Tanah adalah salah satu nikmat terbesar yang diciptakan oleh Allah SWT. Tanah diamanahkan kepada umat manusia untuk menjadikannya subur serta menghasilkan tanam-tanaman dan buah-buahan. Sesungguhnya semua tanaman dan buah-buahan yang tumbuh di atas muka bumi ini merupakan kurniaan Allah SWT, dan bukannya datang dari manusia. Maka apabila Allah mengarahkan manusia untuk menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan, maka sudah tentulah umat Islam yang beriman menunaikannya dengan mengeluarkan zakat dari sebahagian dari hasil tanam-tanaman mereka.
Setiap tanaman yang merupakan makanan pokok dan dapat disimpan, menurut ulama Syafi’iyah, wajib dizakati. Berapa besaran zakatnya dan komoditi apa saja yang wajib dizakati serta kapan waktu pengeluaran zakatnya, silakan simak dengan seksama dalam serial zakat kali ini.
Dalil wajibnya zakat pertanian
Hasil pertanian wajib dikenai zakat. Beberapa dalil yang mendukung hal ini adalah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al Baqarah: 267). Kata “مِنْ” di sini menunjukkan sebagian, artinya tidak semua hasil bumi itu dizakati.
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآَتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin).” (QS. Al An’am: 141).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ
“Tidak ada zakat bagi tanaman di bawah 5 wasaq.”
Dalil-dalil ini menunjukkan wajibnya zakat hasil pertanian yang dipanen dari muka bumi, namun tidak semuanya terkena zakat dan tidak semua jenis terkena zakat. Akan tetapi, yang dikenai adalah jenis tertentu dengan kadar tertentu.
Dalam menjelaskan 5 wasaq inilah para ulama memberikan keterangan yang mungkin tidak sama antara satu dengan yang lain.
Dalam kitab Fath al-Mu’in, Syaikh Zainuddin al-Malibari dari madzhab Syafi’i memberikan keterangan sebagai berikut;
وتجب على من مر في قوت اختياري من حبوب كبر وشعير وأرز إلى قوله ...بلغ قدر كل منهما خمسة أو سق وهي بالكيل: ثلاثمائة صاع والصاع أربعة أمداد
Artinya: “Dan wajib zakat bagi orang yang telah lewat pembahasannya (muslim dan merdeka) dalam makanan pokok mereka (dalam kondisi normal) dari biji-bijian seperti gandum dan padi…. yang telah mencapai 5 wasaq, yakni 300 sha’ (dalam timbangan), sedangkan 1 sha’ adalah 4 mud.”
Hasil pertanian yang wajib dizakati
Pertama, para ulama sepakat bahwa hasil pertanian yang wajib dizakati ada empat macam, yaitu: sya’ir (gandum kasar), hinthoh (gandum halus), kurma dan kismis (anggur kering).
عَنْ أَبِى بُرْدَة عَنْ أَبِى مُوسَى الأَشْعَرِىِّ وَمُعَاذٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُولَ الله -صلى الله عليه وسلم- بَعَثَهُمَا إِلَى الْيَمَنِ يُعَلِّمَانِ النَّاسَ، فَأَمَرَهُمْ أَنْ لَا يَأْخُذُوا إِلاَّ مِنَ الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالتَّمْرِ وَالزَّبِيبِ
Dari Abu Burdah, bahwa Abu Musa Al-Asy’ari dan Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhuma pernah diutus ke Yaman untuk mengajarkan perkara agama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka agar tidak mengambil zakat pertanian kecuali dari empat jenis tanaman: hinthah (gandum halus), sya’ir (gandum kasar), kurma, dan zabib (kismis).
Dari Al Harits dari Ali, beliau mengatakan:
الصدقة عن أربع من البر فإن لم يكن بر فتمر فإن لم يكن تمر فزبيب فإن لم يكن زبيب فشعير
“Zakat (pertanian) hanya untuk empat komoditi: Burr (gandum halus), jika tidak ada maka kurma, jika tidak ada kurma maka zabib (kismis), jika tidak ada zabib maka sya’ir (gandum kasar).”
Dari Thalhah bin Yahya, beliau mengatakan: Saya bertanya kepada Abdul Hamid dan Musa bin Thalhah tentang zakat pertanian. Keduanya menjawab,
إنما الصدقة في الحنطة والتمر والزبيب
“Zakat hanya ditarik dari hinthah (gandum halus), kurma, dan zabib(kismis).”
Kedua, jumhur (mayoritas) ulama meluaskan zakat hasil pertanian ini pada tanaman lain yang memiliki ‘illah (sebab hukum) yang sama. Jumhur ulama berselisih pandangan mengenai ‘illah (sebab) zakat hasil pertanian.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada segala sesuatu yang ditanam baik hubub (biji-bijian), tsimar (buah-buahan) dan sayur-sayuran.
Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman yang merupakan kebutuhan pokok dan dapat disimpan.
Imam Ahmad berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman yang dapat disimpan dan ditakar.
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman yang dapat disimpan.
Tiga pendapat terakhir ini dinilai lebih kuat.
Hadits Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُوْنُ، أَوْ كَانَ عَثَريّاً : الْعُشُرُ، وَمَا سُقِيَ باِلنَّضْحِ: نِصْفُ الْعُشُرِ
Pada pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan penyerapan akar (Atsariyan) diambil sepersepuluh dan yang disirami dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh. [HR al-Bukhâri]
Hadits Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa beliau mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فِيْمَا سَقَتِ الأَنْـهَارُ وَالْغَيْمُ: الْعُشُوْرُ، وَفِيْمَا سُقِيَ بِالسَّانِيَةِ: نِصْفُ اْلعُشُرِ
Semua yang diairi dengan sungai dan hujan maka diambil sepersepuluh dan yang diairi dengan disiram dengan pengairan maka diambil seperduapuluh [HR Muslim]
Sedangkan pendapat Abu Hanifah adalah pendapat yang lemah dengan alasan beberapa dalil berikut,
عَنْ مُعَاذٍ أَنَّهُ كَتَبَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَسْأَلُهُ عَنِ الْخُضْرَوَاتِ وَهِىَ الْبُقُولُ فَقَالَ « لَيْسَ فِيهَا شَىْءٌ
Dari Mu’adz, ia menulis surat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya mengenai sayur-sayuran (apakah dikenai zakat). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sayur-sayuran tidaklah dikenai zakat.” Hadits ini menunjukkan bahwa sayuran tidak dikenai kewajiban zakat.
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ يَحْيَى عَنْ أَبِى بُرْدَةَ عَنْ أَبِى مُوسَى وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعَثَهُمَا إِلَى الْيَمَنِ فَأَمَرَهُمَا أَنْ يُعَلِّمَا النَّاسَ أَمْرَ دِينَهِمْ.وَقَالَ :« لاَ تَأْخُذَا فِى الصَّدَقَةِ إِلاَّ مِنْ هَذِهِ الأَصْنَافِ الأَرْبَعَةِ الشَّعِيرِ وَالْحِنْطَةِ وَالزَّبِيبِ وَالتَّمْرِ ».
Dari Tholhah bin Yahya, dari Abu Burdah, dari Abu Musa dan Mu’adz bin Jabal berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus keduanya ke Yaman dan memerintahkan kepada mereka untuk mengajarkan agama. Lalu beliau bersabda, “Janganlah menarik zakat selain pada empat komoditi: gandum kasar, gandum halus, kismis dan kurma.” Hadits ini menunjukkan bahwa zakat hasil pertanian bukanlah untuk seluruh tanaman.
Sedangkan pendapat ulama Zhohiriyah yang menyatakan bahwa zakat hasil pertanian hanya terbatas pada empat komoditi tadi, maka dapat disanggah dengan dua alasan berikut:
1. Kita bisa beralasan dengan hadits Mu’adz di atas bahwa tidak ada zakat pada sayur-sayuran. Ini menunjukkan bahwa zakat hasil pertanian diambil dari tanaman yang bisa disimpan dalam waktu yang lama dan tidak mudah rusak. Sedangkan sayur-sayuran tidaklah memiliki sifat demikian.
2. Empat komoditi yang disebutkan dalam hadits adalah makanan pokok yang ada pada saat itu. Bagaimana mungkin ini hanya berlaku untuk makanan pokok seperti saat itu saja dan tidak berlaku untuk negeri lainnya? Karena syari’at tidaklah membuat ‘illah suatu hukum dengan nama semata namun dilihat dari sifat atau ciri-cirinya.
Pendapat Imam Syafi’i lebih dicenderungi karena hadits-hadits yang telah disebutkan di atas memiliki ‘illah (sebab hukum) yang dapat ditarik di mana gandum, kurma dan kismis adalah makanan pokok di masa silam –karena menjadi suatu kebutuhan primer- dan makanan tersebut bisa disimpan. Sehingga hal ini dapat diqiyaskan atau dianalogikan pada padi, gandum, jagung, sagu dan singkong yang memiliki ‘illah yang sama.
Di antara para ulama kontemporer yang berpendapat tidak ada zakat pertanian dalam sayuran adalah Husain bin ‘Audah dalam bukunya al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Muhammad bin Ibrahim bin ‘Abdillah dalam bukunya Mau’suah al-Fiqhi al-Islami, Shalih bin Ghanim dalam bukunya Risalah fi Fiqh al-Muyassar,Al-Utsaimin dalam fatwanya (Majmu Fatawa wa Rasail Ibn al-‘Utsaimin) dengan mengutip pendapat Umar bahwa tidak ada zakat dalam sayuran. Begitu juga Ibn Baz dalam fatwanya. Dalam pandangan mereka sayuran wajib dizakati apabila diperdagangkan, yaitu zakatnya adalah zakat perdagangan bukan pertanian.
Di antara alasan ulama tersebut adalah hadits-hadits tidak ada zakat dalam sayuran, pendapat sebagian para sahabat. Dalam pandangan mereka yang wajib dizakati adalah makanan pokok, yang bisa disimpan/tahan lama dan ditimbang. Adapun sayuran tidak seperti itu.
Alasan mereka adalah hadits:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَ
Telah menceritakan kepada Kami Abdullah bin Maslamah, ia berkata; saya membacakan riwayat kepada Malik bin Anas dari ‘Amr bin Yahya Al Mazini dari ayahnya, ia berkata; saya mendengar Abu Sa’id Al Khudri berkata; Rasulullah shallAllahu wa’alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada zakat pada unta yang kurang dari lima dzaud (dzaud adalah antara tiga hingga sepuluh), tidak ada zakat pada perak yang kurang dari lima uqiyah, dan tidak ada zakat pada buah-buahan yang kurang dari lima wasaq.” (Abu Daud)
Dalam menjelaskan hadits tersebut al-Khithabi (w. 338 H) dalam kitabnya Ma’alim al-Sunan yang merupakan syarah kitab Sunan Abi Daud mengatakan:
قد يستدل بهذا الحديث من يرى أن الصدقة لا تجب في شيء من الخضراوات لأنه زعم أنها لا توسق ودليل الخبر أن الزكاة إنما تجب فيما يوسق ويكال من الحبوب والثمار دون ما لا يكال من الفواكه والخضر ونحوها وعليه عامة أهل العلم إلاّ أن أبا حنيفة رأى الصدقة فيها وفي كل ما أخرجته الأرض إلاّ أنه استثنى الطرفاء والقصب الفارسي والحشيش وما في معناه
Dengan hadits ini beristidlal orang yang berpendapat bahwa zakat tidak wajib pada sayuran karena itu tidak di wasaq. Khabar tersebut adalah dalil bahwa zakat hanya wajib pada yang diwasaq dan ditimbang dari biji-bijian dan buah-buahan, bukan yang tidak ditimbang dari buah-buahan, sayuran dan lain sebagainya, ini adalah pendapat kebanyakan ahlul ‘ilmi, akan tetapi Abu Hanifah memandang bahwa zakat itu wajib pada semua yang dikeluarkan oleh bumi kecuali pohon tak berbuah, rotan persia dan rumput atau yang sama dengannya. (Ma’alim al-Sunan, 2:14).
Para fukaha yang berpendapat bahwa sayuran terkena zakat pertanian berpendapat bahwa hadits itu berkaitan dengan nishab.
Di antara para ulama kontemporer yang mewajibkan adanya zakat pertanian dalam sayuran bahkan dalam semua apa yang ditanam seperti yang dikatakan oleh Abu Hanifah adalah Hisamuddin bin Musa bin Muhammad bin ‘Affanah salah seorang ulama Palestina, meraih gelar doktor pada tahun 1985 di bidang Fikih dan Ushul Fikih dari Universitas Ummul Qura Arab Saudi, dalam bukunya Yasalunaka ‘Aniz Zakah beliau berpendapat bahwa pendapat Abu Hanifah adalah pendapat yang paling kuat dan Muhammad Nasih ‘Ulwan sebagaimana dikatakan dalam bukunya Ahkamuz Zakah ‘Ala Dhaui al-Mazahib al-‘Arba’ah.
Dalam pandangan mereka yang wajib dizakati bukan hanya makanan pokok, yang bisa disimpan/tahan lama dan ditimbang, akan tetapi semua tanaman yang ditanam apabila mencapai nishabnya maka wajib dizakati dengan zakat pertanian.
Alasan mereka adalah keumuman QS. al-Taubah:103, al-Baqarah: 267, dan al-‘An’am: 141, dan keumuman hadits tentang tanaman yang diari hujan zakatnya 10 %. Dan sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar bin al-‘Arabi (1076 M – 1148 M) seorang fukaha klasik dan tokoh Mazhab Maliki mengatakan:
أَقْوَى الْمَذَاهِبِ وَأَحْوَطُهَا لِلْمَسَاكِينِ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَهُوَ التَّمَسُّكُ بِالْعُمُومِ
Mazhab yang paling kuat dan menjaga serta melindungi orang miskin adalah pendapat Abu Hanifah dan ini berpegang kepada keumuman dalil (Fath al-Bari, 3:350)
CARA MENGELUARKAN ZAKAT BIJI-BIJIAN & BUAH-BUAHAN YANG AWET
Yaitu caranya biji-bijian setelah dibersihkan yang mencapai 300 sho’, dan begitupula buah-buahan setelah kering, maka wajib mengeluarkan zakatnya, adapun jika kurang dari 300 sho’ tidak ada zakatnya.
Sho’ adalah alat untuk menakar bukan untuk menimbang, perbedaan antara keduanya bahwa alat menakar ukurannya dengan gram, sedangan alat menimbang dengan timbangan yang berat.
Ukuran sha’ dengan timbangan itu berbeda-beda:
√ada yang mengatakan 3000 gram.
Guru kami syekh Ibnu Utsaimin dalam Syarah mumti’ 6/76 berkata:
Ukuran sha’ nabi = 2,040 gram gandum…
Adapula yang mengatakan dalam fiqih Zakat dr Yusuf Al-qardowi : 2,176 gram gandum.
Jika kita mau mengambil jalan tengah makaNishob biji-bijian dan buah-buahan yang awet untuk disimpan adalah 300 sho’ × 2,176 = 652,8 kilo gram.
Syekh Abdurrahman As-sa’di berkata:
Nabi shalallahu alaihi wassalam bersabda:
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُوْنُ، أَوْ كَانَ عَثَريّاً : الْعُشُرُ، وَمَا سُقِيَ باِلنَّضْحِ: نِصْفُ الْعُشُرِ
Pada pertanian yang disirami hujan dan dari mata air atau yang menggunakan penyerapan akar (Atsariyan) diambil 10%, dan yang disirami dengan penyiraman diambil 5%. [HR Al-Bukhori 1412 dari Ibnu Umar].
Artinya jika pertanian yang dihasilkannya tanpa disirami dengan adanya biaya yaitu yang disirami air hujan atau sungai atau mata air dan yang sejenisnya, atau yang menggunakan penyerapan akar, maka mengeluarkan zakatnya 10 %
Adapun yang disirami dengan alat penyiraman dan yang sejenisnya yang membutuhkan biaya maka zakatnya 5 % saja.
Adapun apabila disirami setengah waktu dengan ada biaya dan setengah waktu lainnya tanpa ada biaya, maka wajib mengeluarkan zakatnya 7,5 %, berdasarkan kesepakatan ulama atas hal ini.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar