Dari Abu Dzar radhiallahu anhu sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
وفي بُضع أحدكم صدقة ) - أي في جماعه لأهله - فقالوا : يا رسول الله أيأتي أحدنا شهوته ويكون له فيها أجر ؟ قال عليه الصلاة والسلام : ( أرأيتم لو وضعها في الحرام ، أكان عليه وزر ؟ فكذلك إذا وضعها في الحلال كان له أجر ) رواه مسلم 720
“Dalam kemaluan salah satu diantara kamu itu shodaqoh –maksudnya dalam berjima dengan istrinya- mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah satu diantara kita menyalurkan syahwatnya dia mendapatkan pahala? Beliau sallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Apakah pendapat anda kalau sekiranya diletakkan pada yang haram, apakah dia mendapatkan dosa? Begitu juga kalau diletakkan yang halal, maka dia mendapatkan pahala.” HR. Muslim, 720.
Ini termasuk keutamaan Allah yang agung terhadap umat penuh berkah ini. Segala puji hanya milik Allah yang kita dijadikan bagian darinya.
Jima’ (bersenggama) termasuk urusan kehidupan yang penting. Dimana agama kita datang dengan penjelasannya. Dan disyareatkan di dalamnya dari adab dan hukum menaikkan (posisi) bukan hanya sekedar kenikmatan hewan semata, dan menyalurkan nafsu bahkan digabungkan dengan masalah niatan yang baik, zikir, adab syariiyyah (agama) yang menaikkan ke posisi ibadah dimana seorang muslim akan mendapatkan pahala. Telah ada dalam sunah nabawiyah menjelaskan hal itu.
Imam Ibnu Qoyim rahimahullah mengatakan dalam kitabnya ‘Zadul Maad’ (Sementara jima’ (bersenggama) maka petunjuk Nabi sallallahu alaihi wa sallam di dalamnya adalah petunjuk yang paling sempurna. Menjaga kesehatan, menyempurnakan kenikmatan dan kegembiraan jiwa. Mendapatkan maksud yang ditempatkan. Sesungguhnya jima ditempatkan pada asalnya untuk tiga perkara yaitu maksud aslinya:
Pertama: menjaga keturunan, terus menerus berkembang biak sampai sempurna bilangan yang Allah tetapkan keturunannya di alam ini.
Kedua: mengeluarkan air, dimana bisa merusak badan ketika ditahan dan dicegahnya.
Ketiga: menunaikan kebutuhan, mendapat kelezatan, menikmati kenikmatan. Faedah ini saja yang ada di surga. Karena di sana tidak ada keturunan dan tidak ada pencegahan untuk mengeluarkannya. Para pakar kedokteran berpendapat bahwa jima termasuk salah satu sebab menjaga kesehatan.” At-Tibbu Nabawi, hal. 249.
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Diantara manfaatnya –maksudnya jima’- menahan pandangan, menjaga diri, mampu menjaga diri dari haram. Hal itu didapatkan untuk wanita. Hal itu bermanfaat untuk dirinya di dunia dan akhiratnya. Dan bermanfaat untuk wanita. Oleh karena itu dahulu Nabi sallallahu alaihi wa sallam mengikat dan mencintainya seraya bersabda:
( حبب إلي من دنياكم : النساء والطيب ) رواه أحمد 3/128 والنسائي 7/61 وصححه الحاكم
“Disenangkan kepadaku masalah dunia kamu semua adalah wanita dan wewangian.” HR. Ahmad, 3/128. Nasa’I, 7/61 dinyatakan shoheh oleh Hakim.
Disunnahkan bagi yang ingin mengulangi hubungan intim dengan pasangannya untuk berwudhu di antara dua aktivitas tersebut. Dikatakan oleh Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, hal itu lebih menyemangati dalam hubungan intim berikutnya. Pengulangan ini akan mudah ditemukan pada pengantin muda atau yang lama kangen tak berjumpa dengan istri.
Ada hadits yang disebutkan dalam Shahih Muslim,
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُودَ فَلْيَتَوَضَّأْ ». زَادَ أَبُو بَكْرٍ فِى حَدِيثِهِ بَيْنَهُمَا وُضُوءًا وَقَالَ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يُعَاوِدَ
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menyetubuhi istrinya lalu ia ingin mengulanginya, maka hendaklah ia berwudhu.” Abu Bakr dalam haditsnya menambahkan, “Hendaklah menambahkan wudhu di antara kedua hubungan intim tersebut.” Lalu ditambahkan, “Jika ia ingin mengulangi hubungan intim.” (HR. Muslim no. 308).
Imam Malik menambahkan lafazh,
فَإِنَّهُ أَنْشَطُ لِلْعَوْدِ
“Berwudhu itu lebih membuat semangat ketika ingin mengulangi hubungan intim.”
Faedah dari hadits di atas:
1- Hadits di atas menunjukkan disunnahkannya berwudhu bagi yang ingin mengulangi hubungan intim dengan istrinya.
2- Menurut jumhur (mayoritas ulama), berwudhu saat itu dihukumi sunnah dan bukan wajib. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengelilingi rumah istri-istrinya dan menyetubuhi mereka hanya dengan sekali mandi dan tidak dinukil beliau berwudhu antara hubungan intim tersebut. Akan tetapi, di antara hubungan intim tersebut, beliau tetap membersihkan kemaluannya.
3- Sunnah untuk wudhu tersebut berlaku jika ingin berhubungan intim lagi dengan istri yang tadi berhubungan atau dengan istri lainnya.
4- Wudhu di antara dua jima’ (hubungan intim) mengandung maslahat diniyah dan duniawiyah. Maslahat diniyah adalah karena taat pada perintah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan maslahat duniawiyah yaitu badan semakin bertambah segar dan bersemangat.
5- Manusia hendaklah tidak menzhalimi dan membebani dirinya sendiri dengan suatu aktivitas. Hendaklah ia tempuh suatu cara yang membuatnya terus semangat dalam meraih urusan dunia dan akhiratnya.
Bahkan kalau mau lebih afdhal, dianjurkan untuk mandi janabah terlebih dahulu, meski pun tentunya bukan merupakan kewajiban atau syarat. Sebab Rasulullah SAW pernah menggilir para istrinya dengan satu kali mandi janabah.
وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَطُوفُ عَلَى نِسَائِهِ بِغُسْلٍ وَاحِدٍ
Dari Anas radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW pernah menggilir para istrinya dengan sekali mandi janabah.(HR. Muslim)
Namun bila tidak keberatan dan mau dapat yang lebih afdhal, tidak mengapa bila setiap kali melakukan jima' dengan salah seorang istri, diakhiri dengan mandi janabah. Sebab yang seperti itu pun juga pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.
عَنْ أَبِي رَافِعٍ مَوْلَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَافَ ذَاتَ يَوْمٍ عَلَى نِسَائِهِ يَغْتَسِل عِنْدَ هَذِهِ وَعِنْدَ هَذِهِ . فَقُلْتُ لَهُ : يَا رَسُول اللَّهِ ! أَلاَ تَجْعَلُهُ غُسْلاً وَاحِدًا ؟ قَال : هَذَا أَزْكَى وَأَطْيَبُ وَأَطْهَرُ
Rasulullah SAW pernah menggilir para istri beliau para suatu hari, tiap selesai dengan yang satu beliau mandi. Aku bertanya,"Ya Rasulullah SAW, tidak cukupkah mandi sekali saja?". Beliau SAW menjawab,"Ini lebih bersih dan lebih suci". (HR. Abu Daud)
Diperbolehkan bagi suami istri mandi bersama di satu tempat meskipun (suami) melihat (aurat) istri atau sebaliknya. Berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu anha berkata:
كنت أغتسل أنا والنبي صلى الله عليه وسلم من إناء بيني وبينه واحد تختلف أيدينا فيه فيبادرني حتى أقول : دع لي ، دع لي قالت : وهما جنبان . رواه البخاري ومسلم .
“Dahulu saya mandi bersama Nabi sallallahu alaihi wa sallam dalam satu bejana antara diriku dan dirinya. Bergantian tangan kami dan beliau mendahuluiku sampai saya mengatakan ‘Biarkan untukku, biarkan untukku’ berkata, “Keduanya dalam kondisi junub.” HR. Bukhori dan Muslim.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar