Darah nifas adalah darah yang keluar setelah wanita melahirkan. Ibnu Qudamah menjelaskan,
وهو الدم الخارج بسبب الولادة وحكمها حكم الحيض
“Nifas adalah darah yang keluar karena melahirkan dan hukumnya sama dengan hukum haid.”
Darah nifas, secara bahasa dikatakan :
ولادة المرأة إذا وضعت، فهي نفساء، والنفس : الدم
“Perempuan ketika ia melahirkan disebut nufasaa’. Dan an-nafs artinya darah”.
Adapun secara terminologi, definisi nifas adalah :
إسم للدم الخارج عقب الولادة، مشتق من تنفس الرحم به
“Kata bagi darah yang keluar mengikuti proses kelahiran,musytaq dari tanaffasa ar-rahmu bihi (rahim mengeluarkan darah)”.
Perngertian diatas adalah secara umum dan pengertian yang lebih rinci lagi bahwa darah nifas itu bisa keluar sebelum melahirkan, sesudah melahirkan atau sesudah keguguran.
Apabila wanita keluar darah karena aborsi dan janin yang digugurkan itu sudah berbentuk manusia maka darah yang keluar termasuk darah nifas. Baik telah dilakukan operasi pembersihan rahim atau sebagian janin masih tersisa di rahimnya. Apabila janin belum berbentuk manusia maka bukan darah nifas tapi darah istihadoh.
Apabila wanita melahirkan dengan operasi caesar, maka hukumnya darah nifas apabila keluar darah.
MASA WAKTU NIFAS
Batasan minimal dari darah nifas adalah setetes dalam waktu sebentar. Apabila setelah itu tidak ada lagi darah keluar, maka ia suci dan harus mandi besar. Apabila setelah melahirkan tidak mengeluarkan darah sama sekali, maka status wanita itu suci tapi tetap harus mandi besar karena wiladah (keluarnya anak) yang berasal dari mani suami istri. Ini pendapat madzhab Syafi'i.
Pendapat terkuat lama nifas adalah 40 hari
Ulama berbeda pendapat mengenai lama waktu nifas, ada yang berpendapat: [1] 40 hari, [2] 60 hari dan [3]Tidak ada batasannya, kapan berhenti darah nifas itulah berhentinya.
Dalam kitab Mausu’ah Al-Fiqhiyyah,
اتفق الفقهاء على أنه لا حد لأقل النفاس ، فأي وقت رأت المرأة الطهر اغتسلت ، وهي طاهر ، واختلفوا في أكثره : فيرى جمع من العلماء أن أكثر النفاس أربعون يوما
“Ahli fikh bersepakat bawah tidak ada batas minimal nifas, kapanpun wanita melihat darah sudah bersih (dari darah) maka hendaknya dia mandi besar dan telah suci (nifas selesai), dan ulama berselisih mengenai batas maksimalnya. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa batas maksimalnya adalah 40 hari.”
Pendapat yang menyatakan tidak ada batasan sebagaiman pendapat syaikh Taqiyuddin, beliau menjelaskan,
والنفاس لا حدَّ لأقله ولا لأكثره فلو قدر أن امرأة رأتْ الدم كثر من أربعين أو ستين أو سبعين وانقطع فهو نفاس
“Nifas tidak ada batasan minimal dan maksimalnya jika wanita meilhat darah lebih dari 40 hari atau 60 hari atau 70 hari kemudian berhenti, inilah masa nifas.”
Pendapat terkuat adalah: waktu minimal yaitu kapan berhentui itulah berhentinya haid dan waktu maksimal adalah 40 hari. Pendapat 40 hari Ini didukung oleh beberapa nash dan dalil.
عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ اْلاَعْلَى عَنْ اَبِى سَهْلٍ وَ اسْمُهُ كَثِيْرُ بْنُ زِيَادٍ عَنْ مَسَّةَ اْلاَزْدِيَّةِ عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: كَانَتِ النِّسَاءُ تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص اَرْبَعِيْنَ يَوْمًا وَ كُنَّا نُطْلِى وُجُوْهَنَا بِاْلوَرْسِ مِنَ اْلكَلَفِ. الخمسة الا النسائى
Dari ‘Ali bin ‘Abdil A’laa, dari Abu Sahal (namanya sendiri : Katsir bin Ziyad), dari Massah Al-Azdiyah, dari Ummu Salamah ia berkata, “Adalah wanita-wanita nifas di masa Rasulullah SAW tidak shalat selama 40 hari, dan kami memberikan pilis pada wajah-wajah kami dengan warna merah tua yang terbuat dari daun wars”. [HR. Khamsah kecuali Nasai]
عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ رض قَالَتْ: كَانَتِ اْلمَرْأَةُ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ ص تَقْعُدُ فِى اْلنِّفَاسِ اَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً لاَ يَأْمُرُهَا النَّبِيُّ ص بِقَضَاءِ صَلاَةِ النِّفَاسِ. ابو داود
Dari Ummu Salamah, ia berkata : Adalah wanita-wanita dari istri-istri Nabi SAW, mereka tidak shalat diwaktu nifas selama 40 hari, dan Nabi SAW tidak memerintahkannya mengqadla shalat karena nifas”. [HR. Abu Dawud]
Dalam sanad hadits ini terdapat seorang rawi bernama Mussah Al- azdiyyah, seorang yang dinilai berprediket majhulatul hal, tidak dikenal, dan hadits yang diriwayatkannya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh para pengkritik hadits yang tsiqah (terpercaya). Dan sekiranya penilaian keshahihan hadits ini mengharuskan kami untuk berdiskusi, maka kemungkinan jawabannya adalah dari berbagai segi:
Pertama, isi hadits ini dibawa kepada makna yang sesuai dengan kejadian pada umumnya.
Kedua, isi hadits ini hanya berlaku untuk sejumlah kaum wanita secara khusus. Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan :
كَانَتِ المَرْأة مِنْ نِسَاءِ النَّبي صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وسلم تَقْعُدُ في النفاس أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً
“ Adalah salah seorang dari istri-istri Nabi shalallohu ‘alaihi wassalam duduk (tidak mengerjakan sholat dan ibadah lain yang kedudukan hukumnya sama) selama 40 malam.”
Hanya saja telah diketahui bahwa matan riwayat ini berpredikat mungkar; sebab diantara istri-istri Nabi shalallohu ‘alaihi wassalam itu tidak ada seorangpun yang mengalami nifas disaat menjadi istri beliau selain khodijah, sementara pernikahan beliau dengannya berakhir sebelum hijrah. Dengan demikian, ucapan Ummu salamah diatas tidak memiliki faedah _meski sahih_ yang menyatakan bahwa salah seorang istri Nabi mengalami nifas selama 40 hari.
Ketiga, hadits tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dalil’ sebab telah menafikan masa nifas lebih dari 40 hari; sedang hadits tersebut hanya ditetapkan adanya 40 hari.
Dengan demikian, maka yang mu’tamad (bisa dijadikan sandaran atau patokan) dalam hal lamanya masa nifas adalah apa yang sesuai dengan relita, dimana lamanya masa nifas itu bisa sebentar dan bisa lama. Karenanya, kapan saja darah nifasnya terhenti dan tidak mengalir lagi maka ketika itulah wanita yang bersangkutan kembali terbebani kewajiban sebagaimana wanita-wanita suci lainnya, seperti kewajiban sholat, puasa, dan yang lainnya. Dan kapan saja darahnya masih mengalir dan belum berhenti, maka ketentuan yang berlaku atasnya sebagaimana ketentuan yang berlaku atas wanita yang sedang mengalami haid atau nifas. Sebab yang namanya hukum (ketentuan) itu berlaku sesuai illatnya (dalam hal ini illatnya adalah darah nifas) baik keberadaannya maupun ketidak beradaannya. Artinya, jika illatnya ada maka hukumnya ada ( berlaku) dan jika illatnya tidak ada maka hukumnya tidak berlaku.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Assalamu alaikum saya ijin nyimpen dan share tulisan2nya kalo diperkenankan
BalasHapus