Translate

Kamis, 04 Februari 2021

Asal-usul Nama Desa Patikraja

 

Patikraja  adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kecamatan ini masuk dalam wilayah perkotaan Purwokerto. Kecamatan Patikraja termasuk kecamatan yang strategis karena lokasinya yang berada dekat dengan pusat kabupaten selain itu juga dilintasi oleh jalan nasional yang menghubungkan jalan nasional pantai utara jawa (Pantura) dan jalur selatan maupun jalan provinsi lintas tengah yang menghubungkan Kabupaten Banyumas dengan Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Temanggung. Pusat pemerintahan Kecamatan Patikraja berada di Desa Notog. Kecamatan Patikraja juga dilintasi jalur kereta api dengan sebuah terowongan yaitu Terowongan Notog dan stasiun terbesarnya yaitu Stasiun Notog. 

Sejarah Asal-usul Nama Desa Patikraja 

Bahwa pada tahun 1648, terjadi peristiwa menyedihkan di Kraton Mataram (masa pemerintahan Susuhunan Amangkurat I) perselisihan keluarga yang menyebabkan jatuh korban anggota keluarga kerajaan Mataram, yaitu:

Pangeran Cakraningrat I (Raden Praseno) sehingga disebut Pangeran Siding Magiri (Sidho Hing Magiri). Raden Ario Atmojonegoro putra pertama Pangeran Cakraningrat I. Pangeran Ario atau Pangeran Alit, adik Susuhunan Amangkurat I dan Raden Demang Mloyo Kusumo, ayah Pangeran Trunojoyo. Terjadi perubahan kekuasan di Madura Raden Undakan putra ke-2 Pangeran Cakraningrat I dinaikkan tahta kerajaan dengan gelar: “Pangeran Cakraningrat II” (1648 – 1707).

Pangeran Cakraningrat II dalam melaksanakan pemerintah kerajaannya ternyata tidak sebijaksana ayahandanya, Pangeran Cakraningrat I. Kekuasaan pemerintahan Madura pada waktu itu hanya diserahkan kepada bawahan-bawahannya yang ternyata hanya melakukan penekanan-penekanan kepada rakyat yang dipimpinnya, sementara Raja Cakraningrat II, terlalu sering berada di Kraton Mataram.

Pangeran Trunojoyo yang waktu itu hidup di lingkungan keraton Mataram tumbuh sebagai seorang pemuda yang taat kepada agamanya (Islam) dan tidak suka melihat ketidak-adilan yang terjadi baik di Madura ataupun di Jawa.

Beliau segera kembali ke Madura dimana pengaruh kekuasaan Pangeran Cakraningrat II (pamannya) semakin tidak mendapat simpati dari rakyat.Justeru akhirnya setelah Trunojoyo berada di Madura seluruh Madura,seluruh masyarakat Madura mengakui kepemimpinan Pangeran Trunojoyo dari Bangkalan sampai dengan Sumenep dan bergelar: “Panembahan Madura”.

Dengan diidampingi Macan Wulung menantu dari Panembahan Sumenep, Pangeran Trunojoyo mulai menyusun perlawanan melawan kompeni Belanda yang dinamakan “Perang Trunojoyo” berlangsung dari tahun 1677 – 1680.

Pasukan Pangeran Trunojoyo bergabung dengan pelaut-pelaut Makassar dibawah pimpinan Karaèng Galesung (yang pada akhirnya menjadi menantu Pangeran Trunojoyo). Bantuan dari Panembahan Giri merupakan satu kekuatan yang sangat ditakuti oleh kompeni Belanda.

Tanggal 13 Oktober 1676, terjadi pertempuran sengit di Gegodok antara pasukan Pangeran Trunojoyo dan pasukan Mataram yang dipimpin oleh Adipati Anom. Dalam perang dahsyat ini telah gugur pimpinan pasukan Mataram, yaitu: Pangeran Purboyo.

Satu demi satu daerah kekuasaan kerajaan Mataram berhasil ditaklukkan pasukan Pangeran Trunojoyo.

Sementara itu Susuhunan Amangkurat I sangat bersedih atas kekalahan itu, pasukan Mataram yang dipimpin calon Putra Mahkota Kerajaan Mataram tak berdaya menghadapi pasukan Pangeran Trunojoyo.

Kompeni Belanda mulai turun tangan mencampuri urusan karena kalau kerajaan Mataram ditaklukkan Pangeran Trunojoyo berarti kompeni Belanda tidak akan punya pengaruh lagi di tanah Jawa.

Cornelis Speelman, pada tanggal 29 Desember 1676 berangkat dari Betawi dengan 5 kapal perang dan 1.900 orang pasukan gabungan dari Jepara menyerbu Surabaya. Perang terjadi antara pasukan Pangeran Trunojoyo dan pasukan kompeni Belanda, walaupun akhirnya Pangeran Trunojoyo harus mundur ke Kediri. Sementara pasukan kompeni Belanda terus mendesak ke Madura ke pusat cadangan pasukan Pangeran Trunojoyo, kompeni Belanda berhasil menaklukkan pasukan cadangan Pangeran Trunojoyo di Madura, tapi pada lain pihak pasukan Pangeran Trunojoyo berhasil menduduki Kraton Kartasura.

Jatuhnya ibu kota Mataram, karena tidak ada dukungan sama sekali kepada Susuhunan Amangkurat I, bahkan dari para Pangeran dan Bangsawan Kraton Kartasura.

Dalam keadaan sakit, Susuhunan Amangkurat I terpaksa harus mengungsi dari Istana didampingi putranya Adipati Anom

Amangkurat I beserta pengiringnya melarikan diri ke arah barat menuju Banyumas. Setelah perjalanan yang amat melelahkan rombongan Amangkurat I berhasil menyeberangi Sungai Serayu. Maka Raja Mataram yang malang itu merasa lega. Lebih-lebih karena mereka mendapat sambutan yang amat ramah dari penduduk setempat yang secara tradisional memang amat setia kepada Kerajaan Mataram.

Di sebuah desa di sisi utara Sungai Serayu, Sang Raja memerintahkan rombongan untuk istirahat beberapa hari, sebab dia saat itu sedang dalam keadaan sakit. Demikian pula sejumlah anggota rombongan, ada pula yang sakit. Bahkan salah satu petugas yang biasa merawat kuda Sang Raja, juga sakit, akhirnya meninggal dan dikuburkan di desa itu. Kelak desa itu oleh penduduk setempat diberi nama desa Patikraja. Patik adalah abdi dalem raja yang sudah dianggap saudara oleh Adipati Anom sudah dianggap saudara (dulur) saking akrabnya kedua orang tsb masyarakat sekitar lebih mengenangnya sebagai saudaranya/dulurnya Anom atau Bupati Anom.Hingga makam tsb lebih terkenal dengan lur Anom/dulurnya Anom.

Nama Patikraja 

Amangkurat I saat istirahat di Desa Patikraja (*kini) dalam waktu beberapa hari dan pada saat itu tengah musim panen padi.Ketertarikan waktu itu pada kegiatan masyarakat maka Amangkurat I ikut nimbrung dan ikut memetik padi sebentar dengan ani-ani,Peristiwa ini lebih menegaskan penamaan daerah tersebut dengan peristiwa Petik pari raja hingga akhirnya daerah ini ditegaskan sebagai daerah Patikraja.

Perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri Sungai Serayu ke arah timur sampai menempuh jarak 10 km, kemudian rombongan belok kiri ke arah utara, dengan tujuan Tegal. Dari sana akan terus dilanjutkan menuju Batavia, guna meminta bantuan Kompeni, sahabatnya. Tetapi baru menempuh perjalanan sejauh lebih kurang 10 km, Sang Raja jatuh sakit lagi, sehingga rombongan raja itu beristirahat lagi di sebuah desa. Kali ini malah istirahatnya sampai beberapa hari. Putra Mahkota Adipati Anom dan anggota keluarga raja sudah cemas dan khawatir kalau-kalau Sang Raja akan wafat. Tetapi setelah istirahat beberapa hari, ternyata kesehatan Raja berangsur-angsur membaik. Karena itu Putra Mahkota dan segenap rombongan merasa amat gembira. Mereka semua bersuka ria, senang dan gembira. Bahkan Sang Raja sendiri memperlihatkan kegembiraannya dan memerintahkan agar rombongan meneruskan perjalanannya menuju Tegal. Desa tempat Sang Raja merasa senang, suka dan gembira karena bisa sembuh dari sakit, kelak oleh penduduk diberi nama desa Sukaraja. Artinya desa tempat Sang Raja merasa suka, senang dan gembira, karena bisa sembuh. Tapi lama kelamaan nama Sukaraja, berubah mengikuti lidah orang Banyumas, menjadi Sokaraja.

Dari desa Sokaraja, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Tegal dengan menyusuri lereng Gunung Slamet. Tetapi sebelum sampai di Tegal, Sang Raja jatuh sakit lagi dan kali ini tidak tertolong. Amangkurat I mangkat di desa Tegal Arum. Putra Mahkota Adipati Anom ditetapkan sebagai penggantinya dan naik tahta Kerajaan Mataram dengan gelar Amangkurat II ( 1677- 1704 M)

Legenda 

Kecamatan Patikraja zaman dahulu adalah lokasi penyeberangan perjalanan menuju Pantai Selatan. Hingga di daerah ini diutus seorang tukang seberang bernama Joko Rekso. Lokasi penyeberangan waktu itu jika di lihat masa sekarang berada di grumbul "Tambangan". Di lokasi ini juga terdapat Air Pethuk Telu atau bisa disebut juga air pertemuan tiga aliran sungai, yaitu Kali Serayu, Kali Logawa dan Kali Rajut. Konon air pethuk telu diyakini sebagai air keramat guna laku mandi penyucian jiwa. Hingga banyak kalangan dari berbagai kerajaan banyak berdatangan untuk melakukan mandi penyucian jiwa. Dilain pihak lokasi air pethuk telu juga sering digunakan sebagai tempat pelarungan (penghanyutan) abu jenazah. Lokasi ini terkenal di segala penjuru wilayah.

Hingga pada suatu ketika datanglah bencana banjir yang sangat dasyat memporak porakan hampir seluruh wilayah pinggir sungai termasuk daerah yang sekarang di sebut Patikraja. Nasib Joko Rekso sang petugas penyeberangan tak diketahui, sampai saat Tunggul Ametung memerintahkan penggantinya bernama Tunggul Rejo. Sehingga di bantaran Kali Serayu dibangun petilasan untuk mengenang Joko Rekso. Pada masa tugas Tunggul Rejo di wilayah ini juga dibangun sanggar pembakaran mayat, yang pernah ditemukan petilasan/bekas lantai bangunanya tepatnya 100m arah selatan balai Desa sekarang.

Tahun berganti tahun, masa tugas Tunggul Rejo di wilayah ini, hingga pada suatu saat terjadilah hal yang sangat menakjubkan. Saat itu seorang Raja (entah raja darimana) telah dikramasi, setelah dikumpulkan abu jenazahnya ternyata ada satu gigi sang raja yang masih utuh tak terakar. Takut terjadi kesalahan, maka diulang kembali untuk dibakar. Tapi setelah berulang ulang ternyata tetap saja gigi sang raja utuh tak berubah jadi abu. Berita keganjilan ini menyebar ke seantero jagad dan sampai ke telinga sang adipati Tunggul Ametung di Tumapel. Atas kesepakatan warga dan jadi keputusan sang Adipati maka wilayah ini dinamakan Patikraja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar