadang-kadang disana-sini diselingi dengan humor yang cukup segar, sementara para santri mendengarkan dengan penuh perhatian. Sehingga sering diceritakan bahwa santri yang paling bodoh sekalipun akan dapat memahami dengan baik, sedang para santri yang cerdas akan dapat menghafalkan dengan mudah sesudah pengajian selesai

Periode KH. Hamid 1834-1848

Pada masa kecilnya beliau belajar pengetahuan agama Islam di Pondok Tremas, dan kemudian setelah usia remaja melanjutkan pendidikan di Pondok Lasem dibawah bimbingan Al-Mukarrom KH. Ali Ma’sum. Kemudian setelah beberapa tahun di Lasem beliau kembali ke Tremas serta , membantu ayahnya KH. Dimyathi dalam membangun dan membina Pondok Tremas.

Dalam masa kepemimpinan Kyai Hamid Dimyathi ini, apa yang terjadi di Pondok Tremas terbagi menjadi dua fase, yaitu 

:: Fase Kemajuan 

Tahun-tahun pertama dari masa Kyai Hamid Dimyathi adalah tahun paling jaya, yang merupakan jaman keemasan bagi Pondok Tremas baik dari segi fisik maupun perkembangan pendidikan dan pengajarannya. Jadi disamping dasar-dasar kemajuan yang memang sudah dilakukan pada masa KH. Dimyathi dilakukan juga beberapa usaha yang merupakan penyempurnaan dari usaha usaha sebelumnya

Usaha-usaha tersebut antara lain :
1.  Penertiban pengajian, yaitu pengajian-pengajian yang diadakan di kamar-kamar ditiadakan, dan sebagai gantinya beberapa asrama dipakai sebagai tempat pengajian
2. Organisasi pondok diadakan penyempurnaan, baik dalam usaha keuangan, tata usaha administrasi maupun personalianya
3.  Penertiban pengajian, yaitu pengajian-pengajian yang diadakan di kamar-kamar ditiadakan, dan sebagai gantinya beberapa asrama dipakai sebagai tempat pengajian
4. Penambahan macam-macam pengajian, yakni pengajian-pengajian yang sudah ada sebelumnya, ditambah dengan beberapa macam pengajian dengan memakai kitab-kitab yang ada pada masa KH.Dimyathi belum pernah dibaca, antara lain :
 اتمام الدراية
    الحكمة فى مخلوقات الله
       الحكمة فى مخلوقات الله
        ميزان العمل
   كلمة السعادة
5.  Pembukaan madrasah Salafiyah untuk para santri yang bertempat tinggal di asrama atau di pondok. Dan memasukkan beberapa mata pelajaraan umum pada madrasah salafiyah tersebut, yaitu :
Bahasa Indonesia 
Sejarah Bumi 
Ilmu Bumi 
 Berhitung, dll 
6. Membuka perpustakaan, yang bertujuan untuk memenuhi minat baca dan sebagai pendukung belajar para santri. Jadi bagi suatu lembaga pendidikan seperti Pondok Tremas, perpustakaan yang didirikan oleh Kyai Hamid Dimyathi pada tahun 1935 M. tersebut termasuk cukup lengkap. Didalamnya terdapat berbagai macam kitab yang meliputi fiqih, adab, tarikh, hadits dan sebagainya. Kemudian disamping kitab-kitab tersebut, dilengkapi juga dengan majalah-majalah baik yang terbitan dalam negeri juga yang terbitan luar negeri, misalnya:
     >   Majalah Penyebar Semangat dari Surabaya
     >   Majalah Anshor dari Mesir
     >   Majalah Al-Fata dari Mesir, dsb

Fase Kemunduran Pesantren

Kemunduran disini disebabkan karena pecahnya perang dunia II, tentara Dai Nippon (Jepang) mendarat di pulau Jawa dalam rangka ekspansinya untuk menguasai Asia Timur Raya.

Dalam keadaan yang tidak menentu itu sangat berpengaruh terhadap kegiatan belajar serta keamanan para santri yang bertempat di Pondok Tremas. Sehingga akibatnya banyak santri Pondok Tremas yang pulang ke kampung halamannya masing-masing, dan keadaan tersebut mengakibatkan juga berhentinya kegiatan belajar mengajar para santri, akhirnya pondok menjadi sepi.

Namun demikian terdapat juga sebagian kecil santri yang tidak meninggalkan pondok karena disebabkan oleh beberapa hal, misalnya belum dapat biaya pulang padahal rumahnya sangat jauh dan menyeberangi lautan, dan sebagainya.

Untuk lebih jelasnya, mengenai fase kemunduran tersebut akan kami bagi dalam beberapa sebab, yaitu :

:: Jepang mendarat di pulau Jawa 

Kedatangan Jepang ke jawa benar-benar telah membawa penderitaan bagi rakyat Indonesia. Penderitaan fisik, mental keyakinan, politik, kebudaayaan, ekonomi, pendidikan dan keselamatan setiap orang. Mereka telah merampok kekayaan tanah air, menghancurkan kebudayaan serta adat-istiadat, dan menyebarkan rasa takut serta gelisah dikalangan penduduk. Oleh sebab itu orang tidak sempat berfikir, apalagi berangan-angan tentang politik dan nasib hari depan, karena masing-masing orang telah menghadapi kemungkinan yang paling mendesak.

Akibat buruk yang ditimbulkan oleh tentara Dai Nippon itu juga menimpa terhadap para santri maupun pengasuh Pondok Tremas itu sendiri. Oleh sebab itu maka banyaklah para santri yang pulang ke kampungnya masing-masing kecuali bagi mereka yang tidak dapat pulang karena sesuatu hal. Dan sejak itulah Pondok Tremas mengalami masa kemunduruan.

Kemunduran Pondok Tremas tersebut belum sempat dibenahi sudah disusul oleh peristiwa meletusnya pemberontakan PKI-Muso di Madiun. Sebuah kasus yang lebih dikenal dengan nama “ Affair Madiun “ pada tahun 1948. Suatu peristiwa dimana kaum agama yang menjadi lawan utama kaum atheis jadi korban. Dan peristiwa tersebut sangat merugikan terhadap perkembangan Pondok Tremas, bahkan sampai pada masa fakumnya.


:: Pembrontakan PKI di Madiun 

Dalam suasana perjuangan yang semakin memuncak pada tahun 1945, Kyai Hamid Dimyathi ikut menerjunkan diri dalam kancah perjuangan. Beliau masuk menjadi anggota KNIP ( Komite Nasional Indonesia Pusat ), dan kemudian beliau masuk menjadi aktifis partai politik Islam Masyumi, ( satu-satunya partai Islam pada waktu itu ). Dalam kedudukannya itu maka akibatnya beliau jarang berada di pondok, sampai akhirnya meletus pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948.

Pemberontakan diawali dari kota Madiun dan kota Solo, maka kota Pacitan yang juga termasuk wilayah karesidenan Madiun juga bergolak. Maka kaum agama yang menjadi lawan utama kaum atheis menjadi korban. Dan dalam pemberontakan PKI di Madiun (Affair Madiun) itu korban yang paling banyak jatuh adalah dari pihak Islam, yang memang bahu-membahu dengan TNI menumpas pemberontakan itu.

Akibat pemberontakan PKI di Madiun tersebut bagi Pondok Tremas tercatat sebagai hari berkabung. Karena pada waktu itu Pondok Tremas juga termasuk salah satu sasaran tentara tentara PKI-Muso yang mengganas, membabi buta dan menghancurkan apa saja yang mereka kehendaki, sehinga keamanan Pondok Tremas menjadi semakin terancam. Dan situasi yang tidak menentu tersebut menyebabkan para santri banyak yang pulang ke rumah masing-masing.

Bahkan pernah suatu waktu Kyai Hamid Dimyathi di panggil langsung oleh Bung Tomo ke Surabaya dalam rangka mengobarkan semangat perjuangan para ulama dan kyai. Tapi karena kesibukan Kyai Hamid Dimyathi di daerah Pacitan sendiri sebagai pimpinan partai Masyumi dan sebagai Kepala Penghulu, maka beliau berhalangan hadir, dan disuruhlah Bapak Mursyid (kakak ipar beliau) sebagai penggantinya berangkat ke Surabaya. Sebagai pimpinan partai Masyumi dan sebagai Kepala Penghulu beliau merasa bahwa keadaan dan keamanan di Pacitan sudah sangat kritis, maka beliau kemudian berusaha mengadakan hubungan ke Yogyakarta untuk memberi laporan kepada pemerintah pusat. Namun dalam penyamarannya melakukan perjalanan ke Yogyakarta bersama-sama dengan Pak Joko, Pak Abu Naim, Pak Yusuf, Pak Qosyim (kakak dan adik ipar) dan Pak Soimun (pendereknya) serta pengikut-pengikutnya yang semua berjumlah 15 orang, di tengah perjalanan sewaktu beristirahat di sebuah warung di daerah Pracimantoro, beliau dan rombongannya dicurigai dan ditangkap oleh gerombolan PKI yang memang sudah menguasai daerah itu.

Setelah beberapa waktu ditahan di Baturetno maka dibawalah Kyai Hamid Dimyathi beserta rombongannya itu ke daerah Tirtomoyo dan dibunuhlah disana dengan dimasukkan begitu saja dalam suatu lobang bersama-sama dengan 13 syuhada’ lainnya (kecuali Pak Soimun pendereknya yang tidak dibunuh). Inna lillaahi wainna ilai roji’un.

Menurut persaksian Pak Soimun, diceritakan bahwa setelah beberapa bulan kemudian ( setelah keadaan aman ), diadakan penggalian terhadap para syuhada’ dan pejuang termasuk diantaranya penggalian terhadap jenazah rombongan Kyai Hamid Dimyathi yang berjumlah 14 orang tersebut. Namun setelah lobang itu digali kembali maka jumlah jenazah yang sudah mulai rusak tersebut tinggal 13 orang, dan karena keadaannya sudah rusak maka tidak dapat dikenali lagi satu persatu dan yang manakah jenazah Kyai Hamid Dimyathi. Dan akhirnya ke 13 jenazah tersebut dibawa ke makam pahlawan di Jurug Surakarta, dan sampai sekarang belum diketahui dimana makam beliau. Wallaahu A’lam.

Sejak meningalnya Kyai Hamid Dimyathi (tahun 1948), maka Pondok Tremas tersebut mengalami masa kevakuman sampai tahun 1952. Bangunan pondok yang beberapa tahun sebelumnya masih ramai dihuni oleh para santri kini menjadi kosong, serta banyak yang sudah mulai rusak. Dan para santrinya banyak yang kembali kembali ke kampungnya masing-masing. Alasan pulangnya para santri tersebut disamping adanya suasana politik yang kurang memungkinkan untuk tinggal di pondok duga disebabkan oleh karena kekosongan pemimpin (kyai), karena pengaruh kyai terhadap para santri sangat besar sehingga kyai dianggap sebagai sumber pemberi ilmu dunia dan akherat, dan juga sebagai seseorang yang paling harus ditaati.

Kemunduran yang sedemikian parahnya itu belum sempat dibenahi sudah disusul dengan bencana yang lain, yaitu datangnya kembali Belanda ke Indonesia (Agresi Belanda II) pada tahun 1948

:: Datangnya kembali Belanda ke Indonesia 

Seperti diuraikan diatas, bahwa penyebab ketiga kemunduran Pondok Tremas tersebut disebabkan oleh kedatangan kembali Belanda ke Indonesia (Agresi Belanda II). Agresi militer tersebut ialah aksi Belanda menyerbu wilayah Republik Indonesia yang kedua kalinya, setelah wakil tinggi mahkota Belanda (Dr. Beel) menyatakan tidak terikat lagi oleh persetujuan Renville pada tanggal 18 Desember 1948.

Tanggal 19 Desember 1948 Lapangan Maguwo Yogyakarta diserang oleh Belanda dan berhasil diduduki. Penyerbuan juga terjadi di kota-kota lain. Panglima Besar Jendral Sudirman bersama-sama para pemuda menyusun kekuatan dan melaksanakan strategi perang gerilya dimana-mana.

Oleh karena Pacitan termasuk salah satu kota yang menjadi sasaran serbuan tentara Belanda pada waktu itu, maka ketika diketahui bahwa kota Pacitan akan diserbu oleh tentara Belanda dari laut maka Pacitan dalam keadaan darurat, dan kabupaten Pacitan dipindah ke Arjosari, (sekarang kecamatan). Dan atas ijin sesepuh pondok, maka bupati Pacitan memutuskan untuk memindahkan sebagian lembaga pemasyarakatan ke Pondok Tremas yang sudah hampir tidak ada penghuninya, jadi selain digunakan sebagai lembaga pemasyarakatan Pondok Tremas juga digunakan untuk menampung orang-orang yang terlantar akibat penjajahan Jepang.

Kiranya tidaklah mengherankan apabila dalam keadaan yang tidak memungkinkan itu para santrinya pulang ke kampung masing-masing. Jadi sejak itulah maka Pondok Tremas sudah hampir tidak ada santrinya lagi kecuali hanya beberapa orang santri daari daerah sekitar dasn para santri yang tidak pulang karena hal lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa mulai tahun itu Pondok Tremas dalam keadaan vakum sama sekali, sampai akhirnya pada tahun 1952 Kyai Habib Dimyathi (adik Kyai Hamid Dimyathi) kembali dari Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta mengganti kakaknya membina dan membangkitkan kembali Pondok Tremas yang sudah hampir lima tahun dalam keadaan tidak aktif lagi

Masa Kebangkitan Pesantren Termas

Seperti telah diuraikan pada bab terdahulu bahwa Pondok Tremas telah berdiri sejak tahun 1830. Dalam perkembangannya pondok tersebut banyak mengalami kemajuan, dan puncak kemajuan itu terlihat pada masa kepemimpinan KH. Dimyathi dan Kyai Hamid Dimyathi. Mendekati berakhirnya masa kepemimpinan Kyai Hamid Dimyathi Pondok Tremas berangsur-angsur mengalami kemunduran. Adapun puncak kemunduran tersebut mulai nampak sejak meninggalnya Kyai Hamid Dimyathi, hingga Pondok Tremas mengalami masa vakum

Sedangkah tokoh-tokoh kebangkitan kembaki Pondok Tremas adalah: 

:: KH. Habib Dimyathie 

Beliau dilahirkan pada tahun 1923 M. Pada masa kecilnya beliau belajar dasar-dasar pengetahuan agama Islam di Pondok Tremas sendiri. Dan kemudian melanjutkan ke Pondok Al Hidayah Lasem dibawah asuhan KH. Ma’sum. Setelah satu tahun lebih sedikit beliau belajar di pondok tersebut, kemudian kembali lagi ke Tremas. Pada tahun 1937 beliau melanjutkan belajarnya ke Madrasah Salafiyah Kauman Surakarta selama dua tahun lebih sedikit dibawah asuhan KH. Dimyathi Abdul Karim. Dan dari madrasah Salafiyah tersebut beliau kembali lagi pulang ke Tremas. Setelah beberapa waktu di Tremas kemudian melanjutkan belajarnya ke Pondok Popongan dibawah asuhan KH. Mansyur, lantas melanjutkan lagi ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dibawah asuhan KH. Hasyim Asy’ari sampai kemerdekaan tahun 1945. 

Sepulangnya dari Tebuireng lalu melanjutkan lagi ke Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, dan seterusnya ke Pondok Pesantren Sumolangu Kebumen dibawah asuhan KH. Thoifur Abdurrohman Alhasany. Selama di Yogyakarta beliau masuk menjadi anggota tentara pejuang Hizbulloh dan menjadi anggota BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia) pimpinan Bung Tomo, berjuang melawan penjajah di Ambarawa dan bermarkas di Magelang.

Pada awal tahun 1948 beliau pulang ke Tremas, tetapi karena pada waktu itu masih dalam situasi yang serba kacau akibat pemberontakan PKI (Affair Madiun), maka beliau bersama pamannya, KH. Abdurrozaq dan kawan-kawannya ditahan oleh PKI di Pacitan.Namun berkat datangnya bantuan tentara Siliwangi ke daerah Pacitan akhirnya beliau-beliau dapat diselamatkan dari rencana pembunuhan oleh PKI.

Setelah beberapa bulan di Tremas beliau meneruskan lagi ke Pondok Pesantren Krapyak, sampai akhir tahun 1952 beliau dipanggil pulang ke Tremas untuk menggantikan kakaknya, Kyai Hamid Dimyathi yang terbunuh akibat terjadinya affair Madiun 1948

:: KH. Haris Dimyathie 

Beliau lahir pada tahun 1932 M. Pada masa kecilnya beliau belajar di Pondok Tremas dibawah asuhan para sesepuh pondok. Kemudian pada tahun 1939 melanjutkan belajarnya ke Madrasah Salafiyah Kauman Surakarta dibawah asuhan KH. Dimyathi Abdul Karim sampai kurang lebih tahun 1942 M. Dan semasa pemerintahan penjajah Jepang beliau kembali ke Tremas sampai tahun 1945. Dan kemudian melanjutkan lagi ke Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta dibawah asuhan KH. Ali Ma’sum.

Tetapi karena situasi kritis yang meliputi Yogyakarta pada waktu itu beliau ikut mengungsi ke daerah Kedung Banteng (masih termasuk wilayah Yogyakarta ) bersama-sama dengan Bapak Mukti Ali (eks menteri agama RI), Burhanuddin Harahap dan tokoh-tokoh pejuang lain. Di tempat pengungsian yang cukup lama itu Bapak Mukti Ali dan lainnya berhasil mendirikan sebuah madrasah, dimana untuk beberapa lama KH. Haris Dimyathi ikut menjadi murid, dan kemudian menjadi ustadz sampai kurang lebih tahun 1952. Hingga beberapa waktu kemudian beliau mengikuti jejak kakaknya kembali ke Tremas untuk membina dan membangun kembali Pondok Tremas.

Pada tahun 1945 Bapak Darul Khoiri bin Abdurrozaq ( nama panggilan pak Ndari ) yang selama kevakuman Pondok tremas menjadi pimpinan Madrasah Salafiyah menyerahkan kepemimpinannya kepada KH. Haris Dimyathi


Perlu diketahui bahwa KH Haris Dimyathi ini pernah menjadi menantunya pendiri organisasi Nahdlatul 'Ulama, saat meningkah dengan Nyai Fatimah binti KH. Hasyim Asy'ari dari Tebuireng, namun sayang pernikahan itu tidak berlangsung lama

:: KH. Hasyim Ikhsan 

Beliau dilahirkan pada bulan Juli 1912 M. Semasa kecilnya belajar di Tremas sendiri dibawah asuhan para sesepuh, antara lain mBah Nyai Abdulloh serta pada KH. Dimyathi. Pada tahun 1928 meneruskan belajarnya di Pondok Pesantren Al Hidayah Lasem dibawah asuhan KH. Ma’sum bersama-sama dengan Kyai Hamid Dimyathi.

Setelah beberapa tahun kemudian, beliau kembali ke Tremas dan diminta membantu mengajar di Pondok Tremas, tetapi satu tahun kemudian beliau meneruskan belajarnya ke Pondok Lasem lagi dibawah asuhan Kyai Kholil, hingga pada tahun 1934 kembali ke Tremas dan mengajar bersama-sama ustadz lain.

Pada tahun 1948 sampai 1950 beliau menjadi Pejabat penerangan Agama Islam di Tegalombo, selanjutnya dipindah ke daerah Arjosari. Dan akhirnya mengajar kembali di Pondok Tremas

Keadaan Pesantren Kini 

Setelah KH. Habib Dimyathi wafat pada tahun 1998, model kepemimpinan Perguruan Islam Pondok Tremas masih seperti periode-periode sebelumnya, yaitu membagi tugas dengan beberapa putra masyayih yaitu KH. Fuad Habib Dimyathi "Gus Fuad" (putra KH. Habib Dimyathi) sebagai Ketua Umum Perguruan Islam Pondok Tremas, KH. Luqman Hakim "Gus Luqman" (putra KH. Haris Dimyathi) sebagai Ketua Majelis Ma'arif dan KH. Mahrus Hasyim "Gus Mahrus" (putra KH. Hasyim Ihsan) yang menangani bidang sosial kemasyarakatan.

Gus Fuad dan Gus Luqman yang relatif masih muda punya semangat dan keberanian dalam menggunakan prinsip "al Muhafadloh alal Qodimis sholih wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah". Pertama yang dibenahi adalah sarana fisik berupa renovasi Masjid Pondok Tremas yang juga milik masyarakat desa Tremas. Masjid ini direncanakan terdiri dari dua lantai dan terbagi dalam beberapa ruang, antara lain ruang Utama, ruang Sekretariat Pondok Putra, Perpustakaan, Bahtsul Masail, Tahfidzul Qur'an dan ruang Pengajian. masjid ini sengaja dibangun multifungsi, karena masjid merupakan sentral dari semua kegiatan yang ada di Pondok Tremas. Dibangunnya Madrasah Depan Masjid, Asrama Putri V (Astri Lima) dan pavingisasi adalah proyek renovasi lainnya yang diselelnggarakan bersama pembangunan masjid.

Selain pembangunan fisik, pembenahan kurikulum dan peningkatan kualitas santri dalam memahami hukum Islam juga mendapat prioritas dalam periode ini guna mewujudkan motto Pondok Tremas, yaitu : ”Mencetak Insan Benar Yang Pintar"


Syaikh Mahfudz bin Abdullah Attarmasi Ahli Hadits Yang Mendunia

Syaikh Muhammad Mahfuz bin Abdullah bin Abdul Mannan bin Abdullah bin Ahmad at-Tarmasi/Termas merupakan salah satu ulama’ Indonesia yang banyak menghasilkan karya dalam berbagai disiplin ilmu. Syaikh Muhammad Mahfuz Termas lahir di Termas, Pacitan, Jawa Tengah, pada 12 Jumadil Ula 1285 H/31 Agustus 1868 M, dan bermukim di Mekah sampai beliau wafat pada 1 Rajab 1338 H/ 20 Mei 1920 M.

Untuk mengetahui sejarah pendidikannya, guru dan ilmu-ilmu yang dipelajari oleh Syaikh Muhammad Mahfuz Termas tidaklah terlalu sulit, karena sejarah hidup beliau dapat ditemukan dalam karya-karya beliau. Dalam Kitab Muhibah zil Fadhli jilid ke-4 yang merupakan salah satu karya beliau, dikatakan bahwa beliau pada masa mudanya banyak menimba ilmu kepada ayahnya sendiri, Syaikh Abdullah bin Abdul Mannan at-Tarmasi. Dari ayahnya beliau mempelajari Syarh al-Ghayah li Ibni Qasim al-Ghuzza, al-Manhaj al-Qawim, Fat-h al-Mu’in, Fat-h al-Wahhab, Syarh Syarqawi `ala al-Hikam dan sebagian Tafsir al-Jalalain hingga sampai Surah Yunus.

Merasa haus akan ilmu dan setelah banyak belajar kepada ayahnya, Syeikh Muhammad Mahfuz Termas kemudian memilih merantau ke Semarang untuk belajar kepada Kiyai Muhammad Saleh Darat. Di bawah bimbingan Kyai Saleh Darat ini, beliau mempelajari Syarh al-Hikam (dua kali khatam), Tafsir al-Jalalain (dua kali hatam), Syarh al-Mardini dan Wasilah ath-Thullab (falak)

Setelah beberapa tahun dalam bimbingan Kyai Saleh Darat. Syaikh Muhammad Mahfuz Termas meneruskan pengembaraan ilmunya ke Mekah. Di negara kelahiran Nabi Muhammad ini, beliau berguru kepada para ulama terkemuka, diantaranya adalah Syaikh Ahmad al-Minsyawi, dari ulama’ ini, beliau belajar Qiraah `Ashim dan tajwid, sebagian Syarh Ibni al-Qashih `ala asy-Syathibiyah. Dalam waktu yang bersamaan, beliau juga belajar kepada Syeikh `Umar bin Barakat asy-Syami, dengan mempelajari Syarh Syuzur az-Zahab li Ibni Hisyam. Juga kepada Syaikh Mustafa al-’Afifi, dengan mengkaji kitab Syarh Jam’il Jawami’ lil Mahalli dan Mughni al-Labib. Sahih al-Bukhari kepada Sayid Husein bin Sayid Muhammad al-Habsyi. Sunan Abi Daud, Sunan Tirmizi dan Sunan Nasai kepada Syeikh Muhammad Sa’id Ba Bashail. Syarh `Uqud al- Juman, dan sebagian kitab asy-Syifa’ lil Qadhi al-’Iyadh keada Sayid Ahmad az-Zawawi. Syarh Ibni al-Qashih, Syarh ad-Durrah al-Mudhi-ah, Syarh Thaibah an-Nasyr fi al-Qiraat al-’Asyar, ar-Raudh an-Nadhir lil Mutawalli, Syarh ar-Ra-iyah, Ithaf al-Basyar fi al-Qiraat al-Arba’ah al-’Asyar, dan Tafsir al-Baidhawi bi Hasyiyatihi kepada Syeikh Muhammad asy-Syarbaini ad-Dimyathi. Dalail al-Khairat, al-Ahzab, al-Burdah, al-Awwaliyat al-’Ajluni dan Muwaththa’ Imam Malik kepada Sayid Muhammad Amin bin Ahmad Ridhwan al-Madani serta ulama’-ulama’ terkemuka lainnya, seperti Syeikh Ahmad al-Fathani dan Syaikh Nawawi Banten, salah satu ulama Indonesia yang juga bermukim di Mekah.. 
Sedangkan guru utama beliau yang paling banyak mengajarnya pelbagai ilmu secara keseluruhannya ialah Sayid Abi Bakr bin Sayid Muhammad asy-Syatha, pengarang kitab I’anatut Talibin, syarah Fathul Mu’in.

Konon katanya, salah seorang Ulama Patani, Syaikh Ahmad Al-Fathani memiliki hubungan yang erat dengan dengan Sayid Abi Bakr asy-Syatha, bahkan diceritakan bahwa salah satu karangan Sayid Abi Bakr asy-Syatha yang berjudul I’anatut Thalibin Syarh Fat-hil Mu’in sebelum dicetak terlebih dahulu ditashih dan ditahqiq oleh Syeikh Ahmad al-Fathani atas perintah Sayid Abi Bakr asy-Syatha sendiri dan Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki. 

Dan diceritakan pula bahwa yang pertama kali mengajar kitab I’anatut Thalibin di dalam Masjid al-Haram ialah Syeikh Ahmad al-Fathani, semua murid Sayid Abi Bakr asy-Syatha pada zaman itu termasuk Syeikh Muhammad Mahfuz Termas hadir dalam halaqah atau majlis pengajian Syeikh Ahmad al-Fathani itu.
Dalam kaitannya dengan penimbaan ilmu, Syaikh Mahfud memiliki karya khusus yang mencatat semua sanad dari setiap ilmu yang beliau pelajari, beliau kumpulkan dalam karyanya yang berjudul Kifayatul Mustafid.

Dalam pengembaraannya di Mekah, beliau semasa dan seperguruan dengan Syeikh Wan Daud bin Mustafa al-Fathani (1283 H/1866 M – 1355 H/1936 M), Mufti Pulau Pinang Haji Abdullah Fahim serta ulama’ lainnya.
Syeikh Muhammad Mahfuz Termas termasuk salah seorang ulama nusantara yang banyak menghasilkan karangan dalam bahasa Arab seperti halnya ulama’-ulama nusantara lainnya yang bermukim di Mekah, seperti Syeikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syeikh Abdul Hamid Kudus.

Diantara karangan-karang beliau adalah :

1. As-Siqayatul Mardhiyah fi Asamil Kutubil Fiqhiyah li Ashabinas Syafi’iyah, Selesai penulisan pada hari Jum’at, Sya’ban 1313 H. Dicetak oleh Mathba’ah at-Taraqqil Majidiyah al-’Utsmaniyah, Mekah (tanpa tahun).

2. Muhibah zil Fadhli `ala Syarh al-’Allamah Ibnu Hajar Muqaddimah Ba Fadhal), kitab ini terdiri dari empat jilid. Jilid pertama diselesaikan pada 25 Safar 1315 H,. Jilid kedua diselesaikan pada hari Jum’at, 27 Rabiulakhir 1316 H. Jilid ketiga diselesaikan pada malam Ahad, 7 Rejab 1317 H. Jilid keempat, diselesaikan pada malam Rabu, 19 Jamadilakhir 1319 H. Dicetak oleh Mathba’ah al-’Amirah asy-Syarfiyah, Mesir, 1326 H.

3. Kifayatul Mustafid lima `ala minal Asanid, diselesaikan pada hari Selasa, 19 Safar 1320 H. Kandungannya membicarakan pelbagai sanad keilmuan Muhammad Mahfuz bin Abdullah at-Tarmasi/at- Tirmisi. Dicetak oleh Mathba’ah al-Masyhad al-Husaini, No. 18 Syari’ al-Masyhad al-Husaini, Mesir (tanpa tahun). Kitab ini ditashhih dan ditahqiq oleh Syeikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani al-Makki, al-Mudarris Daril `Ulumid Diniyah, Mekah

4. Manhaj Zawin Nazhar fi Syarhi Manzhumati `Ilmil Atsar, diselesaikan pada tahun 1329 H/1911 M. Kandungannya membicarakan Ilmu Mushthalah Hadits merupakan Syarh Manzhumah `Ilmil Atsar karangan Imam Jalaluddin as-Suyuthi. Kitab ini merupakan bukti bahwa ulama nusantara mampu menulis ilmu hadis yang demikian tinggi nilainya. 

Kitab ini menjadi rujukan para ulama di belahan dunia terutama ulama-ulama hadis. Dicetak oleh Mathba’ah Mushthafa al-Baby al-Halaby wa Auladuhu, Mesir, 1352 H/1934 M. Cetakan dibiayai oleh Syeikh Salim bin Sa’ad bin Nabhan wa Akhihi Ahmad, pemilik Al-Maktabah An-Nabhaniyah Al-Kubra, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.

5. Al-Khal’atul Fikriyah fi Syarhil Minhatil Khairiyah, belum diketahui tarikh penulisan. Kandungannya juga membicarakan hadits merupakan Syarh Hadits Arba’in.

6. Al- Badrul Munir fi Qira-ati Ibni Katsir.
7.. Tanwirus Shadr fi Qira-ati Ibni `Amr
8. Insyirahul Fawaid fi Qira-ati Hamzah
9. Ta’mimul Manafi’ fi Qira-ati Nafi’.
10. Al-Fawaidut Tarmasiyah fi Asamil Qira-ati `Asyariyah, Syeikh Yasin Padang menyebut bahawa kitab ini pernah diterbitkan oleh Mathba’ah al-Majidiyah, Mekah, tahun 1330 H.
11. Is’aful Mathali’ Syarhul Badril Lami’

Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa karangan Syaikh Mahfudz mencapai lebih 20 karangan
Syaikh Mahfudz Termas, dengan berbagai karya dalam berbagai disiplin ilmu, beliau lebih terkenal sebagai pakar dalam bidang hadits, baik Dirayah Hadits, Mushthalah Hadits maupun Rijal Hadits dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar