عن جابر بن عبد الله لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أَصَابَ الدَّوَاءُ الدَّاءَ، بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)
عن اسامة: كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَجَاءَتِ اْلأَعْرَابُ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَنَتَدَاوَى؟ فَقَالَ: نَعَمْ يَا عِبَادَ اللهِ، تَدَاوَوْا، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ شِفَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ. قَالُوا: مَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ
Aku pernah berada di samping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu datanglah serombongan Arab dusun. Mereka bertanya,“Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?” Beliau menjawab: “Iya, wahai para hamba Allah, berobatlah. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya: “Penyakit apa itu?” Beliau menjawab: “Penyakit tua.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi, beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih.
Ilmu kedokteran mendapatkan kedudukan yang tinggi di dalam agama Islam, terlepas dari keadaan mahalnya biaya masuk fakultas kedokteran di Indonesia. Ini juga terlepas dari banyaknya sikap materialisme yang mengotori dunia kedokteran kita. Secara asal, ilmu ini mendapat tempat yang tinggi di dalam Islam.
Jika seseorang tidak berhasil menguasainya –yaitu menjadi dokter. setidaknya ia menjadi perawat atau bidan atau ahli-ahli lain yang merupakan bagian dari ilmu kedokteran. Syukur-syukur ia berhasil mendapatkan brevet dokter spesialis penyakit tertentu.
Motivasi Menjadi Dokter
Di antara tujuan menjadi dokter dan mempelajari ilmu kedokteran adalah untuk menyingkap rahasia obat dari suatu penyakit. Perkembangan ilmu kedokteran juga akan meningkatkan optimisme kaum muslimin di dalam menghadapi penyakit setelah berharap rahmat dan kesembuhan dari Allah Azza wa Jalla.
Ini karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
“Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, kecuali Ia telah menurunkan obatnya.” (HR. al-Bukhari: 5246, Ibnu Majah: 3430 dari Abu Hurairah radliyallahu anhu).
Dalam riwayat lain terdapat tambahan:
فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Jika obat tepat mengenai penyakitnya maka sembuhlah dengan seijin Allah Azza wa Jalla.”(HR. Muslim: 4084, Ahmad: 14070 dari Jabir radliyallahu anhu).
Dalam riwayat lain juga terdapat tambahan:
عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ
“Orang berilmu mengetahuinya, sedangkan orang bodoh tidak mengetahuinya.” (HR. Ahmad: 4015, al-Hakim dalam al-Mustadrak: 8205 (4/441) dan di-shahih-kan olehnya serta disepakati oleh adz-Dzahabi dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu anhu. Al-Albani men-shahih-kannya dalam Silsilah ash-Shahihah: 451).
عن جابر بن عبد الله لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أَصَابَ الدَّوَاءُ الدَّاءَ، بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)
عن اسامة: كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَجَاءَتِ اْلأَعْرَابُ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَنَتَدَاوَى؟ فَقَالَ: نَعَمْ يَا عِبَادَ اللهِ، تَدَاوَوْا، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ شِفَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ. قَالُوا: مَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ
Aku pernah berada di samping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu datanglah serombongan Arab dusun. Mereka bertanya,“Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?” Beliau menjawab: “Iya, wahai para hamba Allah, berobatlah. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya: “Penyakit apa itu?” Beliau menjawab: “Penyakit tua.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi, beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih.
إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, demikian pula Allah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud dari Abud Darda` radhiallahu ‘anhu)
Hadits di atas menunjukkan betapa pentingnya belajar ilmu kedokteran untuk mengetahui obat dari suatu penyakit.
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:
قال القاضي فى هذه الأحاديث جمل من علوم الدين والدنيا وصحة علم الطب وجواز التطبب فى الجملة
“Al-Qadli berkata: “Di dalam hadits-hadits ini terdapat beberapa jumlah ilmu agama dan ilmu duniawi, sertasah atau legalnya ilmu kedokteran dan bolehnya membuka praktek kedokteran secara global.” (Syarh an-Nawawi ala Muslim: 14/191).
Al-Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata:
وفي هذا: الترغيب في تعلم طب الأبدان، كما يتعلم طب القلوب، وأن ذلك من جملة الأسباب النافعة. وجميع أصول الطب وتفاصيله، شرح لهذا الحديث. لأن الشارع أخبرنا أن جميع الأدواء لها أدوية. فينبغي لنا أن نسعى إلى تعلمها، وبعد ذلك إلى العمل بها وتنفيذها.
“Di dalam hadits ini terdapat anjuran mempelajari kedokteran badan sebagaimana mempelajari kedokteran hati. Dan bahwa ilmu kedokteran itu termasuk sebab-sebab yang bermanfaat (untuk sembuhnya penyakit, pen). Semua dasar serta cabang dan perincian ilmu kedokteran menjadi syarah (penjabaran) bagi hadits ini, karena Syari’ (Allah dan Rasul) telah memberitahu kita bahwa setiap penyakit terdapat obatnya. Maka hendaknya kita berusaha mempelajarinya. Dan setelah itu mengamalkan dan melaksanakan ilmu tersebut.” (Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu Uyunil Akhyar: 177).
Yang dimaksud oleh as-Sa’di tentang ‘dasar dan perincian ilmu kedokteran’ –menurut Penulis- adalah ilmu kedokteran dasar seperti anatomi, histologi, fisiologi dan biokimia. Kemudian ilmu kedokteran preklinik seperti: farmakologi, patofisiologi, patologi anatomi, mikrobiologi dan parasitologi. Kemudian kedokteran klinik seperti ilmu penyakit dalam, ilmu bedah, ilmu kebidanan dan kandungan, ilmu penyakit anak, dan sebagainya. Wallahu a’lam.
Dokter dalam Al-Quran
Peran dokter juga sedikit disinggung di dalam Al-Quran. Allah Azza wa Jalla berfirman:
كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ () وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ
“Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat mengobati?”(QS. Al-Qiyamah: 26-27).
Al-Imam Abu Qilabah rahimahullah menafsirkan:
( وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ ) قال: هل من طبيب شاف.
“Ayat “Siapakah yang dapat mengobati?”, beliau berkata: “Adakah seorang dokter yang bisa menyembuhkan?” (Atsar riwayat Ath-Thabari dalam tafsirnya: 24/75). Demikian pula menurut penafsiran Al-Imam adl-Dlahhak bin Muzahim, Al-Imam Qatadah dan Al-Imam Ibnu Zaid rahimahumullah. (Lihat Tafsir ath-Thabari: 24/75).
Dari ayat di atas terdapat pelajaran bahwa seseorang yang sakit boleh dipanggilkan dokter, hanya saja dokter tidak dapat mengobati seseorang dari penyakit kematian.
Memilih Dokter yang Paling Mahir
Zaid bin Aslam rahimahullah berkata:
أَنَّ رَجُلًا فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَابَهُ جُرْحٌ فَاحْتَقَنَ الْجُرْحُ الدَّمَ وَأَنَّ الرَّجُلَ دَعَا رَجُلَيْنِ مِنْ بَنِي أَنْمَارٍ فَنَظَرَا إِلَيْهِ فَزَعَمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُمَا أَيُّكُمَا أَطَبُّ فَقَالَا أَوَ فِي الطِّبِّ خَيْرٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَزَعَمَ زَيْدٌ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَنْزَلَ الدَّوَاءَ الَّذِي أَنْزَلَ الْأَدْوَاءَ
“Bahwa seseorang di jaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terkena luka. Kemudian luka tersebut mengeluarkan darah. Orang tersebut memanggil 2 orang dari Bani Anmar, kemudian keduanya memeriksa orang tersebut. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata kepada keduanya:“Siapakah yang paling mengerti ilmu kedokteran di antara kalian berdua?” Keduanya bertanya:“Memangnya di dalam ilmu kedokteran terdapat kebaikan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab:“Dzat yang menurunkan penyakit telah menurunkan obatnya.” (HR. Malik dalam al-Muwaththa: 1689 (2/943) dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya: 23886 (7/361). Riwayat ini mursal karena Zaid bin Aslam tidak pernah bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam).
Al-Allamah Abul Walid al-Baji rahimahullah berkata:
(أَيُّكُمَا أَطَبُّ) يَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيدَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم الْبَحْثَ عَنْ حَالِهِمَا وَمَعْرِفَتَهُمَا بِالطِّبِّ ؛ لِأَنَّهُ لَا يَصْلُحُ أَنْ يُعَالَجَ إِلَّا بِعِلَاجِ مَنْ لَهُ عِلْمٌ بِالطِّبِّ
“Ucapan “Siapakah yang paling mengerti ilmu kedokteran di antara kalian berdua?” memberikan kemungkinan makna bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ingin membahas keadaan dan keilmuan kedua orang tersebut tentang ilmu kedokteran, karena tidaklah pantas mengobati kecuali dengan pengobatan orang yang mengerti ilmu kedokteran.” (Al-Muntaqa Syarhul Muwaththa: 4/362).
Beliau juga berkomentar:
وَفِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الطِّبَّ مَعْنًى صَحِيحٌ وَلِذَلِكَ سَأَلَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم عَنْ أَفْضَلِهِمَا فِيهِ
“Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa kedokteran merupakan makna (baca: definisi) yang benar. Oleh karena itu Nabi shallallahui alaihi wasallam bertanya kepada keduanya tentang yang paling utama dalam ilmu kedokteran di antara keduanya.” (Al-Muntaqa Syarhul Muwaththa: 4/362).
Maksud al-Baji adalah bahwa dokter yang dikenal di masa dahulu adalah sama juga dengan dokter yang kita kenal sekarang ini. Hanya saja keilmuan dokter terus berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dokter di Jaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Disebutkan dalam kitab-kitab tarikh bahwa seorang dokter Arab yang terkenal pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah Harits bin Kaldah ats-Tsaqafi. (Usudul Ghabah: 1/218).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ibnu Mandah meriwayatkan dari jalan Ismail bin Muhammad bin Sa’ad dari bapaknya. Ia berkata:
مرض سعد فعاده النبي صلى الله عليه و سلم فقال إني لأرجو أن يشفيك الله ثم قال للحارث بن كلدة عالج سعدا مما به
“Sa’ad bin Abi Waqqash mengalami sakit (di Makkah). Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjenguknya dan berkata: “Sesungguhnya aku berharap agar Allah menyembuhkanmu. Kemudian beliau berkata kepadaHarits bin Kaldah: “Obatilah Sa’ad dari penyakitnya!” (Al-Ishabah fi Tamyiizish Shahabah: 1/595).
Al-Hafizh juga berkata: “Al-Imam Ibnu Abi Hatim berkata:
لا يصح إسلامه وهذا الحديث يدل على جواز الاستعانة بأهل الذمة في الطب
“Tidak sah keislaman Harits bin Kaldah. Hadits ini menunjukkan bolehnya meminta bantuan kepada kafir dzimmi dalam bidang kedokteran.” (Al-Ishabah fi Tamyiizish Shahabah: 1/595).
Interaksi antara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan Para Dokter
Selain riwayat di atas, terdapat beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga menghargai profesi kedokteran.
Hilal bin Yasaf rahimahullah meriwayatkan dari Dzakwan dari seseorang kaum Anshar radliayallahu anhu, ia berkata:
عَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا بِهِ جُرْحٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ادْعُوا لَهُ طَبِيبَ بَنِي فُلَانٍ قَالَ فَدَعَوْهُ فَجَاءَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَيُغْنِي الدَّوَاءُ شَيْئًا فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَهَلْ أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ دَاءٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا جَعَلَ لَهُ شِفَاءً
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjenguk seseorang yang terkena luka. Maka beliau berkata:“Panggilkan untuknya dokter Bani Fulan!” Mereka berkata: “Wahai Rasulullah! Apakah obat bisa menolongnya?” Beliau menjawab: “Maha suci Allah, bukankah Allah tabaraka wata’ala tidak menurunkan penyakit di bumi kecuali Ia telah menjadikan obat untuk penyakit tersebut?” (HR. Ahmad dalam Musnadnya: 22074. Isnadnya di-shahih-kan oleh al-Albani dalam Ghayatul Maram: 292 dan Silsilah ash-Shahihah: 517).
Dari Jabir radliyallahu anhu, ia berkata:
بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ طَبِيبًا فَقَطَعَ مِنْهُ عِرْقًا ثُمَّ كَوَاهُ عَلَيْهِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengirimkan seorang dokter kepada Ubay bin Ka’ab. Maka dokter tersebut memotong satu otot Ka’ab kemudian meng-kay (baca: meng-couter, pen) otot tersebut.” (HR. Muslim: 4088, Abu Dawud: 3366, Ibnu Majah: 3484).
Al-Imam asy-Syafii dan Dunia Kedokteran
Beliau termasuk ulama yang sangat memperhatikan kemajuan dunia kedokteran. Al-Imam Rabi’ rahimahullah berkata:
سمعت الشافعي يقول: لا أعلم علما بعد الحلال والحرام أنبل من الطب، إلا أن أهل الكتاب قد غلبونا عليه.
“Aku telah mendengar al-Imam asy-Syafii berkata:“Aku tidak mengetahui ada ilmu setelah halal dan haram (ilmu fiqh, pen) yang lebih mencerdaskan daripada ilmu kedokteran.” (Siyar A’lamin Nubala’: 10/57).
Al-Imam Harmalah berkata:
كان الشافعي يتلهف على ما ضيع المسلمون من الطب، ويقول: ضيعوا ثلث العلم، ووكلوه إلى اليهود والنصارى
“Adalah al-Imam asy-Syafii menyayangkan ilmu kedokteran yang telah disia-siakan oleh kaum muslimin. Beliau berkata: “Mereka (kaum muslimin) telah menyia-siakan sepertiga ilmu (yaitu kedokteran, pen) dan menyerahkannya kepada kaum yahudi dan nashara.” (Siyar A’lamin Nubala’: 10/57).
Asal Usul Ilmu Kedokteran dan Perkembangannya
Al-Allamah Abuth Thayyib al-Azhim Abadi rahimahullah berkata:
وأما طب الجسد فمنه ما جاء في المنقول عنه صلى الله عليه و سلم ومنه ما جاء عن غيره وغالبه راجع إلى التجربة
“Adapun kedokteran badan, maka di antaranya ada yang datang dinukil dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Di antaranya juga ada yang berasal dari selain beliau dan kebanyakannya berasal dari hasil eksperimen.” (Aunul Ma’bud: 10/239).
Al-Allamah Ali al-Qari rahimahullah berkata:
واختلف في مبدأ هذا العلم على أقوال كثيرة والمختار أن بعضه علم بالوحي إلى بعض أنبيائه وسائره بالتجارب
“Dan diperselisihkan tentang asal usul ilmu ini (kedokteran, pen) menurut banyak pendapat. Pendapat terpilih adalah bahwa sebagian ilmu ini berasal dari wahyu yang diwahyukan kepada para nabi-Nya. Dan sebagian yang lainnya berasal dari hasil eksperimen.” (Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih: 13/254).
Ilmu kedokteran yang berasal dari eksperimen berkembang dengan sangat cepat. Banyak rahasia dalam tubuh manusia dan berbagai penyakit yang menimpanya serta terapinya diketahui dengan jelas melalui perkembangan ilmu kedokteran seiring perkembangan teknologi. Allah Azza wa Jalla berfirman:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi danpada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar.” (QS. Fushshilat: 53).
Maksud tanda-tanda kekuasaan Allah pada diri mereka sendiri adalah tersingkapnya ilmu dan teknologi kedokteran modern. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
ويحتمل أن يكون المراد من ذلك ما الإنسان مركب منه وفيه وعليه من المواد والأخلاط والهيئات العجيبة، كما هو مبسوط في علم التشريح الدال على حكمة الصانع تبارك وتعالى.
“Di antara kemungkinan makna ‘tanda-tanda kekuasaan Allah pada diri mereka sendiri’ adalah materi yang menyusun tubuh manusia, bahan-bahan dan campurannya, serta keadaan tubuh yang menakjubkan sebagaimana dijabarkan dalam ilmu urai tubuh (anatomi, pen) yang menunjukkan atas hikmah Pencipta tabaraka wa ta’ala.” (Tafsir Ibnu Katsir: 7/187).
Asy-Syaikh Athiyyah Muhammad Salim rahimahullah berkata:
العلوم التجريبية: هي الطب، ولهذا كل أسبوع بل كل يوم يأتينا في الطب جديد، نتيجة للتجارب، وتسمعون وتقرءون: اكتشف كذا بسبب إجراء العلماء تجربة كذا، ولهذا يكون الطبيب الذي يقتصر على حمل شهادته مجمداً، والطبيب الحقيقي هو الذي يتابع الدورات، ونتائج المؤتمرات، ونتائج الأبحاث؛ لأنها تتجدد بتجدد التجارب.
“(Yang tergolong) ilmu-ilmu ekeperimental adalah ilmu kedokteran. Oleh karena itu setiap minggu bahkan setiap hari muncul hal-hal baru dalam kedokteran sebagai hasil berbagai penelitian. Kalian mendengar dan membaca (dalam jurnal atau artikel kedokteran, pen): “Telah tersingkap terapi demikian melalui hasil penelitian ilmuwan demikian..” Oleh karena itu, dokter yang hanya mengandalkan ijazah saja akan menjadi jumud (kaku). Dan dokter yang sesungguhnya adalah yang mengikuti berbagai seminar, mengikuti hasil kongres, hasil pembahasan pertemuan ilmiah, karena ilmu kedokteran selalu baru dengan penelitian-penelitian baru.” (Syarh Bulughul Maram: 30/6).
Bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Sebelum melakukan tindakan medis dan memberikan pengobatan, seorang dokter hendaknya bertanya kepada syariat ini. Bolehkah ia melakukan tindakan tersebut? Bolehkah ia memberikan obat tersebut? Sehingga tindakan dan terapinya tidak melanggar syariat.
Dari Abi Ramtsah radliyallahu anhu, ia berkata:
انْطَلَقْتُ مَعَ أَبِي وَأَنَا غُلَامٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَقَالَ لَهُ أَبِي إِنِّي رَجُلٌ طَبِيبٌ فَأَرِنِي هَذِهِ السِّلْعَةَ الَّتِي بِظَهْرِكَ قَالَ وَمَا تَصْنَعُ بِهَا قَالَ أَقْطَعُهَا قَالَ لَسْتَ بِطَبِيبٍ وَلَكِنَّكَ رَفِيقٌ طَبِيبُهَا الَّذِي وَضَعَهَا
“Aku dan ayahku berangkat menuju tempat Nabi shallallahu alaihi wasallam. Ayahku berkata kepada beliau: “Sesungguhnya aku adalah seorang dokter. Maka tunjukkanlah benjolan di punggungmu kepadaku!” Beliau bertanya kepada ayahku: “Apa yang akan kamu lakukan atasnya?”Ayahku menjawab: “Aku akan memotongnya.”Beliau berkata: “Kamu bukanlah dokter tetapi kamu adalah penyayang. Dokter benjolan tersebut adalah Allah yang telah menciptakannya.” (HR. Ahmad: 6813, Abu Dawud: 3674. Al-Albani men-shahih-kannya dalam Shahih wa Dlaif Sunan Abi Dawud: 4207).
Al-Allamah Abuth Thayyib al-Azhim Abadi rahimahullah berkata:
(هذا الذي بظهرك) المشار إليه هو خاتم النبوة الذي كان بين كتفي النبي صلى الله عليه و سلم مثل زر الحجلة ولم يعرف أبو أبي رمثة أنه خاتم النبوة ولذا قال ما قال
“Tunjukkanlah benjolan di punggungmu”. Benjolan yang ditunjuk itu adalah khatam nubuwwah (tanda kenabian) yang berada di antara kedua pundak Nabi shallallahu alaihi wasallam. Bentuknya seperti rumah berbentuk kubah. Ayah Abu Ramtsah belum mengetahui bahwa benjolan (baca: tumor) tersebut adalah tanda kenabian. Sehingga ia berkata seperti itu.” (Aunul Ma’bud: 4/392).
Maka memotong benjolan yang ada di punggung Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berarti menghapus tanda kenabian dari beliau. Dan ini adalah terlarang.
Dari Abdurrahman bin Utsman radliyallahu anhu:
أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِي دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِهَا
“Bahwa seorang dokter bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang katak yang ia jadikan dalam obat. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang dokter itu membunuhnya.” (HR. Abu Dawud: 3373, An-Nasai: 4280 dan di-shahih-kan oleh al-Albani dalam Shahih wa Dlaif Sunan Abi Dawud: 3871).
Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad berkata:
والنهي عن قتلها يدل على تحريمها وعلى أنه لا يجوز استعمالها في الأدوية
“Larangan membunuh katak menunjukkan atas keharamannya dan bahwa tidak boleh menggunakannya dalam pengobatan.” (Syarh Sunan Abi Dawud: 22/192).
Kedokteran dan Malapraktik
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga mengingatkan bahwa yang berhak mengobati adalah ahli profesi kedokteran dengan standar kedokteran. Beliau bersabda:
مَنْ تَطَبَّبَ وَلَا يُعْلَمُ مِنْهُ طِبٌّ فَهُوَ ضَامِنٌ
“Barangsiapa berpraktik kedokteran padahal ia belum dikenal menguasai ilmu kedokteran, maka ia harus bertanggung jawab (atas perbuatannya, pen).” (HR. Abu Dawud: 3971, Ibnu Majah: 3457 dan an-Nasai: 4748 dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya dan di-shahih-kan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak: 7484 (4/236) serta disepakati oleh adz-Dzahabi. Al-Albani meng-hasan-kannya dalam Silsilah ash-Shahihah: 635).
Al-Allamah ash-Shan’ani rahimahullah berkata:
الحديث دليل على تضمين المتطبب ما أتلفه من نفس فما دونها سواء أصاب بالسراية أو المباشرة وسواء كان عمدا أو خطأ وقد ادعي على هذا الإجماع
“Hadits ini menunjukkan bahwa seorang dokter harus bertanggung jawab atas perbuatannya yang merusakkan nyawa atau yang di bawahnya (seperti anggota tubuh, pen). Baik ia bertindak langsung terhadap pasiennya atau ia hanya memerintahkan dan menasehatkan saja (melalui perawat atau lainnya, pen). Baik secara sengaja atau tidak sengaja. Dan ini diakui oleh ijma’ (kesepakatan ulama, pen).” (Subulus Salam: 3/250).
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
وجملة ذلك أن هؤلاء إذا فعلوا ما أمروا به لم يضمنوا بشرطين (أحدهما) أن يكونوا ذوي حذق في صناعتهم لانه إذا لم يكن كذلك لم تحل له مباشرة القطع فإذا قطع مع هذا كان فعلا محرما فضمن سرايته كالقطع ابتداء، وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم ” من تطبب بغير علم فهو ضامن ” رواه أبو داود (والثاني) أن لا تجني أيديهم فيتجاوزوا ما ينبغي أن يقطع.
“Secara global mereka (para dokter) jika bertindak sesuai yang diperintahkan tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan dengan 2 syarat:
Pertama: mereka memiliki kompetensi di dalam profesinya, karena jika tidak demikian, maka tidak halal baginya melakukan tindakan pemotongan organ. Maka jika melakukannya tanpa kompetensi maka itu termasuk perbuatan haram. Maka tanggung jawab atas perintah atau nasehat yang salah adalah seperti melakukan tindakan secara langsung. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:“Barangsiapa berpraktik kedokteran padahal ia belum dikenal menguasai ilmu kedokteran, maka ia harus bertanggung jawab (atas perbuatannya, pen).” (HR. Abu Dawud).
Kedua: perbuatan mereka tidak melampaui batas yang diperkenankan (baik menurut standar profesi atau atas seijin pasien atau walinya, pen).” (Asy-Syarhul Kabir: 6/124).
Al-Allamah al-Munawi rahimahullah berkata:
وشمل الخبر من طب بوصفه أو قوله
“Hadits ini meliputi orang yang berpraktik kedokteran dengan sifatnya atau ucapannya.”(Faidlul Qadir: 6/137-8). Sehingga hadits ini meliputi dokter umum yang berpraktik pengobatan primer, dokter spesialis yang menyelenggarakan pengobatan sekunder, dokter gigi yang menyelenggarakan praktik pengobatan gigi, bidan yang melakukan praktik kebidanan serta perawat yang berpraktik keperawatan.
Al-Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata:
ويستدل بهذا على: أن صناعة الطب من العلوم النافعة المطلوبة شرعاً وعقلاً. والله أعلم.
“Dan diambil dalil dari hadits ini bahwa profesi kedokteran termasuk ilmu yang bermanfaat secara syar’i dan akal. Wallahu a’lam.” (Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu Uyunil Akhyar: 159).
Pengobatan Nabi (thibb an-nabawi)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ ( الشِّفَاءُ فِي ثَلاَثَةٍ فِي شَرْطَةِ مِحْجَمٍ أَوْ شَرْبَةِ عَسَلٍِ أَوْ كَيَّةِ بِنَارٍ وَأَنَا أَنْهَى أُمَّتِيْ عَنِ الْكَيِّ )
Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi Muhammad SAW bersabda: “Obat terdapat dalam tiga hal, yaitu pada ketentuannya tukang bekam, minuman madu, atau besi yang dipanaskan, akan tetapi aku melarang umatku berobat menggunakan besi yang dipanaskan” (HR. Al-Bukhari)
خَرَجْنَا وَمَعَنَا غَالِبُ بْنُ أَبْجَرَ فَمَرِضَ فِي الطَّرِيقِ فَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ وَهُوَ مَرِيضٌ فَعَادَهُ ابْنُ أَبِي عَتِيقٍ فَقَالَ لَنَا عَلَيْكُمْ بِهَذِهِ الْحُبَيْبَةِ السَّوْدَاءِ فَخُذُوا مِنْهَا خَمْسًا أَوْ سَبْعًا فَاسْحَقُوهَا ثُمَّ اقْطُرُوهَا فِي أَنْفِهِ بِقَطَرَاتِ زَيْتٍ فِي هَذَا الْجَانِبِ وَفِي هَذَا الْجَانِبِ فَإِنَّ عَائِشَةَ حَدَّثَتْنِي أَنَّهَا سَمِعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ هَذِهِ الْحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلَّا مِنْ السَّامِ قُلْتُ وَمَا السَّامُ قَالَ الْمَوْتُ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah telah menceritakan kepada kami Isra`il dari Manshur dari Khalid bin Sa'd dia berkata; Kami pernah bepergian yang di antaranya terdapat Ghalib bin Abjar, di tengah jalan ia jatuh sakit, ketika sampai di Madinah ia masih menderita sakit, lalu Ibnu Abu 'Atiq menjenguknya dan berkata kepada kami; Hendaknya kalian memberinya habbatus sauda' (jintan hitam), ambillah lima atau tujuh biji, lalu tumbuklah hingga halus, setelah itu teteskanlah di hidungnya di sertai dengan tetesan minyak sebelah sini dan sebelah sini, karena sesungguhnya Aisyah pernah menceritakan kepadaku bahwa dia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya habbatus sauda' ini adalah obat dari segala macam penyakit kecuali saam. Aku bertanya; Apakah saam itu? beliau menjawab: Kematian..(HR. al-Bukhari dan Muslim)
عَنْ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم : ائْتَدِمُوا بِالزَّيْتِ وَادَّهِنُوا بِهِ فَإِنَّهُ يَخْرُجُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ
Dari ‘Umar, beliau berkata bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Berobatlah dengan minyak zaitun dan minyakilah dengannya, karena ia berasal dari pohon yang penuh barakah”
عن أبي سعيد : أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَخِي يَشْتَكِي بَطْنَهُ فَقَالَ اسْقِهِ عَسَلًا ثُمَّ أَتَى الثَّانِيَةَ فَقَالَ اسْقِهِ عَسَلًا ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ اسْقِهِ عَسَلًا ثُمَّ أَتَاهُ فَقَالَ قَدْ فَعَلْتُ فَقَالَ صَدَقَ اللَّهُ وَكَذَبَ بَطْنُ أَخِيكَ اسْقِهِ عَسَلًا فَسَقَاهُ فَبَرَأَ
Dari Abi Sa’id: “Ada seseorang menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: ‘Saudaraku mengeluhkan sakit pada perutnya.’ Nabi berkata: ‘Minumkan ia madu.’ Kemudian orang itu datang untuk kedua kalinya, Nabi berkata: ‘Minumkan ia madu.’ Orang itu datang lagi pada kali yang ketiga, Nabi tetap berkata: ‘Minumkan ia madu.’Setelah itu, orang itu datang lagi dan menyatakan: ‘Aku telah melakukannya (namun belum sembuh juga malah bertambah mencret).’ Nabi bersabda: ‘Allah Mahabenar dan perut saudaramu itu dusta. Minumkan lagi madu.’ Orang itu meminumkannya lagi, maka saudaranya pun sembuh.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim –redaksi dari al-Bukhari-)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ ( الحُمَّى مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ فَاَبْرِدُوْهَا بِالْمَاءِ
Diceritakan dari ‘Aisyah r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: Panas demam itu berasal dari didihan api neraka jahanam, karena itu dinginkanlah panasnya dengan air. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ :احْتَجَمَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَعْطَى الْحَجَّامَ أَجْرَهُ وَلَوْ عَلِمَ كَرَاهِيَةً لَمْ يُعْطِه
Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan memberikan upah kepada tukang bekam. Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa hal tersebut terlarang, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memberi upah kepadanya.” (Hr. Bukhari, no. 2159)
عن نافع، عن ابن عمر، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال:
«إنما الحمى أو شدة من فيح جهنم، فأبردوها بالماء»
Dari nafi’, dari ‘Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Sesungguhnya demam atau demam yang sangat adalah sebagian dari aroma neraka jahannam; maka dinginkanlah ia dengan air”. [mutafaqun alaihi]
Dijelaskan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah,
وقد أشكل هذا الحديث على كثير من جهلة الأطباء، ورأوه منافيا لدواء الحمى وعلاجها، ونحن نبين بحول الله وقوته وجهه وفقهه، فنقول: «خطاب النبي صلى الله عليه وسلم نوعان: عام لأهل الأرض، وخاص ببعضهم، فالأول «كعامة خطابه، والثاني: كقوله: «لا تستقبلوا القبلة بغائط» . ولا بول، ولا تسدبروها، ولكن شرقوا، أو غربوا» «2» ، فهذا ليس بخطاب لأهل المشرق والمغرب ولا العراق، ولكن لأهل المدينة وما على سمتها، كالشام وغيرها. وكذلك قوله: «ما بين المشرق والمغرب قبلة» » .وإذا عرف هذا، فخطابه في هذا الحديث خاص بأهل الحجاز، وما والاهم، إذ كان أكثر الحميات التي تعرض لهم من نوع الحمى اليومية العرضية الحادثة عن شدة حرارة الشمس وهذه ينفعها الماء البارد شربا واغتسالا
“Hadits ini menimbulkan banyak masalah bagi dokter yang bodoh, yang memandangnya sabagai peniadaan pengobatan bagi penyakit demam dan pencegahannya. Kami akan menjelaskan -dengan daya dan kekuatan Allah- segi dan maknanya.
Maka kami katakan: Seruan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam ada dua macam:
yang umum bagi penduduk bumi
dan yang khusus bagi sebagian mereka.
yang pertama misalnya seruan baliau pada umumnya.
Dan yang kedua seperti ucapan beliau:”Janganlah kamu menghadap kiblat dengan tahi dan air kencing. Dan jangan pula kamu membelakanginya; akan tetapi menghadaplahh ke timur atau ke barat”.Ini bukanlah seruan kepada penduduk timur atau penduduk barat, juga bukan penduduk Irak. Tetapi ia adalah seruan kepada pendudukk Madinah dan kawasan yang serupa dengannya seperti syiria dan yang lain. Juga ucapan baliau: “Apa yang ada diantara timur dan barat adalah kiblat”.Apabila yang demikian diketahui, maka seruan beliau didalam hadits ini adalah khusus bagi penduduk Hijaz dan siapa yang ada di sekitar mereka, sebab kebanyakan demam yang menyerang mereka dari jenis demam matahari dan aksidental yang terjadi karena terik sinar matahari. Dan ini dapat diatasi dengan air yang dingin, baik minum atau pun mandi.” [Tibbun Nabawi hal 20, maktabah Ats-Tsaqafiy]
Ringkasnya penjelasan Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah bahwa perintah tersebut khusus untuk penduduk Hijaz dan disekitar mereka karena umumnya penyebab demam di sana akibat sengatan matahari yang sangat panas.
catatan
dalam ilmu kedokteran mungkin kasus yang digambarkan dalam hadits adalah kasus sunburn atau luka bakar matahari yang sudah kita ketahui semua, gejala-gejalanya mengalami demam,panas-dingin, dan kelemahan dan bahkan pada saat yang langka bisa menjadi syok (ditandai dengan tekanan darah yang sangat rendah, pusing, dan sangat lemah).
Sedangkan untuk terapinya:
-Kompres air dingin bisa menyejukkan kulit yang terbakar
-pelembab kulit
-Salep atau lotion mengandung anestesi local (misalnya, benzocaine)
-Tablet kortikosteroid juga bisa membantu meringankan peradangan tetapi digunakan hanya untuk luka bakar yang sangat serius.
– Krim antibiotik untuk luka bakar khusus diperlukan hanya untuk lepuhan berat.
Oleh karenanya terapinya sejalan dengan kedokteran modern[Barat]. Kemudian jika demam adalah demam dengan suhu tinggi mungkin akibat penyakit kemudian diberikan air, bahkan ada yang bilang bila perlu dimandikan, maka ini bisa berbahaya bagi pasien.
Jadi, kita jangan terlalu kaku menerapkan pengobatan thibbun nabawi sebagaimana yang dilakukan sebagian kecil saudara kita, bahkan sampai mempertentangkannya dengan kedokteran modern, jika tidak menggunakan thibbun nabawi berati dipertanyakan keimanannya.
Perintah untuk menjauhi penyakit
أن أبا هريرة قال : إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ( لا عدوى ) قال أبو سلمة بن عبد الرحمن سمعت أبا هريرة : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال (لَا تُورِدُوا الْمُمْرِض عَلَى الْمُصِحّ )
Dari Abu Hurairah r.a dia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “ la ‘adwa (tidak ada penyakit menular). Abu Salah bin ‘Abdurrahman berkata: ‘Saya mendengar Abu Hurairah berkata’: ‘Dari Nabi SAW bersabda: ”Janganlah kalian campur hewan sakit dengan yang masih sehat.” (HR. Al-Bukhari)
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ فِي أَرْضٍ فَلا تَدْخُلُوهَا ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلا تَخْرُجُوا مِنْهَا
“Jika kalian mendengar ada wabah penyakit di suatu daerah maka kalian jangan memasuki daerah tersebut, dan jika wabah tersebut mengenai suatu daerah dan kalian berada di dalamnya maka janganlah kalian keluar dari daerah tersebut.” (HR. Al-Bukhari)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَتَى مَرِيضًا أَوْ أُتِيَ بِهِ قَالَ أَذْهِبْ الْبَاسَ رَبَّ النَّاسِ اشْفِ وَأَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا
Dari ‘Aisyah r.a. bahwa Rasulullah SAW ketika menjenguk orang sakit atau ada orang sakit yang mendatangi beliau maka Nabi berdoa “Pergilah penyakit yang parah, Wahai Tuhan semua manusia, Sembuhkanlah sungguh Engkaulah Dzat Yang Menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang berasal dari-Mu yaitu kesembuhan yang tidak meninggalkan sakit sedikitpun” (HR. Al-Bukhari)
Takhtimah
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hadist yang merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an dalam islam, sangat memperhatikan tentang masalah kesehatan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya hadist-hadist yang menjelaskan tentang pentingnya arti sebuah kesehtan bagi manusia. Hadist-hadist tersebut meliputi tata cara memelihara kesehatan, dan mengobati penyakit yang dialami.
Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim yang menjadikan hadist sebagai pedoman hidup kedua, harus selalu mempelajari, memahami, dan menggali ilmu-ilmu yang ada di dalamnya, baik tentang ilmu agama ataupun ilmu dunia. Karena segala ilmu pengetahuan bersumber dari al-Qur’an dan hadist Rasulullah SAW.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa ilmu kedokteran mempunyai kelebihan dari ilmu duniawi yang lainnya seperti arsitektur, permesinan dan bangunan meskipun mereka sama-sama ilmu duniawi.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Segenap Manajemen Bolavita Mengucapkan Selamat Merayakan Tahun Baru Imlek 2570
BalasHapusKongzili Semoga Di Tahun Babi Tanah Diberikan Rejeki Lebih Banyak
Dibandingkan Tahun Sebelumnya
WA : +62812-2222-995