Translate

Senin, 01 Februari 2021

Hukum Bercerai Saat Wanita Hamil

 

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah, waba’du.

Sebelumnya, cerai (talak) dalam Islam terbagi dua macam :

Talak Sunni, yaitu talak yang dilakukan sesuai prosedur syariat.

Talak Bid’i, yaitu talak yang tidak sesuai prosedur syariat.

Mentalak istri saat hamil tergolong talak sunni atau bid’i

طلاق الزّوجة الحامل ليس طلاقاً بدعياً بل هو طلاق شرعي حتى لو جامعتها، لما ثبت في صحيح مسلم أنّ النّبي صلى الله عليه وسلم قال لعبد الله بن عمر لما طلّق امرأته وهي حائض: “راجعها ثم امسكها حتى تطهر، ثم تحيض ثم تطهر ثم طلقها إن شئت طاهراً قبل أن تمسها أو حاملاً” وهذا باتفاق العلماء، وأمّا ما اشتهر عند العوام من أنّ الحامل لا طلاق عليها فهو غير صحيح.

Mentalak istri saat hamil tidak tergolong talak bid’i. Bahkan itu tergolong talak yang syar’i (talak sunni) sampaipun dilakukan setelah suami menyetubuhinya. Hal ini berdasarkan hadis yang terdapat di Shahih Muslim, bahwa Nabi ﷺ berpesan kepada Abdullah bin Umar saat dia menceraikan istrinya ketika haid,

راجعها ثم امسكها حتى تطهر، ثم تحيض ثم تطهر ثم طلقها إن شئت طاهراً قبل أن تمسها أو حاملاً

“Rujuklah kepada istrimu yang sudah kamu cerai itu. Tetaplah bersamanya sampai dia suci dari haid, lalu haid kembali kemudian suci lagi. Setelah itu silahkan kalau kamu mau mencerainya : bisa saat istri suci sebelum kamu gauli, atau saat dia hamil.”

Bahkan para ulama sepakat, boleh mencerai istri saat kondisinya hamil. Adapun anggapan yang tersebar di tengah masyarakat awam, bahwa wanita hamil tidak sah dicerai, adalah anggapan yang keliru.

Bahkan suatu talak disebut sunni, manakala terjadi pada dua kondisi:

Pertama, dilakukan saat wanita sedang hamil.

Kedua, dilakukan saat wanita berada dalam kondisi suci (tidak sedang haid atau nifas), sebelum disetubuhi.

Dalil yang mendasari ini adalah firman Allah ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya. (QS. At-Thalaq : 1)

Allah memerintahkan jika memang cerai adalah pilihan tepat karena menimbang maslahat yang kuat, maka silahkan lakukan cerai itu saat wanita sedang berada dalam masa ‘iddah. Hamil adalah salah satu waktu iddah untuk wanita yang dicerai, berakhir saat wanita tersebut melahirkan. Menunjukkan, talak yang terjadi saat wanita hamil, adalah talak sunni.

Adapun talak disebut bid’i, manakala dilakukan pada empat keadaan:

Pertama, saat wanita haid.

Kedua, saat nifas

Ketiga, saat suci namun setelah disetubuhi.

Keempat, cerai tiga sekaligus dengan sekali ucapan.

Kesimpulannya, mencerai saat istri sedang hamil, jika karena pertimbangan maslahat yang kuat, hukumnya boleh dan sah.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim diceritakan bahwa Ibnu Umar RA menalak istrinya dalam kondisi haid. Kejadian itu kemudian diceritakan oleh Umar bin Khatthab RA kepada Rasulullah SAW.

Mendengar cerita tersebut lantas Rasulullah SAW meminta Umar bin Khaththab RA agar memerintahkan putranya untuk kembali kepada istrinya. Baru kemudian jika ia tetap ingin menceraikannya, maka ceraikan ketika dalam kondisi suci atau hamil.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فَذَكَرَ ذَلِكَ عُمَرُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلًا

Artinya, “Dari Ibnu Umar RA bahwa ia pernah menalak istrinya dalam keadaan haid. Kemudian Umar bin Khatthab RA menceritakan kejadian tersebut kepada Nabi. Lantas beliau pun berkata kepada Umar bin Khatthab RA, ‘Perintah kepada dia (Ibnu Umar RA) untuk kembali kepada istrinya, baru kemudian talaklah dia dalam keadaan suci atau hamil,” (HR Muslim).

Perintah Rasulullah saw kepada Ibnu Umar RA melalui ayahnya, yaitu Umar bin Khaththab RA itu setidaknya mengadung dua hal penting. Pertama, larangan untuk menalak wanita dalam keadaan haid. Kedua, kebolehan menalak wanita dalam keadaan suci atau hamil.

Senada dengan hal ini Muhyidin Syaraf An-Nawawi dalam Syarah Muslim-nya menjelaskan bahwa kandungan hadits tersebut menunjukkan kebolehan menalak wanita yang sedang hamil yang jelas kehamilannya. Menurutnya, ini adalah pandangan Madzhab Syafi‘i.

Lebih lanjut, menurut Ibnul Mundzir, pandangan Madzhab Syafi‘i ini adalah pendapat mayoritas ulama. Di antara mereka adalah Thawus, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Rabiah, Hammad bin Abi Sulaiman, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Abu Ubaid.

فِيهِ دَلَالَةٌ لِجَوَازِ طَلَاقِ الْحَامِلِ الَّتِي تَبَيَّنَ حَمْلُهَا وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ قَالَ بْنُ الْمُنْذِرِ وَبِهِ قاَلَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ مِنْهُمْ طَاوُسٌ وَالْحَسَنُ وَبْنُ سِيرِينَ وَرَبِيعَةٌ وَحَمَّادُ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ وَمَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَأَبُو ثَوْرٍ وَأَبُو عُبَيْدٍ

Artinya, “Hadits ini menunjukkan kebolehan menalak wanita hamil ketika memang jelas kehamilannya. Ini adalah pandangan Madzhab Syafi‘i. Ibnul Mundzir berkata, pandangan ini juga dianut oleh mayoritas ulama, antara lain Thawus, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Rabiah, Hammad bin Abi Sulaiman, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Abu Ubaid,” (Lihat Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, Kairo, Darul Hadits, cet ke-4, 1422 H/2001 M, juz V, halaman 325).

Ibnul Mundzir juga mengamini pendapat yang menyatakan kebolehan menalak wanita yang dalam kondisi hamil. Demikian juga sebagian ulama dari kalangan Madzhab Maliki. Namun ada juga sebagian ulama Madzhab Maliki yang mengharamkannya. Sedangkan riwayat lain mengtakan, Al-Hasan berpendapat bahwa menalak wanita yang sedang hamil adalah makruh.

قَالَ بْنُ الْمُنْذِرِ وَبِهِ أَقُولُ وَبِهِ قَالَ بَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ وَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ حَرَامٌ وَحَكَى بْنْ الْمُنْذِرِ رِوَايَةً أُخْرَى عَنِ الْحَسَنِ أَنَّهُ قَالَ طَلَاقُ الْحَامِلِ مَكْرُوهٌ

Artinya, “Ibnul Mundzir berkata, saya juga berpendapat demikian. Begitu juga dengan sebagian ulama dari kalangan Madzhab Maliki. Sedang sebagian yang lain menyatakan haram. Ibnul Mundzir juga meriwayatkan riwayat jalur lain dari Al-Hasan. Menurut riwayat jalur ini, Al-Hasan berpendapat bahwa menalak wanita yang sedang hamil adalah makruh,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, juz V, halaman 325).

Berangkat dari penjelasan di atas, maka kita dapat menarik simpulan bahwa mayoritas ulama memperbolehkan penalakan wanita yang sedang hamil kendati ada yang menyatakan bahwa makruh dan haram.

Namun pendapat yang dianggap kuat adalah pendapat mayoritas ulama yang memperbolehkan penalakan wanita yang sedang hamil. Dan iddah bagi wanita hamil yang ditalak adalah sampai ia melahirkan kandungannya sebagaimana firman Allah SWT berikut ini:

وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Artinya, “Wanita-wanita yang hamil waktu iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungan,” (QS At-Thalaq [65]: 4).

Wallohu Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar