Translate

Senin, 01 Juni 2020

Hukum Menimbun Barang Komoditi Saat Terjadinya Wabah


Bagaimanapun juga, keuntungan dari praktik jual beli adalah halal. Syariat telah menegaskan hal ini sebagaimana tercantum dalam ayat:

وأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS Al-Baqarah [2]: 275).

Namun, Allah subhanahu wata’ala juga berfirman dalam QS Al-Nisa [4] ayat 29:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta-harta di antara kalian dengan jalan bathil” (QS Al-Nisa [4] : 29).

Apa hukum menimbun barang untuk menjual lebih mahal? Misal saat-saat ini dengan menimbun masker padahal khalayak ramai sangat membutuhkan.

Apa itu ihtikar?

Ihtikar adalah membeli barang melebihi kebutuhan dengan tujuan menimbunnya, menguasai pasar dan dijual dengan harga tinggi sekehendaknya pada saat khalayak ramai membutuhkannya.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ihtikar (menimbun barang) berarti:
Membeli barang melebihi kebutuhan.Tujuannya menimbun.Tujuannya menguasai pasar.Ingin dijual dengan harga tinggi semaunya.Khalayak ramai membutuhkan.
Menimbun barang di sini termasuk menzalimi orang banyak.

Dari Ma’mar bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ

“Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa.” (HR. Muslim, no. 1605).

Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَن دَخَلَ في شَيءٍ من أسعارِ المُسلِمينَ لِيُغلِيَه عليهم، فإنَّ حَقًّا على اللهِ تَبارك وتَعالى أنْ يُقعِدَه بعُظْمٍ من النَّارِ يَومَ القيامَةِ.

“Siapa yang mempengaruhi harga bahan makanan kaum muslimin sehingga menjadi mahal, merupakan hak Allah untuk menempatkannya ke dalam tempat yang besar di neraka nanti di hari kiamat.” (HR. Ahmad, 4:485).

Berdasarkan dalil pokok di atas, sifat keumuman halalnya jual beli dibatasi oleh illat keharaman penimbunan barang (ihtikar). Ihtikar lebih dekat maknanya dengan hikmat dalil berupa adanya unsur dhalim (penindasan) dan eksploitatif (adl’afan mudla’afah). Kita tidak bisa memutuskan bahwa suatu aktivitas jual beli disebut sebagai ihtikar yang diharamkan tanpa adanya indikasi (madhinnah) ihtikar.

Demikian halnya, karena mengonsumsi keuntungan yang didapat dari hasil jual beli (ribhun) itu hanya haram bilamana ada unsur pembatal transaksi (bathil), maka diperlukan juga sebuah upaya untuk mencari penyebab bisanya transaksi itu dikategorikan sebagai telah berlaku bathil. Dalam kasus menaikkan harga jual masker yang tidak sebagaimana harga umumnya dalam kondisi normal, bagaimanapun juga, praktik pengambilan keuntungan dari jual beli semacam ini adalah benar dan labanya pun halal, karena tidak ada satu pun unsur larangan jual beli yang dilanggar oleh pedagang maupun pembeli.

Bahkan dalam sebuah hadis disebutkan bahwa jika seseorang sengaja menimbun barang, maka Allah akan melaknatnya dengan penyakit kusta dan kerugian. Hadis dimaksud diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Nabi Saw bersabda;

مَنْ اِحْتَكَرَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ طَعَامَهُمْ ضَرَبَهُ اللَّهُ بِالْجُذَامِ وَالْإِفْلَاسِ

“Barangsiapa melakukan ihtikar atau menimbun makanan kaum Muslimin, maka Allah akan memberinya dengan penyakit kusta dan kerugian.”

Indikasi (madhinnah) adanya praktik ihtikar sehingga menyebabkan haramnya laba jual beli, ditengarai oleh beberapa hal, sebagai berikut:

Pertama, adanya hajat manusia terhadap satu jenis barang tertentu. Karena adanya hajat orang banyak, maka suatu perkara yang sempit pasti menghendaki adanya perluasan, dan setiap perkara yang luas menghendaki dipersempit dengan batasan. Sebagaimana kaidah:

إذا ضاق الأمر اتسع وإذا اتسع ضاق

“Ketika sempit suatu urusan, maka diluaskan, dan bila sebaliknya, luas suatu perkara, maka dipersempit.”

Tujuan utama dari kaidah ini adalah keharusan menghilangkan kesulitan (masyaqqah) dan berat (haraj) bagi masyarakat.

وانعقد الإجماع على عدم وقوع الحرج في التكليف، وهو يدل على عدم قصد الشارع إليه، ولو كان واقعًا لحصل في الشريعة التناقض والاختلاف، وذلك منفي عنها، فإنه إذا كان وضع الشريعة على قصد الإعنات والمشقة، وقد ثبت أنها موضوعة على قصد الرفق والتيسير، كان الجمع بينهما تناقضًا واختلافًا، وهي منزهة عن ذلك

“Konsensus ulama ditetapkan di atas dasar ketiadaan timbulnya keberatan dalam menjalankan beban syariat, dan ini selaras dengan maksud syariat yang tak memperberat hamba. Bahkan seandainya dalam syariat itu dibenarkan memperberat beban taklif seorang hamba, maka pasti akan ditemui banyak nash syariat yang bertentangan dan pertentangan satu sama lainnya. Dan semua ini menghendaki dihilangkan dari syariat tersebut. Andaikata Allah menurunkan syariat Islam ini dengan maksud utama sebagaimana karakteristik yang telah disebutkan dan mempersulit mukallaf—padahal di satu sisi syariat diturunkan dalam rangka sebagai rahmat dan kemudahan—maka mengumpulkan antara dua sifat kesulitan dan kemudahan, memberatkan dan rahmat, adalah dua hal yang saling bertentangan dan bertolak belakang. Untuk itu, semua ini menghendaki untuk dibersihkan” (Mafahim Raf’u al-Haraj, Kairo: Dar al-Ifta’ al-Mishriyah, 2011, Nomor Fatwa: 2053).

Walhasil, tindakan menahan diri dari penjual sembako dan masker untuk tidak mengedarkan barang dagangannya yang ada dalam gudangnya harus bisa diduga terlebih dulu, apakah hal itu karena adanya niatan tadlyiq (mempersulit) masyarakat? Jika benar ada indikasi (madhinnah) demikian, maka itu sudah menjadi alasan bahwa tindakan penimbunan itu adalah termasuk haram sebab niatan tadlyiq-nya dan bukan sebab jual belinya.

Kedua, adakalanya tindakan mempersempit ruang gerak juga termasuk merupakan kemaslahatan. Bagaimanapun juga, melakukan jual beli adalah hak individu setiap orang karena hukum asal dari muamalah adalah boleh. Tindakan membatasi ruang gerak individu dalam melakukan jual beli adalah termasuk tindakan yang bertentangan dengan hurriyatu al-tasharruf fi al-milkiyyah (yaitu hak kebebasan untuk mengelola harta kepemilikan). Oleh karena itu, tidak serta merta cukup dengan alasan tadlyiq, lantas ihtikar itu kemudian diputus sebagai haram. Harus ada indikasi lain, yaitu “jika tadlyiq itu mengarah pada upaya terbitnya halak(kerusakan). Dan indikasi adanya kerusakan ditengarai dengan timbulnya krisis harga (ghala’ fakhisy) dan keterpaksaan (mukrah).

Mengapa krisis (ghala’ fakhisy) dan keterpaksaan (mukrah) dianggap lebih condong pada upaya merusak? Setidaknya ada beberapa alasan dalam hal ini. Namun alasan yang paling pokok adalah adanya unsur keterpaksaan menandakan transaksi itu melahirkan unsur tidak saling ridha. Padahal terbitnya ridha dari penjual dan pembeli, adalah merupakan yang dikuatkan syariat.

Ketiga, lantas bagaimana dengan masyarakat penjual yang sudah lama menyimpan masker kebutuhan sembako untuk diperjualbelikan dan kebetulan saja ada kasus yang tak bisa dihindari yaitu wabah corona? Untuk itu maka perlu ditetapkan adanya pendekatan berupa hari. Dan dalam hal ini, ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa tindakan penimbunan yang sudah terlanjur terjadi, bisa masuk unsur kategori ihtikar yang diharamkan, manakala sudah berlaku selama 40 hari sejak terjadinya kepanikan masyarakat, namun pihak penjual tidak segera mengedarkannya. Rosululloh saw Bersabda dalam hadits riwayat Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu:

من احتكر قوت المسلمين أربعين يوماً يريد الغلاء، فقد برئ من ذمة الله وبرئ الله منه

Artinya:  “Siapa menimbun makanan kaum Muslimin selama empat puluh malam maka terlepas dari naungan Allah dan Allah melepaskan naungan darinya.” (HR. Ahmad).

Jadi, setidaknya ada tiga indikasi bahwa sebuah tindakan ihtikar(monopoli) itu bisa dikelompokkan sebagai yang haram atau tidak. Ketiganya adalah
(a) adanya hajat besar manusia,
(b) adanya niatan mempersulit masyarakat yang berujung pada halak (kerusakan/binasa), dan
(c) terjadi selama kurang lebih 40 hari sejak terbitnya wabah.

Illat (alasan dasar) hukum yang menyatakan haramnya ihtikâr adalah bilamana disertai adanya unsur tadlyîq – yaitu mempersulit ruang gerak kaum Muslimin. Selagi tidak ada niatan tadlyîq, maka hukum ihtikâr bahan makanan sebagaimana hal di atas adalah berstatus makruh, demikian menurut kajian fiqih Syafi’i.

Mencermati terhadap pendapat terakhir ini, maka hukum ihtikâr menurut mazhab Syafi’i, menjadi dapat lebih diperinci lagi. Ada kemungkinan suatu ketika ihtikâr ini hukumnya adalah boleh (jaiz), atau bahkan sunnah. Belum lagi apabila melihat objek ihtikâr-nya yang bukan terdiri atas bahan makanan, maka bisa jadi hukumnya adalah boleh. 

Untuk itu penting kiranya dibuat perincian hukum. Secara umum, kita klafisikan hukum ihtikâr sebagai berikut:

1. Haram. Keharaman ihtikâr yang disepakati berdasarkan nash, adalah: 

• Barang yang ditimbun adalah terdiri dari bahan makanan pokok negara atau tempat penimbun
• Barang dibeli dari pasaran dengan niat menghilangkan dari pasaran sehingga dapat menambah tingginya harga
• Penimbunan terjadi melebihi kebutuhan keluarganya

2. Makruh. Kemakruhan ihtikâr adalah terjadi bilamana: 

• Menimbun tanpa tujuan untuk maksud menghilangkan komoditas dari pasaran
• Barang yang ditimbun terdiri atas bahan pokok makanan
• Menimbun pada waktu barang itu ada dalam jumlah banyak.
• Menimbun untuk keperluannya dan keluarganya.

3. Jaiz. Jaiz atau boleh melakukan ihtikâr, apabila:

• Barang yang ditimbun terdiri atas bahan pokok makanan negara
• Menimbun pada waktu lapang.
• Niat menimbun adalah bukan untuk mempengaruhi harga di pasaran
• Seseorang menyimpan untuk kebutuhannya dan keluarganya.
• Menimbun di negara yang penduduknya musyrik

4. Sunnah. Kesunnahan melakukan ihtikâr, adalah apabila:

• Objek yang ditimbun adalah bahan pokok makanan
• Penimbunan dilakukan saat harga barang itu sedang surplus dan murah
• Dalam kondisi surplus, barang tidak sedang sangat dibutuhkan masyarakat
• Barang akan dikeluarkan kembali sampai ia dibutuhkan
• Menimbun dengan niat menjaga kemaslahatan masyarakat

Itulah beberapa penjelasan mengenai Ikhtikar

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar