Ada istilah “wath’u” (الوطء) dan istilah “jima’” (الجماع), keduanya dimaksudkan untuk hubungan badan atau bersetubuh. Dalam istilah fiqih, jima’ didefinisikan dengan memasukkan kemaluan laki-laki pada kemaluan perempuan sehingga seakan-akan seperti satu kesatuan.
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
“Dalam hubungan intim suami-istri (antara kalian) itu termasuk sedekah.”
Para sahabat menanggapi, “Kenapa sampai hubungan intim saja bisa bernilai pahala?”
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
“Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”. (HR. Muslim, no. 2376)
Berdasarkan hadits di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa pahala seorang pria yang menyetubuhi istri atau budaknya bisa diraih jika didasari niat yang sholeh, yaitu untuk menjaga dirinya atau pula pasangannya agar tidak terjerumus dalam yang haram. Atau jima’ tadi diniatkan untuk menunaikan hak dari pasangannya dengan cara yang ma’ruf sebagaimana yang diperintahkan. Atau hubungan badan tadi bertujuan untuk mencari keturunan sehingga anak-anaknya kelak bisa mewariskan ilmu orang tuanya dan bisa semakin menyemarakkan Islam. Inilah niatan-niatan sholeh yang dimaksud.
Lantas bagaimana jika hubungan badan tersebut hanya ingin memuaskan nafsu syahwat dengan istri atau budak, tidak diniatkan dengan niatan sholeh seperti dicontohkan di atas? Hal ini terdapat khilaf (beda pendapat) di antara para ulama. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa keadaan seperti itu tetap mendapatkan pahala. Sebagian lainnya mengatakan tidak. Yang lebih tepat dalam hal ini adalah pendapat terakhir, yaitu tidak mendapati pahala karena tidak didasari niat yang sholeh saat berhubungan badan. Dalil penguatnya di antaranya adalah hadits berikut,
إِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ وَهْوَ يَحْتَسِبُهَا ، كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً
“Jika seorang muslim berinfak pada keluarganya dengan maksud meraih pahala dari Allah, maka itu dinilai sedekah.” (HR. Bukhari no. 5351). Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa yang dimaksud hadits ini adalah sedekah dan infak secara umum dengan syarat ingin mengharap wajah Allah (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/88). Para ulama yang mengatakan mesti dengan niatan sholeh berkata, “Jika pada infak yang wajib saja disyaratkan meraih pahala Allah, bagaimana lagi dengan jima’ yang asalnya mubah?” Sehingga hal ini menunjukkan bahwa jima’ yang bisa berpahala adalah jika diniatkan meraih pahala atau didasari niatan sholeh dan tidak sekedar melampiaskan syahwat belaka.
Hendaknya Melakukan pemanasan dan cumbuan terlebih dahulu
Inilah alasan kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk menikahi wanita perawan karena masih bisa untuk bercumbu rayu dengannya sebelum bercinta.
Ketika Jabir radhiyallahu ‘anhu menikah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padanya,
« هَلْ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا أَمْ ثَيِّبًا. فَقُلْتُ تَزَوَّجْتُ ثَيِّبًا . فَقَالَ هَلاَّ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ
“Apakah engkau menikahi gadis (perawan) atau janda?” “Aku menikahi janda”, jawab Jabir. “Kenapa engkau tidak menikahi gadis saja karena engkau bisa bercumbu dengannya dan juga sebaliknya ia bisa bercumbu mesra denganmu?” (HR. Bukhari, no. 2967; Muslim, no. 715).
مُعَانِقًا مُبَاشِراً مُقّبَلاً # فى غيرِ عَيْنَيْهَا فَهَاكَ وَاقْبَلَا
"Dan hendaklah kamu bercumbu rayu dengan istrimu, janganlah kamu takut". "Merangkul, merapat, dan mencium # selain (mencium) matanya, lakukanlah dan hadapilah".
Boleh-boleh saja suami istri tidak berpakaian sehingga bisa saling melihat satu dan lainnya Hal ini dibolehkan karena tidak ada batasan aurat antara suami istri. Kita dapat melihat bukti hal ini dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ جَنَابَةٍ
“Aku pernah mandi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana dan kami berdua dalam keadaan junub” (HR. Bukhari no. 263 dan Muslim no. 321). Al-Hafizh lbnu Hajar Al Asqalani rahimahullah berkata, “Ad-Dawudi berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya dan sebaliknya.
Pendapat ini dikuatkan dengan kabar yang diriwayatkan lbnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa bahwasanya ia ditanya tentang hukum seorang suami melihat aurat istrinya. Maka Sulaiman pun berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada ‘Atha tentang hal ini, ia menjawab, ‘Aku pernah menanyakan permasalahan ini kepada ‘Aisyah maka ‘Aisyah membawakan hadits ini dengan maknanya’.” (Fathul Bari, 1: 364). Sebagai pendukung lagi adalah dari ayat Al Qur’an berikut, Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6)
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela” (QS. Al Mu’minun: 5-6). Ibnu Hazm berkata, “Ayat ini umum, menjaga kemaluan hanya pada istri dan hamba sahaya berarti dibolehkan melihat, menyentuh dan bercampur dengannya.” (Al Muhalla, 10: 33) Sedangkan hadits,
إِذَا أَتَى أَهْلَهُ فَلاَ يَتَجَرَّدَا تَجَرُّدَ العَيْرَيْن
“Jika seseorang menyetubuhi istrinya, janganlah saling telanjang.” (HR. An Nasai dalam Al Kubro 5: 327 dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6: 163. Abu Zur’ah mengatakan Mandal yang meriwayatkan hadits ini adalah keliru).
Penulis Shahih Fiqh Sunnah (3: 188) mengatakan bahwa hadits ini munkar, tidak shahih. Maka asalnya boleh suami istri saling telanjang ketika hubungan intim.
وَاحْذَرْ من الجِمَاعِ فِى الثِّياب # فَهُوَ مِنَ الجَهْلِ بِلا ارْتِياب
"Hindarilah bersegama dengan menggunakan pakaian # itu adalah pekerjaan bodoh, tanpa keraguan"
بلْ كُلُّ مَا عَلَيهَا صَاحَ يُنْزَعُ #وكُنْ مُلاعِباً لهالاتَفْزَعُ
"Melainkan semua pakaian istri dibuka wahai kawan # dan hendaklah kamu bermain main dengannya, dan janganlah kamu takut".
Dalam Kitab Faidh alQadiir I/308
إذا أتى أحدكم أهله) أي أراد جماع حليلته (فليستتر) أي فليتغط هو وإياها بثوب يسترهما ندبا وخاطبه بالستر دونها لأنه يعلوها وإذا استتر الأعلى استتر الأسفل (ولا يتجردان) خبر بمعنى النهي أي ينزعان الثياب عن عورتيهما فيصيران متجردين عما يسترهما (تجرد العيرين) تشبيه حذفت أداته وهو بفتح العين تثنية عير وهو الحمار الأهلي وغلب على الوحشي وذلك حياء من الله تعالى وأدبا مع الملائكة وحذرا من حضور الشيطان فإن فعل أحدهما ذلك كره تنزيها لا تحريما إلا إن كان ثم من ينظر إلى شئ من عورته فيحرم وجزم الشافعية بحل نظر الزوج إلى جميع عورة زوجته حتى الفرج بل حتى ما لا يحل له التمتع به كحلقة دبرها
Apabila salah seorang diantara kalian hendak mendatangi istrinya
artinya berkeinginan menggauli istri halalnya (maka pakailah penutup) artinya disunahkan baginya dan istrinya memakai kain yang dapat menutupi keduanya, yang terkena khithab (perintah menutup) dirinya (suami) bukan istri karena biasanya saat menjalani senggama suami diatas, saat yang diatas sudah memakai penutup dengan sendirinya yang dibawah juga tertutup
(Dan jangan kalian telanjang) artinya keduanya tanpa penutup kain pakaian.
Unsure pelarangan ini disebabkan karena malu dengan Allah, beretika dengan malaikat serta mencegah datangnya syaithan pada keduanya, bila salah seorang dari keduanya melakukan telanjang saat berhubungan hukumnya makruh tanzih kecuali saat disekitar mereka berdua terdapat orang yang dapat melihat aurat keduanya maka hukumnya menjadi haram.
Kalangan syafi’iyyah menilai bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya secara keseluruhan hingga alat kelaminnya bahkan hingga hal yang tidak halal baginya untuk mendatanginya seperti lubang anus istrinya :
نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم } قال يقول يأتيها من حيث شاء مقبلة أو مدبرة إذا كان ذلك في الفرج
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki :(QS. 2:223)
Kewajiban seorang suami pada Istrinya Menggaulinya dengan cara apapun?
تتمة يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها أو استمناء بيدها لا بيده
( اعانة الطالبين ج 3 ص 340)
Pada dasarnya bagi suami diperbolehkan melakukan istimta’(bersenang senang) dengan cara apa saja terhadap isteri meskipun dengan cara oral (menghisap bidhir). Yang tidak diperbolehkan adalah istimta' pada dubur.
Menjimak ketika berdiri
واعلم ان الجماع قائما يضر الانسان غاية الضرر ويورث له الخفقان اى اضطراب القلب وذات الجنب والصداع فهذه الامراض قد تحصل تارة على الفور وتارة على التراخى فى اخرالعمر اهـ
( كفاية الاتقياء ص 97)
Kesimpilanya : sesungguhnya menjimak dengan posisi berdiri meski diperbolehkan namun bisa menimbulkan dampak negatif, antara lain bisa menjadikan hati tidak menentu(bingung), sakit lambung, sakit kepala.
Penyakit ini bisa terjadi secara langsung atau menjelang tua.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar