Kenikmatan Allah Subhanahu wa Ta’ala tiada terkira. Ragam makanan dan minuman sangat bervariasi. Kewajiban seorang muslim, menghargai nikmat-nikmat tersebut dan mensyukurinya. Kendatipun makanan yang tersedia sepele, celaan tidak layak muncul dari bibir seorang muslim.
Demikian juga, ketika makanan atau minuman tidak menggugah selera, atau mengundang ketidaksukaan, karena cita-rasanya yang kurang tajam, bentuknya yang tidak menarik, atau bahan-bahannya yang dirasa tidak bergizi, cacian tetap saja tidak cocok untuk dikeluarkan.
Janganlah menjelek-jelekkan makanan, kalau tidak suka yah tinggalkan saja. Tak perlu beri komentar tanda seolak-olah menolak rizki Allah.
Tidak Menjelek-jelekkan Makanan
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
مَا عَابَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – طَعَامًا قَطُّ ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ ، وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ
“Tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela suatu makanan sedikit pun. Seandainya beliau menyukainya, beliau menyantapnya. Jika tidak menyukainya, beliau meninggalkannya (tidak memakannya).” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064).
Lihatlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan cara bagaimana menghadapi makanan yang tidak kita sukai, yaitu dengan ditinggalkan. (Bahjatun Nazhirin, 2: 51).
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Inilah adab yang baik kepada Allah Ta’ala. Karena jika seseorang menjelek-jelekkan makanan yang tidak disukai, maka seolah-olah dengan ucapan jeleknya itu, ia telah menolak rizki Allah.” (Syarh Al Bukhari, 18: 93)
Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan hadis ini,
هَذَا مِنْ آدَابِ الطَّعَامِ الْمُتَأَكِّدَةِ وَعَيْبُ الطَعَامِ كَقَوْلِهِ : مَالِحٌ، قَلِيْلُ الْمِلْحِ، حَامِضٌ، رَقِيْقٌ، غَلِيْظٌ، غَيْرُ نَاضِجٍ، وَنَحْوُ ذَلِكَ
“Hal ini (tidak mencela makanan) termasuk adab makan yang ditekankan. Dan mencela makanan yaitu seperti ia berkata, “Ini keasinan”, “Kurang asin”, “Kecut”, “Terlalu lembut”, “Masih kasar”, “Belum masak”, dan yang semisalnya.” (al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim, 14/26).
Sesorang dikatakan mencela suatu makanan adalah ketika seseorang menikmati hidangan, lalu dia berkomentar tentang hidangan tersebut. Seperti, tidak matang, kurang asin, terlalu asin, terlalu matang dan sebagainya. Makanan tidak boleh dicela karena makanan juga ciptaan Allah. Di samping itu mencela makanan, itu juga juga menimbulkan ketersinggungan (sakit hati) dari orang yang membuat dan menyajikan makanan tersebut. Bagaimana pembuatnya tidak tersinggung bilamana jerihpayahnya ketika membuat makanan berbuah celaan dari orang lain. Oleh sebab itu, syariat Islam mengajarkan untuk tidak mencela makanan. Karena, bisa menyebabkan hati seseorang menjadi sedih.
أَحَبُّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبُكُمْ مِنِّي مَحَاسِنُكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَسَاوِيكُمْ أَخْلَاقًا الثَّرْثَارُونَ الْمُتَشَدِّقُونَ الْمُتَفَيْهِقُونَ
“Orang yang paling saya cintai dan yang paling dekat denganku (kelak di akhirat) adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan orang yang paling saya benci dan paling jauh denganku (kelak di akhirat) adalah orang yang paling buruk akhlaknya. Yaitu mereka yang banyak berbicara dan suka mencaci maki orang lain dengan kata-katanya.” (HR. Ahmad No 17077)
Bukan berarti bilamana ada makanan yang kurang enak atau kurang cocok nabi memaksa kita untuk tetap memakannya, melainkan kita hanya dilarang mencemooh. Sikap terbaik nabi yang diajarkan kepada ummatnya adalah beliau diam dan tidak memakan makanan yang sekira nabi kurang cocok tanpa meninggalkan celaan. Seperti sabda nabi,
كَانَ إِذَا اشْتَهَى شَيْئًا أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ
Kalau beliau menyukainya, maka akan beliau makan. Dan jika tidak menyukainya, beliau meninggalkannya. [HR al-Bukhâri dan Muslim].
Cercaan atas makanan itu berbeda dengan pendapat dan penilaian untuk kebaikan, dalam artian bila kita berpendapat atas hasil masakan orang lain demi kebaikan itu boleh saja, seperti kita mengatakan bahwa masakan ini enak namun lebih enak lagi bila begini atau begitu.
Yang lebih mengherankan, sampaipun dalam kondisi yang secara normal umumnya manusia mengomentari makanan, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap istiqamah tidak mengomentarinya.
Kita bisa lihat untuk kejadian beliau disuguhi daging dhab.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mendapat informasi dari Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مَيْمُونَةَ وَهِيَ خَالَتُهُ وَخَالَةُ ابْنِ عَبَّاسٍ فَوَجَدَ عِنْدَهَا ضَبًّا مَحْنُوذًا فَقَدَّمَتِ الضَّبَّ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ عَنِ الضَّبِّ فَقَالَ خَالِدٌ: أَحْرَامٌ الضَّبُّ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «لَا وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ» قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ إِلَيّ
Bahwasanya Khalid pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Maimunah (istri Nabi) dan Maimunah adalah bibiknya Kholid dan juga bibiknya Ibnu Abbas.
Ketika itu, di rumah Maimunah ada daging dhob (kadal gurun) yang dipanggang. Lalu Dhob itupun dihidangkan kepada Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam.
Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menyentuh Dhab.
Kholid bertanya, “Apakah dhob itu haram, ya Rasulullah?’.
Kita simak jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ
“Tidak, namun dhob ini tidak ada di kampungku, sehingga aku kurang berselera”.
Kata Kholid, “Akupun mengambilnya lalu menyantapnya, dan Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam hanya memandangku” (HR. Bukhari 5391)
Mungkin bagi orang biasa, dia bisa menjawab dengan sedikit komentar miring, “Saya jijik..” “Saya eneg..” “Hii… ngerii…” dst… Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya.
Untuk bisa sama seperti beliau, memang tidak mungkin. Namun setidaknya, kita bisa jadikan beliau sebagai standar akhlak yang terpuji. Yang untuk bisa sampai pada tingkatan itu, kita butuh belajar.
Bahkan nabi sangat gemar memuji makanan-makanan yang disajikan terhadap beliau sebagai bentuk menghargai mereka-mereka yang telah bersusah payah menyuguhkannya, sebagaimana dalam sabdanya,
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي بِشْرٍ عَنْ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَ أَهْلَهُ الْأُدُمَ فَقَالُوا مَا عِنْدَنَا إِلَّا خَلٌّ فَدَعَا بِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ وَيَقُولُ نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ
Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Yahya] telah mengabarkan kepada kami [Abu ‘Awanah] dari [Abu Bisyr] dari [Abu Sufyan] dari [Jabir bin Abdullah] bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada istrinya-istrinya mengenai lauk, lalu mereka menjawab; “Kita tidak punya apa-apa selain cuka.” Beliau menyuruh diambilkan kemudian beliau makan dengan cuka tersebut sambil bersabda: ‘Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka.’ (HR. Muslim No. 3824)
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar