Translate

Jumat, 03 Juli 2015

Kisah Shohabat Sa'id bin Zayd bin 'Amr bin Nufail RA

Nama lengkapnya adalah Sa'id bin Zayd bin Amru bin Nufail Al Adawi. Dia adalah salah satu Rosulullah Saw yang berasal dari kaum Quraisy dan termasuk golongan kedalam golongan sepuluh sahabat yang dijanjikan akan masuk surga. Said dilahirkan di Makkah 22 tahun sebelum hijriyah dan sering kali dipanggil dengan sebutan Abul Awaar.
Said adalah putra Zaid seorang yang selama hidupnya selalu mencari kebenaran akan agama yang haq. Dia juga tidak mempercayai akan agama yang dianut oleh nenek moyangnya. Zaid juga dikenal sebagai penyelamat bayi perempuan pada masa jahiliyah, karena di masa itu mempunyai bayi perempuan dianggap sebuah aib besar yang dapat meruntuhkan kehormatan keluarga. Zaid menyelamatkan para bayi perempuan dengan mengangkatnya sebagai anak dan kemudian mengasuhnya.

Ketidakpercayaan Zaid terhadap ajaran nenek moyangnya dapat dibuktikan dalam sebuah peristiwa yakni; suatu hari Zaid bin Amr bin Nufail berdiri di tengah-tengah orang banyak yang berdesak-desakan menyaksikan kaum Quraisy berpesta merayakan salah satu hari besar mereka. Kaum pria memakai serban sundusi yang mahal, yang kelihatan seperti kerudung Yaman yang lebih mahal. Kaum wanita dan anak-anak berpakaian bagus warna menyala dan mengenakan perhiasan indah-indah. Hewan-hewan ternak pun dipakaikan bermacam-macam perhiasan dan ditarik orang-orang untuk disembelih di hadapan patung-patung yang mereka sembah.
Kemudian Zaid bersandar ke dinding Kabah dan berkata, “Hai kaum Quraisy! hewan itu diciptakan Allah. Dialah yang menurunkan hujan dari langit supaya hewan-hewan itu minum sepuas-puasnya. Dialah yang menumbuhkan rumput-rumputan supaya hewan – hewan itu makan sekenyang-kenyangnya. Kemudian, kalian sembelih hewan-hewan itu tanpa menyebut nama Allah. Sungguh bodoh dan sesat kalian.”

Al-Khattab, ayah Umar bin Khottob, berdiri menghampiri Zaid, lalu ditamparnya Zaid. Kata Al-Khattab, “Kurang ajar kau! kami sudah sering mendengar kata-katamu yang kotor itu, namun kami biarkan saja. Kini kesabaran kami sudah habis!” Kemudian, dihasutnya orang-orang bodoh supaya menyakiti Zaid. Zaid benar-benar disakiti mereka dengan sungguh-sungguh sehingga dia terpaksa menyingkir dari kota Mekah ke Bukit Hira. Al-Khattab menyerahkan urusan Zaid kepada sekelompok pemuda Quraisy untuk menghalang-halanginya masuk kota. Karena itu, Zaid terpaksa pulang dengan sembunyi-sembunyi.
Dalam kisah lain disebutkan juga bahwa suatu hari Zaid bin Amr bin Nufail berkumpul ketika orang-orang Quraisy tengah bersama-sama dengan Waraqah bin Naufal. Abdullah bin Jahsy, Utsman bin Harits, dan Umaimah binti Abdul Muthallib, bibi Muhammad saw. Mereka berbicara tentang kepercayaan masyarakat Arab yang sudah jauh tersesat. Pada saat itu Zaid berkata, “Demi Allah! sesungguhnya Saudara-Saudara sudah maklum bahwa bangsa kita sudah tidak memiliki agama. Mereka sudah sesat dan menyeleweng dari agama Ibrahim yang lurus. Karena itu, marilah kita pelajari suatu agama yang dapat kita pegang jika Saudara-Saudara ingin beruntung.”
Keempat orang itu akhirnya pergi menemui pendeta-pendeta Yahudi, Nasrani, dan pemimpin-pemimpin agama lain untuk menyelidiki dan mempelajari agama Ibrahim yang murni. Waraqah bin Naufal akhirnya meyakini agama Nasrani sebagai agama yang dipegannya. Sementara Abdullah bin Jahsy dan Utsman bin Harits tidak menemukan apa-apa. Adapun Zaid bin Amr bin Nufail mengalami kisah tersendiri ketika sedang dalam pencarian agama tersebut. Zaid mempelajari agama Yahudi dan Nasrani. Tetapi, keduanya ditinggalkannya karena dia tidak memperoleh sesuatu yang dapat menenteramkan hati dan menjawab kegelisahan-kegelisahannya. Kemudian Zaidpun berkelana ke berbagai pelosok mencari agama Ibrahim. Ketika dia sampai ke negeri Syam, dia diberitahu tentang seorang Rahib yang mengerti ilmu kitab. Kemudian dia mendatangi sang Rahib untuk menceritakan kepadanya tentang kegelisahannya tentang agama nenek moyangnya serta pengalamannya dalam mempelajari agama Yahudi dan Nasrani.
Mendengar cerita dari Zaid, kemudian sang Rahib tersebut berkata: “Saya tahu engkau sedang mencari agama Ibrahim, hai putra Mekah?”, Zaid pun menjawab: “Betul, itulah yang saya inginkan.” Kemudia sang Rahib berkata: “Anda mencari agama yang dewasa ini sudah tak mungkin lagi ditemukan. Tetapi, pulanglah Anda ke negeri Anda. Allah akan membangkitkan seorang nabi di tengah-tengah bangsa Anda untuk menyempurnakan agama Ibrahim. Bila Anda bertemu dengan dia, tetaplah Anda bersamanya.”

Mendengar keterangan dari rahib tersebut, akhirnya Zaid berhenti berkelana dan dia memutuskan untuk kembali ke Mekah menunggu nabi yang dijanjikan. Ketika Zaid sedang dalam perjalanan pulang. Allah mengutus Muhammad menjadi nabi dan rasul dengan agama yang hak. Tetapi, Zaid belum sempat bertemu dengan beliau, dia dihadang perampok-perampok Badui di tengah jalan dan terbunuh sebelum ia kembali ke Mekah. Waktu dia akan menghembuskan napasnya yang terakhir, Zaid menengadah ke langit dan berkata, “Wahai Allah, jika Engkau mengharamkanku dari agama yang lurus ini, janganlah anakku Sa’id diharamkan pula daripadanya.”
Do’a Zaid inipun dikabulkan oleh Allah. Putra kesayangannya Said akhirnya menjadi seorang muslim bahkan menjadi pelopor dari keislaman orang-orang Quraisy lainnya. Sebagai seseorang yang dididik dari keluarga yang tidak mempercayai tradisi agama nenek moyangnya, tentu membuat Said begitu mudah untuk menjadi muslim begitu dia mendengar Nabi Saw menyerukan dakwah kepada agama kebenaran. Karenanya Said termasuk golongan orang yang pertama-tama masuk Islam. Dia mempercayai ajaran baru yang di bawa oleh seorang utusan Allah Muhammad Saw di saat banyak orang masih  meragukannya. Masuknya Said kedalam Islam tidak lepas dari berbagai siksaan dari orang-orang kafir yang tidak rela kehilangan pengikut agama nenek moyangnya. Dia menyatakan dirinya sebagai seorang muslim bersama istrinya Fatimah binti Khattab, adik perempuan Umar bin Khattab, seorang pemuka Qurasiy yang pada saat itu sangat membenci ajaran baru yang dibawa oleh Muhammad. Said menjadi seorang muslim dalam usia 20 tahun. Dia tetap teguh dalam keimanannya ketika mengalami berbagai siksaan. Bahkan keteguhan Said bersama istrinya dalam meyakini ajaran agamanya telah meluluhkan hati Umar bin Khattab seorang yang mempunyai hati yang keras dan pada saat itu menjadi salah satu penghalang yang berat bagi dakwah Rosulullah Saw.

Said adalah seorang yang mengabdikan seluruh hidupnya bagi kepentingan agamanya. Dia ikut serta dalam hijrah kaum muslimin baik hijrah ke negeri Habasya maupun hijrah ke Madinah. Dia juga selalu mengikuti peperangan pada masa Nabi Saw, kecuali perang Badar karena saat itu dia bersama Thalhah bin Ubaidillah mendapat tugas dari Rosulullah Saw untuk mengintai orang-orang Quraisy. Said juga ikut serta dalam salah satu perang terbesar dalam sejarah umat muslim yakni perang Yarmuk yang menggulingkan kekuasaan bangsa Romawi masa itu, dia juga mengikuti perang dalam menggulingkan kekuasaan Persia yang semuanya terjadi pada pemerintahan khalifah Umar bin Khattab. Said juga mengikuti perang dalam menaklukkan Damsyiq, bahkan Abu Ubaidah bin Jarrah mengangkat Sa’id bin Zaid menjadi wali di sana. Dialah wali kota pertama dari kaum muslimin setelah kota itu dikuasai.‎
Said juga seorang ahli ibadah yang doanya seringkali dikabulkan oleh Allah. 

Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Bani Umayah, merebak suatu isu dalam waktu yang lama di kalangan penduduk Yatsrib terhadap Sa’id bin Zaid. Yakni, seorang wanita bernama Arwa binti uwais telah menuduh Sa’id bin Zaid merampas tanahnya dan menggabungkannya dengan tanah Said sendiri. Wanita tersebut menyebarkan tuduhannya itu kepada seluruh kaum muslimin, dan kemudian mengadukan perkaranya kepada Wali Kota Madinah, yang pada saat itu adalah Marwan bin Hakam. Marwan menerima pengaduan tersebut dan kemudian mengirimkan beberapa petugas kepada Sa’id untuk menanyakan perihal tuduhan wanita tersebut. Sahabat Rasulullah Saw ini merasa prihatin atas fitnah yang dituduhkan kepadanya itu.

Kemudian Sa’id berkata: “Dia menuduhku menzaliminya (meramapas tanahnya yang berbatasan dengan tanah saya). Bagaimana mungkin saya menzaliminya, padahal saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang mengambil tanah orang lain walaupun sejengkal, nanti di hari kiamat Allah memikulkan tujuh lapis bumi kepadanya. Wahai Allah! dia menuduh saya menzaliminya. Seandainya tuduhan itu palsu, butakanlah matanya dan ceburkan dia ke sumur yang dipersengketakannya dengan saya. Buktikanlah kepada kaum muslimin sejelas-jelasnya bahwa tanah itu adalah hak saya dan bahwa saya tidak pernah menzaliminya.”

Tidak berapa lama kemudian, terjadi banjir yang belum pernah terjadi seperti itu sebelumnya. Maka, terbukalah tanda batas tanah Sa’id dan tanah Arwa yang mereka perselisihkan. Sehingga kaum muslimin memperoleh bukti bahwa Sa’idlah yang benar, sedangkan tuduhan wanita itu adalah palsu. Hanya sebulan sesudah peristiwa itu, wanita tersebut menjadi buta. Ketika dia berjalan meraba-raba di tanah yang dipersengketakannya, dia pun jatuh ke dalam sumur.
Begitulah sosok seorang Said bin Zaid, salah satu sahabat Rosulullah Saw yang dijanjikan akan masuk surga. Dia meninggal dalam usia 73 tahun di Madinah pada tahun 51 H.‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar