Translate

Sabtu, 09 Juni 2018

Contoh Tafsir Rosululloh SAW

Sebelum saya menguraikan tentang bagaimana bentuk penafsiran Rasulullah Shallallhu ‘alaih wa Sallam terhadap Alqur’an terlebih dahulu penulis menguraikan tentang tujuh huruf yang dengannya al-Qur’an di turunkan. dengan alasan : 1). Bahwa al-Qur’an tentunya ditafsirkan dan dipahami oleh para sahabat tentang makna, maksud dan tujuan diturunkan tidak terlepas dari susunan huruf yang terdapat di dalam al-Qur’an apalagi al-Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka Arab. 2). Bahwa terjadinya silang pemahaman antar para sahabat dan para ulama rabbani setelahnya disebabkan karena terjadinya silang pemahaman terhadap susunan huruf yang terdapat dalam satu atau dua kalimat dalam satu ayat atau bahkan silang pemahaman terhadap huruf-huruf yang menjadi perantara antara satu kalimat dengan kalmat berikutnya.

Defenisi Huruf

Kata “Huruf” berasal dari dasar kata harafa-yahrufu-harfan yang berarti pengalihan dan kata al-Harfu yang dalam bentuk jamaknya al-Hirafu berarti ujung atau batasan segala sesuatu. Adapun al-Harfu menurut para ahli nahwu adalah sesuatu yang menunjukkan suatu makna yang berbeda dari makna yang sesungguhnya, dan kata huruf juga dapat diartikan sebagai bahasa atau kalimat.

Dari definisi tentang kata huruf di atas kami dapat menarik sebuah benag merah bahwa huruf adalah satuan bentuk dari satu susunan kata yang terbentuk dari paduan huruf sehingga menghasilkan suatu struktur kalimat dan dapat dihadikan sebagai bahan dalam berkomunikasi, berinteraksi dan menulis yang kemudian menjadi sebuah bahasa yang dapat dipahami baik oleh orang yang mengelurkan kalimat tersebut atau pun bagi orang yang mendengarkannya, jadi ketika kita bertanya tentang apa itu huruf, maka kita akan menemukan jawabn bahwa huruf terbagi kedalam dua bagian yaitu huruf hijaiyyah yang berwalan dali alif dan berujung pada yaa’yang kedua adalah huruf latin yang berawal dari A dan berakhir pada Z.

Demikianlah kata huruf bila disandarkan kepada hal yang bersifat umum, adapun ketika kata huruf disandarkan kepada al-Qur’an maka, kita akan menuai berbagai makna dan interpretasi (Ikhtilaafun fii at-Tafisiir)dari kalangan para ulama. Karena huruf yang dengannya al-Qur’an diturunkan ditafsirkan secara berbeda sebab disekitar huruf tersebut terdapat banyak persilangan pendapat yang melibatkan para sahabat dan puluhan ulama mulai dari ulama tafsir sampai kepada ulama Fiqhi, bahkan para cendikiawan barat (orientalis) pun turut mengambil posisi dalam wacana tentang huruf yang dengannya al-Qur’an diturunkan.

Ikhtilaf Ulama Tentang Makna Huruf Tujuh al-Qur’an

Terdapat banyak riwayat yang menunjukkan tentang turunnya al-Qur’an dengan tujuh huruf, diantara riwayat-riwayat tersebut adalah Riwayat al-Bukhari dar hadis Umar bin al-Khaththab, R.A

عن عبد الرحمن بن عبد القارىء أنه قال سمعت عمر بن الخطاب يقول :سمعت هشام بن حكيم بن حزام يقرأ سورة الفرقان على غير ما أقرؤها وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم أقرأنيها فكدت أن أعجل عليه ثم أمهلته حتى انصرف ثم لببته بردائه فجئت به رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلت يا رسول الله إني سمعت هذا يقرأ سورة الفرقان على غير ما أقرأتنيها فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أرسله ثم قال اقرأ يا هشام فقرأ القراءة التي سمعته يقرأ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم هكذا أنزلت ثم قال لي اقرأ فقرأتها فقال هكذا أنزلت إن هذا القرآن أنزل على سبعة أحرف فاقرؤوا ما تيسر منه

Dari Abdurrahman bin abdu al-Qariy ia berkata : ” aku mendengarkan Umar bin al-Khaththab berkata : “Suatu ketika aku mendengarkan Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca surat al-Furqan berbeda dengan bacaan yang biasa aku baca sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mebacakannya kepada kami (surat al-Furqan tersebut) aku hampir saja mengkritik bacaannya kemudian aku mendiamkannya dan pergi, kemudian aku memperhatikan pakaian yang dipakainya (Hisyam) saat itu, kemudian akau mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata : ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya aku telah mendengarkan seseorang membaca surat al-Furqan berbeda dengan bacaan yang pernah engkau ajarkan kepada kami’, maka, Rasulullah berkata : “Bawakan kepadaku orang tersebut?” kemudian berkata : Bacalah wahai Hisyam!” lalu kemudian –Hisyam- membacanya sebagaiman yang aku dengarkan, kemudian Rasulullah bersabda : “Dengan bacaan inilah al-Qur’an diturunkan”. Kemudian belaiu berkata kepadaku : “Bacalah wahai Umar!” lalu akau membacanya kemudian beliau bersabda : “Demikinlah al-Qur’an diturunkan, sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah sesuia dengan bacaan yang mudah bagimu” (H.R Bukhari)

Itulah salah satu riwayat yang menyebutkan bahwasanya al-Qur’an ini di turunkan dalam tujuh huruf.

Berdasarkan riwayat-riwayat yang salah satunya telah kami sebutkan dan masih banyak lagi riwayat-riwayat yang semakna dengannya, maka, para ulama berbeda pendapat tentang makna dari tujuh huruf yang dengannya al-Qur’an diturunkan. Menurut Imam Abu Hatim ibnu Hibban sebagaimana yang dikutip oleh az-Zarkasyi dalam al-Burhan bahwa : “Para ulama berbeda pendapat tentang tujuh huruf di dalam al-Qur’an sebanyak 53 pendapat”. Sementara itu Imam As-Suyuthi menyebutkan bahwa terdapat kurang lebih 40 pendapat tentang maksud tujuh huruf di dalam al-Qur’an. dari sekian banyak silang pendapat tentang tujuh huruf kami akan menyebutkan beberapa diantaranya :

a. Kebanyakan Ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh jenis bahasa Arab yang memiliki kesatuan makna. Kemudian mereka berbeda pendapat dalam membatasi ke tujuh jenis bahasa arab diantara mereka ada yang mengatakan bahwa ke tujuh jenis bahasa yang dimaksud adalah : Quraisy, Hudzil, Tsaqif, Hawadzin, Kinanah, Tamim, dan Yaman. diantara mereka yang membatasinya pada tjuh bahasa berikut : Quraisy, Hudzail, Tamim, Al-Azdy, Rabi’ah, Hawazin, dan bahasa bani Sa’ad.

b. Pendapat kedua menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa yang kepadanya al-Qur’an diturunkan, dengan artian bahwa secara umum kalimat-kalimat yang terdapat di dalam al-Qur’an tidak terlepas dari ketujuh jenis bahasa Arab yang merupakan bahsa terfasih yang ada di tanah Arab. maka lebih banyak bahasa yang digunakan di dalam al-Qur’an dalam bahasa Quraisy, diantaranya pula terdapat bahasa Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamimim dan Yaman yang kesemuanya itu tergolong dalam tujuh bahasa bahasa. Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya dimana mereka memaksudkan bahwa ketujuh huruf atau jenis bahasa tersebut keberadaannya terpisah antara satu surat dengan surat lainnya dan bukan berada pada jenis bahasa dalam satu kalimat.

c. Diantara mereka ada yang berbendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bentuk seperti bentuk perinta (al-Amru), larangan, janji, ancaman, perdebatan, kisah-kisah, permisalan. atau dalam bentuk perinta (al-Amru), larangan, halal, haram, mutasyabih dan permisalan.

d. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bentuk perubahan kata dari segi nahwu dan sharaf.

Dari sekian macam pendapat tentang maksud dari tujuh huruf yang dengan al-Qur’an diturunkan, maka kami dapat mengambil pendapat pertama yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh jenis bahasa yang digunakan dalam beberapa kalimat di dalam al-Qur’an, hal ini disebabkan karena keserasian antara pendapat in dengan riwayat-riwayat yang shahih tentang tujuh huruf tersebut.

Setelah kita menjelaskan tentang tujuh huruf yang dengannya al-Qur’an diturunkan, maka berdasarkan pada hal ini kita dapat mengetahui berebagai macam bentuk penafsiran Rasulullah shallah ‘alaihi wasallam.

Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab yang jelas dan mereka –para sahabat Rasul- memahami teks-teks ayat-ayat Alqur’an beserta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, adapun pemahaman mereka –para sahabat Nabi- tentang kedalaman kandungan makna al-Qur’an, maka hal tersebut nanti akan tampak bagi mereka setelah mereka melakukan penelitian, pencarian dan menanyakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam dalam beberapa kesempatan.

Dari pertanyaan-pertanyan para sahabat beliau Shallallhu ‘alaihi wa Sallam kita dapat menemukan bebagai bentuk penafsiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap al-Qur’an dan tentunya hal ini hanya dapat kita temukan melalui penelitan terhadap riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang bagaimana Rasulullah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang turun kepada beliau. berikut ini akan kami rinci bentuk-bentuk penafsiran Beliau Shallalhu ‘alaihi wa sallam terhadap al-Qur’an.

Di antara ciri khas tafsir Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah menjelaskan hal yang masih musykil (taudliihul-musykil). Misalnya, penjelasan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang makna benang putih dan benang hitam dalam firman Allah ta’ala :

حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” [QS. Al-Baqarah : 187].

Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan benang putih di sini adalah waktu siang, dan benang hitam adalah waktu malam.

Telah diriwayatkan dalam kitab Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, serta kitab-kitab hadits yang lainnya, dari ‘Adiy bn Haatim radliyallaahu ‘anhu bahwasannya ia dulu telah meletakkan dua benang yang berwarna putih dan berwarna hitam di bawah bantalnya. Dia akan memeriksa kedua benang itu apakah ia telah bisa membedakan dengan jelas antara satu dengan yang lainnya. Maka pada pagi harinya ia pergi menuju Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan perbuatannya semalam. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إنما ذلك سواد الليل وبياض النهار

“Yang dimaksud dengan (benang) hitam adalah malam, dan (benang) putih adalah siang”.

Contoh lain : Diriwayatkan oleh Muslim dari Tsauban, maula Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam – ia berkata :
{كنت قائما عند رسول الله صلى الله عليه وسلم. فجاء حبر من أحبار اليهود فقال: السلام عليك يا محمد! }
 “Aku pernah berdiri di samping Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian datanglah seorang Rahib Yahudi dan berkata :‘Assalaamu’alaika  ya Muhammad !…”. Redaksi hadits ini panjang, namun dalam redaksi yang panjang itu sang Rahib Yahudi berkata :

أين يكون الناس يوم تبدل الأرض غير الأرض والسماوات؟

“Dimanakah manusia di hari ketika bumi digantikan oleh selain bumi dan langit ?”.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

هم في الظلمة دون الجسر

“Mereka dalam kegelapan di hadapan jembatan”.

Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini untuk menjelaskan firman Allah ta’ala :

يَوْمَ تُبَدَّلُ الأرْضُ غَيْرَ الأرْضِ وَالسَّمَاوَاتُ

“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit” [QS. Ibraahiim : 48].

Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata :

سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن قوله عز وجل: {يوم تبدل الأرض غير الأرض والسماوات} [14 /إبراهيم /48] فأين يكون الناس يومئذ؟ يا رسول الله! فقال "على الصراط".

“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang firman Allah ‘azza wa jalla : “(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit” :  ‘Dimanakah manusia pada waktu itu berada wahai Rasulullah ?’. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Di atas jembatan”.

Contoh lain lagi adalah sebuah riwayat yang dibawakan oleh Abu Dawud dari Umayyah Asy-Syaibani, ia berkata :

سألت أبا ثعلبة الخشني فقلت يا أبا ثعلبة كيف تقول في هذه الآية عليكم أنفسكم قال أما والله لقد سألت عنها خبيرا سألت عنها رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال بل ائتمروا بالمعروف وتناهوا عن المنكر حتى إذا رأيت شحا مطاعا وهوى متبعا ودنيا مؤثرة وإعجاب كل ذي رأي برأيه فعليك يعني بنفسك ودع عنك العوام فإن من ورائكم أيام الصبر الصبر فيه مثل قبض على الجمر للعامل فيهم مثل أجر خمسين رجلا يعملون مثل عمله وزادني غيره قال يا رسول الله أجر خمسين منهم قال أجر خمسين منكم

“Aku pernah bertanya kepada Abu Tsa’labah Al-Khasysyaniy : “Bagaimana pendapatmu tentang ayat ‘Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu’ (QS. Al-Maaidah : 105) ?”. Abu Tsa’labah berkata : “Demi Allah, aku pernah menanyakan hal itu pada orang yang memang mengetahuinya, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menjawab : ‘Bahkan hendaklah kalian saling beramar ma’ruf nahi munkar. Hingga kamu melihat sifat kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dunia yang diutamakan, dan setiap orang yang bangga/takjub dengan pendapatnya sendiri; maka jagalah dirimu sendiri dan tinggalkanlah masyarakat awam. Sesungguhnya di belakangmu nanti akan ada hari-hari penuh kesabaran. Sabar pada hari itu seperti halnya memegang bara api. Orang yang beramal pada waktu itu akan diberi pahala seperti pahala lima puluh orang lain yang beramal seperti amalnya”. Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, pahala lima puluh orang dari kalangan mereka ?”. Beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Bahkan limapuluh orang di antara kalian”.

Tafsir Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lain terhadap lafadh yang musykil dapat juga ditemui pada riwayat Muslim dari Al-Mughirah bin Syu’bah, ia berkata :

عن المغيرة بن شعبة. قال: لما قدمت نجران سألوني. فقالوا: إنكم تقرؤن: يا أخت هارون. وموسى قبل عيسى بكذا وكذا. فلما قدمت على رسول الله صلى الله عليه وسلم سألته عن ذلك. فقال (إنهم كانوا يسمون بأنبيائهم والصالحين قبلهم).

Dari Mughirah bin Syu’bah ia berkata : Ketika aku tiba di Najraan, orang-orang bertanya kepadaku : ”Apakah engkau memahami ayat ”Hai Saudara perempuan Harun” (QS. Maryam : 28) sedangkan Musa itu hidup jauh sebelum jaman ’Isa. Apakah maksudnya begini dan begini ?”. Setelah aku bertemu dengan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam dan menanyakan tentang hal tersebut, maka beliau menjawab : “Kebiasaan mereka pada waktu itu menyebut nama seseorang dengan menisbatkan kepada para nabi atau orang-orang shalih sebelum mereka”.

Di antara ayat yang lafadhnya masih sulit pengertiannya menurut para shahabat adalah firman Allah ta’ala :

لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلا نَصِيرًا

“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah” [QS. An-Nisaa’ : 123].

Ibnu Katsir berkata :

وقد روي أن هذه الآية لما نزلت شق ذلك على كثير من الصحابة. قال الإمام أحمد: حدثنا عبد الله بن نُمَيْر، حدثنا إسماعيل، عن أبي بكر بن أبي زهير قال: أخْبرْتُ أن أبا بكر قال: يا رسول الله، كيف الصلاح بعد هذه الآية: { لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ } فَكُل سوء عملناه جزينا به؟ فقال النبي صلى الله عليه وسلم: "غَفَر اللَّهُ لكَ يا أبا بكر، ألستَ تَمْرضُ؟ ألستَ تَنْصَب؟ ألست تَحْزَن؟ ألست تُصيبك اللأواء ؟" قال: بلى. قال: "فهو ما تُجْزَوْنَ به".

“Telah diriwayatkan bahwasannya ketika ayat ini diturunkan, banyak di antara shahabat merasa berat (dalam memahaminya). Telah berkata Al-Imam Ahmad : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Numair : Telah menceritakan kepada kami Isma’il, dari Abu Bakr bin Abu Zuhair, ia berkata : Aku diberi khabar bahwa Abu Bakr pernah berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin ada kebahagiaan (di antara kami) setelah diturunkannya ayat ini : “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu” (QS. An-Nisaa’ : 123) ?. Bukankah setiap kejahatan yang kami lakukan akan dibalas ?”. Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Semoga Allah mengampunimu wahai Abu Bakr, bukankah kamu akan menderita sakit ?. Bukankah kamu akan ditimpa musibah ? Bukankah kamu jugaakan merasa sedih ? Bukankah kamu juga akan ditimpa hal-hal yang tidak menyenangkan ?”. Abu Bakr menjawab : “Benar”. Beliau bersabda : “Itulah balasan yang akan diberikan kepada kalian”.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar