Translate

Jumat, 07 Januari 2022

Sejarah Berdirinya Kadipaten Purwodadi Di Wilayah Magetan

 Sejarah Kabupaten Poerwodadie yang sekarang berada di Desa Purwodadi Kecamatan Barat Kab Magetan, tepatnya sebelah utara lapangan dan SDN Purwodadi, dari jauh sudah tampak tembok gerbangnya. Berdirinya Kabupaten Purwodadi berawal dari usaha Pemerintah Hindia Belanda untuk mengurangi kekuasaan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta atas wilayah Mancanegara Timur agar tunduk pada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, maka diadakan pertemuan seluruh bupati di wilayah resindensi Kediri dan Madiun di Desa Sepreh, Ngawi tahun 1830 (sekarang desa Legundi Kec. Karangjati)

Pada zaman dahulu desa Purwodadi sebenarnya adalah sebuah hutan, dan didirikanlah sebuah pemukiman penduduk hingga berdiri sebuah Kadipaten Purwodadi yang megah pada saat itu, dengan bangunan Kadipaten yang luasnya kurang lebih sekitar 4 hektar. Berdirinya Kadipaten ini menunjukan bahwa Purwodadi pada waktu itu memiliki peran penting terhadap Kabupaten Magetan pada masa Perang Diponegoro berlangsung. Desa Purwodadi merupakan sebuah desa yang terletak di perbatasan Kecamatan Barat dan Kecamatan Karangrejo, dan memiliki letak lapangan yang sangat strategis yang dahulunya ini adalah sebuah alun-alun kota dan dijadikan pasar pon pada saat Kadipaten Purwodadi masih aktif.

Semenjak kedatangan para priyayi dari Puro Mangkunegaran yang bernama Raden Ahmad, daerah hutan tersebut dirubahnya menjadi sebuah pemukiman penduduk pada hari senin kliwon bulan mulud (salah satu nama bulan Jawa). Beliau adalah seorang bangsawan dari Praja Mangkunegaran yang kalah perang dengan kompeni Belanda. Karena pada saat itu daerah Jawa Tengah telah menjadi daerah yang rawan serangan kompeni Belanda. Raden Ahmad mendapat saran dari Adipati Semarang untuk pergi ke daerah Gunung Lawu sebelah timur, akhirnya beliau dan para pengikutnya menerima masukan tersebut dan pergi ke arah Gunung Lawu ditemani dengan Raden Arya Damar putra dari Adipati Semarang. Setelah sampai disekitaran Gunung Lawu sebelah timur, Raden Arya Damar memberi saran kepada Raden Ahmad untuk berhenti dan mendirikan sebuah pemukiman di daerah tersebut (Sumarsini, 2015).

Seiring berjalannya waktu pemukiman semakin hari semakin ramai dan kedatangan rombongan bangsawan dari Yogyakarta dan meminta izin menidirikan sebuah benteng pertahanan untuk dijadikanlah Kadipaten pada waktu Perang Diponegoro berlangsung di daerah ini (sekitar tahun 1825). Perang Jawa (1825-30) adalah garis batas dalam sejarah Jawa dan Indonesia umumnya antara tatanan lama Jawa dan zaman modern. Itulah masa dimana untuk pertama kali sebuah pemerintahan kolonial Eropa menghadapi pemberontakan sosial yang berkobar di sebagian besar Pulau Jawa. Hampir seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta banyak daerah lain di sepanjang pantai utaranya, terkena dampak pergolakan itu. Dua juta orang, yang artinya sepertiga dari penduduk Jawa, terpapar oleh kerusakan perang; seperempat dari seluruh lahan pertanian yang ada, rusak; dan jumlah penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 orang (Carey 1976:52 catatan 1).

Bangsawan tersebut adalah anak dari Pangeran Diponegoro yang mendapatkan tugas dari ayahnya untuk mengikuti perang dan memperkuat daerah bumi Mataram agar terbebas dari penjajah Belanda dengan mendirikan benteng pertahanan dan Kadipaten. Anak kedua Pangeran Diponegoro yang datang menemui Raden Ahmad bernama R.M Dipokusumo/R.M Dipoatmodjo/Pangeran Abdul Aziz, beliau datang atas perintah dari ayahnya Pangeran Diponegoro yang dikenal oleh masyarakat sekitar dengan sebutan Sultan Erutjokro dan ditemani oleh para pengikutnya. Sebagai seorang pendiri dari Kadipaten Purwodadi atas perintah dari Pangeran Diponegoro, beliau diangkat sebagai Adipati resmi dan mempersiapkan prajurit-prajurit perang untuk melawan penjajah Belanda.

R.M Dipokusumo menjabat Adipati tidak terlalu lama, ini dikarenakan tugas beliau untuk melanjutkan amanah dari ayahnya dalam melawan penjajah Belanda di daerah lain, kemudian beliau menunjuk R.Ng Mangunnegoro sebagai Adipati sekaligus panglima perang di daerah ini, namun takdir berkata lain dimana R.Ng Mangunnegoro akhirnya gugur dalam medan pertempuran di daerah Bagi. Akhirnya posisi panglima perang digantikan oleh anaknya yang bernama R. Ng Mangunprawiro sekaligus sebagai Adipati di Kadipaten Purwodadi setelah “Perjanjian Sepreh”. Pada masa kepemimpinannya penjajah Belanda berhasil menguasai Magetan dan membaginya sistem pemerintahan di Magetan menjadi 7 daerah kekuasaan oleh Belanda, yang diputuskan dalam pertemuan semua Bupati se-wilayah Mancanegara Wetan pada 3-4 Juli 1830 di Desa Sepreh, Kabupaten Ngawi yang  mengharuskan Kadipaten Purwodadi untuk tunduk kepada pemerintah Belanda bersamaan dengan 7 Kadipaten lainnya di Magetan.

Pangeran Dipokusumo adalah anak kedua dari B.P.H Diponegoro/Pangeran Diponegoro/B.R.M Mustahar/R.M Ontowirjo/Sultan Ngabdulhamid Erutjokro Sayidin Panatagama Khalifat Rasulullah ing Tanah Jawa dari isteri pertamanya R. Ay Retno Madubrongto yang merupakan puteri kedua dari Kiai Gede Dadapan, ulama terkemuka dari Desa Dadapan, dekat Tempel-Sleman, daerah Yogyakarta (Carey 2014:26). Kadipaten tersebut diberi nama Kadipaten Purwodadi dikarenakan nama Purwodadi berasal dari kata “Purwo” yang berarti “wiwitan” dan “dadi” yang berarti “dumadi”, dengan maksut awal berdirinya sebuah Kadipaten.

Perjanjian Sepreh pada tahun 1830

Politik devide et impera Hindia Belanda, menghasilkan sebuah Perjanjian “Perjanjian Sepreh” pada tanggal 3-4 Juli 1830 atau tanggal 12-13 bulan suro 1758 tahun Je. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang dipimpin oleh Raad Van Indie Mr.Pieter Markus, Ridder Van de Orde Van de Nederlandsche leeuw, Commisaris ter Regelling de Vorstenlanden dalam rangka mengatur daerah-daerah Mancanegara Timur Kasunanan Surakarta atau Kasultanan Yogyakarta. Pertemuan itu diikuti oleh semua bupati se-wilayah Mancanegara Wetan, pertemuan dilaksanakan di Desa Sepreh, Kabupaten Ngawi. Pada Pertemuan itu Hindia Belanda mengharuskan semua bupati Mancanegara Wetan untuk menolak kekuasaan Sultan Yogyakarta dan Susuhunan Surakarta dan harus tunduk kepada pemerintah Belanda di Batavia.

Dan akhirnya, pertemuan tersebut  menghasilkan sebuah “Perjanjian Sepreh Tahun 1830” yang ditandatangani dengan teraan-teraan cap dan bermaterai oleh 23 Bupati dari residensi Kediri dan residensi Madiun, dengan disaksikan oleh Raad Van Indie, Komisaris yang mengurus daerah-daerah Keraton serta tuan-tuan Van Lawick Van Pabst dan J.B. de Solis, residen Rembang. Berdasarkan persetujuan tersebut mulai saat itu Nederlandsch Gouverment melaksanakan pengawasan tertinggi dan menguasai daerah-daerah mancanegara.

Sejak tahun 1830 Kabupaten Magetan menjadi daerah jajahan Belanda. Pada masa itu yang menjabat Bupati Magetan adalah R.T. Sasrawinata (wafat tahun 1837). Kabupaten Magetan dipecah menjadi 7 daerah Kabupaten , yaitu :

1- Kabupaten Magetan I (kota) dengan Bupati R.T. Sasrawinata

2- Kabupaten Magetan II (Plaosan) dengan Bupati R.T. Purwawinata

3- Kabupaten Magetan III (Panekan) dengan Bupati R.T. Sastradipura

4- Kabupaten Magetan IV (Goranggareng Genengan) dengan Bupati R.T. Sasraprawiro yang berasal dari Madura.

5- Kabupaten Magetan V (Goranggareng Ngadirejo) dengan Bupati R.T. Sastradirya

6- Kabupaten Maospati (setelah ditinggalkan oleh Bupati wedana R. Ronggo Prawiradirja III), Bupatinya R.T. Yudaprawiro.

7- Kabupaten Purwodadi, Bupatinya R. Ngabehi Mangunprawiro (sejak tahun 1825 disebut R. Ngabehi Mangunnagara).

Pada tanggal 31 Agustus 1830, atau hampir dua bulan setelah Perjanjian Sepreh, pemerintahan Hindia Belanda mulai mengadakan penataan-penataan / pengaturan-pengaturan atas kabupaten-kabupaten yang telah berada dibawah pengwaasan dan kekuasaanya. Tentang penataan ini dapat dilihat dalam surat pemerintahan Hindia Belanda Y1.La.A.No.1, Semarang, 31 Agustus 1830, yang berisikan tentang hasil konperensi dari Gubernur Jendral dengan komisaris-komisaris yang mengurus / mengatur daerah-daerah keraton.

Dari hasil konferensi tersebut, kemudian keluar satu keputusan tentang rencana dari Pemerintah Hindia Belanda, yang antara lain menerangkan bahwa:

Pertama : Menentukan bahwa daerah mancanegara bagian timur akan terdiri dari dua residensi,  yaitu Residensi Kediri dan Residensi Madiun

Kedua             : Bahwa Residensi Madiun akan terdiri dari kabupaten-kabupaten: Magetan, Poerwodadie,  Toenggoel, Gorang-gareng, Djogorogo, Tjaruban dan kabupaten kecil di   wilayah  sekitar Madiun lainnya baik batas dari kabupaten-kabupaten maupun distrik  juga akan diatur kemudian.

Ketiga              : Bahwa Residensi Kediri akan terdiri dari kabupaten-kabupaten : Kedirie, Kertosono,  Ngandjoek, Berbek, Ngrowo(Tulungagung) dan Kalangbret. Selanjutnya dari distrik-distrik Blitar, Trenggalek, Kampak dan yang lebih ke Timur sampai dengan batas-batas dari Malang: baik batas dari kabupaten-kabupaten maupun distrik-distrik juga akan diatur kemudian.

Panglima perang Pangeran Diponegoro di daerah Magetan-Madiun-Ngawi

Pada waktu permulaan perang Diponegoro di daerah Madiun, para Bupati di wilayah Madiun yang memimpin perang sebagai Panglima daerah adalah sebagai berikut :

– Raden Mas Tumenggung Prawirodirjo III ( saudara sepupu Pangeran Diponegoro )

– Raden Mas Tumenggung Prawirosentiko, Bupati kepala II di Tunggul/ Wonokerto

– Raden Mas Tumenggung Surodirjo, Bupati Keniten

– Raden Mas Tumenggung Yudoprawiro, Bupati Maospati

– Raden Mas Tumenggung Yudokusumo, Bupati Muneng

– Raden Mas Tumenggung Surodiwiryo, Bupati Bagij

– Raden Ngabehi Mangunprawiro, Bupati Purwodadi

Pemimpin peperangan yang berasal dari Madiun ada dua orang yaitu : Mas Kartodirjo dan Raden Ngabehi Mangunprawiro, putra Raden Tumenggung Mangunnegoro yang telah gugur dalam medan perang, selaku panglima perang Pangeran Diponegoro. Awal perang terjadi di Kota Ngawi, Kawuh, Gerih dan Kudur Bubuk semuanya di perbatasan Kabupaten Madiun

Adipati yang pernah memimpin di Kadipaten Purwodadi

Pada tahun 1870 Kadipaten Purwodadi dihapuskan. Berturut-turut yang menjabat Adipati di Purwodadi setelah ”Perjanjian Sepreh” adalah :

Mangunprawiro alias R. Ng. Mangunnagara
Ranadirja
Sumodilaga
Surakusumo
T. Sasranegara (1856-1870). 

Sebelum perjanjian sepereh ada dua pemimpin yang menjabat yaitu : Pangeran Dipokusumo/R.M Dipoatmodjo dan Kandjeng Pangeran Mangunnegoro (yang meninggal dalam pertempuran Perang Diponegoro di daerah Desa Bagi). Kadipaten Purwodadi pada saat itu Adipati yang menjabat adalah Kandjeng Pangeran Mangunnegoro yang sangat benci dan menentang kompeni Belanda semenjak Gubernur Jenderal Daendels, yang akhirnya juga jatuh ke tangan Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1830.

Beberapa Adipati yang menjabat di Kadipaten Purwodadi merupakan pengikut setia dari Pangeran Diponegoro, seperti R. Ng Mangunnegoro dan R.Ng Mangunprawiro yang ditunjuk sebagai panglima perang di daerah Magetan-Madiun-Ngawi selama perang berlangsung. Nama beliau juga sudah tercatat dalam berbagai buku yang menerangkan kisah perang Pangeran Diponegoro. Setelah Kadipaten Purwodadi berhasil dikuasai oleh Belanda, dimana seperti diterangkan dalam isi perjanjian sepreh bahwa Kadipaten Purwodadi harus tunduk kepada pemerintahan Belanda. Semenjak saat itu Kadipaten Purwodadi yang sangat anti dan melawan Belanda, akhirnya jatuh juga ke tangan Belanda pada tahun 1830. Dari situ Belanda mempunyai wewenang penuh untuk mengatur semua sistem pemerintahan yang ada. Hingga pada tahun 1870 Belanda mengeluarkan sebuah keputusan yang menerangkan bahwa Kadipaten Purwodadi dileburkan menjadi satu dengan Kabupaten Magetan.

Dibaginya menjadi dua desa dan rentetan kepala desa.

Kemudian setelah Kadipaten Purwodadi dihapuskan pada tahun 1870 pada era R.M.T Sasranegara dan akhirnya Kadipaten Purwodadi dileburkan menjadi satu dengan Kabupaten Magetan. Hingga akhirnya Purwodadi diubahnya menjadi daerah kademangan yang dipimpin oleh seorang “Demang” yang bernama R. Madijosentono. Oleh demang R. Madijosentono, Purwodadi dibaginya menjadi 2  desa yang bernama :

1- Temulus, yang dipimpin oleh Sastro Gatok
2- Purwodadi, yang dipimpin oleh Marto Ikromo

Setelah beberapa bulan menjabat kedua kepala desa tersebut meninggal dunia dan digantikan oleh Riwuk untuk desa Purwodadi dan Martowidjojo-Ingsun untuk desa Temulus. Tidak lama kemudian Riwuk mengundurkan diri dan digantikan oleh R.M Kromoredjo ( Mbah Gong ) yang ditunjuk langsung oleh R.M.A Kertohadinegoro ( Gusti Ridder ) seorang Bupati Magetan. Pada saat penunjukan Mbah Gong sebagai kepala desa, Gusti Ridder turun langsung untuk mencari beliau yang saat itu berada di Pasar hewan.

R.M Kromoredjo yang mempunyai nama kecil (asma timur) R.M Kasio merupakan cucu dari R.M Dipokusumo dari puteranya yang bernama R.M Dipokromo. Beliau menjabat sebagai Kepala Desa Purwodadi dari tahun 1902 sampai 1920. Pada masa kepemimpinannya datanglah seseorang yang mengaku seorang bangsawan dari Yogyakarta yang bernama R.M Papak (Gusti Papak) dan ingin mendiami bangunan bekas Kadipaten Purwodadi. Beliau mengaku sebagai cucu dari Nyi Ageng Serang dan sama-sama keluarga Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang ikut membantu selama Perang Diponegoro berlangsung di daerah perbatasan Magetan-Madiun-Ngawi.

Saat itu Martowidjojo-Ingsun hanya menjabat sebagai Kepala Desa Temulus dengan waktu yang singkat, ini dikarenakan waktu itu beliau telah memberikan ijin kepada orang yang mengaku R.M Papak untuk tinggal didalam Kadipaten Purwodadi, dan diketahuinya oleh Gusti Ridder yang menjabat sebagai Bupati Magetan. Kejadian itu membuat Gusti Ridder marah besar dan memberhentikan jabatan Martowidjojo-Ingsun sebagai Kepala Desa Temulus, dan digantikan oleh Pontjodirjo yang merupakan anak menantu dari Martowidjojo-Ingsun.

Niat dari orang yang mengaku sebagai R.M Papak digagalkan oleh R.M Kromoredjo/Mbah Gong atas perintah dari Gusti Ridder, setelah kedatangan orang tersebut Mbah Gong langsung datang ke Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menemui Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk mengecek kebenaranya dan ternyata beliau bukan R.M Papak yang sebenarnya. Ini dikarenakan bahwa R.M Papak cucu Nyi Ageng Serang yang sebenarnya telah meninggal pada tahun 1836 dan ayahnya diasingkan di Ambon pada tahun 1840. Kemudian bangunan pendopo ageng beserta bangunan-bangunan lainya didalam tembok Kadipaten Purwodadi dibongkar dan dibawa penjajah Belanda untuk menambah sebuah bangunan di Kantor Residensi Madiun. Semenjak itu tanah Kadipaten Purwodadi diijinkan oleh pihak Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat untuk dimiliki R.M Kromoredjo/Mbah Gong beserta keturunannya secara turun-temurun.

Akhirnya Gusti Ridder mengeluarkan sebuah peraturan untuk menjadikan kedua desa tersebut (Purwodadi dan Temulus) menjadi satu yaitu dengan nama “Desa Purwodadi”. Setelah itu diadakanlah pemilihan Kepala Desa Purwodadi yang dipilih langsung oleh rakyat, untuk pertama kalinya dan dimenangkan oleh Dandel/Toredjo. Beliau merupakan anak menantu dari Mbah Gong dan merupakan Kepala Desa pertama setelah bersatunya Purwodadi dan Temulus (R. Hardjo Wijono Parmin)

Cerita dibalik “BONJERO”

Wilayah  Kadipaten Purwodadi dibentuk pada masa Orloog op Java / Perang Jawa pada tahun 1825-1830 yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Dengan maksud dan tujuan untuk benteng pertahanan Perang Diponegoro dan dijadikan Kadipaten Purwodadi yang berdiri megah yang akhirnya pada tahun 1830 jatuh ditangan Belanda.

Wilayah tersebut pada akhirnya dilebur menjadi wilayah Regent van Magettan / Kabupaten Magetan pada tahun 1870 dimana Adipati terakhirnya pada waktu itu adalah R.M.T Sasranegara. Peninggalan Kadipaten Purwodadi saat ini berupa benteng baluwarti, kompleks makam kuno, bekas petirtaan, serta wilayah-wilayah yang dahulunya berfungsi sebagai pendukung sebuah wilayah pemerintahan (Alun-Alun, Kauman/Pengulon, Pandean, Kepatihan, Kademangan, Katemenggungan dll)

Pada saat Mbah Gong berhasil menggagalkan niat dari R.M Papak untuk tinggal di Ndalem Kadipaten, waktu itu beliau melapor kepada Wedono Maospati agar disampaikan kepada Gusti Ridder. Setelah Gusti Ridder mengetahui dan mengecek langsung di Ndalem Kadipaten, saat itu juga Mbah Gong diberi hadiah berupa 8 keris pusaka, 2 meja rias, 1 kursi tempat duduk dan 10 tanduk rusa yang salah satunya dibawa bapak Harmoko (mantan Ketua MPR-RI pada masa pemerintahan B.J Habibie).

Ada satu mitos yang berkembang di masyarakat sekitar tentang Ndalem Kadipaten ini, yaitu tentang kepemilikan tanah didalam tembok bekas Kadipaten ini. Dimana mitos yang beredar di masyarakat adalah pemilik dari tanah bekas Kadipaten Purwodadi ini harus masih trah/keturunan dari Mbah Gong yang garis laki-laki. Hal ini dikarenakan Mbah Gong adalah cucu buyut laki-laki dari Pangeran Diponegoro yang diberi amanah untuk memegang alih tanah bekas Kadipaten Purwodadi. Mbah Gong dulu berpesan kepada anak-anaknya bahwa tanah ini tidak boleh jatuh ke darah keluarga lain karena ini sudah amanah dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII  pada saat beliau membayar tanah ini kepada Keraton. Dikawatirkan orang yang bukan trahnya nanti tidak kuat untuk memiliki tanah bekas Kadipaten ini. Saat itu Ngarsa Dalem juga besrpesan kepada Mbah Gong bahwa tanah ini jangan dulu didirikan bangunan pendopo didalamnya selama masih ada keributan terjadi, hal ini untuk menjaga keutuhan didalamnya dan selama itu tanah ini harus ditanami tanaman yang hasilnya bisa dimakan oleh masyrakat apapun itu hasilnya. Dari situ bekas Kadipaten ini disebut dengan nama “Bonjero” atau bahasa halusnya “Kebon Dalem”, kebon berarti kebun dan jero berarti dalam.

Tidak hanya itu, pada saat zaman penjajahan Jepang, Jepang memiliki akal tidak baik dan ingin memanfaatkan batu bata bekas kadipaten ini untuk dibuat bangunan Bandara di Surabaya. Karena waktu itu yang memegang alih bekas Kadipaten ini adalah R.M Kromoredjo/Mbah Gong, penjajah Jepang meminta ijin kepada Mbah Gong. Dengan rasa berat hati, beliau memberi ijin penjajah Jepang untuk membawa batu bata pagar dari bekas Kadipaten Purwodadi ini karena saat itu Jepang memintanya dengan paksaan. Namun setelah dibawa oleh penjajah Jepang, dalam perjalanannya menurut cerita dari para pekerja yang ikut penjajah Jepang ada beberapa hal keanehan yang terjadi. Sesampainya batu bata di Surabaya, banyak dari pekerja dan penjajah Jepang yang meninggal misterius. Mereka banyak yang meninggal dengan keadaan perut buncit dan akhirnya meledak. Bahkan banyak dari warga sekitar, para pekerja Jepang dan penjajah Jepang yang mengalami kerasukan makhluk halus pada saat itu.

Banyak dari mereka yang bermimpi aneh yang menyuruh untuk mengembalikan batu bata itu ke tanah asalnya. Dalam mimpi mereka konon jika batu bata ini tidak dikembalikan ke asalnya di desa Purwodadi, maka tempat yang dibangun dengan menggunakan batu bata ini akan menjadi tempat yang angker dan memakan banyak korban sampai meninggal dunia. Pagar sebelah utara yang sudah dibongkar oleh Jepang akhirnya dikembalikan dan diserahkan kembali kepada R.M Kromoredjo/Mbah Gong kemudian ditata kembali oleh keluarga keturunannya yang dibantu masyrarakat Purwodadi atas perintah dari beliau. Masyarakat Purwodadi dengan penuh semangat dan kebersamaan menata kembali pagar bekas Kadipaten ini. Pada waktu itu penjajah Jepang maupun para pekerjanya merasa ketakutan akan hal ini dan mereka tidak mau mengambil resiko yang lebih parah karena saat itu sudah memakan banyak korban nyawa maupun korban dari masyarakat yang banyak mengalami kerasukan makhluk halus.

Bonjero dahulu merupakan pusat pemerinatahan yang sangat ramai, ini juga ditandai dengan beberapa tempat dan daerah sebagai bukti otentik yang menunjukan bahwa di Desa Purwodadi dahulu adalah pusat pemerintahan yang benar-benar berlangsung di daerah ini. Selain pagar dari Kadipaten Purwodadi yang masih berdiri kokoh di desa ini juga terdapat peninggalan-peninggalan bersejarah lainnya maupun nama daerah yang menjadi ciri khas daerah pusat pemerintahan, seperti terdapat Dukuh Beteng (Kelurahan Mangge), Desa Kauman, Desa Patihan dan Desa Temenggungan disekitar daerah ini.

Secara geografis letak Desa Purwodadi berdampingan dengan Desa Kauman dan Desa Patihan. Ini salah satu tanda bahwa dimana ada pusat pemerintahan disitu ada alun-alun, pasar, daerah Beteng, daerah Kauman, daerah Kepatihan, daerah Katemenggungan, tempat pande besi dll. Begitupun juga dengan Desa Purwodadi yang memiliki ciri-ciri seperti tersebut. Lapangan Desa Purwodadi yang dahulu adalah sebuah alun-alun dan berdampingan dengan pasar, ditambah sebelah barat alun-alun (sekarang lapangan sepak bola Desa Purwodadi) terdapat masjid yang sekarang dijadikan makam keluarga dari R. Abdoel Moestofa yang dahulu merupakan seorang penghulu saat Kadipaten Purwodadi masih aktif. Beliau juga pernah menjabat sebagai A.W atau Asistan Wedono Karangmojo. Masjid tersebut sekarang berada didalam tembok makam keluarga yang banyak terdapat makam orang-orang hebat negeri ini didalamnya.

Sebelah barat alun-alun bernama Desa Kauman yang dimaksutkan bahwa ada pendekatan secara agama di daerah ini pada waktu itu. Oleh sebab itu masjid agung yang sekarang menjadi pemakaman keluarga berada di Desa Kauman, Kecamatan Karangrejo. Dimana di desa ini merupakan industri gamelan jawa yang terkenal di Magetan maupun daerah-daerah lain sampai saat ini. Disamping Desa Kauman, juga terdapat Desa Patihan yang berdampingan dengan Desa Purwodadi. Desa ini dahulu merupakan untuk kediaman para patih dari Kadipaten Purwodadi.

Adapun ciri lain adalah terdapat daerah untuk tempat pande besi waktu itu yang diwariskan secara turun-temurun namun sekarang sudah tidak diteruskan lagi oleh keluarganya. Tempat tersebut berada disebelah barat alun-alun juga. Beberapa tempat pande besi ini untuk mengolah dan membuat alat-alat dari besi yang digunakan untuk kebutuhan masyrakat pada waktu itu seperti bercocok tanam dan lain sebagainya

Disekitaran Kadipaten Purwodadi juga terdapat beberapa rumah yang masih trah/keturunan untuk tetap menjaga bentuk dan struktur bangunan jawa yang kita kenal dengan sebutan rumah joglo dimana terdapat pendopo didalam rumahnya. Sebagai contoh rumah dari R.M Kromoredjo/Mbah Gong dan rumah anaknya R. Ngt Klumpuk yang masih terjaga bentuk khas adat Jawanya. Bahkan didalam rumah R. Ngt Klumpuk masih tersimpan gamelan Jawa yang Gong besarnya asli dari Keraton. Gong besar tersebut diberi nama Kyai Mbelem, gong besar ini sebelum dipakai untuk acara ada tradisi khusus yang dilakukan seperti di Keraton zaman dahulu yang tetap dijaga sampai sekarang untuk melestarikan tradisi dan budaya Keraton. Selain itu untuk memindahkan gong Kyai Mbelem tersebut tidak boleh dinaikan kendaraan melainkan harus digotong sejauh apapun itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar