Islam adalah agama samawi yang terakhir diturunkan ke bumi, mengatur segala aspek kehidupan pemeluknya. Dalam kehidupan sehari-hari pun segala tindakan dan tingkah laku umat Islam memiliki aturan yang bersumber dari al Qur’an & al Hadits. Begitu juga dalam hal makan yang kita lakukan setiap hari, dalam sunnah Nabi memiliki aturan yang patut kita tauladani.
Seorang sahabat yang bernama Hakim bin Hizam pernah berkata, “Aku pernah meminta sesuatu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau memberiku, kemudian meminta lagi lalu beliau memberiku, dan meminta lagi lalu Beliau memberiku juga. Kemudian Beliau bersabda:
يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
“Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini hijau (indah) lagi manis. Barang siapa yang mengambilnya dengan hati yang puas maka harta itu akan diberikan keberkahan, namun barang siapa yang mengambilnya dengan hati yang tamak maka harta itu tidak akan diberikan keberkahan; perumpamaannya seperti orang yang makan tetapi tidak kenyang. Dan tangan yang di atas (memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (meminta).” (HR. Bukhari)
Dari riwayat Wahsyi bin Harb dari ayahnya dari kakeknya bahwa para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَأْكُلُ وَلاَ نَشْبَعُ. قَالَ « فَلَعَلَّكُمْ تَفْتَرِقُونَ ». قَالُوا نَعَمْ. قَالَ « فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ إِذَا كُنْتَ فِى وَلِيمَةٍ فَوُضِعَ الْعَشَاءُ فَلاَ تَأْكُلْ حَتَّى يَأْذَنَ لَكَ صَاحِبُ الدَّارِ.
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan dan tidak merasa kenyang?” Beliau bersabda, “Kemungkinan kalian makan sendiri-sendiri.” Mereka menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Hendaklah kalian makan secara bersama-sama, dan sebutlah nama Allah, maka kalian akan diberi berkah padanya.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 4/138, Kitaabul-Ath’imah, bab : Fil-Ijtimaa’ ‘alath-Tha’aam; Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/1093, Kitaabul-Ath’imah, bab :Al-Ijtimaa’ ‘alath-Tha’aam; Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 3/501; Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 7/327, Kitaabul-Ath’imah, Dzikrul-Amri bil-Ijtimaa’ ‘alath-Tha’aam Rajaa’al-Barakah fil-Ijtimaa’ ‘Alaih].
Dan di antara yang menunjukkan atas keberkahan dari berkumpul saat makan juga adalah apa yang diriwayatkan dalam Shahihain dari Abu Hurairah radliyalaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
طَعَامُ اْلإثْنَيْنِ كَافِي الثَّلاثَةَ وَطَعَامُ الثَّلاثةِ كَافِي اْلأَرْبَعَةَ
”Makanan dua orang cukup untuk tiga orang, dan makanan tiga orang cukup untuk empat orang” [Diriwayatkan dalamShahih Al-Bukhari 6/200, Kitaabul-Ath’imah, bab : Tha’aamul Waahidi Yakfil-Itsnain; dan Shahih Muslim 3/1630, Kitaabul-Asyribah, bab : Fadliilatul-Muwaasaatu fith-Tha’aamil-Qaliil wa anna Tha’aamal-Itsnaini Yakfits-Tsalaatsati wa Nahwa Dzaalika].
Dalam riwayat lain dari Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu :
طَعَامُ الوَاحِدِ يَكفِي الإثْنَيْنِ, وَطَعَامُ الإثْنَيْنِ يَكفِي اْلأَرْبَعَةَ, وَطَعَامُ اْلأَرْبَعَةِ يَكفِي اْلثََمَانِيَةَ
”Makanan satu orang mencukupi dua orang, makanan dua orang mencukupi empat orang, dan makanan empat orang mencukupi delapan orang” [Diriwayatkan dalam Shahih Muslim 3/1630 pada kitab dan bab yang lalu].
An-Nawawi rahimahullah berkata :
في الحديث حث على المواساة في الطعام، وأنه وإن كان قليلا حصلت منه الكفاية المقصودة، ووقعت فيه بركة تعم الحاضرين عليه
”Dalam hadits ini terdapat sebuah anjuran agar saling berbagi dalam makanan. Sesungguhnya walaupun makanan itu sedikit, tetapi akan terasa cukup dan ada keberkahan di dalamnya yang diterima oleh seluruh yang hadir” [Syarhun-Nawawi li Shahiihi Muslim 14/23].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
يؤخذ من هذا الحديث أن الكفاية تنشأ عن بركة الاجتماع على الطعام، وأن الجمع كلما كثر ازدادت البركة
”Diambil dari hadits ini (satu faedah), bahwasannya kecukupan itu akan hadir dari keberkahan berkumpul saat makan; dan bahwasannya semakin banyak anggota yang berkumpul, maka akan semakin bertambah barakahnya” [Fathul-Baari 9/535 dengan sedikit perubahan].
Dengan hal ini, sebagian ulama berpendapat bahwa berkumpul saat makan adalah disukai (istihbaab) dan hendaknya seseorang tidak makan seorang diri” [Fathul-Baari 9/535].
Demikianlah anjuran Rasulullah dipegang teguh oleh para sahabat dan keluarganya. Hingga kini para habaib dan kiai di pesantren yang tidak mau makan sehingga datang satu teman untuk makan bersama. Karena makan sendirian bagi mereka adalah sebuah aib yang harus dihindarkan sebagaimana Rasulullah tidak pernah melakukannya.
وقال أنس رضى الله عنه كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يأكل وحده وقال صلى الله عليه وسلم خير الطعام ماكثرت عليه الأيدى
Sahabat Anas radliyallahu 'anh berkata bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah makan sendirian. Rasulullah juga pernah bersabda bahwa sebaik-baik makanan adalah yang dimakan banyak tangan.
Disebutkan dalam hadits diatas : “Berkumpullah kalian ketika makan, dan sebutlah nama Allah padanya.Maka makanan kalian akan diberkahi”. Oleh sebab itu, meninggalkan tasmiyyah (menyebut nama Allah) ketika makan akan menghalangi hadirnya keberkahan padanya. Sehingga syaithan – semoga Allah melindungi kita darinya – ikut makan, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّ الشَّيطَانَ يَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ إِلَّا يُذْكَرَ اسْمَ اللهِ عَليهِ
”Sesungguhnya syaithan menghalalkan makanan (yang dimakan oleh manusia yang ia mendapatkan bagian daripadanya), kecuali yang disebutkan nama Allah atasnya”[Diriwayatkan dalam Shahih Muslim 3/1597, Kitaabul-Asyribah, bab : Aadaabuth-Tha’aam wasy-Syaraabi wa Ahkaamuhuma, hadits tersebut mempunyai kisah yang melatarbelakangi].
An-Nawawi rahimahullah berkata :
معنى (يستحل) أي يتمكن من أكله، ومعناه أن يتمكن من أكل الطعام إذا شرع فيه إنسان بغير ذكر الله تعالى، وأما إذا لم يشرع فيه أحد فلا يتمكن، وإن كان جماعة فذكر اسم الله بعضهم دون بعض لم يتمكن منه
“Arti dari menghalalkan yaitu dapat menikmati makanan tersebut. Maksudnya, bahwa syaithan itu mendapatkan bagian makanan jika seseorang memulainya tanpa dzikir kepada Allah ta’ala. Adapun bila belum ada seseorang yang memulai makan, maka (syaithan) tidak akan dapat memakannya. Jika sekelompok orang makan bersama-sama dan sebagian mereka menyebut nama Allah sedangkan sebagian lainnya tidak, maka syaithan pun tidak akan dapat memakannya” [Syarhun-Nawawi li Shahiihi Muslim 13/189-190].
Dan di antara yang disebutkan oleh An-Nawawi tentang adab-adab tasmiyyah ini dan hukum-hukumnya, yaitu perkataannya :
أجمع العلماء على استحباب التسمية على الطعام في أوله، فإن تركها في أوله عادما أو ناسيا أو مكروها أو عاجزا لعارض الأٓخر، ثم تمكن في أثناء أكله استحب أن يسمي ويقول : بسم الله أوله وأٓخره، كما جاء في الحديث، ويستحب أن يجهر بالتسمية يكون فيه تنبيه لغيره عليها وليقتدى به في ذلك
“Para ulama sepakat bahwa tasmiyah saat awal waktu makan adalah mustahab (sunnah), maka apabila ia meninggalkannya saat di awal makan dengan sengaja maupun tidak sengaja, terpaksa atau tidak mampu karena sebab tertentu, kemudian ia dapat melakukannya pada pertengahan makannya, maka disukai untuk ber-tasmiyyah dan mengucapkan : bismillaahi awwalahu wa aakhirahu(“Dengan menyebut nama Allah di awal dan akhir”), sebagaimana disebutkan dalam hadits. Dan disukai untuk mengeraskan tasmiyyah sehingga ia menjadi satu peringatan pada yang lain agar mencontoh hal tersebut darinya” [Al-Adzkaar, hal. 197, dengan perubahan. Lihat Syarh An-Nawawi li-Shahih Muslim 12/188-189].
Perwujudan bentuk yang lain dalam hal keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berkaitan dengan rizki, yaitu kita senantiasa menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika hendak menggunakan salah satu kenikmatan-Nya, misalnya ketika makan.
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يَأْكُلُ طَعَاماً في سِتَّةِ نَفَرٍ من أَصْحَابِهِ فَجَاءَ أعرابي فَأَكَلَهُ بِلُقْمَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَا إِنَّهُ لَوْ كَانَ ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ لَكَفَاكُمْ. رواه أحمد والنَّسائي وابن حبان
“Dari Sahabat Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu saat sedang makan bersama enam orang sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab badui, lalu menyantap makanan beliau dalam dua kali suapan (saja). Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ketahuilah seandainya ia menyebut nama Allah (membaca Bismillah, pent), niscaya makanan itu akan mencukupi kalian”. [HR Ahmad, An-Nasa-i dan Ibnu Hibban]
Setelah membaca basmallah kemudian membaca do’a sebelum makan yaitu:
اللهم بارك لنا فيما رزقتناوقنا عذاب النار
“ Ya Allah berkatilah kami terhadap apa-apa yang telah Engkau berikan kepada kami dan peliharalah kami dari siksa neraka.”
Adapun do’a setelah makan adalah sebagai berikut:
الحدلله الذياطعمناوسقانا وجعلنا مسلمين
“Segala puji bagi Allah yang telah member kami makan dan minum dan telah menjadikan kami sebagai orang muslim.”(H.R. Ahmad dari abi Said)
Mempraktekkan adab-adab makan, seperti makan dengan mendahulukan bagian pinggirnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلوُاْ مِنْ جَوَانِبِهَا وَلاَ تَأْكُلُوْا مِنْ وَسَطِهَا فَإِنَّ الْبَرَكَةَ تَنْزِلُ فِيْ وَسَطِهَا
“Makanlah dari bagian pinggir, jangan dari tengahnya, karena berkah turun di tengah-tengah.” (HR. Empat orang ahli hadits, hadits ini adalah lafaz Nasa’i dan sanadnya shahih)
Jila seseorang mendapatkan berkah makanan, maka akan tercapai rasa cukup dalam makan, terjaga dari hal-hal yang kurang baik bagi badan, membantunya untuk beribadah dll.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyuruh kita menjilati jari-jemari sehabis makan, Beliau bersabda:
اِإنَّكُمْ لاَ تَدْرُوْنَ فِي أَىِّ طَعَامِكُمُ اْلبَرَكَةَ
“Sesungguhnya kamu tidak mengetahui di bagian mana berkah pada makananmu.” (HR. Muslim)
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar