Translate

Senin, 17 Oktober 2016

Hukuman Bagi Orang Murtad

Allah ta’ala berfirman :

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar” [QS. Al-Maaidah : 33].

Al-muharabah artinya "berlawanan dan bertentangan". Makna kalimat ini dapat ditunjukkan kepada pengertian "kafir, membegal jalan, dan meneror keamanan di jalan". Demikian pula membuat kerusakan di muka bumi mempunyai pengertian yang banyak mencakup berbagai aneka kejahatan. Sehingga banyak dari kalangan ulama Salaf —yang antara lain ialah Sa'id ibnul Musayyab— mengatakan bahwa sesungguhnya menggenggam (menguasai) dirham dan dinar termasuk perbuatan menimbulkan kerusakan di muka bumi. Allah Swt. telah berfirman:


{وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الأرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ}

Dan apabila ia berpaling (dari mukamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang-binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. (Al-Baqarah: 205)
Kemudian sebagian dari mereka (ulama Salaf) ada yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik. ‎

Sama halnya dengan apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Jarir, bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Waqid, dari Yazid, dari Ikrimah dan Al-Hasan Al-Basri, keduanya telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. (Al-Maidah: 33) sampai dengan firman-Nya: bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Maidah: 34); diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik. Barang siapa dari mereka yang bertobat sebelum kalian sempat menangkapnya, maka tiada jalan bagi kalian untuk menghukumnya. Tetapi ayat ini sama sekali tidak mengecualikan seorang muslim pun dari hukumanhad jika ia melakukan pembunuhan atau mengadakan kerusakan di muka bumi, atau memerangi Allah dan Rasul-Nya, kemudian bergabung dengan orang-orang kafir sebelum kalian sempat menangkapnya. Hal tersebut tidak melindunginya dari hukuman had apabila dia memang melakukannya. 
Imam Abu Daud dan Imam Nasai meriwayatkan melalui jalur Ikrimah, dari Ibnu Abbas, yaitu mengenai firman-Nya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang me­merangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi.(Al-Maidah: 33); Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik. Dan siapa pun dari mereka yang telah bertobat sebelum kalian sempat menangkap­nya, hal tersebut tidak dapat melindunginya dari hukuman had atas per­buatan yang telah dilakukannya.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubung­an dengan firman-Nya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang me­merangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi. (Al-Maidah: 33), hingga akhir ayat; Dikatakan bahwa ada segolongan kaum dari kalangan Ahli Kitab yang antara mereka dan Nabi Saw. terdapat perjanjian perdamaian, lalu mereka melanggar perjanjian itu dan membuat kerusakan di muka bumi. Maka Allah menyuruh Rasul-Nya memilih antara membunuh mereka atau memotong tangan dan kaki mereka secara bersilang jika suka. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Syu'bah telah meriwayatkan dari Mansur. dari Hilal ibnu Yusaf. dari Mus'ab ibnu Sa'd, dari ayahnya yang telah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan golongan Haruriyah, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi. (Al-Maidah: 33); Demikianlah Riwayat menurut Ibnu Ibnu Mardawaih
Tetapi pendapat yang benar ialah yang mengatakan bahwa ayat ini mengandung makna umum mencakup orang-orang musyrik dan lain-lainnya yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.  Seperti yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim:‎

مِنْ حَدِيثِ أَبِي قِلابة -وَاسْمُهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ الجَرْمي الْبَصْرِيُّ-عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: أَنَّ نَفَرًا مِنْ عُكْل ثَمَانِيَةً، قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم فَبَايَعُوهُ عَلَى الْإِسْلَامِ، فَاسْتَوْخَمُوا الْأَرْضَ وسَقَمت أَجْسَامُهُمْ، فَشَكَوْا ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "أَلَّا تَخْرُجُونَ مَعَ رَاعِينَا فِي إِبِلِهِ فَتُصِيبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا؟ " فَقَالُوا: بَلَى. فَخَرَجُوا، فَشَرِبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا، فَصَحُّوا فَقَتَلُوا الرَّاعِيَ وَطَرَدُوا الْإِبِلَ. فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَعَثَ فِي آثَارِهِمْ، فأُدْرِكُوا، فَجِيءَ بِهِمْ، فَأَمَرَ بِهِمْ فَقُطِعَتْ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ، وسُمرت أَعْيُنُهُمْ، ثُمَّ نُبِذُوا فِي الشَّمْسِ حَتَّى مَاتُوا.

melalui hadis Abu Qilabah yang bernama asli Abdullah ibnu Zaid Al-Jurmi Al-Basri, dari Anas ibnu Malik, bahwa ada segolongan kaum dari Bani Ukal yang jumlahnya delapan orang; mereka datang kepada Rasulullah Saw., lalu berbaiat (berjanji setia) kepadanya untuk membela Islam, lalu mereka membuat kemah di Madinah. Setelah itu mereka terkena suatu penyakit, lalu mengadu kepada Rasulullah Saw. sakit yang mereka alami itu. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Maukah kalian keluar bersama penggembala kami berikut unta ternaknya. lalu kalian berobat dengan meminum air seni dan air susu ternak itu. Mereka menjawab, "Tentu saja kami mau." Lalu mereka keluar (berang­kat menuju tempat penggembalaan ternak), kemudian meminum air seni serta air susu ternak itu. Tetapi setelah mereka sehat, penggembala itu mereka bunuh, sedangkan ternak untanya dilepasbebaskan. Ketika berita itu sampai kepada Rasulullah Saw., beliau mengirimkan sejumlah orang untuk mengejar mereka. Akhirnya mereka tertangkap, lalu dihadapkan kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. memerintahkan agar tangan dan kaki mereka dipotong, matanya ditusuk, kemudian dijemur di panas matahari hingga mati. Demikianlah menurut lafaz Imam Muslim.
Menurut suatu lafaz oleh keduanya (Bukhari dan Muslim) disebut­kan dari Ukal atau Arinah, dan menurut lafaz yang lain disebutkan bahwa mereka dilemparkan di padang pasir, lalu mereka meminta minum, tetapi tidak diberi minum (hingga mati). Menurut suatu lafaz oleh Imam Mus­lim, Nabi Saw. tidak mengobati mereka lagi (melainkan pendarahannya dibiarkan hingga mati).‎

Sedangkan menurut apa yang ada pada Imam Bukhari disebutkan bahwa Abu Qilabah mengatakan, "Mereka adalah orang-orang yang telah mencuri, membunuh, dan kafir sesudah imannya serta memerangi Allah dan Rasul-Nya."
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui jalur Hasyim, dari Abdul Aziz ibnu Suhaib dan Humaid, dari Anas, lalu ia mengetengahkan hadis yang semisal. Dalam lafaz riwayat ini disebutkan bahwa mereka terlebih dahulu murtad.‎

Keduanya (Bukhari dan Muslim) telah mengetengahkannya melalui riwayat Qatadah, dari Anas dengan lafaz yang semisal.
Sa'id telah meriwayatkan dari Qatadah, bahwa mereka dari Ukal dan Arinah.
Imam Muslim telah meriwayatkan melalui jalur Sulaiman At-Taimi, dari Anas yang telah menceritakan bahwa sesungguhnya Nabi Saw. mencongkel mata mereka, karena mereka telah mencongkel mata si penggembala itu.
Imam Muslim telah meriwayatkan pula melalui hadis Mu'awiyah ibnu Qurrah, dari Anas yang telah menceritakan bahwa datang kepada Rasulullah Saw. segolongan orang dari Bani Arinah, lalu mereka masuk Islam dan menyatakan baiatnya kepada Nabi Saw., sedangkan saat itu di Madinah sedang mewabah sejenis penyakit yang dinamai Al-Mum, yaitu sama dengan penyakit Birsam. Kemudian Imam Muslim menge­tengahkan kisah mereka dan di dalamnya ditambahkan bahwa ternak unta itu digembalakan oleh seorang pemuda dari kalangan Ansar yang berusia hampir dua puluh tahun, lalu Nabi Saw. melepaskan mereka, kemudian Nabi Saw. mengirimkan pula seorang mata-mata untuk meng­awasi gerak-gerik mereka. Semua yang telah disebutkan di atas menurut lafaz Imam Muslim.‎

Hammad ibnu Salamah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qatadah dan Sabit Al-Bannani serta Humaid At-Tawil, dari Anas ibnu Malik, bahwa sejumlah orang dari kabilah Arinah datang ke Madinah, lalu mereka terserang penyakit yang sedang melanda Madinah. Maka Rasulullah Saw. mengirimkan mereka ke tempat penggembalaan ternak unta hasil zakat, dan beliau Saw. memerintahkan kepada mereka untuk meminum air seni dan air susu ternak unta itu (sebagai obatnya).
Lalu mereka melakukannya dan ternyata mereka sehat kembali, tetapi sesudah itu mereka murtad dari Islam dan membunuh si penggem­bala itu, lalu menggiring ternak untanya. Maka Rasulullah Saw. mengi­rimkan suatu pasukan untuk mengejar mereka. Akhirnya mereka tertangkap dan dihadapkan kepada Rasulullah Saw.,lalu tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang dan mata mereka dicongkel (dibu­takan), setelah itu tubuh mereka dijemur di padang pasir.‎

Anas r.a. mengatakan, "Sesungguhnya aku melihat seseorang dari mereka menjilat-jilat tanah dengan mulutnya karena kehausan, hingga akhirnya mereka semua mati. Dan turunlah firman-Nya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya '(Al-Maidah: 33), hingga akhir ayat"
Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai serta Ibnu Murdawaih telah meriwayatkannya pula, dan inilah lafaznya. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Ibnu Murdawaih telah meriwayatkannya melalui berbagai jalur yang cukup banyak dari Anas Ibnu Malik, antara lain melalui dua jalur dari Salam ibnus Sahba, dari Sabit, dari Anas ibnu Malik. Salam mengatakan bahwa ia tidak pernah menyesal karena hadis yang pernah ditanyakan oleh Al-Hajjaj. Al-Hajjaj berkata kepadanya.”Ceritakanlah kepadaku tentang hukuman yang paling keras yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw."Lalu ia menjawab,"Pernah datang kepada Rasulullah Saw. suatu kaum dari kabilah Arinah yang tinggal di Bahrain. Lalu mereka mengadu kepada Rasulullah Saw. tentang penyakit yang dirasa­kan oleh perut mereka. Saat itu warna tubuh mereka telah menguning dan perut mereka kembung. Maka Rasulullah Saw. memerintahkan mereka agar datang ke tempat penggembalaan ternak unta sedekah (zakat) untuk meminum air seni dan air susunya. Setelah kesehatan mereka telah pulih dan perut mereka telah kempes seperti sediakala, tiba-tiba mereka menyerang si penggembala dan membunuhnya serta membawa lari ternak untanya. Maka Rasulullah Saw. mengirimkan sejumlah pasukan untuk mengejar mereka, lalu tangan dan kaki mereka dipotong serta mata mereka dibutakan, kemudian dilemparkan di tengah padang pasir hingga mati."
Dinyatakan bahwa Al-Hajjaj, apabila naik ke atas mimbarnya acapkali mengatakan, "Sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah memotong tangan dan kaki suatu kaum, kemudian melemparkan tubuh mereka ke padang pasir hingga mati, karena mereka merampok sejumlah ternak unta." Dan tersebutlah bahwa Al-Hajjaj sering berdalilkan hadis ini terhadap orang-orang.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

قال ابن بطال: ذهب البخاري إلى أن آية المحاربة نزلت في أهل الكفر والردة

“Ibnu baththaal berkata : Al-Bukhaariy berpendapat bahwa ayat muhaarabah turun berkenaan dengan orang-orang kafir dan murtad”‎[Fathul-Baariy, 12/109].

Allah ta’ala juga berfirman :

وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar” [QS. Al-Israa’ : 33].

Larangan pembunuhan jiwa dalam ayat ini dikecualikan jika terdapat alasan yang dibenarkan oleh syari’at. Qataadah bin Di’aamah rahimahullah menjelaskan perkecualian tersebut sebagaimana ada dalam riwayat :

حَدَّثَنَا بِشْرٌ، قَالَ: ثنا يَزِيدُ، قَالَ: ثنا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، قَوْلَهُ: " وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ. وَإِنَّا وَاللَّهِ مَا نَعْلَمُ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلا بِإِحْدَى ثَلاثٍ، إِلا رَجُلا قَتَلَ مُتَعَمِّدًا، فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ، أَوْ زَنَى بَعْدَ إِحْصَانِهِ فَعَلَيْهِ الرَّجْمُ، أَوْ كَفَرَ بَعْدَ إِسْلامِهِ فَعَلَيْهِ الْقَتْلُ "

Telah menceritakan kepada kami Bisyr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yaziid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah tentang firman-Nya : ‘Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar’ (QS. Al-Israa’ : 33), ia berkata : “Kami tidak mengetahui darah seorang muslim dihalalkan ‎kecuali dengan satu di antara tiga sebab : seorang yang membunuh secara sengaja, maka wajib baginya ditegakkan qishaash; atau orang yang telah menikah yang berzina, maka baginya hukum rajam; dan kafir setelah Islamnya, maka baginya hukum bunuh” [Tafsiir Ath-Thabariy, 17/439; shahih].

Ath-Thabariy menguatkan apa yang dikatakan oleh Qataadah rahimahumallah tersebut dalam ‎Tafsir-nya. Perhatikan pula istitsnaa’ (perkecualian) dalam riwayat berikut :

حَدَّثَنَا نُعَيْمٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ حُمَيْدٍ الطَّوِيلِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَإِذَا قَالُوهَا وَصَلَّوْا صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلُوا قِبْلَتَنَا وَذَبَحُوا ذَبِيحَتَنَا، فَقَدْ حَرُمَتْ عَلَيْنَا دِمَاؤُهُمْ وَأَمْوَالُهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ "

Telah menceritakan kepada kami Nu’aim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak, dari Humaid Ath-Thawiil, dari Anas bin Maalik, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan Laa ilaha illallaah. Apabila mereka telah mengatakannya, mengerjakan shalat seperti shalat kita, menghadap ke kiblat kita, dan menyembelih seperti sembelihan kami; maka diharamkan bagi kami atas darah mereka dan harta mereka, kecuali dengan haknya. Adapun perhitungannya ada di sisi Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 393].

Dijelaskan lebih lanjut :

حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ سَهْلٍ، قَالَ: ثنا عَمْرُو بْنُ هَاشِمٍ، قَالَ: ثنا سُلَيْمَانُ بْنُ حَيَّانَ، عَنْ حُمَيْدٍ الطَّوِيلِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا: لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ ". قِيلَ: وَمَا حَقُّهَا ؟ قَالَ: " زِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ، وَكُفْرٌ بَعْدَ إِيمَانٍ، وَقَتْلُ نَفْسٍ فَيُقْتَلُ بِهَا "

Telah menceritakan kepadaku Muusaa bin Sahl, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Haasyim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Hayyaan, dari Humaid Ath-Thawiil, dari Anas bin Maalik, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan Laa ilaha illallaah. Apabila mereka telah mengatakannya, maka terlindungilah dariku darah mereka dan hartanya kecuali dengan haknya (alasan yang benar). Adapun perhitungannya ada di sisi Allah”. Dikatakan kepada beliau : “Apakah haknya tersebut ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Zina setelah menikah, kafir setelah iman, dan membunuh jiwa. Maka pelakunya dibunuh dengan sebab tersebut” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy, 17/439; hasan].

Sebagian ulama – misal : Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah – mengatakan bahwa penjelasan istitsnaa’ atau keseluruhan hadits Ath-Thabariy di atas merupakan perkataan Anas radliyallaahu ‘anhu secara mauquf [‎Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 215, tahqiq : Dr. Maahir Al-Fakhl]. Baik marfuu’ ataupun ‎mauquuf, maka itu menunjukkan pemahaman salaf dalam hal istitsnaa’ keharaman pembunuhan jiwa dalam QS. Al-Israa’ : 33.

Dari sini dapat kita ketahui bahwasannya hadd bagi orang murtad mempunyai sandaran dari Al-Qur’an sesuai dengan pemahaman salaf kita yang shaalih. Secara esensi, diperkuat lagi oleh hadits-hadits :

أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، نا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ غَالِبٍ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لا يَحِلُّ دَمُ رَجُلٍ إِلا ثَلاثَةً، مَنْ قَتَلَ نَفْسًا، أَوِ الثَّيِّبُ الزَّانِي، أَوِ التَّارِكُ لِلإِسلامِ "

Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Aadam : Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari Abu Ishaaq, dari ‘Amru bin Ghaalib, dari ‘Aaisyah, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Tidaklah halal darah seseorang (muslim) kecuali dengan tiga sebab : membunuh jiwa (dengan sengaja), orang yang pernah menikah yang berzina, dan orang yang meninggalkan Islam” [Diriwayatkan oleh Ishaaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya no. 1603; shahih].

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ يَحْيَى ابْنِ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلٍ، قَالَ: " كُنَّا مَعَ عُثْمَانَ وَهُوَ مَحْصُورٌ فِي الدَّارِ، وَكَانَ فِي الدَّارِ مَدْخَلٌ مَنْ دَخَلَهُ سَمِعَ كَلَامَ مَنْ عَلَى الْبَلَاطِ، فَدَخَلَهُ عُثْمَانُ فَخَرَجَ إِلَيْنَا وَهُوَ مُتَغَيِّرٌ لَوْنُهُ، فَقَالَ: إِنَّهُمْ لَيَتَوَاعَدُونَنِي بِالْقَتْلِ آنِفًا، قَالَ: قُلْنَا: يَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، قَالَ: وَلِمَ يَقْتُلُونَنِي؟ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: كُفْرٌ بَعْدَ إِسْلَامٍ، أَوْ زِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ، أَوْ قَتْلُ نَفْسٍ بِغَيْرِ نَفْسٍ "، فَوَاللَّهِ مَا زَنَيْتُ فِي جَاهِلِيَّةٍ وَلَا فِي إِسْلَامٍ قَطُّ، وَلَا أَحْبَبْتُ أَنَّ لِي بِدِينِي بَدَلًا مُنْذُ هَدَانِي اللَّهُ، وَلَا قَتَلْتُ نَفْسًا، فَبِمَ يَقْتُلُونَنِي؟ "

Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, dari Yahyaa bin Sa’iid, dari Abu Umaamah bin Sahl, ia berkata : Kami pernah bersama ‘Utsmaan ketika ia dikepung di rumahnya. Di dalam rumahnya terdapat sebuah lorong, yang kalau ada orang memasukinya, ia dapat mendengar perkataan orang yang ada di atas lantai. Maka ‘Utsmaan pun memasukinya, dan tidak lama kemudian keluar menemui kami dengan raut muka yang berubah. Ia berkata : “Sesungguhnya mereka barusan berniat akan membunuhku”. Kami berkata : “Cukuplah Allah yang melindungimu dari mereka wahai Amiirul-Mukminiin”. Ia berkata : “Mengapa mereka hendak membunuhku ?. Aku mendengar Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Tidak halal darah seseorang kecuali dengan salah satu di antara tiga sebab : kafir setelah Islam, melakukan perzinahan setelah menikah, atau membunuh jiwa bukan karena qishash’. Demi Allah, aku tidak pernah berzina sedikitpun baik di masa Jaahiliyyah ataupun setelah aku memeluk Islam. Aku pun tidak berharap untuk mengganti agamaku sejak Allah memberikan hidayah (Islam) kepadaku. Dan aku pun tidak pernah membunuh jiwa (tanpa hak). Lantas, dengan sebab apa mereka hendak membunuhku ?” [Diriwayatkan Abu Daawud no. 4502; shahih].
Dalil lain dari hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan hukum bunuh bagi orang murtad adalah :

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، حَرَّقَ قَوْمًا فَبَلَغَ ابْنَ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أُحَرِّقْهُمْ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ، وَلَقَتَلْتُهُمْ "، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ "

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Ayyuub, dari ‘Ikrimah : Bahwasannya ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu pernah membakar satu kaum. Sampailah berita itu kepada Ibnu ‘Abbas, lalu ia berkata : “Seandainya itu terjadi padaku, niscaya aku tidak akan membakar mereka, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Janganlah menyiksa dengan siksaan Allah’. Dan niscaya aku juga akan bunuh mereka sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang menukar/mengganti agamanya, maka bunuhlah ia” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 3017].

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أخبرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ هِلَالٍ الْعَدَوِيِّ، عَنْ أَبِي بُرْدَةَ، قَالَ: قَدِمَ عَلَى أَبِي مُوسَى مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ بِالْيَمَنِ، فَإِذَا رَجُلٌ عِنْدَهُ، قَالَ: مَا هَذَا؟ قَالَ: رَجُلٌ كَانَ يَهُودِيًّا فَأَسْلَمَ، ثُمَّ تَهَوَّدَ، وَنَحْنُ نُرِيدُهُ عَلَى الْإِسْلَامِ، مُنْذُ قَالَ: أَحْسَبُهُ شَهْرَيْنِ، فَقَالَ: وَاللَّهِ لَا أَقْعُدُ حَتَّى تَضْرِبُوا عُنُقَهُ، فَضُرِبَتْ عُنُقُهُ، فَقَالَ: قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ " أَنَّ مَنْ رَجَعَ عَنْ دَيْنِهِ فَاقْتُلُوهُ "، أَوْ قَالَ: " مَنْ بَدَّلَ دَيْنَهُ فَاقْتُلُوهُ "

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Ayyuub, dari Humaid bin Hilaal Al-‘Adawiy, dari Abu Burdah, ia berkata : Mu’aadz bin Jabal datang dan menemui Abu Muusaa di Yaman, yang ketika itu ada seorang laki-laki di dekatnya. Mu’aadz berkata : “Siapakah orang ini ?”. Abu Muusaa menjawab : “Seorang laki-laki yang dulunya beragama Yahudi, lalu masuk Islam, dan setelah itu kembali lagi menjadi Yahudi - dan kami menginginkannya ia tetap beragama Islam – semenjak dua bulan lalu. Mu’aadz berkata : “Demi Allah, aku tidak akan duduk sebelum engkau penggal leher orang ini”. Lalu orang itu pun dipenggal lehernya. Mu’aadz berkata : “Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan bahwa siapa saja yang kembali dari agamanya (kepada kekafiran), maka bunuhlah ia” – atau : “Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/231; shahih].

Juga dari atsar para shahabat radliyallaahu ‘anhum :

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: " لَمَّا تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَفَرَ مَنْ كَفَرَ مِنْ الْعَرَبِ، فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: كَيْفَ تُقَاتِلُ النَّاسَ؟ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَمَنْ قَالَهَا فَقَدْ عَصَمَ مِنِّي مَالَهُ، وَنَفْسَهُ إِلَّا بِحَقِّهِ، وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ، فَقَالَ: وَاللَّهِ لَأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الصَّلَاةِ، وَالزَّكَاةِ، فَإِنَّ الزَّكَاةَ حَقُّ الْمَالِ، وَاللَّهِ لَوْ مَنَعُونِي عَنَاقًا كَانُوا يُؤَدُّونَهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَى مَنْعِهَا، قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: فَوَاللَّهِ مَا هُوَ إِلَّا أَنْ قَدْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَعَرَفْتُ، أَنَّهُ الْحَقُّ "

Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan Al-Hakam bin Naafi’ : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib bin Abi Hamzah, dari Az-Zuhriy : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’uud, bahwasannya Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata : Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan kekhalifahan digantikan oleh Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu; kafirlah sekelompok orang ‘Arab (setelah Islamnya). ‘Umar radliyallaahu ‘anhu berkata : “Bagaimana engkau hendak memerangi mereka (karena enggan menunaikan zakat), padahal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka berkata tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Barangsiapa yang telah mengatakannya, maka terlindungilah dariku hartanya dan dirinya kecuali dengan haknya. Adapun perhitungannya ada di sisi Allah”. Abu Bakr berkata : “Demi Allah, sungguh aku akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat, karena zakat itu adalah hak harta. Demi Allah, seandainya mereka menahan dariku untuk membayarkan anak kambing yang dulu mereka bayarkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sungguh aku akan memerangi mereka dengan sebab itu”. ‘Umar radliyallaahu ‘anhu berkata : “Demi Allah, tidaklah hal itu dikatakannya kecuali Allah telah melapangkan dada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu, lalu aku pun mengetahuinya bahwa apa yang dikatakannya itu adalah kebenaran” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1400].

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang sebab kekafiran orang yang enggan menunaikan zakat tersebut :

وقد اتفق الصحابة والأئمة بعدهم على قتال مانعي الزكاة وإن كانوا يصلون الخمس ويصومون شهر رمضان،وهؤلاء لم يكن لهم شبهة سائغة، فلهذا كانوا مرتدين، وهم يقاتلون على منعها وإن أقروا بالوجوب كما أمر الله، وقد حكي عنهم أنهم قالوا: إن الله أمر نبيه بأخذ الزكاة بقوله (خذ من أموالهم صدقة) وقد سقطت بموته.

“Para shahabat dan imam-imam setelah mereka telah sepakat untuk memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat, meskipun mereka mengerjakan shalat lima waktu dan berpuasa di bulan Ramadlan. Mereka tidak memiliki syubhat yang bisa dibenarkan. Oleh karena itu, mereka adalah orang-orang yang murtad, dan mereka diperangi karena keengganan mereka (membayar zakat), meskipun mereka mengakui akan kewajibannya sebagaimana yang diperintahkan Allah. Dan telah dihikayatkan dari mereka, bahwasannya mereka berkata : ‘Sesungguhnya Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk memungut zakat berdasarkan firman-Nya : ‘Ambillah zakat dari sebagian harta mereka’ (QS. At-Taubah : 103), dan kewajiban zakat telah gugur dengan kematian beliau” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 28/519].

Atau jika kita pahami bahwa Abu Bakr ‎radliyallaahu ‘anhu memerangi mereka bukan karena murtad, namun hanya sekedar tidak menunaikan zakat; maka itu semakin memperkuat hujjah hukum bunuh bagi orang murtad. Seandainya mereka meninggalkan salah satu kewajiban dalam Islam (yaitu zakat) saja boleh ditumpahkan darahnya melalui peperangan, lantas bagaimana keadaan orang yang statusnya menanggalkan keseluruhan syari’at Islam untuk menjadi kafir/murtad ?.

عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: أَخَذَ ابْنُ مَسْعُودٍ قَوْمًا ارْتَدُّوا عَنِ الإِسْلامِ مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ، فَكَتَبَ فِيهِمْ إِلَى عُمَرَ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ: " أَنِ اعْرِضْ عَلَيْهِمْ دِينَ الْحَقِّ، وَشَهَادَةَ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، فَإِنْ قَبِلُوهَا فَخَلِّ عَنْهُمْ، وَإِنْ لَمْ يَقْبَلُوهَا فَاقْتُلْهُمْ، فَقَبِلَهَا بَعْضُهُمْ فَتَرَكَهُ، وَلَمْ يَقْبَلْهَا بَعْضُهُمْ فَقَتَلَهُ "

Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari ‘Ubaidullah bin ‘Utbah, dari ayahnya, ia berkata : Ibnu Mas’uud menawan satu kaum yang murtad dari Islam dari kalangan penduduk ‘Iraaq. Ia menulis kepada ‘Umar perihal mereka. ‘Umar membalas surat tersebut kepada Ibnu Mas’uud yang berkata : “Tawarkan kepada mereka agama yang benar (Islam) dan syahadat Laa ilaha illallaa. Apabila mereka menerima, bebaskan mereka. Namun bila mereka tidak menerimanya, bunuhlah mereka”. Maka sebagian orang-orang murtad itu menerimanya, lalu Ibnu Mas’uud pun membiarkannya (membebaskannya); dan sebagian tidak menerimanya, dan ia pun membunuhnya [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq, 10/168-169 no. 18707; shahih].

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُبَيْدٍ الْعَامِرِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: كَانَ أُنَاسٌ يَأْخُذُونَ الْعَطَاءَ وَالرِّزْقَ وَيُصَلُّونَ مَعَ النَّاسِ، وَكَانُوا يَعْبُدُونَ الْأَصْنَامَ فِي السِّرِّ، فَأَتَى بِهِمْ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، فَوَضَعَهُمْ فِي الْمَسْجِدِ، أَوْ قَالَ: فِي السِّجْنِ، ثُمَّ قَالَ: " يَأَيُّهَا النَّاسُ، مَا تَرَوْنَ فِي قَوْمٍ كَانُوا يَأْخُذُونَ مَعَكُمُ الْعَطَاءَ وَالرِّزْقَ وَيَعْبُدُونَ هَذِهِ الْأَصْنَامَ؟ " قَالَ النَّاسُ: اقْتُلْهُمْ، قَالَ: " لَا، وَلَكِنْ أَصْنَعُ بِهِمْ كَمَا صَنَعُوا بِأَبِينَا إبْرَاهِيمَ، فَحَرَّقَهُمْ بِالنَّارِ "

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahiim bin Sulaimaan, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Ubaid, dari ayahnya, ia berkata : “Ada sekelompok orang yang mengambil bagian harta dari baitul-maal, shalat bersama orang-orang lainnya, namun mereka menyembah berhala secara diam-diam. Maka didatangkanlah mereka ke hadapan ‘Aliy bin Abi Thaalib, lalu menempatkan mereka di masjid – atau di penjara – . ‘Aliy berkata : ‘Wahai sekalian manusia, apa pendapat kalian tentang satu kaum yang mengambil bagian harta dari baitul-maal bersama kalian, namun mereka menyembah berhala-berhala ini ?’. Orang-orang berkata : ‘Bunuhlah mereka !’. ‘Aliy berkata : ‘Tidak, akan tetapi aku melakukan sesuatu kepada mereka sebagaimana mereka dulu (yaitu para penyembah berhala) melakukannya kepada ayah kita Ibraahiim’. Lalu ia membakar mereka dengan api” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 10/142 & 12/392; sanadnya shahih].

عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ، عَنْ قَابُوسَ بْنِ مُخَارِقٍ، أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِي بَكْرٍ، كَتَبَ إِلَى عَلِيٍّ يَسْأَلُهُ عَنْ مُسْلِمَيْنِ تَزَنْدَقَا، فَكَتَبَ إِلَيْهِ " إِنْ تَابَا، وَإِلا فَاضْرِبْ أَعْنَاقَهُمَا

Dari Ats-Tsauriy, dari Simaak bin Harb, dari Qaabuus bin Mukhaariq : Bahwasannya Muhammad bin Abi Bakr menulis surat kepada ‘Aliy yang menanyakan kepadanya tentang dua orang muslim yang berubah menjadi zindiq. Lantas ‘Aliy menulis balasan kepadanya : “Jika bertaubat, maka taubatnya diterima. Jika tidak, penggallah leher mereka berdua” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 10/170-171 no. 18712; hasan].

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاق، عَنْ حَارِثَةَ بْنِ مُضَرِّبٍ، أَنَّهُ أَتَى عَبْدَ اللَّهِ، فَقَالَ: مَا بَيْنِي وَبَيْنَ أَحَدٍ مِنْ الْعَرَبِ حِنَةٌ، وَإِنِّي مَرَرْتُ بِمَسْجِدٍ لِبَنِي حَنِيفَةَ فَإِذَا هُمْ يُؤْمِنُونَ بِمُسَيْلِمَةَ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهِمْ عَبْدَ اللَّهِ فَجِيءَ بِهِمْ فَاسْتَتَابَهُمْ غَيْرَ ابْنِ النَّوَّاحَةِ، قَالَ لَهُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لَوْلَا أَنَّكَ رَسُولٌ لَضَرَبْتُ عُنُقَكَ فَأَنْتَ الْيَوْمَ لَسْتَ بِرَسُولٍ، فَأَمَرَ قَرَظَةَ بْنَ كَعْبٍ فَضَرَبَ عُنُقَهُ فِي السُّوقِ، ثُمَّ قَالَ: مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى ابْنِ النَّوَّاحَةِ قَتِيلًا بِالسُّوقِ "

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsiir : Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari Abu Ishaaq, dari Haaritsah bin Mudlarrib, bahwasannya ia pernah menemui ‘Abdullah (bin Mas’uud), lalu berkata : “Tidaklah antara diriku dengan seorang pun dari bangsa ‘Arab permusuhan. Sesungguhnya aku telah telah melewati masjid Bani Haniifah yang mereka itu beriman kepada Musailamah (Al-Kadzdzab). ‘Abdullah mengutus utusan kepada mereka. Mereka pun didatangkan kepada ‘Abdullah dan diminta untuk bertaubat, kecuali Ibnun-Nawwaahah. Ibnu Mas’uud berkata kepadanya : “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : ‘Seandainya engkau bukan utusan, sungguh akan aku penggal lehermu’. Dan kami sekarang bukan lagi berstatus sebagai utusan”. ‎Ibnu Mas’uud menyuruh Quradhah bin Ka’b untuk memenggal lehernya di pasar. Lantas ia berkata : “Siapa yang ingin melihat Ibnun-Nawwaahah dibunuh di pasar ?” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2762].

Berikut atsar yang ternukil dari ulama setelah generasi shahabat radliyallaahu ‘anhum :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ فِي الرَّجُلِ كَفَرَ بَعْدَ إيمَانِهِ، قَالَ: سَمِعْتُ عُبَيْدَ بْنَ عُمَيْرٍ، يَقُولُ: يُقْتَلُ "

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakr, dari Ibnu Juraij, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Amru bin Diinaar tentang seorang laki-laki yang kafir setelah keimanannya; ia berkata : Aku mendengar ‘Ubaid bin ‘Umair berkata : “Dibunuh” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 10/139; shahih].

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: قَالَ عَطَاءٌ: فِي الْإِنْسَانِ يَكْفُرُ بَعْدَ إيمَانِهِ: " يُدْعَى إلَى الْإِسْلَامِ، فَإِنْ أَبَى قُتِلَ "

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakr, dari Ibnu Juraij, ia berkata : Telah berkata ‘Athaa’ (bin Abi Rabbaah) tentang orang yang kafir setelah keimanannya : “Diajak kembali kepada Islam. Apabila ia menolak, maka dibunuh” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 10/138-139; shahih].

عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ سِمَاكِ بْنِ الْفَضْلِ، أَنَّ عُرْوَةَ، كَتَبَ إِلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فِي رَجُلٍ أَسْلَمَ، ثُمَّ ارْتَدَّ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ عُمَرُ: " أَنْ سَلْهُ عَنْ شَرَائِعِ الإِسْلامِ، فَإِنْ كَانَ قَدْ عَرَفَهَا، فَاعْرِضْ عَلَيْهِ الإِسْلامَ، فَإِنْ أَبَى فَاضْرِبْ عُنُقَهُ، وَإِنْ كَانَ لَمْ يَعْرِفْهَا فَغَلِّظِ الْجِزْيَةَ، وَدَعْهُ "

Dari Ma’mar, dari Simaak bin Al-Fadhl : Bahwasannya ‘Urwah menulis surat kepada ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz tentang seorang laki-laki yang masuk Islam, lalu murtad. Kemudian ‘Umar membalas surat itu kepadanya : “Hendaknya engkau tanyakan kepadanya tentang syari’at-syari’at Islam. Apabila ia mengetahuinya, maka tawarkan kembali kepadanya agar masuk Islam. Jika ia menolak, penggallah lehernya. Namun jika ia tidak mengetahuinya, maka tetapkanlah jizyah kepadanya, lalu biarkanlah ia” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 10/171 no. 18713; hasan].

أَخْبَرَنَا الثَّوْرِيُّ فِي الْمُرْتَدِّ إِذَا قُتِلَ فَمَالُهُ لِوَرَثَتِهِ......

Telah mengkhabarkan kepada kami Ats-Tsauriy tentang orang murtad apabila dibunuh (karena hadd atau yang lainnya), maka hartanya untuk ahli warisnya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 10142; shahih].

أَخْبَرَنَا أحمد بن مُحَمَّد بن مطر، قَالَ: حَدَّثَنَا أبو طالب، قَالَ: سألت أبا عبد الله عن المرتد يستتاب؟ قَالَ: نعم، ثلاثة أيام ؛ فإن تاب وإلا قتل.

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin mathar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Thaalib, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang orang murtad, apakah ia diminta untuk bertaubat ?. Ia menjawab : “Ya, selama tiga hari. Jika ia bertaubat, taubatnya diterima. Jika tidak, dibunuh” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam Ahlul-Milal war-Riddah waz-Zanaadiqah, hal. 487 no. 1199; shahih].

Maalik bin Anas rahimahullah setelah membawakan hadits dari Zaid bin Aslam : ‘barangsiapa yang mengubah agamanya, maka penggallah lehernya’; berkata :

وَمَعْنَى قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا نُرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ مَنْ غَيَّرَ دِينَهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَهُ: أَنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ الْإِسْلَامِ إِلَى غَيْرِهِ مِثْلُ الزَّنَادِقَةِ وَأَشْبَاهِهِمْ، فَإِنَّ أُولَئِكَ إِذَا ظُهِرَ عَلَيْهِمْ قُتِلُوا وَلَمْ يُسْتَتَابُوا، لِأَنَّهُ لَا تُعْرَفُ تَوْبَتُهُمْ، وَأَنَّهُمْ كَانُوا يُسِرُّونَ الْكُفْرَ وَيُعْلِنُونَ الْإِسْلَامَ، فَلَا أَرَى أَنْ يُسْتَتَابَ هَؤُلَاءِ وَلَا يُقْبَلُ مِنْهُمْ قَوْلُهُمْ، وَأَمَّا مَنْ خَرَجَ مِنَ الْإِسْلَامِ إِلَى غَيْرِهِ وَأَظْهَرَ ذَلِكَ، فَإِنَّهُ يُسْتَتَابُ، فَإِنْ تَابَ وَإِلَّا قُتِلَ، وَذَلِكَ لَوْ أَنَّ قَوْمًا كَانُوا عَلَى ذَلِكَ، رَأَيْتُ أَنْ يُدْعَوْا إِلَى الْإِسْلَامِ وَيُسْتَتَابُوا، فَإِنْ تَابُوا قُبِلَ ذَلِكَ مِنْهُمْ، وَإِنْ لَمْ يَتُوبُوا قُتِلُوا، .......

“Dan makna sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ‘barangsiapa yang mengubah agamanya’, menurut kami – wallaahu a’lam - : barangsiapa yang keluar dari Islam kepada selainnya seperti zanaadiqah dan yang semisalnya, maka jika hal itu (yaitu kezindiqan) nampak pada diri mereka, dibunuh tanpa diminta untuk bertaubat. Karena tidak diketahui taubat mereka, dan mereka menyembunyikan kekufuran mereka dengan menampakkan keislaman. Aku tidak berpendapat mereka itu diminta untuk bertaubat (sebelum dibunuh), dan tidak diterima perkataan (taubat) mereka. Adapun bagi orang yang keluar dari Islam kepada selainnya (misal : Nashrani, Yahudi, Majusi, dan yang lainnya‎), dan menampakkannya, maka mereka diminta untuk bertaubat. Jika mereka bertaubat, diterima, dan jika tidak, maka dibunuh......” [Al-Muwaththaa’, 3/553].

Praktek Maalik bin Anas rahimahullah tentang kaum zanaadiqah yang murtad dari Islam :

حدثنا سليمان بن أحمد ثنا الحسن بن إسحاق التستري ثنا يحيى بن خلف ابن الربيع الطرسوسي - وكان من ثقات المسلمين وعبادهم - قال : كنت عند مالك بن أنس ودخل عليه رجل فقال : يا أبا عبد الله ما تقول فيمن يقول القرآن مخلوق ؟. فقال مالك : زنديق اقتلوه، فقال : يا أبا عبد الله، إنما أحكى كلاما سمعته، فقال لم أسمعه من أحد، إنما سمعته منك، وعظم هذا القول

Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Ahmad : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Ishaaq At-Tustariy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Khalaf bin Ar-Rabii’ – dan ia termasuk kalangan terpercaya (tsiqaat) dan ahli ibadah dari kaum muslimin - , ia berkata : Aku pernah di sisi Maalik bin Anas, dan masuklah seorang laki-laki menemuinya lalu berkata : ”Wahai Abu ’Abdillah, apa yang engkau katakan tentang orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk ?”. Maalik menjawab : ”Zindiiq, bunuhlah ia”. Lalu laki-laki berkata : ”Wahai Abu ’Abdillah, aku hanya meriwayatkan perkataan yang aku dengar saja”. Maka Maalik berkata : ”Aku tidak pernah mendengar dari seorang pun kecuali dari engkau”. Maalik pun menganggap besar perkataan ini [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 6/325; shahih].

Juga ulama salaf lainnya :

حدثني أبي رحمه الله سمعت عبد الرحمن بن مهدي يقول من زعم أن الله تعالى لم يكلم موسى صلوات الله عليه يستتاب فان تاب والا ضربت عنقه

Telah menceritakan kepadaku ayahku rahimahullah : Aku mendengar ‘Abdurrahman bin Mahdiy berkata : “Barangsiapa yang menganggap bahwasannya Allah ta’ala tidak berbicara kepada Muusaa, maka ia diminta bertaubat. Jika ia bertaubat, maka diterima, dan jika tidak, ditebas batang lehernya” [Diriwayatkan oleh ’Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah, 1/119-120 no. 44; shahih].

سمعت الحاكم أبا عبد الله الحافظ يقول: سمعت أبا الوليد حسان بن محمد يقول: سمعت الإمام أبا بكر محمد بن إسحاق بن خزيمة يقول: القرآن كلام الله غير مخلوق فمن قال أن القرآن مخلوق فهو كافر بالله العظيم، ولا تقبل شهادته، ولا يعاد إن مرض، ولا يصلى عليه إن مات، ولا يدفن في مقابر المسلمين، يستتاب فإن تاب وإلا ضربت عنقه

Aku mendengar Al-Haakim Abu ‘Abdillah Al-Haafidh berkata : Aku mendengar Abul-Telah berkata Abul-Waliid Hassaan bin Muhammad : Aku mendengar Al-Imaam Abu Bakr Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah berkata : “Al-Qur’an adalah Kalaamullah, bukan makhluk. Maka barangsiapa berkata : Ia adalah makhluk, maka kafir kepada Allah Yang Maha Agung. Tidak diterima persaksiannya, tidak ditengok jika ia sakit, tidak dishalatkan jika ia mati, dan tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. (Dengan perbuatannya itu) ia diminta untuk bertaubat. Jika ia bertaubat, maka taubatnya diterima, jika tidak, dipenggal lehernya” [Diriwayatkan oleh Ash-Shaabuuniy dalam ’Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits, hal. 40-41; shahih].

Para ulama telah menegaskan adanya ijmaa’ tentang hukum bunuh bagi orang-orang murtad.

Setelah membawakan hadits Ibnu ‘Abbaas, At-Tirmidziy rahimahullah berkata :

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي الْمُرْتَدِّ، وَاخْتَلَفُوا فِي الْمَرْأَةِ إِذَا ارْتَدَّتْ عَنِ الْإِسْلَامِ، فَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ: تُقْتَلُ، وَهُوَ قَوْلُ الْأَوْزَاعِيِّ، وَأَحْمَدَ، وَإِسْحَاق، وَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ: تُحْبَسُ، وَلَا تُقْتَلُ، وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ، وَغَيْرِهِ مِنْ أَهْلِ الْكُوفَةِ

“Para ulama mengamalkan hadits ini (yaitu :‘barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia) tentang orang murtad. Dan mereka berselisih pendapat tentang wanita yang murtad dari Islam. Sekelompok ulama berkata : ‘Dibunuh’. Ini adalah pendapat Al-Auzaa’iy, Ahmad, dan Ishaaq. Sekelompok ulama lain berkata : ‘Dipenjara, tidak dibunuh’. Ini adalah perkataan Sufyaan Ats-Tsauriy dan yang lainnya dari penduduk Kuufah” [Sunan At-Tirmidziy, 3/126-127].

Mafhum yang diperoleh dari perkataan At-Tirmidziy rahimahullah ini adalah para ulama tidak berselisih pendapat hukum bunuh bagi laki-laki yang murtad dari Islam. Akan dibawakan keterangan ijmaa’ yang lain setelah ini.

Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :

وفقه هذا الحديث أن من ارتد عن دينه حلل دمه وضربت عنقه، والأمة مجمعة على ذلك، وإنما اختلفوا في استتابته

“Dan fiqh dari hadits ini bahwasannya orang yang murtad dari agamanya, maka halal darahnya dan boleh dipenggal lehernya. Umat telah menyepakatinya. Hanya saja, mereka berselisih dalam permintaan taubat kepadanya” [Fathul-Baariy, 12/270].

Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :

وأجمع أهل العلم على وجوب قتل المرتد وروي ذلك عن أبي بكر وعمر وعثمان وعلي ومعاذ وأبي موسى وابن عباس وخالد وغيرهم ولم ينكر ذلك فكان إجماعا

“Para ulama telah bersepakat wajibnya membunuh orang murtad. Diriwayatkan hal itu dari Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, ‘Aliy, Mu’aadz, Abu Muusaa, Ibnu ‘Abbaas, Khaalid, dan yang lainnya tanpa ada pengingkaran. Maka jadilah ia ijmaa’ (kesepakatan)” [Al-Mughniy, 10/72].

An-Nawawiy rahimahullah berkata :

فيه وجوب قتل المرتد وقد أجمعوا على قتله لكن اختلفوا في استتابته هل هي واجبة أم مستحبة

“Padanya terdapat dalil tentang wajibnya membunuh orang murtad. Dan para ulama telah bersepakat dalam membunuhnya, akan tetapi mereka berselisih pendapat dalam permintaan taubat kepadanya. Apakah ia wajib ataukah sunnah” [Syarh An-Nawawiy li-Shahiih Muslim, 12/208].

Ijmaa’ hukum bunuh berlaku pada laki-laki yang murtad. Adapun untuk wanita yang murtad, maka salaf berbeda pendapat. Yang ‎raajih, tetap dihukum bunuh sesuai dengan keumuman nash. 

Ada sebagian orang yang mengklaim ketidakvalidan ijmaa’ di atas berdasarkan riwayat dari Ibraahiim An-Nakha’iy ‎rahimahullah.

عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ قَيْسٍ، عَنِ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ فِي الْمُرْتَدِّ يُسْتَتَابُ أَبَدًا "، قَالَ سُفْيَانُ: هَذَا الَّذِي نَأْخُذُ بِهِ

Dari Ats-Tsauriy, dari ‘Amru bin Qais, dari Ibraahiim, ia berkata tentang orang murtad : “Diminta untuk bertaubat selamanya”. Sufyaan berkata : “Pendapat inilah yang kami ambil” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 18697; shahih].

Ada beberapa ulama mengomentari perihal perkataan Ibraahiim An-Nakha’iy rahimahullah ini, di antaranya Ibnu Qudaamah yang berkata :

وقال النخعي : يستتاب أبدا وهذا يفضي إلى أن لا يقتل أبدا وهو مخالف للسنة والاجماع

“An-Nakha’iy berkata : ‘Diminta untuk bertaubat selamanya’. Ini dipahami bahwa orang murtad tidak dibunuh selamanya. Perkataan/pemahaman tersebut menyelisihi sunnah dan ijmaa’” [Al-Mughniy, 10/72].

Yang lebih penting dari komentar Ibnu Qudaamah di atas adalah memahami perkataan Ibraahiim An-Nakha’iy rahimahumallah itu sendiri. ‘Abdullah bin Wahb ‎rahimahullah membawakan riwayat Ibraahiim lebih lengkap sebagai berikut :

قَالَ سُفْيَانُ: وَأَخْبَرَنِي عُمَرُو بْنُ قَيْسٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ: الْمُرْتَدُّ يُسْتَتَابُ أَبَدًا كُلَّمَا رَجَعَ

Telah berkata Sufyaan : Dan telah mengkhabarkan kepadaku ‘Amru bin Qais, dari Ibraahiim bin Yaziid (An-Nakha’iy), bahwasannya ia berkata : “Orang murtad diminta untuk bertaubat selamanya, setiap kali ia kembali (pada kekafiran)” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Wahb dalam kitab Muhaarabah hal. 60].

Jadi, maksud perkataan Ibraahiim adalah orang tersebut tetap diminta untuk bertaubat setiap kali ia murtad. Oleh karena itu, perkataan An-Nakhaaiy sebelumnya tidak cukup kuat dansharih (jelas) untuk membatalkan ijmaa’. Al-Bukhaariy rahimahullah berkata dalam Shahiih-nya :

بَاب حُكْمِ الْمُرْتَدِّ وَالْمُرْتَدَّةِ وَاسْتِتَابَتِهِمْ، وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ، وَالزُّهْرِيُّ، وَإِبْرَاهِيمُ: تُقْتَلُ الْمُرْتَدَّةُ

“Baab : Hukum tentang laki-laki dan wanita yang murtad. Telah berkata Ibnu ‘Umar, Az-Zuhriy, dan Ibraahiim : ‘Wanita yang murtad dibunuh” [Shahiih Al-Bukhaariy, 7/279].

Dan ini riwayat Ibraahiim dengan sanadnya :

عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنِ إِبْرَاهِيمَ: " فِي الْمَرْأَةِ تَرْتَدُّ، قَالَ: تُسْتَتَابُ، فَإِنْ تَابَتْ، وَإِلا قُتِلَتْ "

Dari Ma’mar, dari Sa’iid, dari Abu Ma’syar, dari Ibraahiim tentang wanita murtad, ia berkata : “Diminta untuk bertaubat. Jika ia bertaubat, taubatnya diterima. Namun jika ia tidak bertaubat, dibunuh” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 18726].

Tidak diketahui apakah Ma’mar mendengar riwayat Sa’iid bin Abi ‘Aruubah setelah atau sebelum ikhtilaath-nya. Selain itu, riwayat Ma’mar dari penduduk Bashrah – dan Ibnu Abi ‘Aruubah adalah orang Bashrah – terdapat beberapa kekeliruan, sebagaimana dikatakan Abu Haatim dan Ibnu Ma’iin rahimahumullah. ‎Wallaahu a’lam. Namun Ma’mar mempunyai ‎mutaba’ah dari Sufyaan Ats-Tsauriy dan Muhammad bin Bisyr sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 10/141. Abu Ma’syar mempunyai mutaba’ah dari Hammaad bin Abi Sulaimaan. Oleh karena itu, riwayat Ibraahiim ini shahih. Ditambah lagi keterangan riwayat Ats-Tsauriy yang diriwayatkan ‘Abdurrazzaaq no. 10142 tentang harta orang murtad yang dibunuh – yang menjelaskan kesepakatannya terhadap perkataan An-Nakha’iy hanyalah berkaitan dengan persyaratan taubat saja. Wallaahu a’lam.

Ini adalah indikasi yang sangat kuat bahwa maksud perkataan Ibraahiim An-Nakhaa’iy rahimahullah tidak seperti yang mereka inginkan.

Allah ta’ala kemudian berfirman :

قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk” [QS. At-Taubah : 29].

Ini sesuai dengan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang telah disebutkan di atas :

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَإِذَا قَالُوهَا وَصَلَّوْا صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلُوا قِبْلَتَنَا وَذَبَحُوا ذَبِيحَتَنَا، فَقَدْ حَرُمَتْ عَلَيْنَا دِمَاؤُهُمْ وَأَمْوَالُهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ "

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan Laa ilaha illallaah. Apabila mereka telah mengatakannya, mengerjakan shalat seperti shalat kita, menghadap ke kiblat kita, dan menyembelih seperti sembelihan kami; maka diharamkan bagi kami atas darah mereka dan harta mereka, kecuali dengan haknya. Adapun perhitungannya ada di sisi Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 393].

Ini terwujud ketika kondisi umat Islam kuatdan terbentuk negara yang menjalankan syari’at-syari’at agama Islam. ‎Oleh karena itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lantas memberikan tiga opsi bagi orang kafir dalam hal ini sebagaimana terdapat dalam sabda beliau ketika menugaskan seorang panglima yang membawa pasukan menuju pertempuran :

اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ أَوْ خِلَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللَّهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَكُونُ لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلَّا أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمْ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ وَإِذَا حَاصَرْتَ أَهْلَ حِصْنٍ فَأَرَادُوكَ أَنْ تَجْعَلَ لَهُمْ ذِمَّةَ اللَّهِ وَذِمَّةَ نَبِيِّهِ فَلَا تَجْعَلْ لَهُمْ ذِمَّةَ اللَّهِ وَلَا ذِمَّةَ نَبِيِّهِ وَلَكِنْ اجْعَلْ لَهُمْ ذِمَّتَكَ وَذِمَّةَ أَصْحَابِكَ فَإِنَّكُمْ أَنْ تُخْفِرُوا ذِمَمَكُمْ وَذِمَمَ أَصْحَابِكُمْ أَهْوَنُ مِنْ أَنْ تُخْفِرُوا ذِمَّةَ اللَّهِ وَذِمَّةَ رَسُولِهِ وَإِذَا حَاصَرْتَ أَهْلَ حِصْنٍ فَأَرَادُوكَ أَنْ تُنْزِلَهُمْ عَلَى حُكْمِ اللَّهِ فَلَا تُنْزِلْهُمْ عَلَى حُكْمِ اللَّهِ وَلَكِنْ أَنْزِلْهُمْ عَلَى حُكْمِكَ فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي أَتُصِيبُ حُكْمَ اللَّهِ فِيهِمْ أَمْ لَا

”Berperanglah atas nama Allah ! di jalan Allah ! Perangilah orang yang kufur kepada Allah ! Berperanglah dan jangan curang, jangan berkhianat, jangan berlaku kejam (dengan memotong hidung dan telinga), dan jangan membunuh anak-anak !. Apabila kamu bertemu dengan kaum musyrikin yang menjadi musuhmu, maka tawarkanlah kepada mereka tiga pilihan, yang mana salah satu diantara tiga tersebut yang mereka pilih, maka terimalah dan janganlah mereka diserang, lalu ajaklah mereka masuk Islam. Apabila mereka menerima ajakanmu, maka terimalah dan janganlah mereka diserang. Kemudian ajaklah mereka untuk berpindah dari perkampungan mereka menuju perkampungan orang Muhajirin. Jika mereka mau pindah, beritahukan kepada mereka bahwa mereka mendapatkan hak dan kewajiban yang sama seperti orang-orang Muhajirin. Jika mereka tidak mau pindah dari rumah mereka, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka diperlakukan seperti kaum muslimin yang ada di pedalaman dengan diberlakukan hukum Allah atas mereka seperti yang berlaku atas orang-orang mukmin lain tanpa mendapat bagian dari ghanimah dan fa’i, kecuali jika mereka turut berjihad bersama kaum muslimin. Jika mereka tidak mau masuk Islam, maka suruhlah mereka membayar jizyah. Jika mereka bersedia, maka terimalah dan janganlah mereka diperangi. Apabila mereka menolak, maka mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka ! Apabila kamu mengepung benteng musuh lalu mereka menginginkan agar engkau berikan kepada mereka perlindungan dan jaminan Allah serta Nabi-Nya, maka janganlah engkau berikan kepadanya perlindungan Allah serta Nabi-Nya. Tetapi, berilah mereka perlindungan dan jaminan dari kamu sendiri dan pasukanmu. Karena jika kamu berikan perlindungan dan jaminanmu beserta pasukanmu, maka itu lebih ringan resikonya daripada engkau berikan perlindungan dan jaminan Allah serta Nabi-Nya. Apabila kamu mengepung benteng musuh lalu mereka ingin agar engkau memberlakukan kepada mereka hukum Allah, maka janganlah engkau berlakukan hukum Allah kepada mereka. Tetapi, berlakukanlah kepada mereka hukum dari kamu sendiri; karena kamu tidak tahu apakah kamu benar-benar telah memberlakukan hukum Allah kepada mereka atau belum”  [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1731].

Perincian hukuman ini diperkuat dengan adanya sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab Tafsir-nya, jika sanadnya sahih. 
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سَهْلٍ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنِ ابْنِ لَهِيعة، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ؛ أَنَّ عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ مَرْوَانَ كَتَبَ إِلَى أَنَسِ [بْنِ مَالِكٍ] يَسْأَلُهُ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ يُخْبِرُهُ: أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ نَزَلَتْ فِي أُولَئِكَ النَّفَرِ العُرَنِيِّين -وهم من بَجِيلة-قال أنس: فارتدوا عَنِ الْإِسْلَامِ، وَقَتَلُوا الرَّاعِيَ، وَاسْتَاقُوا الْإِبِلَ، وَأَخَافُوا السَّبِيلَ، وَأَصَابُوا الْفَرْجَ الْحَرَامَ. قَالَ أَنَسٌ: فَسَأَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِبْرِيلَ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، عَنِ الْقَضَاءِ فِيمَنْ حَارَبَ، فَقَالَ: مَنْ سَرَقَ وَأَخَافَ السَّبِيلَ فَاقْطَعْ يَدَهُ بِسَرِقَتِهِ، وَرِجْلَهُ بِإِخَافَتِهِ، وَمَنْ قَتَلَ فَاقْتُلْهُ، وَمَنْ قَتَلَ وَأَخَافَ السَّبِيلَ وَاسْتَحَلَّ الْفَرْجَ الْحَرَامَ، فَاصْلُبْهُ.

Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ali Ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Ibnu Lahiah dari Yazid ibnu Abu Habib, bahwa Abdul Malik ibnu Marwan berkirim surat kepada Anas ibnu Malik menanyakan kepadanya tentang makna ayat ini (Al-Maidah 33). Maka Anas ibnu Malik menjawab suratnya yang di dalamnya disebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan segolongan orang dari Bani Arinah, mereka dari Bajilah. Anas r.a melanjutkan kisahnya, "Lalu mereka murtad dari Islam dan membunuh penggembala ternak unta serta menggiring untanya, kemudian mengadakan teror di tengah jalan dengan membegal (merampok) dan memperkosa." Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Lalu Rasulullah Saw. bertanya kepada Malaikat Jibril a.s. mengenai hukum orang yang memberontak. Maka Malaikat Jibril menjawab, 'Barang siapa yang mencuri (merampok) harta dan meneror di jalanan, maka potonglah tangannya karena mencuri, dan potonglah kakinya karena perbuatan terornya. Barang siapa yang membunuh, maka bunuh pulalah dia; dan barang siapa yang membunuh dan melakukan teror serta memperkosa, maka saliblah dia'." 

Mengenai baiat yang ditetapkan kepada pemeluk Islam, disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim melalui Ubadah ibnus Samit r.a. yang telah menceritakan, ‎

أَخَذَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا أَخَذَ عَلَى النِّسَاءِ: أَلَّا نُشْرِكَ بِاللَّهِ شَيْئًا: وَلَا نَسْرِقَ، وَلَا نَزْنِي، وَلَا نَقْتُلَ أَوْلَادَنَا وَلَا يَعْضَه بَعْضُنَا بَعْضًا، فَمَنْ وَفَّى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ، وَمَنْ سَتَرَهُ اللَّهُ فأمْرُه إِلَى اللَّهِ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ

"Rasulullah Saw. telah mengambil janji dari kami sebagaimana beliau telah mengambil janji dari kaum wanita, yaitu kami tidak boleh mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, tidak boleh mencuri, tidak boleh berzina, tidak boleh membunuh anak-anak kita, dan tidak boleh membenci (memusuhi) sebagian yang lain. Maka barang siapa yang menunaikannya di antara kalian, pahalanya ada pada Allah. Dan barang siapa yang melakukan sesuatu dari larangan tersebut, lalu ia dihukum, maka hukuman itu merupakan kifarat bagi (dosa)nya. Barang siapa yang ditutupi oleh Allah, maka perkaranya terserah kepada Allah; jika Dia menghendaki mengazabnya, pasti Dia mengazabnya; dan jika Dia menghendaki memaafkannya, niscaya Dia memaafkannya"
Dari Ali r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:‎

"مَنْ أَذْنَبَ ذَنْبًا فِي الدُّنْيَا، فَعُوقِبَ بِهِ، فَاللَّهُ أَعْدَلُ مِنْ أَنْ يُثَنِّيَ عُقُوبَتَهُ عَلَى عَبْدِهِ، وَمَنْ أَذْنَبَ ذَنْبًا فِي الدُّنْيَا فَسَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَفَا عَنْهُ، فَاللَّهُ أَكْرَمُ مِنْ أَنْ يَعُودَ فِي شَيْءٍ قَدْ عَفَا عَنْهُ".

Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan dosa di dunia, lalu ia dihukum karenanya, maka Allah Mahaadil untuk menduakalikan hukuman-Nya terhadap hamba-Nya. Dan barang siapa yang melakukan suatu perbuatan dosa di dunia, lalu Allah menutupinya dan memaafkannya, maka Allah Maha Pemurah untuk menggu­gatnya dalam sesuatu dosa yang telah dimaafkan-Nya.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib.Al-Hafiz Ad-Daruqutni pernah ditanya mengenai hadis ini, maka ia mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan secara marfu' dan mauquf. Selanjutnya ia mengatakan bahwa yang marfu'adalah sahih.
Ibnu Jarir telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia. (Al-Maidah: 33); Yakni keburukan, keaiban, pembalasan, kehinaan, dan hukuman yang disegerakan di dunia sebelum siksaan di akhirat. dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (Al-Maidah:33); Yakni apabila mereka tidak bertobat dari perbuatannya itu hingga mati, maka di akhirat selain dari pembalasan yang Kutimpakan atasnya di dunia dan siksaan yang Kutimpakan padanya di dunia, mereka mendapat siksaan yang besar, yakni dimasukkan ke dalam neraka Jahannam. 

Kesimpulan dari bahasan singkat ini, hukum bunuh bagi orang murtad adalah benar, berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmaa’. Inilah yang dipahami oleh Al-Khulafaaur-Raasyidiin dan para ulama dari kalangan shahabat seperti : Ibnu Mas’uud, Ibnu ‘Abbaas, Mu’aadz bin Jalan, dan yang lainnya ‎radliyallaahu ‘anhum.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar