Mani atau cairan semen adalah cairan yang keluar ketika mimpi basah atau berhubungan intim. Ciri-ciri mani adalah warnanya keruh, memiliki bau yang khas, keluar dengan syahwat, keluar dengan memancar dan membuat lemas. Bedanya madzi dan mani, madzi adalah cairan tipis dan putih, keluar tanpa syahwat, tanpa memancar, tidak membuat lemas dan keluar ketika muqoddimah hubungan intim. Madzi itu najis, sedangkan mengenai status mani apakah najis ataukah suci terdapat perselisihan di kalangan ulama.
Allah Berfirman :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ [٢٣:١٢]ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ [٢٣:١٣]ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ [٢٣:١٤]
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (Al-Mu’minuun:12-14)
Allah berfirman :
هَلْ أَتَىٰ عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا [٧٦:١]إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا [٧٦:٢]
Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (Al-Insaan:1-2)
Allah Berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ [٤٩:١٣]
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujuraat:13)
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ ۚ وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا [٢٢:٥]
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, (Al-Hajj:5)
Para ulama berbeda pendapat mengenai kesucian mani sebagai berikut :
Mani adalah Najis, pendapat ini dianut oleh Imam Abu Hanifah, Imam Laits, Imam Sufyan ats-Tsauri, Imam Malik dan para pengikutnya. Namun mereka berbeda pendapat didalam cara menghilangkan mani, Imam Malik mengatakan harus dicuci, tidak sah jika hanya digosok, sedangkan Imam Abu Hanifah dicuci jika basah dan digosok jika kering, adapun Imam ats-Tsauri sekalipun digosok sudah mencukupi.
Mani adalah suci, ini adalah pendapatnya Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Imam Ishaq bin Rohawiyah, Imam Abu Tsaur dan para pengikutnya. Imam Nawawi menisbatkan pendapat ini kepada mayoritas ahlu hadits. Diriwayatkan bahwa ini adalah pendapatnya Ali bin Abi Tholib, Sa’ad bin Abi Waqqoosh, Ibnu Umar dan Aisyah Rodhiyallahu anhum ajma’in.
Dalil bagi madzhab yang mengatakan najisnya mani diantaranya :
Terdapat riwayat berkenaan untuk mandi karena keluar mani, menurut mereka mandi tidaklah ditujukan kecuali untuk sesuatu yang najis.Mereka berdalil dengan hadits dari ‘Ammaar Rodhiyallahu anhu bahwa Nabi Sholallahu ‘alaihi wa Salaam bersabda :
إنَّمَا نَغْسِلُ الثَّوْبَ مِنْ الْغَائِطِ وَالْبَوْلِ وَالْمَذْيِ وَالْمَنِيِّ وَالدَّمِ وَالْقَيْء
“sesungguhnya hanyalah kami mencuci pakaian karena terkena tahi, air kencing, madzi, mani, darah dan muntahan” (HR. Bazaar dan Abu Ya’laa serta selainnya, namun hadits ini didhoifkan oleh Imam Syaukani dalam “Nailul Author”).
Mereka mengkiyaskan mani dengan sisa-sisa yang keluar dari tubuh seperti air kencing, tahi dan madzi. Lagi pula mani keluar dari kemaluan, sebagaimana air kencing yang keluar dari tempat itu juga.
Para ulama dari madzhab hanafi dan maliki berargumentasi dengan beberapa hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk mendukung dan memperkuat pendapat mereka, di antara hadits tersebut ialah:
يا عمّار إنّما يغسل الثوب من خمس: من الغائط والبول والقيء والدم والمني
"Wahai Ammar, sesungguhnya pakaian itu dicuci karena 5 perkara : karena kotoran, air kencing, muntah, darah dan air mani.”.(HR. Ad-Daruqutni )
Dalam hadits di atas secara tegas Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan bahwa air mani najis dengan menggolongkannya ke dalam golongan sesuatu yang jika mengenai pakaian maka harus dibasuh dan dicuci seperti kotoran, air kencing, darah dan muntah. Berpegang dan bermodal hadits inilah para fuqaha madzhab hanafi dan maliki berani mengeluarkan pendapat bahwa air mani hukumnya najis.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa mani suci, mereka berdalil dengan hadits di bab ini yaitu perbuatan Aisyah Rodhiyallahu anha yang mencuci baju Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salaam dan masih terlihat bekas cucian tersebut dan Beliau tetap melakukan sholat.
Pendapat terakhir inilah yang penyusun anggap paling rajih, yakni sucinya air Mani. Hal ini diperkuat juga dengan perkataan Ibnu Abbas Rodhiyallahu anhu :
أَنَّهُ قَالَ فِي الْمَنِيِّ يُصِيبُ الثَّوْبَ أَمِطْهُ عَنْكَ قَالَ أَحَدُهُمَا بِعُودٍ، أَوْ إذْخِرَةٍ وَإِنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ الْبُصَاقِ، أَوْ الْمُخَاطِ
“bahwa beliau Rodhiyallahu anhu berfatwa tentang mani yang mengenai baju, yaitu gosoklah dengan dahan atau batang idkhir, karena ia seperti ingus dan dahak”.
Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Syafi’I dalam Al Umm, Imam Al Albani dalam “Adh-Dhoifah” (no. 948) setelah menyebutkan hadits ini :
قلت : و هذا سند صحيح على شرط الشيخين ، و قد أخرجه البيهقي من طريق الشافعي ثم قال : ” هذا صحيح عن ابن عباس من قوله ، و قد روي مرفوعا ، و لا يصح رفعه
“sanad ini shahih atas syarat Bukhori-Muslim, Baihaqi meriwayatkan dari jalan Imam Syafi’I lalu berkata : ‘ini shahih dari perkataan Ibnu Abbas Rodhiyallahu anhu (secara mauquf), telah diriwayatkan secara marfu’, namun tidak shahih pemarfuannya”.
Benar hadits ini juga diriwayatkan secara marfu’ namun tidak shahih, Imam Al Albani telah menjelaskan sebab pelemahannya, silakan merujuk di kitab tersebut bagi yang mau.
Hadits ‘Abdullah bin Syihaab Al-Khaulani :
عن عبدالله بن شهاب الخولاني؛ قال: كنت نازلا على عائشة. فاحتملت في ثوبي. فغمستهما في الماء. فرأتني جارية لعائشة. فأخبرتها. فبعثت إلي عائشة فقالت: ما حملك على ما صنعت بثوبيك؟ قال قلت: رأيت ما يري النائم في منامه. قالت: هل رأيت فيهما شيئا؟ قلت: لا. قالت: فلو رأيت شيئا غسلته. لقد رأيتني وإني لأحكه من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم، يابسا بظفري
Dari ‘Abdullah bin Syihaab Al-Khaulaniy, ia berkata : Aku pernah singgah di tempat ‘Aisyah. Lalu aku bermimpi sehingga dua pakaianku terkena air mani. Maka aku celupkan ke dalam air. Aku dilihat oleh budak ‘Aisyah, dan kemudian ia memberitahukan kepada ‘Aisyah. Kemudian ‘Aisyah menghampiriku dan bertanya : “Mengapa dua pakaianmu engkau celup seperti itu ?”. Aku menjawab : “Aku telah bermimpi dan mengeluarkan air mani”. ‘Aisyah bertanya : “Apakah engkau melihat sesuatu (air mani) di kedua pakaianmu ?”. Aku menjawab : “Tidak”. ‘Aisyah berkata : “Apabila engkau melihat sesuatu (air mani), maka basuhlah ia. Sesungguhnya aku pernah menggerik bekas air mani kering dari baju Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan kuku-ku” [HR. Muslim no. 290].
Sisi pendalilannya adalah bahwa ‘Aisyah hanya menggosok air mani (kering) dari baju Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apabila air mani itu najis, niscaya wajib untuk mencucinya seperti halnya najis.
Adapun para ulama yang berpendapat bahwa air mani manusia itu hukumnya suci, yaitu ulama madzhab syafi’i, hanbali dan dzahiri, untuk memperkokoh pendapat mereka ini berdalil dengan beberapa hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga, di antara hadits tersebut:
أنه سئل عن المني يصيب الثوب فقال: إنما هو بمنزلة المخاط أو البزاق وقال: إنما يكفيك أن تمسحه بخرقة أو إذخرة
"Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya tenang air mani yang terkena pakaian, beliau shallallahu alaihi wasallam menjawab,"Air mani itu seperti ingus atau air ludah. Cukup bagimu untuk menghilangkannya dengan kain.” HR. Ad-Daruqutni
Dalam hadits ini, ketika ditanya tentang status air mani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hanya menyamakannya dengan ingus dan ludah dan untuk membuangnya cukup dengan kain, tidak perlu dicuci atau dibasuh, itu artinya air mani tidak najis; karena kalau najis tentu diperintah untuk dicuci oleh beliau.
Imam Syafi’I dalam “Al Umm” (1/73)menyanggah orang-orang yang mengatakan najisnya mani, karena ada perintah mandi :
فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ فَقَدْ يُؤْمَرُ بِالْغُسْلِ مِنْهُ قُلْنَا: الْغُسْلُ لَيْسَ مِنْ نَجَاسَةِ مَا يَخْرُجُ إنَّمَا الْغُسْلُ شَيْءٌ تَعَبَّدَ اللَّهُ بِهِ الْخَلْقَ – عَزَّ وَجَلَّ – فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ مَا دَلَّ عَلَى ذَلِكَ؟ قِيلَ أَرَأَيْت الرَّجُلَ إذَا غَيَّبَ ذَكَرَهُ فِي الْفَرْجِ الْحَلَالِ وَلَمْ يَأْتِ مِنْهُ مَاءٌ فَأَوْجَبْت عَلَيْهِ الْغُسْلَ، وَلَيْسَتْ فِي الْفَرْجِ نَجَاسَةٌ
“Jika ada yang bertanya : ‘sungguh telah ada perintah untuk mandi karena keluar mani’. Kami jawab : ‘mandi bukan karena najis yang keluar darinya, hanyalah mandi disini dalam rangka beribadah kepada Allah Azza wa Jalla’. Jika ia bertanya lagi apa dalilnya?, jawab : ‘bukankah engkau melihat seorang laki-laki jika kemaluannya telah tenggelam dalam kemaluan wanita yang halal, sekalipun tidak keluar mani, ia wajib untuk mandi dan pada saat itu di kemaluannya tidak ada najis (baca mani)”.
Beliau juga menyanggah lagi masih dalam kitab yang sama (1/74) :
فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ فَإِنَّ عَمْرَو بْنَ مَيْمُونٍ رَوَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ «عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا كَانَتْ تَغْسِلُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -» قُلْنَا: هَذَا إنْ جَعَلْنَاهُ ثَابِتًا فَلَيْسَ بِخِلَافٍ لِقَوْلِهَا كُنْت أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ثُمَّ يُصَلِّي فِيهِ كَمَا لَا يَكُونُ غُسْلُهُ قَدَمَيْهِ عُمْرَهُ خِلَافًا لِمَسْحِهِ عَلَى خُفَّيْهِ يَوْمًا مِنْ أَيَّامِهِ وَذَلِكَ أَنَّهُ إذَا مَسَحَ عَلِمْنَا أَنَّهُ تُجْزِئُ الصَّلَاةُ بِالْمَسْحِ وَتُجْزِئُ الصَّلَاةُ بِالْغُسْلِ وَكَذَلِكَ تُجْزِئُ الصَّلَاةُ بِحَتِّهِ وَتُجْزِئُ الصَّلَاةُ بِغُسْلِهِ لَا أَنَّ وَاحِدًا مِنْهُمَا خِلَافُ الْآخَرِ مَعَ أَنَّ هَذَا لَيْسَ بِثَابِتٍ عَنْ عَائِشَةَ هُمْ يَخَافُونَ فِيهِ غَلَطَ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ إنَّمَا هُوَ رَأْيُ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ كَذَا حَفِظَهُ عَنْهُ الْحُفَّاظُ أَنَّهُ قَالَ غُسْلُهُ أَحَبُّ إلَيَّ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ خِلَافُ هَذَا الْقَوْلِ وَلَمْ يَسْمَعْ سُلَيْمَانُ عَلِمْنَاهُ مِنْ عَائِشَةَ حَرْفًا قَطُّ وَلَوْ رَوَاهُ عَنْهَا كَانَ مُرْسَل
“Jika ada yang berkata : ‘’Amr bin Maimuun telah meriwayatkan dari Bapaknya dari Sulaiman bin Yasaa dari Aisyah Rodhiyallahu anha bahwa beliau mencuci mani yang menempel di baju Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salaam’. Kami katakan : ‘ini jika kita anggap tsabit, maka tidak menyelisihi perkataan Aisyah Rodhiyallahu anha yang mengerik baju Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salaam, lalu sholat, sebagaimana beliau (meriwayatkan) bahwa Nabi Sholallahu ‘alaihi wa Salaam tidak mencuci kedua telapak kakinya pada saat Umroh menyelisihi riwayat bahwa Nabi Sholallahu ‘alaihi wa Salaam mengusap kedua khufnya pada suatu hari.
Yang demikian bahwa jika Aisyah mengusap mani, maka kita mengetahui bahwa sah sholah dengan baju yang terkena mani yang diusap, sah sholat dengan dicuci, sah sholat dengan dikerik dan sah sholat dengan dicuci, tidak ada pertentangan diantara hal tersebut. Sekalipun sebenarnya riwayat ini tidak tsabit dari Aisyah Rodhiyallahu anha, para ulama khawatir ini adalah kekeliruan ‘Amr bin Maimuun bahwa hal tersebut adalah pendapat pribadinya Sulaiman bin Yasaar, demikian yang dihapal para Hufadz dari Sulaiman bahwa ia berkata : ‘mencucinya lebih aku sukai’. Telah diriwayatkan dari Aisyah Rodhiyallahu anha yang menyelisihi hal ini yang tidak didengar oleh Sulaimanm sehingga kami tahu dari Aisyah Rodhiyallahu anha satu kalimat saja, seandainya ia meriwayatkan dari Aisyah maka hal ini adalah mursal”.
Sebelumnya (1/73) Imam Syafi’I berkata :
فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ فَمَا الْمَعْقُولُ فِي أَنَّهُ لَيْسَ بِنَجِسٍ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بَدَأَ خَلْقَ آدَمَ مِنْ مَاءٍ وَطِينٍ وَجَعَلَهُمَا جَمِيعًا طَهَارَةً، الْمَاءُ، وَالطِّينُ فِي حَالِ الْإِعْوَازِ مِنْ الْمَاءِ طَهَارَةٌ، وَهَذَا أَكْثَرُ مَا يَكُونُ فِي خَلْقٍ أَنْ يَكُونَ طَاهِرًا وَغَيْرَ نَجِسٍ وَقَدْ خَلَقَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بَنِي آدَمَ مِنْ الْمَاءِ الدَّافِقِ فَكَانَ جَلَّ ثَنَاؤُهُ أَعَزَّ وَأَجَلَّ مِنْ أَنْ يَبْتَدِئَ خَلْقًا مِنْ نَجَسٍ مَعَ مَا وَصَفْت مِمَّا دَلَّتْ عَلَيْهِ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَالْخَبَرُ عَنْ عَائِشَةَ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَسَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ مَعَ مَا وَصَفْت مِمَّا يُدْرِكُهُ الْعَقْلُ مِنْ أَنَّ رِيحَهُ وَخَلْقَهُ مُبَايِنٌ خَلْقَ مَا يَخْرُجُ مِنْ ذَكَرٍ وَرِيحِهِ
“jika ada yang berkata : ‘bagaimana secara logika bahwa mani itu tidak najis’. (kita jawab) : ‘sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memulai penciptaan Adam dari air dan tanah dan menjadikan semua tadi suci, air dan tanah pada kondisi campuran adalah air suci. Ini adalah unsure terbesar dari manusia bahwa hal tersebut adalah suci bukan najis. Allah telah menciptakan anak Adam dari Air yang terpancar, maka Allah sangat Mulia dan sangat Tinggi untuk menciptakan manusia dari sesuatu yang najis, bersamaan dengan sifat yang ditunjukkan oleh hadits Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salaam dan atsar dari Aisyah Rodhiyallahu anha, Ibnu Abbas, Sa’ad bin Abi Waqqoosh Rodhiyallahu anhum ajmain (tentang sucinya). Dan sifat yang disaksikan oleh akal bahwa baunya berbeda dengan sesuatu yang keluar dari kemaluan (air kencing)”.
Kewajiban mandi besar bagi orang yang mengeluarkan mani didasarkan pada beberapa hadits diantaranya hadits yang diriwayatkan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau mengisahkan;
جَاءَتْ أَمُّ سُلَيْمٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ اللهِ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ، فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا احْتَلَمَتْ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «نَعَمْ، إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ»
“Ummu Sulaim dating kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia berkata; “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tak pernah “malu” dalam hal kebenaran, apakah wanita diharuskan mandi apabila ia mimpi basah?” Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wasallam menjawab; “Ya, (wanita tersebut wajib mandi), jika ia melihat ada air (keluar maninya),” (Shahih Bukhari, no.282 dan Shahih Muslim, no.313)
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar