Translate

Selasa, 28 Juli 2015

Sejarah Kesultanan Kelantan Darunna'im

Kelantan Darul Naim merupakan salah satu negara bagian dari 14 buah negera bagian di Malaysia yang kaya dengan sumber alam. Mempunyai wilayah lebih kurang 14.922 km², terletak di timur laut Semenanjung Malaysia, berhadapan dengan Laut China Selatan, dan berbatasan dengan Thailand.

Sejarah awal Kelantan belum diketahui secara pasti. Catatan bangsa Eropa dan China yang ditulis pada masa lalu dapat dijadikan sebagai rujukan untuk memotret fakta dan gambaran tentang asal-usul keberadaan Negeri Kelantan. Berikut ini adalah catatan-catatan singkat yang dimaksud:

Berdasarkan catatan Claudius Ptolemy, ahli bumi dan ilmu falak berkebangsaan Yunani, dalam bukunya Geography of Eastern Asia yang ditulis pada abad ke-2 M, disebutkan nama tiga buah tempat, yaitu “Kole Polis”, “Primula”, dan “Tharra” yang terletak di pantai timur Semenanjung Melayu.

G. E. Gerini, peneliti berkebangsaan Italia, mengatakan bahwa “Kole Polis” terletak di Kelantan. Ia menganggap nama Kelantan adalah gabungan kata dari “Kolo” dengan kata “Thana” atau “Tanah”, hingga menjadi “Kolathana” atau “Kolamtanah” atau “Kolantan”.

Sejak abad ke-6 M, catatan-catatan sejarah China menyebut Kelantan dengan berbagai nama. Pada masa Kerajaan Liang (502-557 M), orang China menyebut “Tan-Tan”. Pada masa Kerajaan Tang (618-906 M), orang China menyebut “Tann-Tann”. Sedangkan pada masa Kerajaan Sung (960-1279 M), Kelantan disebut dengan kata “Chi-lan-chau” atau “Chi-lan-tan”. Pada awal abad ke-17 M, Kelantan disebut dengan “Ko-lan-tan” atau “Ku-lan-tan”.

Selain “Tan-Tan” atau “Tann-Tann”, ada sebuah negeri lagi yang disebut-sebut oleh orang-orang China, yaitu “Chit-tu” yang berarti Negeri Tanah Merah dan dikaitkan dengan Negeri Kelantan.

Berdasarkan letak geografisnya, sebagian ahli sejarah justru beranggapan bahwa Chit-tu (Tanah Merah) atau “Raktamrittika” adalah Kelantan itu sendiri. Seorang ahli sejarah Eropa, Paul Wheatley cenderung mempercayai bahwa Chit-tu itu terletak di Kelantan. Hal itu bermula dari sejarah Kerajaan Raktamrittika yang didirikan pada abad ke-6 M oleh Raja Gautama, putra Raja Kalahtana. Chit-tu pernah menjadi wilayah taklukan Kerajaan Funan. Pada tahun 1225 M, Kelantan pernah ditaklukan oleh Sriwijaya.    

Pada tahun1411 M (814 H), Negeri Kelantan mulai dipimpin oleh seseorang bernama Raja Kumar. Namun, pakar-pakar sejarah belum dapat menentukan darimana asal Raja Kumar. Hanya ada sebuah data yang menyebutkan bahwa Raja Kumar pernah menjalin hubungan dengan Raja China. Misalnya, pada tahun 1412 M, Raja Kumar menerima pemberian berupa kain-kain sutera dan surat puji-pujian dari Raja China.

Raja Kumar mangkat pada tahun 1418 M. Ia digantikan oleh Sultan Iskandar Syah. Berdasarkan manuskrip Sejarah Melayu, Sultan Iskandar merupakan cucu Raja Culan, Raja Negeri Ganggayu atau Klang Kio yang terletak di hulu Sungai Johor. Ada sumber lain, misalnya buku karya Nik Mahmud Ismail, Ringkasan Cetera Kelantan, menyebut bahwa Raja Culan adalah Raja Negeri Perak. Belum ditemukan data yang pasti tentang bagaimana hubungan kekerabatan antara Raja Kumar dan Sultan Iskandar Syah. Demikian pula, belum ditemukan data yang menjelaskan bagaimana mulai masuknya Islam di Kelantan mengingat Sultan Iskandar Syah telah menganut agama Islam.

Sultan Iskandar Syah mangkat pada tahun 1465 M. Ia kemudian digantikan oleh Sultan Mansur Syah. Ada tiga versi sumber yang menyebutkan hubungan darah Sultan Mansur Syah dengan Sultan Iskandar Syah, yaitu: (1) Sejarah Melayumenyebut Sultan Mansur Syah adalah anak saudara sepupu Sultan Iskandar Syah; (2) Ringkasan Cetera Kelantan menyebut Sultan Mansur Syah adalah putra Sultan Iskandar Syah; dan (3) Sejarah Negeri-Negeri Melayu karya Haji Muhammad Sidi Haji Muhd Rasyid menyebut Sultan Mansur Syah adalah sepupu Sultan Iskandar Syah.  

Pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah, Kelantan mencapai masa kejayaan. Ketika itu, Kelantan dikenal dengan hasil perekonomiannya. Nama Kelantan rupanya terdengar hingga ke Melaka (yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah). Pada tahun 1477 M, Sultan Mahmud Syah memerintah bala tentaranya untuk menyerang Kelantan. Sultan Mansur Syah mempunyai tiga orang anak, yaitu Raja Gombak, Unang Kening, dan Cubak. Sultan Mahmud Syah pada perkembangan selanjutnya ternyata justru menikahi putri Sultan Mansur Syah, Unang Kening. Sultan Mahmud Syah dan Unang Kening dikaruniai tiga orang anak, yaitu Raja Mah (putri), Raja Muzaffar (putra), dan Raja Dewi (putri). Raja Muzaffar yang lahir pada tahun 1505 M kemudian diketahui menjadi Sultan Perak I dengan gelar Sultan Muzaffar Syah (1528-1540 M). Setelah Sultan Mansur Syah mangkat pada tahun 1526 M, Raja Gombak menggantikan posisi ayahnya sebagai Sultan Kelantan ke-IV dengan gelar Sultan Gombak (1526-1584 M).

Sultan Gombak mangkat pada tahun 1584 M. Ia digantikan oleh cucunya yang kemudian dijadikan anak angkatnya, Raja Ahmad dengan gelar Sultan Ahmad. Sultan Ahmad menikah dengan Cik Banun, anak bungsu Seri Nara Diraja, seorang pembesar Kelantan, dan melahirkan seorang putri bernama Cik Wan Kembang. Ketika Sultan Ahmad mangkat pada tahun 1588 M, Cik Wan Kembang masih berusia 4 tahun. Sehingga, Raja Hussin, putra Raja Umar yang bergelar Sultan Ala Jalla Abdul Jalil Syah (Raja Johor, 1580-1597 M) diminta datang ke Kelantan dengan maksud agar dirinya bersedia menjadi Sultan Kelantan ke-VI dengan gelar Sultan Hussin. Ada sumber lain yang menyebutkan fakta lain bahwa diangkatnya Raja Hussin bukan lantaran diminta oleh para pembesar Kelantan, namun karena kondisi sejarah pada saat itu, yakni pada abad ke-16, Kelantan berada di bawah kekuasaan Johor.

Setelah Raja Hussin mangkat pada tahun 1610 M, Cik Wan Kembang yang sudah berumur dewasa diangkat sebagai Sultan Kelantan ke-VII (1610-1663 M). Cik Wan Kembang merupakan sultan perempuan pertama di Kelantan. Ketika memerintah, ia bertempat tinggal di Gunung Chinta Wangsa, Ulu Kelantan, yang jaraknya kira-kira 40 kilometer ke arah tenggara Kuala Krai. Letak pemerintahan yang strategis tersebut menyebabkan banyak pedagang dari dalam maupun luar yang mengunjungi Kelantan.

Pada masa pemerintahan Cik Wan Kembang, telah berdiri sebuah kerajaan kecil di bagian timur laut Kelantan, yaitu Kerajaan Jembal yang dipimpin oleh Raja Sakti (1638 M). Raja Sakti adalah anak angkat Raja Bersiung Kedah. Raja Sakti mangkat pada tahun 1649 M dan digantikan oleh putranya, Raja Loyor. Cik Wan Kembang memiliki hubungan yang baik dengan Raja Loyor. Cik Wan Kembang pernah mengambil Puteri Saadong, putri Raja Loyor, sebagai anak angkatnya yang kelak akan dijadikan penggantinya. Cik Wan Kembang mangkat pada tahun 1663 M. Sepeninggalan dirinya boleh dibilang sebagai masa berakhirnya pemerintahan keturunan Sultan Iskandar Syah. Kelantan kemudian diperintah oleh raja-raja Jembal (pada masa pemerintahan ini tidak digunakan istilah sultan).

Berbicara tentang Puteri Saadong, ketika masih hidup Cik Wan Kembang pernah menikahkan anak angkatnya itu dengan Raja Abdullah, sepupu Puteri Saadong sendiri. Puteri Saadong dan Raja Abdullah menetap di Kota Tegayong (Tanah Serendah Sekebun Bunga Cherang Tegayong), yang kemudian pindah ke Kota Jelasin di Kota Mahligai. Puteri Saadong pernah diculik oleh Panglima Tentera Siam bernama Phraya Decho untuk dibawa ke hadapan Narai Maharaja Siam (1656-1688 M). Tidak ketahui data yang jelas apa maksud penculikan tersebut. Ketika kembali ke Kelantan, Puteri Saadong pernah berselisih dengan suaminya, Raja Abdullah. Entah apa yang diperselisihkan. Dalam perselisihan tersebut, tanpa sengaja Raja Abdullah terkena cucuk sanggul Puteri Saadong. Raja Abdullah akhirnya meninggal. Sepeninggalan Raja Abdullah, Puteri Saadong mengangkat Raja Abdul Rahim, saudara Raja Abdullah, sebagai Sultan di Kota Mahligai.

Tidak banyak data yang menyebutkan masa pemerintahan Raja Loyor. Ia mangkat pada tahun 1675 M. Ia digantikan oleh adiknya, Temenggong Umar yang bergelar Raja Umar (1675-1719 M). Raja Umar memiliki lima orang putra-putri, yaitu Raja Kecil Sulung, Raja Ngah yang bergelar Raja Hudang, Raja Nah, Raja Sakti, dan Raja Pah. Setelah Raja Umar mangkat pada tahun 1719 M, Long Besar atau Long Bahar diangkat sebagai Raja di Jembal (1719-1733 M). Pengangkatan tersebut adalah atas permintaan putri sulu Raja Umar, Raja Kecil Sulung. Long Bahar adalah putra Raja Petani (Wan Daim) yang bergelar Datuk Pengkalan Tua yang pernah merantau ke Kelantan bersama ayahnya. Long Bahar menikah dengan Raja Pah, putri Sultan Omar.

Long Bahar mangkat pada tahun 1733 M. Ia digantikan oleh putranya, Long Sulaiman atau Wan Anom Long Nik dengan gelar Mas Kelantan. Long Sulaiman memiliki tiga orang putra-putri, yaitu Long Yunus,  Tuan Dewi, dan Tuan Kembang. Tuan Kembang menikah dengan Long Deraman, putra Tuan Senik Getting yang memerintah di Legeh. Pada tahun 1756 M, terjadi sebuah serangan misterius yang bermaksud ingin membunuh Long Sulaiman. Dalam serangan ini, Long Sulaiman meninggal. Ia kemudian diganti oleh sepupunya, Long Pendak, sebagai Raja Kubang Labu, sementara adiknya, Long Muhammad dilantik menjadi Raja Muda.

Pada tahun 1758 M, Long Pendak meninggal. Ia dibunuh oleh Long Deraman yang membalas dendam atas perbuatan Long Pendak. Long Pendak pernah membunuh isterinya sendiri dan juga adik Long Deraman, Tengku Tengah. Long Muhammad kemudian menjadi Raja di Kota Kubang Labu. Pada masa pemerintahannya, terjadi peperangan antara Long Muhammad yang dibantu oleh Long Deraman dengan Long Yunus yang dibantu oleh Long Gaffar, putra Raja Reman di Hulu Perak. Pada tahun 1762 M, Long Muhammad dan Long Deraman tewas dalam sebuah peperangan sengit. Akhirnya, Kerajaan Kubang Labu dapat dikuasai oleh Long Yunus. Sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa Long Gaffar, Long Yunus mengangkat Long Gaffar sebagai Perdana Menteri di Kelantan yang memerintah dari Jeram hingga ke Pasir Tumbuh.

Long Yunus memerintah Kelantan antara tahun 1775-1794 M. Ia dikenal sebagai pemimpin yang mampu menyatukan kembali seluruh wilayah Kelantan yang sebelumnya terpecah-pecah hingga menjadi ke dalam satu sistem pemerintahan saja.

Silsilah

Berikut ini adalah daftar silsilah sultan-sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Kelantan:

1- Raja Kumar (1411-1418 M)
2- Sultan Iskandar (1418-1465 M)
3- Sultan Mansur Syah (1465-1526 M)
4- Sultan Gombak (1526-1584 M)
5- Sultan Ahmad (1584-1588 M)
6- Sultan Hussin (1588-1610 M)
7- Cik Wan Kembang (1610-1663 M)
8- Raja Loyor (1649-1675 M)
9- Raja Umar (1675-1719 M)
10- Long Besar atau Long Bahar (1719-1733 M)
11- Long Sulaiman (1733-1756 M)
12- Long Pendak (1756-1758 M)
13- Long Muhammad (1758-1762 M)
14- Long Gaffar (1762-1775 M)
15- Long Yunus (1775-1794 M)
16- Sultan Muhammad (1794-1839 M)
17- Sultan Muhammad II atau Sultan Mulut Merah (1839-1886 M)
18- Sultan Muhammad III (1886-1900 M)
19- Sultan Muhammad IV atau Long Senik bin Long Kundur (1900-1920 M)
20- Sultan Ismail (1920-1944 M)
21- Sultan Ibrahim (1944-1960 M)
22- Sultan Yahya Petra (1960-1979 M)
23- Sultan Ismail Petra (1979 M-sekarang)

Periode Pemerintahan

Kesultanan Kelantan telah berdiri selama hampir enam abad lamanya. Dalam rentang sejarah yang begitu panjang, Kelantan pernah mengalami masa perpecahan. Hal itu bermula pada masa pemerintahan Cik Wan Kembang (1610-1663 M). Pada masanya, di dalam wilayah Kelantan mulai berdiri sebuah kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Jembal. Kelantan kemudian dikuasai oleh keturunan dari Patani yang merantau ke Kelantan, yaitu sejak masa pemerintahan Long Bahar. Pada masa Long Yunus, Kelantan mulai dapat bersatu kembali.

Dalam perkembangan masa modern, Kesultanan Kelantan menjadi salah satu bagian dari 14 negeri dalam federasi Kerajaan Malaysia. Kelantan yang juga disebut dengan nama Negeri Kelantan Dar`ul Naim kini dipimpin oleh Sultan Ismail Petra (sejak tahun 1979 M).

Wilayah Kekuasaan

Wilayah kekuasaan Kesultanan Kelantan meliputi daerah-daerah berikut ini: Gua Musang (8,177 km2), Kuala Krai (2,277 km2), Jeli (1,318 km2), Tanah Merah (880 km2), Pasir Mas (569 km2), Machang (527 km2), Pasir Puteh (424 km2), Kota Bharu (394 km2), Bachok (279 km2), Tumpat (177 km2). Kesultanan ini terletak di sebelah timur laut Semenanjung Malaysia, berhadapan dengan Laut China Selatan, dan berbatasan dengan Thailand Selatan.

Struktur Pemerintahan

Struktur pemerintahan Kesultanan Kelantan merupakan warisan sistem politik Melayu tradisional. Sultan merupakan penguasa tertinggi di Kesultanan Kelantan. Dalam menjalankan roda pemerintahan, ia dibantu oleh tiga kelompok pembantu sultan, yaitu:

Kelompok kerabat sultan yang merupakan keturunan sultan itu sendiri.
Kelompok bangsawan yang bergelar syed, nik, dan wan.
Kelompok masyarakat biasa yang memegang jabatan tinggi di pemerintahan.
Tugas utama tiga kelompok pembesar kesultanan tersebut adalah menjalankan segala pekerjaan yang memang menjadi kewajibannya dan juga menjalankan apa yang menjadi perintah sultan. Tugas mereka meliputi hal-hal yang berkaitan dengan adat-istiadat istana, pemerintahan, keuangan, kehakiman, keamanan, pertahanan, dan hubungan luar negeri. Salah satu fungsi utama kelompok kerabat sultan adalah melantik sultan yang akan memerintah.

Struktur dan sistem pemerintahan tersebut baru diterapkan pada akhir abad ke-18 M, yaitu pada masa pemerintahan Long Yunus (1775-1794 M). Long Yunus melantik putra-putranya sebagai berikut: Long Ismail (Raja Muda), Long Jenal (Bendahara), dan Long Tan (Temenggung). Sementara itu, sahabat karibnya, Long Ghafar dilantik sebagai mangkubumi dan panglima perang dengan gelar Tengku Seri Maharaja Perdana Menteri. Sebenarnya ada empat jabatan dan gelar lagi, yaitu Raja Bukit Pancor (yang dijabat oleh Long Yunus bin Long Yunus), Tengku Kota (Long Muda atau Tuan Dagang bin Long Yunus), Dato‘ Kaya Hulubalang (anak Penghulu Adas).

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad II atau Sultan Mulut Merah (1839-1886 M), struktur pemerintah Kelantan mengalami perubahan dengan adanya tambahan jabatan atau gelar baru, sebagai berikut:

Sultan (Tuan Senik  Mulut Merah)
Sultan Dewa (Tuan Senik Kota atau Tuan Senik Penambang-baharu)
Hakim (Syed Jaafar-baharu)
Mufti (Tuan Abdul Rahman Muda bin Wan Othman-baharu)
Kadi (tidak diketahui datanya)
Perdana Menteri (Engku Limbat bin Long Jaafar)
Pembantu Menteri Besar (Nik Abdul Majid atau Wan Abdul Majid bin Wan Yusuf bersama Nik Yahya)
Juru Tulis Diraja atau Setiausaha Sultan (Wan Abdul Kadir)
Ketua Istiadat bergelar Dato Megat Mahkota  


Pada tahun 1845 M, terjadi lagi perubahan dalam struktur pemerintahan dengan terbentuknya jamaah Ahli Mensyuarat yang anggotanya adalah sejumlah pembesar kesultanan. Perubahan tersebut terjadi setelah Bandar Kota Bharu dan Istana Balai Besar dibangun setahun sebelumnya (1844 M). Berikut ini adalah tugas-tugas pemerintahan pada masa tersebut:

1. Tugas keuangan, yang diemban oleh:

Bendahara (gelar awalnya Tengku jika penyandangnya adalah keturunan sultan)
Seri Maharaja (gelar awalnya ditambah Tengku jika penyandangnya keturunan sultan)
Seri Pakerma Raja
Seri Akar Raja

2. Tugas peperangan, yang diemban oleh:

Temenggung Aria Pahlawan
Seri Nara Diraja
Laksamana
Seri Kelana Diraja

3. Tugas pemerintahan, yang diemban oleh:

Seri Paduka Raja
Seri Amar Diraja
Seri Setia Diraja
Seri Diraja

4. Hubungan luar negeri, yang diemban oleh:

Biji Sura
Biji Wangsa
Lela Utama
Lela Negara

5. Urusan dalam negeri, yang diemban oleh:

Kaya Perba
Kaya Pahlawan
Kaya Hulubalang
Kaya Perwira

6. Urusan istana, yang diemban oleh:

Seri Rakna Diraja
Bentara Guna
Penghulu Balai

7. Urusan keadilan dan kehakiman, yang diemban oleh:

Ketua Hakim (disandang oleh Hakim)
Kadi (bertanggung jawab terhadap masalah hukum atau syariat Islam)
Hakim (bertanggung jawab terhadap masalah di luar hukum Islam)

8. Penasehat sultan, yang diemban oleh:

Tengku Bendahara
Tengku Temenggung
Seri Paduka

Secara umum, gelar bagi seseorang yang akan menggantikan posisi sultan adalah Raja Muda. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad IV (Long Senik bin Long Kundur, 1900-1920 M), tepatnya pada tahun 1911,  gelar Raja Kelantan diadakan untuk menempati posisi sultan berikutnya. Namun pada tahun 1944 M, gelar tersebut dihapus karena ada anggapan dari orang-orang di luar Kelantan bahwa gelar itu dimaksudkan untuk menggantikan posisi sultan yang sedang ada urusan ke luar kesultanan. Mareka menganggap bahwa istilah Raja Kelantan dan Sultan Kelantan adalah sama saja. Untuk mengatasi masalah tersebut, Tengku Ibrahim, putera kedua Sultan Ismail yang bergelar Raja Kelantan, naik menjadi Sultan Kelantan pada Juni 1944 M. Gelar seseorang yang akan menggantikan posisi sultan dikembalikan ke semula, yaitu Raja Muda.

Kehidupan Sosial-Budaya

Berdasarkan sensus tahun 2005, jumlah penduduk Kelantan Daru`l Naim berjumlah 1,373,173 jiwa, yang terdiri sebagai berikut: Gua Musang (80,167), Kuala Krai (97,836), Jeli (38,185), Tanah Merah (108,228), Pasir Mas (172,692), Machang (82,653), Pasir Puteh (111,001), Kota Bharu (425,294), Bachok (116,128), Tumpat (140,989). Bangsa Melayu merupakan penduduk mayoritas di Kelantan (95 %), sementara sebagian yang lain diisi oleh keturunan China (3,8 %), keturunan India (0,3 %), dan lain-lain (0,9 %).  Komposisi penganut agama-agama di Kelantan adalah: Islam (95 %), Buddha (4,4 %), Kristen (0,2 %), Hindu (0,2 %), dan penganut agama lainnya (0,2 %).

Perekonomian masyarakat Kelantan bersumber dari hasil pertanian dan industri. Secara umum, tanaman pertanian yang banyak ditanam oleh penduduk Kelantan adalah tanaman getah, kelapa sawit, dan padi. Sedangkan industri yang banyak dikerjakan masyarakat Kelantan adalah industri kayu, terutama kayu balak dan kayu gergaji.

Sejak masa lalu, Kesultanan Kelantan dikenal memiliki hubungan yang baik dengan Kesultanan Patani. Secara geografis, letak kedua kesultanan ini sangat berdekatan. Kelantan memiliki kebudayaan yang unik dan menarik yang merupakan bentuk asimilasi antara budaya Melayu, Islam, dan Siam. Di antara sebagian kebudayaan tersebut adalah berupa permainan rakyat, seperti Dikir Barat, Main Puteri, Mak Yong, dan sebagainya. Mak Yong dipengaruhi budaya Siam, Dikir Barat memiliki unsur-unsur keislaman, dan Main Puteri berasal dari budaya Hindu-Siam. Di samping itu, Kelantan mempunyai makanan tradisional yang khas dan berbeda dari negeri-negeri Melayu lainnya, seperti makanan Budu.

Hubungan Kelantan – Jawa Yang Dilupakan Oleh Sejarah

Kelantan dan Jawa bagi orang zaman moden ini, dua budaya ini nampak terlalu asing untuk ada kaitan antara satu sama lain. Seperti tidak pernah berketemu antara satu sama lain.

Namun sejarah yang dilupakan akan dibongkar kembali. Dahulu Kelantan dan Jawa mempunyai hubungan yang amat rapat. Sebelum pergi dengan lebih lanjut atau sebelum dikatakan merapu, sila kaji beberapa fakta:

1)   Keris kebesaran Sultan Kelantan bernama Keris Majapahit.

2)   Sebut wayang kulit, maka orang tahu ianya daripada  Kelantan, dan juga
 Jawa.

3)   Orang Kelantan sangat suka pakai kain batik Jawa. Sehingga   zaman tahun 60an, orang lelaki Kelantan menggunakan kain  batik Jawa sebagai semutar di atas kepala dan diikat pada pinggang. Inilah trade mark orang Kelantan. Kain batik Jawa merupakan pakan harian yang wajib.

4)   Ada banyak perkataan Jawa yang difahami oleh orang   Kelantan, tetapi tidak Difahami oleh orang Kuala Lumpur.

5)   Orang Kelantan mungkin tidak pernah bertemu orang Jawa  pada tahun 1960an-70an, tetapi mereka secara lisan dan tradisi amat anti orang Jawa.

Kelantan purba dikenali dengan gelaran Jawa Kotti yang bermaksud ‘TITIK JAWA’. Pada zaman yang paling awal dalam tahun Masehi, pusat penyebaran budaya Melayu dan Jawa berpusat di Kelantan. Ini kerana zaman dahulu kala Kelantan dikenali orang sebagai Jawa Kotti ( Jawa Point). Kalau menurut dalam “Ikhtisar Sejarah Kelantan” oleh Abdul Razak Mahmud (Ustaz Mat), Bab 2, muka surat 7 & 8, negeri Kelantan dikatakan bernama “Medang Kamulan”. Dalam History Of Java oleh Stamford Raffles muka surat 74, pada lebih kurang tahun 600 Masehi seorang lelaki bernama Aji Saka dari negara asing ( quote: Aji Saka from a foreign country) datang ke Jawa dan memerintah. Menurutnya Aji Saka dari Medang Kamulan.

” The controversy over the true location of Sri Wijaya arises because of the fact that after the death of Maharaja Sri Jayanaga around 692, during the mission to capture Jawa Island, Sri Wijaya seems to have been divided into two states. The eldest son Maharaja Dipang ruled over Amdan Negara, that is, the Malay Isthmus, probably Kelantan/Kedah. The second son, Maharaja Dhiraja, ruled the islands (Sumatera and other islands of the Indonesian archipelago), based at Palembang. After the division into east and west, the name of Sri Wijaya remained in Sumatera, but on the Malay peninsula, a poetic title emerged for the Kelantan/Kedah area, namely, Tanah Serendah Sekebun Bunga (Valley of Flower Garden Land). This title is still found in traditional performing arts such as Mak Yong dance, Wayang Kulit puppet theatre, etc. By 730 the capital of Sri Wijaya in Sumatera moved from Palembang, known as Langkapura, to Kota Mutajap near the river mouth of Jambi in Sumatera.

It is reasonable to speculate that some elements of the Sri Wijayan culture originated in Sumatera, but later spread to other parts of South East Asia from Kelantan/Kedah. Yawakoti meaning Jawa Point, is situated at Bukit Panau hill along the upper Kelantan river near Pergau; some believe this place to be from which Jawanese politics and culture spread out. Jawa Duipa, an ancient name for Kelantan means Tanah Jawa (“land owned by the Jawanese”), or Kawasan Jawa (“Jawanese area”).

Al Tabari states that the word Jawa or Jva was used more widely in ancient times. Jawa in those days meant “Jawanese culture” (i.e. Malay culture), including its centres on the Isthmus, as compared to now when Jawa only refers to Jawa Island in Indonesia. According to one tradition, the Jawanese moved down from Kemboja and spread out to the archipelago.”

Dalam bahasa Jawa asli, tiada perkataan GAJAH. Oleh itu Patih Gajah Mada ini sebenarnya agak misteri bagi ahli sejarah Jawa sendiri.

Gajah Mada is a mysterious historical figure. No historical records about his origin, there’s no tomb to commemorate his magnificent achievement.
He’s probably the only Majapahit historical figure quite unknown where he’s born and where he died. But his legacy, the unified archipelagic empire of Majapahit is quite is the testament of his ambition and genius vision, a bright politician and warrior. Majapahit as the ancient incarnation of modern Indonesia stay forever as inspirations, source of pride and dignity for Indonesian.

According to books and articles I’ve reads here’s the speculations about his origin:

” Using animal name as people name is quite common in ancient Java, Lembu Tal, Kebo Ijo, Kebo Anabrang, Mundingwangi Dikusumah, Ciung Wanara, Mahesa Cempaka, etc. Gajah (means elephant) is known in ancient Java, In Borobudur relief we can find the image of Elephant, probably back then there’s an original Javanese elephant sub-species, but if not it’s possible to import them from Sumatra, since ancient Indonesian ship quite reliable to transport large things. But Gajah is abundant in Sumatra up until now. So the speculations arose.

Gajah Mada probably Malayu or Srivijayan origin, but since young he serve Javanese Majapahit special forces (Bhayangkara, the royal guard).
This theory probably based after the congquest of Malayu by Singhasari. The Pamalayu expedition led by King Kertanegara conquer the court of Malayupura (now Jambi), part of Srivijayan empire that already weaken. Malayupura once stood as rival for Srivijaya before Srivijaya conquer it. Then as Srivijaya weaken, Malayu began to be more important and enjoy certain degree of independence.

This conquest (some says alliance, cause Kertanegara gave gift for the people of Malayu, a huge 6 metres statue made in Java, then transport it to Sumatra) brough many royalties (princess of Malayu like Dara Jingga and Dara Petak), scholars, Buddhist priest (Dharmaputras), artisans, warriors, etc, to Javanese courts. Gajah Mada vast knowledge about various kingdoms, islands, and area around archipelago probably due to Srivijayan knowledge, is he Malayu soldier, that’s why he really know his way when he launch naval attack to Srivijayan capital like he’s ever been there before.”

p/s : orang Jawa totok mengaku bahawa mereka tak tahu siapa Patih Gajah Mada ini, tetapi sombong tak mahu mengaku dia ni orang Kelantan.

Pateh Gajah Mada adalah anak dari Puteri Linang Cahaya anak perempuan Raja Kelantan. Ayah Pateh Gajah Mada pula ialah Syeikh Hussein Jamaluddin Al-Kubra. Syeikh Jamaludin Al-Kubra ini banyak melahirkan keturunan yang menjadi pemimpin dan Ulamak yang berpusat di Patani-Kelantan seterusnya tersebar Islam ke seluruh Kepulauan Melayu dan Jawa. Pada masa itu Patani-Kelantan dikenali sebagai Kerajaan Cermin kerana banyak ulamak berada di situ sehinggakan belajar agama Islam di Kota Mekah mesti sambung belajar di Patani-Kelantan. Patani-Kelantan diberi nama jolokan Kerajaan Cermin Mekah. Sebab itulah sehingga sekarang Kelantan digelar “Kelantan Negeri di bawah Serambi Mekah” dan kerajaan Islam PAS masih kukuh berkuasa. Orang Kelantan sejak lebih 800 tahun telah memilih Islam sebagai kehidupan mereka.‎

1 komentar:

  1. .https://keep.line.me/s/Lb8uYYKl0c45XfYhErKpES9VipJoa6sXmUwle-HBC7I

    Web: almawaddah.info

    Salam wa rahmah

    Kepada;

    Yang dihormati para akademik, para rektor universiti dan para mufti.

    Tan Seri/Datuk Seri/Datuk/Datin/ tuan/puan

    Tajuk: "Penukaran al-Qur'an dangan mazhab Ahli Sunnah Wal-Jamaah sebagai asas agama Islam oleh para Mufti Malaysia adalah "un-Islamic" . Rencana ini adalah bagi tujuan kajian dan renungan.
    Sila layari laman: almawaddah.info
    Tidakkah Islam itu rahmatan li -l-Alamin?
    Terima kasih.

    Daripada;
    Pencinta al-Qur'an sebagai asas agama Islam di Malaysia.
    Kuala Lumpur
    Malaysia.

    BalasHapus