Tidaklah dijumpai seorang yang shalat dengan memakai celana panjang dan sarung lalu sarungnya ‘balapan’ kecuali dia adalah seorang ahli sunah alias salafy.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ. ح وحَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ يَعْنِي ابْنَ عِيسَى، عَنْ شَرِيكٍ، عَنِ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي زُرْعَةَ، عَنِ الْمُهَاجِرِ الشَّامِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ فِي حَدِيثِ شَرِيكٍ يَرْفَعُهُ، قَالَ: " مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ زَادَ، عَنْ أَبِي عَوَانَةَ ثُمَّ تُلَهَّبُ فِيهِ النَّارُ "،
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، قَالَ: ثَوْبَ مَذَلَّةٍ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Iisaa : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Iisaa, dar Syariik, dari ‘Utsmaan bin Abi Zur’ah, dari Al-Muhaajir Asy-Syaamiy, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata (secara mauquuf) – dan dalam hadits Syariik ia memarfu’kannya – beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa memakai pakaian syuhrah, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat” – dan dalam riwayat Abu ‘Awaanah terdapat tambahan : “kemudian akan dibakar padanya di dalam neraka”.
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami, ia berkata : “Yaitu pakaian kehinaan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4029].
Abu Haatim Ar-Raaziy mentarjih bahwa riwayat mauquuf lebih shahih. 'Utsmaan bin Abi Zur'ah dalam periwayatan marfuu' telah diselisihi oleh Al-Laits bin Abi Sulaim, sedangkan ia seorang yang dla'iif. Oleh karena itu, riwayat marfuu’ ini mahfuudh. Wallaahu a'lam.
Mengomentari hadits di atas, As-Sindiy rahimahullah berkata :
مَنْ لَبِسَ ثَوْبًا يَقْصِد بِهِ الِاشْتِهَار بَيْن النَّاس ، سَوَاء كَانَ الثَّوْب نَفِيسًا يَلْبَسهُ تَفَاخُرًا بِالدُّنْيَا وَزِينَتهَا ، أَوْ خَسِيسًا يَلْبَسهُ إِظْهَارًا لِلزُّهْدِ وَالرِّيَاء
“Yaitu : Orang yang memakai pakaian dengan tujuan kemasyhuran/kepopuleran di antara manusia. Sama saja, apakah pakaian itu bagus yang dipakai untuk berbangga-bangga dengan dunia dan perhiasannya, atau pakaian itu hina/jelek yang dipakai untuk menampakkan kezuhudan dan riyaa’ (di hadapan manusia)” [Hasyiyyah As-Sindiy ‘alaa Sunan Ibni Maajah]
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :
قال ابن الأثير : الشهرة ظهور الشيء والمراد أن ثوبه يشتهر بين الناس لمخالفة لونه لألوان ثيابهم فيرفع الناس إليه أبصارهم ويختال عليهم بالعجب والتكبر
“Ibnul-Atsiir berkata : ‘Asy-Syuhrah adalah tampaknya sesuatu. Maksudnya bahwa pakaiannya populer di antara manusia karena warnanya yang berbeda sehingga orang-orang mengangkat pandangan mereka (kepadanya). Dan ia menjadi sombong terhadap mereka karena bangga dan takabur” [Nailul-Authaar, 2/111].
Para ulama telah menjelaskan bahwa salah satu bentuk terlarang pakaian syuhrah ini adalah pakaian yang berbeda dari adat kebiasaan orang-orang setempat. Perhatikan dua riwayat di bawah :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنِ الْحُصَيْنِ، قَالَ: كَانَ زُبَيْدٌ الْيَامِيُّ يَلْبَسُ بُرْنُسًا، قَالَ: فَسَمِعْتُ إِبْرَاهِيمَ عَابَهُ عَلَيْهِ، قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ النَّاسَ كَانُوا يَلْبَسُونَهَا، قَالَ: " أَجَلْ ! وَلَكِنْ قَدْ فَنِيَ مَنْ كَانَ يَلْبَسُهَا، فَإِنْ لَبِسَهَا أَحَدٌ الْيَوْمَ شَهَرُوهُ، وَأَشَارُوا إِلَيْهِ بِالأَصَابِعِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Al-‘Awwaam, dari Al-Hushain, ia berkata : Dulu Zubaid Al-Yaamiy pernah memakai burnus (sejenis tutup kepala). Lalu aku mendengar Ibraahiim mencelanya karena perbuatannya yang memakai burnus tersebut. Aku berkata kepada Ibraahiim : “Sesungguhnya orang-orang dulu pernah memakainya”. Ibraahiim berkata : “Ya. Akan tetapi orang-orang yang memakainya sudah tidak ada lagi. Apabila ada seseorang yang memakainya hari ini, maka ia berbuat syuhrah dengannya. Lalu orang-orang berisyarat dengan jari-jari mereka kepadanya (karena heran)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25655; sanadnya shahih].
أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْن ثابت بْن بندار، نا أبي الْحُسَيْن بْن عَلِيّ، نا أَحْمَد بْن منصور البوسري، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مخلد، ثني مُحَمَّد بْن يوسف، قَالَ: قَالَ عَبَّاس بْن عَبْدِ العظيم العنبري: قَالَ بِشْر بْن الحارث: إن ابْن الْمُبَارَك " دخل المسجد يوم جمعة وعليه قلنسوة فنظر الناس ليس عليهم قلانس فأخذها فوضعها فِي كمه "
Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Tsaabit bin Bundaar : Telah mengkhabarkan kepada kami ayahku (: Telah mengkhabarkan kepada kami ) Al-Husain bin ‘Aliy : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Manshuur Al-Buusiriy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Makhlad : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Yuusuf, ia berkata : Telah berkata ‘Abbaas bin ‘Abdil-‘Adhiim Al-‘Anbariy : Telah berkata Bisyr bin Al-Haarits : Sesungguhnya Ibnu Mubaarak pernah masuk ke dalam masjid pada hari Jum’at, dan ia memakai peci. Lalu ia melihat orang-orang tidak ada yang memakai peci. Maka Ibnul-Mubaarak melepas dan menyimpannya di balik bajunya” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Jauziy dalam Talbiis Ibliis, hal. 184].
Al-Mardawiy rahimahullah berkata saat menjelaskan posisi madzhabnya :
يُكْرَهُ لُبْسُ مَا فِيهِ شُهْرَةٌ ، أَوْ خِلَافُ زِيِّ بَلْدَةٍ مِنْ النَّاسِ عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ
“Dimakruhkan memakai sesuatu yang menimbulkan syuhrah/popularitas atau menyelisihi pakaian penduduk negeri setempat berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah)” [Al-Inshaaf, 2/263].
Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah mengatakan,
ومن زبدها هنا قصد اللابس التسنن بإرخاء السراويل و جعل الثوب أقصر منها بقليل فهذا تسنن لا أصل له في الشرع ولا أثارة من العلم تدل عليه
“Di antara penyimpangan yang dilakukan oleh para pemuda shahwah islamiyyah (kebangkitan Islam) dalam masalah pakaian adalah adanya orang yang berpakaian yang dengan sengaja membuat pakaiannya ‘balapan’ (yang satu lebih panjang dari pada yang lain) yaitu dengan memakai celana panjang dan jubah, lalu ujung jubah dibuat sedikit lebih tinggi dari pada ujung celana panjang. Pembiasaan semacam ini tidak ada dalilnya dalam syariat dan tidak ada keterangan ulama yang membenarkannya” (Hadd al Tsaub wa al Uzrah hal 26, cetakan Maktabah al Sunah Kairo cetakan pertama tahun 1421 H).
Semisal dengan apa yang beliau sampaikan adalah kebiasaan sebagian orang di negeri kita yang memakai celana panjang dan sarung, lalu dengan sengaja menjadikan ujung sarung berada sedikit lebih tinggi dari pada celana panjang.
Oleh karena itu, jika ada orang yang sengaja bahkan membiasakan diri membuat sarungnya sedikit ‘balapan’ dengan celana panjangnya karena anggapan bahwa itu adalah ciri seorang ahli sunnah sejati atau ciri khas muslim yang taat maka dia telah melakukan beberapa kekeliruan:
Pertama: Membuat amalan yang mengada-ada. Ingatlah, bahwa di antara bid’ah yang dibuat oleh sebagian orang sufi adalah menjadikan pakaian dari shuf atau wol kasar sebagai ciri khas orang yang zuhud sehingga pada akhirnya mereka merasa bahwa memakai shuf adalah suatu amalan yang berpahala. Tidak jauh dengan hal ini kasus sarung ‘balapan’ dan menjadikannya sebagai ciri khas orang yang shalih.
Kedua: Gaya berpakaian tersebut termasuk libas syuhrah alias pakaian tampil beda dengan umumnya jamaah masjid yang bersarung. Pakaian tampil beda dalam kasus semacam ini adalah suatu hal yang terlarang.
Ketiga: Gaya berpakaian semacam di atas adalah cara berpakaian yang tidak indah dan rapi padahal Allah mencintai keindahan dalam berpenampilan dan berpakaian selama tidak melanggar batasan syariat.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar