Translate

Selasa, 24 Februari 2015

SeJarah Tuban dan Goa Akbar

KUTIPAN – KUTIPAN SEJARAH TUBAN 

a.   TUBAN SAAT PEMERINTAHAN AIRLANGGA.

Rupanya hal ini disebabkan karena Tiongkok, di mana per­niagaan luar negeri menjadi urusan pemerintah, semata-mata ber­dagang dengan Sriwijaya seperti dahulu. Pelabuhan Tuban menurut pengaturan jalan-jalan menghubungkan kota tersebut dengan pusat negara yang mungkin sekali letaknya agak ke dalam. Sejumlah prasasti dari zaman Airlangga yang didapat di daerah Babat, Ngimbang dan Ploso, menunjukkan bahwa justru daerah melalui jalan dari Tuban ke Babat menuju ke Jombang mendapat perhatian yang besar dari Airlangga.

b.   BUKU YING YAI SHENG LAN.

Berita Tionghwa yang sangat penting, adalah uraian Ma Hua dalam bukunya Ying Yai Shing Lan. Ma Huan adalah orang Tionghwa beragama Islam, yang mengiringi Cheng Ho dalam perjalanannya yang ketiga (1413 —1415) ke daerah-daerah lautan selatan. Kecuali soal-soal mengenai keadaan berbagai daerah yang ber-hubungan dengan kedudukan politiknya, yang sangat menarik per­hatian adalah uraian Ma Huan tentang keadaan kota Majapahit dan rakyatnya. Kalau orang pergi ke Jawa, katanya, kapal-kapal lebih dahulu sampai ke Tuban. Kemudian dengan melalui Gresik yang banyak penduduknya Tionghwa, orang tiba di Surabaya. Di sini orang pindah ke perahu-perahu kecil berlayar ke Canggu. Melalui jalan darat, orang kemudian pergi ke arah selatan dan tibalah orang di Majapahit, tempat kediaman sang raja. Kotanya dikelilingi tembok tinggi yang dibuat dari bata, dan penduduknya sejumlah kira-kira 300.000 orang.


Sang raja kepalanya terbuka, atau tertutup dengan mahkota dari emas, memakai kain dan selendang, tidak berterompah dan selalu membawa satu atau dua bilah keris. Kalau keluar ia naik gajah atau kereta yang ditarik oleh lembu. Rakyat­nya pun memakai kain dan baju, dan tiap orang laki-laki mulai anak berumur 3 tahun memakai keris, yang hulunya indah sekali, terbuat dari emas, cula badak atau gading. Kalau mereka bertengkar sekejap saja mereka sudah siap dengan kerisnya. Mereka biasa makan sirih, senang mengadakan perang-perangan dengan tombak bambu pada perayaan-perayaan, suka bermain-main bersama waktu terang bulan dengan disertai nyanyian-nyanyian berkelompok dan bergiliran antara golongan wanita dan pria, gemar pula menonton wayang beber (wayang yang adegan-adegan ceriteranya digambar di atas sehelai kain, kemudian dibentangkan antara dua belah kayu.dan diceriterakan isinya oleh dalang).

Penduduk Majapahit terdiri atas tiga golongan ; orang-orang Islam yang datang dari barat dan mendapatkan mata pencaharian di ibu kota, orang Tionghwa yang banyak pula memeluk agama Islam dan rakyafcte- lebihnya yang menyembah berhala dan tinggal bersama dengan anjing mereka.

c.   BUKU LING – WAI – TAl – TA

Dari hasil-hasil kesusasteraan dapat pula diketahui sedikit ba-gaimana keadaannya dalam zaman Kediri. Tetapi masih menarik perhatian ialah keterangan-keterangan yang terdapat dalam berita-berita Tionghwa. Kitab Ling wai tai ta yang disusun oleh Chou Ku Fei dalam tahun 1178 memberikan gambaran yang tidak didapat dari lain sumber tentang pemerintahan dan masyarakat Kediri. Dikatakan misalnya, bahwa orang-orang memakai kain sampai di bawah lutut, sedangkan rambutnya diurai. Rumah-rumahnya sangat rapi dan bersih. Lantainya dari ubin yang berwarna hijau dan kuning. Pertanian, peternakan dan perdagangan mengalami kemajuan dan perhatian dari Pemerintah. Pun ada pemeliharaan ulat sutra dan kapas. Hukuman badan tidak ada, orang-orang yang bersalah didenda dan pembayaran berupa emas, kecuali pencuri dan perampok yang dibunuh. Untuk perkawinan, keluarga anak perempuan menerima maskawin berupa sejumlah emas. Alat pem­bayaran adalah mata uang dari perak. Orang sakit bukan menggunakan obat, melainkan memohon sembuh kepada dewa-dewa dan kepada Budha Tiap bulan ke 2 diadakan pesta air, dan orang ber-perahu-perahu penuh kegembiraan; tiap bulan 10 perayaan ber-langsung di gunung dan orang berduyun-duyun ke sana untuk ber-senang-senang. Alat-alat musiknya terdiri atas seruling gendang dan gambang dari kayu.

Tentang sang raja sendiri dikatakan, bahwa ia berpakaian su­tra, bersepatu kulit dan memakai perhiasan-perhiasan dari emas. Rambutnya disanggul di atas kepala. Setiap hari ia menerima pe-jabat-pejabat dan mengurus pemerintahan. Maka ia duduk diatas , singgasana yang berbentuk segi empat. Sehabis sidang para pejabat itu menyembah tiga kali, baru mengundurkan diri. Jika raja ke-luar, naik gajah ataupun kereta, ia diiringi 500 sampai 700 orang prajurit dan rakyat di tepi jalan semuanya jongkok sampai raja lewat. Dalam pemerintahan sang raja dibantu oleh 4 orang menteri terkemuka, yaitu rakryan kanuruhan, rakryan maha mantri i hulu, rakryan mahamantri i rangga dan rakryan mahapatih. Mereka ini tidak menerima gaji tetap, tetapi pada waktu-waktu tertentu me­nerima hasil bumi atau lainnya. 

Selanjutnya pemerintahan dilakukan oleh 300 orang pegawai, yang memegang tata buku dan tata usaha : 1000 orang pegawai rendahan bertugas mengurus per-bentengan, perbendaharaan negara, gudang-gudang persediaan dan keperluan-keperluan para prajurit. Panglima tentara setiap se-tengah tahun mendapat 10 tail emas dan para prajurit yang ber-jumlah 30.000 mendapat bayarannya setengah tahun sekali pula dan besarnya gaji sesuai dengan pangkatnya. Demikianlah keterangan yang diperoleh dari sumber Tionghwa. Hal-hal tersebut juga terdapat dalam Kitab Chu-fan-chi- oleh Chau-Ju-Kau tahun 1225. Dalam buku tersebut diceriterakan juga, bahwa di Asia Tenggara ada dua kerajaan yang terkemuka dan terkaya, pertama ialah Jawa dan kedua Sriwijaya. Di Jawa ada dua macam agama yaitu agama Budha dan agama para pertapa (maksudnya Hindu). Rakyatnya lekas naik darah dan berani berperang, kesukaannya ialah mengadu ayam. Mata uangnya dibuat dari logam campuran tembaga, perak dan timah.

Cikal Bakal Penguasa Negeri Tuban

Cikal bakal yang menurunkan adipati di Tuban adalah Prabu Banjaransari, raja di Negeri Pajajaran (Atmodiharjo, 1984 :44). Karena beliau dikarunia banyak putra, dan salah satu dari keturunannya yang dikemudian hari menurunkan silsilah adipati Tuban.

Kala itu kerajaan Pajajaran yang berpusat di dekat Ciamis sedang mengalami puncak kejayaan. Kemakmuran dan keadilan benar-benar dirasakan oleh rakyat mulai dari ibukota kerajaan sampai ke pelosok-pelosok pedesaan. Prabu Banjaransari yang bertahta adalah sosok yang sangat bijaksana sehingga dielu-elukan oleh rakyatnya. Kemasyhuran nama Prabu Banjaransari tidak hanya menjadi buah bibir rakyatnya saja, akan tetapi keharuman namanya telah merambah sampai ke negeri-negeri manca.

Baginda raja juga dikaruniai banyak putra dan cucu. Salah satu putra beliau adalah Raden Haryo Metahun. Berkah dari perkawinannya, R. Haryo Metahun dikaruniai putra bernama Haryo Randukuning.

Suatu hari Raden Arya Randukuning meminta izin ayahanda dan ibundanya untuk mengembara jauh ke timur. Tentu saja, niatnya itu ditolak mentah-mentah oleh kedua orang tuanya. Namun, Prabu Banjaransari ketika mengetahui alasan cucunya mengembara untuk menyempurnakan ilmu dan menambah pengetahuan, maka segeralah baginda memberinya restu.

Sejak saat itu Raden Arya Randukuning meninggalkan kehidupan istana yang serba mewah. Ia memilih mengembara ke arah timur menyusuri daerah pesisir pantai utara Pulau Jawa. Tak peduli siang atau malam, Raden Arya Randukuning terus berjalan menembus tebalnya hutan jati.

Sesampainya di kaki gunung Kalakwilis, Jenu, Raden Arya Randukuning bekerja keras membuka hutan Srikandi yang membentang di sepanjang daerah pantai. Atas kegigihan dan kesaktiannya, hutan itu dalam waktu sekejap berhasil diubah menjadi perkampungan bahkan akhirnya menjadi sebuah kadipaten yang diberi nama Kadipaten Lumajang Tengah. Setelah menjadi adipati di Lumajang Tengah, Raden Arya Randukuning bergelar Kyai Ageng ( Kyai Gede Lebe Lontang).

Di dalam Babad Tuban dikisahkan, ketika berkuasa di Lumajang Tengah, Kyai Gede Lebe Lontang berhasil memimpin rakyatnya untuk menapaki kemakmuran. Stabilitas Kadipaten Lumajang Tengah sangat terjamin mengakibatkan keamanan dan kemakmuran rakyatnya terjaga. Masyarakat kecil tidak kekurangan suatu apa. Hewan-hewan piaraan berkembang biak dengan pesat. Walau hewan-hewan piaraan itu berkeliaran secara bebas, tak seorang pun berani mengambil yang bukan menjadi hak miliknya. Begitu pula para durjana sama sekali tidak bisa berkutik karena kewibawaan sang adipati. Beliau mempunya budi pekerti yang amat luhur dan patut dijadikan teladan bagi para bawahannya. Hal itulah yang membuat para abdi pemerintah dengan penuh kesadaran menjalankan roda pemerintahan secara jujur. Kyai Gede Lebe Lontang berhasil menjalankan pemerintahan di Lumajang Tengah selama ±20 tahun. Kabupaten Lumajang Tengah itu, sekarang menjadi dusun yang bernama Banjar, Kecamatan Jenu.

Kyai Gede Lebe Lontang dikarunia seorang putra bernama Raden Arya Bangah. Sesudah ayahandanya mangkat, Arya Bangah menolak untuk naik tahta menggantikan ayahnya sebagai adipati di Lumajang Tengah. Ia memilih berkelana bersama pengikutnya ke arah selatan.

Sesampai di kaki pegunungan kapur Rengel, Arya Bangah dan para pengikutnya bahu-membahu membuka hutan untuk dijadikan perkampungan. Siang dan malam Arya Bangah dan para pengikutnya bekerja keras untuk mewujudkan cita-citanya. Setelah berhasil, tempat baru itu diberinya nama Kabupaten Gumenggeng. Raden Aryo Bangah saat menjalankan pemerintahan di Gumenggeng selama ±22 tahun lalu meninggal dunia. Bekas Kadipaten Gumenggeng tersebut sekarang menjadi Pedukuhan Gumeng, Desa Banjaragung, Kecamatan Rengel.

Raden Arya Bangah mempunyai seorang putra bernama Raden Aryo Dhandhang Miring. Semenjak muda, Raden Aryo Dhandhang Miring senang menjalankan tapa brata. Ketika melaksanakan tapa brata itulah Raden Aryo Dhandhang Miring mendapatkan ilham yaitu setelah ayahnya mangkat, Raden Aryo Dhandang Miring tidak boleh melanjutkan pemerintahan ayahandanya di Gumenggeng karena cita-citanya yang mulia dan luhur tidak akan terlaksana. Raden Aryo Dhandang Miring harus membuka areal hutan sendiri yang terletak di arah barat laut Gumenggeng. Segala cita-citanya baru berhasil jika putranya kelak membuka hutan bernama Papringan.

Selanjutnya Raden Aryo Dhandang Miring dan para prajuritnya menuju ke barat laut untuk membuka hutan bernama Ancer – Ancer. Setelah hutan tersebut menjadi pemukiman, maka diberi nama Kadipaten Lumajang. Raden Aryo Dhandang Miring memerintah Kadipaten Lumajang selama ± 20 tahun.

Tersebutlah kisah, tatkala itu Raden ARYA DANDANG WACANA sedang membuka tanah yang masih berupa hutan bambu yang bernama Papringan, tanpa diduga – duga sebelumnya muncullah sebuah keajaiban dengankeluarnya air yang dalam istilah jawa disebut (meTu) dan (Banyune),dan jika dirangkaikan menjadi TUBAN.

Peristiwa itu oleh Raden ARYA DANDANG WACANAdijadikan sebagai tonggak sejarah dalam memberi nama tanah tersebut dengan nama TUBAN, dan selanjutnya kita kenal dengan nama Kabupaten Tuban, Sementara itu sejarah pemerintahan Kabupaten Tuban diawali pada jaman Majapahit, tepatnya ketika peristiwa agung pelantikan RONGGOLAWE untuk menjadi adipati Tuban pertama oleh Raja Majapahit Raden WIJAYA. Peristiwa pelantikan itu dilaksanakan pada tanggal 12 Nopember 1293, yang pada akhirnya oleh Pemerintah Kabupaten Tuban tanggal 12 Nopember dijadikan sebagai Hari Jadi Tuban.

Versi lain mengenai nama Tuban ini dapat kita lihat sebagai berikut:
Tuban berasal dari kata Watu Tiban. Hal ini dikaitkan dengan sebuah cerita bahwa ketika kekuasaan Majapahit berakhir, maka harta kekayaan Majapahit dipindahkan ke Demak. Barang-barang yang dipindahkan ke Demak tersebut termasuk adalah pusaka yang berbentuk Yoni. Guna memindahkannya, maka dipercayakan kepada sepasang burung bangau. Sesampai di Tuban, burung-burung tersebut diolok-olok oleh anak-anak yang sedang menggembala. Tampaknya, sepasang burung bangau itu tersinggung dan menjatuhkan barang bawaannya. Daerah tempat jatuhnya batu pusaka tersebut kemudian diberi nama Tuban kependekan dari Wa (Tu) Ti (Ban).

Menurut kebiasaan masyarakat Tuban yang mudah diarahkan untuk melaksanakan tugas guna membangun negerinya. Sifat-sifat seperti itu dalam bahasa Jawa disebut “Nges (Tu) ake kewaji (Ban).”Menurut bahasa Jawa Kawi, Tuban berarti Jeram Kata Jeram dalam Bau Sastra Djawa-Indonesia karangan S. Prawiroatmojo diartikan sebagai air lata atau bisa berarti air terjun.
Menurut pendapat Drs. Soekarto kata Tuban berasal dari kata Tubo yaitu sejenis tanaman yang dapat dibuat racun. Hal ini dibuktikan bahwa di sebelah barat kota Tuban terdapat daerah yang bernama Jenu. Menurutnya, kata Jenu dan Tubo memiliki arti yang tidak jauh berbeda.
 

TUBAN, SEJARAH DAN LEGENDA 

Nama ‘Tuban’ berasal dari sebuah sumber air tawar yang ditemukan di tempat tersebut. Peristiwa ini membuat orang menamakannya ‘me(tu) (ban)yu” (keluar air). Sehingga tempat tersebut kemudian dinamakan Tuban3. Dulunya Tuban bernama Kambang Putih4. Sudah sejak abad ke-11 sampai 15 dalam berita-berita para penulis China (pada jaman dinasti Song Selatan 1127-1279 dan dinasti Yuan (Mongol) 1271-1368 sampai jaman dinasti Ming th.1368-1644 ), 

Berita catatan tentang bentuk phisik kota Tuban secara samar-samar didapat dari berita kapal Belanda yang mendarat di Tuban yang dipimpin oleh Laksamana muda Van Warwijck (Tweede Schipvaert) pada bulan Januari th. 1599. Dalam berita itu disebutkan bahwa orang Belanda terkesan sekali oleh kemegahan Keraton Tuban. Selain itu juga terdapat gambar dari alun-alun Tuban pada abad ke 16, waktu diadakan latihan Senenan 

Kota pelabuhan utama di pantai Utara Jawa yang kaya dan banyak penduduk Tionghoanya. Orang Cina menyebut Tuban dengan nama Duban atau nama lainnya adalah Chumin. Pasukan Cina-Mongolia (tentara Tatar), yang pada th. 1292 datang menyerang Jawa bagian Timur (kejadian yang menyebabkan berdirinya kerajaan Majapahit) mendarat di pantai Tuban. Dari sana pulalah sisa-sisa tentaranya kemudian meninggalkan P.Jawa untuk kembali ke negaranya.

Tapi sejak abad ke 15 dan 16 kapal-kapal dagang yang berukuran sedang saja sudah terpaksa membuang sauh di laut yang cukup jauh dari garis pantai. Sesudah abad ke 16 itu memang pantai Tuban menjadi dangkal oleh endapan lumpur. Keadaan geografis seperti ini membuat kota Tuban dalam perjalanan sejarah selanjutnya sudah tidak menjadi kota pelabuhan yang penting lagi.

Mengetahui sejarah Tuban belum lengkap tanpa mengetahui nama-nama bupati yang pernah memimpin Kabupaten Tuban tercinta ini. Periode kepemimpinan di Kabupaten Tuban dapat dikelompokkan menjadi dua periode yaitu sebelum kemerdekaan dan setelah kemerdekaan. Berikut nama-nama Bupati Tuban beserta periode kepemimpinannya:

Nama Bupati sebelum kemerdekaaan Republik Indonesia (1945):
1. RA. DANDANG WATJONO  ( 1264-1282 )
2. RH. RONGGOLAWE ( 1282-1291 )
3. RH. SIROLAWE ( 1291-1306 )
4. RA. SIROWENANG ( 1306-1326 )
5. RH. LENO ( 1326-1349 )||
6. RH. DIKORO ( 1349-1401 )||
7. RA. TEJO ( 1401-1419 )
8. RH. WILWOTIKTO ( 1419-1460 )
9. KH. NGRASEH ( 1460-1507 )
10. KA. GELILANG ( 1507-1553 )
11. KA. BATUBANG ( 1553-1573 )
12. RH. BALEWOT ( 1573-1628 )
13. P. SEKARTANJUNG ( 1628-1661 )
14. P. NGANGSAR ( 1661-1668 )
15. P.H. PERMALAT ( 1669-1686 )
16. P. SALAMPE ( 1686-1707)
17. P.H. DALAM ( 1700-1707 )
18. P. POJOK ( 1707-1723 )
19. P. ANOM ( 1723-1730 )
20. P. SOEDJONO POETRO ( 1730-1737 )
21. RA. BALABAR ( 1737-1748 )
22. P. SOEDJONO POETRO ( 1748-1755
23. RA. JOEDONGORO ( 1755-1766 )
24. RA. SURYO DININGRAT ( 1766-1773 )
25. RA. DIPOSENO ( 1773-1779 )
26. KT. TJOKRONEGORO ( 1779-1792 )
27. KT. POERWONEGORO ( 1792-1799 )
28. K. LIEDER SOERODINEGORO ( 1799-1802 )
29. R. SOEROADIWIDJOJO ( 1802-1814 )
30. P.TJITROSUMO VI ( 1814-1821 )
31. P.TJITROSUMO VII ( 1821-1841 )
32. P.TJITROSUMO VIII ( 1841- 1861 )
33. P.TJITROSUMO XI ( 1861-1883 )
34. RM SOEMOBROTO ( 1883-1893 )
35. RA. KOESOEMADIGDO ( 1893-1909 )
36. RA. PRINGGOWINOTO ( 1909-1919 )
37. RA. PRINGGODIGDO ( 1919-1927 )
38. R.M.A.A. KOESUMOBROTO ( 1927-1944 )
39. RT. SOEDIRMAN H ( 1944-1946)

Nama Bupati setelah kemerdekaan Republik Indonesia ( 1945 )
1. KH. MOESTA’IN (1946-1956)
2. R. SOENDAROE (1956-1958)
3. R.ISTOMO (1958-1959)
4. R. SANDJOJO (1959-1960)
5. M. WIDAGDO (1960-1968)
6. R. SOEPARMO (1968-1970)
7. R.H. IRCHAMNI (1970-1975)
8. MOCH. MASDUKI (1975-1980)
9. SOERATI MOESRAM (1980-1985)
10. Drs. DJOEWAHIRI MARTO PRAWIRO (1985-1991)
11. Drs. SJOEKOR SOETOMO (1991-1995)
12. H. HINDARTO (1996-2001)
13. Dra. H. HAENY RELAWATI RINI WIDYASTUTI, M.Si (2001-2006)
14. Dra. H. HAENY RELAWATI RINI WIDYASTUTI, M.Si (2006-2011)
15. Drs. KH.FATHUL HUDA,M.M. (2011-Sekarang).

Itulah nama-nama bupati yang pernah memimpin kabupaten Tuban.

Sekilas Tentang "Sunan Bonang"

Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. 

Bonang adalah sebuah desa di kabupaten Rembang. Nama Sunan Bonang diduga adalah Bong Ang sesuai nama marga Bong seperti nama ayahnya Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya berada di Desa Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di kota Tuban. 

Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat beliau meninggal, kabar wafatnya beliau sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sangat mengagumi beliau sampai ingin membawa jenazah beliau ke Madura. Namun, murid tersebut tak dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian beliau. 

Saat melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang. Mereka memperebutkannya. 

Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Bonang disebut Sayyid Kramat merupakan seorang Arab keturunan Nabi Muhammad.

SILSILAH

Terdapat silsilah yang menghubungkan Sunan Bonang dan Nabi Muhammad Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) bin Sunan Ampel (Raden Rahmat) Sayyid Ahmad Rahmatillah bin Maulana Malik Ibrahim bin Syekh Jumadil Qubro (Jamaluddin Akbar Khan) bin Ahmad Jalaludin Khan bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Al-Muhajir (dari Nasrabad,India) bin Alawi Ammil Faqih (dari Hadramaut) bin Muhammad Sohib Mirbath (dari Hadramaut) bin Ali Kholi' Qosam bin Alawi Ats-Tsani bin Muhammad Sohibus Saumi'ah bin Alawi Awwal bin Ubaidullah bin Muhammad Syahril Ali Zainal 'Abidin bin Hussain bin Ali bin Abi Thalib (dari Fatimah az-Zahra binti Muhammad SAW)


KARYA SASTRA

Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr. 

Sunan Bonang juga menggubah tembang Tamba Ati (dari bahasa Jawa, berarti penyembuh jiwa) yang kini masih sering dinyanyikan orang. 

Ada pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku (Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya, dianggap bukan karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya. 

KEILMUAN

Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Ia mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan pernapasan yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim ( ا ل م ) yang artinya hanya Allah SWT yang tahu.

Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya'. 

Ia menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur'an.

Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Salat dan dzikir. Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia.


Goa Akbar

Sinar Matahari pagi itu kembali menyinari kota yang menasbihkan dirinya sebagai kota wali atau biasa juga disebut kota seribu goa yang sekilas mirip dengan kota lainnya di Jawa Timur, namun inilah Kota Tuban. Awal hari itupun kembali menghidupkan kembali denyut kehidupan kota kecil ini. Tak terkecuali juga dengan Pasar Baru yang kembali dengan hiruk pikuk khas pasar pasar di Pulau Jawa. Namun siapa sangka di tengah terik matahari dan hiruk pikuk Pasar Besar Tuban ini tersimpan sebuah tempat yang menyimpan keheningan, keindahan, kedamaian dan bahkan terik matahari pun tan akan dapat menemukannya.

Tepat dibawah perut pasar besar tuban dengan sejuta kegiatannya tersimpan dengan rapi Lukisan akan keindahan perut bumi Indonesia. Tepat sekitar 10 -15 meter kedalam kita akan menemui sebuah Goa yang sangat indah dan menyimpan cerita panjang di dalamnya, Goa Akbar namanya. Sebuah nama yang cukup tepat untuk menggamparkan betapa akbarnya goa ini sebenarnya.

Untuk menjangkau goa ini sangat mudah sekali, karena goa ini terletak di pusat kota Tuban. Jika kita sedang berziarah ke Makam Sunan Bonang kita bisa menaiki becak yang berjejer rapi sepanjang jalan untuk mengantarkan kita. Ataupun jika kita membawa kendaraan kita dapat menuju pasar baru tuban, maka petunjuk arah pun sudah sangat jelas. Dari komplek perkiran bus ziarah Sunan Bonang pun sangat dekat, hanya sekitar 200 meter berjalan kaki. 

-- Legenda --

Sekitar 500 tahun lalu, Sunan Bonang sedang melakukan perjalanan. Ketika menemui goa ini, Kanjeng Sunan Bonang terpesona dan seketika berucap, “Allahu Akbar”. Konon, sejak itulah, goa yang terletak di tengah Kota Tuban itu disebut Goa Akbar. Versi lain diceritakan, karena sekitar goa banyak dijumpai pohon Abar. Masyarakat setempat kemudian menyebutnya Ngabar.

Kata Ngabar berasal dari bahasa Jawa yang berarti latihan. Konon, goa ini pernah dijadikan tempat persembunyian untuk mengatur strategi dan latihan ilmu kanuragan prajurit Ronggolawe, yang ketika itu berencana mengadakan pemberontakan ke Kerajaan Majapahit. Pemberontakan itu disulut oleh ketidakpuasan Ronggolawe atas pelantikan Nambi menjadi Maha Patih Majapahit. Karena seringnya dijadikan tempat latihan, goa dan daerah sekitarnya dijuluki Ngabar, yang kemudian seiring waktu menjadi nama dusun yaitu Dusun Ngabar, Desa Gedongombo, Kecamatan Semanding. Cerita mengenai asal usul ini memang berkembang bervariasi. Pastinya, kata Akbar itu kini dipergunakan Pemerintah Kabupaten Tuban sebagai slogannya. Akbar bermakna Aman, Kreatif, Bersih, Asri, dan Rapi.

Goa Akbar mengandung kisah keagamaan sangat tinggi. Diceritakan, konon Sunan Bonang mengetahui goa ini karena diajak Sunan Kalijogo yang saat itu masih bernama RM Sahid. Bila disimak cerita pada relief di dinding sebelah utara pintu masuk, digambarkan RM Sahid yang adalah putra Bupati Tuban ke-9 yang bernama Wilotikto diusir dari rumah karena bertabiat kurang baik. Karenanya ia dipanggil dengan nama Brandal Lokojoyo. 

Pertemuannya dengan Sunan Bonang di Kali Sambung, Brandal Lokojoyo mengatakan kalau rumahnya di goa. Alkisah, setelah ia terusir, RM Sahid memang tinggal di Goa Akbar. Perjalanan spiritual RM Sahid alias Brandal Lokojoyo kemudian menemui jalan kebenaran, dan terakhir menjadi Sunan Kalijogo. Beberapa tempat di Goa Akbar akhirnya dipercaya sebagai tempat perjalanan religius Sunan Kalijogo dan Sunan Bonang, di samping wali-wali yang lain.


Begitu memasuki goa dengan luas kurang lebih 1 ha ini maka kalimat saya yang terucap adalah “Allahu Akbar”, setiap saya berkunjung pun perasaan takjub akan maha karya Tuhan selalu terulang. Jauh dari perkiraan wisatawan tentang goa yang gelap dan berbau kotoran kelelawar, kini di dalam goa telah dibangun jalur dari paving block yang dibatasi oleh pagar steinless steel. Selain pagar pembatas, di lintasan sepanjang 1,2 kilometer itu tertempel larangan balik arah, agar pengunjung tidak sampai kebablasan tanpa memperhitungkan keselamatan. Di sana juga terdapat sumber air yang bernama Kedung Tirta Agung.


Stalaktit dan stalagmit yang muncul di dalam goa pun semakin indah akibat pantulan pantulan sinar lampu. Ornamen Ornamen gua pun diberi nama tersendiri mengikuti akan bentuknya, sungguh unik. Sepanjang lintasan ini terdapat setidaknya tiga ruang besar semacam hall. Ruang besar ini kerap menjadi terminal pengunjung untuk bersantai sejenak. 

Di akhir perjalanan terdapat semacam hall yang dinamakan Paseban Para Wali atau tempat para wali menyampaikan fatwa dan ajaran agama. Di tempat ini juga terdapat stalaktit dan stalagmiy yang seakan menjadi hiasan ruangan ini, sungguh indah dan tetap nuansa religi masih kental terasa, ditambah dengan adanya batu-batu besar yang terletak di bagian depan ruang, seakan menjadi podium bagi pembicara. Beberapa tempat di Goa Akbar akhirnya dipercaya sebagai tempat berkumpul dan bermusyawarah para sunan pada jaman dahulu kala.

Seiring beragamnya cerita yang menyelimuti, Goa Akbar memiliki banyak ruang dan ornamen batu dalam berbagai bentuk, yang memiliki jalinan kisah tersendiri. Kisah itu berkaitan dengan sejarah wali-wali dalam melakukan syiar agama di desa-desa hingga kawasan pantura (pantai utara).

Pertapaan Andong Tumapak. Tempat ini dipercaya sebagai tempat pertapaan Sunan Bejagung (Sayyid Abdullah Asyari), penyebar agama Islam di Jawa sebelum Wali Songo. Konon, kanjeng Sunan Bejagung bertapa untuk memenuhi permintaan Bupati Tuban kala itu, untuk memohon petunjuk pada Tuhan dalam menghadapi serangan musuh.

Sendang Tirta Merta berupa kolam air kehidupan yang bermakna kehadiran goa ini diharapkan bisa menjadi lapangan kehidupan masyarakat Tuban dan bisa meningkatkan kesejahteraan dan lapangan kerja.

Lorong Hawan Samodra. Berdasar penelitian, di dalam lorong tersebut pernah ditemukan tanah bercampur ijuk, sehingga diduga dulu dipakai tempat penyimpanan harta karun.

Ruangan Songgo Langit. Artinya dari sudur ruangan ini kita bisa melihat langit secara bebas melalui lobang angin.

Pertapaan Sela Kumbang sebagai tempat pertapaan yang terletak di atas tanah.

Gampeng Watu Naga. Bentuk batu-batu ruangan itu bila digabungkan akan mirip dengan ular naga.

Sela Turangga yaitu batu mirip kuda. Lorongnya bisa tembus ke Rumah Sakit Medika Mulia.

Muhamandhapa Sri Manganti. Ruangan seperti pendopo besar dan luas, yang pernah digunakan sebagai tempat rapat, sidang, pertemuan para Wali Songo.

Watu Gong atau sebuah batu yang bila dipukul bisa menghasilkan bunyi seperti gong.

Pasujudan Baitul Akbar, yaitu tempat ibadah bagi umat Islam. Tempat ini pernah digunakan oleh Sunan Bonang untuk melaksanakan shalat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar