Translate

Minggu, 02 Desember 2018

Makna Filosofi Dalam Ricikan Keris

Keris dalam masyarakat Jawa, sekarang digunakan untuk pelengkap busana Jawa, keris sendiri memiliki banyak filosofi yang masih erat dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat Jawa. Makna filosofis yang terkandung dalam sebuah keris sebenarnya bisa dilihat mulai dari proses pembuatan hingga menjadi sebuah pusaka bagi pemiliknya. Seiring berjalannya waktu dan modernisasi, kita sadari bahwa perlu dilakukan pelestarian terhadap warisan leluhur ini agar tidak terkikis akan perkembangan jaman,  keris atau dalam bahasa jawa disebut tosan aji, merupakan penggalan dari kata tosan yang berarti besi dan aji berarti dihormati, jadi keris merupakan perwujudan yang berupa besi dan diyakini bahwa kandungannya mempunyai makna yang harus dihormati, bukan berarti harus disembah-sembah tetapi selayaknya dihormati karena merupakan warisan budaya nenek moyang kita yang bernilai tinggi.

Bila kita merunut dari pembuatnya atau yang disebut empu, ini mempunyai sejarah dan proses panjang dalam membuat atau menciptakan suatu karya yang mempunyai nilai estetika yang tinggi. Empu menciptakan keris bukan untuk membunuh tetapi mempunyai tujuan lain yakni sebagai piyandel atau pegangan yang diyakini menambah kewibawaan dan rasa percaya diri, ini dapat dilihat dari proses pembuatannya pada zaman dahulu. Membuat keris adalah pekerjaan yang tidak mudah, membutuhkan sebuah keuletan, ketekunan, dan mental yang kuat, sehingga para pembuat harus meminta petunjuk dari Tuhan melalui  laku / berpuasa, tapa / bersemadi dan sesaji untuk mendapatkan bahan baku.

Posisi keris sebagai pusaka mendapat perlakuan khusus mulai dari proses menyimpan, membuka dari sarung sampai dengan merawatnya, hal ini sudah merupakan tradisi turun temurun yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa yang masih meyakini. Kekuatan spiritual didalam keris diyakini dapat menimbulkan satu perbawa atau sugesti kepada pemiliknya. Menilik Pada masa kerajaan Majapahit,  keris terbagi menjadi 2 kerangka yang saat ini masih menjadi satu acuan si empu atau pembuat keris, yakni rangka Gayaman dan rangka Ladrang/Branggah. Saat ini rangka Gayaman banyak dipakai sebagai pelengkap busana Jawa Yogjakarta dan rangka Ladrang banyak dipakai sebagai pelengkap busana Jawa Surakarta.

Nilai atau makna filosofis sebuah keris bisa pula dilihat dari bentuk atau model keris, atau yang disebut dengan istilahdapur. Selain dari dapurnya, makna-makna filosofi keris juga tecermin dari pamor atau motif dari keris itu sendiri. Keris bukan lagi sebagai senjata, namun masyarakat Jawa memaknai bahwa keris sekarang hanya sebagai ageman atau hanya dipakai sebagai pelengkap busana Jawa yang masih mempunyai nilai spiritual religius, dan sebagai bukti manusia yang lahir, hidup dan kembali bersatu kepada Tuhan sebagai Manunggaling Kawulo Gusti.

Ricikan keris, selain merupakan elemen estetik yang mempercantik penampilan keris, sebenarnya mengandung banyak makna. Dalam ricikan ada pesan dan pengharapan yang berkaitan erat dengan hubungan antara manusia sebagai makhluk ciptaan dengan Sang Pencipta, Tuhan yang Maha Esa.

Tak dipungkiri bahwa keris memiliki makna sendiri bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Selama ini sebilah keris dimaknai sebagai simbol keabadian yaitu bersatunya lelaki (pesi) dan perempuan (gonjo) atau juga bersatunya bapa angkasa (pamor dari langit) dan ibu pertiwi (wesi).

Bahkan pemaknaan warongko manjing curigo, curigo manjing warongko (warangka yang membungkus bilah keris, dan bilah keris yang masuk dalam warangka) merupakan manifestasi dari ajaran Manunggaling Kawulo-Gusti yang benyak diugemi oleh masyarakat Jawa pada khususnya. Inti ajarannya adalah bahwa rasa sejati manusia sesungguhnya harus mencerminkan kehendak Tuhan yang Maha Esa.

Menyangkut ricikan keris yang lebih detil, sebenarnya juga dibuat dengan landasan kepasrahan kepada Dzat Pencipta yang Maha Agung. Mengapdi dan menyembah kepada Sang Pencipta. Seperti yang sudah dipahami selama ini bahwa pesimerupakan simbol lelaki, gonjo adalah simbol perempuan, maka wilah atau bilah keris merupakan lambang panembah jati kepada Tuhan. Wilah yang meruncing ke atas, menyiratkan bahwa manusia harus selalu mengerucut ke atas, menyiratkan bahwa manusia harus selalu mengerucut olah batin-nya menuju kepada cahaya Allah yang terang benderang. Sementara sisi tajam di samping kanan-kiri bilah menyiratkan bahwa dalam menyembah harus menggunakan tatanan lahir dan batin atau syariat dan marifat.

Ada-ada-yang membentuk garis tengah dari atas sogokan menuju ke ujung keris adalah peringatan agar manusia dalam bertindak harus selalu berhati-hati. Ini artinya perilaku manusia menjadi hal yang utama. Lis atau Gusen merupakan pengambaran hawa nafsu. Bungkul adalah lambang tekad yang sudah bulat.  Tekad untuk menyelesaikan semua pekerjaan dengan baik atau tekad untuk mencari ilmu yang bermanfaat. Dalam kebulatan tekad itu, manusia juga harus memiliki landasan bati yang luas yaitu kesediaan untuk memaafkan kesalahan orang lain dan dirinya sendiri. Landasan ini dilambangkan dalam blumbangan yang berarti kesabaran.

Ricikan janur yang terletak di antara sogokan merupakan nasehat agar manusia mesti bersifat luwes dan tidak kaku. Sebagai makhluk yang selalu menyembah kepada Allah SWT, manusia harus bersikap toleran kepada sesamanya-termasuk dalam perbedaan beragama. Greneng yang berbentuk dua huruf Jawa "dha" yang bisa dibaca "dhadha" bisa diartikan kejujuran. Seperti ada ungkapan lama : iki dadaku, endi dadamu? (ini dadaku, mana dadamu?), maka greneng melambangkan orang yang bicaranya selalu jujur dan terus terang.

Ricikan thingil memberi gambaran agar manusia itu mesti rendah hati dan tak suka pamer. Bila memiliki kelebihan ilmu, seharusnya tak perlu ditonjol-tonjolkan, karena kalau memang berilmu, nantinya juga akan dikenal orang lain. Sogokan mencerminkan tetang seseorang yang selalu ingin mengetahui tentang kebenaran sejati. Jadi manusia diharuskan untuk mengungkapkan tentang kebenaran, bukan hanya sekadar tahu sebatas kulit luarnya  saja. Namun dalam mencari  dan mencoba mengungkapkan kebenaran itu, manusia harus selalu waspada-berhati-hati agar tak merugikan manusia lain yang tak bersalah. Tikel alis dimaknai sebagai lambang kewaspadaan.

Sementara salah satu ricikan keris yang paling terkenal sekar kacang (kembang kacang) merupakan imbauan agar manusia meniru dan memakai ilmu padi : semakin berisi semakin menunduk. Kerendahan inilah yang selalu diingatkan karena manusia mudah tergelincir dalam sikap sombong dan arogan. Kedua sikap ini gampang menjatuhkan manusia dalam alam kebejatan dan kenistaan.

Gandhik menjadi cermin kapasrahan kepada Tuhan yang Maha Esa. Bentuk Gandhik yang agak miring merupakan lambang ketundukan hati terhadap Sang Pencipta. Dengan rasa yang selalu pasrah kepada Sang Ilahi, maka manusia akan lebih berhati-hati dalam berbicara. Semua ucapannya sudah dipikirkannya terlebih dahulu. Kehati-hatian dalam berbicara ini di dalam keris dilambangkan sebagai lambe gajah.

Manusia akan bisa menjalankan semua ajaran yang dicerminkan dalam bentuk-bentuk ricikan keris itu bila hati dan pikirannya dalam bentuk-bentuk ricikan keris itu bila hati dan pikirannya bersedia menerima nasihat luhur. Kesediaan menerima nasihat ini dilambangkan dalam bentuk sirah cecak pada gonjo. Sementara perhatiannya terpusat dengan seksama kepada orang pandai yang sedang memberi nasihat luhur kepadanya. Perhatian yang terfokus inilah disimbolkan oleh para empu keris dalam bentuk gulu meler-nya. Setelah menerima semua nasihat itu, yang bersangkutan akan mengikuti semua nasihat gurunya itu - dilambangkan dalam bentuk buntut urang yang terakhir, setelah semua langkah dipenuhi, makan manusia harus mengamalkan ilmunya yang telah diperolehnya itu. Seharusnya mengamalkan ilmu ini dimaknakan dalam bentuk sebit ron lontar.

Jadi pada dasarnya, ricikan keris merupakan lambang-lambang pengharapan dan doa bagi manusia yang mau ngugemi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar