Translate

Sabtu, 22 Oktober 2016

Hukum Walimah Khitan Dan Khitan Pake Listrik

Kebiasaan di Indonesia seperti ini, yaitu melakukan khitan anak-anak mereka saat berumur seusia anak SD bahkan ada juga yang SMP. Sedangkan jika kita lihat hadits-hadits dan petunjuk Islam bahwasanya usia khitan adalah ketika bayi berumur 7 hari atau ketika masih kecil sekali. Dan bagaimana juga hukum acara walimah khitan yang sering dilakukan di masyarakat kita?

Waktu disyariatkannya khitan

Waktu untuk untuk berkhitan memang masih diperselisihkan ulama, ada pendapat yang mengatakan hari kelahiran, hari ketujuh atau ketika berusia tujuh tahun. Adapun yang lebih tepat adalah boleh kapan saja asalkan tidak melebihi usia baligh.

Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

وَاخْتُلِفَ فِي الْوَقْتِ الَّذِي يُشْرَعُ فِيهِ الْخِتَانُ قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ لَهُ وَقْتَانِ وَقْتُ وُجُوبٍ وَوَقْتُ اسْتِحْبَابٍ فَوَقْتُ الْوُجُوبِ الْبُلُوغُ وَوَقْتُ الِاسْتِحْبَابِ قَبْلَهُ

“Diperselisihkan waktu disyariatkannya khitan. Al-mawardi berkata, “Khitan itu mempunyai dua waktu, Waktu wajib dan waktu mustahab (sunnah). Waktu wajib adalah ketika usia baligh, sedangkan waktu mustahab adalah sebelum baligh”

Boleh menunda khitan tetapi lebih baik menyegerakan

Dalil boleh menunda adalah sebagaimana yang dikatakan oleh ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma.

عن سعيد بن جبير قال: سئل ابن عباس: مثل من أنت حين قبض النبي صلى الله عليه وسلم؟ قال: أنا يومئذ مختون، قال: وكانوا لا يختنون الرجل حتى يدرك

Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata, Ibnu Abbas pernah ditanya, “Seperti apa dirimu ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat ?”. Ia menjawab, “Aku pada waktu itu telah dikhitan. Dan mereka (para shahabat) tidaklah mengkhitan seseorang hingga ia baligh” ‎

Akan tetapi lebih baik menyegerakannya karena lebih segera menunaikan amal. Allah Ta’ala berfirman,

فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ

“Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan”. [Al-Baqarah: 148]‎

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”[Al-Imran:133]

الأفضل الختان في الصغر ففيه مصلحة وهي أن الجلد بعد التمييز يغلظ ويخشن، فلذلك جوزوا الختان قبل التمييز لرقة الجلدة وسهولة قطعها، ولأنه في الصغر لا حكم لعورته، فيجوز كشفها ولمسها لمصلحة، ثم إن ذلك أيضا أسهل لعلاجه ومداواة الجرح وبرئه سريعا… فيستحب أن لا يؤخر عن وقت الاستحباب، أما وقت الوجوب فهو البلوغ والتكليف فيجب على من لم يختن أن يبادر إليه بعد البلوغ ما لم يخف على نفسه

“Yang afdhal (lebih baik) khitan dilakukan ketika kecil karena ada mashlahat yaitu (jika dilakukan saat besar) kulit (pembungkus penis) setelah usia tamyis (sekitar 7 tahun) akan mengeras dan menebal. Oleh karena itu khitan dilakukan sebelum tamyis karena masih lunaknya kulit dan mudah untuk dipotong. Dan juga karena ketika kecil belum ada hukum aurat, maka boleh membuka dan menyentuhnya untuk kemashlahatan. Kemudian juga lebih mudah diobati dan luka lebih cepat sembuh.

Disunnahkan agar tidak mengakhirkan khitan dari waktu yang dianjurkan, adapun  (batasan) waktu wajib adalah usia baligh dan taklif (wajib menjalani beban ibadah). Maka wajib bagi yang belum berkhitan agar beresegera sebelum mencapai usia baligh selama tidak ada yang dikhawatirkan pada dirinya.”
Dan  wajib sesegera mungkin khitan jika telah mencapai usia baligh karena itu adalah waktu wajib. Bahkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkhitan ketika berusia 80 tahun.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِخْتَتَنَ إِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمَنِ بَعْدَ ماَ أَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَةً

“Ibrahim Khalilur Rahman berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun.”

Hukum khitan dengan menggunakan electro cauter (alat pemotong listrik)‎

Jika telah terbukti bahwa khitan yang selama ini dianggap menggunakan laser ternyata menggunakan elektro cauter, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana hukum khitan dengan menggunakan alat tersebut? Padahal Rasulullah  melarang seseorang berobat dengan menggunakan al Kay (besi panas).‎
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita sebutkan terlebih dahulu hadist-hadist yang berkenaan dengan masalah ini, diantaranya adalah sebagai berikut:‎

Pertama:
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallaahu 'anhu, dari Nabi  bersabda:

الشِّفَاءُ فِي ثَلَاثَةٍ فِي شَرْطَةِ مِحْجَمٍ أَوْ شَرْبَةِ عَسَلٍ أَوْ كَيَّةٍ بِنَإرٍ وَأَنَا أَنْهَى أُمَّتِي عَنْ الْكَيِّ

“Terapi pengobatan itu ada tiga cara, yaitu; berbekam, minum madu dan kay (menempelkan besi panas pada daerah yang terluka), sedangkan aku melarang ummatku berobat dengan kay. (HR Bukhari, no. 5680).

Kedua:
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah rahimahullaah, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah  bersabda:

إِنْ كَانَ فِي شَيْءٍ مِنْ أَدْوِيَتِكُمْ أَوْ يَكُونُ فِي شَيْءٍ مِنْ أَدْوِيَتِكُمْ خَيْرٌ فَفِي شَرْطَةِ مِ­ْجَمٍ أَوْ شَرْبَةِ عَسَلٍ أَوْ لَذْعَةٍ بِنَار وَمَا أُحِبُّ أَنْ أَكْتَوِيَ

“Apabila ada kebaikan dalam pengobatan yang kalian lakukan, maka kebaikan itu ada pada berbekam, minum madu, dan sengatan api panas (terapi dengan menempelkan besi panas di daerah yang luka) dan saya tidak menyukai kay.“ (HR. Bukhari, no. 5704 dan Muslim, no. 2205).

Ketiga:
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah rahimahullaah, bahwasanya ia berkata:

رُمِي سعد بن معاذ في أَكْحَلِه فحَسَمَه رسولُ الله  بمِشْقَص، ثم وَرِمَتْ فحَسَمَه الثانية

“Sa’ad bin Mu’adz pernah kena bidikan panah di urat tangannya, kemudian Rasulullah  membedahnya dengan tombak yang dipanasi dengan api, setelah itu luka-luka itu membengkak, kemudian dibedahnya lagi.“ (HR. Muslim)

Keempat : 
Dari Habir bin Abdullah rahimahullaah, bahwasanya ia berkata :

أن النبيَّ عث إلى أُبَيّ بن كعب طبيبًا، فقطع منه عِرْقًا، ثم كواه عليه

“Bahwasanya Rasulullah pernah mengirim seorang tabib kepada Ubay bin Ka'ab. Kemudian tabib tersebut membedah uratnya dan menyundutnya dengan al kay (besi panas).“ (HR Muslim, no. 4088)

Para ulama menyebutkan bahwa sebenarnya hadist-hadits diatas tidak menunjukkan keharaman berobat dengan al kay (besi panas) tetapi hanya menunjukan kemakruhan, jika ada obat lain, atau karena di dalam al kay mengandung penyiksaan terhadap dirinya. 

Berkata al Hafidh Ibu Hajar: “Kesimpulan dari penggabungan (hadits-hadits di atas) bahwa perbuataan Rasulullah  menunjukkan kebolehan (menggunakan al kay), adapun beliau meninggalkannya, dan memuji siapa saja yang meninggalkannya, maka tidaklah menunjukkan larangan, tetapi hanya menunjukkan bahwa meninggalkan hal tersebut lebih baik dari pada menggunakannya.‎

Adapun larangan beliau untuk menggunakan al kay, kemungkinan diterapkan jika ada pilihan lain, dan hanya bersifat makruh. Ataupun pada penyakit-penyakit yang memang bisa disembuhkan dengan cara lain. Wallahu A’lam“ (Fathul Bari, Kairo, Dar ar Royan,1987 M : 10/ 164)‎

Perkataan Ibnu Hajar di atas dikuatkan oleh Ibnu Ibnu Qayyim, beliau menulis : “Hadits-hadits al-Kay di atas mengandung empat hal: 
Pertama, bahwa Rasulullah  menggunakan al Kay. 
Kedua, beliau tidak menyukainya. 
Ketiga, beliau memuji orang yang bisa meninggalkannya. 
Keempat, larangan beliau terhadap penggunaan al-Kay. 

Keempat hal tersebut tidaklah bertentangan satu dengan yang lainnya- 
Adapun perbuataannya menggunakan al Kay menunjukkan kebolehannya, sedangkan ketidaksenangan beliau tidak menunjukkan larangan, adapaun pujian beliau kepada orang yang meninggalkannya menunjukkan bahwa meninggalkan pengobatan dengan al Kay adalah lebih baik, sedangkan larangan beliau itu berlaku jika memang ada pilihan lain, atau maksudnya makruh, atau menggunakannya untuk hal-hal yang tidak diperlukan, seperti takut terjadi sesuatu penyakit pada dirinya.“ (Zaad al Ma’ad, Beirut, Muassasah al Risalah, 4/ 65-66)
Apakah pengobatan al Kay menafikan rasa tawakal?

Diriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu’bah rahimahullaah, dari Nabi  beliau bersabda:

مَنْ اكْتَوَى أَوْ اسْتَرْقَى فَقَدْ بَرِئَ مِنْ التَّوَكُّلِ

“Barangsiapa melakukan pengobatan dengan cara kay atau meminta untuk diruqyah berarti ia tidak bertawakal.” (Shahih, HR. at-Tirmidzi, no. 2055 dan Ibnu Majah, no. 3489).
Sebagian orang, salah di dalam memahami hadits di atas dan menyatakan bahwa pengobatan dengan al kay hukumnya haram, karena menafikan rasa tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ibnu Qutaibah telah menjawab pernyataan di atas dan menjelaskan bahwa al Kay ada dua bentuk: 

Pertama, al Kay untuk orang-orang yang sehat, supaya tidak terkena sakit, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang al ‘Ajam (non Arab). Mereka seringkali mengobati anak-anak dan para pemuda mereka dengan metode al Kay, padahal mereka dalam keadaan sehat. Mereka menganegap bahwa cara seperti itu bisa menjaga kesehatan mereka dan menjauhkan dari berbagai penyakit. Begitu juga orang-orang Arab pada masa jahiliyah mengikuti cara seperti itu, bahkan mereka menerapkannya pada unta-unta mereka jika terjadi wabah penyakit. Inilah bentuk al Kay yang dilarang oleh Rasulullah karena menafikan tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena menganggap bahwa dengan menyandarkan kepada kekuatan api, mereka tidak akan terkena sakit.‎
Kedua, adalah pengobatan dengan metode al Kay jika ada yang terluka pada salah satu anggota badan, atau terjadi pendarahan yang luar biasa dan hal-hal yang sejenis. Al Kay seperti inilah yang berpotensi untuk bisa menyembuhkan, dengan izin Allah. Sebab Rasulullah  sendiri pernah mengobati dengan cara al Kay terhadap As’ad bin Zurarah di lehernya (HR. Tirmidzi ).(Lihat Ta’wil Mukhtalafal al Hadits, 329).

Dari penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa khitan dengan menggunakan Elektro Cauter hukumnya makruh. Hal itu berdasarkan dua hal:

Khitan dengan menggunakan Elektro Cauter hukumnya makruh berdasarkan dua alasan

Pertama: Menurut keterangan para ulama berdasarkan hadits-hadits di atas bahwa operasi dengan menggunakan besi panas tidaklah dianjurkan, jika ada pengobatan dengan alternatif lain. Padahal kita ketahui khitan masih bisa dilakukan dengan menggunakan pisau atau gunting dengan cara manual.

Kedua: Selain itu, menurut pandangan medis bahwa khitan dengan Elektro Cauter banyak membawa efek negatif pada kesehatan kulit,sebagaimana yang telah diterangkan di atas. Wallahu A’lam. ‎

Bolehkah melakukan walimah (syukuran) khitan???

Di kalangan masyarakat indonesia mengadakan acara syukuran saat anak mereka dikhitan/sunat/supit dengan mengundang makan para tetangga adalah adat yang sangat masyhur.

Memang terdapat ketentuan yang menyatakan kesunahan mengadakan WALIMAH AL-KHITAN bila yang dikhitani anak cowok

قَالَ الْأَذْرَعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى إنَّ مَحَلَّ نَدْبِ وَلِيمَةِ الْخِتَانِ فِي حَقِّ الذُّكُورِ دُونَ الْإِنَاثِ ؛ لِأَنَّهُ يَخْفَى وَيَسْتَحْيِ مِنْ إظْهَارِهِ لَكِنَّ الْأَوْجَهَ اسْتِحْبَابُهُ فِيمَا بَيْنَهُنَّ خَاصَّةً

Berkata al-Adzru'y kesunahan mengadakanWALIMAH AL-KHITAN untuk khitan laki-laki bukan wanita, karena khitan untuk wanita cenderung tertutup dan terdapat rasa malu bila terang-terangan, hanya saja menurut pendapat yang memiliki wajah juga disunahkan bila penampakannya hanya sebatas dikalangan kaum wanita.
Tuhfah al-Muhtaaj XXXI/384, Asnaa al-Mathaalib III/224

ويسن إظهار ختان الذكور وإخفاء الإناث عن الرجال دون النساء ولا يلزم من ندب وليمة الختان إظهاره فيهن

Disunahkan menampakkan khitan laki-laki dan menyembunyikan khitan wanita dari para kaum pria bukan kaum wanita, bukan berarti kesunahan mengadakan walimah khitan pria berarti juga disunahkan ditampakkan dikalangan wanita.
Nihaayah az-Zain I/358

Demikian pula di kalangan Arab, Walimah khitan dikenal dengan istilah “al-‘adzir al-‘idzar al-idzaroh al-I’dzar, yang maknanya adalah makanan saat khitan. 

Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini, ada yang berpendapat sunnah, ada yang berpendapat mubah (boleh-boleh saja) dan ada yang pula yang berpendapat makruh.

Kesimpulan dari permasalahan ini, setelah kita melihat dalil-dalil masing-masing pendapat maka pendapat yang terpilih dan kuat adalah bahwa hukum walimah khitan suatu hal yang mubah. Karena hukum sunnah adalah hukum syar’i, untuk mengatakan suatu hal itu hukumnya sunnah butuh dalil-dalil yang shahih dan marfu’ (yang sampai) kepada Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam. Belum kita dapatkan dalil satupun bahwa Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah khitan.

Terdapat disana Atsar dari sebagian shahabat, yang mana mereka melakukan walimah khitan, diantaranya atsar yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhory dalam Adabul Mufrod:

قال سالم: خَتَنَنِي ابْنُ عُمَرَ أَنَا وَنُعَيْمًا، فَذَبَحَ عَلَيْنَا كَبْشًا.

“Salim (bin Abdullah bin Umar) berkata: Ibnu umar mengkhitanku dan juga mengkhitan Nu’aim, maka beliau menyembelih seekor kibas (domba besar) untuk khitan kami” [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul mufrad no. 1246‎]

Dan juga atsar ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Ibnu abi Ad-dunya dalam kitab al ‘iyaal nomor 586:

عَنِ الْقَاسِمِ، قَالَ: أَرْسَلَتْ إِلَيَّ عَائِشَةُ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ فَقَالَتْ: أَطْعِمْ بِهَا عَلَى خِتَانِ ابْنِكَ

“Dari Al-Qasim (bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq) berkata: “Aisyah radhiallahu ‘anha telah mengirim kepadaku uang 100 dirham seraya berkata berilah makanlah bagi orang-orang untuk khitan anakmu.”

Dan juga atsar lainnya seperti Atsar Ibnu Abbas.

Kalau seandainya semua atsar di atas shahih, maka ini menunjukan bahwa para shahabat dahulu biasa melakukan walimah khitan.

Ada khitan, ada walimah khitan. Dua hal yang perlu dibedakan. Khitan hukumnya wajib bagi laki-laki. Walimah khitan hukumnya diperselisihkan ulama. Sebagian membolehkan, sebagian menilainya makruh.

Imam Syafi'i dalam kitab Al-Umm 6/159 berkata:

وكل دعوة كانت على إملاك أو نفاس أو ختان أو حادث سرور دعي إليها رجل، فاسْم الوليمة يقع عليها، ولا أرخص لأحد في تركها، ولو تركها لم يبن لي أنه عاصٍ في تركها كما يبين لي في وليمة العرس

Artinya: Undangan apapun baik untuk kepemilikan, nifas, khitan atau peristiwa gembira, maka disebut walimah. Disunnahkan untuk hadir, tapi tidak berdosa kalau tidak datang. Beda dengan undangan walimatul ars (pesta nikah). 

Imam Nawawi dalam Raudah Talibin 7/333 menyatakan:

وأما سائر الولائم فمستحبة، وليست بواجبة على المذهب، وبه قطع الجمهور، ولا يتأكَّد تأكُّد وليمة النكاح

Artinya: Adapun walimah (pesta, selamatan) yang selain pesta nikah hukumnya sunnah, bukan wajib. Ini pendapat jumhur ulama.

Al-Hathab dalam Mawahib Al-Jalil menjelaskan,

وقال في جامع الذخيرة: مسألة فيما يؤتى من الولائم، ثم قال صاحب المقدمات: هي خمسة أقسام: واجبة الإجابة إليها وهي وليمة النكاح، ومستحبة الإجابة وهي المأدبة وهي الطعام يعمل للجيران للوداد، ومباحة الإجابة وهي التي تعمل من غير قصد مذموم؛ كالعقيقة للمولود والنقيعة للقادم من السفر والوكيرة لبناء الدار والخرس للنفاس والإعذار للختان ونحو ذلك،…

Dalam Jami’ Ad-Dzakhirah dinyatakan, hukum mendatangi walimah ada 5 macam. (1) wajib mendatanginya, itulah walimah nikah. (2) dianjurkan mendatanginya, itulah hidangan makanan dengan mengundang tetangga untuk jalinan persaudaraan. (3)  mubah mendatanginya, itulah walimah yang diadakan bukan untuk tujuan tercela, seperti walimah aqiqah untuk anak, walimah naqiah untuk menyambut orang yang datang dari safar, walimah wakirah untuk tasyakuran bangun rumah, atau walimah i’dzar untuk syukuran khitan, atau semacamnya….

Kemudian Al-Hathab menyebutkan pendapat lainnya,

وقال في الشامل: وأما طعام إعذار الختان ونقيعة القادم من سفر وخرس لنفاس ومأدبة لدعوة وحذقة لقراءة صبي ووكيرة لبناء دار فيكره الإتيان له..

Dalam kitab As-Syamil dinyatakan, Undangan walimah i’dzar untuk tasyakuran khitanan atau walimah naqi’ah untuk tasyakuran menyambut orang yang datang….., makruh untuk didatangi. (Mawahib Al-Jalil, 11/22)

Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini, walimah khitan hukumnya mubah, karena murni terkait tradisi masyarakat dalam rangka menunjukkan kebahagiaan dengan adanya khitan. Sementara kita punya kaidah,

الأصل في الأشياء الإباحة إلا إذا أتى ما يدل على تحريم ذلك الشيء

“Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya”

Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam. Dalam Majmu’ Fatawanya, beliau pernah ditanya tentang hukum beberapa walimah, diantaranya walimah khitan. Beliau mengatakan,

أما وليمة العرس فهي سنة والإجابة إليها مأمور بها وأما وليمة الموت فبدعة مكروه فعلها والإجابة إليها. وأما وليمة الختان فهي جائزة؛ من شاء فعلها ومن شاء تركها

Untuk walimah nikah, hukumnya sunah, dan menghadirinya diperintahkan. Adapun perayaan kematian, statusnya bid’ah, dibenci untuk dilakukan dan juga menghadirinya. Adapun walimah khitan, hukumnya boleh. Siapa yang ingin melakukannya boleh dia lakukan, siapa yang tidak ingin melakukannya, bisa dia tinggalkan. (Majmu’ Fatawa, 32/206).‎

HUKUM MEMENUHI UNDANGAN WALIMAH KHITAN

Sebelumnya telah lewati pembahasan kita seputar hukum memenuhi undangan walimah pernikahan, yang mana pendapat terkuat dan terpilih adalah wajib berdasarkan dalil-dalil yang menunjukan atas kewajiban memenuhi undangan tersebut.

Adapun memenuhi undangan makan selain walimah pernikahan seperti walimah khitan maka para ulama juga berbeda pendapat menjadi dua pendapat;

Pendapat Pertama: Menyatakan bahwa hukumnya ‎wajib, ini adalah pendapat Asy Syafi’iyah, Al ‘Anbary dan Ibnu Hazm dan dipilih oleh Asy Syaukany. Dalil mereka keumuman hadits hadits Abu Hurairah:

«حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ» قِيلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ؟، قَالَ: «إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ ….. الحديث

“Hak seorang muslim terhadap seorang muslim ada enam perkara.” Lalu beliau ditanya; ‘Apa yang enam perkara itu ya Rasulullah?’ Beliau menjawab: “Bila engkau bertemu dengannya, ucapkanlah salam kepadanya, bila dia mengundangmu, penuhilah undangannya….

Mereka berdalil pula dengan sabda Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam:

«إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ، فَلْيُجِبْ عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ»

“Jika salah seorang dari kalian mengundang saudaranya, hendaknya ia penuhi undangan tersebut, baik undangan pernikahan atau semisalnya” .

Pendapat Kedua: menyatakan bahwa hukumnya ‎sunnah, ini adalah pendapat Jumhur (kebanyakan) para ulama. Dalil yang memalingkan dari wajib kepada sunnah adalah hadits Anas radhiallahu ‘anhu berkata:

أَنَّ جَارًا لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَارِسِيًّا كَانَ طَيِّبَ الْمَرَقِ، فَصَنَعَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ جَاءَ يَدْعُوهُ، فَقَالَ: «وَهَذِهِ؟» لِعَائِشَةَ، فَقَالَ: لَا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا»، فَعَادَ يَدْعُوهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَهَذِهِ؟»، قَالَ: لَا، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا»، ثُمَّ عَادَ يَدْعُوهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَهَذِهِ؟»، قَالَ: نَعَمْ فِي الثَّالِثَةِ، فَقَامَا يَتَدَافَعَانِ حَتَّى أَتَيَا مَنْزِلَهُ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempunyai tetangga seorang bangsa Persia yang pandai memasak. Pada suatu hari dia memasak hidangan untuk Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam. Setelah itu dia datang mengundang beliau. Beliau bertanya: “‘Aisyah bagaimana? orang itu menjawab: ‘Dia tidak!’, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kalau begitu aku juga tidak!”, orang ittu mengulangi undangannya kembali. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bertanya: “‘Aisyah bagaimana?” orang itu menjawab: ‘Dia tidak!’, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kalau begitu aku juga tidak!” Orang itu mengulangi undangannya pula. Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam bertanya: “‘Aisyah bagaimana?” Jawab orang itu pada ketiga kalinya; ‘Ya, ‘Aisyah juga.’ Maka Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam pergi bersama ‘Aisyah ke rumah tetangga itu.

Sisi Pendalilan dari hadits ini bahwa Rasulullah tidak memenuhi undangan orang tersebut.

Menjawab pendalilan pendapat pertama:

- Hadits Abu Hurairah yang dijadikan dalil pendapat pertama bersifat umum bahwa semua bentuk undangan wajib dipenuhi, namum hadits Anas yang telah kita sebutkan di atas telah memalingkan keumuman hukum tersebut kepada mustahab atau sunnah.

- Adapun hadits Ibnu Umar dengan lafadz di atas diriwaytakan dari jalan Ma’mar dari Ayyub dari Nafi’. Riwayat Ma’mar menyelisihi riwayat Hamad bin Zaid dari Ayyub dari Nafi’, karena riwayat Hammad tanpa ada tambahan lafadz “baik undangan pernikahan atau semisalnya”. Hammad adalah orang yang paling tsiqoh periwayatannya dari Ayyub. Dengan ini, riwayat Ma’mar dikatagorikan “Syadzah” karena menyelisihi rawi yang lebih tsiqoh dalam periwayatannya dari Ayyub.

Disana juga terdapat riwayat lain dengan lafadz:

«مَنْ دُعِيَ إِلَى عُرْسٍ أَوْ نَحْوِهِ، فَلْيُجِبْ»

“Barangsiapa yang diundang ke pesta pernikahan atau semisalnya, hendaknya ia mendatanginya.”

Riwayat ini dari jalan Az Zubaidy dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Namun para perawi dari Nafi seperti Malik, ‘Ubaidulloh Al ‘Umary, Isma’il bin Umayyah, Musa bin ‘Uqbah, dan ‘Umar bin Muhammad, semua meriwayatkan tanpa lafadz ” pernikahan atau semisalnya”. Sehingga disini riwayat Az Zubaidy dikatagorikan Syadzah pula.

Dari sini kita mengetahui bahwa lafadz hadits Ibnu ‘Umar tentang kewajiban memenuhi undangan hanya terkait dengan walimah pernikahan saja, sebagaimana yang telah ditunjukan dalam riwayat yang Al Imam Al Bukhory dan Muslim dari Nafi dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah bersabda:

«إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا»

“Jika salah seorang dari kalian diundang ke acara pesta pernikahan maka hendaknya dia datang” [Muttafaqun ‘alaihi dari shahabat Ibnu Umar]

Riwayat ini lebih shahih dari lafadz Muslin dari jalan Ma’mar maupun Az Zubaidy. Wallohu a’lam.‎
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

1 komentar: